Anda di halaman 1dari 14

LOMBA PUISI

Tingkat SD, SLTP, SLTA

A. PERSYARATAN TEKNIS
1) Peserta adalah Siswa/Siswi tingat SD, SLTP, SLTA.
2) Melakukan pendaftaran dengan melaksanakn pembayaran sejumlah
 Rp. 30.000/ orang (Tingkat SD)
 Rp. 50.000/ orang (Tingkat SLTP)
 Rp. 80.000/ orang (Tingkat SLTA)
3) Setiap peserta memilih 1 dari 8 antalogi puisi yang telah disediakan oleh panitia untuk dibacakan
saat lomba.
4) Pembacaan puisi disampaikan di hadapan juri dan peserta lain (membawa teks).
5) Pembacaan puisi tanpa memakai alat pengeras suara.

B. KETENTUAN UMUM
1) Lomba bersifat individual dan tidak diperkenakan mendapat bantuan dari siapapun saat perlombaan
berlangsung.
2) Setiap peserta hadir paling lambat 30 menit sebelum perlombaan untuk mempersiapkan diri, setelah
sebelumnya telah mendafta ulang di meja panitia.
3) Pemanggilan peserta dilaksanakan maksimal 3 kali berturut-turut. Apabila tidak hadir, peserta
dinyatakan gugur, kecuali dengan alasan yang dapat dipertanggungjawabkan.
4) Setiap peserta hanya memiliki kesempatan sekali untuk membacakan 1 judul puisi.
5) Juri menentukan pemenang lomba berdasarkan urutan skor yang di dapatkan peseta saat tampil.
6) Keputusan juri bersifat mutlak dan tidak dapat diganggu gugat.
7) Pendamping peserta diharapkan membawa alat dokumentasi sendiri untuk mengantisipasi timbulnya
kendala pada alat dokumentasi panitia.
8) Pembagian nomor urut tampil, dan hal-hal yang mungkin belum tercantum pada ketentuan
perlombaan akan disampaikan saat technical meeting.

C. JUDUL-JUDUL PUISI
1) Tingka SD

D. KRITERIA PENILAIAN
1) Artikulasi.
2) Intonasi.
3) Mimik.
4) Kesesuain Naskah.
5) Penghayatan.

E. KEJUARAAN TINGKAT SD/SLTP/SLTA


1) Tingkat SD
 Juara 1
 Juara 2
 Juara 3
2) Tingkat SLTP
 Juara 1
 Juara 2
 Juara 3

3) Tingkat SLTA
 Juara 1
 Juara 2
 Juara 3

ANTONOLOGI PUISI

1) TINGKAT SD

1. TUSUK GIGI
Karya: Soni Farid Maulana

Ada suara hutan menjerit


Dari sebuah tusuk gigi di hadapanku
Tanah berumput keong lumpur yang mati
Melayangkan kenanganku akan berbagai suku
Yang tumpur disantap nafsu hitam zaman kolonial

Cacing-cacing menyuburkan pohonan


Tapi hutan demi hutan lenyap sudah
Dengus gergaji kiranya
Bikin beragam hewan mengungsi
Ke dalam buku catatan biologi
Atau ke dalam buku cerita kanak-kanak
Yang dibaca sambil tiduran

2. BINTANG PAGI
Karya: Soni Farid Maulana

Tiga jam ke arah utara,


kota tua, kabut mengendap
di bukit dan lembah raja
cahaya lembut bintang pagi
di atas pucuk cemara.
"itu bintangku!" katamu,
yang tiada bosan menarik tubuhku
ke dalam pelukanmu, sehabis bencana
dan kerusuhan melanda kalbuku
dan kau bertanya, kembali bertanya:
adakah esok hari, kebahagiaan hidup
tersaji senikmat hari ini?
jam digital berdenyut lagi
maut bergeser dari tempat duduknya
di ruang tunggu yang lengang,
yang gaib dari pandangan matamu
dan mataku, seperti pisau sepi
yang selalu menikam kalbu kau dan aku
yang tak pernah terlihat wujudnya
serupa apa. "Itu bintangku,
dan aku milikmu. Reguklah sedap
madu dari puting kalbuku," bisikmu.
Langitmu dan langitku bersatu lagi
di kota tua, tiga jam ke arah utara.
"aku milikmu, paku aku cintaku
di kayu nasibmu, jangan ragu."

3. DI MESJID
Karya: Chairil Anwar

Kuseru saja Dia


Sehingga datang juga
Kami pun bermuka-muka
Seterusnya Ia bernyala-nyala dalam dada
Segala daya memadamkannya
Bersimbah peluh diri yang tak bisa diperkuda
Ini ruang
Gelanggang kami berperang
Binasa-membinasa
Satu menista lain gila

4. LUKISAN BERWARNA
Karya: Joko Pinurbo

Hujan beratus warna


tumpah di hamparan kanvas senja.

Pohon-pohon bersorak gembira


sebab dari ranting-rantingnya yang sakit
kuncup jua daun-daun beratus warna.

Burung-burung bernyanyi riang,


terbang riuh dari dahan ke dahan
dengan sayap beratus warna.

Dua malaikat kecil menganyam cahaya,


membentangkan bianglala
di bawah langit beratus warna.

Air mata beratus warna kautumpahkan


ke celah-celah sunyi
yang belum sempat tersentuh warna.

5. TAMASYA
Karya: Soni Farid Maulana

Di pantai laut merah di tepi kota Jeddah


tak kutemukan jejak musa selain deretan cafe
dan wajah para pelancong yang lelah
yang datang dari negeri jauh, yang menyandarkan
tubuhnya di kursi kayu, melepas pandang matanya
ke luas biru laut bertilam lembut angin panas
dengan ombak yang tenang

pemandangan seperti ini pernah aku lihat


dalam sebuah lukisan di sebuah galeri kota paris
ketika musim dingin menggigilkan daging dan tulang
dan kau tak ada di sampingku. Hanya pekik burung
yang aku dengar sore itu, sebagaimana aku dengar
siang ini di tepi pantai laut merah di tepi kota Jeddah
dan kau tak ada di sampingku

kini aku terperangah mendapatkan kaligrafi usiaku


memutih di tujuh helai rambutku, yang disingkap
lembut angin laut musim panas. "Yang Maha Hakim
jangan sampai hamba karam ke dasar palung hitam
bagai fir'aun, yang lalai mengingat-Mu," suara itu
aku dengar di tempat ini, bikin ruhku gemetar,
o menggelepar, layak seekor ikan di paruh
burung itu. Di paruh burung itu

6. IBU
Karya: Mustofa Bisri

Kaulah gua teduh


tempatku bertapa bersamamu
Sekian lama
Kaulah kawah
dari mana aku meluncur dengan perkasa
Kaulah bumi
yang tergelar lembut bagiku
melepas lelah dan nestapa
gunung yang menjaga mimpiku
siang dan malam
mata air yang tak brenti mengalir
membasahi dahagaku
telaga tempatku bermain
berenang dan menyelam.

Kaulah, ibu, laut dan langit


yang menjaga lurus horisonku
Kaulah, ibu, mentari dan rembulan
yang mengawal perjalananku
mencari jejak sorga
di telapak kakimu.

(Tuhan, aku bersaksi


ibuku telah melaksanakan amanat-Mu;
menyampaikan kasih sayang-Mu.
Maka kasihilah ibuku
seperti Kau mengasihi
kekasih-kekasih-Mu.
Amin.

7. CAHAYA KECIL
Karya: Soni Fraid Maulana

Di ujung dermaga seseorang menanti


ia jatuh cinta pada cahaya kecil
di bola matamu. Dicatatnya harum rambutmu
dalam tujuh larik puisi yang ringkas

jika salju turun seluas kalbumu


kau pasti memburunya tanpa ragu. Sebab api
yang menyala di rongga dadanya:
adalah kehangatan hidup yang kau cari

ya, memang sepanjang jarum jam berputar


di dinding jantungmu: ia hanya buih
yang menanti kawih. Tapi, jika waktunya tiba
ia metafora dalam merdu kawihmu.

8. MALAIKATKU
Karya: Hetti Rahmawati

Ketulusan htimu membuat aku ingin mengucap,


Kau malaikatku, Ibu
Ada dan tiada dirimu
Dalam lubuk hatiku hanya ada kamu
Penerang dalam gelapku
Penyemangat dalam keluh kesahku

2) TINGKAT SLTP

1. AKU
Karya: Chairil Anwar

Kalau sampai waktuku


Ku mau tak seorang kan merayu
Tidak juga kau
Tak perlu sedu sedan itu
Aku ini bintang jalang
Dari kumpulannya terbuang
Biar peluru menembus kulitku
Aku tetap meradang menerjang
Luka dan bisa kubawa berlari
Berlari
Hingga hilang pedih peri
Dan aku akan lebih tidak peduli
Aku mau hidup seribu tahun lagi

2. TAMIMI
Karya: Bode Riswandi

Tak ada masa kanak kanak di sini


Ruang main tersimpan rapi di perut bumi
mimpi-mimpi kian asing dari sejumlah tidur
Yang kami sendiri lupa bagaimana mengingatnya

Tak ada selembar saputangan di sini


Air mata kami telah jadi logam dan baja
Bagi mereka yang fasih menarik pelatuk senjata

Jangan ajari bagaimana membela diri


Sejak dalam ibu,
Kami makin terbiasa mendengar
Dentuman rudal dan bunyi tembakan itu
Seperti lagu-lagu rakyat biasa
Kami nyanyikan di halaman rumah

Ketika bapak mati ditembak


Dilapang terbuka,di antara lelaki-lelaki lain
Yang menggenggam batu di tangannya
Tak ada waktu bagi ibu untuk meratapinya
Ia akan terus mengupak perlawanan baru
Karena setiap saorang lelaki gugur
Di medan itu,darahnya akan cepat menyatu
Ke tubuh ibu ,lalu lahirkan kami
Dengan tangan yang sedia mengepai

3. HUJAN BULAN JUNI


Karya: Sapardi Djoko Damono

Tak ada yang lebih tabah dari hujan bulan juni


Dirahasiakannya rintik rindunya kepada pohon berbunga itu

Tak ada yang lebih bijak dari hujan bulan juni


Dihapusnya jejak-jejak kakinya yang ragu-ragu di jalan itu

Tak ada yang lebih arif dari hujan bulan juni


Dibiarkannya yang tak terucapkan diserap akar pohon bunga itu

4. TAK SEPADAN
Karya: Charili Anwar

Aku kira:
Beginilah nanti jadinya
Kau kawin, beranak dan berbahgia
Sedang aku mengembara serupa Ahasveros.

Dikutuk-sumpahi Eros
Aku merangkaki dinding buta
Tak satu juga pintu terbuka.

Jadi baik juga kita padami


Unggunan api ini
Karena kau tidak 'kan apa-apa
Aku terpanggang tinggal rangka.
5. TENUNG RINDU
Karya : Bode Riswandi

Selalu lewat jendela


Aku memahami
Dan selalu aku yang minta
Ditulis dengan darahmu.

Hari-hari berpendar ke rumah yang lain


Ke dalam dada dan kebun-kebun jiwa
Engkau seperti Alamat tenung atau serupa kemuskhilan yang diciptakan
Tapi melulu aku bertemu saban waktu
Saban waktu aku mendatangimu
Dengan tubuh yang pucat
Tapi kau menulisnya Ketika darah di badan tiggal segurat

6. RUMAHKU
Karya: Chairil Anwar

Rumahku dari unggun-timbun sajak


Kaca jernih dari luar segala nampak

Kulari dari gedong lebar halaman


Aku tersesat tak dapat jalan

Kemah kudirikan ketika senja kala


Di pagi terbang entah ke mana

Rumahku dari unggun-timbun sajak


Di sini aku berbini dan beranak

Rasanya lama lagi, tapi datangnya datang


Aku tidak lagi meraih petang
Biar berleleran kata manis madu
Jika menagih yang satu.

7. KUHENTIKAN HUJAN
Karya: Sapardi djoko damono

Kuhentikan hujan
Kini matahari merindukanku
Mengangkat kabut pagi perlahan

Ada yang berdenyut dalam diriku


Menembus tanah basah

Denda yang dihamilkan hujan


Dan cahaya matahari
Tak bisa kutolak matahari memaksaku menciptakan bunga-bunga

8. AKU INGIN
Karya: Sapardi Djoko Damono

Aku ingin mencintaimu dengan sederhana


Dengan kata yang tak sempat diucapkan
Kayu kepada api yang menjadikannya abu

Aku ingin mencintaimu dengan sederhana


Dengan isyarat yang tak sempat disampaikan
Awan kepada hujan yang menjadikannya tiada

3) TINGKAT SLTA
1. KARAWANG-BEKASI
Karya: Chairil Anwar

Kami yang kini terbaring antara Karawang-Bekasi


Tidak bisa teriak "Merdeka" dan angkat senjata lagi
Tapi siapakah yang tidak lagi mendengar deru kami,
Terbayang kami maju dan mendegap hati ?

Kami bicara padamu dalam hening di malam sepi


Jika dada rasa hampa dan jam dinding yang berdetak
Kami mati muda. Yang tinggal tulang diliputi debu
Kenang, kenanglah kami

Kami sudah coba apa yang kami bisa


Tapi kerja belum selesai,
Belum bisa memperhitungkan arti 4-5 ribu nyawa

Kami cuma tulang-tulang berserakan


Tapi adalah kepunyaanmu
Kaulah lagi yang tentukan nilai tulang-tulang berserakan

Atau jiwa kami melayang untuk kemerdekaan kemenangan dan harapan


Atau tidak untuk apa-apa,
Kami tidak tahu, kami tidak lagi bisa berkata
Kaulah sekarang yang berkata

Kami bicara padamu dalam hening di malam sepi


Jika ada rasa hampa dan jam dinding yang berdetak

Kenang, kenanglah kami


Teruskan, teruskan jiwa kami
Menjaga Bung Karno
menjaga Bung Hatta
menjaga Bung Sjahrir

Kami sekarang mayat


Berikan kami arti
Berjagalah terus di garis batas pernyataan dan impian
Kenang, kenanglah kami
yang tinggal tulang-tulang diliputi debu
Beribu kami terbaring antara Karawang-Bekasi

2. SAJAK SEBATANG LISONG


Karya W.S. Rendra

Menghisap sebatang lisong


melihat Indonesia Raya,
mendengar 130 juta rakyat,
dan di langit
dua tiga cukong mengangkang,
berak di atas kepala mereka

Matahari terbit.
Fajar tiba.
Dan aku melihat delapan juta kanak-kanak
tanpa pendidikan.

Aku bertanya,
tetapi pertanyaan-pertanyaanku
membentur meja kekuasaan yang macet,
dan papantulis-papantulis para pendidik
yang terlepas dari persoalan kehidupan.

Delapan juta kanak-kanak


menghadapi satu jalan panjang,
tanpa pilihan,
tanpa pepohonan,
tanpa dangau persinggahan,
tanpa ada bayangan ujungnya.

Menghisap udara
yang disemprot deodorant,
aku melihat sarjana-sarjana menganggur
berpeluh di jalan raya;
aku melihat wanita bunting
antri uang pensiun.

Dan di langit;
Para tekhnokrat berkata :

Bahwa bangsa kita adalah malas,


Bahwa bangsa mesti dibangun;
Mesti di-up-grade
Disesuaikan dengan teknologi yang diimpor

Gunung-gunung menjulang.
Langit pesta warna di dalam senjakala
Dan aku melihat
Protes-protes yang terpendam,
Terhimpit di bawah tilam.
Aku bertanya,
Tetapi pertanyaanku
Membentur jidat penyair-penyair salon,
Yang bersajak tentang anggur dan rembulan,
Sementara ketidakadilan terjadi di sampingnya
Dan delapan juta kanak-kanak tanpa pendidikan
Termangu-mangu di kaki dewi kesenian.

Bunga-bunga bangsa tahun depan


Berkunang-kunang pandang matanya,
Di bawah iklan berlampu neon,
Berjuta-juta harapan ibu dan bapak
Menjadi gemalau suara yang kacau,
Menjadi karang di bawah muka samodra.

Kita harus berhenti membeli rumus-rumus asing.


Diktat-diktat hanya boleh memberi metode,
Tetapi kita sendiri mesti merumuskan keadaan.
Kita mesti keluar ke jalan raya,
Keluar ke desa-desa,
Mencatat sendiri semua gejala,
Dan menghayati persoalan yang nyata.

Inilah sajakku
Pamplet masa darurat.
Apakah artinya kesenian,
Bila terpisah dari derita lingkungan.
Apakah artinya berpikir,
Bila terpisah dari masalah kehidupan.

3. SUARA MALAM
Karya: Chairil Anwar

Dunia badai dan topan


Manusia mengingatkan, "Kebakaran di Hutan"
Jadi ke mana
Untuk damai dan reda?
Mati.
Barang kali ini diam kaku saja
dengan ketenangan selama bersatu
mengatasi suka dan duka
kekebalan terhadap debu dan nafsu.
Berbaring tak sedar
Seperti kapal pecah di dasar lautan
jemu dipukul ombak besar.
Atau ini.
Peleburan dalam Tiada
dan sekali akan menghadap cahaya.
.......................................................
Ya Allah! Badanku terbakar — segala samar.
Aku sudah melewati batas.
Kembali? Pintu tertutup dengan keras.

4. CERMIN
Karya: Acep Zamzam Noor

Aku bercermin pada lautmu


Laut yang tak lagi biru
Aku bercermin pada langitmu
Langit yang tak lagi beledu
Aku bercermin pada gunungmu
Gunung yang tak lagi anggun
Aku bercermin pada kabutmu
Kabut yang tak lagi ngungun
Aku bercermin pada puncakmu
Puncak yang tak lagi tinggi
Aku bercermin pada kawahmu
Kawah yang tak lagi suci
Aku bercermin pada matamu
Mata yang tak lagi melihat
Aku bercermin pada hatimu
Hati yang tak lagi terlibat

5. PELARIAN
Karya: Charil Anwar

Tak tertahan lagi


Remang miang sengketa di sini.

Dalam lari
Dihempaskannya pintu keras tak berhingga.

Hancur-luluh sepi seketika


Dan paduan dua jiwa.

Dari kelam ke malam


Tertawa-meringis malam menerimanya
Ini batu baru tercampung dalam gelita
"Mau apa? Rayu dan pelupa,
Aku ada! Pilih saja!
Bujuk dibeli?
Atau sungai sunyi?
Mari! Mari!
Turut saja!"

Tak kuasa — terengkam


Ia dicengkam malam.
6. KETAPANG-GILIMANUK
Karya: Acep Zamzam Noor

Bermula dari ombak pasang


Yang menyediakan ruang
Bagi tubuhku
Ulakan air melahirkan kata-kata
Yang berloncatan seperti lidah api

Di paha-paha batu karang


Kata-kata bergerak dan meluap
Aku pun terdesak
Ke sudut sempit selangkanganmu
Yang gelap. Sebuah persetubuhan sunyi
Waktu yang terus menari dan menyanyi
Menciptakan ruang-ruang murni
Di balik ceruk ombak

Tubuh bugilku
Terapung
Di atas tubuhmu yang asin
Burung-burung dan deru angin selat
Menggoreskan jejak lain. Sebuah isyarat
Garis yang ditarik lurus
Dari kaki langit
Tempat cahaya menenggelamkan dirinya di air

Seperti seorang perenang


Aku pun menyelam dan mengembara
Dengan kata-kata liar tangkapanku
Sebuah kelahiran kembali
Yang perih
Kesunyian tiada tara
Perjalanan dari biru menuju jingga
Sebelum kata-kata saktiku akan tercipta
Dari derita

7. DOA SEORANG SERDADU SEBLUM PERANG


Karya: W.S. Rendra

Tuhanku
Wajahmu membayang di kota terbakar
Dan firmanmu terguris di atas ribuan
Kuburan yang dangkal

Anak menangis kehilangan bapa


Tanah sepi kehilangan lelakinya
Bukannya benih yang disebar di bumi subur ini
tapi bangkai dan wajah mati yang sia-sia

Apabila malam turun nanti


sempurnalah sudah warna dosa
dan mesiu kembali lagi bicara
Waktu itu, Tuhanku,
perkenankan aku membunuh
perkenankan aku menusukkan sangkurku

Malam dan wajahku


adalah satu warna
Dosa dan nafasku
adalah satu udara.
Tak ada lagi pilihan
kecuali menyadari
-biarpun bersama penyesalan-

Anda mungkin juga menyukai