Anda di halaman 1dari 5

ELEGI 14 FEBRUARI

Sesaat setelah aku berhasil menggapai setitik cahaya di ujung lorong itu, aku
menemukan seraut wajah berkalang duka, duduk bersimpuh di depan sesosok tubuh
membeku. Kamu. Ya, Kamu yang selama dua tahun ini menjadi bagian dari
hembusan napasku. Sebelum…..Ah, kulihat sungai mengalir dari ujung matamu.
Mungkin hari ini akan menjadi hari terakhir aku melihatmu.
Aku merogoh kantung-kantung masa lalu. Ah, kamu masih ada di situ.
Senyumku mengembang mengenang semua hal yang pernah kita lakukan bersama.
Saat kamu menjadi hembusan napasku. Sesuatu yang mungkin tak akan pernah lagi
kutemukan setelah hari ini.
Kita bertemu dua tahun yang lalu. Saat aku berjuang menaklukkan letih dan
sara putus asaku. Saat napasku satu-satu, meniti setapak yang menanjak, membelah
hutan, menyeberangi savana, melintasi danau, merayapi bebatuan di lereng-lereng
Semeru.
Aku satu-satunya wanita di antara ketiga temanku yang kesemuanya laki-laki.
Sementara, kamu hanya seorang diri. Aku memang terbiasa mendaki gunung.
Menikmati sentuhan tangan-tangan ilahi pada pepohonan, bebatuan, riak mata air,
kicau burung, lenguh angin, letup kawah dan cakrawala ketika fajar dan senja
mementaskan teater jingga, menjadi akhir dan awal kembara hari sang bagaskara.
Tapi, baru kali itu, kulihat seseorang melakukan pendakian seorang diri. Apalagi
mendaki ke Mahameru, yang merupakan gunung tertinggi di Pulau Jawa. Ah, kamu
langsung membuatku kagum saat itu.
Arloji di pergelangan tanganku menunjuk angka 2, saat itu aku dan ketiga
temanku meninggalkan Arcopodo, menuju Puncak Semeru. Kulihat kamu berada
beberapa langkah di belakang. Butuh waktu tiga sampai empat jam untuk dapat tiba
di Mahameru dari Arcopodo yang merupakan batas vegetasi, itu yang dikatakan
teman-temanku.
Kabut memagut. Menusuk. Melesakkan butir-butir embun sampai ke tulang.
Menggigilkan. Pelan-pelan, aku pijaki batuan pasir yang mudah menggelincir. Dan
kulihat di belakang, kamu, sesekali terpaksa harus menghindar dari runtuhan kerikil
yang kupijaki.
Setelah dua jam berjalan nyaris tanpa istirahat yang berarti, langkahku mulai
tertinggal beberapa kaki di belakang ketiga temanku. “Jalan aja terus! Aku gak apa-
apa!” aku meneriaki ketiga temanku yang tak sabar menungguku yang mulai
kepayahan.
“Air?” kamu tawarkan botol minumanmu kepadaku.
“Wah, kebetulan!” aku ambil botol air mineral dari tanganmu. Lalu bagai
huma yang merindukan renik hujan, kutuang sebotol air mineral ke dalam
kerongkonganku yang melepuh.
“Ups….habis….”, aku meringis menanti reaksi darimu.
Segaris senyum terbit di raut letihmu. Ah, senyum itu…rasanya tak rela kalau
harus melupakan senyum itu untuk selamanya. Apakah di sana, aku akan bisa
menikmati senyummu itu? Entahlah.
“Lanjut?” tantangmu
“Siapa takut!” aku menukas.
Lalu, kita melanjutkan pendakian.
“Masih berapa lama lagi?”
“Kalau nggak terlalu banyak istirahat, gak lebih dari sejam ita sudah sampai
ke Mahameru untuk menyaksikan sunrise.”
“Wah….masih cukup jauh, ya? Ini pendakian pertamaku ke Semeru.”
“Kenapa? Mau menyerah?” godamu.
“No retreat! No surrender!” jawabku tegas.
Ada kagum di binar matamu, saat aku mengatakan itu.
“Tapi….”
“Kenapa lagi?”
“Masih punya air?”
“Tenang aja, masih ada beberapa botol lagi.”
“Yes! Aman.” Kataku. Ah, lagi-lagi kamu mempertontonkan senyummu itu.
Teja sempurna membakar cakrawala. Menyemburat. Mengurai mega yang
arak berarak. Setelah tiga jam lebih, berjalan dari Arcopodo, kita berhasil
menyinggahi puncak Mahameru, dataran tertinggi di Pulau Jawa.
Tak ada kata-kata yang keluar dari mulutku. Sebab aku tak menemukan kata-
kata yang tepat untuk melukiskan keindahan yang membentang di pelupuk mataku.
Tak berdaya dengan kamu. Meski waktu itu, kau katakan kepadaku, perjalanan itu
merupakan kali kedua kamu menjejakkan kaki di puncak itu.
Dan tanpa kusadari, aku telah berada di dalam dekapanmu. Kita seperti
sepasang merpati berhati renjana.
Lucu, memang. Kita bahkan belum saling menyebutkan nama. Padahal,
sepanjang sisa pendakian saat itu, kita banyak bertukar cerita. Tapi, kita malah lupa
saling memperkenalkan nama kita. Kalau saja ketiga temanku yang sudah lebih dulu
sampai tidak mengerumuni kita dengan mata-mata yang memeram ribuan tanda
tanya, mungkin kita tak akan pernah menyadari, kita memang belum saling
berkenalan secara resmi. Kita begitu terbawa suasana.
“Eh, so…sori…”, kataku dengan rona muka yang memerah dadu, serupa
dengan wajahmu saat itu. Lalu, kita sama-sama terjebak dalam kekakuan yang
membingungkan. Celetukan-celetukan jahil segera berhamburan dari mulut ketiga
temanku.
“Sendirian?” tanya Janu salah seorang temanku yang berwajah oriental,
mencairkan kebekuan.
“Berdua dengan proter”, katamu. “Dia nunggu di Arcopodo.”
Setelah itu, baru kita saling berkenalan. Dan tentunya, tak lupa kita juga saling
memperkenalkan nama kita masing-masing. Ha ha ha….
Ah, aku selalu tak mampu menahan tawa setiap kali terkenang awal
pertemuan kita….
Aku tak membutuhkan waktu lama untuk menyadari, bahwasanya cinta telah
menentukan pilihannya. Kubiarkan kepak sayap-sayap cinta menerbangkan kepingan
hatiku yang renjana.
Hanya beberapa saat kamu tiba di rumahmu, kamu menelponku. Aku sendiri
yang mengangkat telepon darimu itu. Kamu katakan kepadaku, kamu bahkan belum
bertemu dengan kedua orangtuamu. Dan seperti tak mau membuang waktu, kau
ungkapkan sesuatu yang membuat aku sangat terkejut saat itu. Kamu katakan
kepadaku, “Aku mencintaimu!”
Tak ada kebahagiaan yang melebihi kebahagiaan yang kurasakan saat itu.
Kalau saja tak ada jarak yang memisahkan kita, Aku akan berlari ke rumahmu.
Tapi….pantas gak, ya? Ah, kenapa harus nggak pantas. Yang pasti, aku ingin sekali
bisa menikmati senyummu itu!
Dan mulai detik itu, kamu adalah bagian dari hembusan napasku. Hidup di
organ paru-paruku. Menjelma udara di sekitarku. Menyatu dalam setiap tarikan
napasku. Kapan pun dan di mana pun aku, selama napas ini masih berhembus, kamu
akan selalu ada dalam diriku. Tak peduli ratusan mil jarak yang membentang di
antara kita. Kita akan selalu bersatu, sampai Izrail menemukan nama salah satu di
antara kita tertulis di atas selembar daun yang jatuh di kakinya.
Dua tahun masa yang bahagia. Kalau kebahagiaan memang benar nyata
adanya. Masa yang hampir sempurna. Kesempurnaan yang tentunya tak akan
tersempurnakan kini. Sebab yang tertinggal hanya kegetiran menyaksikan dirimu
menangis memandangi seonggok tubuh membeku yang terbujur di hadapanmu.
Semestinya, ini hari yang sangat bahagia. Sebab pada hari ini, semua orang
merayakan Hari Kasih Sayang. Mungkin dirasa perlu merayakan Hari Kasih
Sayang…semenjak negeri ini terkungkung dalam krisis multidimensi, kasih sayang
jadi serupa mimpi-mimpi yang hanya bisa kita nikmati saat tidur malam. Atau
kehidupan ini memang layaknya mimpi-mimpi? Kalau iya, aku ingin segera bangun
dari tidur dan melupakan mimpi buruk yang sedang kujalani saat ini. Tapi, mana
mungkin….aku tak mungkin mengubah takdir yang telah digariskan.
“Telah kutempuh ratusan mil jarak yang membentang antara Jakarta-
Yogyakarta hanya untuk berbagi kasih sayang di Hari Kasih Sayang, dengan
seseorang yang selama ini menghuni organ paru-paruku, menjelma udara di
sekitarku, menjadi bagian dari hembusan napasku dan menyatu dalam setiap tarikan
napasku. Sebab kau adalah kekasihku.” Begitu yang kau ucapkan di sela-sela
tangismu. Dan itu pula yang menjadi keinginanku. Ah, kalau saja kamu bisa
mendengarku…. Tapi kamu tak mungkin mendengarku. Jadi, aku tak mengatakan
apa-apa kepadamu. Aku hanya diam, sambil menangis. Ya, sambil menangis.
Terkadang keinginan memang tak selalu segaris dengan kenyataan. Kemarin,
Aku masih bisa bermain-main dengan bayangan wajahmu. Berharap dia terlambat
menjemputku. Aku masih ingin merasakan dirimu seutuhnya, bukan dirimu yang
menjelma di udara di sekitarku. Aku ingin menyentuh wajahmu dengan jemariku,
merasakan desah napasmu di telingaku, membenamkan tubuhku ke bidang dadamu,
lalu kita menyatu dalam setiap tarikan napas. Seperti Sam Pek-Eng Tay, kita akan
menjelma sepasang merpati berhati renjana, bercinta di layar jingga cakrawala ketika
fajar memendar dari balik Puncak Mahameru.
Tapi, dia tak mungkin mengundurkannya barang sedetik pun. Karena itu yang
telah ditetapkan-Nya. Dia hanya menjalankan apa yang diperintahkan-Nya. Tak
mungkin membantah. Karena dia memang diciptakan untuk melakukan tugas itu.
Memisahkan nyawa dari raga tiap manusia, ketika telah sampai waktunya tiba.
Ya. Dia yang kumaksud adalah Sang Maut, Izrail ! Hari ini, namaku telah
tertulis di atas selembar daun yang jatuh di kakinya. Dua tahun, aku telah
merahasiakan penyakitku padamu. Sudah lama kanker itu bersarang di otakku. Aku
melakukan itu karena tak mau kamu bersedih. Aku tak sanggup melihat telaga
matamu mengering. Dan kini, harus kubawa rahasia itu ke liang kuburku.
Depo…..akhirnya aku hanya bisa berharap, semoga namaku akan selalu
terpahat di kepingan hatimu. Seperti namamu yang akan selalu terpahat di dinding
pusara hatiku. Maaf, kalau kepergianku yang tanpa permisi, membuat hatimu
merengkah luka.
Sudah ya, Depo…. Awan hitam telah menyelimuti langit di atas kepala. Hujan
sebentar lagi akan tercurah. Seperti air matamu. Seperti air mataku. Yang akan
mengiring kepergianku. Dan itu tandanya kamu harus segera menguburku.
Selamat tinggal !

Anda mungkin juga menyukai