Anda di halaman 1dari 8

Cerpen Karangan: Ria Puspita Dewi

Kategori: Cerpen Motivasi, Cerpen Pendidikan, Cerpen Remaja


Lolos moderasi pada: 4 July 2017

Perjuangan Menuju Lebih Baik


Ferenita. Panggil saja aku Fere, seorang gadis berusia 15 tahun. Aku masih menduduki kelas X
di bangku SMA NEGERI 1. Hari ini hari Senin, tepatnya adalah hari pengambilan rapor setelah ulangan
tengah semester berakhir pada seminggu yang lalu. Aku menunggu saja di rumah, tak menemani ibuku
mengambil raporku seorang diri. Tetap saja aku tak bisa tenang, menunggu kepulangan ibuku dan
melihat bagaimana hasil nilaiku.
Ah, sudah dapat kutebak, suara motor itu pasti ibuku. Dan tebakanku tak meleset sedikitpun.
Jantungku semakin berdegup kencang, tanganku gemetar tatkala mulai membuka rapor sementaraku.
Dari seluruh hasilnya lumayan, tak ada yang dibawah 70. Tetapi rata-rata cukup, cukup, cukup. Ibuku
bilang, aku mendapat peringkat yang kurang bagus, urutan ke-13. Hal ini mengingatkanku pada saat
aku kelas 1 SD, aku mendapat peringkat ke-14. Memalukan. Sungguh memalukan. Biasanya, aku selalu
masuk 3 besar. Apa yang terjadi? Tapi aku janji, aku akan memperbaiki nilaiku pada semester 2 nanti.
Tak terasa, libur panjang telah usai. Saatnya untuk kembali memperbaiki diri. Hari demi hari
aku terus berusaha menjadi lebih baik. Jika yang biasanya jadwalku sehari-hari adalah: bangun tidur,
bantuin ibu, mandi, sarapan, berangkat sekolah, pulang, ganti baju, makan, nonton Tv, jaga toko,
bantuin ibu, mandi, setelah maghrib makan malam, nonton Tv lagi, diselipi bermain Hp (googling,
facebook, twitter, dll), belajar, lalu tidur. Kini akan kukurangi kegiatan menonton Tv dan bermain Hp,
akan lebih banyak kugunakan waktuku untuk belajar. Jenuh memang. Tapi aku yakin, setelah aku
terbiasa, aku tidak akan merasa jenuh. Perlahan, mulai tampak perubahan dalam diriku. Aku senang.
Aku tahu hal itu tidak mudah, sebab perubahan itu perlu proses, bukan dalam sekejap mata.
Rupanya waktu semakin cepat berlalu. Buktinya, semester 2 akan segera berakhir. Aku tak
takut lagi menghadapi ulangan akhir semester, sebab aku telah mempelajarinya setiap hari. Meskipun
dari nama-nama pelajarannya tampak sulit atau bahkan mengerikan bagi sebagian siswa, seperti
matematika, fisika, kimia, tapi aku yakin aku pasti bisa mengerjakannya. Aku selalu tersenyum setiap
kali melihat soal-soalnya.
Akhirnya, ulangan semester telah usai seminggu yang lalu. Dan hari ini, adalah hari yang sangat
kutunggu-tunggu. Hari dimana aku akan mengetahui bagaimana hasil dari nilai-nilaiku. Semoga saja
usahaku tidak sia-sia. Aku terus berdoa dengan begitu tegang. Aku takut akan mengecewakan
keluargaku lagi. Kudengar, ibuku sudah pulang. Segera aku berlari dan bertanya padanya. Wajah ibu
tampak datar, tak ada satu senyum pun yang ia pancarkan. Jantungku semakin berdegup kencang. Ibu
menyerahkan rapor itu padaku. Aku membacanya dengan begitu saksama. Ah, ibu membuatku tegang
saja. Nilaiku cukup bagus kok. Tertera pula bahwa aku sebagai peringkat 2. Tidak peringkat 1? Tak
masalah. Yang penting aku kembali ke 3 besar. Dan aku percaya, apabila aku bersungguh-sungguh,
pasti aku akan memetik hasilnya.
Tentangmu Sahabat
Cerpen Karangan: Ria Puspita Dewi
Kategori: Cerpen Persahabatan, Cerpen Sedih
Lolos moderasi pada: 30 January 2017

Tampak suasana pagi yang lumayan cerah. Seorang gadis duduk seorang diri di teras depan
rumah. Gadis yang cantik, Ririn namanya. Jari-jemarinya begitu lincah menari di atas tombol
ponselnya. Tiba-tiba, kedatangan seseorang itu cukup membuatnya lumayan terkejut. Clarissa,
sahabatnya. Clarissa datang dengan sebuah senyuman yang sangat manis, ia tampak begitu senang
bertemu dengan Ririn. Persahabatan yang begitu erat, 3 tahun mereka menjalaninya. Seharusnya ada 1
orang lagi dalam persahabatan mereka, Alina. Tetapi entahlah, kemana Alina saat ini. Yang jelas,
Clarissa masih tetap tersenyum bercanda dengan sahabat lamanya itu.
Dengan sekejap, semuanya berubah. Sepasang mata itu tiba-tiba terbuka, dan semuanya telah
berbeda, hanyalah sebuah mimpi. Cukup aneh, mengapa Ririn memimpikan sahabatnya itu?
Mungkinkah terjadi sesuatu atau hanya perasaan rindu saja yang sedang menghantui? Sebab mereka
tak lagi dapat bertemu dan berkumpul setiap pagi, dikarenakan perbedaan sekolah mereka. Belum
selesai otak Ririn bekerja, mata telah dikejutkan oleh waktu yang menunjukkan pukul 06.00 pagi. Ia
segera mandi dan bersiap-siap berangkat sekolah.
Kring.. kring.. kring.. Bel nyaring itu adalah pertanda bahwa jam istirahat telah tiba. Waktu
dimana rata-rata seluruh perut berdemo ingin diisi. Di sebuah meja kantin sekolah, tampak Ririn sedang
bercakap-cakap dengan beberapa orang temannya. Percakapan yang cukup mengasyikkan, ditemani
beberapa makanan dan minuman di atas meja. Tiba-tiba.. Dzztt.. Dzztt.. Dzztt.. handphone yang terletak
di atas meja itu bergetar. Ririn mengambilnya, tertera nama Alina di layar handphone itu.
“Iya, halo Al. Apa??!! Lo serius? Ya udah gue ke sana sekarang.” ucap Ririn pada Alina.
Tampak teman-teman Ririn sedikit kepo mengenai apa yang terjadi. Namun Ririn sama sekali tak
menjawab pertanyaan-pertanyaan dari mereka. Ririn segera pergi dari tempat itu menuju suatu tempat
lain.
Tanpa berkata sedikit pun, Ririn terus berjalan tiada henti dengan raut wajah yang begitu cemas
dan khawatir. Satu-persatu ruangan telah ia lewati. Hingga akhirnya ia bertanya pada salah seorang
pegawai yang memakai seragam khas putih, suster. Menanyakan sebuah ruangan yang tampaknya akan
ia kunjungi. Kaki kembali berjalan, hingga ruangan itu telah ia temukan. Tampak seorang wanita berdiri
di luar ruangan itu, ialah Alina. Ririn menghampiri Alina secara perlahan. Ia menepuk bahu Alina.
Dalam sedetik, Alina memeluk Ririn sambil menangis. Kemudian, mereka masuk ke dalam ruangan
secara bersama-sama. Tampak seorang gadis terbaring lemas tak sadarkan diri, lengkap dengan baju ala
pasien dan sebuah alat bantu pernafasan. Ia adalah… Clarissa. Clarissa mengalami kecelakaan mobil
tadi malam saat ia dalam perjalanan pulang. Air mata Ririn mulai terjatuh saat melihat sahabatnya itu
terbaring tak berdaya. Mungkin, ini adalah pertanda dari mimpinya semalam.
Pak Guru Oh Pak Guru
Cerpen Karangan: Erik Suwandinata
Kategori: Cerpen Pendidikan
Lolos moderasi pada: 12 August 2017
Di sebuah kampung nelayan, seorang Bapak Guru Muda yang baru datang dari kota sangat
bersemangat menjadikan murid-muridnya terpelajar dan berdisiplin tinggi. Pada awal tatap muka, Sang
Guru Muda mulai mengumumkan beberapa peraturan kedisiplinan siswa.
“Anak-anak bapak yang baik, bapak senang sekali bisa mengajar kalian di sini. Harapan bapak,
kita bisa sama-sama melaksanakan pembelajaran dengan baik ke depan. Oleh karena itu, mulai sekarang
jangan ada lagi yang terlambat. Bapak juga tidak mau melihat kalian berangkat sekolah dengan tidak
rapi, dan kalian harus merapikan rambut juga kuku-kuku kalian. Tidak boleh ada rambut yang panjang
apalagi kuku. Bapak akan periksa satu persatu besok pagi”.
Keesokan harinya, Guru itu pun datang berpagi-pagi. Ia ingin melihat keseriusan muridnya
mematuhi perintahnya. Anak-anak pun satu persatu datang tepat waktu, Pak Guru merasa gembira,
“Memang hebat anak-anak saya”, ujarnya di dalam hati.
Setibanya ia memasuki ruangan kelas, mata Pak Guru Muda itu menatap rambut-rambut siswa.
Lagi-lagi ia senang, karena para murid mematuhi perintahnya. Ia membayangkan betapa nikmatnya
mengajari anak-anak yang mau mendengarkan kata-katanya, “Anak-anak hebat” ujarnya.
Kemudian tatapan pak Guru beralih ke arah kuku-kuku siswa. Ia pun terkejut karena mendapati
75% dari siswa tidak memotong kuku. Wajahnya mulai mengesut, tampak rona kekecewaan terpancar
dari matanya. “Murid-muridku, kalian dengarkan apa yang bapak katakan kemarin kan?”
“Iya, Pak” jawab anak-anak serentak.
“Bapak bilang apa?”
“Bapak bilang kami harus belajar disiplin, datang tepat waktu. Berpakaian rapi dan memotong
kuku dan rambut” kata murid-murid.
“Bapak senang kalian telah mendengarkan bapak, kalian sudah rapi, datang tepat waktu, juga
sudah memotong rambut. Tapi kenapa tidak juga kalian memotong kuku? Kenapa kalian mematuhinya
setengah hati?.” Salah satu siswa yang duduk paling depan mengacungkan jari telunjuknya dan berkata
“Kalau saya boleh mewakili teman-teman, Pak Guru. Kami semua ingin mematuhi Pak Guru, datang
tepat waktu, memotong rambut dan kuku. Namun yang terakhir kami tidak bisa Pak Guru. Kami adalah
anak-anak nelayan, sepulang sekolah kami biasa membantu orangtua mengupas kulit kerang. Kalaulah
kami memotong kuku kami, maka kami tidak bisa lagi membantu orangtua kami.” Guru Muda itu kaget,
perkataan yang baru saja ia dengar menyadarkannya tentang hal baru.
Menjalani profesi guru bukanlah hal yang mudah. Guru bukanlah seorang pemahat patung yang
dengan mudah membentuk kayu menjadi mahakarya indah. Guru juga bukan file komputer yang terus
meng-copy paste segala memori untuk ditransfer ke murid-murid. Dalam menjalankan profesinya, Guru
tidak sedang berhadapan dengan benda kosong yang sesuka hati mengisinya. Tapi yang ia hadapi adalah
anak manusia yang punya emosi, perasaan dan memiliki pengalaman dunia yang beragam. Oleh karena
itu, selain benar-benar menguasai pelajaran dan piawai dalam berkomunikasi. Guru mesti memiliki
kepekaan sosial atas apa yang dihadapi murid. Di lapangan, terkadang tak sesuai dengan teori yang
dipelajari saat “ngampus”. Dalam kondisi tersebut, Guru harus berani meninggalkan teori yang lazim
dan bertindak dengan cara yang baru.
Di sinilah butuh kearifan seorang guru, kemampuan yang bisa menimbang antara menjalankan
prinsip umum atau mengalah dengan melihat kondisi yang berbeda. Seorang guru semestinya paham,
bahwa di dunia ini banyak jalan untuk menggapai tujuan. Banyak pengertian yang berubah, dalam
tempat dan situasi yang berbeda. Memaksakan para siswa untuk berfikir dengan satu pola hanya akan
membelenggu kreativitas mereka dalam menyerap ilmu pengetahuan. Sesuatu yang justru bertentangan
dengan prinsip pengetahuan. Semoga pendidikan Indonesia hari demi hari semakin membaik.
Dari Musuh Jadi Sahabat
Cerpen Karangan: Lauretta Gail
Kategori: Cerpen Kristen, Cerpen Persahabatan
Lolos moderasi pada: 14 January 2017

Tegang, Itulah perasaan yang sedang dirasakan Arin saat ulangan mau dimulai. Ia sangat
gemetar melihat buku fisika yang berisi rumus yang membuat otaknya meledak. Hari ini ia akan ulangan
fisika. Segala persiapan pun dia lakukan untuk mendapat nilai yang bagus itu. Murid jurusan IPA kelas
11 itu memang cetar cetir menjelang setiap ulangan, terutama ulangan fisika.
“Rin, lu kok tegang banget sih? Santai aja keles, apalagi lu kan anak pinter. Gak perlu belajar
lah.” Ujar Reni teman baiknya.
“Gak bisa, Ren! Ini tuh pelajaran yang penting..”
“Halah pelajaran penting.. semua bagi lu mah penting!” sahut Reni yang langsung melontarkan
pendapatnya.
“Oh iya, hari ini kan ada ulangan Agama juga! Belajar lagi deh gue,” sahut Arin dengan
khawatir.
“Capek deh.. serah deh,” jawab Reni dengan nada pasrah.
“Bertolong-tolonglah menanggung bebanmu, demikian kamu telah memenuhi hukum Kristus”
salah satu ayat Alkitab dari Galatia yang terus dihafalkan oleh Arin. Ia sedang belajar pelajaran agama
tentang menolong sesama. Walaupun ia agama Kristen, ia tidak pernah membedakan agamanya dengan
agama yang lain. Ia tetap memiliki banyak teman walau ada beberapa teman yang tidak menyukainya
hanya karena ia merupakan agama Kristen.
Suatu hari, ada salah satu teman yang tidak menyukainya terjatuh ke dalam kali karena terlalu
fokus dengan bukunya. Namun, baru Arin yang melihatnya. Dengan spontan ia langsung membantunya
tanpa berpikir panjang.
“Lu Gak kenapa napa kan?” tanya Arin
“Gak kok, gak papa. Makasih ya! Udah bantuin gue”
“Sama-sama, lu mendingan pulang deh cepetan. Terus buruan mandi!”
“Bentar deh, gue mau nanya sesuatu ke lu”
“Nanya apa?”
“Kok lu mau bantuin gue padahal gue udah ngejauhin lu sih?”
“Oh, Ya.. gue seneng aja ngebantuin orang, kan di Alkitab dibilang kalo kita harus bantuin
orang gak peduli apa yang terjadi” jawab Arin dengan senyum.
“Udah deh lu cepetan pulang terus mandi!” lanjut Arin.
“Makasih ya!”
Akhirnya mereka menjadi sahabat yang tidak dapat dipisahkan di sekolahannya. Mereka juga
menjadi murid yang tidak membeda bedakan orang dari ras, golongan maupun agamanya.
Pesan Dari Ayah
Cerpen Karangan: Wahyu Setyo Pambudi
Kategori: Cerpen Anak, Cerpen Keluarga, Cerpen Nasihat
Lolos moderasi pada: 15 August 2017

Pagi-pagi sekali aku dibangunkan oleh ayahku. Kulihat jam masih menunjukkan pukul 03.30.
“ada apa yah? Pagi-pagi kok sudah membangunkanku” ucapku dengan wajah yang masih mengantuk.
“ayo ikut ayah, bantu ayah menyalakan mesin diesel di sawah”. Balas ayahku.
“sebentar yah aku ganti baju dulu” jawabku.

Ayahku adalah seorang yang bermata pencaharian sebagai petani, sejak kecil ayahku sudah diajarkan
bertani oleh kakekku, jadi tidak heran jika setiap menanam palawija hasilnya selalu memuaskan dan
dari hasil bertaninyalah ayah dapat menghidupi keluarga.

Pagi-pagi buta aku dan ayahku berangkat ke sawah, belum ada aktivitas sama sekali di desaku yang ada
hanya orang-orang yang akan berpergian ke sawah sama seperti yang kami lakukan saat ini, karena
mayoritas mata pencaharian warga desaku adalah petani.

Aku menyalakan senter yang aku bawa dari rumah dan megikuti ayahku dari belakangnya, sawah
ayahku terletak di dekat pemukiman jadi tidak jauh dari rumah penduduk. Hawa dingin mulai
menembus pori-pori kulitku, suara jangkrik dan binatang malam juga menambah dinginnya suasana
pagi ini. Namun hawa dingin itu dapat segera kuatasi dengan mengosok-gosokkan kedua telapak
tanganku.

Aku dan ayahku menyusuri sawah yang basah dan becek akibat hujan tadi malam, akhirnya sampai
pada sebuah mesin diesel tua. Mesin diesel ini sangat berguna sekali bagi pertanian khususnya pada
musim kemarau karena jika tidak ada mesin diesel para petani kesulitan untuk mengairi sawah mereka.

Ayahku mengecek solar dan air radiator untuk memastikan bahwa mesin diesel ini siap untuk
digunakan. Sementara aku bertugas untuk menerangi ayahku agar mudah dalam mengecek mesin diesel
itu. dengan sekuat tenaga ayahku mencoba menyalakan mesin tua itu, tetapi tidak juga menyala. Setelah
ayahku mengotak-ngatik mesin dengan susah payah akhirnya berhasil. Air pun keluar deras dari dalam
tanah. Namun perjuangan ayahku tidak berhenti sampai disitu, beliau masih harus menyalakan mesin
diesel yang satunya lagi, dan harus menyambungkan selangnya.

Ayahku mengajak beristirahat di bawah pohon keres. Tampaknya ayahku sangat kecapekan hal itu
tampak dari raut wajahnya yang lesu dan lemas. Aku merasa sedih karena sampai saat ini belum bisa
membanggakan ayahku, malas belajar, menjadi anak yang nakal, tidak mematuhi peraturannya dan
sering membuat ayahku sedih. Aku malu sekali dengan diriku sendiri.
“ini yah minumlah” aku memberi sebotol air mineral kepadanya
“iya makasih” jawab ayah sambil mengambil botol minuman yang ada di genggamanku.
“nak, jangan pernah jadi seperti ayah” ucap ayahku
“kenapa yah?” jawabku dengan penuh tanya
“kamu saat dewasa nanti jangan jadi seperti ayah, yang pagi-pagi harus berangkat ke sawah dan sore
hari baru pulang ke rumah, kamu harus mempunyai kehidupan yang lebih baik dari ayah, Kamu harus
bisa menggapai cita-citamu, kamu harus bisa menjadi orang sukses, orang yang selalu berbakti kepada
orangtuanya, orang yang senang membantu sesamanya, orang yang berpendidikan tinggi, orang yang
memperhatikan kehidupan rakyat kecil. Kamu harus bekerja keras untuk menggapai itu semua” kata
ayahku dengan bijak

Anda mungkin juga menyukai