Anda di halaman 1dari 47

DISUSUN OLEH:

KELOMPOK 1
NAMA ANGGOTA : 1. RIFQI ANWARUDIN S.
2. ACHMAD IHBABUL I.
3. RISKIY BAGAS S.
4. ELLIO R. A.
5. ESTRI PUJI R.
6. MEILA SALSABILA R.
KELAS : VI (ENAM)

SD NEGERI 1 KAJORAN
TAHUN AJARAN 2023/2024
Aku
Karya : Chairil Anwar

Kalau sampai waktuku


‘Ku mau tak seorang ‘kan merayu
Tidak juga kau
Tak perlu sedu sedan itu
Aku ini binatang jalang
Dari kumpulannya terbuang
Biar peluru menembus kulitku
Aku tetap meradang menerjang
Luka dan bisa kubawa berlari
Berlari
Hingga hilang pedih peri
Dan aku akan lebih tidak peduli
Aku mau hidup seribu tahun lagi.
Doa
Karya : Chairil Anwar

Kepada pemeluk teguh,


Tuhanku
Dalam termangu
Aku masih menyebut nama-Mu
Biar susah sungguh mengingat
Kau penuh seluruh
Cahaya-Mu panas suci
Tinggal kerdip lilin di kelam sunyi
Tuhanku
Aku hilang bentuk
Remuk
Tuhanku aku mengembara di negeri asing
Tuhanku
Di pintu-Mu aku mengetuk
Aku tidak bisa berpaling
Karawang Bekasi
Karya : Chairil Anwar

Kami yang kini terbaring antara Karawang-Bekasi


tidak bisa teriak “Merdeka” dan angkat senjata lagi.
Tapi siapakah yang tidak lagi mendengar deru kami,
terbayang kami maju dan berdegap hati?
Kami bicara padamu dalam hening di malam sepi
Jika dada rasa hampa dan jam dinding yang berdetak
Kami mati muda. Yang tinggal tulang diliputi debu.
Kenang, kenanglah kami.
Kami sudah coba apa yang kami bisa
Tapi kerja belum selesai, belum bisa memperhitungkan 4-5 ribu nyawa
Kami cuma tulang-tulang berserakan
Tapi adalah kepunyaanmu
Kaulah lagi yang tentukan nilai tulang-tulang berserakan
Atau jiwa kami melayang untuk kemerdekaan kemenangan dan
harapan atau tidak untuk apa-apa,
Kami tidak tahu, kami tidak lagi bisa berkata
Kaulah sekarang yang berkata
Kami bicara padamu dalam hening di malam sepi
Jika ada rasa hampa dan jam dinding yang berdetak
Kenang, kenanglah kami
Teruskan, teruskan jiwa kami
Menjaga Bung Karno
Menjaga Bung Hatta
Menjaga Bung Sjahrir
Kami sekarang mayat
Berikan kami arti
Berjagalah terus di garis batas pernyataan dan impian
Kenang, kenanglah kami
Yang tinggal tulang-tulang diliputi debu
Beribu kami terbaring antara Karawang-Bekasi
Sia-Sia
Karya : Chairil Anwar

Penghabisan kali itu kau datang


Membawaku karangan kembang
Mawar merah dan melati putih:
Darah dan suci
Kau tebarkan depanku
Serta pandang yang memastikan: Untukmu.
Sudah itu kita sama termangu
Saling bertanya: Apakah ini?
Cinta? Keduanya tak mengerti.
Sehari itu kita bersama. Tak hampir-menghampiri.
Ah! Hatiku yang tak mau memberi
Mampus kau dikoyak-koyak sepi
Sendiri
Karya : Chairil Anwar

Hidupnya tambah sepi, tambah hampa


Malam apa lagi
Ia memekik ngeri
Dicekik kesunyian kamarnya
Ia membenci. Dirinya dari segala
Yang minta perempuan untuk kawannya
Bahaya dari tiap sudut. Mendekat juga
Dalam ketakutan-menanti ia menyebut satu nama
Terkejut ia terduduk. Siapa memanggil itu?
Ah! Lemah lesu ia tersedu: Ibu! Ibu!
Tak Sepadan
Karya : Chairil Anwar

Aku kira,
Beginilah nanti jadinya
Kau kawin, beranak dan berbahagia
Sedang aku mengembara serupa Ahasvéros.
Dikutuk sumpahi Eros
Aku merangkaki dinding buta
Tak satu juga pintu terbuka.
Jadi baik juga kita padami
Unggunan api ini
Karena kau tidak ‘kan apa apa
Aku terpanggang tinggal rangka.
Penghidupan
Karya : Chairil Anwar

Lautan maha dalam


Mukul dentur selama
Nguji tenaga pematang kita
Mukul dentur selama
Hingga hancur remuk redam Kurnia Bahagia
Kecil setumpuk
Sia-sia dilindung, sia-sia dipupuk.
Aku Ingin
Karya : Sapardi Djoko Damono

Aku ingin mencintaimu dengan sederhana


dengan kata yang tak sempat diucapkan
kayu kepada api yang menjadikannya abu

Aku ingin mencintaimu dengan sederhana


dengan isyarat yang tak sempat disampaikan
awan kepada hujan yang menjadikannya tiada
Hatiku Selembar Daun
Karya : Sapardi Djoko Damono

Hatiku selembar daun


melayang jatuh di rumput;

Nanti dulu,
biarkan aku sejenak terbaring di sini;
ada yang masih ingin kupandang,
yang selama ini senantiasa luput;

Sesaat adalah abadi


sebelum kausapu tamanmu setiap pagi.
Hujan Bulan Juni
Karya : Sapardi Djoko Damono

tak ada yang lebih tabah


dari hujan bulan Juni
dirahasiakannya rintik rindunya
kepada pohon berbunga itu

tak ada yang lebih bijak


dari hujan bulan Juni
dihapusnya jejak-jejak kakinya
yang ragu-ragu di jalan itu

tak ada yang lebih arif


dari hujan bulan Juni
dibiarkannya yang tak terucapkan
diserap akar pohon bunga itu
Pada Suatu Hari Nanti
Karya : Sapardi Djoko Damono

Pada suatu hari nanti,


Jasadku tak akan ada lagi,
Tapi dalam bait-bait sajak ini,
Kau tak akan kurelakan sendiri.

Pada suatu hari nanti,


Suaraku tak terdengar lagi,
Tapi di antara larik-larik sajak ini.

Kau akan tetap kusiasati,


Pada suatu hari nanti,
Impianku pun tak dikenal lagi,
Namun di sela-sela huruf sajak ini,
Kau tak akan letih-letihnya kucari.
Hanya
Karya : Sapardi Djoko Damono

Hanya suara burung yang kau dengar


dan tak pernah kaulihat burung itu
tapi tahu burung itu ada di sana

Hanya desir angin yang kaurasa


dan tak pernah kaulihat angin itu
tapi percaya angin itu di sekitarmu

Hanya doaku yang bergetar malam ini


dan tak pernah kaulihat siapa aku
tapi yakin aku ada dalam dirimu
Menjenguk Wajah di Kolam
Karya : Sapardi Djoko Damono

Jangan kau ulang lagi


menjenguk
wajah yang merasa
sia-sia, yang putih
yang pasi
itu.

Jangan sekali-kali membayangkan


Wajahmu sebagai rembulan.

Ingat,
jangan sekali-kali. Jangan.

Baik, Tuan.
Kita Saksikan
Karya : Sapardi Djoko Damono

kita saksikan burung-burung lintas di udara


kita saksikan awan-awan kecil di langit utara
waktu itu cuaca pun senyap seketika
sudah sejak lama, sejak lama kita tak mengenalnya

di antara hari buruk dan dunia maya


kita pun kembali mengenalnya
kumandang kekal, percakapan tanpa kata-kata
saat-saat yang lama hilang dalam igauan manusia
KALIURANG (TENGAH HARI)
Karya : Sitor Situmorang

Kembali kita berhadapan


Dalam relung sepi ini
Dari seberang lembah mati
Bibirmu berkata lagi
Napasmu mengelus jiwaku
Tersingkap kabut Dataran
Dan kutahu di tepi selatan
Laut ‘manggil aku berlayar dari sini
Tungguhlah aku akan datang
Biar kelam datang kembali
Dengan angin malam aku bertolak
Ke negeri, kabut tidak mengabur pandang
Mati, berarti kita akan bersatu lagi.
LERENG MERAPI
Karya : Sitor Situmorang

Kutahu sudah, sebelum pergi dari sini


Aku Akan rindu balik pada semua ini
Sunyi yang kutakuti sekarang
Rona lereng gunung menguap
Pada cerita cemara berdesir
Sedu cinta penyair
Rindu pada elusan mimpi
Pencipta candi Prambanan
Mengalun kemari dari dataran ….
Dan sekarang aku mengerti
Juga di sunyi gunung
Jauh dari ombak menggulung
Dalam hati manusia sendiri
Ombak lautan rindu
Semakin nyaring menderu ….
SURAT KERTAS HIJAU
Karya : Sitor Situmorang

Segala kedaraannya tersaji hijau muda


Melayang di lembaran surat musim bunga
Berita dari jauh
Sebelum kapal angkat sauh
Segala kemontokan menonjol di kata-kata
Menepis dalam kelakar sonder dusta
Harum anak dara
mengimbau dari seberang benua
Mari, Dik, tak lama hidup ini
Semusim dan semusim lagi
Burung pun berpulangan
Mari, Dik, kekal bisa semua ini
Peluk goreskan di tempat ini
Sebelum kapal dirapatkan
KEBUN BINATANG
Karya : Sitor Situmorang

Kembang, boneka dan kehidupan


Kembang, boneka dan kerinduan
Si adik ini ingin teman
Si anak ini punya ketakutan
Hari-hari kemarin
Punya keinginan
Berumah ufuk, ombak menggulung
Hari-hari kandungan
Tolak keisengan
Ramai-ramai di kebun binatang
Kembang, boneka dan kehidupan
Kembang dan kerinduan
Si adik ini ingin teman
Boneka ini punya kesayuan
Hari-hari datang
Hari kembang di kebun binatang
Hari bersenang
Pecah dalam balonan

Kembang, boneka dan kehidupan


Kembang dan kerinduan
Si adik ini ingin teman
Boneka ini punya kesayuan
MATAHARI MINGGU
Karya : Sitor Situmorang

Di hari Minggu di hari iseng


Di silau matahari jalan berliku
Kawan habis tujuan di tepi kota
Di hari Minggu di hari iseng
Bersandar pada dinding kota
Kawan terima kebuntuan batas
Di hari panas tak berwarna
Seluruh damba dibawa jalan
Di hari Minggu di hari iseng
Bila pertemuan menambah damba
Melingkar di jantung kota
Ia merebah pada diri dan kepadatan hari
Tidak menolak tidak terima
DUKA
kepada Chairil Anwar
Karya : Sitor Situmorang

manakah lebih sedih?


nenek terhuyung tersenyum
jelma sepi abadi
takkan bertukar rupa

atau petualang muda sendiri?


gapaian rindu tersia-sia
tak sanggup hidup rukun
antara anak minta ditayang

sekali akan tiba juga


takkan ada gerbang membuka
hanya jalan merentang
sungguh sayang cinta sia-sia

manakah lebih sedih?


nenek terhuyung tersenyum
atau petualang mati muda
mengumur duka telah dinujum
KRISTUS DI MEDAN PERANG
Karya : Sitor Situmorang

Ia menyeret diri dalam lumpur


mengutuk dan melihat langit gugur
Jenderal pemberontak segala zaman,
Kuasa mutlak terbayang di angan!

Tapi langit ditinggalkan merah,


pedang patah di sisi berdarah,
Tapi mimpi selalu menghadang,
Akan sampai di ujung: Menang!

Sekeliling hanya reruntuhan.


Jauh manusia serta ratapan,
Dan di hati tersimpan dalam:
Sekali 'kan dapat balas dendam!

Saat bumi olehnya diadili,


dirombak dan dihanguskan,
Seperti Cartago, habis dihancurkan,
dibajak lalu tandus digarami.

Tumpasnya hukum lama,


Menjelmanya hukum Baru,
Ia, yang takkan kenal ampun,
Penegak Kuasa seribu tahun!
Jembatan Karel, Praha
Karya : Goenawan Mohamad

Di sungai yang tak tersentuh ini


arca orang suci berjajar
hitam, di enam abad. Senja melebar
tapi bulan seakan lambat

Di sisi tua jembatan ini


sebuah boneka mengikuti gitar,
dan walsa merapat, ketika arus dan angsa
menetapkan tepi

ke arah gelap. Kemudian malam


memasang ruang, dan taman menyusun
sepi, dan pada sebuah jam, engkau pun datang,
dengan kembang di tangan

Ke seseorang yang mungkin


menanti. Tapi siapa ia kenali? Lampu gas,
terang yang terbatas, paras
yang tak kembali — selalu singgah di lorong ini.

Lupa memang tema kita, akhirnya.


Tahun menggerakkan tali. Dan kita menari.
Lagu gitar di trotoar.
Di sisi tua jembatan ini.
Tigris
Karya : Goenawan Mohamad

Sungai demam
Karang lekang
Pasir pecah
pelan-pelan.

Gurun mengerang: Babilon!


Defile berjalan.

Lalu Tuhan memberi mereka bumi


Tuhan memberi mereka nabi.

Antara sejarah
dan sawah
hama
dan Hammurabi.

Setelah itu, kita tak akan di sini.

Kau dengarkah angin ngakak malam-malam


ketika bulan seperti
susu yang tertikam
ketika mereka memperkosa
Mesopotomia?

Seorang anak berlari, dan seperti dulu


ia pun mencari-cari
kemah di antara pohon-pohon tufah.

Jangan menangis.

Belas adalah
Iblis karena Tuhan telah menitahkan air mata
jadi magma, bara yang diterbangkan bersama
belibis, burung-burung sungai yang akan
melempar pasukan revolusi
dengan besi dan api
"Ababil! Ababil!" Mereka akan berteriak.
Bumi perang sabil.

Karena itulah, mullah, jubah ini


selalu kita cuci dalam darah di tebing
Tigris yang kalah
Dari Najaf ada gurun. Kita seberangi
dengan geram dan racun. Dan tiba di Kerbala
akan kita temui pembunuhan
yang lebih purba.
(Ibuku. Seandainya kau tahu kami adalah anak-anakmu)
Perempuan Itu Menggerus Garam
Karya : Goenawan Mohamad

Perempuan itu menggerus garam pada cobek


di sudut dapur yang kekal.
"Aku akan menciptakan harapan," katanya, "pada batu hitam."
Asap tidak pernah singkat. Bubungan seperti warna dunia
dalam mimpi Yeremiah.

Ia sendiri melamunkan ikan, yang berenang di akuarium,


seperti balon-balon malas yang tak menyadari warnanya,
ungkapannya, di angkasa. "Merekalah yang bermimpi,"
katanya dalam hati.

Tapi ia sendiri bermimpi. Ia memimpikan busut-busut terigu, yang


turun, seperti hujan menggerutu. Di sebuah ladang. Enam
orang berlari seakan ketakutan akan matahari.
"Itu semua anakku," katanya. "Semua anakku."

Ia tidak tahu ke mana mereka pergi, karena sejak itu tidak ada
yang pulang. Si bungsu, dari sebuah kota di Rusia, tak pernah
menulis surat. Si sulung hilang. Empat saudara kandungnya
hanya pernah mengirimkan sebuah kalimat,
"Mak, kami hanya pengkhianat."

Barangkali masih ada seorang gadis, di sajadah yang jauh,


(atau mungkin mimpi itu hanya kembali,)
yang tak mengenalnya. Ia sering berpesan dengan
bahasa diam asap pabrik. Ia tak berani tahu siapa dia,
ia tidak berani tahu.

Perempuan itu hanya menggerus garam pada cobek


di sudut dapur yang kekal
Pagi, di Stasiun
Karya : Goenawan Mohamad

Dari ujung Tugu


rel melengkuas
burung jatuh
pada loko lelah

Seharusnya ada peluit


Seharusnya seseorang menjerit
Seharusnya pagi tak singgah
seperti kopi cerah

Seharusnya aku enggan


Seharusnya kau
Dan kita
tak sampai.
Sajak Anak-Anak Mati
Karya : Goenawan Mohamad

Tiga anak menari


tentang tiga burung gereja
Kemudian senyap
disebabkan senja

Tiga lilin kuncup


pada marmer meja
Tiga tik-tik hujan tertabur
Seperti tak sengaja.

"Bapak, jangan menangis"


Di Antara Kanal
Karya : Goenawan Mohamad

Jarimu menandai sebuah percakapan


yang tak hendak kita rekam
di hitam sotong dan gelas sauvognon blanc
yang akan ditinggalkan.

Di kiri kita kanal menyusup


dari laut. Di jalan para kelasi
malam seakan-akan biru.
"Meskipun esok lazuardi," katamu.

Aku dengar. Kita kenal


kegaduhan di aspal ini.
Kita tahu banyak hal.
Kita tahu apa yang sebentar.

Seseorang pernah mengatakan


kita telah disandingkan
sejak penghuni pertama ghetto Yahudi
membangun kedai.

Tapi kau tahu aku akan melepasmu di sudut itu,


tiap malam selesai, dan aku tahu kau akan pergi.
"Kota ini," katamu, "adalah jam
yang digantikan matahari."
Tentang Maut
Karya : Goenawan Mohamad

Di ujung bait itu mulai tampak sebuah titik


yang kemudian runtuh, 5 menit setelah itu.

Di ujung ruang itu mulai tampak sederet jari


yang ingin memungutnya kembali.

Tapi mungkin
itu tak akan pernah terjadi.

Ini jam yang amat biasa: Maut memarkir keretanya


di ujung gang dan berjalan tak menentu.

Langkahnya tak seperti yang kau bayangkan: tak ada


gempa, tak ada hujan asam, tak ada parit
yang meluap.

Hanya sebuah sajak, seperti kabel yang putus.

Atau hampir putus.


Di Bawah Selimut Kedamaian Palsu
Karya : Wiji Thukul

apa guna punya ilmu


kalau hanya untuk mengibuli
apa gunanya banyak baca buku
kalau mulut kau bungkam melulu
di mana-mana moncong senjata
berdiri gagah
kongkalikong
dengan kaum cukong
di desa-desa
rakyat dipaksa
menjual tanah
tapi, tapi, tapi, tapi
dengan harga murah
apa guna banyak baca buku
kalau mulut kau bungkam melulu
Puisi untuk adik
Karya : Wiji Thukul

apakah nasib kita akan terus seperti


sepeda rongsokan karatan itu?
o… tidak, dik!
kita akan terus melawan
waktu yang bijak bestari
kan sudah mengajari kita
bagaimana menghadapi derita
kitalah yang akan memberi senyum
kepada masa depan
jangan menyerahkan diri kepada ketakutan
kita akan terus bergulat
apakah nasib kita akan terus seperti
sepeda rongsokan karatan itu?
o… tidak, dik!
kita harus membaca lagi
agar bisa menuliskan isi kepala
dan memahami dunia
Peringatan
Karya : Wiji Thukul

jika rakyat pergi


ketika penguasa pidato
kita harus hati-hati
barangkali mereka putus asa
kalau rakyat bersembunyi
dan berbisik-bisik
ketika membicarakan masalahnya sendiri
penguasa harus waspada dan belajar mendengar
bila rakyat berani mengeluh
itu artinya sudah gasat
dan bila omongan penguasa
tidak boleh dibantah
kebenaran pasti terancam
apabila usul ditolak tanpa ditimbang
suara dibungkam kritik dilarang tanpa alasan
dituduh subversif dan mengganggu keamanan
maka hanya ada satu kata: lawan!
Hari Ini Aku Akan Bersiul-siul
Karya : Wiji Thukul

pada hari coblosan nanti


aku akan masuk ke dapur
akan kujumlah gelas dan sendokku
apakah jumlahnya bertambah
setelah pemilu bubar?
pemilu oo.. pilu pilu
bila hari coblosan tiba nanti
aku tak akan pergi kemana-mana
aku ingin di rumah saja
mengisi jambangan
atau mananak nasi
pemilu oo.. pilu pilu
nanti akan kuceritakan kepadamu
apakah jadi penuh karung beras
minyak tanah
gula
atau bumbu masak
setelah suaramu dihitung
dan pesta demokrasi dinyatakan selesai
nanti akan kuceritakan kepadamu
pemilu oo.. pilu pilu
bila tiba harinya
hari coblosan
aku tak akan ikut berbondong-bondong
ke tempat pemungutan suara
aku tidak akan datang
aku tidak akan menyerahkan suaraku
aku tidak akan ikutan masuk
ke dalam kotak suara itu
pemilu oo.. pilu pilu
aku akan bersiul-siul
memproklamasikan kemerdekaanku
aku akan mandi
dan bernyanyi sekeras-kerasnya
pemilu oo.. pilu pilu
hari itu aku akan mengibarkan hakku
tinggi tinggi
akan kurayakan dengan nasi hangat
sambel bawang dan ikan asin
pemilu oo.. pilu pilu
sambel bawang dan ikan asin

10 november 96
Bunga dan Tembok
Karya : Wiji Thukul

Seumpama bunga
Kami adalah bunga yang tak
Kau hendaki tumbuh
Engkau lebih suka membangun
Rumah dan merampas tanah

Seumpama bunga
Kami adalah bunga yang tak
Kau kehendaki adanya
Engkau lebih suka membangun
Jalan raya dan pagar besi

Seumpama bunga
Kami adalah bunga yang
Dirontokkan di bumi kami sendiri

Jika kami bunga

Engkau adalah tembok itu


Tapi di tubuh tembok itu
Telah kami sebar biji-biji
Suatu saat kami akan tumbuh bersama
Dengan keyakinan: engkau harus hancur!

Dalam keyakinan kami


Di manapun – tirani harus tumbang!
Pulanglah Nang
Karya : Wiji Thukul

pulanglah nang
jangan dolanan sama si kuncung
si kuncung memang nakal
nanti bajumu kotor lagi
disirami air selokan
pulanglah nang
nanti kamu manangis lagi
jangan dolanan sama anaknya pak kerto
si bejo memang mbeling
kukunya hitam panjang-panjang
kalau makan tidak cuci tangan
nanti kamu ketularan cacingan
pulanglah nang
kamu kan punya mobil-mobilan
kapal terbang bikinan taiwan
senapan atom bikinan jepang
kamu kan punya robot yang bisa jalan sendiri
pulanglah nang
nanti kamu digebugi mamimu lagi
kamu pasti belum tidur siang
pulanglah nang
jangan dolanan sama anaknya mbok sukiyem
mbok sukiyem memang keterlaluan
si slamet sudah besar tapi belum disekolahkan
pulanglah nang
pasti papimu marah lagi
kamu pasti belum bikin PR
belajar yang rajin
biar nanti jadi dokter
Solo, september 86
Suara Dari Rumah-Rumah Miring
Karya : Wiji Thukul

di sini kamu bisa menikmati cicit tikus


di dalam rumah miring ini
kami mencium selokan dan sampan
bagi kami setiap hari adalah kebisingan
di sini kami berdesak-desakan dan berkeringat
bersama tumpukan gombal-gombal
dan piring-piring
di sini kami bersetubuh dan melahirkan
anak-anak kami
di dalam rumah miring ini
kami melihat matahari menyelinap
dari atap ke atap
meloncati selokan
seperti pencuri
radio dari segenap penjuru
tak henti-hentinya membujuk kami
merampas waktu kami dengan tawaran-tawaran
sandiwara obat-obatan
dan berita-berita yang meragukan
kami bermimpi punya rumah untuk anak-anak
tapi bersama hari-hari pengap yang menggelinding
kami harus angkat kaki
karena kami adalah gelandangan

solo, oktober 87
Sajak Sajak Cinta
(W.S. Rendra)

Setiap ruang yang tertutup akan retak


karena mengandung waktu yang selalu mengimbangi
Dan akhirnya akan meledak
bila tenaga waktu terus terhadang

Cintaku kepadamu Juwitaku


Ikhlas dan sebenarnya
Ia terjadi sendiri, aku tak tahu kenapa
Aku sekedar menyadari bahwa ternyata ia ada

Cintaku kepadamu Juwitaku


Kemudian meruang dan mewaktu
dalam hidupku yang sekedar insan

Ruang cinta aku berdayakan


tapi waktunya lepas dari jangkauan
Sekarang aku menyadari
usia cinta lebih panjang dari usia percintaan
Khazanah budaya percintaan
pacaran, perpisahan, perkawinan
tak bisa merumuskan tenaga waktu dari cinta

Dan kini syairku ini


Apakah mungkin merumuskan cintaku kepadamu

Syair bermula dari kata,


dan kata-kata dalam syair juga meruang dan mewaktu
lepas dari kamus, lepas dari sejarah,
lepas dari daya korupsi manusia
Demikianlah maka syairku ini
berani mewakili cintaku kepadamu

Juwitaku
belum pernah aku puas menciumi kamu
Kamu bagaikan buku yang tak pernah tamat aku baca
Kamu adalah lumut di dalam tempurung kepalaku
Kamu tidak sempurna, gampang sakit perut,
gampang sakit kepala dan temperamenmu sering tinggi
Kamu sulit menghadapi diri sendiri
Dan dibalik keanggunan dan keluwesanmu
kamu takut kepada dunia

Juwitaku
Lepas dari kotak-kotak analisa
cintaku kepadamu ternyata ada
Kamu tidak molek, tetapi cantik dan juwita
Jelas tidak immaculata, tetapi menjadi mitos
di dalam kalbuku

Sampai disini aku akhiri renungan cintaku kepadamu


Kalau dituruti toh tak akan ada akhirnya
Dengan ikhlas aku persembahkan kepadamu :

Cintaku kepadamu telah mewaktu


Syair ini juga akan mewaktu
Yang jelas usianya akan lebih panjang
dari usiaku dan usiamu
Rumpun Alang-alang
(W.S. Rendra)

Engkaulah perempuan terkasih, yang sejenak kulupakan, sayang


Kerna dalam sepi yang jahat tumbuh alang-alang di hatiku yang
malang
Di hatiku alang-alang menancapkan akar-akarnya yang gatal
Serumpun alang-alang gelap, lembut dan nakal

Gelap dan bergoyang ia


dan ia pun berbunga dosa
Engkau tetap yang punya
tapi alang-alang tumbuh di dada.
Makna Sebuah Titipan
(W.S. Rendra)

Sering kali aku berkata, ketika orang memuji milikku,


bahwa sesungguhnya ini hanya titipan,
bahwa mobilku hanya titipan Nya,
bahwa rumahku hanya titipan Nya,
bahwa hartaku hanya titipan Nya,
bahwa putraku hanya titipan Nya,
tetapi, mengapa aku tak pernah bertanya, mengapa Dia menitipkan
padaku?
Untuk apa Dia menitipkan ini pada ku?
Dan kalau bukan milikku, apa yang harus kulakukan untuk milik Nya
ini?
Adakah aku memiliki hak atas sesuatu yang bukan milikku?
Mengapa hatiku justru terasa berat, ketika titipan itu diminta kembali
oleh-Nya ?
Ketika diminta kembali, kusebut itu sebagai musibah
kusebut itu sebagai ujian, kusebut itu sebagai petaka,
kusebut dengan panggilan apa saja untuk melukiskan bahwa itu
adalah derita.
Ketika aku berdoa, kuminta titipan yang cocok dengan hawa nafsuku,
aku ingin lebih banyak harta,
ingin lebih banyak mobil,
lebih banyak rumah,
lebih banyak popularitas,
dan kutolak sakit, kutolak kemiskinan,
Seolah semua derita adalah hukuman bagiku.
Seolah keadilan dan kasih Nya harus berjalan seperti matematika :
aku rajin beribadah, maka selayaknyalah derita menjauh dariku, dan
Nikmat dunia kerap menghampiriku.
Kuperlakukan Dia seolah mitra dagang, dan bukan Kekasih.
Kuminta Dia membalas perlakuan baikku, dan menolak keputusanNya
yang tak sesuai keinginanku,
Gusti, padahal tiap hari kuucapkan, hidup dan matiku hanyalah untuk
beribadah.
ketika langit dan bumi bersatu, bencana dan keberuntungan sama
saja.
Sering kali aku berkata, ketika orang memuji milikku,
bahwa sesungguhnya ini hanya titipan,
bahwa mobilku hanya titipan Nya,
bahwa rumahku hanya titipan Nya,
bahwa hartaku hanya titipan Nya,
bahwa putraku hanya titipan Nya,
tetapi, mengapa aku tak pernah bertanya, mengapa Dia menitipkan
padaku?
Untuk apa Dia menitipkan ini pada ku?
Dan kalau bukan milikku, apa yang harus kulakukan untuk milik Nya
ini?
Adakah aku memiliki hak atas sesuatu yang bukan milikku?
Mengapa hatiku justru terasa berat, ketika titipan itu diminta kembali
oleh-Nya ?
Ketika diminta kembali, kusebut itu sebagai musibah
kusebut itu sebagai ujian, kusebut itu sebagai petaka,
kusebut dengan panggilan apa saja untuk melukiskan bahwa itu
adalah derita.
Ketika aku berdoa, kuminta titipan yang cocok dengan hawa nafsuku,
aku inglebih banyak harta,
inglebih banyak mobil,
lebih banyak rumah,
lebih banyak popularitas,
dan kutolak sakit, kutolak kemiski1
Seolah semua derita adalah hukuman bagiku.
Seolah keadilan dan kasih Nya harus berjalan seperti matematika :
aku rajberibadah, maka selayaknyalah derita menjauh dariku, dan
Nikmat dunia kerap menghampiriku.
Kuperlakukan Dia seolah mitra dagang, dan bukan Kekasih.
Kuminta Dia membalas perlakuan baikku, dan menolak keputusanNya
yang tak sesuai keinginanku,
Gusti, padahal tiap hari kuucapkan, hidup dan matiku hanyalah untuk
beribadah.
ketika langit dan bumi bersatu, bencana dan keberuntungan sama
saja.
Kangen
(W.S. Rendra)

Kau tak akan mengerti bagaimana kesepianku


menghadapi kemerdekaan tanpa cinta
kau tak akan mengerti segala lukaku
kerna luka telah sembunyikan pisaunya.
Membayangkan wajahmu adalah siksa.
Kesepian adalah ketakutan dalam kelumpuhan.
Engkau telah menjadi racun bagi darahku.
Apabila aku dalam kangen dan sepi
itulah berarti
aku tungku tanpa api..
Kenangan dan Kesepian

Rumah tua
dan pagar batu.
Langit di desa
sawah dan bambu.

Berkenalan dengan sepi


pada kejemuan disandarkan dirinya.
Jalanan berdebu tak berhati
lewat nasib menatapnya.

Cinta yang datang


burung tak tergenggam.
Batang baja waktu lengang
dari belakang menikam.

Rumah tua
dan pagar batu.
Kenangan lama
dan sepi yang syahdu
Orang Orang Miskin
(W.S. Rendra) Yogya, 4 Pebruari 1978

Orang-orang miskin di jalan,


yang tinggal di dalam selokan,
yang kalah di dalam pergulatan,
yang diledek oleh impian,
janganlah mereka ditinggalkan.

Angin membawa bau baju mereka.


Rambut mereka melekat di bulan purnama.
Wanita-wanita bunting berbaris di cakrawala,
mengandung buah jalan raya.

Orang-orang miskin. Orang-orang berdosa.


Bayi gelap dalam batin. Rumput dan lumut jalan raya.
Tak bisa kamu abaikan.

Bila kamu remehkan mereka,


di jalan kamu akan diburu bayangan.
Tidurmu akan penuh igauan,
dan bahasa anak-anakmu sukar kamu terka.

Jangan kamu bilang negara ini kaya


karena orang-orang berkembang di kota dan di desa.
Jangan kamu bilang dirimu kaya
bila tetanggamu memakan bangkai kucingnya.
Lambang negara ini mestinya trompah dan blacu.
Dan perlu diusulkan
agar ketemu presiden tak perlu berdasi seperti Belanda.
Dan tentara di jalan jangan bebas memukul mahasiswa.

Orang-orang miskin di jalan


masuk ke dalam tidur malammu.
Perempuan-perempuan bunga raya
menyuapi putra-putramu.
Tangan-tangan kotor dari jalanan
meraba-raba kaca jendelamu.
Mereka tak bisa kamu biarkan.

Jumlah mereka tak bisa kamu mistik menjadi nol.


Mereka akan menjadi pertanyaan
yang mencegat ideologimu.
Gigi mereka yang kuning
akan meringis di muka agamamu.
Kuman-kuman sipilis dan tbc dari gang-gang gelap
akan hinggap di gorden presidenan
dan buku programma gedung kesenian.

Orang-orang miskin berbaris sepanjang sejarah,


bagai udara panas yang selalu ada,
bagai gerimis yang selalu membayang.
Orang-orang miskin mengangkat pisau-pisau
tertuju ke dada kita,
atau ke dada mereka sendiri.
O, kenangkanlah :
orang-orang miskin
juga berasal dari kemah Ibrahim
Doa Seorang Serdadu Sebelum Perang
(W.S. Rendra) Mimbar Indonesia 18 Juni 1960.

Tuhanku,
WajahMu membayang di kota terbakar
dan firmanMu terguris di atas ribuan
kuburan yang dangkal

Anak menangis kehilangan bapa


Tanah sepi kehilangan lelakinya
Bukannya benih yang disebar di bumi subur ini
tapi bangkai dan wajah mati yang sia-sia

Apabila malam turun nanti


sempurnalah sudah warna dosa
dan mesiu kembali lagi bicara
Waktu itu, Tuhanku,
perkenankan aku membunuh
perkenankan aku menusukkan sangkurku

Malam dan wajahku


adalah satu warna
Dosa dan nafasku
adalah satu udara.
Tak ada lagi pilihan
kecuali menyadari
-biarpun bersama penyesalan-

Apa yang bisa diucapkan


oleh bibirku yang terjajah ?
Sementara kulihat kedua lengaMu yang capai
mendekap bumi yang mengkhianatiMu
Tuhanku
Erat-erat kugenggam senapanku
Perkenankan aku membunuh
Perkenankan aku menusukkan sangkurku
Gerilya
(W.S. Rendra) Siasat Th IX, No. 42 1955

Tubuh biru
tatapan mata biru
lelaki berguling di jalan

Angin tergantung
terkecap pahitnya tembakau
bendungan keluh dan bencana

Tubuh biru
tatapan mata biru
lelaki berguling dijalan

Dengan tujuh lubang pelor


diketuk gerbang langit
dan menyala mentari muda
melepas kesumatnya

Gadis berjalan di subuh merah


dengan sayur-mayur di punggung
melihatnya pertama

Ia beri jeritan manis


dan duka daun wortel

Tubuh biru
tatapan mata biru
lelaki berguling dijalan

Orang-orang kampung mengenalnya


anak janda berambut ombak
ditimba air bergantang-gantang
disiram atas tubuhnya

Tubuh biru
tatapan mata biru
lelaki berguling dijalan

Lewat gardu Belanda dengan berani


berlindung warna malam
sendiri masuk kota
ingin ikut ngubur ibunya

Anda mungkin juga menyukai