AKU
Waktu jalan. Aku tidak tahu apa nasib waktu ? Rumahku dari unggun-timbun sajak
Pemuda-pemuda yang lincah yang tua-tua keras, Kaca jernih dari luar segala nampak
bermata tajam Kulari dari gedong lebar halaman
Mimpinya kemerdekaan bintang-bintangnya Aku tersesat tak dapat jalan
kepastian ada di sisiku selama menjaga daerah mati Kemah kudirikan ketika senjakala
ini Di pagi terbang entah ke mana
Aku suka pada mereka yang berani hidup Rumahku dari unggun-timbun sajak
Aku suka pada mereka yang masuk menemu malam Di sini aku berbini dan beranak
Malam yang berwangi mimpi, terlucut debu Rasanya lama lagi, tapi datangnya datang
Waktu jalan. Aku tidak tahu apa nasib waktu! Aku tidak lagi meraih petang
Biar berleleran kata manis madu
Jika menagih yang satu
Aku berpikir: Bulan inikah yang membikin dingin, Sepi di luar. Sepi menekan mendesak.
Jadi pucat rumah dan kaku pohonan? Lurus kaku pohonan. Tak bergerak
Sekali ini aku terlalu sangat dapat jawab kepingin: Sampai ke puncak. Sepi memagut,
Eh, ada bocah cilik main kejaran dengan bayangan! Tak satu kuasa melepas-renggut
Segala menanti. Menanti. Menanti.
Sepi.
Krawang – Bekasi
Tambah ini menanti jadi mencekik
Karya: Chairil Anwar Memberat-mencekung punda
Sampai binasa segala. Belum apa-apa
Kami yang kini terbaring antara Krawang-Bekasi Udara bertuba. Setan bertempik
tidak bisa teriak “Merdeka” dan angkat senjata lagi. Ini sepi terus ada. Dan menanti.
Tapi siapakah yang tidak lagi mendengar deru kami,
terbayang kami maju dan mendegap hati ?