Anda di halaman 1dari 2

BULLY

Bab 1. Hari di Luar Prasangka

Pagi yang cerah, secerah hati ini membayangkan yang akan terjadi beberapa jam ke depan. Dada ini
berdenyut-denyut menyenangkan. Kaki tak hentinya berjingkrak-jingkrak kecil, mengikuti alunan
senandung lagu yang bibir ini dengungkan. Sambil melihat diri di balik cermin, aku berdandan
secantik mungkin. Rambut panjang kusisir rapi, lalu kukepang dua, poni tak lupa disisipkan di balik
jidat lebarku yang paripurna. Bedak tipis, lip gloss warna pink lembut dan sedikit parfum beraroma
segar, merebakkan keharuman di seluruh kamar. Bayangan iklan parfum gadis remaja yang menarik
perhatian cowok-cowok keren di sekitarnya, sepintas melayang-layang dalam udara. Bibir ini terkikik
geli tak bisa ditahan.

“You, oke girl! Good luck!” Sambil kukedipkan mata dengan membentuk pistol di tangan menunjuk
diri sendiri di balik bayangan. Kutatap senyuman manis yang membius diri sendiri dari balik kaca.
Kebiasaan yang selalu kuterapkan, afirmasi diri.

Ya, hari ini adalah hari pertama mengikuti Masa Orientasi Siswa (MOS) di sekolah baruku, Sekolah
Menengah Atas (SMA) Kusuma Bangsa. SMA favorit di kotaku. Hari ini adalah hari yang kutunggu-
tunggu sejak beberapa bulan yang lalu. Karena adanya pandemi covid, ada informasi jika acara MOS
di sekolah dibatalkan, tapi setelah imunisasi Sinovac sudah teruji secara klinis dan sudah disebar di
masyarakat luas, jadi sekolah sudah kembali dibuka.

“Belle ….” Suara Ibu membuyarkan aktifitas kenarsisanku di depan cermin.

“Ya, Bu, aku sudah siap, mau turun,” jawabku, sedikit tergesa-gesa, mengingat banyaknya jepretan
foto yang baru saja kulakukan.

“Duh! Selalu saja,” runtukku dalam hati.

Ya, namaku Belle, nama panjangnya Anabelle. Aku gadis periang yang kadang kala sedikit narsis,
menurutku. Hidup dengan orang tua tunggal tak mengubah karakterku yang cenderung punya
kepercayaan diri berlebih. Mungkin karena otakku cukup encer, jadi aku merasa biasa saja ketika ada
teman yang memiliki materi lebih. Ayahku sudah meninggal beberapa tahun silam dan meninggalkan
pensiunan untuk Ibu dan aku. Meski kesedihan pernah mewarnai keluarga kami, tapi kami bisa
bertahan dengan baik dan tetap menjalani hari seperti biasanya. Ibu dan aku, sekarang baik-baik
saja. Amat sangat baik, semoga, selamanya.
Suara kaki menuruni tangga, membuat Ibu yang sedang menyiapkan sarapan, mendongak.

“Lama bener gadis Ibu, pasti foto-foto dulu.” Digeleng-gelengkan kepala Ibu menyadari kelakuan
anak gadisnya yang sulit hilang. Buang-buang waktu hanya untuk sekedar foto-foto.

“Ayo duduk! Segera sarapan, sudah jam segini, nanti telat sampai sekolah. Hari pertama masuk,
jangan membuat gaduh! Hari pertama adalah hari yang akan memberi dampak besar untuk
selanjutnya. Berikan yang terbaik ya!” Suara Ibu menggema di seluruh ruangan. Suaranya mulai
ceriwis, bawel khas Ibu. Suara yang terdengar seperti burung berkicau tapi menyenangkan. Meski
kami pernah mengalami hari suram, tapi semangat Ibu, tak pernah padam. Beliau tetap tabah
menyemangati dirinya dan anaknya.

“Kita harus kuat! Kamu bisa! Ayo, semangat! Ada Ibu, ada Allah.” Begitu yang selalu dia bilang.

Setelah sarapan usai, aku bergegas mencuci piring dan merapikan kembali polesan bedak dan
seragamku di cermin dekat wastafel. Karena sudah merasa oke, aku pamit ke Ibu.

“Ibu, aku berangkat ya, doain dapat gebetan cakep, ups!”

Setelah kusalim tangannya, spontan, Ibu mencubitku. “Eh niat sekolah apa kagak? Dasar! Sekolah
yang bener!”

Anda mungkin juga menyukai