Anda di halaman 1dari 5

[Cerpen] Riwayat Hujan

“Tidak ada yang salah dengan cinta, Ken. Yang salah barangkali adalah kita yang selalu berusaha
mendefinisikan dan mengkotak-kotakkannya tiada henti, dari hari ke hari,” matamu mengeja hujan di
luar yang berlari-lari liar, sementara tanganmu menggenggam sebuah kunci kamar.

“Aku harus pergi,” kemudian secepat kilat engkau melesat, membelah hujan. Tak menyisakan sedetik
pun waktu untukku mencegah langkahmu.          

Ay, malamku sempurna hitam, penuh arsiran legam saat tubuhmu beranjak dari ambang pintu. Menuju
kelam, dan hujan di luar. Bau parfummu masih tercium di dalam ruang, mengajakku menziarahi tawa
yang bergelimpangan. Bahkan helai-helai rambutmu tersisa di atas bantal sofa.

Malam menjadi begitu asing, begitu genting. Kita berdua menjadi sepasang kunang-kunang di beranda
tempat peribadatan dan harus melulu berkelit dari rajaman. Tapi sesakit apakah mencintai kamu, Ay?
Setikam apakah merindukan kamu? 

Diam-diam, masih diam-diam. Kusebut namamu di belantara doa yang begitu lelap. Kurapal wajah dan
tubuhmu di baris sajak-sajak. Agar mengabadi engkau di sini, di dalam dadaku.

Sedetik yang lalu aku adalah laki-laki yang sedang jatuh cinta, di detik kemudian aku berubah menjadi
tak merasakan apa-apa. Ada yang hampa, ada yang tak mungkin kusua. Lalu ke mana cinta bermuara?
Ke mana seluruh rasa sakit meniada? Akan lebih baik jika dadaku berdarah, bernanah, mulutku
berteriak mengeluarkan berbagai macam kelepak amarah. Akan lebih baik tanganku berontak, kakiku
menjejak-jejak. Tapi tidak, tidak ada. 
Ay … hujan membawamu pergi, semoga kelak hujan yang sama membawamu kembali.
*
          
  “Tetaplah bersamaku, Ay,” mataku menatap manik matamu. Di bawah senja kota yang sarat polutan
dan debu kendaraan di Jalan Djunjunan, aku merapal satu-satunya kata cinta yang kutahu.

“Andaikan aku bisa,” tanganmu gelagapan, bibirmu bergetar-getar.

Kenapa pernyataan cinta saja bisa begitu menyedihkan? Bisa begitu mendidihkan perasaan? Tidakkah
seharusnya cinta disambut dengan semringah dan tepuk tangan meriah?

Aku sedang membayangkan sepasang kekasih yang tangannya saling menggenggam seperti di film-
film roman ketika bahumu berguncang. Cokelat panas yang tadi kaupesan mulai mendingin di dalam
cangkir. Cangkir yang kaugenggam erat dengan getar yang semakin hebat.

“Jangan menangis,” bisikku.

Seharusnya aku segera pindah duduk ke sampingmu, kemudian merengkuh kamu dalam pelukanku.
Seharusnya aku menggenggam tangan getarmu, menenangkan kamu dengan kalimat-kalimat
penghiburan yang aku tahu. Tapi hanya bisik itulah yang mampu keluar, sebab orang-orang mulai
menatap kita dengan nanar dan liar.

“Ay … kumohon jangan menangis,” bisikku lagi.


Kepalamu menggeleng kuat-kuat. “Jangan jatuh cinta kepadaku, Ken,” kau menggumam.

Apa kau tahu? Bagaimana sulitnya menyetir hati agar berderap ke arah yang diinginkan kepala kita,
Ay? Aku lebih baik jadi Sisifus yang mendorong batu ke puncak bukit seumur hidup daripada harus
mengingkari debar yang kupunya untukmu.

“Tapi aku jatuh cin ….”

“Jangan!” kau memotong kalimatku cepat. “Jangan …” kepalamu kembali menggeleng kuat.

“Ay … dengarkan aku,” jemariku berlayar ke pipimu. “Andaikan aku bisa memilihkan takdir untuk
cintaku sendiri, mungkin aku akan memilih untuk mencintai orang lain saja. Tapi seperti yang kita
tahu, cinta memiliki takdirnya sendiri, menyetir kita berdua seperti dua perahu yang diseret gelombang.
Kita tak pernah tahu akan ke mana kita sampai.”

“Ken, aku tidak pantas dicintai oleh kamu,” katamu.

“Berhentilah mengkotak-kotakkan cinta, berhentilah memasang jeruji di dalam asmara, Ay. Cinta ya
cinta, pantas atau tidak, layak atau tidak. Cinta tidak akan berubah,” kataku. Walau aku sendiri tak
yakin dengan semua kalimat yang berloncatan itu.

Bukannya berhenti, kamu malah semakin tersedu, senja seketika berubah biru.
Padahal, apa yang salah dengan saling mencinta? Tahukah kau? Toh kita tidak sedang melakukan apa
pun kecuali duduk di bangku-bangku di pelataran pusat perbelanjaan ini. Kita hanya duduk, menikmati
senja, uar roti panas, dan secangkir cokelat hangat. Dan tentu saja, dengan debar di dada yang semakin
hebat. Tidak ada yang salah dengan itu, bukan?

“Jangan cintai, aku ...” kau kembali bergumam.

“Lalu bagaimana dengan kamu? Cintakah kamu padaku?” wajahku getas, suaraku layaknya gemerisik
kertas di tengah sunyi yang renggas.

Kau mendongak. Tak usah kau jawab, Ay. Matamu telah mengatakan apa saja yang tak akan keluar
dari bibirmu. Kau … juga jatuh, kepadaku.

“Mari kuantar kamu pulang,” kataku ketika tak ada lagi kata-kata yang sanggup kita rapal.

“Tidak usah, terima kasih. Aku pulang sendiri saja,” kau segera menolak, lalu beranjak. Aku pun
berjalan gontai, menuju arah yang berlawanan.

Engkau selalu menjadi hantu dalam tidurku, Ken.

Larik pesanmu dahulu kembali terngiang. Ah, Ay …. Tidur adalah juga riwayat, cerita-cerita tentang
ritual purba ketika tangan-tangan angin memeluk tubuh kemudian berakhir dengan jenuh. Dan aku
kembali berbaring dalam gigil, karena mimpi alpa untuk mampir. Sehingga aku dirajam keterjagaan,
dibebat keinginan demi keinginan. Ketika kenyataan tak sesuai dengan apa pun yang kita harapkan.
*
“Andai kita bertemu dan saling jatuh cinta bertahun-tahun yang lalu, sebelum keadaan tidak sebegitu
suram,” katamu di malam terakhir kita bertemu.

Aku tahu, untuk sampai kepadaku, dirimu telah berjuang dengan kebohongan-kebohongan,
menasbihkan pembenaran di dada kita masing-masing agar kebersamaan tidak sedemikian asing.
Sementara aku, untuk sampai kepadamu tidak harus melewati onak, barangkali hanya debur riuh, itu
pun dari dadaku sendiri. Aku hanya perlu keluar dari kamar kos, turun ke jalan, menyambutmu datang,
lalu sampai kepadamu. Kau, Ay …. Harus mengarang banyak alasan, harus berjibaku dengan jawaban
atas beragam pertanyaan. Pertanyaan yang dilontarkan orang-orang, pertanyaan yang dilontarkan oleh
tunanganmu.

“Kita tidak bisa memutar waktu, Ay. Pun tidak bisa mengekang keadaan sehingga sesuai dengan apa
yang kita harapkan,” aku menunduk, memandangi ujung kuku yang tadi kau potongi.

“Andai aku tidak menyetujui lamaran orang tua Yusuf, andai aku lebih mengenalmu sewaktu kita
sama-sama di SMU dulu. Andai kita memutuskan untuk saling jatuh cinta sejak dulu, bukan sekarang,
bukan saat ini,” suaramu berubah dingin.

“Mungkin cinta hanya mengambil jalan memutar,” aku tenggelam ke dalam berbagai andai yang kau
sebutkan.

“Jalan berputar yang begitu jauh,” matamu beralih kepada debar layar kaca tak jauh dari sofa.

Entahlah, Ay. Aku sendiri tak mampu menerka jarak perjalanan hidup kita. Lagipula, bukankah cinta
datang secara tiba-tiba dan tanpa dipaksa? Kita pun tak tahu kapan ia datang. Yang kita tahu, tiba-tiba
saja kita berdua telah dibuat mabuk olehnya.
“Kapan kita pertama kali bertemu kembali?” tanyamu tiba-tiba.

“Sore di tengah gerimis di bulan September, empat minggu yang lalu,” jawabku.

Engkau terdiam, matamu menerawang, mungkin memandangi sudut dinding tempat laba-laba
bersarang, atau mungkin tenggelam ke dalam kenang.

Ya, aku masih ingat, waktu itu di tengah serbuk gerimis kau berlari kecil, menyebrangi tempat parkir,
menujuku yang tengah menunggu di bawah tingkap pusat perbelanjaan. Engkau tersenyum canggung,
ragu-ragu mengulurkan tangan sementara sebelah tanganmu kalut merapikan rambut. Kau nyaris
kuyup, tapi wajahmu semringah tanpa kabut.

Sebelum itu kita memang sudah sering bertukar pesan di telepon genggam, berbagi catatan demi
catatan di media sosial. Engkau penulis, mudah saja bagimu menanak kata-kata hingga matang dan kau
suguhkan ke dalam catatan. Sementara aku? Aku harus mengais-ngais segala pelajaran, semua tentang
teknis mengolah pesan agar kata-kata tidak lagi tersendat melainkan berlarian. Aku hanya mahasiswa
biasa, tanpa keahlian apa-apa.

“Dan kapan tepatnya kita mulai merasa saling jatuh cinta?” pertanyaanmu melemparkan aku kembali
dari lamunan.
“Mungkin …” aku berhenti sebentar. “Sejak aku menyatakan cinta di pelataran pusat perbelanjaan
waktu itu, waktu kamu menangis dan mengatakan supaya aku jangan jatuh cinta padamu. Lalu setelah
itu kamu pulang.”

“Tidak, sepertinya lebih lama dari itu. Ken,” kau menggenggam tanganku. “Cobalah mengingat. Kapan
tepatnya kita mulai jatuh cinta? Aku hanya ingin mengurai, sejak kapan kita mulai tersesat.”

Tolong jangan paksa aku mengais-ngais kembali gorong-gorong rasa sakit, Ay. Jatuh cinta kepadamu
tidak mudah, pun menghitung detik-detik ketika merindukanmu. Lalu aku harus mulai dari mana?
Mungkin sejak kita bertemu kembali di dunia maya setelah bertahun-tahun dipisahkan rentang jarak.
Mungkin sejak pesan-pesanmu sampai, sejak catatan-catatanmu bersemai. Atau sejak suaramu kerap
membingkai telinga pada malam-malam yang temaram. Barangkali juga sejak waktu itu, ketika kita
pertama kali bertemu kembali dan kau menghadiahkan bingkai berisi bunga kering dan daun-daun yang
kau rangkai sendiri.

Sejak saat itukah? Aku tak tahu pasti, Ay. Yang aku tahu pelupuk mataku tak hanya berisi pesan dan
catatan-catatan, melainkan juga berisi derai tawa dan binar mata. Binar matamu.

“Aku jatuh cinta kepadamu sejak aku memberikan bingkai itu,” nah kan, akhirnya kau mengaku bahwa
kau juga jatuh cinta kepadaku.

“Kenapa?” kutelusuri matamu, mencari kebenaran, mencari pembenaran.

Kau menggedikkan bahu. “Bukankah cinta tidak memerlukan alasan? Persis seperti katamu. Cinta ya
cinta, jatuh begitu saja. Lalu kenapa kamu mencintai aku?” kau mengajukan pertanyaan yang sama.

“Hanya mengikuti jalur nasib, hanya mengikuti debar-debar di dada,” jawabku asal-asalan.

Kau tertawa, renyah. “Aku yang penulis, kenapa justru kamu yang puitis?”

Cinta bisa menyulap siapa pun menjadi penulis dan puitis, Ay. Aku tidak perlu menjadi Neruda atau
Gibran hanya untuk merayumu. Aku mengangkat bahu. “Mungkin karena aku terlalu sering membaca
dan mengoleksi catatan-catatan facebook-mu.”

“Kita telah terlalu jauh tersesat,” tiba-tiba suaramu tercekat. Tawamu yang barusan berjatuhan hilang,
berganti kembali menjadi muram.

“Lalu di mana jalan pulang yang benar?” aku tersenyum, sinis dan miris.

Kau mendengus, matamu menghunjam mataku dengan tatapan penuh hunus. Ada gelegak amarah yang
barangkali sebentar lagi akan tumpah. “Apa sebaiknya kita berhenti bertemu? Aku tak bisa terus-
menerus begini, menemuimu secara sembunyi-sembunyi, berusaha menahan nyeri,” kau menggigit
bibir.

Aku tertawa, terbahak-bahak, seperti orang gila. Apakah kalimatmu benar-benar berasal dari pikiran
paling benar dan nalar?

“Cinta tak dapat dikekang, Ay. Tidak semudah itu,” akhirnya aku berhenti tertawa setelah kau meninju
bahuku.
“Lalu apa yang harus kita lakukan? Aku tak bisa begitu saja membatalkan pertunangan hanya karena
mencintai kamu, laki-laki yang berasal dari masa lalu.”

“Mungkin kita memang tak harus bertemu waktu itu,” ujarku, mulai kehabisan kata-kata.

“Mungkin kita tak harus bertemu lagi nanti,” kemudian kau mencangklongkan tas, bangkit dari sofa
dan bersiap pergi.

“Apa yang salah dengan cinta?” aku ikut bangkit, berusaha mencegahmu pergi. “Apa yang salah
dengan mencintai kamu?”

“Tidak ada yang salah dengan cinta, Ken. Yang salah barangkali adalah kita yang selalu berusaha
mendefinisikan dan mengkotak-kotakannya tiada henti, dari hari ke hari,” matamu mengeja hujan di
luar yang berlari-lari liar, sementara tanganmu menggenggam sebuah kunci kamar.

“Aku harus pergi,” kemudian secepat kilat engkau melesat, membelah hujan. Tak menyisakan sedetik
pun waktu untukku mencegah langkahmu.          
*         
Selalu saja ada yang berdetak hebat ketika tanggal di kalender perlahan menyelusup, diam-diam
berhembus dan menggusur hari semakin jauh. Aku kerap tidak pernah beranjak dari jalan itu, tercekam
keramaian tapi tetap saja merasa sendirian. Sesakit apakah harus mencintaimu?

Jika saja, ya jika saja aku diberi kekuasaan untuk membunuh waktu, maka saat itu juga akan kutikam
detik agar ia berhenti berderik. Akan aku ganjal semesta supaya tak usah berputar. Agar aku akan
terkapar selamanya di senyummu, lirik matamu, dan tawa tertahanmu. Tapi imaji dibuat untuk selalu
dikhianati, Ay. Begitupun aku, terlebih lagi kamu.

Aku tenggelam dalam jutaan kata jika dan andai saja. Sama seperti kamu dahulu. Tahukah kau bahwa
betapa cekam segala risau yang menikam ketika hujan akhirnya berhenti dan engkau harus pergi? Aku
ingin hujan bertahun turun agar kau tak harus pulang. Tapi kenyataan selalu saja lebih menyakitkan
dari impian paling liar, bukan?

Hujan itu, senja itu, jalan itu, dan tanggal di penghujung musim itu adalah stasi yang tak akan lagi kita
miliki. Sebab aku, juga kamu, telah sama-sama menolak untuk bertolak. Bahkan ketika cinta berteriak
di dalam kotak. Ketika asmara ingin berlari dan mendobrak.

Namun, Ay. Aku akan selalu kembali ke jalan itu, ke tanggal itu. Demi segala kenang, riwayat, dan
sejarah yang telah kita rajahkan di atas trotoar. Aku menunggu, semoga hujan tidak usah reda dan
engkau akan selalu bergelung di dalam dada, meski hanya sebatas sebuah nama.

Ayesha ....

Anda mungkin juga menyukai