Anda di halaman 1dari 8

Puisi Syamsul Bahri

Di Timur Sekolah

: Alina

1.49/

Kau sengaja menanggalkan guratan-guratan itu

Pada separuh wajah puisi,

Ia mulai membelengguku, Atha!

Menerjemahkan sebuah pelukan dan Ode pada dentum salat maghrib

Malam menyergapku dan aku tersungkur pada serekah senyummu

Telah kau kirim anggun bayang itu merasuk diingatan

Menjelma teriakan, merah

Sewarna cinta dan darah

Aku menunggunya jadi hijau

Namun ia tak pernah terjangkau

Tak ada sebab dalam pertemuan ini

tapi kemuliaan tuturmu adalah sebuah mantra

bahasa-bahasa bunga

membuatku gagal menawar rindu

membilang segala ruwatan tentang dirimu.

pada elegi jingga

di jiwamu.
2.05/

Hanya kali ini, Atha!

Ijinkan aku istirah di taman bunga milikmu

Sebagai tubuh yang hilang dan dipeluk oleh merah dupa

dan doa-doa menjulur dari lidah sang pengembara

biarlah, pahit-getir sejarah

yang mampu menghapus segala kepahitan

pada ujung rona merah bibirmu

aku bisa mengecup biru kesedihan

menjelma kesunyian

yang menghampirimu

setiap tanda-tanda

pada wajah bulan di hari ke sebelas.

Di sebelah timur bangunan,

Kau menangis dengan air mata darah

Inginku usap luka-lara itu

tapi kau memilih mengalir

sampai pada tetes terakhir darah itu

2021-2022
Di Batas Dermaga

dengan lingkar perut

dari pintu yang seinci lagi

menolak hancur dari pagar rerumputan

Nasib ada di setiap telapak tangan

Aku menjelma menjadi matahari

Yang akan selalu menyirami dengan Cahaya ke tubuhmu

Laki-laki tabah dan berkepala batu

Bersandar pada dinding waktu

Yang menggurat persoalan tentang aib dan Nasib

Yang mengultuskan atas nama Tuhan

Dari bawah jendela tidurku

Aku lihat seonggok tubuh yang kehilangan ingatannya

Bagaimana ia bertanya tentang irama

Yang melantun di sore itu

Dengan ditemani yang mengetuk pintu-pintu peruntungan

Suaranya panas

Hingga terjaga dan tak bisa terpejam

Hanyalah aku yang bisa kau tulis

Epitaph di kuburanku yang sepi

Peziarah kehilangan arahnya


Mungkin sangat mudah bicara dengan bunga dan dara

Tangan berada di atas tangan yang lain

Tapi ketika topeng Tasshiki telah kukenakan, duka seperti apa yang kau minta?

Kau bahkan tak sudi bila kulirik dari samping kanan

Tapi di sini halamanku yang hijau

Kau bisa jatuhkan namamu

Menangislah, jika nama itu tak akan Kembali seperti tak akan Kembali seperti sedia kala

Dan tertawalah sampai kau lupa

Dan menangislah ketika kau merasa Bahagia

Yogyakarta, 10 April 2023.

Irama Nelangsa

Dari kerling matamu,

Aku masuk dalam lorong itu

Tak ada cahaya atau suara

Aku tersesat dalam nyanyian bisu

Dalam irama nelangsa

Sampai pada akhirnya, aku menulis

Sajak ini dengan beribu bayang jemalamu

Senyum yang menggurat

Dan pemeluk rindu yang ulung


Tak bisakah kau lepas dalam rona yang mencekam itu

Aku tak bisa melihatnya

Walau aku meminjam waktu hanya sedetik saja?

Yogyakarta, 2023

Stasiun Mimpi

Sepasang sepatu yang tergeletak

Di atas pasir pantai

Kaki-kaki telanjang itu

Menari-nari di bibir pantai yang basah

Burung-burung dating dan terbang

Di atas kepalaku, kau menatapku dengan dalam

Seperti memasuki terowongan gelap yang taka da ujungnya

Aku terhisap ke dalam lubang hitam itu

Tak ada cahaya sedikitpun

Aku terpenjara di dalam ingatanmu

Marka jalan yang kau beri hanyalah

Ilusi bagiku tuku ke luar dari

Kungkungan itu

Maka, aku takluk dan tunduk dalam


Terjemah pelukmu

Kita menari dalam siraman cahaya Mentari

Cinta kita bertaut dalam gelombang laut

Telah ku tandaskan air kesunyian malam itu

Kau meninggalkanku dengan sisa dingin di ujung bibirku

Dengan wangi parfum seperti lebah yang menyengat pada hidungku

Aku mengunyah lebih dari tiga kali

Rasanya pahit. Persis seperti ciuman pertamamu

Apakah aku terlalu menjadi malam bagimu?

Yang sedari dulu membuatmu hampa dan dingin

Mungkin kau perlu selimut atau?

Kau perlu sesuatu yang dapat kau rebah

Setiap racauan itu datang padauk

Aku tak bisa membukanya lebar-lebar

Aku tak bisa mencumbu bau busuk itu

Kau sebenarnya menyembunyikan apa dariku?

Aku hanya ingin kau berada di suatu warna yang membuatku tak cemas

Aku melupakan nama-nama benda yang telah kau berikan padaku kala itu

Kau berikan aku dinding pembatas yang amat tinggi

Di sana terlihat banyak sekali coretan-coretan masa lalumu


Kau berikan aku juga rupa-rupa wajah yang aku sendiri tak mengenalinya

Telah kau belit suaraku dengan rantai

Yang mengelilingi lidah dan tanganku

Hingga aku tak layak jika aku menertawainya

Memang, tertawaku nyaring

Tapi itu yang membuatmu tumbuh bunga-bunga di dadamu

Kau hantarkan aku pada stasiun mimpimu

Kau hantarkan aku pada kesedihan yang kau buat sedemikian rupa

Kau tak pernah duduk bersamaku

Kau hanya menjadi masinis yang takt ahu arah tujuan akhirmu

Apakah kita bisa bersimpul seperti sepasang sepatu yang sedang kita pakai ini/

Yogyakarta, 12/05/2023

Dompet

Pandanganku seketika melebur,

Mengapur bersama angin yang berarak dari segala penjuruh arah

Dengan leher yang dibelit nasib suram, kau tawarkan lagi mimpi-mimpi itu?

Terpasung dalam detak jantung dan waktu


Kala itu rasa rindu selalu menggebu

Terhadap sesuatu yang berkaitan denganmu

Aku dibesarkan oleh waktu yang bisu

Membuat tubuh ini kuat sekaligus lemah

Ia hanya sekali datang; mudah yang susah

Dan noda hitam yang ada di hatimu itu aku

Kau mungkin tak percaya dengan omongan

Yang sedikit berbusa ini

Prasangka itu akan selalu datang dan pergi

Tak lupa aku membawanya

Dalam keheningan yang kau ciptakan padaku

Di lemari aku simpan dompetmu

Ia telah kusam karena dimakan oleh zaman

Tak ada yang bermakna di situ

Kau pikir kenangan akan terselip di situ?Tidak, kau lupa telah membuangnya sebelum malam
terakhir itu?

Yogyakarta, 29/06/2023

Biodata Penulis

Syamsul bahri, lahir di Subang dan sekarang tinggal di Yogyakarta. Sajak-sajaknya pernah
tersiar di berbegai platform media daring dan luring. Bisa disapa melewati IG:
@dandelion_1922

Anda mungkin juga menyukai