Anda di halaman 1dari 6

Judul : Kotak Pandora

Penulis : Wilya Adisa

Aku melihatnya dari jauh. Sorot matanya menelisik, mencariku di sepanjang jalan depan
gedung. Hari ini adalah hari yang dia nantikan. Ujian Nasional Program Pendidikan Dokter
Spesialis (UNAS PPDS) di kampus pilihannya. Pemilik mata sipit yang menemukanku di
ujung jalan itu, akhirnya berlari ke arahku dengan senyum merekah. Tanpa melihat kanan dan
kiri dia terus berlari. Meskipun para gadis di sepanjang jalan memberi sapa dengan senyuman
yang menarik perhatian, dia tetap tak terusik. Ya, dia adalah anakku. Indrawan Prasetya. Dia
berlari cepat sambil meregangkan tangannya untuk segera memelukku tanpa peduli banyak
mata yang mengamati.

“Bunda, aku berhasil mendapat gelar Dokter Spesialis Kandungan!”

Binar matanya, tak lepas dari untaian air mataku yang telah jatuh mendahului sebagai bentuk
#syukur bahwa perjuangannya, perjuanganku, tidak sia-sia. Kubalas pelukannya, kuusap
kepalanya, seraya berkata, “Alhamdulillah, selamat Nak, kamu berhasil membuat bunda
bangga.”

********

Hari itu, tepat 10 tahun berlalu, #usia pernikahan kami. Kami belum juga diberi amanah oleh
yang maha kuasa. Hati ini resah. Gelisah. Ada yang salah pada diri ini, tapi apa? Kenapa?
Empati dan motivasi dari orang-orang yang sayang pada kami tak menutup kegalauan hati
akan gunjingan dan julidan dari orang-orang yang merasa tahu dan menghakimi.

“Kamu periksa berdua deh, kayaknya kalian gak normal,” kata mereka.

“Makanya, jadi orang banyak sedekah, duit banyak pelit amat kalau dimintain hutang,”
timpal yang lain.

“Kamu kenapa gak periksa dulu sebelum nikah sama dia? Iya kalau kamu, gimana kalau
suamimu sendiri yang bermasalah? udah cerai aja, cari pria lain!” cecar yang lain, tak kalah
sadis

Hanya segala macam istighfar, kugaungkan di sepertiga malam dan sujudku, selama
mungkin. Sekuat kaki ini bersimpuh jika mengingat kata-kata pedas yang menggoyahkan
iman. Kupinta petunjuk terbaik dariNya. Aku percaya, setiap kesulitan ada kemudahan. Ini
adalah bentuk kasih sayang Tuhan padaku dan suami. Pada pernikahan kami.
“Sesungguhnya Allah bersama prasangka hambaNya.” Begitulah sabda Rasulullah SAW
yang kudengar dari pengajian yang selalu kuikuti setiap minggunya.

Ya, aku harus tawakal, harus berprasangka baik, ikhlas dan terus berjuang. Demi sesosok
penerus kehidupan yang tawa candanya akan menghiasi rumah kami dengan ibadah dan
ketaatannya. Hingga hari yang kutunggu tiba. Hari yang akan menjadi tanggal bersejarah
karena setiap tahunnya dirayakan sebagai hari #ulangtahun seorang pria tampan dengan jas
putihnya. Tanggal yang menjadi saksi kunci dari sebuah kotak pandora yang kusimpan rapat-
rapat.

Saat itu, hujan sangat lebat, kilat menyambar diiringi dengan suara keras dari rintikan air dan
suara di langit. Berpadu menyatu. Menggelegar. Memekakkan telinga bagi siapa yang masih
berani di luar rumah. Bu Bidan yang aku percaya akan menjadi malaikat penolongku
akhirnya datang. Dia membawa seorang bayi yang masih merah nan mungil. Sendirian.

Motor matik dan jas hujan bewarna hitam yang membalut tubuh Bu Bidan, menjadi saksi
bisu akan adanya bayi di baliknya. Bayi itu dibungkus rapat dalam gendongan selimut tebal
yang hangat. Meski wajahnya sedikit mendapat tetesan air hujan dari lubang-lubang jahitan
gendongan yang melilitnya, tetap saja si bayi tak terusik ketenangannya untuk tertidur pulas
dalam balutan.

“Maaf Bu Sita, ini adalah bayi laki-laki yang sehat dan normal. Orang tua bayi ini tidak
menginginkan kehadirannya. Saya kasihan padanya. Oleh sebab itu, saya bertekad membawa
bayi ini untuk menyerahkan pada jenengan sesuai permintaan jenengan kala itu. Sehingga,
meski kondisi cuaca seperti ini, saya gigih menggendongnya agar bisa leluasa
menyerahkannya pada Bu Sita tanpa ada yang mengetahui. Hanya kita, dan Allah yang tahu.
Insyaallah. Semoga saya tidak salah memilih seorang ibu untuk bayi ini, karena saya yakin
Bu Sita adalah wanita baik yang amanah,” tutur bu bidan dengan gigi bergelutuk tapi
terdengar tulus itu.

Masyaallah. Aku terpaku. Bayi yang kini ada pada pangkuanku, menggeliat. Dia terlihat
nyaman dan pulas. Pipi gembulnya yang merona dan bibir merahnya yang ranum, membuat
hati ini berdesir. Dadaku tiba-tiba terasa nyeri, ingin segera menangkupnya, memilikinya.
Kutatap suamiku dengan sendu, wajah yang selama ini selalu hangat dan pasrah itu, menatap
balik dengan sorot mata yang syahdu. Senyuman pada anggukan di wajahnya pertanda dia
juga setuju dengan apa yang kupikirkan.
“Terimakasih Bu Bidan, kami menerimanya. Bayi ini akan kami beri nama Indrawan
Prasetya. Anak laki-laki yang halus budinya, dan kuat pendirian serta kemauannya. Dia akan
menjadi pengangkat derajat dari keempat orang tuanya, tanpa dendam dan ikhlas bahwa
semua yang terjadi pada hidupnya adalah anugerah.”

Mata yang basah akan tetesan air hujan pada tepi jilbabnya itu bersirobok menatapku.
Terlihat bulir air mata yang akan jatuh. Seulas senyum di bibirnya, mengungkapkan
terimakasih yang amat besar atas kerelaanku menerima bayi ini. Benar kata bu bidan, semoga
aku menjadi wanita amanah yang tak salah dipilih dalam menyayangi dan mengasuh bayi ini.
Menjadikannya sosok pemaaf dan tangguh. Seorang manusia dengan jiwa besar yang tinggi
dan rendah hati. Menjadikannya bagian dari umat yang membawa banyak manfaat. Seorang
anak yang akan memanggilku Bunda dengan tulus dari hatinya.

Hari demi hari kulalui dengan gembira. Hadirnya Indra dalam pernikahan kami, membawa
suasana yang berbeda. Meski ibu mertua sempat tak menyetujui keberadaan Indra. Namun,
lama kelamaan, beliau juga dapat menyayanginya sama seperti cucu sedarahnya yang lain.
Indra tumbuh menjadi anak yang menggemaskan dengan kepintaran yang mumpuni.

Mungkin, inilah yang dinamakan takdir. Siapa yang menyangka, anak laki-laki dengan mata
sipit dan lesung pipit itu adalah anak angkat kami? Nyatanya, kulit, bentuk wajah dan
kacamata yang menempel di matanya, membuat siapapun yang melihat, seperti melihat
suamiku. Pak Candra junior.

*********

Delapan belas tahun sudah berlalu. Indraku sudah cukup usia untuk melangkah ke jenjang
yang lebih tinggi. Dia memilih kuliah kedokteran sebagai impiannya. Dia bilang, agar bisa
merawat bunda dan ayahnya jika tua nanti. Desir dalam dada, bersahut-sahutan seiring
dengan air mata yang akan tumpah meski sudah kutahan-tahan. Aku mulai resah. Gelisah.
Bagaimana nanti jika dia lulus kuliah, bekerja lalu menikah? Apakah aku perlu memberitahu
siapa dia? Lalu bagaimana jika dia tidak bisa menerima? Bagaimana dengan keluarga si gadis
yang menjadi wanita terpilih di hati indraku, apakah masih mau menerima juga?

Pikiranku berkecamuk. Bayangan malam tanpa bintang saat itu, kembali timbul tenggelam.
Kenangan indah yang telah terukir tiba-tiba terasa pudar oleh kenyataan pahit yang harus
ditelan. Kejujuran memang kadang terasa meyakitkan. Namun, ini fakta yang tidak bisa
dirubah. Kotak pandora yang kututup rapat bertahun-tahun lamanya, pada akhirnya akan
terbuka juga. Pada waktunya.

Oh anakku, Indra, maafkan bunda, Nak. Bunda benar-benar menyayangimu dengan tulus,
sama seperti engkau keluar dari tubuh ini. Meski bukan rahim ini yang merengkuhmu
sebelum tiba di bumi, tapi setiap tetes keringat dan air mata yang kuberikan padamu. Tak
merubah cinta yang kuberi. Kau anakku seutuhnya, anak kami. Sita dan Candra.

Ketika air mata yang kutahan akhirnya tumpah juga, Indraku datang memeluk. Rahasia yang
ada dibalik sinar mata itu, luruh. Pecah. Menghancurkan kegalauan di hatiku. Indraku adalah
anak hebat. Pria hebat. Tak akan goyah meski takdir yang kejam mengusik imannya. Dalam
sorot matanya, aku tahu. Aku adalah ibu satu-satunya dalam hidupnya. Bundanya tersayang.

“Aku sayang Bunda, kenapa tiba-tiba menangis? Aku janji akan pulang setiap minggu. Bunda
jangan khawatir. Doakan aku kuliah selesai tepat waktu ya Bun ….,“ pintanya tanpa tahu apa
yang sebenarnya aku risaukan. Ataukah belum tahu?

“Iya Nak, bunda takut kesepian, itu saja,” jawabku singkat tak lebih untuk menenangkan diri
sendiri.

Hari-hari kulalui dengan siaga. Seperti menunggu bom waktu yang siap meledak.
Kupanjatkan doa sekhusyuk mungkin agar segalanya lancar tanpa kendala. Meski pada
akhirnya aku tahu pasti, rahasia itu akan terungkap juga.

*********

Hingga datanglah hari ini. Tepat setelah 11 tahun yang lalu dia memutuskan memilih
kedokteran sebagai dunianya. Dia membuatku bahagia. Lebih dari hari apapun dan siapapun.
Dia menunjukkan hasilnya sebagai manusia yang bermanfaat untuk banyak umat.
Kesuksesan yang kuharapkan akan menjadikannya manusia berguna bagi keluarga,
masyarakat dan agamanya. Hari yang paling membuatku lupa akan siapa dia dan darimana
asalnya. Aku hanya tahu, ya, dialah anakku. Putraku tercinta. Indrawan Prasetya.

Akan tetapi, sehari setelah hari paling membahagiakan itu datang. Tuhan sepertinya tidak
menginginkan hatiku terlalu gembira sampai terbang ke awang-awang. Setelah aku merasa
ringan dan melayang, aku terjatuh. Terhempas ke tanah kasar berbatuan. Pecah. Hari itu
akhirnya tiba. Bom waktu akhirnya meledak juga. Tak kusangka secepat ini datangnya.
Dalam waktu yang bersamaan dengan hari paling membahagiakan dalam hidupku. Segalanya
begitu gelap, mendung dan menakutkan.

Ada seorang wanita di depan rumahku. Ya, dia sembunyi-sembunyi di balik pohon mangga
yang menaungi halaman rumah. Aku tergugu. Ada apa gerangan? Sayup-sayup, dia mulai
berani masuk melewati pagar. Aku masih saja bertahan di tempat. Memperhatikan dia yang
mendekat. Bunyi bel dari pintu menandakan dia sudah di teras. Bagaimanapun tamu adalah
raja. Kuberanikan diri untuk membuka pintu meski wajahnya tak kukenal tapi terasa tak
asing.

“Maaf, siapa ya?” tanyaku.

“Assalamualaikum, maaf mengganggu. Saya Rini. Tetangga dari Bu Bidan Risna di desa
Trowulan, Mojokerto. Apa jenengan ingat beliau?”

“Waalaikumsa … “ Belum selesai menjawab salam darinya, Indraku datang dari dalam.
Wanita itu dengan beringas menabrakku dan tanpa ragu memeluk putraku. Cengkraman
tangan dan tangisnya meronta, menandakan ada rindu yang amat dalam dengan rasa bersalah
yang besar.

“Anakku, oh … anakku! Aku ibumu, Naaaaak! seru wanita itu.

Allah.

Seperti tersengat listrik, hatiku tersayat. Dalam sekali. Perih. Jantungku terasa berhenti
berdetak. Waktu seakan melambat. Sayup-sayup aku hanya mendengar suara Indraku
berteriak.

“Bun-bundaaa … bundaaaaa ….“

Kotak pandora itu akhirnya terbuka. Tanpa diminta tanpa diinginkan. Dia membuka dengan
sendirinya seperti sebuah takdir yang telah digoreskan. Sudah saatnya untuk menerima
kenyataan. Manis, asam, asin dan pahitnya kehidupan hanya masalah tentang rasa. Kita hanya
bisa mengolahnya menjadi sesuatu yang nikmat jika disantap. Sama seperti takdir ini.
Meskipun terasa pahit, tapi akan manis jika dapat diolah dengan kejujuran dan ketulusan.
Darah memang tetap darah. Namun cintaku dan pengorbananku juga sama besarnya dengan
cairan kental yang mengalir di tubuhnya.

Ini bukan tentang pilihan. Siapa dan siapa. Ini adalah tentang rasa antara cinta dan
pengorbanan dari dua ibu yang berbeda. Ibu kandung dan ibu asuh. Ini adalah takdir yang
memang sudah digariskan dalam kitab Lauh Mahfuzh. Tintanya telah mengering beribu tahun
lamanya sebelum bumi dilahirkan.

Setelah aku sadar, ternyata semua sudah berkumpul. Suamiku, Indra, Rini dan Bu Bidan. Ya,
Bu Bidan desa itu ada di sini. Di samping Indra, di dekatku. Keriput terlihat jelas di
wajahnya. Wajah yang sama teduhnya dengan terakhir kali bertemu 28 tahun yang lalu. Dia
adalah saksi kunci, siapa Indra dan jati dirinya yang sebenarnya.

Dari raut wajah yang aku liat satu per satu. Indra, suamiku, Rini dan Bu Bidan. Aku tahu,
rahasia itu telah terkuak. Kutatap Indraku. Binar matanya, masih menatapku dengan tatapan
yang sama. Meski, aku tahu, ada rasa yang berbeda dalam celah hatinya.

“Bunda, Bunda tetap Bundaku, aku sayang Bunda sampai kapanpun, surgaku tetap ada
padamu.”

Anda mungkin juga menyukai