Anda di halaman 1dari 4

Aku, Kau dan Hujan

Cerpen Karangan: Rista Damayanti


Kategori: Cerpen Perpisahan, Cerpen Romantis
Lolos moderasi pada: 10 November 2019

Orang bilang, hujan itu membawa lagu yang hanya bisa dipahami oleh
mereka yang sedang rindu. Ada juga yang beranggapan kalau hujan adalah
waktu yang pas untuk mengenang masa lalu.

Hingga sekarang, aku tidak tahu siapa yang pertama kali menyimpulkan hal
tersebut. Sebagian besar memang benar sih. Mungkin karena situasi
mendukung; udara yang sedikit lembab, harum petrichor yang menyeruak
ditambah tetesan air hujan yang jatuh bagai keping kenangan yang
berhamburan dan menghipnotis pikiran.

Apapun alasannya, aku tetap suka hujan. Aku suka aromanya, mataku tak
bisa lepas menatap butiran-butiran air yang menyentak dedaunan,
menimbulkan suara gemericik yang indah saat beradu dengan tanah dan atap
rumah.

Hujan mengajarkanku banyak hal:


Tentang kenangan.
Harapan.
Dan tentang? seseorang.

Ketika itu, aku sedang duduk di dekat jendela kelas, memperhatikan teman-
teman yang asik main hujan. Saat itulah kau datang menghampiri.
“Hei, Gunung Es.” Sapamu santai.
Aku yang tak ingin diganggu langsung menatapmu jengkel.
‘Just leave me alone!’ Usirku dalam hati.
Tapi kau malah terkikik geli. Tanganmu sigap menarik kursi lalu duduk di
hadapanku.
“Enggak terasa masa SMA kita akan berakhir.” Raut wajahmu mendadak
berubah sendu, manik cokelat muda yang biasa bersinar itu meredup seakan
kehilangan energi.
“Ya,” jawabku singkat melempar pandangan ke arahmu.
Nih orang kenapa sih?

Kau membalas lewat senyum yang dipaksakan, “itu artinya kamu akan bebas
karna aku nggak akan mengusik lagi.”
Kedua sudut bibirku tertarik ke samping, “baguslah kalo gitu.”

Hari-hari akan kulalui dengan nyaman.


Tidak ada panggilan “Gunung Es” lagi,
Tidak ada ocehan menyebalkan
Tidak ada yang akan menggeser posisiku di peringkat kelas.
Tidak ada lagi? dirimu.

Harusnya aku lega, tapi entah mengapa justru setitik kesedihan yang malah
merambat di hati. Semakin banyak seiring lebatnya hujan di luar sana.
Kau tertawa hambar lalu diam beberapa detik untuk mempertemukan
pandangan denganku.

Mulutmu mulai berceloteh lagi, “tau nggak kenapa aku selalu gangguin
kamu?”
Aneh, nada bicaramu terdengar sangat serius dan tatapanmu seperti tak sabar
menunggu jawaban.
“Karena aku aneh.” Jawabku asal.
Kepalamu menggeleng mantap, jari telunjuk dan tengah menaikkan frame
kacamata yang menghiasi wajah tampanmu. “Karena aku ingin melihat
ekspresimu. Tiap hari, kamu selalu memasang wajah datar. Jujur saja, aku
lebih suka kamu marah atau tersenyum dan tertawa lepas karena ulahku. Itu
membuatmu terlihat jauh lebih ‘hidup’… asik bukan menjalani hidup tanpa
topeng? Jadilah diri sendiri, karena ada seseorang yang selalu
menganggapmu berharga,” kau berkata panjang lebar dengan gaya khas.

Aku tak tahu apakah harus senang atau marah mendengarnya.


Namun ada sesuatu yang tak kumengerti, perkataanmu tetiba membuat
dadaku sedikit menghangat. Dan kehangatan itu akhirnya menular ke kedua
pipi tanpa bisa dicegah.
Dapat kulihat wajahmu juga bereaksi sama.

“Mungkin ini terdengar konyol, tapi … boleh aku minta satu hal?” Tanyamu
sedikit kikuk.
Sebelah alisku terangkat, “apa itu?” kataku sedikit penasaran sambil terus
menekan perasaan yang tak mampu dijelaskan lewat apapun.

Menyaksikan semburat merah di wajah seorang pemuda adalah pemandangan


langka bagiku. Begitu menenangkan sekaligus mendebarkan seperti halnya
aroma hujan.

“Tolong jangan lupakan aku. Dan … bisakah kamu menunggu hingga


waktunya tiba?” kau mengucapkannya tanpa ragu dan sialnya aku tak
mendeteksi sinyal kebohongan di bola matamu.
Aku tersedak napas sendiri. Oke, ini membingungkan. Tidak. Tidak. Ini
sangat sangat membingungkan!
Tapi, kenapa?! Kenapa aku malah mengangguk?!
Sh*t! Sh*t! Sh*t!!!! Apa yang kulakukan?!!!!
Aku menggeleng pelan setelah itu menunduk dalam. Berusaha rileks dan
berharap semoga degup jantungku yang makin menggila ini tidak tertangkap
indera pendengaranmu.
Aira, sadar! Dia itu musuhmu!
Ya. Musuh yang tak akan pernah bisa kubenci.

Kau tersenyum samar lalu manikmu melirik keluar, “udah reda. Ayo
pulang!” katamu seraya mengambil tas kemudian berjalan pergi.
“Bagas! T-terima kasih banyak,” akhirnya aku angkat bicara setelah
mengumpulkan keberanian, mengabaikan debaran hebat yang kutahan
setengah mati.

Langkahmu terhenti tepat di depan pintu. Bayang tubuh jangkung itu begitu
kontras kala diterpa sinar mentari senja.
Kau tidak berbalik, tapi aku tahu kau sedang tesenyum lebar sekarang.
Tangan kananmu terangkat dan membentuk isyarat ‘OK’
Kemudian, suara langkahmu perlahan menjauh. Aku hanya terkekeh sembari
meraba pipi.
Panas.

Haha! Lucu rasanya bila mengingat kejadian beberapa tahun silam itu.
Momen terakhir kita berinteraksi. Setelah itu, semua berjalan di dunianya
masing-masing. Benar-benar putus kontak. Hanya lewat sujud panjang dan
hujan saja kita saling menyapa.

Sudahlah … yang penting aku sangat menikmati hujan hari ini dan tak henti-
hentinya tersenyum membaca sebuah pesan di ponsel.

“Minggu depan aku akan datang. Bersama rombongan. Tunggu aku ya!”

END

Cerpen Karangan: Rista Damayanti


Blog: eleanour.blogspot.com
Iam a simple girl
An INTJ type person
Senang diskusi tentang kehidupan, misteri dan psikologi.

Anda mungkin juga menyukai