Aku menatap sendu tubuh ibu yang terbujur kaku. Memori-memori tentangnya
bermunculan tanpa bisa kucegah. Aku ingat semuanya. Aku ingat betul wajah
cantiknya ketika tersenyum. Aku ingat suaranya yang lembut ketika menasihatiku.
Aku ingat, aku ingat, aku…
“HUWAAA!!!” Isakan yang dari tadi kutahan kini meluncur bebas. Mengingat
kenangan bahagia bersama ibu membuatku menyesal. Seharusnya aku tidak
memikirkan hal yang membuat diriku semakin terpukul.
“Eh!” Aku hampir saja terjatuh karena tersandung kerikil berukuran sedang.
Kejadian ini membuat diriku menghentikan tangis, namun satu detik kemudian
aku melanjutkannya.
Aku berjalan menuju tempat mobil kakak di parkirkan. Ketika aku melewati gang,
orang-orang yang ingin berziarah menatapku beberapa saat, dan aku malu
karenanya! Pasti wajahku sekarang sangat kacau! Lantas aku duduk di sebuah batu
besar, berniat menghapus air mata dan merapikan kerudung.
“Pingkan!” Sebuah suara yang tidak asing tertangkap indra pendengaranku. Acara
merapikan kerudungku belum selesai, jadi aku memutuskan mengabaikannya.
“Kamu, lho! Ayo kesana!” Masih dengan suara yang sama, tetapi bedanya suara
itu terdengar semakin dekat.
“Apa?”
Kakak menatapku lekat. “Kamu tahu,” katanya, “di dunia fana ini tak ada yang
abadi. Di tiap momen yang terjadi, bisa jadi momen yang terakhir bagi kita. Kamu
tak akan pernah lebih muda dari sekarang. Kita tak akan pernah mengalami masa
ini lagi. Semua momen yang memiliki akhir itu patut kita syukuri. Ingatkah apa
yang telah ibu katakan kepada kita?”
Aku kembali terdiam sembari mengingat semuanya. Beberapa hari sebelum ibu
meninggalkan kami, ibu mengatakan sesuatu. Akupun memanggil kembali ingatan
tersebut.
“Anak-anakku, Pingkan dan Lisa, kemarilah. Damping ayah kalian.. Ada yang ingin
ibu katakan.” Perintah ibu dengan suaranya yang melemah.
“Ya, bu. Ada apa?” seru kakak dengan suara yang parau.
“Ingatkah yang selalu ibu katakan kepada kalian? Setiap pertemuan pasti ada
perpisahan. Itu mutlak, nak. Bersedih adalah hal yang manusiawi, namun bersikap
tegar adalah pilihan yang sangat bijaksana. Bukankah keluarga harus saling
menguatkan? Kakak dan adik masih memiliki satu sama lain, ayahpun senantiasa
berada di sisi kalian. Kemarilah.. Peluk ibu kalian.” Ibu lalu merentangkan kedua
tangannya menunggu kami untuk menyambut pelukannya.
Aku tersenyum kecut. Merasa risih dengan tarikannya, aku berkata, “Kak, udah ah,
lepas!”
Pesan ibu akan selalu kujadikan pegangan. Barangkali itulah mengapa kematian
ada, aku menduga. Barangkali juga itulah mengapa kita mengenal konsep berpisah
dan bersua. Aku masih memiliki keluarga. Keluargaku tetap utuh walau kini ibu
jauh di atas sana. Semoga ibu senantiasa tersenyum di atas sana.