ii
Kumpulan Cerpem
Memahami
Sabda Alam
Rini Widiastuti
iii
Memahami Sabda Alam
Copyright© 2022 Tidar Media
ISBN: 978-623-5521-48-0
Redaksi
Jalan Kyai Asrof, Sengon RT03/RW03, Trasan,
Bandongan, Magelang, Jawa Tengah. 56151.
email: admin@tidarmedia.com
FB: www.facebook.com/tidarmedia
IG: www.instagram.com/tidar_media
web: www.tidarmedia.com
WA: 08-191-111-191-3
iv
Kata Pengantar
v
mengutip rujukan-rujukan yang relevan dari ilmu
pengetahuan di beberapa judul cerita.
Catatan tentang Kehidupan, memaparkan
tema renungan hidup dengan bahasa dan pilihan
kata cenderung ke bahasa puitis shingga lebih
terkesan puisi esai meski tidak membentuk puisi
esai secara fisik.
Cinta dalam Diam dibuka dengan tokoh-
tokoh remaja usia SMA yang melaksanakan kerja
kelompok. Ada Chaca, Nindia, Jojon, Nina, Linda,
belakangan muncul tohok Azzam. Keseluruhan
cerita selanjutnya berisi kegelisahan Chaca setelah
berjumpa dnegan Azzam, inilah yang ia sebut
Cinta dalam Diam. Konflik konfliknya terjadi
secara internal dalan pikiran dan perasaan Chaca
yang mengharapkan kabar dari Azzam. Pada
pertengahan cerita dikisahkan Azzam dan keluarga
yang tiba-tiba melamar ke keluarga Chaca. Sampai
titik ini sebenarnya plotnya akan menarik, bahwa
Cinta dalam Diam terjawab dengan pernikahan.
Cerpen Kinanthi menceritakan pertemuan
seseorang dengan gadis kecil bernama Kinanthi.
Dalam cerita ini saya tertarik dengan ujaran yang
tak lazim diungkapkan oleh seorang anak kecil.
“Kamu tinggal dimana, Nak?
“Di sini. Di sana. Di mana pun tempat bisa
menerimaku. Di atas tanah ini, sebelum kelak di
bawah timbunan tanah” Ucapnya diplomatis.
(Kinanthi, hal…)
vi
Demikian sedikit ulasan terkait isi buku
kumpulan cerpen “Memahami Sabda Alam”.
Semoga cerita ini menjadi pemantik bagi sesama
guru untuk berani bermimpi menjadi penulis,
mampu menuliskannya dan akhirnya tercipta
karya. Seperti petuah Pramoedya Ananta Toer
yang mengatakan bahwa menulis adalah pekerjaan
keabadian. Jika dituliskan karya kita tetap dapat
dinikmati orang lain bahkan ketika kita sudah
mati.
Selamat membaca. Salam literasi. Ayo
berkarya untuk Kesejahteraan.
vii
viii
Daftar Isi:
ix
x
CATATAN AKU DAN DEA
“Ketika kita ikhlas, pada dasarnya kita telah menyatukan pikiran dan
hati kita untuk senantiasa berpasrah diri kepada-Nya. Dan ketika
kita ikhlas, maka kemudahan yang akan kita peroleh. Biidznillah
bahwa segala sesuatu terjadi atas ijin Allah Ta’alla.”
Rini Widiastuti | 1
AKU DAN DEA
“Mboook, cepetaaan!”
“Simbooook! cepetan tolooong!”
Kembali suara Dea melengking. Seperti biasa tak
sabar memanggil simbok. Seolah tak peduli khadimatnya
sedang masak atau bahkan mandi.
Ach, bosan ku mendengarnya setiap pagi. Sepupuku
satu ini seolah tak pernah lelah memerintah simbok tua
yang sudah lanjut usia. Tak peduli dengan tumpukan
pekerjaan yang menanti. Di sini, kadang ku merasa
jengkel dengan Dea, sepupuku. Mau tak mau karena tak
tega, akhirnya aku maju juga.
“Stoop...stoop mulutmu tuch ya, Dea cantik, Dea
sayang.” Ucapku sambil mengatupkan telunjuk di bibirku
sendiri.
“Belajarlah untuk mengerjakan sendiri. Kamu coba
dulu, jangan dikit-dikit simbok!” Saranku pada Dea.
“Kamu pikir simbok ndak capek kah?” Lanjutku
menasihatinya.
Dengan bersungut-sungut, akhirnya ia kerjakan juga
tugasnya. Ia bersihkan sisa-sisa susu yang tumpah dari
gelasnya. Tumpah di atas kasur karena kecerobohannya
Rini Widiastuti | 3
demi sebuah cita-cita. Kuliah sambil menulis. Menulis apa
saja yang bisa aku tuangkan dalam layar.
Rasulullah SAW bersabda;” Bekerja giatlah pada apa
yang bermanfaat bagimu, janganlah melemah bila
sesuatu menimpamu maka jangan kamu katakan:
andaikan saya berbuat begini, niscaya akan begini.
Akan tetapi katakanlah: Allah telah menentukan, dan
apa yang DIA kehendaki maka dia laksanakan. Sebab
kata andaikan akan membuka pintu syaitan.” (HR.
Bukhari Muslim,no 2664)
Hadits di atas kian mengajarkanku bagaimana untuk
terus berproses tanpa berandai-andai. Harus semangat
untuk masa depan yang lebih baik. Semoga lelah ini jadi
lillah.
Hari berganti. Ada rasa rindu dengan ayah ibu dan
kedua adekku. Lama tak bersua. Mencoba menahannya
untuk sebuah harapan. Sebulan sekali mungkin itu cukup
untuk melepas kerinduan ini. Tak apalah.
Kembali mata melayangkan pandangan pada sebuah
boneka kecil. Boneka kecil hadiah ulang tahunku yang ke
sembilan belas tahun. Satu tahun yang lalu. Dari adek
perempuanku. Dia tahu aku tak suka boneka, masih saja ia
belikan. Katanya biar aku sedikit jadi perempuan. Lhoh?
Perempuan dia bilang. Gila! Jadi selama ini ia anggap aku
laki-laki? atau setengaah laki dan perempuan?!!Nooooooo.
Rini Widiastuti | 5
Kembali bergelut dengan tulisan. Jadi kepikiran
ucapan tante, ke Hongkong. Kapan bisa ke sana.
Penasaran, mencoba mencari tau tentang Hongkong di
mbah geogle.
Hongkong adalah negara semi merdeka dengan nama
resminya Hong Kong Special Administrative Region
(Daerah Administrativ Khusus Hong Kong). Hong Kong
juga sering disebut sebagai negara dalam negara
Tiongkok. Tahun 1841-1997 negara ini bernama British
Hong Kong di bawah kekuasn Inggris. Sejak tahun 1997
dikembalikan ke Tiongkok dengan status satu negara dua
sistem. Maka dari itu, Hongkong memiliki sistem negara
sendiri, mulai dari bendera mata uang Hong Kong Dolar
(HKD), paspor dan menganut sistem ekonomi kapitalis.
Hong Kong juga memiliki kepolisisan sendiri, namun tidak
memiliki tentara, karena pertahanannya masih
dikendalikan Tiongkok. Bahasa di Hong Kong berbeda
dengan Tiongkok dan Taiwan, mayoritas masyarakatnya
menggunakan bahasa Kantonis dan Inggris. Hong Kong
menjadi pusat perekonomian dunia dan dibandingkan
dengan singapura karena ukuran negaranya yang sama-
sama kecil, berpenduduk padat dan akomodasi yang
supermahal. Hong Kong juga terkenal dengan julukan Kota
Asia Dunia. Kota gemerlap dengan gedung-gedung
pencakar langit, pusat bisnis, perdagangan dunia,
1Dikutipdari:(https://www.geogle.com/amp/aceh.tribunnews.com/amp/2017/0
8/27/perbedaan-cina-taiwan-hong-kong-dan-macau
Rini Widiastuti | 7
menggantikan peran mereka. Om dan Tante tak tahu
bahwa jauh di lubuk hatiku aku bukan apa-apa.
Malam kian pekat. Dingin menyapa mengajakku untuk
segera beranjak ke peraduan. Entah sudah berapa lama
terpaku depan laptop. Melirik bantal guling. Menyerah
juga. Berlari mendekap menjemput mimpi.
Beberapa menit berlalu, mencoba pejamkan mata.
Namun rasa kian berkecamuk. Entahlah.
Tak ingat pukul berapa kuterlelap. Tiba-tiba terdengar
ketukan pintu.
“Aneh, siapa tengah malam gini ketuk pintu?”
Gumamku penuh tanda tanya.
Kulirik jam dinding, waktu menunjukkan pukul 02.00
wib.
“Ach, menganggu saja.” Gusarku.
“Ya, bentar, siapa?” Tanyaku.
Sunyi. Tak ada sahutan dari balik pintu. Penasaran
kuintip dari lubang kunci. Kosong. Tak ada siapapun.
Sekejap jantung menderu cepat. Pelan kubuka pintu
kamar. Bergetar tubuh dan kaki. Terpaku membisu. Tak
mampu teriak sebab suara tercekat di kerongkongan.
KeRiagat dingin mengalir.
“Om, Tante, kenapa kalian ada di sini? Bukankah tadi
ba’da isya’ sudah berangkat ke bandara?” Tanyaku pelan
penuh getar.
Rini Widiastuti | 9
“Non, istighfar, mari ikut simbok tahajud.” Ajak
simbok.
Siapa saja yang menyeru kepada kebaikan, maka
baginya pahala seperti pahala orang yang
mengerjakannya itu.” (HR. Muslim,Tirmidzi dan Abu
daud dari Abu Mas’ud).
Tanpa membantah. Kuikuti langkah simbok menuju
tempat wudhu.
“Heran. Padahal di kamarnya kan sudah ada kamar
mandi. Kan bisa wudhu di situ dan sholat di kamar.”
Gumamku pelan.
Tapi selama ini, simbok selalu sholat di ruang khusus
tempat sholat.
Selesai sholat. Simbok masih heran dan bertanya.
“Non, tadi kenapa non Riri tanya soal itu.” Tanya
simbok.
“Anu, itu mbok. Aduh bingung Riri jelasinya. Abisnya
Riri aja masih ndak percaya.” Jawabku
“Anu apa, Non?” Tanya simbok tak mengerti.
“Riri kan tidur, tiba-tiba ada yang ketuk pintu. Terus
Riri intip lewat lubang kunci, tak ada siapapun. Kemudian
perlahan Riri buka pintu dan gemetar tubuh Riri.”
Jawabku
“Gemetar bagaimana, Non? Simbok kurang mengerti.”
Balas simbok kebingungan.
Rini Widiastuti | 11
ada pikiran jernih sebab masih teringat kejadian semalam.
Ngeri-ngeri sedap kubilang.
Saat mengunyah pisang goreng, tiba-tiba tersedak.
“Non, hati-hati, pelan-pelan kalau makan.” Pesan
simbok dari dapur.
“Dea, Deaaa, cepetan sini! “teriakku tanpa
memperdulikan omongan simbok.
“Apaan sich, Kak. Pagi-pagi teriak. Turunin dikit napa
tu volume suara.” Jawab Dea keluar dari kamar.
“Coba Dea dengerin tu berita. Berita luar negeri,
pesawat di Hongkong mengalami kecelakaan. “Perintahku
padanya.
“Kak Riri jangan bercanda dech!” Jawab Dea khawatir.
Sambil duduk di sebelahku ikut menyimak berita.
“Kak, coba kita telfon papa dan mama ya. Semoga
mereka baik-baik aja.” Pinta Dea dengan rasa
khawatirnya.
“Oh iya ya, De. Kenapa kak Riri ndak kepikiran dari
tadi ya. “Menyadari kebodohanku.
Sementara Dea sibuk memencet nomor nomor di
hpnya, aku dan simbok ikut konsentrasi dan diam.
Beberapa kali telfon tidak juga ada sambungan. Di
tunggu hingga setengah jam. Kembali Dea menghubungi
om dan tante. Namun tak pernah ada jawaban. Inisiatifku
Rini Widiastuti | 13
Q.S Al-baqarah (2):177:
“Dan orang-orang yang sabar dalam kesempitan,
penderitaan dan dalam peperangan, mereka itulah
orang-orang yang benar (imannya), dan mereka
itulah orang-orang yang bertaqwa.”
“Ketahuilah non, bahwa orang yang sabar adalah
orang-orang yang dicintai Rabb-nya.” Sambung simbok
menasihati kami.
“Dan Allah mencintai orang-orang yang sabar.” (Q.S.
Ali-Imran 146)
Tiba-tiba tangis Dea hadir tanpa bisa ditahan. Mau tak
mau aku pun ikut menitikkan airmata.
“Banyak sekali ayat dalam kitab suci Al-quran yang
menjelaskan tentang bentuk kesabaran ketika
menghadapi ujian beserta pahalanya.” Lanjut simbok.
“Dan sesungguhnya Kami akan memberikan balasan
kepada orang-orang yang sabar dengan pahala yang
lebih baik dari apa yang mereka kerjakan.” (An-
Nahl:96)
“Mbok, sanggupkah kami bersabar dengan ujian ini?”
Tanya Dea sesenggukan.
“Insya Allah sanggup, yakinlah pada hati kalian. Dan
yakinlah dengan balasan yang akan kalian terima jika
kalian mampu bersabar.” Jawab simbok mantap
menenangkan hati kami yang bergemuruh.
Rini Widiastuti | 15
“Mbok....jadi benarkan apa yang kuceritakan ke
simbok bahwa mereka berdua menemuiku tengah malam
yang kupikir adalah mimpi, ternyata itu sebuah pertanda
bahwa mereka ingin pamit.” Ucapku tanpa sadar.
“Dea, Dea sadarlah, istighfar. Insya Allah Dea kuat
karena kita saling menguatkan. Kak Riri selalu ada buat
Dea.” Ucapku mencoba membangunkan Dea dan mau tak
mau airmata pun deras membasahi pipi.
Jika dipikir, ikhlas itu serasa jauh dari jangkauan
namun ketika berusaha menggapainya, tak akan mustahil
meski tak kan mudah.
“Kak, kenapa harus Dea yang dikasih ujian ini,
kenapa?” Tanya Dea setelah sadar.
“Karena Allah Ta’alla sayang dengan Dea.” Jawabku
pendek.
“Jika Dea tanya di mana keikhlasan itu, jawabannya
ada di sini, dihati kita.” Imbuhku menenangkannya.
“Ketika kita ikhlas, pada dasarnya kita telah
menyatukan pikiran dan hati kita untuk senantiasa
berpasrah diri kepada-Nya. Dan ketika kita ikhlas, maka
kemudahan yang akan kita peroleh. Biidznillah bahwa
segala sesuatu terjadi atas ijin Allah Ta’alla.” Lanjutku dan
semoga Dea memahami.
Rini Widiastuti | 17
CATATAN
TENTANG KEHIDUPAN
K
ehidupan seumpama lembaran-lembaran
dalam catatan buku. Kita bisa menorehkan
kisah dalam tiap halamannya. Tapi
sungguh, kita tak kan pernah tahu apa yang menanti di
halaman berikutnya.
Seperti rintik di pagi ini. Hadir menyapa tanpa
permisi. Jalanan lengang sebab senyum dan tawa tak lagi
menggenang. Hanya sesekali mampir untuk menengok,
lalu kembali melangkah.
Rintik yang hadir tanpa permisi menciptakan dingin
menusuk pori di jiwa. Lembaran perjalanan yang telah
lewat adalah bayangan yang tak lagi mampu kugenggam.
Sebab hujan telah menghapus jejaknya dan mungkin
terperangkap dalam rangkaian tak berkesudahan.
Tak seharusnya kuhentikan waktu dan mengunci
diri di dalamnya. Melepas segala pinta pada-Nya.
Kerinduan kian menyuarakan hati. Menambah memar
hati merusak lembar catatan selanjutnya.Tak sepantasnya
membekap rasa jadi satu rongga tak berpintu. Bibir
Rini Widiastuti | 19
Pada senja yang nyaris mengubah jalan hidupku,
mengubah duniaku hingga kusimpan harap pada awan
yang menggumpal hingga menjadikannya pekat dan
masih setia menurunkan tetesannya. Masih kupintal jiwa
dan berharap tak pernah berlalu.
Tahukah engkau bahwa kuperlahan mengemas tiap
kerinduan dan kuyakin itu ‘kan terulang meski rembulan
tak jua menjuntaikan cahyanya. Dan untuk mengantisipasi
meluapnya rindu yang datang silih berganti, sejenak
menepikan diri dan menyambut perjamuan-Nya.
Mencoba menelusuri kembali tentang cinta-Nya:
“Dan sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak
Adam, Kami angkat mereka di daratan dan di lautan,
Kami beri mereka rezeki dari yang baik-baik dan
Kami lebihkan dengan kelebihan yang sempurna atas
kebanyakan makhluk yang telh Kami ciptakan.” (Q.S
Al-Isra’: 70).
Paling tidak ada motivasi tersendiri dalam benak
untuk tetap bangkit dalam kejatuhan. Aaah, sudah lama
aku tak bercengkerama dengan-Nya. Bukan hanya
sekadar kata tapi lebih dari makna dalam tiap ketetapan-
Nya. Bukan hanya tentang sapa namun dekapan hangat
yang kuinginkan dari-Nya. Gemericik tangis pun seakan
meredakan segenap peristiwa hingga meleburkan
keangkuhan yang selama ini mendera. Tahukah engkau
Rini Widiastuti | 21
Demi masa dan demi waktu, kutinggalkan kenangan
untuk keluargaku, sahabat-sahabatku, dan mungkin untuk
orang-orang yang sekadarnya mampir sejenak. Ketika
catatan itu telah terbuka, mungkin telah selesai jatah
kehidupanku di dunia, atau barangkali aku masih ada
entah di mana.
“Apakah kamu tidak mengetahui bahwa
sesungguhnya Allah mengetahui apa saja yang ada
di langit dan di bumi? Bahwasannya yang demikian
itu terdapat dalam sebuah kitab (Lauh Mahfudz)
Sesungguhnya yang demikian itu amat mudah bagi
Allah.” (AL-Hajj: 70)
Rasululah bersabda:” Allah telah menulis ketentuan
seluruh makhluk sebelum menciptakan langit dan
bumi selang waktu lima puluh ribu tahun.” (H.R
Muslim).
Inginku sampaikan kisah tanpa sesal, sebab
kupercaya lembaran demi lembarannya masih mau
menerima. Mungkin kita pernah merencanakan meski
kadang tak terlaksana. Tak mengapa dan biarkan sunyi
menyisakan jarak bahkan mengisi di antara kita. Hingga
suatu saat tanganku gemetar menorehkannya.
Pernah kuletakkan sebuah buku yang telah lama
teronggok manis di atas rak. Ada juga beberapa
lembarnya kucoret untuk menutup sesuatu yang tak ingin
Rini Widiastuti | 23
kisah yang berserak tanpa jejak. Bukalah catatanku dan
bacalah, barangkali di sana sedikit kau temui bahagia
meski tak sesempurna yang diingin. Kan kau akrabi
rinduku yang mengemas tanpa detak, sebab di sana
terlalu banyak kenangan yang tak mampu menemui
jalannya untuk terbang dan tak lagi hinggap dalam
pikiran. Tak ada lagi janji-janji terpenuhi. Ada dinding
tinggi nan kokoh yang tak mampu kurobohkan di luasnya
samudera yang terus saja menjeda tanpa titik terlebih
koma. Catatan kehidupanku merenda kuat pada sisa-sisa
imaji yang dulu pernah jadi asa dan harus lusuh payah di
relung paling sunyi.
Untukmu, siapapun yang nanti membaca catatanku.
Percayalah, bahwa di sana tak kan kau temui senyum
yang terpahat diksi sebab perihnya telah tertuang dalam
cangkir pekat pahit yang sering kusebut kopi. Catatan
tanpa judul pada bisikan nurani yang tak sanggup lagi kau
dengar mungkin sedikit menyapamu, sedikit
menggetarkan rindumu pada lelahnya ruang yang kuberi
nama hati.
“Oh, ya hampir saja kuterlupa ingin sedikit bertanya,
masihkah secuil saja ada keinginanmu untuk menyertaiku
membuka waktu, membantuku merangkai perih untuk
kemudian kuhempaskan?” tanyaku
Rini Widiastuti | 25
Pada akhir lembaran catatan kehidupanku, carilah
desau angin yang pernah kubisikan suatu rahasia yang
bersimbah butiran doa untuk kau semayamkan pada
getaran waktu. Biarkan perlahan ia memasuki pikiranmu
lantas sematkanlah dihatimu tentangku yang tercabik
keegoisan takdir. Biarkan tentangku mendekapmu erat
sebelum jatuh meluruh di hamparan pelukan semesta.
Biarkanku melabuhkan seluruh kisah sebelum tersapu
angin dan terbawa arus air. Ijinkanku menyelesaikan
catatan sebelum kutamatkan rinduku sebagai sebuah
kisah yang mendebu. Beriku kesempatan bercengkerama
denganmu sebelum kulanjutkan perjalananku, ‘kan
kutitipkan bisingnya kehidupan pada heningnya malam
hingga esok senja kau temui lagi. Dan ‘kan kau lihat ukiran
makna di setiap deretan aksara. Rasanya cukup sampai di
sini kutinggalkan catatan kehidupanku tentangku
tentangmu yang telah menggenang pada pusaran rindu.
Menghitung seberapa besar persimpangan dihadapan
hingga sulit untuk kita satukan dengan helaan nafas sekali
pun. Tertatih kumelangkah pada bulir waktu yang tak lagi
mampu kujangkau.
Kutitipkan catatan kehidupanku pada lembaran
yang kesekian, kian kusam tergerus waktu. Pada rak
berdebu, kusisipkan di antara buku-buku kesukaanku.
Pada senja, ia kan terlihat warnanya, menguning. Dan
Rini Widiastuti | 27
CATATAN CINTA DALAM DIAM:
K
epak sayap burung kian jelas searah
derunya angin, gerimis tak jua surutkan
niatnya untuk henti sejenak. Senyapku
dendangkan senyum seiring hembusan nafas yang kian
berat. Khayalan makin lama kuandaikan makin jelas
tergambar bahwa kehidupan kian membentang
dihadapan. Pun tak terkecuali diriku. Berharap bahwa
hidup sesuai dengan apa yang kupikirkan, sesuai yang
kubayangkan.
Ujian nasional kian menanti. Yach, Cacha, itu
namaku. Kata orang masa SMA masa bahagia. Bahagia
punya banyak teman, sahabat dan main kemana aja.
Namun tidak denganku.
“Cha, pulang sekolah kita kerjakan tugas kelompok
ya. Ada tugas dari bu Ina.” Ajak Linda memecah
kesunyian.
“Oh, jam berapa? Kalau sore aku ndak bisa.”
Jawabku
“Pulang sekolah aja, gimana? Kan lebih enak.” Usul
Dino.
Rini Widiastuti | 29
“Ok, setuju. Gimana yang lain?” Jawabku.
“Kami setuju saja, lagian lebih cepat lebih baik.”
Jawab Nina dan Jojon hampir bersamaan. Akhirnya
semua sepakat tugas kelompok diselesaikan sepulang
sekolah. Bisa menghemat waktu. Waktu sangat berharga
buatku. Sebab sore harus bergantian dengan ibu menjaga
toko. Sedangkan ayah bekerja di kantor dinas pendidikan
hingga pukul 04.00. Kasihan jika harus ikut terlibat
dengan toko. Toko kami tak terlalu besar, namun cukup
untuk membiayai kami, anak-anaknya. Yach, aku anak
kedua dari tiga bersaudara. Kakakku sudah bekerja dan
menikah serta tinggal di kota lain. Sedangkan adikku
masih SMP kelas dua.
Pukul 15.00 tugas kelompok selesai. Pulang ke
rumah masing-masing hanya membutuhkan waktu
kurang lebih sepuluh menit.
“Assalamu’alaikum....” Ucapku sesampainya di
rumah.
“Wa’alaikumsalam, Cha.” Jawab Ibu.
“Kok baru nyampai, ada apa di sekolah?” Tanya Ibu.
“Tadi ada tugas kelompok dan langsung dikerjakan
sepulang sekolah. Daripada pulang dulu dan baru
mengerjakan. Maaf bu, mendadak ndak sempat kasih
kabar.” Jawabku untuk menghilangkan kekhawatiran ibu.
Rini Widiastuti | 31
Aku bukan anak orang kaya, seperti dia dan teman-
temannya. Itu yang membuatku ragu menunjukkan
perasaanku. Azam namanya.
Senja hampir tenggelam, ketika tak sadar sebuah
panggilan sayup-sayup kudengar. Kukenal suaranya.
“Kok mirip ya.” Gumamku.
“Maaf, dimana letak permen pedas manis ya,“
Tanyanya.
“Oh, ada dibaris ketiga dari belakang.” Jawabku.
Entahlah, mungkin cuma perasaanku saja.
Tanpa melihat siapa pembeli.
“Sudah tadi ketemu yang dicari? Semoga masih
ada.” Tanyaku tanpa melihat.
“Cha, kamu Cacha kan?” Tanyanya.
Sambil melihat ke pembeli. Kaget bercampur
seneng. Seperti mimpi, membuatku terdiam sesaat.
“Eh, Azam, ya. Lho dari tadi kamu yang tanya.”
Ucapku sedikit gugup mencoba menetralisir keadaan.
“Iya, kamu sendiri? Ini tokomu? Wah besar juga ya
Cha.” Ucapnya antusias.
“Toko ibuku, ndak juga, alhamdulillah.” Balasku.
“Oh, ya. Berapa permen dan air mineral ini?” tanya
Azam.
“Dua puluh lima ribu rupiah.” Jawabku.
Rini Widiastuti | 33
“Cha, kenapa, Nak. Kok kaget gitu? Lihat apa tadi?”
Tanya ibu khawatir.
“Ndak, bu, Cacha ndak kenapa-napa kok.” Jawabku
menutup kekhawatiran ibu.
“Bu, Cacha maghriban dulu ya, oya, jangan malam-
malam tutup tokonya, kasihan nanti ibu kecapekan.”
pintaku.
Malam pun kian pekat. Kabut tebal menyelimuti.
Hingga nyaris membuatku menggigil.
Waktu terus berputar seolah menggilas setiap
perjalanannya, hingga kenangan demi kenangan nyaris
terlupakan.
Empat tahun berlalu. Delapan semester kulalui
dibangku kuliah. Alhamdulillah, perguruan tinggi negeri
kuraih.
Sekelebat ingatan kembali pada sosok laki-laki yang
pernah singgah sesaat. Astaghfirullah, ternyata aku masih
mengingatnya.
Kala rembulan mengajakku bercanda, memang
masih ada gejolak menyapa. Di usiaku yang ke dua puluh
dua belum pernah sekalipun mengenal pacaran. Ach,
biarlah. Insya Allah yakin bahwa jodoh yang terbaik akan
hadir pada waktunya. Saat ini fokus selesaikan kuliah.
Kasihan ayah dan ibu.
Rini Widiastuti | 35
“Saya usahakan ya, Yah, soalnya pagi ada rapat
dengan bos dan seluruh karyawan dan belum tahu pukul
berapa selesai.” Jawabku.
“Selesai rapat, pulanglah. Nanti ayah jemput di
kost.” Pinta ayah sedikit memaksa.
Menimbulkan banyak tanya.
“Ada apa? Mengapa? Dan kenapa ndak langsung
bicara ditelfon?” Gumamku masih dengan rasa penasaran.
Sebab tak biasanya ayah membiarkan orang bertanya-
tanya.
Malam pun kian beranjak. Mengajakku untuk lelap
meletakan segala penat. Berharap menjemput mimpi
terindah.
Matahari sudah menggelincir ketika rapat selesai di
kantor.
Ingat pesan ayah. Setengah berlari, Aku harus
pulang hari ini juga. Rasa penasaran makin menggila.
Menjalar hingga membuatku enggan untuk menyentuh
makan siangku. Tak ada nafsu makan meski perut
memainkan musiknya.
Ach, ayah. Engkau buat anakmu penasaran. Dag dig
dug. Padahal ada hp. Tapi hp ndak penting buat ayah saat
ini, yang terpenting kehadiranku. Begitu ucap ayah.
Kebetulan nebeng temen bisa lebih cepat menuju
kost. Memasuki pelataran rumah kost. Rumah yang sudah
Dalam perjalanan.
Sepanjang perjalanan menuju ke rumah di desa.
Ayah tak banyak bicara. Hanya nasihat-nasihat seorang
ayah pada putri kandungnya.
Menikmati setiap perjalanan adalah suatu
keharusan buatku. Daripada tidur dan bermimpi.
Mentari sore masih saja sebentar-sebentar
mengintip di antara kaca mobil. Membentuk coretan-
Rini Widiastuti | 37
coretan diwajah dan sedikit menyilaukan. Seolah berseru
“Cepatlah ada yang menantimu!”. Membuatku tersenyum
tanpa sadar.
“Cha, kenapa senyum-senyum sendiri?” Tanya ayah
membuyarkan lamunan.
“Ndak, Yah. Tadi inget candaan temen di kantor aja.”
Jawabku sekenanya.
Panorama senja kian menambah cantik garis-garis
di angkasa. Sedikit tergoda untuk menikmati keagungan-
Nya.
Tak terasa dua jam sudah berjalan. Sampai di
halaman rumah dan masih ada toko yang sejak SD sudah
ada. Alhamdulillah sudah ada lima orang yang ikut
mengelola untuk membantu ibu.
Sampai di rumah, ibu dan adik-adik serta keluarga
besar menyambut kami dengan bahagia. Terus terang
sedikit membingungkan. Seperti sebuah kejutan, seperti
entahlah, yang pasti ada apa sebenarnya. Pertanyaan
masih menggelayut dan tak ada yang mengijinkanku
untuk bertanya sebab mereka mengarahkanku untuk
segera membersihkan badan dan istirahat.
Waktu maghrib telah lewat dan kami makan
bersama. Hidangannya pun bermacam-macam namun
meski perut sudah memanggil karena sedari siang belum
Rini Widiastuti | 39
“Dan janganlah kamu mendekati zina, sesungguhnya
zina itu adalah suatu perbuatan yang keji. Dan suatu
jalan yang buruk.” (Q.S. Al-Isra’ (17): 32)
“Artinya, jika kita mendekati zina saja tidak boleh,
apalagi sampai melakukan zina, jelas-jelas lebih
terlarang.” Lanjut ayah
“Lantas apa yang musti harus kupertimbangkan jika
ayah dan ibu sendiri sudah setuju. Ach, entahlah. Aku
sendiri bingung harus menjawab apa. Sebab semua terasa
mengejutkan.” Batinku berkecamuk.
“Terserah ayah ibu saja bagaimana baiknya.”
Akhirnya kubuka suara.
“Cha, istikharah dulu sebelum mengiyakan.
Mantapkan hatimu. Jangan karena ayah dan ibu setuju
lantas Chaca pun langsung mengiyakan. Insya Allah
seminggu lagi mereka datang.” Saran ibu terasa bijak
menenangkan.
Sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
“Apabila salah seorang di antara kalian hendak
melakukan sesuatu (yang membingungkan), maka
lakukanlah shalat (sunnah) dua raka’at selain sholat
wajib kemudian bacalah: Ya Allah, sesungguhnya aku
memohon pilihan yang tepat kepada-Mu dengan
ilmu-Mu dan aku memohon kekuatan kepada-Mu
(untuk memutuskan urusanku dan mengatasinya)
Rini Widiastuti | 41
Sesuai saran ibu, Chaca akan istikharah. Semoga
diberikan pilihan yang terbaik menurut-Nya. Apa pun
nanti jawaban Chaca ke ayah dan ibu, Chaca harap kalian
juga setuju dengan keputusan Chaca.” Jawabku
menenangkan mereka.
“Ayah, ibu, esok subuh Chaca harus kembali masuk
kerja. Insya Allah jumat sore kembali lagi. Jadi kalau bisa
keluarga mereka hadir Sabtu malam. “Jawabku
Ba’da subuh kembali menuju kost.
Hari terus berganti. Menyuguhkan berbagai rasa
yang sebelumnya tak pernah hadir. Ada sedikit
kecemasan bertengger manis memasuki ruang hati.
Entahlah, mungkin ini yang dirasakan oleh setiap
perempuan yang memasuki jenjang pernikahan. Antara
bahagia dan takut.
Akhirnya Jumat pun tiba. Harus kembali ke rumah.
Setiap kehidupan punya cerita sendiri untuk
dikisahkan. Hanya saja ada beberapa episode yang kadang
terlewati tanpa beban. Atau bahkan tanpa sebaliknya.
Semuanya memberikan warna tanpa terkecuali. Tinggal
bagaimana kita mensikapi setiap jenjang episodenya.
Babak baru dalam kehidupanku baru saja dimulai.
Semoga ini yang terbaik bagi kami. Apa pun itu ada Allah
Azza Wa Jallaah, ada keluarga.
Rini Widiastuti | 43
“Wa’alaikumsalam Warahmatullahi Wabarakaatuh.”
Jawab ayah dan ibu serempak.
“Alhamdulillah, silakan masuk. “Terdengar suara
ayah mempersilakan mereka masuk.
“Saya mewakili pihak keluarga Muhammad Azzam,
malam ini ingin mempererat tali silaturahim sekaligus
meminta kesediaan putri bapak Imam Ma’ruf untuk
menjadi bagian keluarga Muhammad Hussein. “mengalir
ucapan dari pihak keluarga laki-laki.
“Alhamdulillah atas kedatangan keluarga nak
Azzam ke rumah kami. Pada dasarnya kami sekeluarga
menerima maksud dan tujuan dari keluarga bapak
Muhammad Hussein. Namun, semua keputusan kami
serahkan kepada putri kami Chaca Elizha Rahma, sebab
dia yang nantinya akan menjalani pernikahan ini.” Jawab
ayah dengan bijak.
“Silakan nak Azzam bertemu dan berbicara dengan
Chaca serta ibu dan bibinya di ruang sebelah. “Kata ayah
makin membuatku gugup
Terdengar suara langkah kaki perlahan menuju
tempat di mana aku, ibu dan, bibi duduk.
Tak ada keberanianku untuk sekadar melihat
bahkan menatapnya.
“Silakan nak Azzam duduk.” Sambut ibu lembut
Rini Widiastuti | 45
Q.S Al-Baqarah (2):152:
“Maka ingtlah kamu kepada-Ku, niscaya Aku ingat
pula kepadamu, dan bersyukurlah kepada-Ku, dan
janganlah kamu mengingkari nikmat-Ku.”
Terlalu banyak nikmat yang telah Allah Ta’alla
berikan. Bahkan jika seluruh air laut dijadikan tinta, tak
kan pernah cukup untuk mengungkapkan nikmat-Nya.
Syukur adalah bukti seorang hamba cinta dan ridha
kepada-Nya, sekecil apapun nikmat yang ia terima.
Sungguh, perlakuan berbeda dari-Nya telah
kudapatkan, ketika kubersyukur maka nikmatku
bertambah.
Biidznillah.
Dengan mantap kuanggukkan kepala tanda setuju.
Kulihat senyum kak Azzam pun merekah tanda bahagia.
“Iyya, saya menerima.” Jawabku mantap
“Alhamdulillah. Makasih Cha atas jawabanmu.”
Jawab Azzam tenang sambil tersenyum.
Lantas kak Azzam pun kembali ke ruang tamu
menemui keluarganya dan keluargaku.
Serentak tanpa komando.
“Alhamdulillah, Barakallah. Ini yang kita semua
harapkan.” Jawab mereka kompak.
Kemudian sesepuh membicarakan kapan tepatnya
pernikahan dilaksanakan.
Rini Widiastuti | 47
Banyak pertanyaan merayu untuk dapatkan jawaban.
Sesaat lagi.
Sementara di ruang tamu. Pihak mempelai laki-laki
dan ayah sebagai wali serta penghulu sudah siap.
Dengan suara tenang Kak Azzam pun menirukan
ucapan ayah.
Saya terima nikah dan kawinnya Chaca Elizha
Rahmah binti Muhammad Imam Ma’ruf dengan mas
kawin seperangkat alat shalat dan emas seberat sepuluh
gram, dibayar tunai.” Ucap kak Azzam lancar dan tenang.
“Hai manusia, bertaqwalah kepada Tuhanmu Yang
menciptakan kamu dari satu jiwa dan daRiaya Dia
menciptakan jodohnya, dan mengembang-biakan
dari keduanya banyak laki-laki dan perempuan;dan
bertaqwalah kepada Allah SWT, yang dengan nama-
Nya kamu saling bertanya terutama mengenai
hubungan tali kekerabatan. Sesungguhnya Allah
SWT adalah pengawas atas kamu.” (Q.S A-Nisa:1)
Seluruh keluarga serentak mengucapkan
hamdallah
“Alhamdulillah.”
Dari balik tirai.
Ada bulir bening jatuh perlahan.
“Mimpikah aku?” Batinku
Malam pertama.
Ketika kumasuk ke dalam kamar, sejurus
kemudian pandangan beredar pada sosok asing yang
berdiri dekat jendela kamar. Cahaya lampu teras
menelisik masuk mengintip apa yang ada di dalamnya.
Mencoba memberanikan diri untuk melihat sosok
tinggi tegap yang hanya berjarak sekitar tiga meter. Ada
rasa gugup, panas menguasai. Padahal AC sudah
dinyalakan beberapa jam yang lalu.
“...sebagian kamu telah bergaulbercampur) dengan
yang lain sebagai suami istri. Dan mereka (istri-
Rini Widiastuti | 49
istrimu) telah mengambil dari kamu Perjanjian
yang kuat.” (Q.S. An-Nur;21)
Sesaat bingung harus berbuat apa. Sementara dia
dengan santainya menyunggingkan senyuman. Dan itu
kian membuatku berdebar.
“Assalamu’alaikum Cha, kenapa berdiri mematung
sedari tadi. Tidakkah engkau sambut suamimu ini?” Kak
Azzam memulai percakapan.
Perlahan kak Azzam mendekat dan tak urung
membuatku mundur beberapa langkah hingga mneyentuh
tempat tidur da tak tahu harus bergerak kemana lagi.
“Masih ingatkah dengan pertemuan pertama kita
dulu? Di toko ibu. Itu pertemuan dan obrolan kita yang
pertama. Setelah itu tak pernah lagi.” Kak Azzam masih
juga santai bicaranya.
“Iya, tentu saja Chaca ingat. Saat itu terua terang
kaget, tak menyangka kalau kak Azzam mampir ke toko.”
jawabku gugup.
Dengan langkah perlahan kak Azzam
mendekatiku. Sambil tersenyum. Sesaat membuatku
terpana. Inikah sosok lelaki yang pernah singgah di hati
bertahun-tahun yang lalu? Lelaki yang untuk kuimpikan
saja tak berani. Dan kini dia duduk dihadapanku. Menjadi
pendampingku. Menjadi suamiku.
Rini Widiastuti | 51
“Cha, kenapa menunduk. Tak usah malu. Kita
sudah sah sebagai suami istri.” Lembut suara kak Azzam
sambil menyentuh kedua bahuku.
“Chaca belum pernah sedekat ini dengan lelaki.”
Jawabku masih sambil menunduk.
“Iya, kakak ngerti. Tapi kan kita sudah menikah.
Sebenarnya kakak juga merasakan hal yang sama dengan
Chaca. Namun kak Azzam berusaha untuk tidak larut.
“Balas ka Azzam.
“Boleh Chaca tanya mengapa kakak pilih Chaca
jadi istri kakak?” Tanyaku penasaran.
“Hmm, kenapa ya? Hayoo, kira-kira kenapa?”
Balas kak Azzam menggoda.
“Lhah, kenapa malah balik nanya ‘kan yang tahu
kakak.” Balasku tak kalah.
“Lhah, istriku sendiri kenapa langsung mau saat
kakak tanya?” Balas jawab seolah tak habis akalnya.
Cuma bisa senyum. Entahlah, mungkin pipi sudah
mirip kepiting rebus. Malu. Untung temaram lampu kamar
membantu menutupi.
“Istriku sayaaang...kenapa kak Azzam pilih Chaca?
Karena takdir yang mempertemukan kita dan sebenarnya
sudah sejak lama kak Azzam perhatikan Chaca. Sejak kita
sama-sama di bangku SMA. Kemudian kuliah. Meski kita
tak sekampus namun kakak selalu memantau Chaca.
Rini Widiastuti | 53
“Akhirnya kakak kontak temen kajian kakak untuk
cari info tentang Chaca. Alhamdulillah dapat dan lengkap.
Nah, dari informasi itulah kak Azzam berani
menyampaikan pada ayah dan ibu. Mereka menerima dan
selang satu hari kami sekeluarga serta kakak-kakak ayah
datang ke rumah ini menyampaikan keinginan untuk
melamarmu. Tapi waktu itu Chaca memang tak ada di
rumah. Kakak sengaja. Kakak tahu Chaca masih di kost.”
Jawab kak Azzam pe de.
“Maasya Allah, Kak. Kok percaya diri banget sich.
Memang ndak takut kalau Chaca ternyata sudah punya
tambatan hati?” balasku dan disambut tawanya.
“Sebab keyakinan sekaligus informasi dari temen
kajian bahwa Chaca bukan orang yang seperti itu.
Biidznillah, atas izin-Nya sekarang Chaca sudah jadi istri
kak Azzam.” Jawabnya membuatku lega.
“Nah, Chaca sendiri bagaimana?” Tanya kak
Azzam.
“Kalau Chaca saat SMA pernah suka dengan kakak,
tapi ndak berani juga. Karena merasa tak pantas. Lagian
lihat temen-temen kak Azzam anak-anak orang kaya.
Terus Chaca lihat saat itu kak Azzam jalan sama
perempuan, kayaknya deket dech. Akhirnya Chaca Cuma
pendam aja. Sesekali aja inget. Dan heran saat kakak
mampir ke toko ibu.” jawabku.
Rini Widiastuti | 55
“Coba dari dulu kakak melamarmu, sayang. Dulu
tak ada keberanian untuk mendekat.” Ucap kak Azzam
penuh kejujuran.
Tiba-tiba keningku dikecupnya. Dan selanjutnya
mengalir begitu saja. Semua yang harus dijalani sepasang
pengantin akhirnya terlaksana.
Tak ada yang bisa menebak kehidupan seperti apa
yang akan dijalani setiap insan manusia. Hanya ikhtiar,
doa, dan tawaqal yang membuat kita mampu menghadapi
setiap lipatan-lipatan alur kehidupan. Sebab tak semua
persinggahan mampu meninggalkan hikmah dibaliknya.
Begitu juga antara aku dan kak Azzam. Menjalani
apa yang memang harus dijalani. Dan mengikhlaskan apa
yang harus diikhlaskan, agar semua terasa Riagan dalam
melangkah. Insyaa Allah.
Rini Widiastuti | 57
CATATAN KINANTI
K
ulihat gadis kecil duduk diam di sebuah
pelataran toko. Bukan peminta-minta.
Sebab ia hanya diam. Entah apa yang ia
pikirkan. Kucoba dekati. Tak ada reaksi. Hanya diam
bergumam. Lirih suaranya merdu. Apa yang ia
senandungkan? Aku pun tak tahu. Sebab keramaian
memekakkan pendengaranku.
“Penasaran? iya.”
Sesaat inginku bertanya. Dari kedua sudut matanya
meneteslah airmata.
“Ach, apa sebenarnya yang ia pikirkan?” Batinku.
“Begitu beratkah hidupnya?” Batinku.
Berbagai pertanyaan menggelayut dalam benakku.
Perlahan kusentuh punggung tangannya. Terkejut. Cepat-
cepat ia hapus air matanya. Ia menengok namun hanya
diam membisu. Kuhela nafas sesaat. Tak jua ia singkirkan
sentuhan tanganku. Kucoba senyum, tak ada reaksi.
“Ada apa denganmu, adik kecil?” Tanyaku. Ia tetap
diam.
Rini Widiastuti | 59
Ada beban berat di pelupuk matanya. Ada
penderitaan nun jauh di dasar hatinya yang terdalam. Ada
rindu di matanya. Ada amarah dalam bola matanya. Aku
bingung mengartikannya. Tak tahu harus bagaimana.
Tanyaku belum jua ia jawab. Ia tetap diam membisu.
Kutawarkan sepotong roti, menggeleng. Kutawarkan
minuman pun ia menggeleng. Aku hanya terpekur larut
dalam kebisuannya. Kusapukan pandangan di sekitar,
hanya keramaian belaka. Aku pun bosan. Mungkin sama
dengan anak ini. Tiga tahun, kira-kira usianya. Anak
sekecil itu sendiri di tengah ketidakpedulian. Butuh
kekuatan untuk tetap bertahan dari berbagai benturan.
Kuberanikan untuk kembali memulai percakapan.
“Siapa namamu, Nak?” Tanyaku.
“Kinanthi, Kak?” jawabnya singkat.
“Di mana kamu tinggal?” Lanjutku
“Di sini. Di sana. Di mana pun tempat bisa
menerimaku. Di atas tanah ini, sebelum kelak di bawah
timbunan tanah.” Ucapnya diplomatis.
Membuatku terpana. Nyaris beku terkatup. Anak
sekecil itu dengan derasnya meluncurkan kata demi kata
tanpa terlebih dahulu menyusunnya. Tegas sarat makna.
“Sebegitu keraskah kehidupannya?” Gumamku.
Tanpa sadar bulir bening menetes. Ada gejolak
meradang sembunyikan selaksa kehidupan. Anak sekecil
Rini Widiastuti | 61
“Terima kasih sudah membiarkanku dalam dekapan
kakak.” Ucapnya
“Adik kecil, ayo kita makan” Ajakku.
Namun ia menggelengkan kepala. Sedari tadi selalu
menolak jika kutawarkan makanan.
“Jika aku terima tawaran kakak, aku takut suatu
saat ketika ku lapar, aku tak kan bisa membeli makanan
yang kakak tawarkan. Sebab aku tak mampu
membelinya.” jawabnya .
Deg. Seperti ada sesuatu yang tiba-tiba menghujam
batinku.
“Sejauh itukah pikiranmu, nak? tanyaku.
“Iya.” Jawabnya pendek.
Tiba-tiba, Kinanthi berdiri dan berucap.
“Kakak jangan takut dengan petir. Sebab aku
berjuta kali merasakan sejak lahir. Biasakanlah! “Ucapnya.
Membuatku terpana.
Anak sekecil itu begitu bijaknya menenangkanku.
Lantas, di mana selama ini ia tidur? Bahkan ketika
hujan?Seketika kusadar dan berlari mengejarnya,
mensejajari langkahnya.
“Kinanthi!! Tunggu!!”teriakku
Kaki-kaki mungilnya melangkah tanpa alas.
Sepertinya sudah biasa. Terlihat dari caranya berjalan.
“Mau kemana kita?” tanyaku.
Rini Widiastuti | 63
“Nenek pernah bercerita bahwa ketika tengah
malam bangun, ia mendengar suara tangisan bayi di dekat
rumah ini. Dan nenek keluar rumah mencari sumber
suara. Dan akhirnya nenek menemukanku di bawah
pepohonan di dalam kardus berselimutkan kain sarung.
Di dekatku ada susu botol dan dua kardus susu formula.
Nenek langsung membawaku ke rumah ini. Dam di sinilah
ia merawatku. Jika tak ada nenek, mungkin aku tak
sebesar ini.” Ucapnya panjang lebar.
Sampai di sini, airmataku mengalir. Mengalir deras.
Perempuan macam apa yang tega membuang darah
dagingnya sendiri. Binatang pun tak kan pernah
mengabaikan anaknya.
“Selama ini nenek kerja apa untuk menghidupi
kalian?” Tanyaku.
“Cuci baju di rumah tetangga, beres-beres rumah
mereka, terkadang cari botol plastik untuk kami ganti
dengan beberapa lembar rupiah. Dan ketika nenek sakit,
aku tak bisa membawanya berobat dan tak ada yang
peduli dengan kami. Ada simpanan nenek tapi setiap aku
ajak berobat, nenek selalu bilang untuk makan aku saja.
Rasanya, sakit, Kak!” Ucap Kinanthi.
Sampai di sini, ia pun menangis sesenggukkan.
Subhanallah, di mana nurani orang-orang di sekitarnya?
Melihat tetangga dalam kondisi seperti ini, tak adakah
Rini Widiastuti | 65
bagian untuk keluarga, kerabat, fakir miskin, dan orang-
orang dalam perjalanan, serta anak-anak yatim.
Sungguh tamparan yang keras bagi orang-orang
yang tidak memperdulikan anak-anak yatim.
Tiba-tiba ingat ada beberapa roti dan minuman
dalam tas. Segera kukeluarkan semua. Kuletakkan di
depannya. Sesaat, bola matanya tertuju padaku. Mungkin
meminta persetujuan untuk memakannya. Segera
kuanggukkan kepala.
“Makanlah Kinanthi, aku tahu kau lapar sedari tadi.”
Ucapku
Dengan anggukkan kepala dan senyumannya yang
indah, ia ambil roti itu dan makan dengan lahapnya.
Kupandangi ia dari ujung kepala sampai ujung kaki. Ach,
Kinanthi, lagi dan lagi untuk kesekian kali kau memberiku
pelajaran hidup untuk selalu tegar menghadapi
kehidupan. Ingat pesan ayah “Dadi menungso kui ojo
dumeh, dumeh ndue duit trus sak karepe, dumeh ora ono
duit banjur pelit.” Yang artinya kira-kira begini.” Jadi
manusia itu jangan sok, ketika punya harta lebih
kemudian lupa dengan sekitar, dan ketika dalam keadaan
sempit justru malas memberi. Seolah takut akan
kemiskinan.
Ayah, nasehatmu singkat namun mendalam
maknanya. Kembali tersadar, Kinanthi tersenyum.
Rini Widiastuti | 67
“Benar, Kinan sudah mandi? Kok ndak wangi?”
Tanyaku.
“Kenapa Kak, kakak jangan heran, Kinan sudah
biasa seperti ini. Hanya menyiramkan beberapa air ke
tubuh tanpa sabun apalagi shampo. Tak ada sabun. Belum
sempat beli, karena belum ada uang untuk membelinya.”
Panjang lebar Kinanthi menjawab pertanyaanku.
Ach, Kinan. Kakak tak mengerti dengan
kehidupanmu yang seperti ini. Wajahmu membuatku
ingin membawamu menjauh dari kemiskinanmu.
Mataku menyapu seluruh ruangan di dalam rumah
ini. Hanya ada tiga ruang. Satu kamar tidur dan
didepannya langsung ruang tamu, ruang shalat, dan dapur
sekaligus kamar mandi. Ach, mataku tercekat pada sebuah
ruang kecil, tempat shalat. Sederhana namun ada
ketenangan di sana. Dalam keterbatasan hidupnya, sang
nenek almarhumah telah mengajarkan arti rasa
ketundukkan, rasa syukur yang mendalam.
Maasya Allah.
“Kak, kakak sudah ashar belum?” Tanya Kinan
membuatku tersentak dari lamuman.
“Belum, Kinan mau jamaah sama kakak? Ayolah.”
Tanyaku balik.
Tak lama kemudian kami shalat berjamaah.
Rini Widiastuti | 69
Perlahan ia lepas pelukannya. Kuhapus airmatanya.
“Tersenyumlah, Kinan, jangan pernah ada airmata
lagi.” Ucapku menenangkannya.
“Kakak pulang dulu ya. Janji besok ba’da dzuhur kita
ketemu lagi.” Ucapku
“Iya, Kak.” Jawab Kinan.
Perlahan kutinggalkan Kinanthi dengan berat hati.
Langkah kaki tertatih mengingat beberapa waktu
kebersamaanku dengannya, gadis kecil, tiga tahun
sendirian tanpa siapapun yang menyayangi. Sedikit
berlari ke jalan besar menuju halte bus. Masih ada
beberapa menit untuk menunggu datangnya bus menuju
ke rumah. Selang sepuluh menit datanglah bus yang ku
tunggu. Lima ribu rupiah, cukup untuk ongkos pulang ke
rumah. Kasihan ibu, pasti sudah khawatir menungguku.
Biasanya siang sudah di rumah.
Sepanjang perjalanan pulang, ingat pertemuan
dengan anak itu. Bagimana tidurnya nanti. Pasti kesepian.
Sendirian. Ach, bodohnya aku. Kenapa tak kuajak saja ke
rumah. Hari kian gelap. Sampailah di halaman rumah. Bus
pun berhenti.
“A...haa...betul juga. Ibu dengan setia menunggu di
teras garasi rumah.” gumamku.
***
***
Esok hari.
Panas terik. Ku tunggu Kinan di tempat pertama kali
bertemu. Satu, dua jam tak jua ia datang. Tanpa pikir
Rini Widiastuti | 71
panjang, aku menuju ke rumahnya. Sepanjang jalan tanpa
sadar senyum-senyum sendiri. Kabar bahagia ini harus
segera kusampaikan kepada Kinan. Tak terasa sampailah
di rumahnya. Sepi. Kosong.
“Ke mana, Kinan ya.” Gumamku
Ku tunggu beberapa saat, tak jua ku lihat batang
hidungnya.
“Ach, Kinan di mana kau, Nak.” batinku.
Ada rasa khawatir mendera hatiku. Kemana
gerangan Kinan. Bukankah kemarin ia kuberi uang.
Harusnya cukup untuk beberapa hari tanpa ia harus
bekerja. Berjalan ke luar menyusuri gang. Lengang.
Mungkin orang-orang lebih memilih berdiam diri di dalam
rumah daripada harus berpanas-panasan di luar rumah.
“MasyaAlloh, kemana Kinan berada?” Hampir tiga
jam menunggu. Bosan menghantuiku. Kembali ke teras
toko berharap Kinan menungguku di sana. Tak ada juga.
Ku tanya orang-orang di sekitar tempat biasa Kinan
kerja.
“Maaf, Pak, Bu, apakah kemarin atau hari ini kalian
melihat anak kecil bernama Kinanthi? Panggilannya
Kinan.” Tanyaku pada bapak penjual di kantin.
“Oh, Kinan. Ada dia tadi pagi makan di sini. Setelah
itu ia pergi lagi. Tunggu saja, sebentar lagi, ia pasti
muncul.” Ucap bapak penjual di kantin.
Rini Widiastuti | 73
“Kinan sudah terbiasa sendirian, Kak. Tak apa.
Kinan juga tak mau merepotkan keluarga kakak.” Ucap
kinan
“Kinan, mau ya.” Bujukku
“Kinan bisa sekolah, bisa ngaji, bisa main tanpa
harus memikirkan esok harus kerja.” Bujukku lagi
“Kinan takut, Kak.” Balas Kinan pelan.
“Apa yang Kinan takutkan?” Balasku.
“Entahlah.” Jawabnya pelan.
“Mengapa harus takut dengan sesuatu yang belum
terjadi?” Balasku tak mau kalah.
“Kak, ijinkan Kinan tetap tinggal di rumah ini,
rumah yang mungkin tak layak disebut sebagai tempat
tinggal. Namun kenangan di sini begitu besar, sulit untuk
Kinan melupakan.” Jawab Kinan dengan suara berat.
“Kinan, meski tinggal di rumah kakak, sesekali
boleh main ke sini ketika Kinan menginginkannya.”
Pintaku dengan pelan.
“Kak, biarkan Kinan tetap di sini, sampai Kinan siap
meninggalkan semuanya” Balasnya dengan nada berat.
Kupeluk Kinan, kuciumi wajahnya. Kutinggalkan
beberapa rupiah untuknya. Meski Kinan menolak.
Setelah berpamitan, dengan langkah berat
kutinggalkan Kinan seorang diri. Tak terasa bulir airmata
jatuh membasahi pipiku. Menjauh dan kian jauh. Senja
Rini Widiastuti | 75
PUISI
DALAM SECANGKIR KOPI
J
iwaku serasa melayang ketika segelintir
kenangan mengaduk-aduk pikiran.
Mengajakku bercengkrama lebih lama. Tak
peduli berapa detik menit jam berjalan, masih asyik dalam
diam. Melintasi hamparan kenang pada ruang yang kuberi
nama Rindu untuk sekadar singgah mengukir kata pada
sebait puisi. Berjibaku antara tanya dan jawab yang nyaris
membosankan namun tetap saja berujung penantian.
Mungkin saja puisi ini kian menyuguhkan sunyi di sisa
luka yang kian menganga.
“Maafkan ketika kutak sanggup lagi meramu
hangatnya cinta yang pernah kau tawarkan, sebab pada
senja pernah kuletakkan harap namun kau patahkan.”
ucapku sendu
“Jangan pernah kau katakan hal yang tak ingin kita
merasakan pedihnya. Bagaimanapun waktu selalu punya
cara untuk menyelesaiakan segala persoalan.” ucapmu
saat itu
Rini Widiastuti | 77
kumainkan jemari hanya untuk mengingat tentang
pahitnya sebuah kejujuran. Barangkali ketika masa
menyudutkan sisi bahagia, biarkan dan nikmati. Namun
ketika masa tak mampu melewati, maka diamlah. Sebab
langit pun terkadang tak sanggup menahan awan untuk
tak menjadi hujan hingga bumi merasakan tetesnya.
“Adakah yang tahu bagaimana mengubah kopi jadi
putih, sebab aku tak pernah punya cara dan yang kutahu
aku hanya menikmati pahitnya bahkan saat tersisa
ampasnya saja.” gumamku.
Pernah dengar ceramah nasihat dari seorang
ustadz namun aku lupa namanya.
“Jika kalian merasa kehilangan sesuatu dalam
hidup, sebenarnya kalian hanya lupa, luopa jika segala
sesuatu hanya titipn bukn milik.” kira-kira begitu
nasihatnya.
Flashback
Suatu hari akan kuceritakan tentang senja yang
terpaksa menghitam dalam dekapan. Kutahan segenap
luka dari seorang pecundang.
"Aku hanya secuil debu yang barangkali
terhempas ketika angin menderu.” batinku
"Di lain waktu, senyum mengembang tak kala
mengingat sebuah lakon yang sungguh miris untuk
Rini Widiastuti | 79
membutuhkan sunyi untuk tahu artinya sendiri, sebab
bukan tidak mungkin cepat atau lambat, kita semua pun
sendiri menasbihkan deretan Rindu pada tiap kisah yang
kadang terjeda, menghitung berapa langkah ditiap
persinggahan yang terkadang membosankan. Meski pada
akhirnya kita harus tunduk pada takdir. Hanya butuh
kesederhanaan untuk memahami cinta yang
sesungguhnya. Dalam keikhlasan cinta bicara.
Hal yang paling nyaman menurutku adalah kala
kumampu duduk dengannya walau hanya sekadar
menikmati senja tanpa ada embun dikedua sudut mata.
Aku masih percaya bahwa senja akan selalu hadir dengan
sajian jingga, debur ombak yang menggulung, dan suara-
suara burung yang mencicit terbang rendah, sesekali
menukik memangsa ikan-ikan yang muncul dipermukaan.
Ya, itu memang benar. Karena aku selalu bisa
menikmati setiap kejutan manis bahkan menyakitkan
sekalipun, seperti senja yang sebentar lagi menghitam di
setiap penghujung kehadirannya. Perlahan kuseret
langkah, memahatkan jejak-jejak tanpa alas di atas
butiran pasir. Menyentuh gulungan ombak yang masih
saja silih berganti berlarian. Sebentar lagi mentari lenyap
di telan bumi.
“Kurasa persinggahanku cukup sampai di sini,
cukup untuk melepaskan segenap penat yang mengharu
Rini Widiastuti | 81
terdalam, namun lagi dan lagi bayangan kembali
menggenang.
“Masihkah kau ingat saatku bicara bahwa senja
akan kembali?” bisikku padamu saat itu.
Namun kau hanya diam membisu, bahkan
menganggapku tiada. Dan aku tak peduli.
Dan lagi kuberkata.
“Pada angin pun pernah kutitipkan kabar tentang
ombak yang menggulung, tentang elang yang
mengepakkan sepasang sayapnya, tentang jingga yang
menorehkan warnanya, tentang banyak hal yang
sebelumnya tak pernah kita nikmati bersama.” ucapku
saat itu.
Namun lagi dan lagi kau tak peduli.
“Buat apa kita menasbihkan angin tanpa tahu di
mana ia singgah dan menetap. Manusia pasti punya
kebosanan yang hinggap dan itu aku. Kita tak perlu
memaksakan diri untuk tetap bicara bahwa kita sanggup
melewati semuanya.” ucapmu saat itu.
Dan aku pun terdiam tanpa terasa perih di kedua
sudut mata dan bulir bening jatuh perlahan.
“Tapi apakah kau paham bahwa di setiap
perbatasan waktu selalu ada jeda yang membuat kita
terhenti meski sesaat? Tidakkah itu cukup buatmu
mengutuhkan kembali puing-puing yang terserak? Bukan
Rini Widiastuti | 83
Aku perempuan yang pernah membenci senja,
sebab ia torehkan luka namun aku pun kembali
menyukainya tanpa peduli ada atau pun tidaknya dia. Aku
selalu punya pilihan namun aku tak lagi memiliki
kesempatan untuk bertarung di antara sekian banyak
pilihan. Pikiranku terlalu dangkal untuk sekadar
memahami arti gelak tawa, derai airmata, bahkan senyum
tanpa kata.
Rini Widiastuti | 85
Dari Abu Hurairah ra, berkata: Rasulullah SAW bersabda:
H
adir tanpa permisi dengan tatapan
teduh namun tajam menghujam.
Menyingkap suara hati dalam dekapan
hangat. Kutulis kembali sebuah catatan tentang setia kala
senja.
Terdengar telfon masuk. Lantas kubuka. Terdengar
ucapan salam.
“Assalamu’alaikum.” Ucapnya
“Wa’alaikumsalam.” Balasku.
“Bagaimana kabarmu? Semoga selalu baik-baik saja.”
Harapnya.
“Alhamdulillah baik. Aamiin ya Rabb. Makasih ya.”
Balasku.
“Saat ini Dinda di mana?” Tanya Gaza
“Hayoo di mana coba? Memangnya kenapa kok
tumben nanya?” Balasku menggoda.
“Ditanya baik-baik, ya jawablah Din.!” Sahutnya agak
kesal.
“Rumah.” Jawabku singkat
Rini Widiastuti | 87
“Dinda, banyak hal kita lewati. Terus terang selama
ini aku mengamati orang. Tapi ketika aku mengamatimu,
lama-lama boleh juga. Aku mah to the point aja daripada
dipendam.” Ucapnya tanpa ragu. Dan itu membuatku
sedikit kaget.
“Kok bisa?” Jawabku heran
“Alasannya adalah karena aku menyayangimu. Aku
ingin menjadikanmu tempat berbagi banyak hal. Dan yang
pertama membuatku mulai memperhatikanmu secara
diam-diam adalah karena kamu memiliki perasaan yang
dalam. Karena biasanya sastrawan hatinya dalam.”
Ucapnya dengan penuh kelembutan. Hingga membuatku
tak tau harus bilang apa.
“Maasya Allah, kenapa harus aku? Aku memang suka
dunia sastra. Namun kusudah punya kekasih. Dan
sebentar lagi kami menikah.” Jawabku terus terang
namun tak urung membuatku sedih juga. Entah mengapa,
aku pun sebenarnya bimbang dengan calon suamiku. Ada
ketidakjujuran yang belum bisa kuungkap.
“Kalau Dinda tanya kenapa, ya aku tak tahu dan
memang benar-benar tak tau jika Dinda sudah akan
menikah.” Jawabnya dengan nada sedih.
“Masih banyak gadis yang lebih baik dariku, bahkan
lebih segalanya.” Balasku menekankan. Namun jauh di
dalam hati, ada rasa perih menghujat.
Rini Widiastuti | 89
“Alhamdulillah baik. Ini baru nyusun berkas,
lumayan banyak menyita waktu. Padahal tadi mau santai.
Tapi kok ada saja kerjaan.” Jawabku.
“Maasya Allah, semangat ya Din. Selalu ada Rindu
untukmu dihatiku. Balasnya membuatku terkejut.
Padahal selama ini calon suamiku saja tak pernah
mengatakan hal itu. Jangankan bilang Rindu, tanya kabar
pun jarang. Terlalu cuek atau memang karena kami
dijodohkan dengan keterpaksaan. Entahlah.
Jika ingat bahwa kupernah menemukan fotonya
berdua dengan perempuan. Mesra. Rasanya ingin
kuteriak. Bukan cemburu tapi tidak suka dengan
ketidakjujurannya. Namun lagi dan lagi kuharus menjaga
perasaan keluarga.
“Aku tak terlalu berharap dengan hubunganku kali
ini. Hanya semata menjaga dua keluarga. Itu saja.” Batinku
sesak.
Tiga bulan berlalu
Dan pada akhirnya semua terbuka. Calon suamiku
ternyata selingkuh dibelakangku. Terbukti dengan adanya
video dan chat di ponselnya. Alhamdulillah adiknya masih
berbaik hati memberitahuku dan keluarga. Dan tanpa
berpikir panjang, semua harus diakhiri.
Rini Widiastuti | 91
Ba’da Isya’.
Dia menghubungi lagi.
“Dinda, sebenernya aku baru mengenalnya. Tapi
malas juga liat orang cuek jutek gitu. Jadi ya, nggak jadi
pendekatan dengannya. Lebih baik fokus memikirkan
untuk hal-hal yang bermanfaat aja dech. Lagian kan ada
kamu dihatiku.” Jawabnya mengejutkan.
“Kamu nich, ujung-ujungnya aku yang jadi alesan.
Bisa saja. Kalau dekat, kujitak kali ya.” balasku.
Terdengar suara tawa lepasnya. Tawa yang selalu
kuRindukan.
“Dinda, kamu tuch staff di kantor atau bos?”
Tanyanya tiba-tiba.
“Apa hayyo... coba tebak.” Balasku.
“Mungkin kerja di sebuah perusahaan atau
semacamnya.” Tebak Gaza.
“Apa aja dech, terserah kamu, lhah katanya suka
mengamatiku kok kerjaanku tak tau...?!” Balasku.
“Eh...hayyo suka intip statusku...” godaku.
Terdengar tawa di seberang sana.
“Kamu tuch orangnya anggun dan manis.” Ucapnya
“Masa sich?!” Balasku
“Aku mah ngomong apa adanya.” Ucapnya sambil
tertawa.
“Ampyuun dech.” Balasku sambil tepok jidat.
Rini Widiastuti | 93
“Dinda, kok diam? Tidurkah?” Tanyanya
mengagetkanku.
“Terkadang, kita tak harus memahami untuk
sesuatu yang tak kita mengerti mengapa terbentur pada
takdir. Cukup berpasrah diri bahwa itu yang terbaik untuk
kita jalani sebab Allah ta’alla lebih tau hamba-Nya.”
Ucapku kembali.
“Maasya Allah, semoga Allah Ta’alla menambah
kebaikan padamu dan padaku, Din.” Balasnya
“Din, kamu mau taukah? Perempuan yang kemarin
kuceritakan, Dia jarang upload foto. Dia punya hobi naik
sepeda gunung, dia pandai bahasa arab, dia guru ngaji, dia
kutu buku. Cuma anehnya dengan orang-orang di kolom
komentar, dia tanggepi. Denganku cuek.” Ucapnya
menggebu.
“Dia beraliran teroris kali ya? Astaghfirullah.
Kenapa jadi ghibah gini kita ya. Kayak emak-emak.”
Ucapnya sambil tertawa.
Baru nyadar dia dah mirip emak-emak.
“Sudah stop, iya nanti jadi ghibah. Tak usah marah
dan kesal di sosmed. Kamu mampu. Kamu kuat
menghadapi. Mungkin memang belum waktunya. Kamu
masih muda, insya Allah jalanmu masih panjang untuk
bisa menemukan yang terbaik menurut-Nya.” Ucapku
menguatkannya.
Rini Widiastuti | 95
“Bisa saja kamu ya. Tak bosankah bilang Rindu
terus?” Balasku sambil senyum.
“Oya, aku sedang menulis cerpen. Endingnya
seperti apa belum tau. “Ucapku menjelaskan.
“Maasya Allah Din, hebat kamu. Bagi dong
cerpennya.” Pintanya.
“Belum selesai, Cuma endingnya agak berbeda.
Yang perempuan posisinya mau menikah tapi tidak jadi
karena calonnya selingkuh. Mungkin endingnya menikah
atau jalan sendiri-sendiri.” Jawabku
“Wah kayak drakor aja ya, kamu dah makan?”
Tanya Gaza. Lucu panggilan itu.
“Lagi males aja. Ndak tau kenapa. Kamu mau masak
buatku kah? Siapa tau aku mau.” Pintaku
“Ayo, tinggal ada bahan apa saja di kulkasmu, Din.
Aku kan punya resto. Bisa dong masak.” Jawab Gaza
antusias. Membuatku terkejut.
“Bolehkah kutanya. Sebenarnya kamu lahir di
mana? Selama ini kamu tinggal di Jakarta sendirian?
Lantas di mana kedua orangtuamu?” Tanyaku penasaran.
Daripada diam tak ada percakapan.
“Wah sejak kapan Dinda tertarik dengan
kehidupanku? Okelah. Aku asli anak Minang, Sumatera
Barat. Asalku dari Alahan Panjang, Minang. Kami empat
bersaudara. Aku nomor tiga. Kakak dan ade’ perempuan
Rini Widiastuti | 97
beradu. Ku tundukkan wajah, meneruskan makan dan
mencoba menenangkan jantungku.
“Tidak, kamu tak boleh tau isi hatiku! Batinku
“Din, kok diam?” Tanyanya sambil menjitak
kepalaku. Membuatku kaget.
“Oya, kalau buat status jangan yang aneh-aneh.
Nanti jika ada yang tanya, kamu mau jawab apa? Suatu
saat, mungkin Rindu itu bukan untukku lagi. Untuk
seseorang yang mungkin suatu saat jadi kekasihmu atau
bahkan istrimu. Entah kapan, tapi mungkin akan tiba.”
Ucapku perlahan. Sampai detik ini ia tak tau bahwa ku
sudah lama sendiri. Dan sampai detik ini bahwa ia tak tau
aku mulai mencintainya. Biarlah.
“Din, aku akan selalu meRindukanmu, sampai
kapanpun.” Ucapnya mengejutkanku kembali.
“Pinter merayu ya, orang Minang.” Sanggahku
sambil tertawa.
“Aku tuch bicara apa adanya.” Balasnya cepat.
“Oh ya, aku ada puisi, mau bacakah?” Sambil
menyerahkan buku catatanku.
“Mana?” Sambil meraih catatan.
Rini Widiastuti | 99
tersiksa karena sebuah Rindu di hatinya. Yang tak jelas
akhir dari Rindu tersebut.” Jawabnya mencoba menelaah
isi puisiku.
“Iyeeeeees, Bener bangets. Aku sedang mendalami
cerpenku, jadi sedihnya mengalir begitu saja.” Balasku
menutupi rasa.
“Dinda, raut mukamu tanpa kamu jelaskan pun
sudah mewakili kesedihan itu. Bisakah Dinda jujur yang
sebenarnya?” Pinta Gaza menyudutkanku.
“Entahlah, tak bisa dijelaskan dan mungkin memang
tak perlu dijelaskan. “Balasku sambil mengalihkan
pandangan.
“Jelaskan padaku, Dinda.” Pintanya sedikit
memaksa.
“Haruskah?” Jawabku pendek.
“Aku tak memaksa, aku hanya ingin ikut merasakan
suara hatimu. Bila engkau memiliki getaran hati yang tak
beraturan, kan ada aku tempat berbagi perasaan.”
Balasnya kian membuatku mau tak mau tanpa sadar
kedua mata terasa perih.
“Sudahlah, lupakan! Aku tak apa-apa. Jawabku
pelan.
“Din, ya sudah, jika itu maumu. Aku tak kan
memaksa. Aku kembali ke tempat kerjaku ya.” Ucapnya
Gaza
Ada apa sebenarnya denganmu Dinda? Mengapa tak
mau terbuka denganku. Aku tahu ada beban berat di
hatimu. Aku memang menyerah tak kala tahu bahwa
kamu akan menikah. Namun aku tak pernah surut untuk
selalu mencintaimu. Bahkan setiap saat aku
meRindukanmu.
Dinda, meskiku tak mampu membacamu di antara
tarikan nafasku, Saksikanlah bahwa keRinduanku
mengikat erat di kedalaman lubuk hatimu.
Dinda
Maafkan aku jikaku tak pernah bisa terbuka cerita
semuanya. Satu hal yang kutakutkan ketika kamu tahu
bahwa aku mencintaimu. Justru kamu sudah tak ada rasa
itu lagi sebab keterusteranganku dulu tentang
pernikahanku. Sekarang aku hanya berusaha perlahan
melupakan perasaanku padamu.
Taukah engkau bahwa di antara tawaku, ada
sendu yang mengguncang dada. Terlalu sulit untuk
kuungkapkan, terlalu sulit untuk kuteriakkan. Hingga
S
emburat merah perlahan beranjak dari
peraduannya. Seiring munculnya mentari
di ufuk timur. Perlahan namun pasti,
panasnya kian terasa menyengat. Entah mengapa
beberapa hari ini udara terasa tak bersahabat. Atau
mungkin aku yang terlalu berharap hujan segera
mengguyurkan airnya. Membasahi tanah yang sekian
lama kering tanpa tetesan. Atau mungkin memang aku
yang sejak kecil menyukai hujan.
Hujan membuatku lelap dalam tidur. Hujan
membuatku kangen padanya. Hujan membuatku tahu
bahwa hamparan bumi membutuhkan kehadirannya.
Hujan menjadikanku merasakan kelembutan belaian-Nya.
Aku terbiasa dengan hujan.
Namun kali ini terik seakan mengulitiku. Inilah yang
membuatku merasa enggan keluar rumah. Panasnya kian
menyengat. Memberi isyarat untuk segera bangkit dari
tempatku duduk. Sejak ba’da subuh tadi, masih betah
untuk menikmati semilir angin di beranda rumah.
***
PASAR
Oh ya. Saat di pasar, kami membeli beberapa lauk-
pauk untuk dimasak serta stok satu minggu ke depan. Jadi
lebih hemat daripada membeli di warung-warung. Ada
beberapa cemilan yang kami beli. Karena satu rumah
memang hobi ngemil.
“Bu, cabe seperempat, buncis satu kilo, daun
bawang setengah kilo, kangkung enam ikat, pare satu kilo,
daun kol 1 kilo, kacang Panjang setengah kilo. Tolong
dihitung, berapa semuanya.” pintaku ke ibu-ibu pedagang
saat selesai mengumpulkan sayuran dan menimbang.
“Cabe limabelas ribu, buncis tujuh ribu, daun
bawang sepuluh ribu, kangkung enam ribu, pare sepuluh
ribu, daun kol sepuluh ribu, kacang panjang lima ribu. Jadi
total enampuluh tiga ribu, Neng.” jawab ibu pedagang.
***
RUMAH
Beberapa pekerjaan selesai. Bergantian
membersihkan diri di kamar mandi. Kebetulan kamar
mandi ada dua, jadi tak perlu antri. Kulihat bapak dan
adik masih belum selesai. Mereka terlihat asyik di
halaman. Sesekali istrirahat sejenak untuk melepaskan
lelah.
Sarapan pagi menjelang siang. Rutinitas setiap
hari minggu. Berbeda dengan hari-hari lain. Makan pagi
dan malam sering kami lakukan bersama. Begitulah cara
kami sekeluarga menjaga rasa kebersamaan.
Tanpa terasa waktu terus berlalu. Banyak hal
terjadi. Banyak hal dilewati. Masing-masing memiliki
kesibukan yang berbeda. Tapi tak pernah lupa untuk
saling mengingatkan. Sebulan sekali untuk
menghilangkan rasa penat, kami sekeluarga refresing.
Memperbaiki mood judulnya. Mempererat kebersamaan.
Menjalani apa yang memang harus dijalani. Terkadang
ada rasa kangen masa-masa kecil. Bermain tanpa beban.
Tanpa masalah yang berarti. Namun ketika kami bertiga
***
L
angit nyaris tanpa awan. Penat bergumul
memenuhi sebuah area taman. Terlihat
keramaian manusia menjelaskan bahwa
mereka tak peduli dengan panasnya mentari.
Sesosok wajah diam menatap kosong tanpa
ekspresi seolah ia pun tak sadar bahwa terik kian
menggila.
Asraf. Pecinta sekaligus penikmat keindahan
alam bersama prosa. Rangkaian kata hingga catatan kecil
bercoretkan kalimat indah, selalu ia bawa.
Sekuntum senyuman bertengger manis selama
menuliskan kalimat demi kalimat dalam catatan kecilnya.
Imajinasinya terbang menembus langit. Mungkin tak kala
ia diam menatap kosong tanpa ekspresi adalah caranya
berkomunikasi dengan alam hingga terwujud dalam
rangkaian kisah.
Kembali langkah kaki mengajaknya bergumul
menikmati ramainya kota Yogyakarta. Menikmati gang-
gang kecil dan sesekali memperhatikan dengan seksama
K
ehidupan sampai detik ini masih
berjalan. Menjejak, meninggalkan
kenang yang kian waktu kian
membludak. Menjadi sebuah memori di setiap sudut
ruang bernama hati. Kadang menggelitik, menggoda
untuk menuliskannya. Persinggahan demi persinggahan
membekas dan meninggalkan aroma yang terkadang sulit
untuk kuhentikan perputarannya. Menari-nari
mengajakku bercengkerama lebih dalam. Menggeruskan
rasa hingga menghadiahkan tetesan air di kedua sudut
mata.
Adakalanya kita harus meletakkan sejenak rasa,
meski ia memanggil penuh warna. Dan membiarkan
logika memainkan perannya. Sebab ruang yang bernama
hati bukan batu atau kayu yang bisa semudah itu dibentuk
sesuka hati. Biarkan detak waktu terus mengukir
sejarahnya hingga kita mampu bercerita pada anak cucu
bahwa negeriku terus saja mengeluaran airmata. Ah,
terlalu naïf rasanya jika bercanda bahwa nestapa suatu
saat tergantikan tawa. Tak semudah itu.