Anda di halaman 1dari 4

“Semuanya Berawal Di Bulan Februari”

Oleh: Piter Moron

Kicauan burung mengalun indah dengan sesungging senyuman, bukit-bukitpun


memperlihatkan wajahnya yang diselimuti dinginnya udara kamar yang menyentuh lembut
kulitku. Aku memberanikan diri untuk meraih penah dan mulai menuturkan kisah yang
dibingkaikan penuh sejarah. Semuanya itu berawal di bulan Februari. Selalu ada waktu untuk
berdiam dan selalu ada waktu untuk mengkidungkan balada kisah hidup dengan sebuah
mimpi yang di isi dengan secerca harapan akan hari esok. Simfoni alam mengajakku kembali
membuka lukisan hidup yang telah tergoreskan dengan membawa sejuta makna. Semuanya
berawal di bulan Februari.
Ketika itu aku baru saja datang dari negeri Jiran. Setelah menyelesaikan masa
sekolahku di SMA. Aku memutuskan untuk tidak melanjutkan studiku ke perguruan tinggi.
Aku mempunyai cita-cita yang luhur dan keinginanku tak direstui. Disaat itu aku tak berdaya,
aku memilih negeri Jiran sebagai tempat mengaduh nasib. Yang ada hanya jalan buntuh. Aku
berpikir, “Apakah hidup hanya dilihat dari goresan pena diatas kertas! Bagiku semuanya
tidak terlalu berarti. Sebab hal yang terindah yang kumiliki, ada bersamaku saat itu.” Ada
warna yang hilang dalam hidupku, kucari namun tak kunjung kutemukan. Mengapa? Karena
aku mencarinya dalam gelap malam. Semuanya berawal di bulan Februari. Ketika sampai di
tempat aku dilahirkan dan dibesarkan, aku menemukan sosok seorang gadis manis, berambut
sebahu, berkulit coklat, mata bulat yang darinya aku menemukan kedamaian. Setiap senyum
yang keluar dari bibir tipisnya selalu memikat hati kaum Adam yang menatapnya, terutama
aku. Intan gadis pemilik semua itu.
Aku mengenal Intan dalam sebuah acara paroki yang digelar di kampungku. Intan
berbeda dengan gadis-gadis yang lain yang seusia dengannya. Penampilannya sederhana dan
yang paling aku sukai ialah keramahan yang dimilikinya. Segala cara kulakukan agar selalu
disamping Intan di setiap acara yang digelar. Setiap kali kami bertemu, Intan selalu ceria.
Aku berusaha mengenal Intan lebih dalam, hingga suatu saat nanti aku bisa mengungkapkan
gejolak dalam hatiku. Hari berganti minggu, minggu berganti bulan, akhirnya kesempatan itu
datang menghampiri aku. Kini di bulan Februari yang menurut banyak orang bahwa ini
adalah bulan kasih sayang. Tidak bagiku, bulan Februari bagaikan malam yang tak diterangi
cahaya bulan dan bintang. Aku memaksakan diri untuk mengikuti pendapat itu. Pendapat

1
tentang Februari. “Valentine day” adalah moment yang cocok bagi semua orang terutama
bagi kaum muda. Ada yang memanfaatkan moment ini sebagai obat untuk memulihkan
kembali hubungan mereka yang sebelumnya hancur, ada yang memanfaatkannya untuk
memperkuat hubungan yang telah mereka jalani, dan ada juga yang tak mau melewati
kesempatan ini secara sia-sia. Maka tak jarang mereka menggunakannya untuk menyatakan
“Love” kepada orang yang ia cintai. Segala sesuatu harus dibuktikan. Aku ingin
membuktikan tentang apa yang dikatakan tentang Valentine day. Aku mulai membagi waktu
– mengatur jadwal untuk bertemu dengannya, yang ingin kukatakan, yaitu gejolak yang ada
dalam hatiku.
Hari yang ditunggu-tunggupun tiba. Kuraih samsungku dengan maksud mengirim
pesan, selama hari yang sedang dijalani saat itu. Sementara aku mengetik pesan singkat, tiba-
tiba sebuah pesan muncul di layar samsungku dengan nama pengirim “Intan”, “Happy
Valentine day untukmu kakak.” Bagai disengat listrik ketika aku membaca isi pesan
tersebut, dengan segera kubalas chat tersebut. Seperti biasa ketika seorang membalas ucapan
selamat, namun diakhir pesan aku menambahkan satu kalimat dengan empat suku kata,
“Boleh aku kerumah?” aku berharap kalimat terakhir tersebut dapat dipahami Intan. Setelah
menunggu beberapa menit, akhirnya pesanku dibalas. “Tak ada yang larang kak, datang
kesini. Hari inikan Valentine day.”
Hari ini adalah hari baik. Pagi yang indah aku menemui Intan. Aku mengutarakan
gejolak jiwaku kepadanya. “Kamu cantik Intan!” ia malu-malu. Mungkin ia berpikir bahwa
itulah trik seorang laki-laki untuk menaklukan wanita. Padahal itulah rasa kagumku yang
terlahir dari kedalaman hati nan tulus. Karena tak kutahan gejolak di dada, akhirnya aku
berkata juga. “Intan, I’m falling in love with you.”...... “Ahh, kak jangan gombal! Aku tahu
semua laki-laki mengatakan cinta kepada semua wanita, tetapi, semua itu hanyalah
sandiwara.” Demikianlah jawaban yang keluar dari bibir Intan. “Intan, supaya kamu tahu.”
Aku coba sedikit tegas. “Ini terasa aneh dan engkau mengatakan bahwa ini hanyalah cinta
pandangan pertama. Namun pertama kali bertemu denganmu kebahagiaanku seolah-olah
telah menyatuh Intan! Dan telah kuhitung hari demi hari, kukumpulkan niat dan ternyata ada
ungkapan rasa di hati, bahwa aku sungguh cinta padamu!”......... “Hemm..... maaf kak
aku..... tidak bisa memberikan kepastian itu sekarang. Tolong beri aku waktu.”
Aku tak menduka akan mendapat jawaban seperti itu. Bagiku menunggu adalah hal
yang sangat membosankan. Aku berpikir, senyumnya yang luguh dan tatapan matanya yang
teduh juga Valentine day menjadi jalan mulus untuk membuka pintu hatinya bagiku. Aku
berjalan pulang sambil memikul kidung duka yang menjadi beban karena keegoanku. Malam

2
itu, kutunggu jawaban yang dijanjikan Intan. Malam semakin larut. Kupaksakan kelopak
mataku agar tetap terbuka. Dalam heningnya malam yang telah larut oleh waktu, Intan
menepati janjinya. Ia mengirimkan sebuah pesan yang sudah menjadi dugaanku. “Mat malam
kak, aku minta maaf atas ketidak jujuranku siang tadi. Apakah kakak tidak merasakan ada
yang aneh dengan diriku? Kak masih banyak gadis lain yang lebih baik dari aku, kak pantas
mendapatkan yang terbaik.”......... “Tapi Intan, bagiku kamulah yang terbaik.” Balasku
meyakinkannya. “kak, apakah kakak tak melihat atribut yang kukenakan sekarang ini? Kak
aku tak mau menanggalkan atribut yang telah menjadi identitas diriku.”
Sejak awal aku mengenal Intan, aku memang melihat perbedaan itu. Bagiku atribut
hanyalah sebuah hal yang sepele karena siapapun dapat mengenakannya jika ia mempunyai
kepercayaan kepada Tuhan. Kini dugaanku itu salah. Aku terjebak cinta yang harus tak harus
kujalani, cinta yang tak pasti. Aku berusaha memberikan kepastian kepada Intan. Apa
jawabannya? “kak aku hanya bisa memberikan ketidak pastian.”
“Mat malam kak, besok saya akan berangkat ketempatku yang baru. Ada sesuatu
yang mau aku berikan kepadamu sebagai kado Valentine day yang masih tersimpan sampai
saat ini. Kalau kak mau.... tolong besok pagi antar aku ke pelabuhan.” Rasanya aku tak ingin
membalas pesan itu. Tapi aku tak mau menjadi pendendam karena cinta, aku harus iklas dan
merelakan Intan pergi untuk mencintai apa yang ia cintai.
Malam berlalu begitu cepat dan menyambut pagi. Pagi itu aku bersama Intan
berangkat menuju ke pelabuhan, tak ada obrolan diantara kami dalam perjalanan, hanya
hembusan nafas dan detakan jantung yang dapat dirasakan. Pelabuhan menjadi saksi
perpisahan aku dan Intan. Intan menggenggam erat tanganku dan memberikan aku sebuah
Rosario. “kak, kejarlah warna hidup kak yang telah pergi itu, semoga ini dapat menolong kak
untuk menemukannya kembali.” Ini adalah pesan terakhir sekaligus menutup perjumpaan
kami, dan memberi secerca sinar terang bagi diriku.
Bersama hangatnya mentari pagi aku pulang. Aku mencari kembali mencari warna
hidupku yang telah menghilang. Akhirnya kutemukan warna “percaya” yang tak ada dalam
lukisan hidupku, barangkali angin malam menerbangkannya diiringi gugusan awan kelam,
sekelam hidupku. Pencarian penuh lelah akan warna yang hilang seperti mencari mutiara di
ladang berpasir. Kupeluk erat dan kutahta mentari hidupku. Yang hilang telah kembali,
berpelukan dengan asa yang dulu sempat terdiam. Ada rasa segar tampak semuanya. Dan aku
semakin yakin akan arahku yang semula kuragui, ada titian baru yang sudah kulangkai,
menatap esok yang selalu menyiratkan pagi. Kini dengan warna pasti kugoreskan warna
cerah itu dalam lukisan hidupku yang pernah gagal terlukis. Lihatlah, terlukis aneka warna

3
dalam lukisanku. Semua berpadu dalam rangkaian warna dan rasa, menjadi simfoni alam
tentang anak manusia yang tanpa rasa enggan menatap angan dan cita-cita. Mencari arah
kesucian hidup yang kadang harus pupus ditengah jalan. Setiap saat ada badai yang tak segan
melabrak dan memporak-porandakkan hidupku. Ada semacam kesunyian yang tak enggan
mengisi malam-malam diamku. Selalu ada Tanya yang tak terjawab pasti, kadang membisu.
Aku tetap setia seperti mentari yang tak pernah bosan dengan kerutinan terbit dan terbenam,
selalu berputar pasti dan memberikan pancaran kehidupan untuk setiap insan.
“Semuanya berawal di bulan Februari.”

Anda mungkin juga menyukai