Anda di halaman 1dari 187

RINI WIDIASTUTI

Ketentuan Pidana Saksi Pelanggaran Pasal 72 UU


Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta.

Barang siapa dengan sengaja dan tanpa hak


melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam pasal 2
ayat (1) atau pasal 49 ayat (1) dan ayat (2) dipidana dengan
pidana penjara paling sedikit 1 (satu) bulan dan/atau denda
paling sedikit Rp1000.000,00 (satu juta rupiah) atau pidana
penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan/atau denda paling
banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupia).
Barang siapa dengan sengaja menyerahkan,
menyiarkan, memamerkan, menedarkan, atau menjual
kepada umum suatu ciptaan barang atau hasil pelanggaran
Hak Cipta atau Hak Terkait sebagaimana dimaksud pada
ayat (1), dipidana dengan pidana penara paling lama 5
(lima) tahun dan/atau denda paling banyak
Rp500.000.000,00 (lima ratus rupiah).

ii
Kumpulan Cerpem

Memahami
Sabda Alam
Rini Widiastuti

iii
Memahami Sabda Alam
Copyright© 2022 Tidar Media

Penulis: Rini Widiastuti

ISBN: 978-623-5521-48-0

Perancang Sampul: Pande Gunawan

Penata Letak: Matahari Agung


Editor: Hasto Budi Santoso

Penerbit: Tidar Media


Cetakan: I. September 2022
x + 177 hal, 13 cm x 20 cm

Redaksi
Jalan Kyai Asrof, Sengon RT03/RW03, Trasan,
Bandongan, Magelang, Jawa Tengah. 56151.
email: admin@tidarmedia.com
FB: www.facebook.com/tidarmedia
IG: www.instagram.com/tidar_media
web: www.tidarmedia.com
WA: 08-191-111-191-3

hak cipta dilindungi undang-undang


dilarang memperbanyak karya tulis ini dalam bentuk apapun
tanpa izin tertulis dari penerbi

iv
Kata Pengantar

Memahami Sabda Alam adalah kumpulan


cerita pendek berisi 10 (sepuluh) judul yang tema-
temanya dekat dengan perenungan hidup yang
dijalani dengan ikhlas. Setiap jenis refleksi yang
dilakukan penulis, yang tertulis dalam cerita-cerita
dalam buku ini dikatikan dengan ayat-ayat dalam
Al-Quran dan Hadits, sehingga memberikan
nuansa religi bagi buku ini. Aku dan Dea
misalnya, menekankan pentingnya mensyukuri
setiap pemberiaan dari Allah SWT sebagai
rencana terindah Allah SWT. Manusia hanya bisa
mensyukuri dan menjalani dengan tekun, tawakal
dan penuh iman. Mengutip Hadits Al-Bukhari,
dalam Hadits mengatakan tentang ketetapan Allah
SWT dalam setiap peristiwa yang terjadi pada
manusia. Cara yang sama diterapkan pada hampir
semua cerita, mengawali cerita dengan refleksi
dan menutupnya dengan kutipan ayat. Penempatan
kutipan ayat kadang muncul juga ditengah cerita,
seperti Aku dan Dea, untuk mempertegas makna
dan pesan. Bahkan dalam kumpulan cerpen ini

v
mengutip rujukan-rujukan yang relevan dari ilmu
pengetahuan di beberapa judul cerita.
Catatan tentang Kehidupan, memaparkan
tema renungan hidup dengan bahasa dan pilihan
kata cenderung ke bahasa puitis shingga lebih
terkesan puisi esai meski tidak membentuk puisi
esai secara fisik.
Cinta dalam Diam dibuka dengan tokoh-
tokoh remaja usia SMA yang melaksanakan kerja
kelompok. Ada Chaca, Nindia, Jojon, Nina, Linda,
belakangan muncul tohok Azzam. Keseluruhan
cerita selanjutnya berisi kegelisahan Chaca setelah
berjumpa dnegan Azzam, inilah yang ia sebut
Cinta dalam Diam. Konflik konfliknya terjadi
secara internal dalan pikiran dan perasaan Chaca
yang mengharapkan kabar dari Azzam. Pada
pertengahan cerita dikisahkan Azzam dan keluarga
yang tiba-tiba melamar ke keluarga Chaca. Sampai
titik ini sebenarnya plotnya akan menarik, bahwa
Cinta dalam Diam terjawab dengan pernikahan.
Cerpen Kinanthi menceritakan pertemuan
seseorang dengan gadis kecil bernama Kinanthi.
Dalam cerita ini saya tertarik dengan ujaran yang
tak lazim diungkapkan oleh seorang anak kecil.
“Kamu tinggal dimana, Nak?
“Di sini. Di sana. Di mana pun tempat bisa
menerimaku. Di atas tanah ini, sebelum kelak di
bawah timbunan tanah” Ucapnya diplomatis.
(Kinanthi, hal…)

vi
Demikian sedikit ulasan terkait isi buku
kumpulan cerpen “Memahami Sabda Alam”.
Semoga cerita ini menjadi pemantik bagi sesama
guru untuk berani bermimpi menjadi penulis,
mampu menuliskannya dan akhirnya tercipta
karya. Seperti petuah Pramoedya Ananta Toer
yang mengatakan bahwa menulis adalah pekerjaan
keabadian. Jika dituliskan karya kita tetap dapat
dinikmati orang lain bahkan ketika kita sudah
mati.
Selamat membaca. Salam literasi. Ayo
berkarya untuk Kesejahteraan.

Tarakan, 11 Augsuts 2022

Hasto Budi Santoso,


Ketua KMGKa

vii
viii
Daftar Isi:

Kata Pengantar ..................................................... v


Daftar Isi.............................................................. ix

Aku dan Dea ......................................................... 2


Catatan Tentang Kehidupan ............................... 18
Cinta dalam Diam .............................................. 29
Kinanthi .............................................................. 59
Puisi dalam Secangkir Kopi ............................... 76
Rindu Ini Masih Milikmu................................... 87
Sebuah Perjalanan ............................................ 107
Takdir Mengubah Hidupnya ............................ 119
Catatan Tentang Rasa ....................................... 130
Ujian Kesabaran ............................................... 141

ix
x
CATATAN AKU DAN DEA

“Ketika kita ikhlas, pada dasarnya kita telah menyatukan pikiran dan
hati kita untuk senantiasa berpasrah diri kepada-Nya. Dan ketika
kita ikhlas, maka kemudahan yang akan kita peroleh. Biidznillah
bahwa segala sesuatu terjadi atas ijin Allah Ta’alla.”

Rini Widiastuti | 1
AKU DAN DEA

“Mboook, cepetaaan!”
“Simbooook! cepetan tolooong!”
Kembali suara Dea melengking. Seperti biasa tak
sabar memanggil simbok. Seolah tak peduli khadimatnya
sedang masak atau bahkan mandi.
Ach, bosan ku mendengarnya setiap pagi. Sepupuku
satu ini seolah tak pernah lelah memerintah simbok tua
yang sudah lanjut usia. Tak peduli dengan tumpukan
pekerjaan yang menanti. Di sini, kadang ku merasa
jengkel dengan Dea, sepupuku. Mau tak mau karena tak
tega, akhirnya aku maju juga.
“Stoop...stoop mulutmu tuch ya, Dea cantik, Dea
sayang.” Ucapku sambil mengatupkan telunjuk di bibirku
sendiri.
“Belajarlah untuk mengerjakan sendiri. Kamu coba
dulu, jangan dikit-dikit simbok!” Saranku pada Dea.
“Kamu pikir simbok ndak capek kah?” Lanjutku
menasihatinya.
Dengan bersungut-sungut, akhirnya ia kerjakan juga
tugasnya. Ia bersihkan sisa-sisa susu yang tumpah dari
gelasnya. Tumpah di atas kasur karena kecerobohannya

2 | Memahami Sabda Alam


sendiri. Meski dengan mulut manyun, ia kerjakan juga.
Sedikit banyak aku mulai belajar memahami karakter
sepupu cantikku, Dea.
Tergopoh-gopoh terdengar suara langkah kaki
menuju kamar. Bunyi derit pintu terdengar, menandakan
ada yang masuk. Aku tahu itu simbok. Masih dengan rasa
khawatirnya, tanpa menyeka keringat yang menetes di
kening dan wajah tua nya.
“Maaf, simbok masak di dapur, tidak mendengar.
Nanti kalau ditinggal, gosong “Jawab simbok
Menatapnya, ada rasa sedih.
“Keterlaluan, Dea nich.” Batinku
“Sudah mbok, tak apa. Simbok istirahat aja. Semua
sudah teratasi kok.” Balasku
“Iya, kan Dea...?” Tanyaku penuh penekanan sambil
memandang Dea.
Meski dengan muka masam, akhirnya senyum itu
keluar juga dari bibir manisnya. Lega rasanya. Setidaknya
aku masih bisa melanjutkan tulisanku di laptop. Semoga
ideku tak lenyap gara-gara ulah Dea.
Kembali menuju kamar. Bercengkerama dengan tuts-
tuts setiaku. Menggoreskan diksi dan menguraikan narasi
yang ada dalam otakku yang selama ini masih rapi
tersimpan. Inilah kehidupanku. Tinggal di rumah saudara

Rini Widiastuti | 3
demi sebuah cita-cita. Kuliah sambil menulis. Menulis apa
saja yang bisa aku tuangkan dalam layar.
Rasulullah SAW bersabda;” Bekerja giatlah pada apa
yang bermanfaat bagimu, janganlah melemah bila
sesuatu menimpamu maka jangan kamu katakan:
andaikan saya berbuat begini, niscaya akan begini.
Akan tetapi katakanlah: Allah telah menentukan, dan
apa yang DIA kehendaki maka dia laksanakan. Sebab
kata andaikan akan membuka pintu syaitan.” (HR.
Bukhari Muslim,no 2664)
Hadits di atas kian mengajarkanku bagaimana untuk
terus berproses tanpa berandai-andai. Harus semangat
untuk masa depan yang lebih baik. Semoga lelah ini jadi
lillah.
Hari berganti. Ada rasa rindu dengan ayah ibu dan
kedua adekku. Lama tak bersua. Mencoba menahannya
untuk sebuah harapan. Sebulan sekali mungkin itu cukup
untuk melepas kerinduan ini. Tak apalah.
Kembali mata melayangkan pandangan pada sebuah
boneka kecil. Boneka kecil hadiah ulang tahunku yang ke
sembilan belas tahun. Satu tahun yang lalu. Dari adek
perempuanku. Dia tahu aku tak suka boneka, masih saja ia
belikan. Katanya biar aku sedikit jadi perempuan. Lhoh?
Perempuan dia bilang. Gila! Jadi selama ini ia anggap aku
laki-laki? atau setengaah laki dan perempuan?!!Nooooooo.

4 | Memahami Sabda Alam


Aku tetaplah aku. Yang terlahir sebagai perempuan
dan sampai mati pun perempuan. Insya Allah. Tiba-tiba
terdengar ketukan pintu kamar. Buyar sudah huruf-huruf
dalam otakku.
“Kapan bisa konsentrasi jika dikit-dikit ada saja
gangguan.” Gumamku
“Ya, masuk.” Jawabku akhirnya.
Munculah tante.
“Maaf Ri, tante mengganggumu sebentar. Ada waktu?”
Kata tante.
“Tante minta waktumu, bisa?” Mengulagi pertanyaan.
“Iya, Tan. Ada apa?” Jawabku.
“Begini, Ri. Nanti malam pukul 21.00, om dan tante
berangkat ke Hongkong. Tante harus menemani om
urusan bisnis.” Jawab Tante.
“Berapa hari, Tan?” Tanyaku
“Mungkin sekitar 2 minggu. Nitip Dea ya, tolong
nasihati jika melakukan hal-hal yang aneh.” Ucap Tante
perlahan.
“Oh, lama juga ya, iya lah insya Allah Riri ndak ada
acara hanya ngampus saja, paling banter ya keluar ke
kantor redaksi aja.” Jawabku
“Terima kasih sayangku.” Ucap tante sambil
memelukku.
Tak lama tante keluar kamar.

Rini Widiastuti | 5
Kembali bergelut dengan tulisan. Jadi kepikiran
ucapan tante, ke Hongkong. Kapan bisa ke sana.
Penasaran, mencoba mencari tau tentang Hongkong di
mbah geogle.
Hongkong adalah negara semi merdeka dengan nama
resminya Hong Kong Special Administrative Region
(Daerah Administrativ Khusus Hong Kong). Hong Kong
juga sering disebut sebagai negara dalam negara
Tiongkok. Tahun 1841-1997 negara ini bernama British
Hong Kong di bawah kekuasn Inggris. Sejak tahun 1997
dikembalikan ke Tiongkok dengan status satu negara dua
sistem. Maka dari itu, Hongkong memiliki sistem negara
sendiri, mulai dari bendera mata uang Hong Kong Dolar
(HKD), paspor dan menganut sistem ekonomi kapitalis.
Hong Kong juga memiliki kepolisisan sendiri, namun tidak
memiliki tentara, karena pertahanannya masih
dikendalikan Tiongkok. Bahasa di Hong Kong berbeda
dengan Tiongkok dan Taiwan, mayoritas masyarakatnya
menggunakan bahasa Kantonis dan Inggris. Hong Kong
menjadi pusat perekonomian dunia dan dibandingkan
dengan singapura karena ukuran negaranya yang sama-
sama kecil, berpenduduk padat dan akomodasi yang
supermahal. Hong Kong juga terkenal dengan julukan Kota
Asia Dunia. Kota gemerlap dengan gedung-gedung
pencakar langit, pusat bisnis, perdagangan dunia,

6 | Memahami Sabda Alam


shopping, dan fashion. Sampai saat ini sikap anti Tiongkok
oleh generasi muda Hong Kong masih tetap berlanjut,
terutama di kampus. Beberapa mahasiswa Hong Kong
seringkali menyindir mahasiswa asal Tiongkok dengan
sifat dan perilaku buruk mereka sampai membuat
ketidakhrmonisan di antara mereka. Banyak juga orang
Hong Kong yang tidak menerima jika disebut sebagai
chinese. Mereka lebih suka disebut sebagai Cantonies
(orang Kanton).12
“Ternyata begitu ya Hongkong. Tempat bisnis.”
Gumamku perlahan sambil menutup pencarian di google.
Tak seindah bayanganku. Pantesan selama ini om dan
tante sering perjalanan ke sana.
Ketika tante memintaku menjaga Dea, terbesit dalam
hati, mungkinkah ada kekhawatiran pada anaknya?
Entahlah. Meski usia Dea bukan anak-anak lagi, kuakui
memang sifatnya masih kekanak-kanakan. Mungkin
karena anak semata wayang. Atau mungkin kurangnya
perhatian om dan tante. Mereka terlalu sibuk dengan
pekerjaannya. Bisa dibilang, keberadaanku di sini nyaris

1Dikutipdari:(https://www.geogle.com/amp/aceh.tribunnews.com/amp/2017/0

8/27/perbedaan-cina-taiwan-hong-kong-dan-macau

Rini Widiastuti | 7
menggantikan peran mereka. Om dan Tante tak tahu
bahwa jauh di lubuk hatiku aku bukan apa-apa.
Malam kian pekat. Dingin menyapa mengajakku untuk
segera beranjak ke peraduan. Entah sudah berapa lama
terpaku depan laptop. Melirik bantal guling. Menyerah
juga. Berlari mendekap menjemput mimpi.
Beberapa menit berlalu, mencoba pejamkan mata.
Namun rasa kian berkecamuk. Entahlah.
Tak ingat pukul berapa kuterlelap. Tiba-tiba terdengar
ketukan pintu.
“Aneh, siapa tengah malam gini ketuk pintu?”
Gumamku penuh tanda tanya.
Kulirik jam dinding, waktu menunjukkan pukul 02.00
wib.
“Ach, menganggu saja.” Gusarku.
“Ya, bentar, siapa?” Tanyaku.
Sunyi. Tak ada sahutan dari balik pintu. Penasaran
kuintip dari lubang kunci. Kosong. Tak ada siapapun.
Sekejap jantung menderu cepat. Pelan kubuka pintu
kamar. Bergetar tubuh dan kaki. Terpaku membisu. Tak
mampu teriak sebab suara tercekat di kerongkongan.
KeRiagat dingin mengalir.
“Om, Tante, kenapa kalian ada di sini? Bukankah tadi
ba’da isya’ sudah berangkat ke bandara?” Tanyaku pelan
penuh getar.

8 | Memahami Sabda Alam


Sepi. Tak ada jawaban dan tak habis pikir.
“Om...Tante....” Panggilku pelan.
Mereka tetap diam. Namun dari raut mukanya
terpancar kesedihan.
Kupandangi raut muka mereka. Pucat pasi.
Jantung kian berdegub kencang. Tercium aroma
melati. Sesak nafas memburu. Tiba-tiba terdengar lonceng
di ruang tengah. Jam dinding. Menyadarkanku untuk
beristighfar.
“Astaghfirullah...astaghfirullah...astaghfirullah.”
Ucapku berulang-ulang.
Dalam sekejap keduanya menghilang. Mimpikah aku?
“Non, Non Riri kenapa berdiri di pintu kayak orang
bingung?” Tanya Simbok.
“Eh, simbok. Simbok lihat om dan tante tidak,
barusan?” Tanyaku
“Non mimpikah? Lhah kan tuan dan nyonya jam 08.00
tadi berangkat ke Bandara. Masa ndak inget!” Jawab
simbok penuh keheranan.
“Mbok, beneran Riri lihat tadi.” Balasku ngotot. “Non,
dari tadi simbok buka pintu kamar yang simbok lihat
cuma Non bengong depan pintu, tak ada siapapun kecuali
Non Riri. Masa simbok bohong.” Jawab simbok mencoba
meyakinkanku.

Rini Widiastuti | 9
“Non, istighfar, mari ikut simbok tahajud.” Ajak
simbok.
Siapa saja yang menyeru kepada kebaikan, maka
baginya pahala seperti pahala orang yang
mengerjakannya itu.” (HR. Muslim,Tirmidzi dan Abu
daud dari Abu Mas’ud).
Tanpa membantah. Kuikuti langkah simbok menuju
tempat wudhu.
“Heran. Padahal di kamarnya kan sudah ada kamar
mandi. Kan bisa wudhu di situ dan sholat di kamar.”
Gumamku pelan.
Tapi selama ini, simbok selalu sholat di ruang khusus
tempat sholat.
Selesai sholat. Simbok masih heran dan bertanya.
“Non, tadi kenapa non Riri tanya soal itu.” Tanya
simbok.
“Anu, itu mbok. Aduh bingung Riri jelasinya. Abisnya
Riri aja masih ndak percaya.” Jawabku
“Anu apa, Non?” Tanya simbok tak mengerti.
“Riri kan tidur, tiba-tiba ada yang ketuk pintu. Terus
Riri intip lewat lubang kunci, tak ada siapapun. Kemudian
perlahan Riri buka pintu dan gemetar tubuh Riri.”
Jawabku
“Gemetar bagaimana, Non? Simbok kurang mengerti.”
Balas simbok kebingungan.

10 | Memahami Sabda Alam


“Ya, gemetar. Di depan kamar berdiri om dan tante.
Raut wajah mereka sedih, pucat. Riri tanya diam saja.
Terus tiba-tiba simbok panggil Riri. Habis tu hilang sudah
dari pandangan.” Jawabku yang menambah kebingungan
simbok.
“Non beneran liat? Atau cuma khayalan?” Semprot
simbok tak percaya.
“Mbok, masa Riri becanda. Ngapain juga lagi enak-
enak tidur bangun cuma buat bukain pintu. Mendingan
tidur aja. Simbok tadi lihat raut muka Riri kayak orang
bingung ketakutan kan?” Jawabku bersungut-sungut
“Ya udah, jangan dipikirkan, kita kembali ke kamar
saja.” Pinta simbok menenangkanku.
“Peristiwa ini jangan sampai non Dea tahu. Biarlah
kita simpan saja!” Pesan simbok.
Akhirnya dengan langkah gontai, aku kembali ke
kamar. Masih dengan penuh tanda tanya. Terlintas pikiran
buruk namun kucoba tepis jauh-jauh.
Tanpa terasa pagi menyapa. Mengajakku kembali
bercengkrama dengan kehidupan nyata. Entah pukul
berapa tadi malam kembali terlelap. Jadi ingat pesan
simbok membuatku termenung kembali.
Beberapa saat kunyalakan Televisi. Sambil menikmati
pisang goreng dan teh hangat buatan simbok. Berharap

Rini Widiastuti | 11
ada pikiran jernih sebab masih teringat kejadian semalam.
Ngeri-ngeri sedap kubilang.
Saat mengunyah pisang goreng, tiba-tiba tersedak.
“Non, hati-hati, pelan-pelan kalau makan.” Pesan
simbok dari dapur.
“Dea, Deaaa, cepetan sini! “teriakku tanpa
memperdulikan omongan simbok.
“Apaan sich, Kak. Pagi-pagi teriak. Turunin dikit napa
tu volume suara.” Jawab Dea keluar dari kamar.
“Coba Dea dengerin tu berita. Berita luar negeri,
pesawat di Hongkong mengalami kecelakaan. “Perintahku
padanya.
“Kak Riri jangan bercanda dech!” Jawab Dea khawatir.
Sambil duduk di sebelahku ikut menyimak berita.
“Kak, coba kita telfon papa dan mama ya. Semoga
mereka baik-baik aja.” Pinta Dea dengan rasa
khawatirnya.
“Oh iya ya, De. Kenapa kak Riri ndak kepikiran dari
tadi ya. “Menyadari kebodohanku.
Sementara Dea sibuk memencet nomor nomor di
hpnya, aku dan simbok ikut konsentrasi dan diam.
Beberapa kali telfon tidak juga ada sambungan. Di
tunggu hingga setengah jam. Kembali Dea menghubungi
om dan tante. Namun tak pernah ada jawaban. Inisiatifku

12 | Memahami Sabda Alam


menghubungi KBRI di Hongkong, kucari nomor telfon di
buku telfon. Alhamdulillah dapat.
Namun kembali tak ada jawaban. Nada sibuk. Dan
selama seharian aku dan Dea hanya diam. Mencoba
menenangkan Dea yang mulai menangis.
Perlahan suara simbok terdengar.
Non Riri, Non Dea. Alangkah baiknya kita ambil air
wudhu dan minta kepada Allah Ta’alla semoga Tuan dan
nyonya diberikan keselamatan.
“Iya, mbok.” Tanpa banyak bicara, aku dan Dea
mengikuti kaki simbok melangkah, menuju tempat
wudhu. Hanya itu yang bisa kami lakukan.
Dua raka’at dengan simbok sebagai imam.
“Non Riri, dan Non Dea, tanangkan hati kalian. Allah
Ta’alla tidak akan memberikan cobaankepada manusia
melebihi kekuatannya. Insya Allah.” Nasihat simbok pada
kami berdua.
“Kita semua akan mengalami cobaan dalam kehidupan
ini. Bisa saja secara langsung atau pun sebaliknya. Tapi
justru disitu kesabaran kita diuji, apakah kita bisa
bersabar ataukah tidak. Apakah kita ridha ataukah tidak.
Semuanya tak lain untuk mengurangi dosa-dosa kita.”
Kata simbok panjang lebar dan alhamdulillah
menenangkan hati kami.

Rini Widiastuti | 13
Q.S Al-baqarah (2):177:
“Dan orang-orang yang sabar dalam kesempitan,
penderitaan dan dalam peperangan, mereka itulah
orang-orang yang benar (imannya), dan mereka
itulah orang-orang yang bertaqwa.”
“Ketahuilah non, bahwa orang yang sabar adalah
orang-orang yang dicintai Rabb-nya.” Sambung simbok
menasihati kami.
“Dan Allah mencintai orang-orang yang sabar.” (Q.S.
Ali-Imran 146)
Tiba-tiba tangis Dea hadir tanpa bisa ditahan. Mau tak
mau aku pun ikut menitikkan airmata.
“Banyak sekali ayat dalam kitab suci Al-quran yang
menjelaskan tentang bentuk kesabaran ketika
menghadapi ujian beserta pahalanya.” Lanjut simbok.
“Dan sesungguhnya Kami akan memberikan balasan
kepada orang-orang yang sabar dengan pahala yang
lebih baik dari apa yang mereka kerjakan.” (An-
Nahl:96)
“Mbok, sanggupkah kami bersabar dengan ujian ini?”
Tanya Dea sesenggukan.
“Insya Allah sanggup, yakinlah pada hati kalian. Dan
yakinlah dengan balasan yang akan kalian terima jika
kalian mampu bersabar.” Jawab simbok mantap
menenangkan hati kami yang bergemuruh.

14 | Memahami Sabda Alam


“Allah menguji sesuai dengan keimanan kita, apabila
iman kita kuat, maka Allah akan memberikan ujian yang
lebih berat dan jika iman kita lemah maka ujian itu pun
ala kadarnya. Jadi mau pilih yang mana?” Tanya simbok
membuat aku dan Dea saling pandang.
“Berharap iman kami kuat, Mbok.” Jawab aku dan Dea
hampir bersamaan.
“Simbok percaya, Non Riri dan Non Dea mampu,
tahanlah lidah agar tidak banyak mengeluh, dan itu
merupakan bekal seorang mukmin dalam kehidupan.
Sabar itu sebagian dari iman. Sama kedudukannya antara
kepala di atas badan. Tanpa badan, kepala tak ada
gunanya, begitu juga sebaliknya tanpa sabar, iman tak ada
artinya.
Keesokan harinya, telfon berdering dari KBRI di
Hongkong, dan memberikan kabar bahwa nama om dan
tante masuk dalam daftar korban yang tidak selamat
dalam kecelakaan pesawat tersebut.
“Innalillahi wa inna’ilaihi roji’un.” Getar terucap dari
bibirku tanpa sadar terlepas telfon dari genggaman.
Sementara Riri pun pingsan setelah mendengar
ucapanku barusan.
“Ya Rabb, inikah pertanda kepergian om dan tante
beberapa malam yang lalu?” Batinku menggema.

Rini Widiastuti | 15
“Mbok....jadi benarkan apa yang kuceritakan ke
simbok bahwa mereka berdua menemuiku tengah malam
yang kupikir adalah mimpi, ternyata itu sebuah pertanda
bahwa mereka ingin pamit.” Ucapku tanpa sadar.
“Dea, Dea sadarlah, istighfar. Insya Allah Dea kuat
karena kita saling menguatkan. Kak Riri selalu ada buat
Dea.” Ucapku mencoba membangunkan Dea dan mau tak
mau airmata pun deras membasahi pipi.
Jika dipikir, ikhlas itu serasa jauh dari jangkauan
namun ketika berusaha menggapainya, tak akan mustahil
meski tak kan mudah.
“Kak, kenapa harus Dea yang dikasih ujian ini,
kenapa?” Tanya Dea setelah sadar.
“Karena Allah Ta’alla sayang dengan Dea.” Jawabku
pendek.
“Jika Dea tanya di mana keikhlasan itu, jawabannya
ada di sini, dihati kita.” Imbuhku menenangkannya.
“Ketika kita ikhlas, pada dasarnya kita telah
menyatukan pikiran dan hati kita untuk senantiasa
berpasrah diri kepada-Nya. Dan ketika kita ikhlas, maka
kemudahan yang akan kita peroleh. Biidznillah bahwa
segala sesuatu terjadi atas ijin Allah Ta’alla.” Lanjutku dan
semoga Dea memahami.

16 | Memahami Sabda Alam


Sementara tak jauh dari kami, terlihat simbok
menitikkan airmata sambil menganggukkan kepala
kepadaku. Tatapannya mendukung ucapanku.
“Terima kasih ya, mbok. Terima kasih karena selalu
ada untuk kami, tak pernah lelah menasihati kami.”
Jawabku lirih.
“Insya Allah kami ikhlas.” Lanjutku.
Begitulah, pada akhirnya semua yang bernyawa pasti
akan kembali pada pemilik-Nya. Sebab kematian adalah
sebuah keniscayaan bagi setiap makhluk hidup.
“Ketika engkau melalui masa yang sulit, ketika
segalanya seperti berbalik melawanmu, ketika kamu
merasa bahkan tak sanggup lagi menjalani satu menit
hidupmu, jangan menyerah! Karena waktu dan tempat
inilah hidupmu akan berubah arah.” (Jalaluddin Rumi)

Rini Widiastuti | 17
CATATAN
TENTANG KEHIDUPAN

K
ehidupan seumpama lembaran-lembaran
dalam catatan buku. Kita bisa menorehkan
kisah dalam tiap halamannya. Tapi
sungguh, kita tak kan pernah tahu apa yang menanti di
halaman berikutnya.
Seperti rintik di pagi ini. Hadir menyapa tanpa
permisi. Jalanan lengang sebab senyum dan tawa tak lagi
menggenang. Hanya sesekali mampir untuk menengok,
lalu kembali melangkah.
Rintik yang hadir tanpa permisi menciptakan dingin
menusuk pori di jiwa. Lembaran perjalanan yang telah
lewat adalah bayangan yang tak lagi mampu kugenggam.
Sebab hujan telah menghapus jejaknya dan mungkin
terperangkap dalam rangkaian tak berkesudahan.
Tak seharusnya kuhentikan waktu dan mengunci
diri di dalamnya. Melepas segala pinta pada-Nya.
Kerinduan kian menyuarakan hati. Menambah memar
hati merusak lembar catatan selanjutnya.Tak sepantasnya
membekap rasa jadi satu rongga tak berpintu. Bibir

18 | Memahami Sabda Alam


mungkin bisa berdusta namun nurani kerap bicara
sebaliknya.
Perlahan kucoba sematkan waktu di setiap
perjalanan yang sesekali masih terhenti untuk sekadar
mengingat berjuta kenangan yang terus saja mengikuti.
Terkadang pun masih mencoba mengulang meski tak kan
pernah sama. Sebab tak semua asa menjejak pada
hamparan semesta layaknya arus air yang menemukan
muaranya. Sejatinya aku tak pernah mampu melangkah
tanpa dekapan malam, sebab dengannya aku mampu
mengistirahatkan penat dari tiap perjamuan makhluk-
Nya.
Pada ruang dan waktu masih kusempatkan untuk
sembunyikan rindu pada bait-bait puisi dan bukan suatu
kebetulan jika kita saling merasakan sebab segalanya
telah terangkai di lembaran catatan-Nya. Pada senja
kutitipkan rindu untuk waktu yang tak pernah berbatas.
Meski waktu masih belum bersahabat dan terkadang
membisu namun masih menjelmakan rindu pada setetes
air pada sudut mata.
“Lantas apakah engkau memahami bahwa
senyummulah yang membuatku tetap bertahan pada
kerasnya kehidupan yang terus menerus menggerus
waktu meski pada sepenggal kisah ada nafas terengah.”
batinku tak mampu bergeming dari apa yang terjadi.

Rini Widiastuti | 19
Pada senja yang nyaris mengubah jalan hidupku,
mengubah duniaku hingga kusimpan harap pada awan
yang menggumpal hingga menjadikannya pekat dan
masih setia menurunkan tetesannya. Masih kupintal jiwa
dan berharap tak pernah berlalu.
Tahukah engkau bahwa kuperlahan mengemas tiap
kerinduan dan kuyakin itu ‘kan terulang meski rembulan
tak jua menjuntaikan cahyanya. Dan untuk mengantisipasi
meluapnya rindu yang datang silih berganti, sejenak
menepikan diri dan menyambut perjamuan-Nya.
Mencoba menelusuri kembali tentang cinta-Nya:
“Dan sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak
Adam, Kami angkat mereka di daratan dan di lautan,
Kami beri mereka rezeki dari yang baik-baik dan
Kami lebihkan dengan kelebihan yang sempurna atas
kebanyakan makhluk yang telh Kami ciptakan.” (Q.S
Al-Isra’: 70).
Paling tidak ada motivasi tersendiri dalam benak
untuk tetap bangkit dalam kejatuhan. Aaah, sudah lama
aku tak bercengkerama dengan-Nya. Bukan hanya
sekadar kata tapi lebih dari makna dalam tiap ketetapan-
Nya. Bukan hanya tentang sapa namun dekapan hangat
yang kuinginkan dari-Nya. Gemericik tangis pun seakan
meredakan segenap peristiwa hingga meleburkan
keangkuhan yang selama ini mendera. Tahukah engkau

20 | Memahami Sabda Alam


bahwa bukan hanya sekadar siluet jingga menyapa namun
pertemuan pada hening dengan-Nya yang kuinginkan.
“Janganlah kamu bersikap lemah dan janganlah pula
kamu bersedih hati, padahal kamulah orang-orang
yang palig tinggi derajatnya jika kamu beriman.” (Q.S
Ali- Imran:139)
Terlalu naïf rasanya ketika kudapatkan semuanya
namun kumelupa seperti senja tinggalkan malam.
Tahukah engkau bahwa apa yang manusia punya
hanyalah fana dan perihal melupakan adalah satu-satunya
jalan untuk meningglkan meski tak ada keinginanku
untuk pergi, sebab semua berarti. Entah bagimu, hanya
hatimu yang tahu.
Sebuah pencarian yang belum jua mampu temukan
dalam kehidupan. Melelahkan. Sedikit demi sedikit
mengurai apa yang pernah menghilang, mengumpulkan
kembali.
Kembali catatan menambah lembaran halamannya.
Sebab seberapa pun kuat rahasia menyangkal faktanya.
Namun kisah akan tetap jadi kisah yang tercatat di
dalamnya. Dan bila suatu saat ingatanku tak lagi setia,
entah karena usia senja, entah karena kematian
merenggutku, maka catatanku tentang kehidupan akan
terus terbaca, maka catatanku yang tersembunyi kelak
akan dibuka oleh-Nya. Semoga itu catatan yang baik.

Rini Widiastuti | 21
Demi masa dan demi waktu, kutinggalkan kenangan
untuk keluargaku, sahabat-sahabatku, dan mungkin untuk
orang-orang yang sekadarnya mampir sejenak. Ketika
catatan itu telah terbuka, mungkin telah selesai jatah
kehidupanku di dunia, atau barangkali aku masih ada
entah di mana.
“Apakah kamu tidak mengetahui bahwa
sesungguhnya Allah mengetahui apa saja yang ada
di langit dan di bumi? Bahwasannya yang demikian
itu terdapat dalam sebuah kitab (Lauh Mahfudz)
Sesungguhnya yang demikian itu amat mudah bagi
Allah.” (AL-Hajj: 70)
Rasululah bersabda:” Allah telah menulis ketentuan
seluruh makhluk sebelum menciptakan langit dan
bumi selang waktu lima puluh ribu tahun.” (H.R
Muslim).
Inginku sampaikan kisah tanpa sesal, sebab
kupercaya lembaran demi lembarannya masih mau
menerima. Mungkin kita pernah merencanakan meski
kadang tak terlaksana. Tak mengapa dan biarkan sunyi
menyisakan jarak bahkan mengisi di antara kita. Hingga
suatu saat tanganku gemetar menorehkannya.
Pernah kuletakkan sebuah buku yang telah lama
teronggok manis di atas rak. Ada juga beberapa
lembarnya kucoret untuk menutup sesuatu yang tak ingin

22 | Memahami Sabda Alam


kubaca. Sampai di situ aku pun berhenti untuk menulis,
untuk sejenak melupakan segenap penat. Namun tak
sengaja kutemukan kembali. Kubuka kembali dan ada
beberapa sudutnya rusak. Sampai di sini aku masih diam
terpaku. Kembali jemari mencoretkan apa yang terjadi
dalam kehidupan untuk jadi sebuah kisah yang mungkin
sebagian lain pun pernah merasakannya. Namun ketika
ingin kumenitipkan tulisan lagi, ada luka yang hanya
mampu kurasakan sendiri. Mungkin kisahku tak menarik
bagi siapapun, tak apa. Toh itu bukuku. Buku
kehidupanku yang suatu saat akan kutinggalkan
selamanya. Yang suatu saat hanya menjadi sebuah kisah
yang mungkin bagi orang lain tak ada artinya. Entahlah.
Suatu saat ketika kutiada dan hanya tertinggal buku
itu, teruslah merangkainya. Tuliskan sesuatu yang lebih
menarik dari kisahku, namun jangan robek lembaranku di
halaman sebelumnya. Biarkan ia jadi seonggok kisah
tanpa nama. Sebab ‘ku tak butuh nama. Aku hanya ingin
sedikit saja bahagia, sedikit saja. Tak banyak kok.
Bukalah catatanku tentang kehidupan. Meski
mungkin bagimu hambar dan hanya sebatas aksara tanpa
makna. Akan kau dapati gemerisik dedaunan
menyuarakan jatuhnya. Menjadi deretan prosa-prosa
penuh rasa. Berharap ketika kita sebagai hamba-Nya
berserah diri, kita sama-sama mampu memunguti semua

Rini Widiastuti | 23
kisah yang berserak tanpa jejak. Bukalah catatanku dan
bacalah, barangkali di sana sedikit kau temui bahagia
meski tak sesempurna yang diingin. Kan kau akrabi
rinduku yang mengemas tanpa detak, sebab di sana
terlalu banyak kenangan yang tak mampu menemui
jalannya untuk terbang dan tak lagi hinggap dalam
pikiran. Tak ada lagi janji-janji terpenuhi. Ada dinding
tinggi nan kokoh yang tak mampu kurobohkan di luasnya
samudera yang terus saja menjeda tanpa titik terlebih
koma. Catatan kehidupanku merenda kuat pada sisa-sisa
imaji yang dulu pernah jadi asa dan harus lusuh payah di
relung paling sunyi.
Untukmu, siapapun yang nanti membaca catatanku.
Percayalah, bahwa di sana tak kan kau temui senyum
yang terpahat diksi sebab perihnya telah tertuang dalam
cangkir pekat pahit yang sering kusebut kopi. Catatan
tanpa judul pada bisikan nurani yang tak sanggup lagi kau
dengar mungkin sedikit menyapamu, sedikit
menggetarkan rindumu pada lelahnya ruang yang kuberi
nama hati.
“Oh, ya hampir saja kuterlupa ingin sedikit bertanya,
masihkah secuil saja ada keinginanmu untuk menyertaiku
membuka waktu, membantuku merangkai perih untuk
kemudian kuhempaskan?” tanyaku

24 | Memahami Sabda Alam


“Untuk apa kau bicara senaif itu, semua sudah jelas
bahwa langit tetaplah di langit, dan bumi tetaplah di bumi
memijak tanpa tapi. Dan semesta hanya mampu
merengkuh namun tak ‘kan mampu menyatukan!”
ucapmu saat itu.
“Jika saja saat itu kau mau sedikit saja melepaskan
yang ada ditanganmu, mungkin semesta akan sedikit
membuka jalannya.” imbuhmu sedikit bergetar.
Nah, begitulah catatan hidupku, yang lembarannya
tak lagi membiru apalagi mengharu-biru, sebab hitam
telah memeluknya tanpa sedikitpun celah untuk putih
teteskan warnanya. Aku yang masih saja setia meramu
pada tiap gradasi pelangi yang tak lagi sesempurna mimpi
yang mulai mengikis Perlahan kupejamkan mata,
merasakan dingin menelusup rongga dada, masih kucium
lembaran-lembaran kusam yang dulu kutorehkan tinta
dengan jemari lentik ditemani butiran tetes bening.
Kusampaikn pada siapa saja bahwa ketika kau buka
catatatanku nanti, tak kan lagi kau dapati diksi mengais
kisah lagi, sebab ia telah luruh bersemayam kian dalam
pada deretan waktu yang tak lagi kuharapakan. Pada
setiap lembaran kisah yang kutuliskan, telah
kupersembahkan sebuah keikhlasan. Telah kurebahkan
segenap mimpi pada catatan halaman. Telah kulukiskan
perih yang belum jua beranjak punah.

Rini Widiastuti | 25
Pada akhir lembaran catatan kehidupanku, carilah
desau angin yang pernah kubisikan suatu rahasia yang
bersimbah butiran doa untuk kau semayamkan pada
getaran waktu. Biarkan perlahan ia memasuki pikiranmu
lantas sematkanlah dihatimu tentangku yang tercabik
keegoisan takdir. Biarkan tentangku mendekapmu erat
sebelum jatuh meluruh di hamparan pelukan semesta.
Biarkanku melabuhkan seluruh kisah sebelum tersapu
angin dan terbawa arus air. Ijinkanku menyelesaikan
catatan sebelum kutamatkan rinduku sebagai sebuah
kisah yang mendebu. Beriku kesempatan bercengkerama
denganmu sebelum kulanjutkan perjalananku, ‘kan
kutitipkan bisingnya kehidupan pada heningnya malam
hingga esok senja kau temui lagi. Dan ‘kan kau lihat ukiran
makna di setiap deretan aksara. Rasanya cukup sampai di
sini kutinggalkan catatan kehidupanku tentangku
tentangmu yang telah menggenang pada pusaran rindu.
Menghitung seberapa besar persimpangan dihadapan
hingga sulit untuk kita satukan dengan helaan nafas sekali
pun. Tertatih kumelangkah pada bulir waktu yang tak lagi
mampu kujangkau.
Kutitipkan catatan kehidupanku pada lembaran
yang kesekian, kian kusam tergerus waktu. Pada rak
berdebu, kusisipkan di antara buku-buku kesukaanku.
Pada senja, ia kan terlihat warnanya, menguning. Dan

26 | Memahami Sabda Alam


ketika kau temukan, jasadku telah jauh terkubur di
kedalaman.

“Dan adapun Orang-orang yang berat timbangan


(Kebaikan)nya, maka dia berada dalam kehidupan yang
memuaskan. Dan adapun orang-orang yang Riagan
timbangan (kebaikan)nya, maka tempat kembalinya
adalah Neraka Hawiyah.” (Q.S. 101.Al-Qari’ah: 6-9)

Rini Widiastuti | 27
CATATAN CINTA DALAM DIAM:

“Tak ada yang bisa menebak kehidupan seperti apa yang


akan dijalani setiap insan manusia. Hanya ikhtiar, doa, dan tawaqal
yang membuat kita mampu menghadapi setiap lipatan-lipatan alur
kehidupan. Sebab tak semua persinggahan mampu meninggalkan
hikmah dibaliknya.”

28 | Memahami Sabda Alam


CINTA DALAM DIAM

K
epak sayap burung kian jelas searah
derunya angin, gerimis tak jua surutkan
niatnya untuk henti sejenak. Senyapku
dendangkan senyum seiring hembusan nafas yang kian
berat. Khayalan makin lama kuandaikan makin jelas
tergambar bahwa kehidupan kian membentang
dihadapan. Pun tak terkecuali diriku. Berharap bahwa
hidup sesuai dengan apa yang kupikirkan, sesuai yang
kubayangkan.
Ujian nasional kian menanti. Yach, Cacha, itu
namaku. Kata orang masa SMA masa bahagia. Bahagia
punya banyak teman, sahabat dan main kemana aja.
Namun tidak denganku.
“Cha, pulang sekolah kita kerjakan tugas kelompok
ya. Ada tugas dari bu Ina.” Ajak Linda memecah
kesunyian.
“Oh, jam berapa? Kalau sore aku ndak bisa.”
Jawabku
“Pulang sekolah aja, gimana? Kan lebih enak.” Usul
Dino.

Rini Widiastuti | 29
“Ok, setuju. Gimana yang lain?” Jawabku.
“Kami setuju saja, lagian lebih cepat lebih baik.”
Jawab Nina dan Jojon hampir bersamaan. Akhirnya
semua sepakat tugas kelompok diselesaikan sepulang
sekolah. Bisa menghemat waktu. Waktu sangat berharga
buatku. Sebab sore harus bergantian dengan ibu menjaga
toko. Sedangkan ayah bekerja di kantor dinas pendidikan
hingga pukul 04.00. Kasihan jika harus ikut terlibat
dengan toko. Toko kami tak terlalu besar, namun cukup
untuk membiayai kami, anak-anaknya. Yach, aku anak
kedua dari tiga bersaudara. Kakakku sudah bekerja dan
menikah serta tinggal di kota lain. Sedangkan adikku
masih SMP kelas dua.
Pukul 15.00 tugas kelompok selesai. Pulang ke
rumah masing-masing hanya membutuhkan waktu
kurang lebih sepuluh menit.
“Assalamu’alaikum....” Ucapku sesampainya di
rumah.
“Wa’alaikumsalam, Cha.” Jawab Ibu.
“Kok baru nyampai, ada apa di sekolah?” Tanya Ibu.
“Tadi ada tugas kelompok dan langsung dikerjakan
sepulang sekolah. Daripada pulang dulu dan baru
mengerjakan. Maaf bu, mendadak ndak sempat kasih
kabar.” Jawabku untuk menghilangkan kekhawatiran ibu.

30 | Memahami Sabda Alam


“Oh, gitu, segera ganti, segera ganti pakaian dan
makan. Pastinya Cacha laper kan?” Perintah Ibu.
“Ya, bu. Cacha masuk dulu.” Jawabku.
Kamar adalah tempat yang paling menyenangkan.
Bisa istirahat dari segala aktifitas. Ingat pesan ibu
membuatku segera bangkit dan beranjak dari tempat
tidur. Mengganti pakaian ke kamar mandi dan lanjut
makan siang. Perut ternyata minta jatah tak bisa lagi
diajak kompromi. Apalagi melihat hidangan di meja
makan. Tumis kangkung, sambal terasi dan ikan. Makanan
favoritku.
Beberapa saat kemudian.
“Bu, Cacha dah selesai, ayo ibu istrirahat dulu.”
Ucapku.
“Baiklah”Jawab Ibu.
Sore sampai ba’da maghrib tugasku jaga toko,
menggantikan ibu. Menghilangkan rasa kantuk salah
satunya dengan main game. Game apa saja. Ternyata
berkali-kali pembeli datang. Lenyap sudah kantukku.
Sejenak ingatan melayang pada sebentuk hati yang
mungkin tak kan peduli atau tak pernah tahu. Bagaimana
kuselama ini memikirkannya. Cinta dalam diam. Itu yang
kurasakan. Sakit, namun itu pilihan. Sebab kumerasa tak
pantas untuknya. Aku bukan siapa-siapa yang bisa
dibanggakan. Meski selama ini peRiagkat satu kusandang.

Rini Widiastuti | 31
Aku bukan anak orang kaya, seperti dia dan teman-
temannya. Itu yang membuatku ragu menunjukkan
perasaanku. Azam namanya.
Senja hampir tenggelam, ketika tak sadar sebuah
panggilan sayup-sayup kudengar. Kukenal suaranya.
“Kok mirip ya.” Gumamku.
“Maaf, dimana letak permen pedas manis ya,“
Tanyanya.
“Oh, ada dibaris ketiga dari belakang.” Jawabku.
Entahlah, mungkin cuma perasaanku saja.
Tanpa melihat siapa pembeli.
“Sudah tadi ketemu yang dicari? Semoga masih
ada.” Tanyaku tanpa melihat.
“Cha, kamu Cacha kan?” Tanyanya.
Sambil melihat ke pembeli. Kaget bercampur
seneng. Seperti mimpi, membuatku terdiam sesaat.
“Eh, Azam, ya. Lho dari tadi kamu yang tanya.”
Ucapku sedikit gugup mencoba menetralisir keadaan.
“Iya, kamu sendiri? Ini tokomu? Wah besar juga ya
Cha.” Ucapnya antusias.
“Toko ibuku, ndak juga, alhamdulillah.” Balasku.
“Oh, ya. Berapa permen dan air mineral ini?” tanya
Azam.
“Dua puluh lima ribu rupiah.” Jawabku.

32 | Memahami Sabda Alam


“Rumahmu di sini, di belakang toko inikah Cha?”
Tanyanya.
“Iya.” Jawabku singkat.
“Mau mampirkah?” Harapku.
“Maaf, lain kali kumampir dech ke rumahmu. Ini
soalnya ditunggu temen-teman, ada acara.” Jawab Azam.
Membuatku sedikit kecewa. Tapi sudahlah. Toh
kami ndak akrab. Dia kakak kelasku.
“Oh, gitu. Ya udah. Hati-hati di jalan.” Ucapku
perlahan.
“Makasih ya, Cha.” Balasnya sambil senyum.
“Masya Allah, mimpi apa aku. Dia datang ke toko.
Inikah yang namanya rejeki tak terduga?” Gumamku.
Hidup itu rumit, tak kala kita yang membuatnya jadi
rumit dan justru sebaliknya akan terasa mudah ketika tak
banyak keluh kesah.
Azam. Kembali nama itu bertengger dikepala.
Bagaimana dia? Seperti apa dia? Tak pernah pasti. Sebab
selama ini hanya perasaanku yang berjalan. Sedangkan
kedua langkah kakiku stagnan di tempat. Tak ada
keberanian untuk sekadar menatapnya lebih lama.
Rasanya terlalu perih. Pernah kulihat ia bersama seorang
gadis. Hanya jalan sich. Mungkin kekasihnya. Mungkin.
“Cha, maghriban dulu gih, biar ibu yang tunggu.”
Tiba-tiba suara ibu mengagetkanku.

Rini Widiastuti | 33
“Cha, kenapa, Nak. Kok kaget gitu? Lihat apa tadi?”
Tanya ibu khawatir.
“Ndak, bu, Cacha ndak kenapa-napa kok.” Jawabku
menutup kekhawatiran ibu.
“Bu, Cacha maghriban dulu ya, oya, jangan malam-
malam tutup tokonya, kasihan nanti ibu kecapekan.”
pintaku.
Malam pun kian pekat. Kabut tebal menyelimuti.
Hingga nyaris membuatku menggigil.
Waktu terus berputar seolah menggilas setiap
perjalanannya, hingga kenangan demi kenangan nyaris
terlupakan.
Empat tahun berlalu. Delapan semester kulalui
dibangku kuliah. Alhamdulillah, perguruan tinggi negeri
kuraih.
Sekelebat ingatan kembali pada sosok laki-laki yang
pernah singgah sesaat. Astaghfirullah, ternyata aku masih
mengingatnya.
Kala rembulan mengajakku bercanda, memang
masih ada gejolak menyapa. Di usiaku yang ke dua puluh
dua belum pernah sekalipun mengenal pacaran. Ach,
biarlah. Insya Allah yakin bahwa jodoh yang terbaik akan
hadir pada waktunya. Saat ini fokus selesaikan kuliah.
Kasihan ayah dan ibu.

34 | Memahami Sabda Alam


“Sesungguhnya jika engkau meninggalkan sesuatu
karena Allah, niscaya Allah akan memberi ganti
padamu dengan yang lebih baik.” (HR. Ahmad,5:363)
Sering kutertawa sendiri ketika teman-teman kuliah
menggoda dan menjodohkan dengan seseorang. Kata
mereka bukan jamannya jomblo, tidak baik lama-lama
menyendiri. Dan segudang candaan mereka.
Satu tahun berlalu.
Mengingat masa masa yang telah lewat adalah hal
yang kadang menyenangkan, paling tidak bisa
menyegarkan pikiran kala pekerjaan menumpuk. Tak
ingin berpikir bahwa setumpuk pekerjaan menanti
dengan setia menjadi sebuah beban yang memberatkan.
Biarkan mengalir apa adanya.
Tiba-tiba hp berdering.
“Cha, ini ayah, gimana kabarmu?” Suara Ayah di
seberang.
“Baik, Yah. Tumben malam-malam telfon. Ada apa.”
Jawabku.
“Alhamdulillah. Gini, ayah Cuma mau bilang besok
pulang ke rumah ya, ada hal penting yang harus
dibicarakan. Cacha ada waktu kan?” Ucap ayah.
“Besok kah, Yah?” Tanyaku balik.
“Iya, besok.” Jawab Ayah.

Rini Widiastuti | 35
“Saya usahakan ya, Yah, soalnya pagi ada rapat
dengan bos dan seluruh karyawan dan belum tahu pukul
berapa selesai.” Jawabku.
“Selesai rapat, pulanglah. Nanti ayah jemput di
kost.” Pinta ayah sedikit memaksa.
Menimbulkan banyak tanya.
“Ada apa? Mengapa? Dan kenapa ndak langsung
bicara ditelfon?” Gumamku masih dengan rasa penasaran.
Sebab tak biasanya ayah membiarkan orang bertanya-
tanya.
Malam pun kian beranjak. Mengajakku untuk lelap
meletakan segala penat. Berharap menjemput mimpi
terindah.
Matahari sudah menggelincir ketika rapat selesai di
kantor.
Ingat pesan ayah. Setengah berlari, Aku harus
pulang hari ini juga. Rasa penasaran makin menggila.
Menjalar hingga membuatku enggan untuk menyentuh
makan siangku. Tak ada nafsu makan meski perut
memainkan musiknya.
Ach, ayah. Engkau buat anakmu penasaran. Dag dig
dug. Padahal ada hp. Tapi hp ndak penting buat ayah saat
ini, yang terpenting kehadiranku. Begitu ucap ayah.
Kebetulan nebeng temen bisa lebih cepat menuju
kost. Memasuki pelataran rumah kost. Rumah yang sudah

36 | Memahami Sabda Alam


lebih dari empat tahun kubersemayam menyelami hari-
hari sejak kuliah sampai kerja. Entah mengapa
membuatku enggan untuk pindah tempat meski ada yang
lebih bagus. Mungkin kenyamanan telah kudapati di
tempat ini. Hanya dua orang yang tinggal di sini. Aku dan
Nindia. Nindia juga sudah bekerja hanya beda
perusahaan.
Terlihat senyum ayah terpancar dari wajahnya.
“Sudah lama, Yah? Kenapa ndak masuk saja”
tanyaku
“Ora, nduk” (tidak, nak). Baru saja beberapa menit
ayah sampai.” Jawab ayah melegakan.
“Ganti bajumu dan kita segera berangkat! Lebih
cepat lebih baik.” Pinta ayah.
“Ya, Yah.” Tanpa banyak membantah, segera
beranjak dari tempat duduk di teras.

Dalam perjalanan.
Sepanjang perjalanan menuju ke rumah di desa.
Ayah tak banyak bicara. Hanya nasihat-nasihat seorang
ayah pada putri kandungnya.
Menikmati setiap perjalanan adalah suatu
keharusan buatku. Daripada tidur dan bermimpi.
Mentari sore masih saja sebentar-sebentar
mengintip di antara kaca mobil. Membentuk coretan-

Rini Widiastuti | 37
coretan diwajah dan sedikit menyilaukan. Seolah berseru
“Cepatlah ada yang menantimu!”. Membuatku tersenyum
tanpa sadar.
“Cha, kenapa senyum-senyum sendiri?” Tanya ayah
membuyarkan lamunan.
“Ndak, Yah. Tadi inget candaan temen di kantor aja.”
Jawabku sekenanya.
Panorama senja kian menambah cantik garis-garis
di angkasa. Sedikit tergoda untuk menikmati keagungan-
Nya.
Tak terasa dua jam sudah berjalan. Sampai di
halaman rumah dan masih ada toko yang sejak SD sudah
ada. Alhamdulillah sudah ada lima orang yang ikut
mengelola untuk membantu ibu.
Sampai di rumah, ibu dan adik-adik serta keluarga
besar menyambut kami dengan bahagia. Terus terang
sedikit membingungkan. Seperti sebuah kejutan, seperti
entahlah, yang pasti ada apa sebenarnya. Pertanyaan
masih menggelayut dan tak ada yang mengijinkanku
untuk bertanya sebab mereka mengarahkanku untuk
segera membersihkan badan dan istirahat.
Waktu maghrib telah lewat dan kami makan
bersama. Hidangannya pun bermacam-macam namun
meski perut sudah memanggil karena sedari siang belum

38 | Memahami Sabda Alam


ada makanan yang masuk, hanya menyisakan tanda tanya
yang kian besar dibandingkan rasa lapar.

Beberapa saat kemudian.

“Ayah, ibu, serta keluarga meminta Chaca pulang


karena ada hal penting yang akan kami sampaikan.” Kata
Ayah mulai membuka percakapan.
“Beberapa waktu yang lalu ada keluarga Bapak
Muhammad Husein datang ke rumah beserta putranya
Azam. Mereka bermaksud melamar Chaca. Nah,
berhubung Chaca saat itu tidak di rumah maka Ayah sama
Ibu belum bisa langsung menjawab permintaan mereka.
Kami menunggu jawaban Chaca. Apapun keputusan
Chaca, Ayah, ibu ikut aja.” Ucap ayah bijaksana namun tak
urung membuatku terkejut.
“Ayah meminta tolong beberapa kerabat dan
sahabat kajian ayah untuk mencari informasi tentang
keluarga tersebut. Alhamdulillah, insya Allah mereka dari
keluarga baik-baik.” Penjelasan ayah membuatku yakin
bahwa keluarga menerima mereka.
“Cha, dalam Islam tidak ada kata pacaran sebelum
menikah, ayah ingin putri ayah terjaga dari panasnya bara
api Neraka. Itulah bukti cinta ayah pada Chaca.” Jawab
ayah mencoba meyakinkanku.

Rini Widiastuti | 39
“Dan janganlah kamu mendekati zina, sesungguhnya
zina itu adalah suatu perbuatan yang keji. Dan suatu
jalan yang buruk.” (Q.S. Al-Isra’ (17): 32)
“Artinya, jika kita mendekati zina saja tidak boleh,
apalagi sampai melakukan zina, jelas-jelas lebih
terlarang.” Lanjut ayah
“Lantas apa yang musti harus kupertimbangkan jika
ayah dan ibu sendiri sudah setuju. Ach, entahlah. Aku
sendiri bingung harus menjawab apa. Sebab semua terasa
mengejutkan.” Batinku berkecamuk.
“Terserah ayah ibu saja bagaimana baiknya.”
Akhirnya kubuka suara.
“Cha, istikharah dulu sebelum mengiyakan.
Mantapkan hatimu. Jangan karena ayah dan ibu setuju
lantas Chaca pun langsung mengiyakan. Insya Allah
seminggu lagi mereka datang.” Saran ibu terasa bijak
menenangkan.
Sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
“Apabila salah seorang di antara kalian hendak
melakukan sesuatu (yang membingungkan), maka
lakukanlah shalat (sunnah) dua raka’at selain sholat
wajib kemudian bacalah: Ya Allah, sesungguhnya aku
memohon pilihan yang tepat kepada-Mu dengan
ilmu-Mu dan aku memohon kekuatan kepada-Mu
(untuk memutuskan urusanku dan mengatasinya)

40 | Memahami Sabda Alam


dengan kemahakuasaan-Mu. Aku memohon kepada-
Mu kebaikan dari karunia-Mu yang agung,
sesungguhnya Engkau Maha Kuasa, sedang aku tidak
kuasa, Engkau Maha Mengetahui sedang aku tidak
mengetahui dan hanya Engkau-lah yang Maha
Mengetahui hal ghaib. Ya Allah, apabila (menurut
pengetahuan-Mu) Engkau mengetahui bahwa urusan
ini (hendaknya disebutkan urusannya) lebih baik
bagiku dalam urusan agamaku, penghidupanku, dan
akibatnya bagi akhiratku. Akan tetapi bila (menurut
penngetahuan-Mu) Engkau mengetahui urusan ini
berdampak buruk bagiku dalam urusan agamaku,
penghidupanku, dan akibatnya bagi akhiratku, maka
jauhkan urusan itu tersebut dariku, dan jauhkan aku
daRiaya, takdirkan kebaikan untukku dimana saja
kebaikan itu berada, kemudian jadikanlah aku ridha
dengan takdir-Mu. (HR.Al-Bukhari no.1162,6382,
dan, 7390)
Istikharah adalah sebuah ibadah yang
disyariatkan bagi orang yang hendak melakukan sesuatu
atau meninggalkannya, namun ia masih bingung
menentukan di antara dua pilihan sikap. Bisa dilakukan
dengan shalat istikharah dua raka’at dan berdoa seperti di
atas. Ulama menjelaskan bahwa istikharah dengan shalat
dan doa hal yang paling baik

Rini Widiastuti | 41
Sesuai saran ibu, Chaca akan istikharah. Semoga
diberikan pilihan yang terbaik menurut-Nya. Apa pun
nanti jawaban Chaca ke ayah dan ibu, Chaca harap kalian
juga setuju dengan keputusan Chaca.” Jawabku
menenangkan mereka.
“Ayah, ibu, esok subuh Chaca harus kembali masuk
kerja. Insya Allah jumat sore kembali lagi. Jadi kalau bisa
keluarga mereka hadir Sabtu malam. “Jawabku
Ba’da subuh kembali menuju kost.
Hari terus berganti. Menyuguhkan berbagai rasa
yang sebelumnya tak pernah hadir. Ada sedikit
kecemasan bertengger manis memasuki ruang hati.
Entahlah, mungkin ini yang dirasakan oleh setiap
perempuan yang memasuki jenjang pernikahan. Antara
bahagia dan takut.
Akhirnya Jumat pun tiba. Harus kembali ke rumah.
Setiap kehidupan punya cerita sendiri untuk
dikisahkan. Hanya saja ada beberapa episode yang kadang
terlewati tanpa beban. Atau bahkan tanpa sebaliknya.
Semuanya memberikan warna tanpa terkecuali. Tinggal
bagaimana kita mensikapi setiap jenjang episodenya.
Babak baru dalam kehidupanku baru saja dimulai.
Semoga ini yang terbaik bagi kami. Apa pun itu ada Allah
Azza Wa Jallaah, ada keluarga.

42 | Memahami Sabda Alam


Hari yang dinanti pun tiba. Ibu sudah
mempersiapkan semuanya. Terlihat dari tempat dan
makanan, semua sudah tertata rapi. Kedua adik-adikku
yang sholeh dan ganteng pun sudah siap. Tak terkecuali
ayah serta keluarga besar.
“Kalau tak salah, kemarin ayah bilang laki-laki itu
Muhammad Azzam Rizaldy. Nama tengah sama dengan
seseorang. Sesaat ingatan melayang ke beberapa tahun
belakang. Saat SMA, sempat menyukai laki-laki bernama
Azzam. Kakak kelas. Ach, sudahlah. Lupakan yang
memang harus dilupakan.” Batinku mempertegas.
“Ya Rabb, apa pun keputusanku, semua tak lepas
atas bimbingan dan petunjuk-Mu. Semoga ini jalan yang
terbaik menurut-Mu untuk kami. Biidznillah.
Jam sudah menunjukkan pukul 19.00. Ba’da Isya’
pukul 20.00 mereka datang.
Terdengar parkir dua kendaraan di halaman rumah.
Ingin rasanya mengintip dari balik tirai kamar, sebab
kamarku tepat paling depan. Namun niat kuurungkan
kembali. Biarlah. Toh tak begitu jelas sebab penerangan
halaman tak juga kentara sinarnya.
Ketukan pintu dan salam membuyarkan lamunan.
“Assalamu’alaikum.” Terdengar suara mengetuk
pintu.

Rini Widiastuti | 43
“Wa’alaikumsalam Warahmatullahi Wabarakaatuh.”
Jawab ayah dan ibu serempak.
“Alhamdulillah, silakan masuk. “Terdengar suara
ayah mempersilakan mereka masuk.
“Saya mewakili pihak keluarga Muhammad Azzam,
malam ini ingin mempererat tali silaturahim sekaligus
meminta kesediaan putri bapak Imam Ma’ruf untuk
menjadi bagian keluarga Muhammad Hussein. “mengalir
ucapan dari pihak keluarga laki-laki.
“Alhamdulillah atas kedatangan keluarga nak
Azzam ke rumah kami. Pada dasarnya kami sekeluarga
menerima maksud dan tujuan dari keluarga bapak
Muhammad Hussein. Namun, semua keputusan kami
serahkan kepada putri kami Chaca Elizha Rahma, sebab
dia yang nantinya akan menjalani pernikahan ini.” Jawab
ayah dengan bijak.
“Silakan nak Azzam bertemu dan berbicara dengan
Chaca serta ibu dan bibinya di ruang sebelah. “Kata ayah
makin membuatku gugup
Terdengar suara langkah kaki perlahan menuju
tempat di mana aku, ibu dan, bibi duduk.
Tak ada keberanianku untuk sekadar melihat
bahkan menatapnya.
“Silakan nak Azzam duduk.” Sambut ibu lembut

44 | Memahami Sabda Alam


“Iyya, bu. Terima kasih. Kedatangan saya dan
keluarga bermaksud melamar Chaca untuk menjadi istri
saya, pendamping hidup saya. Apakah Chaca bersedia?”
Tanya Azzam tanpa basa-basi.
“Masya Allah. To the point banget laki-laki ini. Kian
membuatku gugup namun juga penasaran. Terlebih
suaranya tak asing di telingaku. Rasanya pernah dengar,
tapi di mana.” Batinku menggumam.
“Cha, jawablah. Apapun keputusan Chaca, ibu dan
keluarga menerima.” Pinta ibu yang tak urung
membuatku menganggukkan kepala.
Akhirnya dengan segenap keberanian kucoba
melihatnya. Melihat laki-laki yang bernama Azzam.
Untuk kesekian kali.
Maasya Allah. Kebesaran-Nya membuatku takjub.
Sebab yang ada dihadapanku saat ini adalah Azzam yang
dulu menjadi kakak kelasku saat SMA. Dan hanya sekali
ngobrol saat Azzam membeli sesuatu di toko ibu. Azzam
yang dulu sempat mengisi hatiku. Dulu kala. Entah berapa
tahun yang lalu. Dan semua sudah kupendam rapat-rapat.
Dulu tak ada rasa percaya diri sedikit pun untuk
mengajaknya bicara. Dan sekarang orang itu tepat ada di
hadapanku. Memintaku untuk menjadi istRiaya, belahan
hatinya. Sungguh nikmat Tuhan mana yang engkau
dustakan wahai manusia?

Rini Widiastuti | 45
Q.S Al-Baqarah (2):152:
“Maka ingtlah kamu kepada-Ku, niscaya Aku ingat
pula kepadamu, dan bersyukurlah kepada-Ku, dan
janganlah kamu mengingkari nikmat-Ku.”
Terlalu banyak nikmat yang telah Allah Ta’alla
berikan. Bahkan jika seluruh air laut dijadikan tinta, tak
kan pernah cukup untuk mengungkapkan nikmat-Nya.
Syukur adalah bukti seorang hamba cinta dan ridha
kepada-Nya, sekecil apapun nikmat yang ia terima.
Sungguh, perlakuan berbeda dari-Nya telah
kudapatkan, ketika kubersyukur maka nikmatku
bertambah.
Biidznillah.
Dengan mantap kuanggukkan kepala tanda setuju.
Kulihat senyum kak Azzam pun merekah tanda bahagia.
“Iyya, saya menerima.” Jawabku mantap
“Alhamdulillah. Makasih Cha atas jawabanmu.”
Jawab Azzam tenang sambil tersenyum.
Lantas kak Azzam pun kembali ke ruang tamu
menemui keluarganya dan keluargaku.
Serentak tanpa komando.
“Alhamdulillah, Barakallah. Ini yang kita semua
harapkan.” Jawab mereka kompak.
Kemudian sesepuh membicarakan kapan tepatnya
pernikahan dilaksanakan.

46 | Memahami Sabda Alam


Tanpa menunggu lama telah diambil keputusan
sebulan ke depan pernikahan dilaksanakan.
Sendiri membuatku kian memahami bahwa hidup
memiliki dua sisi yang berbeda. Menikmati sepi dan
belajar memaknai perjalanan. Begitu juga sebaliknya, tak
kala pernikahan, belajar untuk menerima dari sekian
perbedaan yang ada menjadi warna yang lebih indah.
Mempersiapkan semua dari pihak kelauarga kak
Azzam dan keluargaku. Masalah undangan dan konsep
pun sudah didiskusikan. Terpisah tamu undangan laki-
laki dan perempuan.
Hari bahagia pun tiba. Hari yang selama ini
dinantikan setiap insan manusia untuk melengkapi
setengah diennya.
Q.S. Ibrahim:7.
“Dan ingatlah ketika Tuhanmu memaklumkan,
sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Aku akan
menambah nikmat-Ku kepadamu, dan jika kamu
mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya azab-
Ku sangatlah pedih.”
Tak terasa bulir bening menetes di kedua pipi. Tak
pernah terbayangkan bahwa pendampingku adalah
seorang lelaki yang dulu pernah singgah dihati. Hanya
singgah namun tak pernah menetap. Sebab telah
kuputuskan untuk melupakan. Entahlah dengannya.

Rini Widiastuti | 47
Banyak pertanyaan merayu untuk dapatkan jawaban.
Sesaat lagi.
Sementara di ruang tamu. Pihak mempelai laki-laki
dan ayah sebagai wali serta penghulu sudah siap.
Dengan suara tenang Kak Azzam pun menirukan
ucapan ayah.
Saya terima nikah dan kawinnya Chaca Elizha
Rahmah binti Muhammad Imam Ma’ruf dengan mas
kawin seperangkat alat shalat dan emas seberat sepuluh
gram, dibayar tunai.” Ucap kak Azzam lancar dan tenang.
“Hai manusia, bertaqwalah kepada Tuhanmu Yang
menciptakan kamu dari satu jiwa dan daRiaya Dia
menciptakan jodohnya, dan mengembang-biakan
dari keduanya banyak laki-laki dan perempuan;dan
bertaqwalah kepada Allah SWT, yang dengan nama-
Nya kamu saling bertanya terutama mengenai
hubungan tali kekerabatan. Sesungguhnya Allah
SWT adalah pengawas atas kamu.” (Q.S A-Nisa:1)
Seluruh keluarga serentak mengucapkan
hamdallah
“Alhamdulillah.”
Dari balik tirai.
Ada bulir bening jatuh perlahan.
“Mimpikah aku?” Batinku

48 | Memahami Sabda Alam


Usapan tangan lembut ibu di bahu,
menyadarkanku bahwa ini bukan mimpi.
“Alhamdulillah, Cha. Putri ibu sudah sah jadi milik
suaminya. Berbahagialah engkau, Nak dan bersabarlah
dalam setiap ujian-Nya. Engkau sudah dewasa. Untuk
menjadi keluarga yang sakinah mawadah dan warahmah
harus ada kontribusi dari kedua belah pihak yakni nak
Azzam dan chacha. Kalian harus bisa membagi peran
dalam menjalankan bahtera rumah tangga. Apabila kalian
menghadapi persoalan yang berbeda-beda, maka
selesaikanlah dengan mengembalikan pada Al-Quran dan
hadits. Doa ibu dan ayah selalu menyertai langkah kalian
berdua.” Ucap ibu kian menambah deras airmataku.

Malam pertama.
Ketika kumasuk ke dalam kamar, sejurus
kemudian pandangan beredar pada sosok asing yang
berdiri dekat jendela kamar. Cahaya lampu teras
menelisik masuk mengintip apa yang ada di dalamnya.
Mencoba memberanikan diri untuk melihat sosok
tinggi tegap yang hanya berjarak sekitar tiga meter. Ada
rasa gugup, panas menguasai. Padahal AC sudah
dinyalakan beberapa jam yang lalu.
“...sebagian kamu telah bergaulbercampur) dengan
yang lain sebagai suami istri. Dan mereka (istri-

Rini Widiastuti | 49
istrimu) telah mengambil dari kamu Perjanjian
yang kuat.” (Q.S. An-Nur;21)
Sesaat bingung harus berbuat apa. Sementara dia
dengan santainya menyunggingkan senyuman. Dan itu
kian membuatku berdebar.
“Assalamu’alaikum Cha, kenapa berdiri mematung
sedari tadi. Tidakkah engkau sambut suamimu ini?” Kak
Azzam memulai percakapan.
Perlahan kak Azzam mendekat dan tak urung
membuatku mundur beberapa langkah hingga mneyentuh
tempat tidur da tak tahu harus bergerak kemana lagi.
“Masih ingatkah dengan pertemuan pertama kita
dulu? Di toko ibu. Itu pertemuan dan obrolan kita yang
pertama. Setelah itu tak pernah lagi.” Kak Azzam masih
juga santai bicaranya.
“Iya, tentu saja Chaca ingat. Saat itu terua terang
kaget, tak menyangka kalau kak Azzam mampir ke toko.”
jawabku gugup.
Dengan langkah perlahan kak Azzam
mendekatiku. Sambil tersenyum. Sesaat membuatku
terpana. Inikah sosok lelaki yang pernah singgah di hati
bertahun-tahun yang lalu? Lelaki yang untuk kuimpikan
saja tak berani. Dan kini dia duduk dihadapanku. Menjadi
pendampingku. Menjadi suamiku.

50 | Memahami Sabda Alam


Dengan perlahan ia memegang ubun-ubunku
seraya mengucapkan bismillah, mendoakan keberkahan
untuk keluarga kecil kami.
“Allahumma inni as-aluka khayraha wa khayra
maa jabaltahaa ‘alaihi wa a’udzubika min
syarrihaa wa min syarri maa jabaltahaa ‘alaihi.”
“Ya, Allah sesungguhnya aku memohon
kebaikannya dan kebaikan apa yang engkau
ciptakan pada diRiaya. Dan aku memohon
perlindungan kepada-Mu dari keburukannya dan
keburukan apa yang Engkau ciptakan pada
diRiaya.”
Sesaat, waktu serasa berhenti berputar. Ikut
berkhidmad atas doa yang dilantunkan suamiku, kak
Azzam. Ada perasaan haru, bahagia membuncah,
menyeruak seluruh rongga jiwa.
Adalah sebuah takdir yang mempertemukanku
dengannya. Sungguh pertemuan yang sangat indah.
Entah siapa yang memulai. Pandangan kami
beradu. Tatapannya tajam menerobos masuk ke dalam
sanubariku.
Beberapa detik kemudain tanpa suara,
kutundukkan wajah, malu.

Rini Widiastuti | 51
“Cha, kenapa menunduk. Tak usah malu. Kita
sudah sah sebagai suami istri.” Lembut suara kak Azzam
sambil menyentuh kedua bahuku.
“Chaca belum pernah sedekat ini dengan lelaki.”
Jawabku masih sambil menunduk.
“Iya, kakak ngerti. Tapi kan kita sudah menikah.
Sebenarnya kakak juga merasakan hal yang sama dengan
Chaca. Namun kak Azzam berusaha untuk tidak larut.
“Balas ka Azzam.
“Boleh Chaca tanya mengapa kakak pilih Chaca
jadi istri kakak?” Tanyaku penasaran.
“Hmm, kenapa ya? Hayoo, kira-kira kenapa?”
Balas kak Azzam menggoda.
“Lhah, kenapa malah balik nanya ‘kan yang tahu
kakak.” Balasku tak kalah.
“Lhah, istriku sendiri kenapa langsung mau saat
kakak tanya?” Balas jawab seolah tak habis akalnya.
Cuma bisa senyum. Entahlah, mungkin pipi sudah
mirip kepiting rebus. Malu. Untung temaram lampu kamar
membantu menutupi.
“Istriku sayaaang...kenapa kak Azzam pilih Chaca?
Karena takdir yang mempertemukan kita dan sebenarnya
sudah sejak lama kak Azzam perhatikan Chaca. Sejak kita
sama-sama di bangku SMA. Kemudian kuliah. Meski kita
tak sekampus namun kakak selalu memantau Chaca.

52 | Memahami Sabda Alam


Sampai Chaca selesai dan wisuda. Tapi ketika kak azzam
diterima kerja di luar kota, jauh dan nyaris tak ada waktu
lagi, kita jadi serasa jauh. Selama ini kak Azzam tak
pernah ada keberanian untuk menyampaikan. Sampai
pada akhirnya kak Azzam ikut kajian. Dari situ semakin
menguatkan untuk menyimpan perasaan kakak. Bahkan
secara perlahan berusaha melupakannya.” Jawab kak
Azzam panjang lebar.
“Terus?” Tanyaku penasaran.
“Terus apanya sayaaang...?” Jawabnya
“Ya terus kelanjutannya dong, kak!” Jawabku
“Waktu pun berlalu tanpa terasa empat tahun
terlewati. Di suatu hari ayah dan ibu bertanya mau sampai
kapan sendirian. Harus sudah ada yang mengurusku.”
jawab kak Azzam
“Saat itu, kakak pikir ayah dan ibu hanya
sekadarnya dengan pertanyaan mereka. Ternyata setiap
pulang ke rumah dua minggu sekali pertanyaan itu
berulang. Dari situlah tiba-tiba kakak ingat dengan kamu.
“Lanjut kak azzam.
“Wuiiih, Chaca jadi ge er nich, kak.” Sambutku.
“Ha...ha...ha...masih mau lanjut?” Balas kak Azzam.
“Ya iyalaaaah...masak menggantung.” Jawabku
sekenanya.

Rini Widiastuti | 53
“Akhirnya kakak kontak temen kajian kakak untuk
cari info tentang Chaca. Alhamdulillah dapat dan lengkap.
Nah, dari informasi itulah kak Azzam berani
menyampaikan pada ayah dan ibu. Mereka menerima dan
selang satu hari kami sekeluarga serta kakak-kakak ayah
datang ke rumah ini menyampaikan keinginan untuk
melamarmu. Tapi waktu itu Chaca memang tak ada di
rumah. Kakak sengaja. Kakak tahu Chaca masih di kost.”
Jawab kak Azzam pe de.
“Maasya Allah, Kak. Kok percaya diri banget sich.
Memang ndak takut kalau Chaca ternyata sudah punya
tambatan hati?” balasku dan disambut tawanya.
“Sebab keyakinan sekaligus informasi dari temen
kajian bahwa Chaca bukan orang yang seperti itu.
Biidznillah, atas izin-Nya sekarang Chaca sudah jadi istri
kak Azzam.” Jawabnya membuatku lega.
“Nah, Chaca sendiri bagaimana?” Tanya kak
Azzam.
“Kalau Chaca saat SMA pernah suka dengan kakak,
tapi ndak berani juga. Karena merasa tak pantas. Lagian
lihat temen-temen kak Azzam anak-anak orang kaya.
Terus Chaca lihat saat itu kak Azzam jalan sama
perempuan, kayaknya deket dech. Akhirnya Chaca Cuma
pendam aja. Sesekali aja inget. Dan heran saat kakak
mampir ke toko ibu.” jawabku.

54 | Memahami Sabda Alam


“Makanya ketika malam mimggu kakak dan
keluarga datang melamar serta menemuiku di ruang
tengah. Chaca kaget, serasa mimpi. Kok bisa gitu ya.
Akhirnya Chaca jawab iya. Padahal sebelumnya selama
beberapa hari Chaca istikharah supaya ada kemantapan
hati.” Jawabku penuh debaran di dada.
“Maasya Allah, sayangku. Ternyata dulu
sebenarnya kita sudah saling menyukai, cuma masing-
masing dipendam. Alhamdulillah takdir mempertemukan
kita kembali.” Ucap kak Azzam yang kian membuatku
berbunga-bunga.
“Cha, tidakkah engkau ingin melepas jilbab dan
berganti pakaian?” Ucap kak azzam mengagetkanku.
“Chaca malu, kak.” Jawabku
“Kan kakak suamimu, kenapa musti malu.”
Balasnya tanpa mimik bersalah
“Hiiss, kak Azzam nich, makin membuatku salah
tingkah.” Ucapku
Belum ada jawaban keluar dari bibirku, perlahan
kedua tangannya sudah membuka jilbabku. Maasya Allah
berdebar jantungku tak karuan.
“Masya Allah, cantiknya istriku.” Ucap kak Azzam
memujiku.

Rini Widiastuti | 55
“Coba dari dulu kakak melamarmu, sayang. Dulu
tak ada keberanian untuk mendekat.” Ucap kak Azzam
penuh kejujuran.
Tiba-tiba keningku dikecupnya. Dan selanjutnya
mengalir begitu saja. Semua yang harus dijalani sepasang
pengantin akhirnya terlaksana.
Tak ada yang bisa menebak kehidupan seperti apa
yang akan dijalani setiap insan manusia. Hanya ikhtiar,
doa, dan tawaqal yang membuat kita mampu menghadapi
setiap lipatan-lipatan alur kehidupan. Sebab tak semua
persinggahan mampu meninggalkan hikmah dibaliknya.
Begitu juga antara aku dan kak Azzam. Menjalani
apa yang memang harus dijalani. Dan mengikhlaskan apa
yang harus diikhlaskan, agar semua terasa Riagan dalam
melangkah. Insyaa Allah.

“Hai manusia, sesungguhnya Kami


menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan
perempuan dan menjadika kamu berbangsa-
bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling
kenal- mengenal. Sesunguhnya orang yang paling
mulis di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang
paling taqwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah
Maha Mengetahui lagi Maha mengenal.” (Q.S. Al-
Hujurat:13)

56 | Memahami Sabda Alam


“Ingatlah bahwa di dalam jasad itu ada segumpal
daging. Jika ia baik, maka baik pula seluruh jasad.
Jika ia rusak, maka rusak pula seluruh jasad.
Ketahuilah bahwa ia adalah hati (jantung). (HR.
Bukhari no.52 dan Muslim no. 1599)

Rini Widiastuti | 57
CATATAN KINANTI

“Di sini. Di sana. Di mana pun tempat bisa menerimaku. Di


atas tanah ini, sebelum kelak di bawah timbunan tanah.” Ucapnya
diplomatis.”

58 | Memahami Sabda Alam


KINANTHI

K
ulihat gadis kecil duduk diam di sebuah
pelataran toko. Bukan peminta-minta.
Sebab ia hanya diam. Entah apa yang ia
pikirkan. Kucoba dekati. Tak ada reaksi. Hanya diam
bergumam. Lirih suaranya merdu. Apa yang ia
senandungkan? Aku pun tak tahu. Sebab keramaian
memekakkan pendengaranku.
“Penasaran? iya.”
Sesaat inginku bertanya. Dari kedua sudut matanya
meneteslah airmata.
“Ach, apa sebenarnya yang ia pikirkan?” Batinku.
“Begitu beratkah hidupnya?” Batinku.
Berbagai pertanyaan menggelayut dalam benakku.
Perlahan kusentuh punggung tangannya. Terkejut. Cepat-
cepat ia hapus air matanya. Ia menengok namun hanya
diam membisu. Kuhela nafas sesaat. Tak jua ia singkirkan
sentuhan tanganku. Kucoba senyum, tak ada reaksi.
“Ada apa denganmu, adik kecil?” Tanyaku. Ia tetap
diam.

Rini Widiastuti | 59
Ada beban berat di pelupuk matanya. Ada
penderitaan nun jauh di dasar hatinya yang terdalam. Ada
rindu di matanya. Ada amarah dalam bola matanya. Aku
bingung mengartikannya. Tak tahu harus bagaimana.
Tanyaku belum jua ia jawab. Ia tetap diam membisu.
Kutawarkan sepotong roti, menggeleng. Kutawarkan
minuman pun ia menggeleng. Aku hanya terpekur larut
dalam kebisuannya. Kusapukan pandangan di sekitar,
hanya keramaian belaka. Aku pun bosan. Mungkin sama
dengan anak ini. Tiga tahun, kira-kira usianya. Anak
sekecil itu sendiri di tengah ketidakpedulian. Butuh
kekuatan untuk tetap bertahan dari berbagai benturan.
Kuberanikan untuk kembali memulai percakapan.
“Siapa namamu, Nak?” Tanyaku.
“Kinanthi, Kak?” jawabnya singkat.
“Di mana kamu tinggal?” Lanjutku
“Di sini. Di sana. Di mana pun tempat bisa
menerimaku. Di atas tanah ini, sebelum kelak di bawah
timbunan tanah.” Ucapnya diplomatis.
Membuatku terpana. Nyaris beku terkatup. Anak
sekecil itu dengan derasnya meluncurkan kata demi kata
tanpa terlebih dahulu menyusunnya. Tegas sarat makna.
“Sebegitu keraskah kehidupannya?” Gumamku.
Tanpa sadar bulir bening menetes. Ada gejolak
meradang sembunyikan selaksa kehidupan. Anak sekecil

60 | Memahami Sabda Alam


itu berperang dengan nuraninya yang suci bergelut dalam
kesakitan.
“Di mana ayah ibumu, Nak?” Tanyaku.
Hanya gelengan kepala yang ia berikan. Entah
berapa kali pertanyaan dan hanya sesekali ia jawab
dengan kata. Selebihnya, bahasa tubuh yang bicara. Tak
terasa hampir dua jam kuikut duduk di sampingnya.
Tetiba langit terlihat gelap. Mendung. Angin menyapa
dengan lembutnya. Sesekali gelegar petir bersahutan.
Tahukah bahwa sebenarnya aku takut dengan petir. Kata
Ayah, ketika kumasih kecil, sempat membiru sebab petir
mengejutkanku. Sejak saat itu, setiap ia hadir serasa
mengerikan. Mungkin beberapa saat lagi hujan turun
dengan derasnya. Ach, betul juga. Tanpa jeda, berjuta
butirannya membasahi hamparan di depanku. Dingin.
Mungkin itu juga yang dirasakan Kinanthi. Gadis kecil itu.
Tanpa banyak ucap. Kurengkuh ia dalam pelukan. Sesaat,
ia terkejut. Sejurus kemudian, diam. Tenang. Mungkin
sejak tadi ia lelah. Terlelap juga dalam dekapanku. Ku
selimutkan jaketku di tubuhnya. Satu jam lebih ia terlelap.
Perlahan menggeliat, membuka mata dan tersenyum.
Senyum?Untuk pertama kalinya ia berikanku
senyum. Sebab hampir empat jam kebersamaan, tanpa
senyuman.
“Kau bangun sudah, nyenyak tidurmu?” tanyaku.

Rini Widiastuti | 61
“Terima kasih sudah membiarkanku dalam dekapan
kakak.” Ucapnya
“Adik kecil, ayo kita makan” Ajakku.
Namun ia menggelengkan kepala. Sedari tadi selalu
menolak jika kutawarkan makanan.
“Jika aku terima tawaran kakak, aku takut suatu
saat ketika ku lapar, aku tak kan bisa membeli makanan
yang kakak tawarkan. Sebab aku tak mampu
membelinya.” jawabnya .
Deg. Seperti ada sesuatu yang tiba-tiba menghujam
batinku.
“Sejauh itukah pikiranmu, nak? tanyaku.
“Iya.” Jawabnya pendek.
Tiba-tiba, Kinanthi berdiri dan berucap.
“Kakak jangan takut dengan petir. Sebab aku
berjuta kali merasakan sejak lahir. Biasakanlah! “Ucapnya.
Membuatku terpana.
Anak sekecil itu begitu bijaknya menenangkanku.
Lantas, di mana selama ini ia tidur? Bahkan ketika
hujan?Seketika kusadar dan berlari mengejarnya,
mensejajari langkahnya.
“Kinanthi!! Tunggu!!”teriakku
Kaki-kaki mungilnya melangkah tanpa alas.
Sepertinya sudah biasa. Terlihat dari caranya berjalan.
“Mau kemana kita?” tanyaku.

62 | Memahami Sabda Alam


“Nah,kakak yang mau kemana, kenapa
mengikutiku?” Jawabnya.
“Ce illeeee....ni anak, ditanya malah balik nanya!”
Ucapku.
“Jawab dulu napa.” Lanjutku.
“Aku mau ikut kemana Kinanthi melangkah.”
Jawabku.
Kinanthi menghentikan langkah kakinya. Ia
menatapku. Membuatku bingung.
“Kenapa kakak mengikutiku?” Kinanthi bertanya.
“Karena kuingin tahu rumah Kinanthi.” Sergahku.
“Terserah kakak ajalah.” Balas Kinanthi.
Kurang lebih 500 meter berjalan. Ada sebuah gang
kecil. Ia berbelok. Ku ikuti. Sampailah di depan sebuah
gubug. Begitu ku menyebutnya. Di sekitarnya pepohonan
besar menaungi. Kesan teduh tergambar. Sebuah gubug
mungil dari kayu ala kadarnya. Berdinding triplek. Di
dalamnya gelap. Tanah lantainya.
“Kinanthi sendirian?” Suaraku memecah kesunyian.
“Iya, sekarang, semenjak nenek yang merawatku
meninggal.” Jawabnya.
“Nenekmu? Kandung?” Cerocosku.
“Bukan.” Jawab Kinanthi.
“Lantas?” Tanyaku makin penasaran. Mumpung
anak ini ndak pelit suara, jadi ku tanya terus.

Rini Widiastuti | 63
“Nenek pernah bercerita bahwa ketika tengah
malam bangun, ia mendengar suara tangisan bayi di dekat
rumah ini. Dan nenek keluar rumah mencari sumber
suara. Dan akhirnya nenek menemukanku di bawah
pepohonan di dalam kardus berselimutkan kain sarung.
Di dekatku ada susu botol dan dua kardus susu formula.
Nenek langsung membawaku ke rumah ini. Dam di sinilah
ia merawatku. Jika tak ada nenek, mungkin aku tak
sebesar ini.” Ucapnya panjang lebar.
Sampai di sini, airmataku mengalir. Mengalir deras.
Perempuan macam apa yang tega membuang darah
dagingnya sendiri. Binatang pun tak kan pernah
mengabaikan anaknya.
“Selama ini nenek kerja apa untuk menghidupi
kalian?” Tanyaku.
“Cuci baju di rumah tetangga, beres-beres rumah
mereka, terkadang cari botol plastik untuk kami ganti
dengan beberapa lembar rupiah. Dan ketika nenek sakit,
aku tak bisa membawanya berobat dan tak ada yang
peduli dengan kami. Ada simpanan nenek tapi setiap aku
ajak berobat, nenek selalu bilang untuk makan aku saja.
Rasanya, sakit, Kak!” Ucap Kinanthi.
Sampai di sini, ia pun menangis sesenggukkan.
Subhanallah, di mana nurani orang-orang di sekitarnya?
Melihat tetangga dalam kondisi seperti ini, tak adakah

64 | Memahami Sabda Alam


sedikit uluran tangannya untuk sekedar membawanya ke
puskesmas terdekat. Sedangkan kulihat rumah-rumah di
sekitarnya berdiri mentereng dengan megahnya. Atau
karena dinding penyekatnya terlalu tinggi hingga mereka
tak mampu menengok? Atau rutinitas kerjakah yang
membuat mereka tak sempat walau hanya sekedar
menyapa? Atau memang mereka benar-benar enggan
untuk memikirkan nenek serta cucunya ini? Ach, apapun
alasannya, mereka lupa bahwa di setiap rupiah yang
mereka hasilkan ada hak si nenek dan cucunya untuk
mereka tunaikan. Ada rasa amarah dalam hatiku. Kucoba
abaikan dan kembali pandanganku jatuh pada sosok kecil
Kinanthi. Kinanthi. Indah namamu, namun tak seindah
perjalanan hidupmu.
Q.S. Albaqarah(2):215:
“Mereka bertanya tentang apa yang mereka
nafkahkan. Jawablah: “apa saja harta yang kamu
nafkahkan hendaklah diberikan kepada ibu bapak,
kaum kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin
dan orang-orang yang sedang dalam perjalanan”.
Dan apa saja kebaikan yang kamu buat, maka
sesungguhnya Allah Maha Mengetahuinya.”
Masya Allah, dalam Ayat Al-quran pun begitu
gamblang menjelaskan bahwa di dalam harta kita ada

Rini Widiastuti | 65
bagian untuk keluarga, kerabat, fakir miskin, dan orang-
orang dalam perjalanan, serta anak-anak yatim.
Sungguh tamparan yang keras bagi orang-orang
yang tidak memperdulikan anak-anak yatim.
Tiba-tiba ingat ada beberapa roti dan minuman
dalam tas. Segera kukeluarkan semua. Kuletakkan di
depannya. Sesaat, bola matanya tertuju padaku. Mungkin
meminta persetujuan untuk memakannya. Segera
kuanggukkan kepala.
“Makanlah Kinanthi, aku tahu kau lapar sedari tadi.”
Ucapku
Dengan anggukkan kepala dan senyumannya yang
indah, ia ambil roti itu dan makan dengan lahapnya.
Kupandangi ia dari ujung kepala sampai ujung kaki. Ach,
Kinanthi, lagi dan lagi untuk kesekian kali kau memberiku
pelajaran hidup untuk selalu tegar menghadapi
kehidupan. Ingat pesan ayah “Dadi menungso kui ojo
dumeh, dumeh ndue duit trus sak karepe, dumeh ora ono
duit banjur pelit.” Yang artinya kira-kira begini.” Jadi
manusia itu jangan sok, ketika punya harta lebih
kemudian lupa dengan sekitar, dan ketika dalam keadaan
sempit justru malas memberi. Seolah takut akan
kemiskinan.
Ayah, nasehatmu singkat namun mendalam
maknanya. Kembali tersadar, Kinanthi tersenyum.

66 | Memahami Sabda Alam


“Kak, terima kasih makanan dan minumannya.”
Ucapnya lirih.
Tersipu Kinanthi bertanya.
“Kak, kalau buat kakak ndak mahal ya, lain buat
Kinan. Harus kerja beberapa hari baru dapet uang untuk
membelinya.” Tanya sekaligus jawab ia berikan.
Lagi-lagi ada perasaan perih menghunus batinku.
Sebegitu polosnya kau bicara. Sebegitu mengenanya kata-
katamu. Andai orang kaya di luar sana mendengar,
akankah terketuk hatinya? Orang kaya yang memiliki hati.
Bukan orang kaya tapi sempit hati. Rasanya kesal
memenuhi rongga dadaku. Tapi aku tak boleh menjudge
mereka. Itu hak mereka tentang harta mereka. Biarlah.
Tak terasa senja hampir tiba.
“Kak, Kinan mandi dulu ya.” Ucapnya sambil
melangkah ke belakang.
Ku tunggu, tak butuh waktu lama untuknya
membersihkan diri.
Lima menit.
“Hah, lima menit?” Gumamku.
Ia duduk kembali di hadapanku. Ku pandangi dia.
Tak ada bedanya dengan tadi. Mandi atau pun belum.
Hanya rambutnya yang basah. Tak tercium aroma wangi
di tubuhnya.

Rini Widiastuti | 67
“Benar, Kinan sudah mandi? Kok ndak wangi?”
Tanyaku.
“Kenapa Kak, kakak jangan heran, Kinan sudah
biasa seperti ini. Hanya menyiramkan beberapa air ke
tubuh tanpa sabun apalagi shampo. Tak ada sabun. Belum
sempat beli, karena belum ada uang untuk membelinya.”
Panjang lebar Kinanthi menjawab pertanyaanku.
Ach, Kinan. Kakak tak mengerti dengan
kehidupanmu yang seperti ini. Wajahmu membuatku
ingin membawamu menjauh dari kemiskinanmu.
Mataku menyapu seluruh ruangan di dalam rumah
ini. Hanya ada tiga ruang. Satu kamar tidur dan
didepannya langsung ruang tamu, ruang shalat, dan dapur
sekaligus kamar mandi. Ach, mataku tercekat pada sebuah
ruang kecil, tempat shalat. Sederhana namun ada
ketenangan di sana. Dalam keterbatasan hidupnya, sang
nenek almarhumah telah mengajarkan arti rasa
ketundukkan, rasa syukur yang mendalam.
Maasya Allah.
“Kak, kakak sudah ashar belum?” Tanya Kinan
membuatku tersentak dari lamuman.
“Belum, Kinan mau jamaah sama kakak? Ayolah.”
Tanyaku balik.
Tak lama kemudian kami shalat berjamaah.

68 | Memahami Sabda Alam


“Kinan, kakak pulang dulu ya, esok kakak datang
lagi, atau kita bertemu di pelataran toko yang tadi?”
Ucapku akhirnya.
“Iya, kak, hati-hati di jalan. Kinan tak bisa janji kita
ketemu di mana. Sebab esok Kinan harus mencari botol-
botol plastik untuk Kinan tukar dengan lembaran rupiah.”
Jawabnya sendu.
“Kinan, besok kamu tak usah kemana-mana, kita
ketemuan di depan toko tadi ya, dan ini tadi kakak dapet
honor nulis, buat Kinan beli makanan dan perlengkapan
mandi. Jangan menolak ya.” paksaku padanya sambil
menyerahkan amplop honor menulisku.
Kinan terdiam. Terpaku. Marahkah dia denganku?
Tak sopankah aku?” Batinku.
Aku terkejut sebab tiba-tiba ia memelukku dan
menangis di dadaku.
“Kakak, aku bukan pengemis. Kalau hanya untuk
makan aku masih bisa cari meski kadang sehari sekali.
Tapi kenapa kakak memberiku uang?” Jawab Kinan dalam
tangisnya.
“Maasya Allah, Kinan, jangan pernah berfikir seperti
itu. Kakak tak pernah menganggap Kinan pengemis.
Kakak hanya ingin berbagi. Ini juga hasil kakak sendiri.
Anggaplah aku ini kakakmu. “Jawabku dengan rasa
bersalah.

Rini Widiastuti | 69
Perlahan ia lepas pelukannya. Kuhapus airmatanya.
“Tersenyumlah, Kinan, jangan pernah ada airmata
lagi.” Ucapku menenangkannya.
“Kakak pulang dulu ya. Janji besok ba’da dzuhur kita
ketemu lagi.” Ucapku
“Iya, Kak.” Jawab Kinan.
Perlahan kutinggalkan Kinanthi dengan berat hati.
Langkah kaki tertatih mengingat beberapa waktu
kebersamaanku dengannya, gadis kecil, tiga tahun
sendirian tanpa siapapun yang menyayangi. Sedikit
berlari ke jalan besar menuju halte bus. Masih ada
beberapa menit untuk menunggu datangnya bus menuju
ke rumah. Selang sepuluh menit datanglah bus yang ku
tunggu. Lima ribu rupiah, cukup untuk ongkos pulang ke
rumah. Kasihan ibu, pasti sudah khawatir menungguku.
Biasanya siang sudah di rumah.
Sepanjang perjalanan pulang, ingat pertemuan
dengan anak itu. Bagimana tidurnya nanti. Pasti kesepian.
Sendirian. Ach, bodohnya aku. Kenapa tak kuajak saja ke
rumah. Hari kian gelap. Sampailah di halaman rumah. Bus
pun berhenti.
“A...haa...betul juga. Ibu dengan setia menunggu di
teras garasi rumah.” gumamku.

70 | Memahami Sabda Alam


Yuan, tetu, dan krucil-krucil Kay, qory mungkin di
dalam. Sebab saat ini waktunya maghrib. Waktunya
sholat. Dan kasihan ibu, gara-gara kutelat pulang.
“Darimana, Kak, kok baru pulang?” Tanya ibu.
“Tadi mo pulang tapi ketemu adik kecil. Namanya
Kinanthi. Tak ada orangtuanya, nenek yang merawatnya
tiada. Ia sendirian.” Jawabku.
“Bu, kakak mandi dulu ya.” Ucapku kemudian
“Mandilah.” jawab ibu singkat.

***

Beberapa jam kemudian, di meja makan.


“Ku dengar dari ibu, tadi kakak ketemu anak kecil?
Kenapa ndak diajak ke sini aja?” tanya Tetu, adikku.
“Bolehkah, bu?” bukannya menjawab pertanyaan
adikku, justru balik tanya ke ibu.
“Boleh, kasihan juga.” Jawab ibu.
“Siiplaah.” Ucapku sambil senyum.

***

Esok hari.
Panas terik. Ku tunggu Kinan di tempat pertama kali
bertemu. Satu, dua jam tak jua ia datang. Tanpa pikir

Rini Widiastuti | 71
panjang, aku menuju ke rumahnya. Sepanjang jalan tanpa
sadar senyum-senyum sendiri. Kabar bahagia ini harus
segera kusampaikan kepada Kinan. Tak terasa sampailah
di rumahnya. Sepi. Kosong.
“Ke mana, Kinan ya.” Gumamku
Ku tunggu beberapa saat, tak jua ku lihat batang
hidungnya.
“Ach, Kinan di mana kau, Nak.” batinku.
Ada rasa khawatir mendera hatiku. Kemana
gerangan Kinan. Bukankah kemarin ia kuberi uang.
Harusnya cukup untuk beberapa hari tanpa ia harus
bekerja. Berjalan ke luar menyusuri gang. Lengang.
Mungkin orang-orang lebih memilih berdiam diri di dalam
rumah daripada harus berpanas-panasan di luar rumah.
“MasyaAlloh, kemana Kinan berada?” Hampir tiga
jam menunggu. Bosan menghantuiku. Kembali ke teras
toko berharap Kinan menungguku di sana. Tak ada juga.
Ku tanya orang-orang di sekitar tempat biasa Kinan
kerja.
“Maaf, Pak, Bu, apakah kemarin atau hari ini kalian
melihat anak kecil bernama Kinanthi? Panggilannya
Kinan.” Tanyaku pada bapak penjual di kantin.
“Oh, Kinan. Ada dia tadi pagi makan di sini. Setelah
itu ia pergi lagi. Tunggu saja, sebentar lagi, ia pasti
muncul.” Ucap bapak penjual di kantin.

72 | Memahami Sabda Alam


Detik, menit, jam. Dua jam berikutnya, yang ku
tunggu kelihatan juga batang hidungnya. Senyum
manisnya mengembang.
“Hai, Kak. Apa kabar? Ngapain di sini?” Tanya Kinan
tanpa rasa bersalah.
“Huuff, ni anak. Menggemaskan betul ya....”
Gumamku
“Kinan, Kinan...tak ingatkah pesan kakak kemarin.
Kita ketemuan di pelataran toko. Tempat pertama kali
kita ketemu. Berapa jam sudah kakak menunggumu.”
Cercaku.
“Maaf, Kak. Bukan Kinan lupa. Tapi tadi ada
keperluan di ujung sana. Agak jauh sich.” Jawab Kinan
perlahan sambil menunjuk dengan jari telunjuknya.
“Kinan, ibu dan saudara kakak menginginkan Kinan
tinggal di rumah kami. Kinan mau kan?” Ucapku
Berharap Kinan menyetujuinya. Lima, sepuluh
menit, tak ada juga jawaban keluar dari bibir mungilnya.
“Gini, Kinan. Kinan sudah kakak anggap seperti adik
kakak sendiri. Dua saudara kakak dan orang tua kakak
pun setuju. Jadi apa lagi?” Ucapku menjelaskan.
“Kakak yakin mengajak Kinan tinggal di rumah
kakak?” Jawab Kinan tiba-tiba.
“Iya. “Kutekan nada bicaraku dan kutatap kedua
bola matanya.

Rini Widiastuti | 73
“Kinan sudah terbiasa sendirian, Kak. Tak apa.
Kinan juga tak mau merepotkan keluarga kakak.” Ucap
kinan
“Kinan, mau ya.” Bujukku
“Kinan bisa sekolah, bisa ngaji, bisa main tanpa
harus memikirkan esok harus kerja.” Bujukku lagi
“Kinan takut, Kak.” Balas Kinan pelan.
“Apa yang Kinan takutkan?” Balasku.
“Entahlah.” Jawabnya pelan.
“Mengapa harus takut dengan sesuatu yang belum
terjadi?” Balasku tak mau kalah.
“Kak, ijinkan Kinan tetap tinggal di rumah ini,
rumah yang mungkin tak layak disebut sebagai tempat
tinggal. Namun kenangan di sini begitu besar, sulit untuk
Kinan melupakan.” Jawab Kinan dengan suara berat.
“Kinan, meski tinggal di rumah kakak, sesekali
boleh main ke sini ketika Kinan menginginkannya.”
Pintaku dengan pelan.
“Kak, biarkan Kinan tetap di sini, sampai Kinan siap
meninggalkan semuanya” Balasnya dengan nada berat.
Kupeluk Kinan, kuciumi wajahnya. Kutinggalkan
beberapa rupiah untuknya. Meski Kinan menolak.
Setelah berpamitan, dengan langkah berat
kutinggalkan Kinan seorang diri. Tak terasa bulir airmata
jatuh membasahi pipiku. Menjauh dan kian jauh. Senja

74 | Memahami Sabda Alam


kali ini terasa berat, seberat beban dalam benakku.
Ternyata beginilah kehidupan. Tak semua berpihak pada
kita. Tak semua semau kita. Sebab kita cuma manusia.
“Kakak janji, esok dan esok akan kembali
menemuimu bahkan mengajakmu ke tempat yang belum
pernah engkau kunjungi. Kakak janji.” Gumamku
perlahan.

Q.S An-Nisaa’ (4):10:


“Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta
anak yatim secara dzalim, sebenarnya mereka itu
menelan api sepenuh perutnya dan mereka akan
masuk ke dalam api yang menyala-nyala (Neraka).”

Rasulullah SAW bersabda:


“Orang yang memelihara anak yatim di kalangan
umat muslimin, memberikannya makan dan minum,
pasti Allah akan masukkan ke dalam surga, kecuali ia
melakukan dosa yang tidak bisa diampuni.” (HR.
Tirmidzi dari Ibnu Abbas) lihat Kitab Al-Birr wa ash-
Shilah’an Rasulillah: 1840)

Rini Widiastuti | 75
PUISI
DALAM SECANGKIR KOPI

J
iwaku serasa melayang ketika segelintir
kenangan mengaduk-aduk pikiran.
Mengajakku bercengkrama lebih lama. Tak
peduli berapa detik menit jam berjalan, masih asyik dalam
diam. Melintasi hamparan kenang pada ruang yang kuberi
nama Rindu untuk sekadar singgah mengukir kata pada
sebait puisi. Berjibaku antara tanya dan jawab yang nyaris
membosankan namun tetap saja berujung penantian.
Mungkin saja puisi ini kian menyuguhkan sunyi di sisa
luka yang kian menganga.
“Maafkan ketika kutak sanggup lagi meramu
hangatnya cinta yang pernah kau tawarkan, sebab pada
senja pernah kuletakkan harap namun kau patahkan.”
ucapku sendu
“Jangan pernah kau katakan hal yang tak ingin kita
merasakan pedihnya. Bagaimanapun waktu selalu punya
cara untuk menyelesaiakan segala persoalan.” ucapmu
saat itu

76 | Memahami Sabda Alam


“Bulsheeeet, siapa bilang waktu bisa selesaikan,
hah! Kau kira aku bodoh percaya dengan hal-hal seperti
itu? Kau kira aku termakan uacapanmu?” jawabku emosi.
“Ok, aku paham, aku salah telah menduakanmu.
Tapi kau tahu aku tak sengaja!” jawabmu
“Huahaaa…haaaa.. adakah seperti itu tanpa
sengaja?” jawabku tak kalah sengitnya.
“Yang ada, kamu menikmatinya, buka?” cecarku
waktu itu.
Senja hampir tenggelam bersama tenggelamnya
seluruh lamunan yang nyaris menyeretku lebih dalam.
Kembali tersadar sebentar lagi maghrib tiba. Kututup
pintu dan jendela, kata orang dulu pamali waktu maghrib
dibiarkan terbuka. Sesaat kulihat langit gelap, sama
dengan kemarin. Mungkin ia masih setia untuk singgah
meski sekadar membasahi bumi. Entah malu, atau
memang Allah SWT belum mengijinkan untuk berlama-
lama singgah. Kemarin.
Berbeda dengan saat ini, entah mengapa sudah
beberapa bulan hujan menghampiri semesta tanpa
permisi. Hujan yang biasanya setiap tiga hari
menampakan tetesnya, bahkan kini tanpa permisi pun ia
menyapa setiap hari. Pada hujan kutitipkan hangatnya
secangkir kopi, sebelum dingin memeluknya dalam sunyi,
namun pahitnya tetap sama. Dan pada sisa ampas kopi,

Rini Widiastuti | 77
kumainkan jemari hanya untuk mengingat tentang
pahitnya sebuah kejujuran. Barangkali ketika masa
menyudutkan sisi bahagia, biarkan dan nikmati. Namun
ketika masa tak mampu melewati, maka diamlah. Sebab
langit pun terkadang tak sanggup menahan awan untuk
tak menjadi hujan hingga bumi merasakan tetesnya.
“Adakah yang tahu bagaimana mengubah kopi jadi
putih, sebab aku tak pernah punya cara dan yang kutahu
aku hanya menikmati pahitnya bahkan saat tersisa
ampasnya saja.” gumamku.
Pernah dengar ceramah nasihat dari seorang
ustadz namun aku lupa namanya.
“Jika kalian merasa kehilangan sesuatu dalam
hidup, sebenarnya kalian hanya lupa, luopa jika segala
sesuatu hanya titipn bukn milik.” kira-kira begitu
nasihatnya.
Flashback
Suatu hari akan kuceritakan tentang senja yang
terpaksa menghitam dalam dekapan. Kutahan segenap
luka dari seorang pecundang.
"Aku hanya secuil debu yang barangkali
terhempas ketika angin menderu.” batinku
"Di lain waktu, senyum mengembang tak kala
mengingat sebuah lakon yang sungguh miris untuk

78 | Memahami Sabda Alam


sepasang mata mungil milik anak-anak.” gumamku tanpa
ragu
"Ach, kata siapa manusia bisa suguhkan senyum
hangat, padahal jauh di lubuk hatinya terdalam ada ruang
yang menganga, kata siapa!"teriakku dalam hati.
Sejurus kemudian tanpa terasa langkah
membawaku pada sebuah pondok mungil tanpa penghuni
di tepi pantai dengan debur ombak yang menggoda.
Tanpa penghuni, hal pertama terlintas dipikiran,
sebab sekelilingnya penuh belukar. Bagian dalam terlihat
dari kaca yang memburam, masih tertata kursi-kursi dan
perabotan ala kadarnya. Entah kemana pemiliknya,
seharusnya ia bisa menikmati apa yang dia punya.
"Itu kan jika aku pemiliknya.” gumamku sambil
masuk ke dalam sebab pintu terbuka tanpa ada kunci di
sana.
Sunyi, dingin terasa membentur kulitku, padahal
di luar sana hangat memeluk. Nyaman saat kucoba duduk
di antara kursi empuk yang berjajar di ruang tamu. Hanya
ada ruang tamu langsung terhubung ke dapur dan satu
kamar serta kamar mandi.
Kembali menuju teras pondok lantas pikiran
mengajakku melangkah hingga di bibir pantai. Diam
dalam beku bersama senja yang perlahan bergulir,
mengikis terang. Dalam benak sering terlintas bahwa aku

Rini Widiastuti | 79
membutuhkan sunyi untuk tahu artinya sendiri, sebab
bukan tidak mungkin cepat atau lambat, kita semua pun
sendiri menasbihkan deretan Rindu pada tiap kisah yang
kadang terjeda, menghitung berapa langkah ditiap
persinggahan yang terkadang membosankan. Meski pada
akhirnya kita harus tunduk pada takdir. Hanya butuh
kesederhanaan untuk memahami cinta yang
sesungguhnya. Dalam keikhlasan cinta bicara.
Hal yang paling nyaman menurutku adalah kala
kumampu duduk dengannya walau hanya sekadar
menikmati senja tanpa ada embun dikedua sudut mata.
Aku masih percaya bahwa senja akan selalu hadir dengan
sajian jingga, debur ombak yang menggulung, dan suara-
suara burung yang mencicit terbang rendah, sesekali
menukik memangsa ikan-ikan yang muncul dipermukaan.
Ya, itu memang benar. Karena aku selalu bisa
menikmati setiap kejutan manis bahkan menyakitkan
sekalipun, seperti senja yang sebentar lagi menghitam di
setiap penghujung kehadirannya. Perlahan kuseret
langkah, memahatkan jejak-jejak tanpa alas di atas
butiran pasir. Menyentuh gulungan ombak yang masih
saja silih berganti berlarian. Sebentar lagi mentari lenyap
di telan bumi.
“Kurasa persinggahanku cukup sampai di sini,
cukup untuk melepaskan segenap penat yang mengharu

80 | Memahami Sabda Alam


biru, Lelah yang membekap kelu di setiap helaan
nafasku.” gumamku sambal tertawa. Lebih tepatnya
menertawakan diri sendiri.
“Ya, aku lelah dengan semua yang terjadi.” ucapku
perlahan nyaris tak terdengar, sebab ombak kembali
menyentuh pergelangan kaki.

Di ruang tanpa sekat.


Gelap memang tak pernah membuatku khawatir.
Sebab fajar hingga senja terlalu melelahkan untuk
kulewati. Lantas berharap mimpi indah menyambut
dengan lembut dan mendekap erat tubuhku. Aku tak tahu
apakah aku harus meleraikan lembaran-lembaran kisah
yang telah kujalani ketika mata mulai terpejam, ataukah
memaksa ia tetap masuk dalam mimpi dan sesuka hati
merusak suasana hati. Entahlah..
Masih menjadi sebuah misteri, ketika kuketuk
malam dan ucapkan permisi pada hati untuk perlahan
menata Rindu pada secangkir kopi, pada sisa-sisa kisah
yang pernah terukir walau pada akhirnya terbengkalai
oleh masa. Biarkan malam menjadi waktu terbaikku
untuk mengukir wajahmu hingga menyempatkan diri
menorehkan sajak-sajak dengan tinta pada pena yang
sejengkal lagi habis terkikis usia. Sempat terlintas
dipikiran untuk membuangmu jauh-jauh ke dasar ruang

Rini Widiastuti | 81
terdalam, namun lagi dan lagi bayangan kembali
menggenang.
“Masihkah kau ingat saatku bicara bahwa senja
akan kembali?” bisikku padamu saat itu.
Namun kau hanya diam membisu, bahkan
menganggapku tiada. Dan aku tak peduli.
Dan lagi kuberkata.
“Pada angin pun pernah kutitipkan kabar tentang
ombak yang menggulung, tentang elang yang
mengepakkan sepasang sayapnya, tentang jingga yang
menorehkan warnanya, tentang banyak hal yang
sebelumnya tak pernah kita nikmati bersama.” ucapku
saat itu.
Namun lagi dan lagi kau tak peduli.
“Buat apa kita menasbihkan angin tanpa tahu di
mana ia singgah dan menetap. Manusia pasti punya
kebosanan yang hinggap dan itu aku. Kita tak perlu
memaksakan diri untuk tetap bicara bahwa kita sanggup
melewati semuanya.” ucapmu saat itu.
Dan aku pun terdiam tanpa terasa perih di kedua
sudut mata dan bulir bening jatuh perlahan.
“Tapi apakah kau paham bahwa di setiap
perbatasan waktu selalu ada jeda yang membuat kita
terhenti meski sesaat? Tidakkah itu cukup buatmu
mengutuhkan kembali puing-puing yang terserak? Bukan

82 | Memahami Sabda Alam


aku yang memulai, tapi kamu yang meminta!”ucapku
dengan nada tinggi
Perseteruan terus saja terjadi tanpa ada yang mau
mengakhiri. Hingga pada akhirnya aku berbisik pada
malam, pada angin aku menyapa lembut tanpa suara.
Membuat hatinya semakin dingin. Dan aku pun tak lagi
peduli. Tak lagi peduli.
Sunyi kian menusuk. Duduk menyendiri. Sesekali
kusentuh dada yang kian mendebar berbarengan dengan
perihnya di kedua sudut mata. Ketika angin tak lagi terasa
hembusannya, mungkin ia enggan untuk terbang
ditempat biasanya. Atau ruang yang biasa ia lewati telah
tertutup atau bahkan terganti yang lain hingga ia harus
menepi.
“Aku perempuan yang selalu merindukan senja di
tepian bibir pantai, terkadang di atas tebing yang
menjulang gagah perkasa sambil bercengkerama dengan
riuhnya kepak elang. Hanya hujan yang mampu
menahanku untuk tak datang lagi.”
Entah siapa yang kunantikan. Atau justru malah
ingin kulepaskan? Semua karena keadaan yang
memaksaku untuk pergi. Menuntun pada takdirku yang
sebelumnya nyaris tak terbayangkan. Aku, perempuan
yang melepaskan seluruh penat yang sekian lama
menghimpit sebab kekasih pun menepi tanpa permisi.

Rini Widiastuti | 83
Aku perempuan yang pernah membenci senja,
sebab ia torehkan luka namun aku pun kembali
menyukainya tanpa peduli ada atau pun tidaknya dia. Aku
selalu punya pilihan namun aku tak lagi memiliki
kesempatan untuk bertarung di antara sekian banyak
pilihan. Pikiranku terlalu dangkal untuk sekadar
memahami arti gelak tawa, derai airmata, bahkan senyum
tanpa kata.

Percakapan saat senja.

“Pernahkah terpikir olehmu bahwa alur yang


pernah kita lewati tak akan meninggalkan jejak sekalipun
hanya kenang?” tanyamu saat itu.
Sesaat jidatku pun mengerut. Dan masih diam
karena kupikir diam lebih berarti ketimbang bicara tapi
tak didengar. Lantas ia pun kembali bicara.
“Di sepanjang malam akan selalu ada yang
membeku pada ruang-ruang tanpa sekat tanpa kita sadari.
Kenapa kau diam?” ucapnya
“Entahlah. Lantas apa yang harus kusampaikan
jika apa yang kamu ucapkan itu mulai merayap perlahan,
menjeratku tanpa kamu tahu. Kamu kira aku tak jengah
dengan semua yang terjadi? Pada dinding waktu setiap
saat kutitipkan tinta, kurangkai kisah di setiap sisa

84 | Memahami Sabda Alam


nadiku. Tapi apa? Kamu selalu saja menyalahkan keadaan,
menganggap bahwa caramu paling benar.” ucapku kesal.
“Mungkin sudah saatnya kuikhlaskan seluruh
mimpi dan kuletakkan rasa. Tak perlu lagi kuabadikan
kenangan yang menggenang, sebab melepasmu di sudut
hati adalah jalan terbaik daripada harus diam di antara
berbagai pilihan yang tak pernah berujung.” ucapku pelan
namun pasti hingga membuatnya melihatku tanpa kata.
Aku adalah perempuan yang berusaha
mengumpulkan serpihan luka sekaligus Rindu lantas
melukiskan pada rengkuhan semesta dan tak perlu
bertanya untuk akhirnya kulempar jauh ke dasarnya. Aku
perempuan yang pernah tersesat pada reguk cinta yang
tak seharusnya. Kini kutak ingin lagi menyeduhnya sebab
kisah tak lagi terbaca meski senja masih menguning
keemas an. Terbingkai cantik di belahan langit. Dan
biarkan seperti itu adanya. Menangis jika itu memang
pantang untuk ditangisi, berusaha bangkir seperih
apapun perjalanan, yakin bahwa suatu saat pasti
menemui pemiliknya. Begitulah kehidupan, dating untuk
pergi tanpa alasan yang pasti. Hingga kutahu bahwa aku
pernah dinanti meski terbuang lagi.

Rini Widiastuti | 85
Dari Abu Hurairah ra, berkata: Rasulullah SAW bersabda:

“Demi dzat yang jiwaku ada di dalam genggaman-Nya,


kalian tidak dapat masuk surga hingga kalian beriman,
dan kalian belum bisa disebut beriman hingga kalian saling
mencintai. Maukah aku tunjukkan kepada kalian tentang
sesuatu yang jika kalian lakukan, kalian akan saling
mencitai? Sebarkanlah salam di antara kalian.” (HR.
Muslim)

Rasulullah SAW, bersabda:

“Barangsiapa yang mencintai karena Allah, membenci


karena Allah dan memberi karena Allah, maka sunggu
telah sempurna imannya.” (HR. Abu Dawud, At Tirmidzi)

86 | Memahami Sabda Alam


RINDU INI
MASIH MILIKMU

H
adir tanpa permisi dengan tatapan
teduh namun tajam menghujam.
Menyingkap suara hati dalam dekapan
hangat. Kutulis kembali sebuah catatan tentang setia kala
senja.
Terdengar telfon masuk. Lantas kubuka. Terdengar
ucapan salam.
“Assalamu’alaikum.” Ucapnya
“Wa’alaikumsalam.” Balasku.
“Bagaimana kabarmu? Semoga selalu baik-baik saja.”
Harapnya.
“Alhamdulillah baik. Aamiin ya Rabb. Makasih ya.”
Balasku.
“Saat ini Dinda di mana?” Tanya Gaza
“Hayoo di mana coba? Memangnya kenapa kok
tumben nanya?” Balasku menggoda.
“Ditanya baik-baik, ya jawablah Din.!” Sahutnya agak
kesal.
“Rumah.” Jawabku singkat

Rini Widiastuti | 87
“Dinda, banyak hal kita lewati. Terus terang selama
ini aku mengamati orang. Tapi ketika aku mengamatimu,
lama-lama boleh juga. Aku mah to the point aja daripada
dipendam.” Ucapnya tanpa ragu. Dan itu membuatku
sedikit kaget.
“Kok bisa?” Jawabku heran
“Alasannya adalah karena aku menyayangimu. Aku
ingin menjadikanmu tempat berbagi banyak hal. Dan yang
pertama membuatku mulai memperhatikanmu secara
diam-diam adalah karena kamu memiliki perasaan yang
dalam. Karena biasanya sastrawan hatinya dalam.”
Ucapnya dengan penuh kelembutan. Hingga membuatku
tak tau harus bilang apa.
“Maasya Allah, kenapa harus aku? Aku memang suka
dunia sastra. Namun kusudah punya kekasih. Dan
sebentar lagi kami menikah.” Jawabku terus terang
namun tak urung membuatku sedih juga. Entah mengapa,
aku pun sebenarnya bimbang dengan calon suamiku. Ada
ketidakjujuran yang belum bisa kuungkap.
“Kalau Dinda tanya kenapa, ya aku tak tahu dan
memang benar-benar tak tau jika Dinda sudah akan
menikah.” Jawabnya dengan nada sedih.
“Masih banyak gadis yang lebih baik dariku, bahkan
lebih segalanya.” Balasku menekankan. Namun jauh di
dalam hati, ada rasa perih menghujat.

88 | Memahami Sabda Alam


“Maaf jika pertanyaanku salah. Rasa memang tak
pernah salah kemana dia menetap. Mungkin logika yang
harus diberikan jalan untuk memilih persinggahan mana
yang tepat bagi sebuah hati.” Balasku untuk menetralisir
keadaan.
“Kok aku jadi sedih ya? Selama ini tak pernah
kurasakan yang seperti ini. Entah mengapa kali ini lain.”
Jawab Gaza perlahan.
“Hatimu memiliki kelembutan, jangan sampai kelak
salah memilih pendamping.” Ucapku.
“Semoga aku mendapatkan pendamping yang
sholehah yang berhati lembut dan setia.” Balas Gaza
dengan sendu.
“Teruslah berjuang, sebab Allah Ta’alla tau yang
terbaik untukmu.” Ucapku menyemangatinya
“Kamu masih muda, insya Allah jalanmu masih
panjang.” Imbuhku menguatkan.
“Oya, dapet nomerku darimana?” Tanyaku
“Oh, kalau itu rahasia dong!” Jawabnya bikin gemes.
Selang satu hari. Kembali dia menghubungiku. Meski
hanya via wa.
“Gimana kabarmu hari ini, Din?” Tanyanya dan selalu
itu sapaan pertamanya.

Rini Widiastuti | 89
“Alhamdulillah baik. Ini baru nyusun berkas,
lumayan banyak menyita waktu. Padahal tadi mau santai.
Tapi kok ada saja kerjaan.” Jawabku.
“Maasya Allah, semangat ya Din. Selalu ada Rindu
untukmu dihatiku. Balasnya membuatku terkejut.
Padahal selama ini calon suamiku saja tak pernah
mengatakan hal itu. Jangankan bilang Rindu, tanya kabar
pun jarang. Terlalu cuek atau memang karena kami
dijodohkan dengan keterpaksaan. Entahlah.
Jika ingat bahwa kupernah menemukan fotonya
berdua dengan perempuan. Mesra. Rasanya ingin
kuteriak. Bukan cemburu tapi tidak suka dengan
ketidakjujurannya. Namun lagi dan lagi kuharus menjaga
perasaan keluarga.
“Aku tak terlalu berharap dengan hubunganku kali
ini. Hanya semata menjaga dua keluarga. Itu saja.” Batinku
sesak.
Tiga bulan berlalu
Dan pada akhirnya semua terbuka. Calon suamiku
ternyata selingkuh dibelakangku. Terbukti dengan adanya
video dan chat di ponselnya. Alhamdulillah adiknya masih
berbaik hati memberitahuku dan keluarga. Dan tanpa
berpikir panjang, semua harus diakhiri.

90 | Memahami Sabda Alam


Jika ditanya, sakitkah? Tak terlalu. Sebab jauh
berbulan-bulan yang lalu, ia sudah sering bermain
dibelakangku. Hanya menunggu bukti terkuak.
Sebulan berlalu.
Tiba-tiba ada pesan masuk dari seseorang. Yach,
Gaza. Begitu dia menyebut diRiaya dan tak urung
membuatku tersenyum lepas.
“Apa kabar, Dinda?” Tanyanya
“Baik.” Jawabku singkat.
“Oh, ya. Kalau kita sedang mendekati perempuan
tapi dia pendiam dan jutek namun pemahaman dan
pengetahuannya cukup baik tentang agama, tapi dia cuek.
Kuminta alamatnya saja tak dia tanggapi. Itu lebih baik
dilupakan kali ya.” Tanya Gaza panjang kali lebar.
“Mungkin cueknya untuk menghindari hal-hal yang
tidak baik, kan bisa juga.” Jawabku
“Tapi kalau jutek, ampyuun dech.” Lanjutku.
“Lagi deketi perempuan to? Jika dah siap tak usah
berlama-lama, nikahi saja. Insya Allah lebih baik.” Saranku
perlahan.
“Iya, betul juga sich.” Jawabnya tegas.
“Oya, aku maghriban dulu ya, Insya Allah kita
sambung lagi.” Ucapku mencoba menjelaskan. Entahlah,
mungkin sedikit menghindar. Entah mengapa hatiku sedih
tak kala dia dengan keterusterangannya kali ini.

Rini Widiastuti | 91
Ba’da Isya’.
Dia menghubungi lagi.
“Dinda, sebenernya aku baru mengenalnya. Tapi
malas juga liat orang cuek jutek gitu. Jadi ya, nggak jadi
pendekatan dengannya. Lebih baik fokus memikirkan
untuk hal-hal yang bermanfaat aja dech. Lagian kan ada
kamu dihatiku.” Jawabnya mengejutkan.
“Kamu nich, ujung-ujungnya aku yang jadi alesan.
Bisa saja. Kalau dekat, kujitak kali ya.” balasku.
Terdengar suara tawa lepasnya. Tawa yang selalu
kuRindukan.
“Dinda, kamu tuch staff di kantor atau bos?”
Tanyanya tiba-tiba.
“Apa hayyo... coba tebak.” Balasku.
“Mungkin kerja di sebuah perusahaan atau
semacamnya.” Tebak Gaza.
“Apa aja dech, terserah kamu, lhah katanya suka
mengamatiku kok kerjaanku tak tau...?!” Balasku.
“Eh...hayyo suka intip statusku...” godaku.
Terdengar tawa di seberang sana.
“Kamu tuch orangnya anggun dan manis.” Ucapnya
“Masa sich?!” Balasku
“Aku mah ngomong apa adanya.” Ucapnya sambil
tertawa.
“Ampyuun dech.” Balasku sambil tepok jidat.

92 | Memahami Sabda Alam


“Walau cuma liat kamu dari jauh. Maaf selama ini
aku memang mengamatimu. Karena aku suka denganmu.”
Ucapnya pelan tanpa ragu.
“Buatku mah jadi tanda tanya, mengapa.” Balasku
singkat.
“Ya, karena itulah rasa. Rasa dihati.” jawabnya
mantap.
“Benar juga sich, soal rasa. Rasa tak pernah salah
kemana ia harus menyapa.” Jawabku pelan.
Terdengar tawanya.
“Kenapa kamu tertawa?” tanyaku.
“Aku tertawa karena terlambat. Terlambat datang
ke kamu. Sejak dulu cuma berani mengamatimu. Itulah
takdir. Terkadang tak bisa diubah.” Jawabnya tanpa
semangat.
“Oh, ya, ngomong-ngomong adakah kenalan yang
baik agamanya, sopan. Jika ada, kenalkan. Siapa tau
jodoh.” Pintanya sedikit mengejutkanku.
“Dia tak tau bahwa jauh dilubuk hati terdalam, aku
mulai menyukainya. Mulai membuka hati untuknya. Jika
kembali pada takdir, manusia tak kan mampu
melawannya. Cukup menerima dan menikmati yang ada.
Hingga ada jalan untuk melangkah dan singgah. Entah di
mana.” Batinku. Toh dia memang tak tau bahwa ku tak
jadi menikah. Aku tak ingin berharap lebih padanya.

Rini Widiastuti | 93
“Dinda, kok diam? Tidurkah?” Tanyanya
mengagetkanku.
“Terkadang, kita tak harus memahami untuk
sesuatu yang tak kita mengerti mengapa terbentur pada
takdir. Cukup berpasrah diri bahwa itu yang terbaik untuk
kita jalani sebab Allah ta’alla lebih tau hamba-Nya.”
Ucapku kembali.
“Maasya Allah, semoga Allah Ta’alla menambah
kebaikan padamu dan padaku, Din.” Balasnya
“Din, kamu mau taukah? Perempuan yang kemarin
kuceritakan, Dia jarang upload foto. Dia punya hobi naik
sepeda gunung, dia pandai bahasa arab, dia guru ngaji, dia
kutu buku. Cuma anehnya dengan orang-orang di kolom
komentar, dia tanggepi. Denganku cuek.” Ucapnya
menggebu.
“Dia beraliran teroris kali ya? Astaghfirullah.
Kenapa jadi ghibah gini kita ya. Kayak emak-emak.”
Ucapnya sambil tertawa.
Baru nyadar dia dah mirip emak-emak.
“Sudah stop, iya nanti jadi ghibah. Tak usah marah
dan kesal di sosmed. Kamu mampu. Kamu kuat
menghadapi. Mungkin memang belum waktunya. Kamu
masih muda, insya Allah jalanmu masih panjang untuk
bisa menemukan yang terbaik menurut-Nya.” Ucapku
menguatkannya.

94 | Memahami Sabda Alam


Padahal jauh di dalam hati, aku tak sekuat itu
mengatakannya. Ada luka menggores perih di sini. Di
dada ini. Dan kau tak tau dan tak perlu tau.
“Maasya Allah, Dinda. Terima kasih ya. Tak salah
aku mencintaimu.” Ucapnya membuatku menangis.
“Sama-sama.” Jawabku.
Selang dua minggu masing-masing sibuk dengan
pekerjaannya. Dan entah secara kebetulan kami bertemu.
“Assalamu’alaikum, Dinda, apa kabarmu?’Suaranya
mengejutkanku.
“Masya allah, kamu, ngapain ke rumahku?”
Tanyaku kaget.
“Oya, kemana saja dua minggu ini tak ada kabar?”
Tanyaku
“Wah, jangan-jangan diam-diam dah dapat yang
dicari, bisa dong makan-makan atau ke sini mau kasih
undangan?” Godaku menetralisir keadaan.
“Bisa aja kamu. Belum ada. Ada sich di tempat kerja
yang sudah lama mendekati. Tapi ya aku sendiri tak ada
perasaan apapun.” Jawab Gaza pelan namun tegas.
“Lama aku tak menghubungi kamu, karena tempat
kerjaku jalanan banjir, lumayan tinggi jadi tak bisa
kemana-mana. Dan kebetulan sedikit sibuk. Tetap
semangat saja. Sebab selalu ada Rindu untukmu,
Dindaku.” Ucapnya membuatku sesaat terbang.

Rini Widiastuti | 95
“Bisa saja kamu ya. Tak bosankah bilang Rindu
terus?” Balasku sambil senyum.
“Oya, aku sedang menulis cerpen. Endingnya
seperti apa belum tau. “Ucapku menjelaskan.
“Maasya Allah Din, hebat kamu. Bagi dong
cerpennya.” Pintanya.
“Belum selesai, Cuma endingnya agak berbeda.
Yang perempuan posisinya mau menikah tapi tidak jadi
karena calonnya selingkuh. Mungkin endingnya menikah
atau jalan sendiri-sendiri.” Jawabku
“Wah kayak drakor aja ya, kamu dah makan?”
Tanya Gaza. Lucu panggilan itu.
“Lagi males aja. Ndak tau kenapa. Kamu mau masak
buatku kah? Siapa tau aku mau.” Pintaku
“Ayo, tinggal ada bahan apa saja di kulkasmu, Din.
Aku kan punya resto. Bisa dong masak.” Jawab Gaza
antusias. Membuatku terkejut.
“Bolehkah kutanya. Sebenarnya kamu lahir di
mana? Selama ini kamu tinggal di Jakarta sendirian?
Lantas di mana kedua orangtuamu?” Tanyaku penasaran.
Daripada diam tak ada percakapan.
“Wah sejak kapan Dinda tertarik dengan
kehidupanku? Okelah. Aku asli anak Minang, Sumatera
Barat. Asalku dari Alahan Panjang, Minang. Kami empat
bersaudara. Aku nomor tiga. Kakak dan ade’ perempuan

96 | Memahami Sabda Alam


Jadi, aku anak laki-laki satu-satunya. Yang pertama di
Amrik, dapet suami sana. Kakak kedua dan ade’ ada di
Jakarta. Udah Puas Dinda sayang?” Jawabnya membuatku
bengong.
“Wah, kapan-kapan liburan ke tempatku ya di
Alahan.” Ajaknya membuatku terkejut.
“Mudah-mudahan kita diberi kesempatan untuk ke
sana, itu pun kalau kamu mau.” Imbuhnya membuatku
diam.
“Kok diam? Bingung atau menolak nich?” Tanyanya
sambil senyum.
“Oh, ya dah tercium harum masakannya. Iya eh,
jadi laper. Dah matangkah?” Balasku mengalihkan
perhatian.
“Sudah, Insya Allah tak kalah dengan restoran
berbintang. Makanlah.” Pintanya.
Aku hanya membantu menghidangkan di atas meja.
Kemudian makan.
“Kok enak ya, pinter juga ni dia. Tapi kenapa dia
ndak ikut makan?” Batinku.
“Kenapa cuma ngliatin? Jangan bilang kamu masak
cuma buatku ya.” Ucapku.
“Iya, buatmu. Khusus buatmu!” Balasnya
membuatku tersedak. Sebab tanpa sadar pandangan kami

Rini Widiastuti | 97
beradu. Ku tundukkan wajah, meneruskan makan dan
mencoba menenangkan jantungku.
“Tidak, kamu tak boleh tau isi hatiku! Batinku
“Din, kok diam?” Tanyanya sambil menjitak
kepalaku. Membuatku kaget.
“Oya, kalau buat status jangan yang aneh-aneh.
Nanti jika ada yang tanya, kamu mau jawab apa? Suatu
saat, mungkin Rindu itu bukan untukku lagi. Untuk
seseorang yang mungkin suatu saat jadi kekasihmu atau
bahkan istrimu. Entah kapan, tapi mungkin akan tiba.”
Ucapku perlahan. Sampai detik ini ia tak tau bahwa ku
sudah lama sendiri. Dan sampai detik ini bahwa ia tak tau
aku mulai mencintainya. Biarlah.
“Din, aku akan selalu meRindukanmu, sampai
kapanpun.” Ucapnya mengejutkanku kembali.
“Pinter merayu ya, orang Minang.” Sanggahku
sambil tertawa.
“Aku tuch bicara apa adanya.” Balasnya cepat.
“Oh ya, aku ada puisi, mau bacakah?” Sambil
menyerahkan buku catatanku.
“Mana?” Sambil meraih catatan.

98 | Memahami Sabda Alam


Senja menari di pelataran sunyi
Tergambar siluet barangkali ijinkan gemulainya
membungkam perlahan
Hanya diam menatap
Gerimis jatuh perlahan seolah paham bahwa tiada
penyatuan di penghujung kisahnya

Tak perlu kukecup sunyi sebab akulah kesunyian

Rindu pun membisu jadi bait bait kelu


Kutinggalkan jejak barangkali alinea kosong mengisi
alurnya
Nyata sembilu terangkai redup dalam dekapan senja
Mungkin suatu saat kuharus menepi
Tinggalkan diksi di antara lelahnya puisi
Tarian pena pun terasa perih mengikis
Memaksaku mencabut rasa di relung terdalam bernama
hati

Sepenggal Rindu tertancap kuat namun tak kan pernah


menemukan muaranya
Sebab senja bukan milikku semata

“Sedih yang kurasa. Aku merasa makna yang


terkandung dalam puisi itu adalah tentang seseorang yang

Rini Widiastuti | 99
tersiksa karena sebuah Rindu di hatinya. Yang tak jelas
akhir dari Rindu tersebut.” Jawabnya mencoba menelaah
isi puisiku.
“Iyeeeeees, Bener bangets. Aku sedang mendalami
cerpenku, jadi sedihnya mengalir begitu saja.” Balasku
menutupi rasa.
“Dinda, raut mukamu tanpa kamu jelaskan pun
sudah mewakili kesedihan itu. Bisakah Dinda jujur yang
sebenarnya?” Pinta Gaza menyudutkanku.
“Entahlah, tak bisa dijelaskan dan mungkin memang
tak perlu dijelaskan. “Balasku sambil mengalihkan
pandangan.
“Jelaskan padaku, Dinda.” Pintanya sedikit
memaksa.
“Haruskah?” Jawabku pendek.
“Aku tak memaksa, aku hanya ingin ikut merasakan
suara hatimu. Bila engkau memiliki getaran hati yang tak
beraturan, kan ada aku tempat berbagi perasaan.”
Balasnya kian membuatku mau tak mau tanpa sadar
kedua mata terasa perih.
“Sudahlah, lupakan! Aku tak apa-apa. Jawabku
pelan.
“Din, ya sudah, jika itu maumu. Aku tak kan
memaksa. Aku kembali ke tempat kerjaku ya.” Ucapnya

100 | Memahami Sabda Alam


sambil mengusap lembut kepalaku, kemudian beranjak
meninggalkan rumah.
Beberapa hari kemudian, Iseng kutelfon dia.
“Assalamu’alaikum, Bang...sibukkah? Boleh
kutanya?” Pesanku di wa.
Sabar menunggu balasan. 10 menit kemudian.
“Wa’alaikumsalam. Lumayan. Kenapa, Din?”
Balasnya
“Dulu, kuliah atau ndak?” Tanyaku.
“Aku ndak pengen kuliah.” Balasnya.
“Kenapa?” Tanyaku lagi.
“Gak ada kemauan, bukan karena gak ada biaya, tapi
memang gak ada kemauan, kuliah bikin capek. Aku
sukanya hidup bebas tanpa membebani orang tua. Aku
kan anak laki-laki. Gaza gitu lhoh.” Jawabnya tanpa ragu
dan PD-nya minta ampun. Membuatku mau tak mau
tersenyum.
“Kelihatan dari gaya rambutmu, tatapanmu.”
Jawabku diplomatis.
“Seperti apa? Seperti berandalan kan? Gaza gitu
lhoh.” Balasnya minta ampyuuun dech.
“Gayamu menantang, terbukti dulu berani bilang
cinta denganku padahal kenal juga belum. Aku suka
gayamu.” Sambungku sambil tertawa.

Rini Widiastuti | 101


“Aku nich belajar apa adanya, Dinda. Terbuka dan
tak suka bertele-tele. Jawabnya mantap.
“Itu yang aku suka.” Balasku.
“Siiiiplah!” Balasnya.
“Awalnya ku kaget, to the point bangets. Memang
begitukah jika menyukai perempuan? “Tanyaku.
“Iyya, Dinda. Sebab kematian tak pernah basa-basi,
tak pernah pakai pembukaan. Tolok ukur dari sebuah
kebaikan dan amal ibadah adalah kematian, Dinda. Jadi
bila ada kesempatan untuk melakukan ibadah dan amal-
amal kebaikan, langsung saja seketika itu juga
laksanakan.” Jawabnya dan mau tak mau membuatku
terpana.
“Makanyaa aku tak mau bersusah hati jika harus
mengenal perempuan yang pendidikan agamanya kurang.
Aku ingin bahagia dunia akhirat. Jawabnya tegas.
“Aamiin ya Rabb.” Balasku meng- aminkan doanya.
“Dah mau tidurkah?
“Silakan tidur Dindaku sayang,” Jawabnya
seenaknya.
“Kamu lagi ngapain? Masihkah sekarang
perasaanmu sama ketika kamu mengatakan pertama kali
denganku? Tanyaku hati-hati. Dan paling tidak aku bisa
tau bagaimana dengannya dan kelanjutan perasaanku.

102 | Memahami Sabda Alam


“Sekarang yang kurasakan beda, walaupun masih
sama. Kecuali jika kamu masih sendiri.” Balasnya.
Batinku mengatakan bahwa kamu memang tidak
tau tentangku. Aku tak jadi menikah.
“Dinda, istirahatlah, sudah malam. Tak baik bagi
tubuh, kata salah seorang ustadz, tubuh juga punya hak,
dan hak harus dipenuhi.” Nasihatnya perlahan.
“Iyeeeees. Tapi memang hilang kantukku.” Balasku
tanpa berusaha membantahnya.
“Iyyyyeeeeeees, mau gimana lagi.” Gumamnya
“Maunya kamu .” Jawabku sambil tertawa.
“Kamu dah ngantukkah?” Tanyaku.
“Aku dah mau pulang, dan kalau jalan pulang,
wifinya otomatis putus. Lupa belum terisi, tak sempat.”
Jawabnya.
“Ya udah, besok kubelikan.” Balasku.
“Tak usah Dindaku tersayang, aku minta sama
adikku saja. Terimakasih Dinda.” Jawabnya membuatku
gregetan.
“Kenapa?Tanyaku.
“Aku tak mau merepotkanmu. Semoga kamu selalu
diberikan kebaikan oleh-Nya.” Jawabnya.
“Terserah kamulah. Ya sudah met malam.” Balasku
cepet.
“Malam juga, Dinda.” Balasnya

Rini Widiastuti | 103


Terkadang bahagia ketika kamu ucapkan kata-kata
lembut namun terselip rasa perih, jengkel juga. Ach,
entahlah, aku sendiri masih bingung.

Gaza
Ada apa sebenarnya denganmu Dinda? Mengapa tak
mau terbuka denganku. Aku tahu ada beban berat di
hatimu. Aku memang menyerah tak kala tahu bahwa
kamu akan menikah. Namun aku tak pernah surut untuk
selalu mencintaimu. Bahkan setiap saat aku
meRindukanmu.
Dinda, meskiku tak mampu membacamu di antara
tarikan nafasku, Saksikanlah bahwa keRinduanku
mengikat erat di kedalaman lubuk hatimu.

Dinda
Maafkan aku jikaku tak pernah bisa terbuka cerita
semuanya. Satu hal yang kutakutkan ketika kamu tahu
bahwa aku mencintaimu. Justru kamu sudah tak ada rasa
itu lagi sebab keterusteranganku dulu tentang
pernikahanku. Sekarang aku hanya berusaha perlahan
melupakan perasaanku padamu.
Taukah engkau bahwa di antara tawaku, ada
sendu yang mengguncang dada. Terlalu sulit untuk
kuungkapkan, terlalu sulit untuk kuteriakkan. Hingga

104 | Memahami Sabda Alam


tawa pun ada butiran embun di sudut mataku. Mungkin
itulah yang mampu mewakili hatiku terdalam. Tawa tak
selamanya bahagia, terkadang ia hanya ingin menutupi
luka.
Apakah engkau tertawa ketika Rindu menyapa?
Aku menangis sebab Rinduku tak berujung. Bermain
bersama detak waktu. Berputar tiada akhir. Sementara
engkau hanya diam menyaksikan.
Dan seperti apapun jalan yang kutempuh mungkin
itu yang terbaik untukku. Seperti apapun rasa yang
terpendam, tak kan mampu kusampaikan padamu. Seperti
apapun rasa sakitku, aku mencoba menghargai prosesnya.
Sebab aku yakin ada sesuatu yang menantiku. Entah
kapan dan entah di mana.

Rini Widiastuti | 105


Sebuah catatan:

Doa Rasulullah SAW:


“Ya Allah berilah aku rezeki cinta-Mu, dan cinta orang yang
bermanfat buat kucintai di sisi-Mu, Ya Allah segala yang
Engkau rezekikan untukku di antara yang aku cintai,
jadikanlah itu sebagai kekuatanku untuk mendapatkan
yang Engkau cintai. Ya Allah, apa yang Engkau singkirkan
di antara sesuatu yang aku cintai jadikan itu sebagai
kebabasan untukku dalam segala hal yang Engkau cintai.”
(HR At-Tirmidzi).

106 | Memahami Sabda Alam


SEBUAH PERJALANAN

S
emburat merah perlahan beranjak dari
peraduannya. Seiring munculnya mentari
di ufuk timur. Perlahan namun pasti,
panasnya kian terasa menyengat. Entah mengapa
beberapa hari ini udara terasa tak bersahabat. Atau
mungkin aku yang terlalu berharap hujan segera
mengguyurkan airnya. Membasahi tanah yang sekian
lama kering tanpa tetesan. Atau mungkin memang aku
yang sejak kecil menyukai hujan.
Hujan membuatku lelap dalam tidur. Hujan
membuatku kangen padanya. Hujan membuatku tahu
bahwa hamparan bumi membutuhkan kehadirannya.
Hujan menjadikanku merasakan kelembutan belaian-Nya.
Aku terbiasa dengan hujan.
Namun kali ini terik seakan mengulitiku. Inilah yang
membuatku merasa enggan keluar rumah. Panasnya kian
menyengat. Memberi isyarat untuk segera bangkit dari
tempatku duduk. Sejak ba’da subuh tadi, masih betah
untuk menikmati semilir angin di beranda rumah.

Rini Widiastuti | 107


“Minggu. Yach, hari ini hari minggu.” gumamku
perlahan.
Bagi sebagian orang adalah saat-saat untuk bersantai
setelah sekian hari berjibaku dengan sekolah dan dan
pekerjaan lain. Tapi tidak bagiku. Minggu adalah hari-hari
untuk beres-beres rumah. Kerja bakti bersama keluarga.
Masing-masing punya tugas yang harus diselesaikan.
“De, dah mandi belum? Kalau udah, ke pasar yuk.”
tanyaku.
“Udah doooong, masa iyya belum. Kakak kali yang
belum.” jawab Mutia menyebalkan
“Iss, tau aja. Malas sebenernya. Ni kan libur, siang-
sianglah mandi.” jawabku
“Kakak tanya kan siapa tahu Mutia belum mandi.
Siapa tahu kebiasaan kakak menular ke Mutia.” jawabku
sambil lari.
“Enak aja. Kalau ikutin kakak, bisa-bisa yang di pasar
menghindar dari kita. Kan bau.” teriak Mutia
Lima belas menit berlalu. Selesai mandi dan
berganti pakaian. Aku pun bergegas memanaskan
kendaraan.
“De’, ayok berangkat. Kakak dah siap nih.” ajakku.
Sementara Mutia masih asyik di depan tv.
“Ni anak, dipanggil diam aja.” Gumamku.

108 | Memahami Sabda Alam


“Mutiaaaaa! “godaku didekat telinganya dan
membuatnya terlonjak dari tempat duduknya. Terkejut.
“Ampyuuun dech Kakak ini! Apaan sich pakai teriak-
teriak segala. Mutiaa dengar kali, Kak! ucap Mutia dengan
pasang wajah cemberut.
“Hei, nona maniis. Kakak panggil kamu tuch sudah
yang ketiga kalinya. Di mana tuch telinga?” Balasku.
“Eh, iyyakah? tanya Mutia tanpa dosa.
“Ya iyyalaaah! Masa kakak bohong. Cicak aja pada lari
tuch saat kakak teriak panggil Mutia.” jawabku membela
diri.
Tugas pertamaku ke pasar bersama adik
perempuanku yang manis. Belanja untuk persediaan
seminggu ke depan. Sedangkan simbok dan ibu, mereka
memasak di dapur sambil mencuci. Bapak dan adik
lelakiku membersihkan halaman depan dan belakang
rumah. Menata tanaman kesayangannya. Banyak koleksi
tanaman bapak. Hanya beberapa yang kutahu namanya.
Kamboja merah dan putih, mawar, melati, anggrek. Lain
tidak. Keterlaluan ya? Bisa-bisanya aku sampai tak tahu.
Ada juga beberapa tanaman buah; macam-macam mangga
jambu air, jambu biji, matoa, rambutan. Jika saatnya
berbuah, sungguh hal yang membahagiakan. Tak perlu
membeli cukup petik saja di halaman depan dan belakang
rumah.

Rini Widiastuti | 109


“Imam, coba angkat kayu-kayu itu ke belakang, bisa
buat kayu bakar untuk masak air.” perintah bapak.
“Iyya, pak. Semuanyakah?” tanya Imam balik.
‘Iyya, Nak.” jawab Bapak lembut
“Oke. “balas Imam sambil memunguti kayu-kayu kecil
yang sudah dikumpulkan bapak.
Selang lima menit Imam sudah kembali.
“Pak, kalau kayu persediaan kita habis dan pohon
belum siap ditebang, kita cari di mana?” tanya Imam.
“Yach, terpaksa kita belilah. Hitung-hitung bantu
mereka para penjual kayu bakar.” Jawab bapak.
“Bapak nich ya, kebiasaan dari dulu gak pernah
berubah, kakek penjual sayuran keliling bapak borong
semuanya, hanya menyisakan di rumah untuk beberapa
hari dimasak, eeeh. lainnya bapak taruh di pagar depan
rumah.” protes Imam adikku bungsuku.
“Belum lagi tuch bayam, papaya, dan cabe di belakang
rumah, bapak suruh Imam petik tapi cuma ditaruh di
pagar.” Gerutu Imam.
“Nak, ada maksudnya bapak beli sayuran ke
pedagang kecil, biar dia juga bisa segera beli beras dan
pulang ke rumah untuk keluarganya.’Jawab bapak.
“Adapun bayam dan lainnya bapak tanam dibelakang
rumah, selain kita bisa kita petik, juga bisa berbagi dengan
orang lain, sedekah tidak akan pernah rugi kok.”

110 | Memahami Sabda Alam


Penjelasan bapak yang membuat Imam terdiam dan
sekaligus aku yang mendengar di balik jendela trenyuh.
Bahkan pernah beberapa kali para penjual ayam yang
naik sepeda ada keranjang di belakangnya antri di pinggir
jalan. Kupikir apa an, ternyata bapak sedang beli ayam
satu persatu dari pedagang ayam itu. Ada-ada saja bapak
kelakuannya. Katanya beliau untuk dipelihara dan kalau
sudah besar disembelih. Membuatku tertawa.

***
PASAR
Oh ya. Saat di pasar, kami membeli beberapa lauk-
pauk untuk dimasak serta stok satu minggu ke depan. Jadi
lebih hemat daripada membeli di warung-warung. Ada
beberapa cemilan yang kami beli. Karena satu rumah
memang hobi ngemil.
“Bu, cabe seperempat, buncis satu kilo, daun
bawang setengah kilo, kangkung enam ikat, pare satu kilo,
daun kol 1 kilo, kacang Panjang setengah kilo. Tolong
dihitung, berapa semuanya.” pintaku ke ibu-ibu pedagang
saat selesai mengumpulkan sayuran dan menimbang.
“Cabe limabelas ribu, buncis tujuh ribu, daun
bawang sepuluh ribu, kangkung enam ribu, pare sepuluh
ribu, daun kol sepuluh ribu, kacang panjang lima ribu. Jadi
total enampuluh tiga ribu, Neng.” jawab ibu pedagang.

Rini Widiastuti | 111


“Oh, ya. Makasih Bu.” balasku.
“Kak, kita kan belum beli tahu, tempe, ikan dan
ayam,” kata Mutia mengingatkan
“Iyee, inget kok kakak.” balasku cepat.
“Ayok, Kak, kita ke tempat pedagang ikan dan
ayam, ada di bagian belakang. “ajak Mutia
“Ayolaah.” jawabku
Setelah sampai di temoat penjual ikan dan ayam.
“Pak, berapa ayam dua kilo?” tanyaku.
“Limapuluh ribu, Neng.” jawabnya
“Ok. Tolong ditimbang, tanpa kepala dan ceker ya.
“pintaku.
Setelah selesai, lanjut ke pedagang ikan.
“Ikan lima kilo sekalian bersihkan ya, Pak.” ucap
Mutia.
“Lhah, gak salah de’ sebanyak itu?” tanyaku ke
Mutia
“Gaklah, Kak. Mutia sama bapak kan suka ikan.”
jawabnya
“Oalaah, gitu to. Hmm. Mentang-mentang suka
trus dibanyakin.” jawabku.
“Jadi, Neng ikan lima kilo?’tanya penjual.
“Jadi, Pak.Tolong pilihkan yang segar dan besar-
besar ya. “pintaku
“Baik, Neng.” jawab penjual tersebut.

112 | Memahami Sabda Alam


Setelah selesai lanjut pindah ke bagian depan
untuk membeli tempe dan tahu. Dan kami pun pulang
kembali ke rumah.

***
RUMAH
Beberapa pekerjaan selesai. Bergantian
membersihkan diri di kamar mandi. Kebetulan kamar
mandi ada dua, jadi tak perlu antri. Kulihat bapak dan
adik masih belum selesai. Mereka terlihat asyik di
halaman. Sesekali istrirahat sejenak untuk melepaskan
lelah.
Sarapan pagi menjelang siang. Rutinitas setiap
hari minggu. Berbeda dengan hari-hari lain. Makan pagi
dan malam sering kami lakukan bersama. Begitulah cara
kami sekeluarga menjaga rasa kebersamaan.
Tanpa terasa waktu terus berlalu. Banyak hal
terjadi. Banyak hal dilewati. Masing-masing memiliki
kesibukan yang berbeda. Tapi tak pernah lupa untuk
saling mengingatkan. Sebulan sekali untuk
menghilangkan rasa penat, kami sekeluarga refresing.
Memperbaiki mood judulnya. Mempererat kebersamaan.
Menjalani apa yang memang harus dijalani. Terkadang
ada rasa kangen masa-masa kecil. Bermain tanpa beban.
Tanpa masalah yang berarti. Namun ketika kami bertiga

Rini Widiastuti | 113


sudah dewasa, dengan rutinitas masing-masing bahkan di
sela-sela waktu pun masih sempat bersendau gurau,
berebut makanan. Tapi tak ada rasa marah. Semua
mengalir begitu saja.
Allah Ta’alla berfirman:
“Kamilah pelindung-pelindungmu dalam kehidupan
dunia dan akhirat; di dalamnya kamu memperoleh
apa (segala kenikmatan) yang kamu inginkan dan
memperoleh (pula) di dalamnya apa (segala
kenikmatan) yang kamu minta.” (Q.S An-
Fushshilat:31)
Yang artinya; Kami memelihara kalian di
dalamnya (dan di akhirat) maksudnya, kami akan selalu
bersama kalian di akhirat hingga kalian masuk surga (di
dalamnya kalian memperoleh apa yang kalian inginkan
dan memperoleh pula di dalamnya apa yang kalian minta)
berupa semua kenikmatan yang kalian minta. (Tafsir Al-
Jalalain, Fushshilat:31)

***

Sejak kecil, aku anak yang periang. Bahkan suka


mengganggu adik-adikku. Bahkan teman-temanku pun
ada yang menangis karena ulahku. Namun ketika dewasa
selalu mampu menutupi setiap permasalahan.

114 | Memahami Sabda Alam


Dewasa dan kedewasaan selalu menciptakan
ruang tersendiri bagi setiap insan. Tak terkecuali aku.
Dewasa tak selamanya identik dengan usia atau
kemapanan. Tapi dewasa adalah tak kala mampu
berdamai bahkan menyelesaikan masalah yang ada.
Kedewasaan ada terkadang karena tuntutan keadaan.
Tapi dari situ, aku bisa belajar menata diri,
mempersiapkan diri dari segala kemungkinan. Bukan
karena takut lantas memaksakan diri untuk bersikap
dewasa. Bukan. Tahap Pembelajaran. Tak semua hal
mampu kuselesaikan. Kadangkala ketika merasa tak
mampu, sejenak melupakan. Memberikan jeda pada hati
dan pikiran untuk istirahat sejenak dari kepenatan. Sebab
jika dipaksakan tak semua hal mampu kulakukan.
Kembali pada keterbatasan. Keterbatasanku sebagai
perempuan. Namun tak kan pernah berkecil hati hanya
karena kegagalan. Tak ‘kan pernah mundur hanya karena
ketakutan. Aku suka tantangan. Sebab itulah terkadang
tak sejalan dengan orang-orang disekitarku. Bukan aku
egois. Hanya ingin membuka dan menunjukkan bahwa
masih ada kejujuran. Bahwa masih ada keberanian untuk
menyingkirkan segala ketakutan. Apapun itu. Ketakutan
yang nyata bahkan ketakutan yang mereka ciptakan
sendiri dan pada akhirnya terbelenggu di dalamnya.

Rini Widiastuti | 115


Terbesit tanya apakah perjalanan ini masih
panjang? Sepanjang yang kuinginkan? Atau sepanjang
imajiku?
Mencoba mengembalikan kesadaran bahwa
khayalan hanya membuang waktu dan energi. Sudah
saatnya bangkit dan melangkah menapaki kehidupan
nyata. Singgah dari satu episode ke episode berikutnya.
Terkadang kita pun harus bisa memahami bahwa
sebagian episode perjalanan hidup kita memang telah
usai. Tak perlu memaksakan diri untuk tetap bertahan
pada sesuatu yang justru membuat kita berat untuk
melangkah.
Rindu? Pasti. Siapa sich yang tidak merindukan
masa-masa kecil bersama keluarga. Berkumpul kembali,
tanpa berjauhan jarak, adalah hal yang diharapkan.
Namun waktu tak’kan mampu mengembalikan apa yang
telah memutar, sebab setiap kehidupan punya cara untuk
menempatkan di mana insan harus diam dan menetap.
Terkadang rindu itu cukup dengan diam terkadang pula
dengan doa. Lantas melihat bahwa semesta hanya punya
dua warna. Semesta kala tersenyum dan semesta kala
meneteskan bulir beningnya. Dengan cinta kita dilahirkan,
dengan cinta pula kita pergi meninggalkan atau
ditinggalkan. Sama.

116 | Memahami Sabda Alam


Waktu terus berjalan. Langkah kian berat meski
semangat masih tertancap. Kepergian Bapak telah banyak
meninggalkan perih. Kini ibu tinggal bersama adik
bungsuku, Imam. Banyak hal indah yang tak’kan pernah
hilang begitu saja, meski waktu menggerus perjalanan.
Mengejar mimpi tak kan pernah menjamin bahwa itu
akan kita raih. Diam dan pasrah pun tak memastikan kita
sampai pada tujuan. Namun, perlu dipahami bahwa di
antara keduanya ada hal-hal yang perlu kita usahakan.
Hidup ini akan terus mengalir, meski langkah
kadang harus terhenti pada sebuah persinggahan.
Mencintai kalian adalah keabadian, seperti mengerti
bahwa kematian tak pernah memiliki jalan untuk kembali.
Teruslah menggapai dan tetaplah seperti itu, meski tanpa
lengan untuk memeluk, namun hakikatnya semesta
tetaplah punya cara untuk merengkuh. Biarkan ikatan
darah dan cinta membimbing kita untuk terus
menorehkan puisi meski tanpa tinta sekalipun. Cinta dan
kasih sayang akan menuntunmu melewati seluruh
keterbatasan tanpa batas.
Yakinlah bahwa perjalanan punya masa kapan ia
harus terhenti, Tinggal bagaimana kita membaca dan
mempelajaRiaya. Dan yakinlah bahwa setiap kisah
memiliki peran yang indah, tinggal bagaimana kita
menikmati alurnya.

Rini Widiastuti | 117


“Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik
bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu,
padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui. Sedang
kamu tidak mengetahui.”
(Q.S. Al-Baqarah: 216)

118 | Memahami Sabda Alam


TAKDIR MENGUBAH
HIDUPNYA

L
angit nyaris tanpa awan. Penat bergumul
memenuhi sebuah area taman. Terlihat
keramaian manusia menjelaskan bahwa
mereka tak peduli dengan panasnya mentari.
Sesosok wajah diam menatap kosong tanpa
ekspresi seolah ia pun tak sadar bahwa terik kian
menggila.
Asraf. Pecinta sekaligus penikmat keindahan
alam bersama prosa. Rangkaian kata hingga catatan kecil
bercoretkan kalimat indah, selalu ia bawa.
Sekuntum senyuman bertengger manis selama
menuliskan kalimat demi kalimat dalam catatan kecilnya.
Imajinasinya terbang menembus langit. Mungkin tak kala
ia diam menatap kosong tanpa ekspresi adalah caranya
berkomunikasi dengan alam hingga terwujud dalam
rangkaian kisah.
Kembali langkah kaki mengajaknya bergumul
menikmati ramainya kota Yogyakarta. Menikmati gang-
gang kecil dan sesekali memperhatikan dengan seksama

Rini Widiastuti | 119


ornamen rumah-rumah asli di kota Jogja. Beberapa rumah
yang masih menggambarkan bentuk aslinya dengan
berbagai ornamen bahan dasar kayu jati pilihan, ukiran-
ukiran khas Jogja. Desain pintu dan bangunan yang
bercorak adat Jogja. Rumah Joglo merupakan rumah yang
mencirikan adat Jawa yang estetis. Bangunan ini
bentuknya besar dan memerlukan kayu yang banyak
serta kokoh. Ciri khas dari bangunan Joglo dengan
menggunakan Blandar Tumpangsari. Bangunan tersebut
memiliki empat tiang utama yang terletak di tengah yang
disebut Saka Guru. Ada kerangka yang berbentuk siku
sebagai penguat bangunan agar tidak bergeser letaknya.
Itu baru salah satu dari beberapa keterangan dari
penduduk asli Yogyakarta yang sudah sepuh atau telah
berusia senja yang ia dapatkan.
Asraf mencoba merenung tentang perjalanannya
kali ini ke Yogyakarta. Senja ini entah mengapa ia
menyambutnya dengan sapaan ramahnya. Ia berpikir
mungkin suatu saat waktu menemukan jalannya sendiri
untuk memahami dari sekian perjalanan. Namun ketika
kehilangan tertelungkup tanpa rasa, mungkin kelak
senantiasa menyatu dalam setiap pola pikirnya. Sejatinya
kehilangannya memiliki prasangka yang masih saja
mengimajinasi kuat dalam ingatan. Setiap jejaknya
dengan almarhum istRiaya mengajak emosinya bercerita

120 | Memahami Sabda Alam


bahwa senja masih sama. Perihal Pelangi yang tak lagi
mampu mengalihkan kecewa meski pendarannya menari-
nari, pada akhirnya sendu masih setia menggelayut
batinnya.
Beberapa waktu kemudian, kembali imajinasi
membawanya terbang mengembara. Mulai mengurai kata
untuk ia jadikan teman catatan dalam perjalanannya.
Angin pun ikut andil membisikkan getar bagi siapa pun
yang merasakan kehadirannya. Gemerisik dedaunan
menambah syahdu, merasuk dan berlabuh dalam
sanubarinya.
Mecoba meresapi semua yang terjadi pada dirinya.
Kepiluan hatinya saat ia harus tunduk pada takdir yang
merenggut perempaun yang baru beberapa hari
dinikahinya. Membuatnya memilih jadi pengembara.
Hingga ia sampai di Yogyakarta.
“Apakah kamu tidak mengetahui bahwa
sesungguhnya Allah mengetahui apa saja yang ada di
langit dan di bumi? Bahwasannya yang demikian itu
terdapat dalam sebuah kitab (Lauh Mahfuzh)
sesungguhnya yang demikian itu amat mudah bagi
Allah.” (Q.S. Al-Hajj;70)

Rini Widiastuti | 121


Sabda Rasulullah SAW:
“Allah telah menetapkan takdir untuk setiap makhluk
sejak lima puluh ribu tahun sebelum penciptaan langit
dan bumi.”
Semesta sedang mendesain kisah hidupnya. Entah
berakhir di ujung yang mana, ia tak tahu. Yang ia tahu, ia
ingin mengelana.
Pukul 23.00 wib. Ia kembali ke hotel. Merengkuh
setiap sudutnya. Panas, peluh, dan penat seharian
menghasilkan aroma yang membuatnya melangkah untuk
menyegarkan tubuhnya sebelum kembali ke peraduan
untuk melerai semua lelah. Gerimis di luar, gerimis juga di
dalam.
“Taukah kau bagaimana caraku bertahan dalam
rindu yang terlalu? Aku menghapal senyummu,
menyimpan tatapmu diingatanku, lalu ketika kupejamkan
mata telah tercipta duplikatmu dalam imajinasiku.”
batinnya bicara.
Terlalu lama ia menikmati tetesan hangat
ditubuhnya. Wajah Sheena, almarhum istrinya bermain
dalam imajinasinya. Menambah kepedihannya. Dengan
cepat Asraf memutuskan untuk menghentikan
aktivitasnya di bawah guyuran air. Ia mengambil handuk
kuning dan mengeringkan diri. Rambut hitamnya ia
biarkan terurai hingga ke bahu. Ia sengaja membiarkan

122 | Memahami Sabda Alam


rambutnya memanjang. Mata elangnya terlihat tajam dari
cermin dihadapannya. Tingginya sekitar 180 cm. Badan
kekar dengan hidung mancungnya. Terlihat sempurna
untuk seorang laki-laki namun tak sesempurna perjalanan
hidupnya. Kembali tanpa sadar ia melamun.
“Di saat segala seuatu kian terasa sulit, maka di saat
itulah aku mulai belajar untuk menjadi kuat.” batinnya
kembali menguatkan.
Sejurus kemudian ia menjatuhkan diri di
pembaringan. Melepas semua lelah yang menggelayut
seharian. Lama-kelamaan kesadarannya pun menipis dan
pada akhirnya terlelap menjemput mimpi yang terasa
nyata. Asraf terlelap bersama hadirnya Sheena.
Di alam bawah sadarnya.
Pandangan matanya menatap beberapa detik. Entah
mengapa ada sedikit getaran yang membuatnya salah
tingkah. Ia menyaksikan seorang perempuan duduk
manis bercengkerama dengan anak kecil. Nampak anak-
anak yang terlihat lusuh di sebuah tangga di depan
gedung pemerintahan Yogyakarta. Perempuan itu tetap
asyik, seolah tak menyadari kehadirannya. Asraf pun
mengambil beberapa gambarnya.
Tak berapa lama, anak kecil itu pergi, dan tinggalah
perempuan tersebut.

Rini Widiastuti | 123


Merasa ada yang memperhatikan, ia merasa jengah
dan menegur Asraf.
“Maaf, anda siapa dan mau apa?” sapa perempuan
itu.
“Oh, saya? Perkenalkan nama saya Asraf. Nama
anda siapa?” jawab Asraf sambil mengulurkan tangan
kanannya bermaksud bersalaman namun perempuan itu
hanya menangkupkan kedua tangan di dadanya.
Menandakan tidak mau bersentuhan dengan Asraf.
Asraf bingung dengan sikap perempuan tersebut.
Dan sekali lagi ia balik tanya.
“Saya sudah menyebutkan nama, sekarang gantian
jawab pertanyaan saya. Siapa nama anda?” tanya Asraf.
“Oh, maaf. Saya Sheena.” Jawabnya
“Maaf jika Sheena tidak berkenan saya ambil
gambar tanpa ijin. Entah mengapa saya tertarik dengan
kalian tadi. Siapa anak-anak kecil itu?” Asraf menjelaskan
agar tidak terjadi kesalahpahaman.
“Namanya Dino, Agung dan Candra, pengamen
kecil. Ia biasa mangkal di daerah sini.” Jawab Sheena.
“Oh ya, sekali lagi saya minta maaf karena
mengambil gambar tanpa ijin, terus terang, moment yang
menarik buat saya, saya dokumentasikan. Untuk koleksi
saja.” Penjelasan Asraf.

124 | Memahami Sabda Alam


“Sheena dari Jogjakah? Atau dari luar kota?” tanya
Asraf
“Iya, saya asli Jogja, cuma sekarang sedang
penelitian tentang anak-anak putus sekolah.” Jawabnya
“Ooh, mantap. Berarti tadi saat bincang-bincang
dengan anak-anak bagian dari penelitian?’ tanya Asraf
antusias.
Dan kembali gadis tersebut hanya tersenyum tanpa
mengangguk atau mengiyakan.
Tubuh Asraf menggeliat di atas kasur. Terdengar
suara adzan menggema. Ia merasa panggilan sholat kali
ini, menyentak hatinya. Pastinya semenjak kepergian
Sheena. Dengan segera ia membuka mata mencari
sesosok Sheena. Namun rupanya orang yang dicari tak
ada. Dan ia hanya sendirian di kamar tersebut.
Ia kini tak lagi bersama Sheena. Istrinya. Ia telah
kembali ke dunia nyata.
“Rupanya aku hanya bermimpi. Seolah nyata, saat
pertama kali pertemuan dengannya.” gumam Asraf perih.
Untuk menyemangati diri, Asraf berpikir bahwa
mimpi hanyalah sebuah rangkaian episode lain dari segala
aktivitas yang sering ia lakukan. Kembalinya ia ke alam
nyata kian menyadarkan bahwa ia harus bangkit dari
kehilangan.

Rini Widiastuti | 125


“Aku tak kan menceritakan kesedihanku sebab
kupikir akan ada kekalahan sebelum pertempuran.”
gumam Asraf.
“Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai
dengan kesanggupannya. Ia mendapat pahala (dari
kebajikan) yang diusahakannya dan ia mendapat siksa
(dari kejahatan) yangg dikerjakannya...” (Q.S. Al-
Baqarah:286).
Manusia memiliki kehendak dan kemampuan, namun
kehendak dan kemampuannya terjadi atas kehendak
Allah Ta’alla. Dan karena semuanya adalah milik-Nya,
maka tiada satupun yang tidak diketahui dan dikehendak
i oleh-Nya.
“(Yaitu) bagi siapa di antara kamu yang mau
menempuh jalan yang lurus. Dan kamu tidak dapat
menghendaki (menempuh jalan itu) kecuali apabila
dikehendaki Allah, Tuhan semesta alam.” (Q.S. At-
Takwiir:28-29)
“Pahit? Iya. Adil? Mungkin tidak. Namun pahit atau
adil dan atau tidak adil toh pada kenyataannya airmata
akan tetap jatuh bergulir dan di antara keduanya selalu
ada jeda untuk saling bertukar tempat. Sebab kita hanya
sepenggal kisah yang tertulis dalam catatan yang
kadangkala dianggap usang dan terbuang.” batin Asraf
kian menggemuruh.

126 | Memahami Sabda Alam


Kita hanyalah diksi paling sunyi, paling perih dalam
bentang waktu yang entah di mana akhirnya. Terkadang
rebah dan sesekali melangkah. Mencoba melupakan dari
janji-janji yang dia ingat untuk tetap diam, namun entah
untuk kesekian kali fana terlalu kuat mencengkeram lagi
hingga luka tak lagi meluka.
Perlahan pandangannya tertarik untuk menengok
jendela di samping tempat tidurnya. Gerimis menyapa
kembali di antara gersangnya nurani. Menghujam lembut
dalam buaian sunyi. Getir masih setia menggelayut seolah
enggan beranjak meski sejenak.
Hatinya masih bergejolak dengan semua peristiwa
yang ia alami. Mencoba menelaah bahwa kehidupan akan
terus berputar sampai tiba saatnya berhenti. Melalui
proses yang panjang, jalani, renungkan, dan tawaqal
lantas menunggu hasilnya. Mungkin begitu yang harus
terjadi. Masih saja ia titipkan rindunya pada senja hingga
membuatnya jadi candu, namun ketika warna tak lagi
indah baginya, ia biarkan angin membawanya. Barangkali
ia sampaikan rasa yang terabai dari waktu-waktu yang
telah lalu. Asraf berharap Tuhan masih mengijinkannya
agar istrinya tetap bersemayam dalam hatinya meski
hujan lagi dan lagi menjatuhkannya. Dan akan ia biarkan
terurai di udara, barangkali almarahum istrinya nun jauh
di sana mencium hadirnya.

Rini Widiastuti | 127


Petualangannya kali ini, ia memilih Jogja dari ratusan
kota di Indonesia. Jogjalah kota pertama saat ia mengenal
Sheena istrinya yang kini telah tiada. Ia hanya ingin
mengingat semua tentang Sheena dan kisah mereka.
Kepergian Sheena tiga tahun yang lalu tak juga mampu
membuka hati Asraf untuk menikah lagi. Pesona Sheena
masih sangat melekat dihatinya. Entah sampai kapan.
Asraf pun tak pernah memahami sebab ia pun tak mau
memahami apa yang terjadi dengannya.
“Saat ini tak ada yang bisa kulakukan, selain
membiarkanmu tetap hadir dalam ingatan.” gumamnya.
“Paling tidak engkau Sheenaku pernah membuatku
tertawa, melayang, Meski kini engkau telah jauh terbang
ke atas sana.” batinnya teriris hingga tanpa sadar kembali
gerimis jatuh di kedua sudut matanya.
Parangtritis kala senja, belum lagi usai Asraf tuliskan
hempasan angin, deburan ombak, jingga pun meredup
manis pada deretan kisah, mencengkeramakan sunyi
antara dia dan Sheena istrinya. Pada ruang tanpa nama
membalur perih, Suara Sheena memanggil-manggil lirih di
tepian tebing. Betapa riuh dalam kenang yang
menggenang. Pada sisa kisah yang mungkin nanti
terbengkalai, entah kapan dan di usia yang ke berapa ia
bisa menemui Sheena kembali. Namun kini ia sadar, ia

128 | Memahami Sabda Alam


harus tunduk pada takdir, meski tumpukan rindu
memeluknya dengan sunyi.

“Ingatlah bahwa di dalam jasad itu ada segumpal daging.


Jika ia baik, maka baik pula seluruh jasad. Jika ia rusak,
maka rusak pula seluruh jasad. Ketahuilah bahwa ia
adalah hati (jantung). (HR. Bukhari no.52 dan Muslim no.
1599)

Rini Widiastuti | 129


CATATAN
TENTANG RASA

K
ehidupan sampai detik ini masih
berjalan. Menjejak, meninggalkan
kenang yang kian waktu kian
membludak. Menjadi sebuah memori di setiap sudut
ruang bernama hati. Kadang menggelitik, menggoda
untuk menuliskannya. Persinggahan demi persinggahan
membekas dan meninggalkan aroma yang terkadang sulit
untuk kuhentikan perputarannya. Menari-nari
mengajakku bercengkerama lebih dalam. Menggeruskan
rasa hingga menghadiahkan tetesan air di kedua sudut
mata.
Adakalanya kita harus meletakkan sejenak rasa,
meski ia memanggil penuh warna. Dan membiarkan
logika memainkan perannya. Sebab ruang yang bernama
hati bukan batu atau kayu yang bisa semudah itu dibentuk
sesuka hati. Biarkan detak waktu terus mengukir
sejarahnya hingga kita mampu bercerita pada anak cucu
bahwa negeriku terus saja mengeluaran airmata. Ah,
terlalu naïf rasanya jika bercanda bahwa nestapa suatu
saat tergantikan tawa. Tak semudah itu.

130 | Memahami Sabda Alam


Tentang sebuah rasa yang tak kan pernah habis-
habisnya terungkap. Mungkin ini hanya rasa, tapi
setidaknya banyak di dalamnya mampu memberikan arti
hingga sulit untuk diterjemahkan bahkan ke dalam buku
sekalipun.
Tentang bahagia. Perlahan belajar menyusun,
merangkai, mengemas jadi satu kotak cantik berwarna.
Begitu banyak nikmat yang telah diberikannya. Tak
mampu menghitung seberapa besar cinta-Nya hingga
terkadang nyaris lupa bahwa pernah ada berjuta luka
singgah dan bernaung di kedalaman dasar hati. Tentang
senyum yang masih meninggalkan tanya tanpa jawab.
Bahagia adalah ketika hati merasa tenang.

Q.S An-nahl: 41 “Dan orang-orang yang berhijrah


karena Allah sesudah mereka dianiaya, pasti kami
akan memberikan tempat yang bagus kepada mereka
di dunia, dan sesungguhnya pahala di akhirat adalah
lebih besar, kalau mereka mengetahui.”

Q.S An-nahl:97 “Barangsiapa yang mengerjakan amal


saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam
keadaan beriman, maka sesungguhnya akan kami
berikan kepadanya kehidupan yang baik.”

Rini Widiastuti | 131


Bahagia itu bukan tentang harta. Bahagia adalah
sebuah ketenangan dimana hati dan jiwa merasa tenang,
hati yang merasa cukup dalam berbagai situasi dan
kondisi. Fitrahnya manusia pasti ingin bahagia. Tak ada
satu manusia pun yang mencari ketidakbahagiaan. Namun
tak semua manusia memahami bahwa bahagia itu bukan
semata segala sesuatu mampu diraih ketika berada di
dunia. Karena masih banyak manusia yang beranggapan
bahwa bahagia itu ketika semua harapan tercapai. Betapa
menyedihkan pemikiran itu.
“Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan
Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan
janganlah kamu melupakan bahagianmu dari
(kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah
(kepada oranglain) sebagaimana Allah telah
berbuat baik kepadamu, dan janganlah kamu
berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya
Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat
kerusakan.” (Q.S Al-Qashash:77)
Tentang bahagia, luka, semua akan terus silih
berganti. Menganggap bahwa bahagia di dunia adalah
salah satu di antara banyak rezeki yang kuterima tanpa
melupakan hak orang lain.
Tentang perihnya hati. Perih yang pernah singgah
entah berapa kali ia menghadirkan butiran bening jatuh di

132 | Memahami Sabda Alam


antara kedua pelupuk mata. Meninggalkan luka,
membekas dan menemani hari-hari tanpa tahu kapan
menghilang. Tentang sebuah kehilangan. Menunggu atau
menyerah dan melepaskan bukanlah hal yang
menyenangkan ketika hanya menyuguhkan kepenatan
semata. Barangkali perlu proses untuk bangkit tegar
kembali. Pilihan untuk melangkah mungkin jadi salah satu
cara untuk mengembalikan senyuman. Entahlah. Namun
kadang adakalanya aku harus berterimakasih atas
persinggahannya. Sebab dengan singgahnya ia,
menjadikanku lebih siap ketika tiba-tiba menyapa
kembali.
Tentang perihnya hati, hanya bisa menangis dan
bercerita pada-Nya. Dan di situ, Allah akan menyambutku
dengan penuh kasih sayang. Menyampaikan dan
menceritakan semua hal yang menjadikanku terluka. Dan
percaya bahwa Allah Ta’alla akan membalasnya.
Mengadukan semua pada-Nya, paling tidak perlahan perih
itu akan sirna meski kadang masih membekas. Namun
yakin bahwa Allah Ta’alla akan membasuh semua luka
sehingga tak kan lagi tertinggal beban berat menindih.
Tak kala lekuk jiwaku jiwamu menelungkup dalam sujud
pada-Nya, terurai doa penuh harap, membingkai mimpi
jadi nyata. Diam dan berhentilah beradu kata, sebab luka
kian menganga di sudut-sudut tanah penuh rongga.

Rini Widiastuti | 133


Tentang perihnya hati, tak ada seorang pun
menginginkannya. Namun Rasulullah bersabda “Tidaklah
Allah turunkan penyakit kecuali Allah turunkan pula
obatnya.” (Imam Bukhari). Bila obat tersebut sesuai
dengan sakitnya, maka insya Allah akan sembuh meski
perlahan membutuhkan waktu.
Bagaimana melupakan tentang sakitnya hati, mungkin
dengan mengingat-Nya.
“(Yaitu) orang-orang yang beriman dan hati
mereka menjadi tentram dengan mengingat Allah.
Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah lah hati
menjadi tentram. Orang-orang yang beriman dan
beramal shalih, bagi mereka kebahagiaan dan
tempat kembali yang baik.” (Q.S. Ar-ra’d:28-29).
Mengingat kebaikan orang dan husnuzdon. Ketika
kuterluka oleh orang lain, berusaha untuk melupakannya
meski butuh waktu lama. Namun paling tidak ada tekad
untuk melepaskan luka itu. Masalah salah, khilaf dan dosa,
biarlah jadi urusan Allah Ta’alla. Salah satu usaha
mengenang kebaikannya, kelucuannya, kebersamaan
yang pernah terlewati. Hingga pada akhirnya tetes bening
datang mengiringinya. Kerinduan yang tak kan mampu
dijelaskan sebab semua telah berlalu.
Tentang sebuah kehilangan. Mencoba
berterimakasih pada luka. Karena dengannya, aku mampu

134 | Memahami Sabda Alam


menahan dan bertahan, dengannya aku mampu berdiri
tegak. Mengenang bukan untuk mengusik hati yang mulai
tertata. Namun mencoba menyuguhkan lembaran-
lembaran kisah bermakna yang pernah singgah lama
bahkan sejenak. Menghadirkannya, membuatku mampu
merangkai kata untuk melahirkan narasi dalam bentuk
paragraf demi paragraf yang tersusun rapi dalam bingkai
hati terdalam atau dalam sebuah buku yang mungkin juga
kelak akan meninggalkan kenangan bagi orang lain.
Terkadang kehilangan pun perlahan mampu membuatku
menahami sebuah proses. Proses panjang tentang
kehidupan. Terkadang kehilangan mampu
membungkusku untuk meninggalkan sifat kekanak-
kanakkanku. Kehilangan sedikit mendewasakanku meski
tidak pada semua hal. Ketika kuputuskan untuk
membiarkan kenangan itu singgah dan bersemayam di
lubuk terdalam, maka di situ telah kusiapkan sebuah hati
yang luas untuk menerima segala takdir-Nya. Ketika
kuputuskan untuk menikmati sebuah kenangan, maka
kubiarkan Allah Ta’alla membimbingku ke arah mana Dia
membawaku. Sebab yakin bahwa Allah Ta’alla meraihku
dalam dekapan-Nya.
Tentang kehilangan. Apakah peristiwa yang
menjemputku atau sebaliknya, aku yang merangkai jadi
sebuah kenangan? Buatku sama saja. Sebab tak ada yang

Rini Widiastuti | 135


kebetulan di dunia ini. Sebab Allah tak pernah membuat
peristiwa tanpa sebuah tujuan. Hanya kita mampu atau
tidak memahami maksud-Nya. Dengan kehilangan yang
pernah kurasakan, membuatku punya alasan untuk
memiliki kenangan bahkan senantiasa menghadirkannya.
Membuatku punya alasan untuk merindukannya.
Kehilangan berarti merasakan sesuatu yang tak
lagi utuh, lengkap lagi. Butuh kesiapan waktu dan hati
untuk menyambutnya. Namun pada hakikatnya siap atau
pun tidak siap, kehilangan akan selalu ada sebab kita tak
memiliki apapun bahkan diri sendiri pun milik-Nya.
“Katakanlah (Muhammad), tidak akan menimpa kami
kecuali apa yang telah Allah tetapkan untuk kami.
Dialah pelindung kami, dan hanya kepada Allah
orang-orang beriman harus bertawakal.” (Q.S. At-
taubah:51)
“Sesungguhnya besarnya pahala itu berbanding lurus
dengan besarnya ujian. Dan sesungguhnya jika Allah
mencintai suatu kaum. Dia akan menguji mereka.
Siapa yang ridha, baginya ridha(Nya), namun siapa
yang murka, maka baginya kemuarkaan(Nya). (HR.
Tarmidzi dan Ibnu Majah)
Tentang sebuah penantian. Terasa begitu panjang.
Menyakitkan untuk ditunggu. Bahkan yang lebih bodoh
adalah tak tahu apakah diam menunggu atau melupakan.

136 | Memahami Sabda Alam


Membingungkan sebab keduanya telah membingkai
dalam satu warna tanpa nama. Penantian bukan hanya
tentang kekasih. Mencoba bersahabat dengan waktu
berkompromi dengan hati. Berharap ada yang memahami
ketika bibir tak mampu menyampaikan. Mengertikah
tentang sudut hati yang diam? Sesaat jejak terhenti pada
sebuah persimpangan. Kembali rasa mengecamuk
menggelayut penuh tanya. Tujuanku bukan di sini namun
masih diam di sini. Aku hanya ingin bersahabat dengan
nurani. Menyadari bahwa melepas adalah satu cara untuk
menerima. Sederhana memang, ketika diri belajar
melepas. Namun tak sesederhana menjalani.
Tentang sebuah penantian pada senja yang
temaram ketika ia lelah kemudian beranjak menuju
pekatnya malam. Di satu sisi ada impian yang ingin
kujemput. Sebab impian bukanlah mimpi namun sesuatu
yang memang ingin kuwujudkan.
Allah Ta’alla selalu menitipkan bahagia di antara
luka, perih di antara senyuman menjadikan pelajaran
untukku. Pelajaran berharga. Persinggahan demi
persinggahan menjadikan titik di mana dan kemana aku
harus memulai. Persinggahaan demi persinggahan yang
terus kulewati memberikan arti bahwa kehidupan masih
berjalan bahkan setelah kematian sekalipun. Sebab mati
adalah keniscayaan.

Rini Widiastuti | 137


Tentang kesabaran. Sabarkah aku? Aku bukanlah
seorang penyabar. Terkadang kumerasa kesabaranku
berada pada garis batasnya, berada pada puncaknya
dimana tak sanggup lagi kukendalikan. Namun ketika
kesadaan itu hadir, ternyata sabar tak punya batas.
Mungkin aku yang sering membatasinya karena ku
sendiri yang ingin membatasinya. Kucoba sedikit demi
sedikit untuk menambah ruang semampu yang kubisa,
sebanyak yang kumampu.
Lantas ketika ada yang melihatku diam, itu salah
satu usahaku untuk memperluas rasa sabar, namun jika
yang terjadi adalah sebaliknya mungkin saat itu aku
sedang jauh dari-Nya.
Seringkali tanpa sadar kita menilai suatu
permasalahan dari sudut pandang bahwa hidup kita
paling sulit, namun nyatanya belum sebanding dengan
kasih sayang-Nya. Seringkali pula, kita merasa Allah
Ta’alla menguji terlalu berat. Padahal itulah salah satu
cara-Nya mendewasakan kita.
Entahlah, dari sekian deretan diksi, kata bahkan
kalimat yang kuucapkan, mungkin belum pantas
kusampaikan. Yang kutahu kutak pernah memberontak
ketika Allah Ta’alla menitipkan sesuatu yang mungkin tak
sesuai dengan seleraku. Diam. Merenung. Menangis.
Sedikit bertanya, mengapa? Meminta kekuatan pada-Nya.

138 | Memahami Sabda Alam


Wajar ketika rasa kesal menyapa. Berharap bahwa DIA
kian meluaskan hatiku bahkan ketika DIA mengambil
orang yang kucintai.
Kembali tentang sebuah rasa. Ia akan selalu
singgah dan menetap meski tak selamanya. Tentang
sebuah rahasia yang nyaris terlupakan telah
membangkitkan naluri untuk menyampaikan bahwa
hidupku bukan milikku. Bahwa diriku milik-Nya.
Kusampaikan dengan rangkaian sederhana
tentang semua rasa. Rasa yang membalut naluri,
kehidupan, bahkan keseharian. Mencoba membiarkan
mengalir apa adanya. Allah mendidikku melalui takdir
yang kulewati agar aku mampu mengendalikan segenap
rasa. Sebuah rasa yang kelak pun Allah azza wa Jalla akan
bertanya tentangnya, tentang rasa yang Dia titipkan
padaku. Sejenak letakkan rasa dan biarkan logika
menuntun arahnya.

Rini Widiastuti | 139


Rasulullah Shallallahu “alaihi Wasallam bersabda:
Wahai Wabishah, mintalah fatwa pada hatimu (3X),
karena kebaikan adalah yang membuat tenang jiwa dan
hatimu. Dan dosa adalah yang membuat bimbang hatimu
dan goncang dadamu. Walaupun engkau meminta fatwa
pada orang-orang dan mereka memberimu fatwa.” (HR.
Ahmad no 17545, Al-albani dalam Shahih At Targhib
[1734] mengatakan “Hasan li ghairihi.”)

140 | Memahami Sabda Alam


UJIAN KESABARAN

“Ria.” terdengar suara di seberang terisak


“Iyeeeees?” jawabku
“Kenapa, Neng, kok nangis?”
“Saat pulang dari pasar kudapati suamiku dan
temannya pakai.” balas Ria
“Maksudnya, pakai apa an, nggak paham ku Ria,”
“Ganja, Riaa.” jawabnya membuatku diam tak
bergerak.
“Ampuun, Neng. Kamu nggak becanda kan? Kamu
nggak main-main kan?” Tanyaku
“Ya gak laaah. Pernah saat belum kami belum
nikah dia pakai tapi dah berhenti. Nah tadi selama di
pasar perasaanku gak enak makanya kucepat pulang.”
kata Ria
“Trus, kau apain suamimu?” tanyaku prihatin
“Temannya kuusir, trus kumarah sampai nangis.
Syok, kaget dan gak sangka. Selama ini kupikir gak
bakalan dia pakai lagi, kan anak dah dua, dah lama dia
tinggalin itu. Gak taunya kayak gini.” Jawab Ria panjang
lebar.

Rini Widiastuti | 141


“Ria, aku tuh beberapa hari gak enak perasaan,
ternyata tu barang dia simpen di kulkas. Bodohnya aku ni,
kenapa gak ngeh dengan itu.” Ucap Ria menyalahkan
dirinya
“Jangan gitu, Neng. Nggak baik nyalahin diri sendiri.
Toh kamu selama ini dah berusaha menjauhkannya dari
barang haram itu. Mungkin suamimu ada masalah di
kantor.” balasku mencoba menenangkannya.
Seminggu kemudian.
Hp kembali berdering. Ada pesan masuk. Ria
“Ria, setelah kejadian waktu itu, suamiku dah
sumpah-sumpah gak bakalan ulangi lagi. Tapi kumasih
curiga. Abisnya dia suka merokok, menyendiri di
seberang rumah. Seberang rumah kan tanah kosong.” kata
Ria
“Neng, kau pasanglah perekam, semacam cctv gitu.
Tapi jangan sampai ketahuan suamimu.” saranku
“Ada cctv RT di pojok, tapi ku gak punya akses
untuk melihat, gak enak juga kali kalau tiba-tiba kutanya
pak RT mau lihat cctv.” jawabnya
“Lhah kan neng bisa cari alesan yang masuk akal,
pura-pura ngapain kek.” balasku
“Selama ini justru aku yang diawasi, karena
suamiku tahu aku keluar masuk rumah. Awalnya aku
bingung kenapa dia bisa tahu. Belum lama ini aku tahu

142 | Memahami Sabda Alam


kalau suamiku begitu. Dia lewat hp. Ternyata cctv bisa
terhubung lewat hp.” jawabnya kesal
“Hahahaha....Neng, Neng. Kalah duluan.” tawaku
mendengar penjelasannya.
“Kadang Si kecil Ara yang kusuruh panggil ayahnya
di seberang. Pura-pura aja. Kan gak kentara. Beda kalau
aku yang panggil.” Kata Ria.
Selang dua minggu kemudian.
“Ria.” panggil Neng
“Iyeeeees.” Jawabku
“Lagi ngapain?” tanya Neng
“Lagi jawab pertanyaanmu. Napa, Neng?” jawabku
sambil senyum
“Hahaha. Sialan kamu.” suara Neng sambil tertawa
“Emang udah pulang?” tanya Neng
“Udah, kan jumat, Neng.” jawabku
“Oiya ya.... “ balas Ria
“Ni, nungguin si kecil mainan, ada apa, Neng? “
balasku kemudian
“Jadi pikun aku, Ria...” balas Neng
“Kemarin aku dah rukhyah rumah. Air buat mandi
sekeluarga juga udah aku masukin air toren di atas.
Reaksinya langsung ke suamiku. Walahhu a’lam
dah...percaya gak percaya langsung nyata.” kata Neng
Penjelasannya membuatku terdiam, bingung sesaat.

Rini Widiastuti | 143


“Tanpa aku minta dia cerita semua kegalauan dan
perasaan dia selama ini.” lanjutnya mulai terisak.
“Kesimpulannya, dia lagi membolak-balikkan
permasalahan seolah-olah semuanya aku yang salah.”
lanjut Neng tanpa berusaha kupotong ceritanya.
“Kok bisa?” balasku pendek
“Dia bilang katanya aku gak ada cinta sama dia
selama ini. Aku dibilang kurang perhatian, aku malas dan
lain lain.” ucapnya terbata
“Katanya dihatinya sudah tak ada lagi rasa cinta dan
sayang denganku. Ya Allah rasanya sakit dengernya, Ria.
Sampai sekarang aku nangis aja kalau inget. Aku bilang
padanya, jangan ambil kesimpulan sendiri, masalah itu
bisa dicari jalan tengahnya.” ucap Neng panjang lebar.
“Neng, rukhyah di mana?” tanyaku penasaran
“Di pandu adikku yang asli Bali.” jawab Neng
“Intinya, aku gak mau pisah, titik. Aku tanya sama
dia gimana mengembalikan semua perasaan yang dia
bilang sudah hilang. Tapi dia bilang gak tahu.” ucap Neng
“Sampaikan padanya, bagaimana dengan anak-anak
dan jangan egois.” pesanku
“Justru demi anak-anak dia akan bertahan. Karena
dia paham betul kalau sampai pisah bakalan susah
ketemu anak-anak, pastinya anak-anak kubawa semua.”
jawab Neng pastinya dengan rasa perih.

144 | Memahami Sabda Alam


“Mungkin hatinya masih ditutupi, Neng. Kau
sabarlah.” Saranku karena bingung harus bagaimana.
“Makanya dia bingung, seandainya dia mengajukan
gugatan juga pasti ditolak karena dia tahu betul aku
gimana dan bagaimana. Katanya kami harus saling
introspeksi diri aja sambil tanya sama Alloh mana yang
terbaik untuk keluarga kami. Lantas aku bilang
introspeksi diri dengan saling bergandengan tangan
jangan biarkan aku berdiri sendiri.” kata Neng.
“Ria, aku gak sanggup berdiri kalau gak ditemenin
sama dia. “tangis Neng mulai terdengar.
“Trus apa kata suamimu?” tanyaku pelan
“Waktu aku bilang begitu, dia jawabnya tubuhku
yang banyak setannya karena aku banyak dosa. Makanya
aku kesurupan mulu. ucap Neng membuatku kaget
“Ya Allah tega banget, Neng.” jawab Ria.
“Aku dikasih waktu tiga bulan untuk memperbaiki
sikapku kalau menurut dia gak ada perubahan, ya udah
jalan masing-masing.” ucap Neng bergetar
“Neng, sampaikan ke ortu, jangan diem aja!” pintaku
“Aku bilang oke, kalau emang hatinya sudah bulat.
Aku mohon-mohon seperti apa sama dia juga makin dia
injek-injek. Aku dah bilang ke adikku. Aku bilang tetep
mempertahankan rumah tanggaku. Tapi jika sampai batas

Rini Widiastuti | 145


tiga bulan itu dia ngomong lagi, aku minta adikku jemput
dan adikku bilang iya.” Kata Neng.
“Ria, aku harus belajar tegas, bagaimanapun aku
gak mau. Mungkin dia musti dikerasin. Aku gak nyangka
akhirnya bakalan menyakitkan seperti ini.” ucap Neng.
“Suamiku kan mualaf, Ria. Jadi mungkin dia belum
paham betul soal ucapan dia bakal jadi bumerang untuk
rumah tangga kami. Tapi aku tetap berusaha untuk
kembalikan rasa cinta yang hilang dihatinya. Walau masih
buntu gimana caranya. Dia masih dingin kalau aku
deketin. Antara mau dan enggak. Gede gengsinya.
“Penjelasannya membuatku terpana.
“Menurut kamu, aku harus gimana, Ria? Barangkali
kamu ada ide gila buatku bikin suamiku cita lagi
denganku.” harap Neng
“Coba, saat santai kamu godain dia ke arah itu tuu
kamu pasti paham. Meski cuma via sentuhan.” balasku
sekenanya.
“Tapi saranku, di rukhyah lagi.” saranku
“Duitku di stop mak,” Ucap Neng.
“Dosa itu, Neng.” Ucapku.
“Gak berani aku minta.”
“Setiap malam mau tidur, aku tarik tangannya
seperti dulu jaman belum ada anak-anak, berungkali

146 | Memahami Sabda Alam


nolak lama-lama dibolehinnya walau badannya masih
menjauh.”
“Coba nasehatin.” saranku
Kalau aku nasehatin, jawabnya gampang, katanya,
jangan suka dengerin cerita orang lain. Padahal aku bilang
itu bukan gosip tapi ceramah dari habib. Tetep gak
ngaruh.” kata Neng
“Masalah uang, harus diingatkan juga. Karena itu
sudah kewajiban seorang suami ke istri, seorang ayah ke
anak.” saranku
Biasa juga semua uang aku yang pegang, kalau ada
masalah ya gini, uangku dia pakai, uang dia ya dia yang
atur. Aku kalau butuh ya minta jadi berasa ngemis.”
“Aku jadi kebayang masa tiga bulan yang dia bilang
itu, Ria. Jadi kalau mau tidur merasa takut. Ketakutan
yang tak berdasar. Kok ya aku merasa gak nyaman di
rumahku sendiri. Aku merasa numpang tidur di emperan.
Ibarat kata begitulah.” ucap Neng
Ucap Neng terdengar menyakitkan sampaiku
menghela nafas pun serasa sesak.
“Ya Allah, Neng.” ucapku pendek
“Jadi kalau aku ngantuk berat gak bisa tidur
nyenyak, pasti bangun-bangun terus selama dia gak tidur.
Soale dia kan bilang ke orang-orang kalau aku gak
perhatian, selalu tidur. Aku kalau musti nungguin dia

Rini Widiastuti | 147


tidur ya susah. Jam tidur dia kan kacau. Sedangkan
aktivitasku walau cuma di rumah juga kan banyak. Gak
cuma duduk doang. Aku juga gak pernah nuntut musti di
kasih kemewahan. Selama aku masih bisa belajar kerjain
sendiri ya udah aku terima. Gimana akau mau cari kerja,
lhah keluar rumah aja gak boleh.” ucap Neng panjang
lebar
“Coba, neng sampaikan ke keluarga besarnya,
barangkali ada yang ia bisa dengar. Atau ke keluargamu”
saranku
“Dia udah yatim piatu. Kalau sama orangtuaku
masih kutahan dulu. Takut mamaku strees karena masih
fokus buat pencalonan kepdes ayahku. Makanya aku gak
berani. Mungkin nunggu keputusan dari dia. Katanya
kalau pencalonan ayahku mau dateng ke kampung.
Apapun keputusannya dia bakalan bilang sama ayahku.
Jadi ya udah, aku musti terima. Mumpung masih dikasih
kesempatan aku rela dalam tiga bulan ini berbaik-baik
sama dia walau gak ditanggepin. Dan aku musti putar otak
gimana caranya. Aku strees.” curhat Neng
“Jangan strees, Neng. Ambil wudhu, minta sama
Allah. Allah SWT Maha membolak balikkan hati hamba-
Nya.” saranku
“Sudah, Ria. Aku udah berdoa minta dikembalikan
rasa cita suamiku untukku lagi. Suamiku juga bilang gak

148 | Memahami Sabda Alam


bisa janji sama aku untuk pertahankan semuanya.
Makanya dia bilang lagi minta sama Alloh, minta solusi
terbaik. Dia gak mau gegabah. Katanya jangan ditanya
kenapa dan apa alasannya. Karena dia juga bilang gak
tahu kenapa dia bisa begitu.” ucap Neng terbata
“Terus...jangan berhenti dalam tiap sholat!” saranku
“Iyya, always.”
“Neng, yang sabar, jalani apa yang memang harus
dijalani dengan ikhlas, tawakaal.” pintaku
“Semalam waktu dia mau tidur, aku bangun,
langsung aku tarik tangannya dan aku peluk, sambil aku
dzikir buat dia.” ucap Neng
“Istighfar jangan pernah lepas dari hati dan
bibirmu, Neng.” pesanku
“Gak lama dia mimpi, serem sepertinya. Kan
tanganku ditarik-tarik sampai sakit. Aku nanya kenapa
tanganku dia tarik-tarik. Bahkan sampai gemetaran. Gak
lama kemudian dia kaget dan terbangun. Aku tanya
kenapa, dia langsung ketakutan. Ambil wudhu terus
sholat malam. Aku sendiri bingung. Ada apa dengannya.
Kemudian dia duduk di depan tv. Aku paksa-paksa buat
tidur bareng lagi. Lama-lama dia tidur. Paginya ia cerita
sama anakku yang besar soal mimpinya. “Ucap Neng
“Mimpi apa, Neng.” tanyaku.

Rini Widiastuti | 149


“Dia bilang, kalau jin itu sama pinternya dengan
manusia, bisa ikutan ngaji dan lain-lain. Dia mimpi serem
kemarin. Dalam hatiku, untung aja aku pegang tangannya,
minimal masih dijagain kan. Dan aku dzikir terus kalau
lagi disebelahnya. Tapi denganku dia belum mau terbuka
soal mimpinya.” ucap Ria
“Kemarin-kemarin dia kan ngomong sama aku, di
tubuhku yang banyak setannya. Sekarang dia yang
didatengin. Aku sich slow aja. Katanya sebelum tidur dia
niatan pengen sholat tahajud trus baru tidur.” ucap Neng
“Atau mungkin suamimu ada yang membuatnya
benci sama kamu?” tanyaku berspekulasi
“Iya, sepertinya begitu Adikku yang bungsu juga
kemarin bilang begitu sama aku. Katanya kayak merasa
aneh dari gaya omongannya. Katanya kayak bukan dia
yang ngomong. Kayak ada yang setir tapi entah siapa.”
ucap Neng
“Abis sholat tahajud, pas tidur, dia digangguin. Lalu
kucerita sama adikku. Katanya, itu jin yang seneng sama
aku, yang nempel di suamiku, karena sekarang suamiku
rajin sholat makanya itu jin kepanasan.”
“Nah, adikku aja sampai bilang gitu. Lhah gimana
aku yang istrinya, aku merasa benar-benar gak kenal
suamiku.” ucap Neng

150 | Memahami Sabda Alam


“Neng juga kuatin sholatnya, ujian itu tanda kalau
Allah Ta’alla selama ini cemburu. Allah pengen dekat-
dekat dengan Neng. Mungkin selama ini Neng banyak
menjauh. Allah Ta’alla itu pencemburu juga lho Neng.”
ucapku pelan tapi berusaha mengena.
“Suamiku pernah keceplosan cerita kalau
sahabatnya suka sama aku, karena aku masih cantik,
seksi, dan putih. Baru suamiku bilang, jangan khawatir
kalau pisah, buktinya masih ada yang suka, beda
dengannya katanya jelek mana ada yang suka. Aku
langsung bilang suruh istighfar. Dia diam. “ucap Neng
“Sorry, Neng, bisa juga teman suamimu yang buat.
“ucapku tiba-tiba
“Emang iyya, soale kan biar dia bisa deket-deket
atau bebas main ke rumahku. Suamiku juga bilang sakit
hati sama aku karena aku udah putusin silaturahim sama
temennya gegara aku gak kasih ijin lagi untuk main ke
rumah ini. Aku bilang lagi sama dia. Dari dulu juga boleh
main nginep juga boleh selama dia gak punya niatan lain.
Udah tiga kali pakai barang itu luar biasa banget ya
buatku, jangan sampai ada kegiatan-kegiatan lainnya yang
bikin dia bakalan menyesal seumur hidup. Ku bilang, tapi
kalau masih maksa ajak temennya ya silakan toh aku
cuma numpang. Ini rumahnya.” ucapnya pelahan

Rini Widiastuti | 151


“Suamiku juga bilang, temennya udah mohon-
mohon minta main ke rumah ini lagi tapi dilarang
suamiku karena nanti takut aku yang marah. Ria, aku
heran, ini yang ngomong bahasa suamiku atau aku lagi
ngobrol sama wujud setan ya?” ucapnya sambil tertawa
“Temen suamiku kayaknya memang pengen bikin
hancur. Trus aku bakalan curhat sama dia soal rumah
tanggaku. Trus dia bisa main ke rumah dech. “ ucap Neng
“Mungkin juga. “jawabku
“Aku heran ma suamiku apa gak merasa cemburu
apa ya, waktu dia cerita dengan santainya kalau temennya
suka sama istrinya.” ucap Neng.
“Karena nggak sadar, karena bukan dia yang
ngomong.” balasku
“Gak lama suamiku bilang pengen aku seperti dulu
lagi, maksudnya gimana coba?” ucap Neng
“Nah itu baru suamimu yang ngomong.” tawaku
“Katanya pengen aku yag seperti dulu, yang masih
seger, yang masih langsing dan lain-lain. Aku jadinya
nanya Aku musti langsing kayak dulu lagi, gimana caranya
coba. Segini aja udah mati-matian jaga pola makan. Aku
udah senam lagi. Aku bilang pada dia kalau bodi segini aja
temennya suka, giman besok aku makin langsing dan
seksi sesuai permintaannya.” ucapnya

152 | Memahami Sabda Alam


“Ya Alloh, Riaaa, aku berasa lagi dialog sama kata
hati temennya itu. Soale kami dialognya sekitar jam tigaan
pagi sampai subuh. Dia deketin aku kalau lagi ada maunya
doang.” ucapnya
“Aku masih belom bisa nelen makanan, Ria, gak ada
rasa kalau makan. Tiap makan rasanya mau nangis. Cuma
air yang bisa kutelen. Apalagi kalau lagi sendirian, hadeeh,
rasanya pengen menghilang entah kemana.” ucap Neng
sambil menangis
“Suamiku minta diperhatikan lebih, tapi dia Cuma
baca doang, atau lama responnya padahal dia lagi online.
Kadang juga dia Cuma jawab iya doang, walau gak
nyambung sama pertanyaannya.” ucap Neng
“Sabar ya, Neng. Ini ujian buatmu.” ucapku
“Insya Allah. Perih banget rasanya Ria. Mudah
mudahan aku bisa kuat yaa.” Ucap Neng lirih
“Aaamiiin ya Rabb. Kuat buat anak-anak.” ucapku
menimpali
“Semoga endingnya bahagia. Aamiiin ya Rabb.”
“Hadiah ulang tahun pernikahan sepertinya tinggal
nunggu jawaban dari jawaban dia. 10 November. Menuju
14 tahun pernikahan.” ucap Neng.
“Semoga bisa sama-sama melewati ujian ini dan
bahagia. Aamiin ya Rabb.” ucapku

Rini Widiastuti | 153


“Aku benci tahun 2019, Ria. Di malam ulang
tahunku dia pengen gugat aku. Di malam idul adha juga.
Kalau sampai besok di malam anive dia masih begitu,
dengan sangat terpaksa aku minta jemput adikku untuk
pulang. Biar dia diem di rumah ini dengan ego dan
kesombongannya.” ucap Neng emosi
“Sabar, Neng. Inget anak-anakmu, gimana anak-
anakmu!” Jawabku.
“Aku pasti bawa anak-anak!” ucapnya tegas.
“Hal itu harus dipikirkan lagi, gimana dengan
sekolah mereka?” tanyaku
“Iya, itu yang aku bingung, mereka sekolah.” kata
Neng bimbang lagi.
“Kalau terpaksa, urus pindah sekolah anakmu,
jangan sampai mereka nggak sekolah!”saranku
“Malem ini suamiu kerjakah?” tanyaku
“Kerja, masuk pagi. Mustinya udh pulang tadi aku
berusaha nanya posisi, katanya masih di istana gantiin
temennya yang lagi cuti. Dia udah mulai kirim gambar dan
lokasi kerja lagi. Tadi kusempet telfon tapi dimatiin
alasannya sinyal.
“Si Aa, anakku pertama lagi seneng-senengnya
sekolah. Lagi mulai aktif basket dan pengen banget jadi
ketua osis. Tanggal 30-31 agustus ada pelatihan osis di
puncak Bogor. Dan aku dilema.” kata Neng.

154 | Memahami Sabda Alam


“Si Aa udah bilang kalau aku diusir ayahnya, Aa
tetep ikut aku sama adiknya. BiaRia aja ayahnya di rumah
sendirian.” lanjut Neng
“Neng, anakmu yang besar dah tahu masalah kalian
berdua?” tanyaku.
“Dia curiga waktu aku kesurupan di rumah Rifa.
Lama kelamaan dia suka mergokin aku nangis sendiri trus
liat ayahnya marah-marah jam tiga pagi pas mau
berangkat kerja jadinya si Aa kaget dan langsung nanya.
Jadi ya aku cerita sedikit. Si Aa’ bilang sudah curiga dari
kemarin cuma Aa gak berani nanya. Terus Si Aa’ bilang
nanti ia maju nanyain ke ayahnya. Aku tahan jangan. Nanti
hasilnya bakalan fatal. Ayah bisa marah nanti dan
bundanya benar-benar diusir. Kubilang ke Aa’ untuk sabar
biar ayahnya yang cerita sendiri. Si Aa’ langsung bilang iya
nurut apa pesanku.” kata Neng
“Aku bilang ke anakku, Pokoknya kalau ada apa-apa
sama bunda, Aa’ jangan lupain bunda ya, bunda sayang
semuanya. Bunda lagi berusaha tata hati supaya kita bisa
harmonis seperti dulu lagi. Aa juga bantu bunda lewat
doa, minta sama Alloh SWT. Pokoknya dengan kondisi
kayak gini, Aa’ harus lebih semangat kejar prestasi. Aa’
harus bisa lebih maju ke depan dan janagn lupa Aa’ harus
isi hati dan jiwa Aa dengan agama. Karena orang sukses

Rini Widiastuti | 155


kalau agamanya kosong jadi nol akhlaknya.” pesan Neng
ke anaknya
“Masya Allah, Neng, anak sekecil itu harus ikut
ngadepin masalah orang dewasa. Suamimu egois banget.
Alhamdulillah anakmu nurut. Yang sabar ya, Neng.
“pintaku
“Gimana Ninda?” tanyaku
“Kalau Ninda sering banget liat aku nangis karena
kan seringnya di rumah bareng aku. Karena belom ngerti
jadi ya diem aja. Kalau Aa’ kan udah SMP, aktif di sekolah,
jadi pulang ke rumah menjelang maghrib.” jawab Neng
“Neng, Ninda ngerti tapi nggak tau cara
mengungkapkannya.” ucapku
“Yach, untungnya waktu aku nangis nahan suamiku
gak pergi, sampai aku pingsan-pingsan cuma Ninda aja
yang nyaksiin dan Ninda cuma cerita ke Aanya kalau
bundanya pingsan. Aa’ cuma melongo aja. Itu kejadian
pertama di hari ulang tahunku. Mungkin aku masih shock.
Dan yang kedua malam takbir kemarin. Aku udah lebih
kuat malah aku tantangin dia kayak orang kesurupan,
nampar suamiku.” Kata Neng.
“Neng, pengen rasanya kubikin sambel tuch
suamimu. Kuuleg sampai halus!” Ucapku gregetan.
“Pengen banget aku lempar cobek kepalanya itu!”
Imbuh Neng sampai membuat kami tertawa.

156 | Memahami Sabda Alam


“Aku aja sampai nampar wajahnya tanpa aku sadari
pas menjelang subuh. Dia mandangin aku kayak
menggoda tapi rada sinis. Kayaknya seneng banget liat
aku menderita.” ucap Neng sambil emosi
“Astaghfirullah, Neng. Gregeten aku!”ucapku jengkel
“Tapi setelah itu, dia sayang banget denganku. Dia
pegang badanku, kaku dan dingin. Dia juga ketakutan
makanya dia buka baju langsung maksa meluk aku biar
anget lagi. Soalnya aku dah menggigil tanda-tanda
kesurupan lagi. Pas aku udah mulai reaksi ngoceh gak
jelas, dia berusaha sadarin aku supaya fokus. Mana aku
lagi haid. Eeh, pas siangnya aku main ke rumah adikku,
bener-bener kesurupan dah, gak bisa fokus lagi.” ucap
Neng
“Ria, Kalau rumahmu deket, aku udah kabur ke
tempatmu. Selama ini kalau ribut gak pernah pergi dari
rumah ini. Alhamdulillah sebisa mungkin diem di rumah.
Gak kayak orang-orang yang dikit-dikit kabur jika
bertengkar. Aku belum pernah begitu. “ucap Neng
semangat
“Iyya, Neng. Jangan sampai dech. Itu tandanya Neng
mah kuat, Neng dimampukan oleh-Nya.” ucapku memberi
semangat.
“Besok sekalinya pulang, dipulangin.” seloroh Neng
tiba-tiba

Rini Widiastuti | 157


“Alamak, jangan kau bicara begitu, istighfar, atuh
Neng. Sampaikan ke suamimu, hidup di dunia ini cuma
sebentar, seharusnya perbanyak bekal, perbanyak syukur,
jangan egois. Kita hidup bukan hanya untuk diri sendiri,
tapi juga untuk anak-anak.” ucapku mengingatkan.
“Sudah berulangkali. Malahan dia nangis. Katanya
gak tau dech, Liat nanti, serahin sama Allah SWT. Gitu dia
bilang. “imbuhnya
“Segala sesuatu itu butuh yang namanya usaha,
ikhtiar, baru tawaqal.” pesanku
“Kubilang, kita berserah diri tapi kita minta dikuatin
juga lewat doa. Dan pikiran yang negatif tentang kami
dibuang jauh-jauh jangan dipelihara di hati. Sambil elus-
elus dadanya supaya dia banyak istighfar.” ucap Neng
“Aku juga sambil nangis. Tapi dia patahin
omonganku. Katanya introspeksi diri aja sambil jalan
masing-masing. Mauku introspeksi diri sambil pegangan
tangan.” ucap Ria
“Sampai aku bilang padanya, Kalau kamu mau jalan
sendiri, ebih baik aku pergi cepet supaya hati kamu
tenang bisa bawa anak-anak. Dia diem aja.” kata Neng
tergetar.
“Maksudnya, mati...? Gile kau, Neng. Hidup itu
bukan punyamu. Istighraf yeee... jangan gitu, kasihan
anak-anak. “pesanku perlahan

158 | Memahami Sabda Alam


“Pengorbananku selama ini pun tak dihargain.
Semuanya aku yang salah dan dia selalu bener.” ucapnya
emosi.
“Karena Alloh tahu kalau Neng kuat,,,makanya
disayang begini.” ucapku menyemangatinya
“Nih, dia lagi online tapi gak mau respon chatku.
Baca juga kagak. Nanti dibacanya paling akhir kalau dia
mau. Kalau dia gak mau baca sampai besok juga gak akan
dia baca. Sampai aku nanya kenapa gak dibaca. Paling
jawabnya cuma sinyal, belom sampai pesannya. Lhah dia
aja online mulu. Sinyalnya dikantongin kresek. Dikiranya
aku tolol kali ya.” Ucap Neng sedikit emosi.
Ucapannya membuatku mau tak mau tertawa.
“Coba, Neng jangan hubungi dia dulu.” Saranku
“Justru bisa lebih fatal lagi...kan dia nuntut minta
diperhatikan. Adikku juga sama nasihatin agar aku jangan
dulu nanya ke suami kalau gak ditanya duluan. Sibukkan
diri aja ke hal yang positif. Tapi aku pikir-pikir nanti
malahan makin lebar permasalahannya. Kan yang dia lagi
angkat kesalahanku. Aku dibilang gak cinta sama dia, aku
gak perhatian sama dia. Padahal aku ya aku dengan
gayaku sendiri. Cara perhatianku gak lebay kayak orang-
orang di luar sana. Tapi ya susah kalau dia minta yang
lebay.” ucap Neng

Rini Widiastuti | 159


“Dari kemarin suamiku juga curhat sama iparku
yang orang Bali.” lanjut Neng
“Apa an?” tanyaku
“Malahan aku dikasih tahu ciri-ciri orang yang bikin
dan mengarah ke temennya itu. Kamarku dikirim tanah
kuburan. Makhluknya yang nempel dibadan suami. Dan
pernah diperlihatkan. Makanya waktu aku mau ngaji
kemarin, butuh perjuangan besar.” ucap Neng membuatku
bengong
“Baca Al-Baqarah, Neng. Rutinkan setelah sholat.”
saranku
“Sampai khatamkah?” tanya Neng.
“Iyya. “jawabku
“Ngaji khatamnya cuma saat puasa doang...!” jawab
Neng sambil setengah teriak.
“Belilah Al-Ma’tsurat, baca. Baca rutin pagi dan sore.
Berat tapi cobalah. Insya Allah pertolongan allah SWT
datang.” Saranku mencoba meyakinkannya.
“Apa an tuch, Ria?” Tanya Neng
“Doa perlindungan, baca setelah sholat subuh,
setelah sholat ashar. Nanti lama-kelamaan juga hapal.”
Jawabku
“Kayak gimana bukunya?” tanya Neng penasaran
“Bentuknya kecil, isinya doa-doa pagi dan sore.
Buka aja di google, ada kok.” jawabku

160 | Memahami Sabda Alam


“Iya, nanti aku coba cari dech!” Ucap Neng.
“Aku pernah dikasih sama ustadzah tapi belom
pernah kubaca. Waktu itu Ustadzah bagiin buku ini
karena banyak stok di rumahnya.” jawab Neng
“Baca dan rutinkan.” pesanku padanya
“Karena gak tahu maksud dari buku ini, kirain cuma
buku biasa.” jawab Neng sambil tertawa.
“Bacalah dari awal sampai akhir. Kalau sering nanti
lama-kelamaan hapal.” pesanku
“Ya Allah, selama ini cuma kusimpen dalam tas dan
gak tahu kegunaannya. Iya lah besok mulai kurutinkan
baca.” jawabnya mantap. Membuat hatiku tenang.
“Makasih, Ria dah mau temani aku pecahin isi
kepala.” ucapnya terharu.
“Perbanyak istighfar ya, Neng.
“La ilaha illa anta subhanaka
innikuntumminadzolimin, 99x
Paling tidak, kuharap Neng tak menyerah.
“Neng, dari balik kebahagiaan seorang manusia,
pastinya pernah ada luka yang menjeratnya, yang
menghancurkannya. Banyak detik waktu, hari, bulan
bahkan tahun yang harus dilewati dan itu sangat berat.
Namun dengan berjalannya waktu, aku yakin kamu
mampu menjalaninya, kamu mampu menerimanya dan
kembali bisa berbahagia. Kehidupan selalu berputar, tak

Rini Widiastuti | 161


selamanya yang di bawah akan terus di bawah. Dan
begitupun sebaliknya. Asalkan Neng mau belajar, mau
bangkit, dan sabar, Insya Allah Neng akan menemukan
jalan keluar yang terbaik, tentu dari-Nya.” pesanku
sebelum telfon ditutupnya.
“Dan orang-orang yang sabar karena mencari
keridhaan Tuhannya, mendirikan shalat, dan
menafkahkan sebagian rizeki yang kami berikan
kepada mereka, secara sembunyi atau terang-
terangan serta menolak kejahatan dengan kebaikan,
orang-orang itulah yang mendapat tempat
kesudahan (yang baik).” (Q.S. Ar-Ra’d:22).
Beberapa hari kemudian.
“Ria,,,,!”
“Iyeeeees, ade ape, Neng?” tanyaku
“Menurutmu masuk akal gak sich kalau suamiku
ngelarang aku main fb atau IG lagi? Toh aku di fb juga gak
pakai messenger. Aku kenal fb juga dibuatin suami, waktu
itu aku masih kudet belom ngerti cara pakenya. Trus aku
gak boleh jualan online lagi di IG. Alesannya gak dia kasih
tahu. Pokoknya gak boleh titik, itu kalau aku mau nurut
katanya. Jika gak nurut apa katanya, dia bilang berarti aku
ingin semuanya hancur. Masih ada dua bulan lagi
perbaikan diri. Dan jika menurutnya aku gak bisa ikutin
maunya, dengan terpaksa aku bakalan diantar pulang.”

162 | Memahami Sabda Alam


“Aku bingung, Ria. Aku jualan kan buat isi waktu.
Daripada ngerumpi. Tiba-tiba dipaksa harus gak pakai.
Kayaknya gimana gitu...malahan katanya kalau bisa sih
mendingan gak pakai hp sekalian, Ria.”
Aku bilang, mana bisa hari gini gak pakai hp. Anak
SD aja dah pakai jam IMO. Kalau gak pakai hp, gimana bisa
tahu info anak-anak di sekolah.”
“Ya Allah... makin kesini makin gila aja tuh
larangannya. Katanya kalau mau nurut sama laki ya
ikutin. Kan gak lucu, kecuali aku suka clubbing, keluar
malam sampai pagi dan dia larang ya pantes aja.” ucap
Neng panjang lebar.
“Subhannalloh, suamimu, Neng!” balasku.
“Aku kirim foto-foto kami aja dia marah. Alesannya
aku ini menebar kebencian dan mencari pembelaan diri.
Dia bilang aku harus terima jika aku memang salah dan
gak usah cari pembenaran diri. Jadi makin benci dia
denganku.”
“Aku bilang ke adikku. Dan adikku juga bilang itu
sudah gak masuk akal. Dan kalau aku dah siap dengan
keputusanku maka adik-adikku akan maju dan bantu
bicara.”
“Neng, biarkan keluarga ikut kasih masukan
terutama orang tua, jangan diam saja. Harus ada
musyawarah sebab itu disyariatkan dalam agama Islam

Rini Widiastuti | 163


untuk mewujudkan keadilan di antara manusia kemudian
untuk memilih penyelesaian yang paling baik bagi kalian.
Sudah saatnya ada yang jadi penengah, kasih masukan ke
suamimu dan itu harus orang yang dituakan.” saranku.
“Dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam
urusan itu, kemudian apabila kamu telah
membulatkan tekad, maka bertawaqal kepada Allah.
Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang
bertawaqal kepada-Nya.” (Q.S. Ali-Imran (3);157)
Dari ayat di atas telah jelas dijabarkan bahwa segala
persoalan selesaikan dengan musyawarah. Karena itu
lebih utama. Diharapkan dengan musyawarah akan
tercipta kejujuran dalam persaudaraan dan saling
mencintai di antara kalian karena Allah Ta’alla.
“Aku gak berani bicara dengan orang tua. Karena
takut dibalik persoalannya sama suamiku. Nanti dibuat
seolah-olah aku yang minta cerai. Akhirnya adikku juga
bilang untuk menunggu ucapan keluar langsung dari
suamiku.
“Kata adikku jangan takut untuk masalah biaya
hidup. Semua adikku yang tanggung. Kata adikku gak usah
minta harta gono gini seperti yang suamiku bilang. Dari
keluarga mampu kok, biar harta yang dia punya, dia ambil
sendiri buat kesombongannya.

164 | Memahami Sabda Alam


“Ria, suamiku bilang gak ada rasa takut sama orang
tuaku dan kakakku. Dia gak ada rasa takut karena bagi dia
sudah ambil tindakan yang benar. Dia pikir justru nanti
aku yang diomelin dan dia menang dari segala penjuru
dan dapat dukungan. Dia gak tahu jika dari awal kejadian
aku dah cerita sama dua adikku dan keluarga suamiku.
Jadi jika suatu saat suamiku ceritanya beda, orang lain
bisa menilai gimana dia.”
“Astaghfirullah, kok pede banget suamimu ngomong
gitu. Takabur itu.” ucapku
“Kok kayak bukan suamimu ya, Neng?” lanjutku.
“Iya, emang, aku bisa merasakan kalau itu orang
lain. Kalau suamiku yang asli orangnya merendah. Justru
mikir katanya gimana hidupku di kampung kalau dia
tinggalin dan tinggal sama siapa jika memang orang tuaku
gak bisa terima kehadiranku. Aku bilang gak usah mikirin
hidupku setelah dia pergi. Aku cari kenyamanan setelah
dia pergi. Sampai aku bilang mungkin memang dia ingin
aku menikah lagi dan mencari orang yang lebih darinya.”
“Eh, dia bilang amit-amit kok ngomongku begitu
dan bilang katanya aku pengen ninggalin dia.” Ucap Neng
“Lhah aku yang jadi bingung dengan omongannya.
Kadang dia galak kayak paling bener sendiri. Tapi kalau
lagi santai, dia menyesal.” Ucap Neng

Rini Widiastuti | 165


“Neng gak cerita kah sama kakak iparmu yang
sekaligus kakak kandung suamimu?” Tanyaku
“Aku pernah bilang sama kakaknya saat dia main
kerumahku. Eh, justru omongannya dibalik katanya aku
yang minta cerai. Ya aku nangislaah.”
“Kata kakaknya, ya biar aja perempuan bilang mau
pisah seribu kali gak bakalan dianggap sah sama Allah
Ta’alla. Kalau laki-laki yang ucapain itu baru salah. Dan
aku sempet dibelain. Malahan kakaknya bilang kalau
sampai suamiku pisah denganku, lebih baik ia putus
persaudaraan dengan suamiku. Daripada harus
menanggung malu Cuma gara-gara hal sepele. Saat itu
suamiku makin murka.”
“Apa kata kakak iparmu?Tanyaku.
“Kakak ipar merasa aneh dengan perubahan
suamiku justru menyangka ini efek ganja.” Ucapnya
“Bukan ganja, tapi dibuat orang, feelku” Kataku
spontan
“Iyya, aku juga begitu, semua adikku dan temen-
temenku yang lain juga bilang begitu.” Jawab Neng
“Neng, maaf masuk kelas. Nanti sambung lagi ya.”
Balasku.
“Oke. Maaf ya mengganggu. Kirain libur...hahaha.”
Balas Neng.
Beberapa jam kemudian.

166 | Memahami Sabda Alam


“Neng, ku dah keluar kelas. Tau nggak, migrenku
dah empat hari ini kumat. “Kumulai percakapan.
“Ya Allah. Kenapa. Mikirin berat apa an? Aku
biasanya kalau migren karena strees berat.” Balas Neng
“Aku aja bingung Neng mikirin apa.... hahaha....”
Jawabku
“Ya Allah, trus sekarang gimana?” Suara Neng
terdengar khawatir.
“Tadi sich disarankan pakai herbal. Obat kimia hari
ini ndak kumakan. Malas.” Jawabku.
“Neng, sebenernya adikmu tuch ada berapa sih?”
Tanyaku tiba-tiba
“Dua.” Jawab Neng sambil ketawa
“Kakakmu? Tanyaku lagi
“Satu.” Jawab Neng
“Laki-laki semua. Kamu lupa kah Ria?” Balas Neng
“Kukira tiga bersaudara.” Sambungku tanpa dosa
“Jarang liat kakakku sih. Kan dulu kita SMA,
kakakku kuliah di jogja. Aku nomor dua dari empat
bersaudara. Perempuan cuma aku doang.” Jawab Neng
membuatku lebih paham.
“Ria, adikku sampai bilang mau pikirin langkah
panjangnya kalau aku sampai ditinggalin lakiku.” Kata
Neng

Rini Widiastuti | 167


Adiku juga bilang “Teteh pasti bisa lebih maju.
Jangan takut hidup tanpa suami. Teteh pasti bisa jalani
lebih baik lagi kalau teteh yakin dengan keputusan ini.”
Ucap Neng menirukan adiknya
“Aku bilang, aku gak mau tapi kalau suamiku udah
bulat ya udah, aku bisa apa, walau hancur. Aku cuma bisa
pasrah. Tapi aku masih bisa berdoa minta yang terbaik
dari-Nya. Masih ada waktu dua bulan ini untuk saling
introspeksi diri.” Jawab Neng dengan sendunya
“Kata adikku, Kalau \teteh bisa sampai lewatin ini
dengan baik, insya Allah suami bakalan makin cinta. Tapi
kalau teteh pasrah ya udah. Hancur.” Menirukan ucapan
adiknya.
“Pokoknya, anak-anak tetepa aku bawa. Suka atau
tidak suka suamiku, soal biaya hidup insya allah ada
jalannya. Cuma permasalahannya, ortuku yang paling
menderita. Putri kesayangannya disakitin ama suami
sampai segitunya. “Jawab Neng
“Mataku bengkak banyak nangis dari kemarin-
kemarin. Aku sampai gak berani telfon tanya kabar sama
mama. Takut ketahuan.” Jawab Neng dengan sedihnya.
“Iyya, aku cuma bisa bilang sabar, ibarat orang
jawa bilang: ini jatahmu, memang harus dijalani dulu.
Kamu harus kuat, yakin pasti ada jalan. Allah kangen sama
Neng. Kangen supaya Neng bermunajat dengan-Nya.

168 | Memahami Sabda Alam


Kangen ke neng untuk curhat dan berkeluh kesah pada-
Nya. “Balasku menghiburnya
“Iyya, mudah-mudahan pernikahanku masih bisa
bertahan. Ini menuju empat belas tahun pernikahan.”
Balas Neng
“Aku juga bingung cari-cari pertanyaan buat
sekadar say hello ama suamiku di telfon. Ada pertanyaan-
pertanyaan yang suamiku gak mau jawab. Alasannya
benci kalau baca. Tapu nanti jika aku diam saja, dikira gak
peduli lagi. Serba salah Ria.” Kata Ria melanjutkan uneg-
unegnya.
Beberapa hari kemudian.
“Gimana Neng, keadaannya sekarang?” Tanyaku
ingin tau kabarnya.
“Gimana ya, masih deg-degan.” Balas Neng ketawa.
“Lhah!” Jawabku bingung
“Doi masih mau-mau enggak kalau aku
dekatin”Balas neng.
“Tapi kalau di wa sudah mulai respon. Orangtuaku
sudah tau. Kemarin adikku bocorin info. Mamaku panas
dengarnya. Langsung nyuruh saja aku pulang bawa anak-
anak.. Aku bilang jangan bikin masalah makin lebar.
Tunggu sampai saatnya tiba. Mama tetep kejar akunanya
permasalahannya apa. Aku Cuma bilang bantu doa aja

Rini Widiastuti | 169


mudah-mudahan hati dan pikiran suamiku bisa kembali
normal.” Kata Ria panjang lebar.
“Mamaku awalnya tetep maksa mau labrak
suamiku. Aku mohon-mohon sama mama, agar jangan
bikin semua runyam. Aku bilang ke mama Kalau aku gak
mau salah ambil keputusan. Sebab aku yakin dengan
menunggu keajaiban-Nya. Allah bisa membolak-balikkan
hati manusia. Mumpung bulan ini, bulan baik.” Kata Neng
“Lama-lama mamaku ciut. Katanya, ya udah yang
penting akunya ikhlas. Akhirnya mama mau tunggu kabar
selanjutnya. Kalau kenapa-napa mama sama ayah pasti
jemput paksa. Mama juga bilang, tuman jika dibiarkan.
Tapi aku no coment aja.” Kata Neng
“Keluargaku masih mempertimbangkan jurus
mautnya. Yang pasti kalau suamiku ngajak ribut mau
sekalian diajakin ribut. Misalnya mau ambil anak-anak,
keluargaku bakalan maju walaupun aku gaka ada
penghasilan ibaratnya. Mereka siap pasang badan.
Mudah-mudahan hal itu gak terjadi. Aku masih berpikir
positif aja. Mungkin suamiku cuma gertak sambel doang.
Aku berusaha satu bulan ini baik-baik aja sampai batas
penentuan dia di bulan depan apa jawawan dan
keputusan dia. Aku udah ikhlas walau malu atau apalah.
Daripada bertahan disakiti. Mau sampai kapan juga. Kalau

170 | Memahami Sabda Alam


mau maju terus ya harus ada komitmen.” Kata Neng
dengan sedikit emosinya.
“Sabar, Neng!”jawabku meredakan
“Sekarang Cuma bisa nangis meratapi nasibku aja.
Aku berusaha jadi istri yang baik saja masih dianggap gak
baik. Aku musti gimana, Ria? Aku juga kan bukan titisan
nabi atau malaikat. Suamiku pengen aku sempurna
dimata dia. Nah, bagaimana dengan permintaanku. Aku
juga pengen dong punya suami sempurna, andaikan ada
sih. Hahaha.” Kata Neng pedih namun mencoba tertawa.
“Doa yang kuat.” Jawabku mencoba
menyemangatinya.
“Insya Allah. Bantu doa ya, Ria. Berasa mimpi
kejadian ini.” Kata Neng.
“Dari kemarin mamaku telfon suamiku mulu. Tapi
gak diangkatnya, Cuma kirim wa bilangnya masih sibuk
kerja gak bisa angkat telfon. Tapi suamiku minta maaf
sama mamaku. Katanya banyak salah.”
“Lantas aku bilang ke mama gak usah ditanggepin
dengan berbagai pertanyaan. Abaikan aja. Soale mamaku
kan orangnya penasaran banget kalau gak dicegah. Jailnya
kebangeten. Apalagi kalau udah tau anak kesayangannya
diperlakukan begitu. Pasti semua orang tua akan panas ya
lihat ananya dibegituin sama orang lain.” Kata Neng.
Beberapa hari kemudian.

Rini Widiastuti | 171


“Alhamdulillah, Ria. Laki aye udah membaik
pikirannya setelah aku mengajukan beberapa persyaratan
mutlak. Kendor dia keinginannya. Orangtuaku juga udah
tau soal kisruh rumah tanggaku dari adikku. Awalnya
emosi nyuruh aku pulang bawa anak-anak. Tapi aku
nasehatin pelan-pelan. Alhamdulillah mereka mau nurut.”
Kata Neng.
“Insya Allah on proses menuju yang lebih baik.
Jadinya sekarang seperti ABG lagi, pedekate lagi. Sok
jaim.” Kata Neng membuatku sedikit lega dengan
perubahannya.
“Ria, kata tantenya di Australi katanya suamiku
masuk tanda-tanda puber ke dua. Katanya masih untung
pubernya sama istri sendiri. Lhah kalau puber sama
perempuan lain kan repot. Iiih, naudzubilahimindzalik.
“Kata Neng gregeten
“Mama sama ayahku juga sudah bertekad juga
kalau sampai aku bener-benr diserahkan. Mama mau
menghadap ke kantor, dan suamiku mau dilengserkan
dari jabatannya.” imbuh Neng
“Kataku sich, sadis benget.”
“Gimana nasib anak-anakku?”
“Kata mamaku, dia aja gak mikirin nasib anak
istrinya. Dia cuma pengen pamornya aja.”

172 | Memahami Sabda Alam


“Adik-adikku juga bilang begitu, gampang kalau
Cuma me-nolkan suamiku, tinggal telefon. Beres dah.”
“Aku jadi kacau. Untungnya denger persyaratan
dariku aja, suamiku mikir-berkali-kali. Gimana kalau dia
denger langsung persyaratan dari orangtuaku. Bisa sport
jantung dia. Hahaha....”
“Macem-macem sama keluargaku. Bisa-bisa
disikat habis.”
“Tapi, suamiku kayaknya malu sendiri. Akhirnya
jadi bahan instrospeksi diri.”
“Anakku yang pertama seneng banget lihat
perubahan sikap ayahnya. Tiap ayahnya di rumah, selalu
bisik-bisik. Rupanya, anakku perhatian juga.”
“Apa syaratnya, Neng.” Tanyaku penasaran.
“Ada dech. Yang pasti bikin menohok banget.
Salah satu dari persyaratan itu aku siap.” Jawab Neng.
“Ih, kenapa juga, cerita dooong!” Balasku.
“Penasaran ya?” Pancing Neng bikin gemes.
“Aku bilang aku siap. Anak-anak juga siap. Tanggal
berapa dia anter aku. Sekolah anak-anak, adikku yang siap
urusin. Allah pasti beri jalan rejeki.” Kata Neng.
“Aku juga bilang, sebelum suamiku anter aku
pulang ke rumah orangtuaku, aku mau anterin dia ke
dokter buat periksa kejiwaannya. Hahaha!” Kata Neng
dengan semangat dan ide gilanya.

Rini Widiastuti | 173


“Ria, kamu tau gak apa kata suamiku? “Tanya
Neng
“Dia bilang, kamu pikir aku gila? Lantas kujawab.
Iyya, kamu gila!” kata Neng ngakak.
“Aku bilang ke suamiku, bakalan anter suamiku
anter ke dokter jiwa, buat tes kejiwaannya. Tes sekalian,
bila perlu direhabilitasi. Tapi kalau hasilnya bagus semua,
baru aku yakin kalau itu murni permintaan hati suamiku.”
Tantang Neng.
“Suamiku bilang oke. Tapi saat ini gak ada uang.
Dia cuma cari alesan aja.” Kata Neng
“Aku langsung bilang, apa dia lupa kalau
keluargaku kaya, uang segitu si kecil buat mereka. Kalau
gak punya. Nanti aku minta sma orangtuaku atau adik-
adikku. Kubilang gitu biar dia gak menyepelekan aku.”
Kata Neng emosi.
“Kemarin-kemarin aku serasa dihina, gegara aku
gak kerja. Aku bilang gimana mau kerja. Anak-anak
semuanya aku pegang dari brojol sampai segede itu. Apa
aku pernah menuntut harus punya asisten rumah
tangga.!” Kata Neng
“Sampai aku bilang, kalau kamu mau istrimu
sempurna, pinter masak dan beres-beres rumah juga
pinter cari uang, kenapa enggak cari pembantu aja!?
Lantas kubilang lagi, bahwa ku juga sudah belajar dan

174 | Memahami Sabda Alam


maaf jika belom bisa maksimal masaknya yang penting
anak-anak suka, kalau seleranya ndak cocok ya silakan aja
beli di luar, banyak yang jual. Dia diem aja.” Kata Neng
dengan emosi.
“Namanya lagi kesel semua kebaikan yang udah
kukasih dianggap jelek. Kubilang, cobalah inget-inget lagi
kenangan manis dan jangan cuma inget jelek-jeleknya aja.
Kan kamu juga belum tentu jadi suami dan ayah yang baik
buatku dan anak-anak, tapi kuberusaha tidak mengeluh.
Aku selalu berusaha setia walau yang menggoda banyak
diluar sana.” Lanjut Neng
“Pelan-pelan sekarang aku liat dia kembali normal
walau perhatiannya belum full. Kelihatan masih jaim.
Karena dia kaku jadi aku juga kaku. Bulan November kan
ayahku pemilihan kepala desa berarti aku ada agenda
mudik ke kampung. Kalau suamiku bisa ikutan mudik,
pastinya dia pengen curhat sama Mama seolah-olah
kemarin ada kejadian di rumah tangga. Minimal Mama
dan Ayah udah siap apa-apa yang bakalan dibahasnya.
Orangtuaku nanti merancang beberapa nasihat buat
suamiku. Bila perlu dipanggil lagi ke pesantren.” Kata
Neng dengan semangatnya.
“Siiiiplah. Ikut seneng jika membaik.” Jawabku
lega

Rini Widiastuti | 175


“Aku minta diakadkan lagi biar tenang, kuminta
sama mama. Suamiku belum tahu soal ini. Kan pura-
puranya orangtuaku belum tahu maslah ini. Supaya ke
depannya langkah suamiku makin terarah dari segi
pikiran dan ucapan. Insya Allah. Bulan depan aku
anniversary ke-14, mudah-mudahan langgeng.” Harap
Neng
“Aamiin ya Rabb. Kesabaran akan membuahkan
hasil. Insya Allah diberikan yang terbaik.” Doaku.
“Aamiin. Badai sudah berlalu.” Kata Neng senang.

“Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya


kepadamu tentang Aku, maka (jawablah), bahwasannya
aku dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang
berdoa apabila ia memohon kepada-Ku, maka hendaklah
mereka itu memenuhi (segala peRiatah-Ku) dan hendaklah
mereka beriman kepada-Ku, agar mereka selalu berada
dalam kebenaran. (Q.S Al-Baqarah: 186)

176 | Memahami Sabda Alam


BIOGRAFI PENULIS

Rini Widiastuti, S.Pd., lahir


tepatnya 25 Mei 1980 di
Kebumen, Jawa Tengah. Saat
ini ia berprofesi sebagai guru
di SMAN 8 Malina.
Ibu dari dua puteri ini
menyukai kesunyian. Punya
hobi menulis, membaca,
nonton film atau nonton kisah horor, suka mengoleksi
novel. Suka juga menyukai travelling meski duit nipis.
Menyukai keromantisan, senja dan hujan serta pekatnya
malam. Cengeng yang sok tegar, tukang tidur dan ngemil.
Sudah mengeluarkan 4 buku Antologi Puisi pribadi:
Nikmatnya Kerinduan (J_Maestro), Percakapan
Hati(J_Maestro), Hanya Tentang Rasa (J_Maestro) dan Kita
dan Senja dalam Rengkuhan Semesta. Serta Antologi
Bersama: Renungan Menuju Kematian, Tiga Cinta Bertelut
(CV. Kanaka Media-Surabaya), Ada Apa dengan Kebun
Kita (CV. Kanaka Media-Surabaya)
“Bukankah waktu telah mengisahkan bagaimana
perjalanan menjejaki kepedihan dan kebahagiaan, bahkan
keduanya mengajarkan pada kita bahwa hidup adalah
pilihan.” (Rini Widiastuti)

Rini Widiastuti | 177

Anda mungkin juga menyukai