Anda di halaman 1dari 166

Cover

i
Cover Hitam Putih

iii
Terpaut Oleh Waktu
Ramses Media 2022

Cetakan pertama, Oktober 2022


Diterbitkan oleh : Ramses Media
Jl. Kumbang No. 14, Bogor 16151
Telp. 085358874079
Email : ramsesmedia@gmail.com

Editor
Angel Chatarina Siregar

Layout dan Desain Cover


Angel Chatarina Siregar

ISBN 978-602-1106-01-8

Dilarang keras memfotokopi atau memperbanyak


sebagian atau seluruh isi buku tanpa izin tertulis dari
penerbit

ii
Sanksi Pelanggaran Pasal 113 Undang-undang
Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta

1. Setiap orang yang dengan tapa hak melakukan


pelanggaran hak ekonomi sebagaimana dimaksud
dalam pasal 9 ayat (1) huruf untuk penggunaan
secara komersial dipidana dengan pidana penjara
paling lama 1 (satu) tahun dan/atau pidana
denda paling banyak Rp.100.000.000,00 (seratus
juta rupiah)

2. Setiap orang yang dengan tapa hakdan/atautanpa


izin pencipta atau pemegang hak cipta melakukan
pelanggaran hak ekonomi pencipta sebagaimana
dimaksud dalam pasal 9 ayat (1) huruf c, huruf d
huruf f, dan atau huruf h, untuk penggunaan secara
komersial dipidana dengan pidana penjara paling
lama 3 (tiga) tahun dan/atau pidana denda paling
banyak Rp. 500.000.000,00 (lima ratus juta
rupiah)

3. Setiap orang yang dengan tapa hak dan/atau


tapa izin pencipta atau pemegang hak melakukan
pelanggaran hak ekonomi pencipta sebagaimana
dimaksud dalam pasal 9 ayat (1) huruf a, huruf b,
hurufe, dan atau huruf g, untuk penggunaan secara
komersial dipidana dengan pidana penjara paling
lama 4 (empat)tahun dan/atau pidana denda paling
banyak 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah)

4. Setiap orang yang memenuhi unsur sebagaimana


dimkasud pada ayat (3) yang dilakukan dalam
bentuk pembajakan, dipidana dengan pidana
penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun atau
pidana denda paling banyak Rp4.000.000.000,00
(empat milyar rupiah)
iii
Kata Pengantar
Alhamdulillah, segala puji dan syukur
penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa.
Karena berkat limpahan karunia-Nya, kami dapat
menyelesaikan penulisan buku dengan judul Terpaut
Oleh Waktu. Di dalam penyusunan buku ini penulis
telah berusaha semaksimal mungkin sesuai dengan
kemampuan penulis demi penyelesaian buku novel
ini. Sebagai manusia biasa, penulis tak luput dari
kesalahan ataupun kekhilafan baik pada segi penulisan
ataupun tata bahasa itu sendiri.
Kami menyadari tanpa adanya arahan dari
guru pembimbing serta masukan dari berbagai
pihak yang telah membantu, mungkin kami tidak
bisa menyelesaikan Novel ini tepat waktu. Buku
novel ini dibuat sedemikian rupa semata-mata untuk
membangkitkan minat baca serta dapat menginspirasi
bagi para pembacanya.
Dengan kerendahan hati, penulis hanya bisa
menyampaikan ucapan terima kasih kepada semua
pihak yang terlibat dalam proses penyelesaian buku
ini. Semoga karya tulis ini dapat bermanfaat dan
mudah dipahami bagi penulis khususnya serta para
pembaca pada umumnya.

Bogor, 18 Oktober 2022

iv
Daftar isi
Keajaiban Ada Bagi Yang Percaya
Abyan Abdullah Ashar........................................... 1

Tak Seindah Harap


Adysti Nur Fitriani..................................................11

Satu Kuadrat
Alfina Damayanti................................................... 21

Diajar, Belajar, dan Terpelajar


Alma Rahayu..........................................................31

Angel, Angelin dan Gengsi


Angel Chatarina Siregar..........................................41

Terpaut Oleh Waktu


Eria Masdiani.........................................................51

Melukis Harapan
Febiola Dwi Mentari.............................................. 59

Apa Yang Salah Dengan Tidurku?


Annisa Puspa Kirana.............................................. 67

Anak Petani Yang Sukses


Novita Tambunan.................................................. 75

Rumah Tanpa Jendela


Putri Nopiandini.................................................... 83

v
Koma Lalu Titik
Riska Mutezah........................................................ 93

Aku Pulang
Rosyida Haifa......................................................... 105

vi
Keajaiban Ada Bagi
Yang Terpercaya
Karya Abyan Abdullah Ashar

S pongebob
Squarepaaaants.
Squarepants, Spongebob

Begitulah suara yang sering terdengar setiap


pagi sebelum aku berangkat sekolah. Aku selalu
menyempatkan waktu untuk menonton kartun itu
setiap pagi. Oiya, saat itu aku kelas tiga SD, dan tidak
lama lagi aku akan naik ke kelas empat. Ahh aku
hampir tidak percaya, cepat sekali waktu berjalan.
Rasanya kemarin baru saja aku baru lulus dari TK. Apa
jangan-jangan nanti ketika aku sudah besar juga tidak
terasa ya.
“Bang Iyan, cepat dihabiskan ya sarapannya,
sebentar lagi Bang Udin datang.”
"Oke umi," sahutku dengan nada pelan.
Akhirnya sarapan pagiku habis. Tak lama juga
Bang Udin datang. Bang Udin adalah orang yang
biasa antar-jemput aku ke sekolah. Sebagai anak yang
patuh terhadap orangtua, aku memiliki tradisi khusus
sebelum berpergian, yaitu mencium tangan lalu
Terpaut Oleh Waktu

mencium kedua pipi mereka.


Tiin, tiin.
Suara klakson itu menandakan bahwa aku harus
segera jalan, karena Bang Udin tidak hanya menjemput
aku saja, tapi juga dengan anak-anak lainnya dari SD
Muhammadiyah.
“Dadaaaah umi, ayah, aku berangkat dulu yaa!”
Aku menatap mereka berdua, dibalik ayunan
tangan yang kulambaikan terlihat senyuman mereka
yang begitu hangat, dan itu membuat aku senang
melihatnya.
“Hati-hati di jalan ya abang!” kata umi dan ayah
sambil melambaikan tangannya padaku.
Kata-kata itu seakan menjadi jimat untukku,
entah kenapa ketika mereka mengatakan itu
seakan aku merasa akan baik-baik saja ketika dalam
perjalanan. Aku sudah siap!
“Bang Udin, ayo kita berangkat!” ucapku kepada
Bang Udin dengan penuh semangat.
“Okee mari kita berangkat!”
Di perjalanan terbayang suara gelak tawa,
canda dan segala perilaku teman-teman yang selalu
saja membuat hati ini merasa rindu. Aku tak sabar
bertemu mereka!. Padahal tiap hari bertemu, tapi
entah kenapa hati ini selalu saja rindu, aneh. Tapi aku
yakin, karena itulah aku jadi bersemangat untuk pergi
ke sekolah setiap hari.
Selain itu, ada kebiasaan unik yang suka aku
lakukan ketika sedang di perjalanan. Aku suka melihat
keadaan sekitar, bertanya-tanya segala hal yang
aku lihat dalam kehidupan, mengapa orang dewasa
terlihat sangat sibuk, mengapa orang bisa bersedih,
dan banyak pertanyaan lainnya yang muncul dalam
pikiranku saat melihat keadaan sekitar. Ketika banyak
pertanyaan itu muncul seketika aku merasa menjadi
filsuf walau hanya sesaat. Dasar aku, sukanya
berkhayal saja.
Jam sudah menunjukkan pukul tujuh tepat.
Untungnya kelas dimulai jam tujuh lewat lima belas,

2
Keajaiban Ada Bagi Yang Percaya

lega rasanya. Bang Udin memang tidak pernah


terlambat saat mengantar ke sekolah. Terimakasih
Bang Udin, jasamu tidak akan ku lupakan.
Setelah mengucapkan terimakasih kepada
Bang Udin, aku bergegas masuk ke dalam kelas untuk
menyapa teman-teman disana.
Sekolah berlangsung seperti biasanya. Kami
belajar, lalu bermain ketika waktu istirahat tiba,
bercanda ria, tertawa hingga puas, indah rasanya, aku
ingin setiap hari seperti ini, agar aku selalu bahagia.
Namun nyatanya, realita memang tak selalu
berakhir dengan apa yang kita inginkan. Sebelum kelas
hari ini selesai, ibu guru menyampaikan informasi
bahwa hari ini adalah hari terakhir untuk sekolah.
Karena besok adalah jadwal pembagian rapot.
Seisi ruang kelas langsung ramai dengan suara
girang dari semua murid di kelas. Karena itu tandanya
liburan akan segera tiba. Cepat sekali rasanya ya
Tuhan. Jujur saja aku belum siap berpisah dengan
teman-teman. Aku saja bingung untuk menunjukkan
ekspresi seperti apa, sedih atau senang. Sepertinya
semua rasa itu jadi satu.
“Iyan, kamu kenapa keliatan sedih begitu?”
tanya Raysa yang kebingungan karena melihat aku
yang sedih padahal libur akan tiba.
“Aku masih ingin bertemu dengan teman-teman
ray.”
“Yaampun Iyan, nanti pas liburan kan kalian juga
bisa ketemu.” “Iyasih, t-tapi ray...”
“Udahhhh pokoknya nanti kita janjian buat main
sama temen-temen lain ya, biar kita bisa tetep ketemu
walau liburan.”
“Baiklaah.”
Iyasih bisa ketemu, tapi rasanya pasti berbeda.
Lagipula kalau liburan paling hanya bertemu beberapa
kali saja. Tapi ya sudahlah, lebih baik aku terima saja.
Toh juga tidak ada yang akan berubah juga kalau aku
sedih.
***

3
Terpaut Oleh Waktu

“Dadaaah Bang Udin, hati-hati di jalan ya!”


Lama aku melambaikan tangan kepada Bang
Udin. Aku takut itu adalah lambaian tangan terakhir
kepada Bang Udin. Ketika Mobilnya yang berwarna
hijau itu sudah hilang dari pandanganku, baru aku
berhenti melambaikan tangan.
Aku bergegas masuk rumah, ingin cepat
memberitahu umi dan ayah bahwa besok rapot akan
dibagikan. Wali murid wajib ikut untuk mendampingi
anaknya mengambil rapot. Sebenarnya tidak hanya
sekedar ambil rapot, tapi wali murid wajib ikut karena
biasanya saat ambil rapot, wali murid juga akan
diceritakan tentang apa saja yang sudah dilakukan
oleh anak mereka ketika satu semester di sekolah.
Tok tok tok. Bunyi suara pintu di ketok.
“Assalaamu’alaikum ayah, umi, aku pulang!!!”
Kubuka sepatu, lalu aku langsung masuk ke
rumah.
Dari pintu masuk rumah, aku melihat siluet
ayah dan umi yang sedang duduk santai di teras
rumah. Sepertinya mereka sedang membicarakan
sesuatu yang serius. Aku yang penasaran langsung
menghampiri mereka.
“Eh abang sudah pulang ya, cepat juga ya hari
ini pulangnya. Sini Bang duduk di samping ayah," ayah
menggeser tempat duduknya agar aku bisa duduk di
sampingnya.
Begitulah sosok pria yang selama ini
membesarkanku. Dibalik tubuhnya yang gagah
itu terdapat hati yang sangat lembut. Ayah sangat
menyayangi keluarganya, ketika marah pun, tak
pernah sekalipun beliau mengeluarkan kata-kata
kasar ataupun melakukan kekerasan fisik. Beliau
selalu punya cara terbaik dalam menyelesaikan setiap
permasalahan yang sedang dihadapi.
Mungkin karena itu juga, aku jadi tumbuh
sebagai anak lelaki yang susah untuk berkata kasar
apalagi melakukan kekerasan.
“Makasih ayah. Oiya umi, ayah. Besok ada

4
Keajaiban Ada Bagi Yang Percaya

pembagian rapot, jadi umi sama ayah harus ikut ke


sekolah besok.”
“Waah anak umi sudah mau naik kelas empat SD
yaa, gak kerasa lho padahal dulu masih suka nangis,
nggak mau jauh-jauh dari umi, masih ngompol,“ kata
umi dengan nada mengejek
“Ishh udah umi, maluu. Lagipula aku kan sudah
besar sekarang," aku berusaha mengelak.
“Hahaha umi cuman bercanda. Iya besok
InsyaAllah umi dan ayah datang ke sana. Tapi sebelum
itu, umi mau nanya ke abang. Kan sekarang abang
udah besar, jadi gimana jawaban abang atas tawaran
umi dan ayah dua tahun lalu?”
Seketika pikiranku seakan flashback ke dua
tahun lalu. Tahun dimana aku masih kelas satu SD.
Aku berusaha mengingat tawaran apa yang waktu itu
pernah diberikan umi dan ayah kepadaku. Yang pasti
ketika aku berusaha mengingat hal itu, hatiku merasa
sedih. Duh, ada apa ini. Otakku blank. Aku lupa!
“Abang lupa ya?” tanya umi.
“Iya mi, hehe.”
“Yaudah, umi coba bantu ingetin lagi yaa. Jadi,
setelah mempertimbangkan banyak hal. ayah dan umi
ingin menyekolahkan kamu di Boarding School. Sudah
saatnya kamu belajar untuk mandiri.”
“Oh…” kataku dalam hati.
Mungkin ini yang membuat aku merasa sedih
tadi pagi di sekolah. Ternyata benar apa yang aku
khawatirkan. Besok adalah hari terakhir aku bertemu
dengan teman-teman.
“Ada apa bang?, Kok kamu kelihatannya sedih
begitu,” ayah heran melihat wajahku yang tiba-tiba
menjadi cemberut.
Bagaimana aku tidak sedih jika aku harus
menginggalkan teman-teman di sekolah. Aku juga
belum memiliki gambaran apapun tentang bagaimana
cara bertahan hidup disana, jauh dari kedua orangtua,
terus kalau aku ada masalah atau kesulitan, nanti siapa
yang mau bantu coba. Hanya bisa pulang ke rumah

5
Terpaut Oleh Waktu

setiap lima bulan sekali, belum lagi disana tidak ada


orang yang aku kenal.
“Aku masih mau bersama dengan teman-teman
di sekolah, lagipula di pondok juga aku gak punya
kenalan siapa-siapa ayah. Nanti kalau aku kenapa-
kenapa, gimana dong?” aku berusaha memberitahu
kalau aku masih belum siap untuk pindah sekolah.
“Lah abang lupa?, kan disana ada Kak Najla.
Nanti kalau ada apa-apa kamu bisa laporin aja ke Kak
Najla,” umi berusaha meyakinkan. Sepertinya mau
bagaimana alasanku, keputusannya akan tetap sama.
Pindah sekolah.
Bagaimana mungkin aku bisa lupa. Di sana aku
punya sepupu perempuan yang berada satu tingkat
diatasku. Aku mulai berpikir lagi. Mencari alasan lain,
walau aku tau pasti semua alasanku akan ditepis oleh
jawaban yang tidak terbantahkan dari umi dan ayah.
Tapi, tidak ada salahnya kan buat terus mencoba.
“Memangnya apa aja yang ada disana yah?” aku
bertanya penasaran.
“Nanti disana kamu bisa kenalan sama temen-
temen dari berbagai daerah, tempatnya juga luas
banget, kamu pasti puas bermain disana. Kalau kamu
masih penasaran, sekarang kita coba hubungin Kak
Najla ya,” ayah mengambil telepon genggamnya lalu
mulai mencari kontak orangtua Kak Najla. Karena ini
bulan Mei, jadi Kak Najla sudah mulai libur semester.
“Halo, Assalaamualaikum,” Kak Najla
mengucapkan salam. Lalu, ayah menyerahkan telepon
genggamnya kepadaku.
“Wa’alaikumsalam, Halo ini Iyan kak.” “Waah Iyan
gimana kabarnya?” “Baik, kakak gimana kabarnya?”
“Alhamdulillah baik juga, sekarang kakak lagi
liburan semester nih. Oiya ada apa Iyan?” “Begini kak,
jadi aku kan mau masuk ke boarding school yang sama
kayak Kak Najla. Nah aku mau tau dong kak cerita
kakak disana.”
“Wahh Iyan kebetulan si Ghifari juga mau
didaftarin ke sana. Sekarang dia kelas tiga SD, InsyaAllah

6
Keajaiban Ada Bagi Yang Percaya

tingkat selanjutnya dia juga disana. Nanti kita bisa


main bareng deh disana. Oiya, disana enak banget
tauu. Banyak hal-hal seru yang nggak akan kamu bisa
temui di sekolah lainnya," Kak Najla menjelaskan
dengan sangat antusias.
Kak Najla menerangkan bahwa disana aku akan
menemukan banyak teman yang berasal dari berbagai
macam daerah, suku, ras, budaya, bahkan negara.
Selain itu, disana juga memiliki banyak ekstrakulikuler.
mulai dari olahraga, seni, hingga sains. Dari olahraga
itu ada basket, sepak bola, hoki lapangan, badminton,
tenis meja, voli, atletik, hingga tenis lapangan. Dari
bagian seni juga tak kalah banyaknya, mulai dari
paduan suara, dance, gamelan, band dan masih
banyak lainnya.
Gawat, sepertinya keyakinanku mulai runtuh.
Aku mulai mempertimbangkan tawaran tersebut.
Baiklah, lagipula tidak salah juga aku mencoba hal
baru yang ke depannya akan baik untuk diriku sendiri.
Saat aku masih berusaha memantapkan hatiku.
Kak Najla mengatakan bahwa di sana juga ada
Indomaret dan Warnet. Ya, aku tidak salah dengar.
Saat itu juga hilang semua keraguan dan pertanyaan
yang ada di dalam pikiranku. Langsung aku mantapkan
hati untuk pindah ke Boarding School. Aku yang hobi
bermain game mana mungkin bisa menolak tawaran
tersebut.
“Terimakasih Kak Najlaa, Assalaamu’alaikum,”
aku menutup telepon.
“Bagaimana Bang, udah mantep belum buat
pindah?” ayah dan umi berusaha memastikan.
“Sudah!” aku mengucap dengan penuh
keyakinan.
“Alhamdulillah. Besok jangan lupa pamit dengan
guru dan teman-teman di SD ya,” kata ayah.
“Aye ay kapten,” aku mengiyakan lalu bergegas
mandi dan mempersiapkan baju untuk
besok hari.
***

7
Terpaut Oleh Waktu

Paginya kami berangkat pukul tujuh. Pagi ini langit


terlihat sangat indah, seakan langit ikut berbahagia
atas keputusan yang telah aku buat kemarin.
Setelah sampai di sekolah, aku langsung masuk
ke kelas untuk bertemu dengan teman- teman.
Sedangkan umi dan ayah langsung menuju ruang
khusus yang dipersiapkan sekolah untuk mengambil
rapot. Sepertinya hari ini teman-teman sangat
antusias ya. Buktinya mereka semua sudah sampai
dikelas ketika aku datang.
Aku bersalaman secara bergantian kepada semua
teman di kelas sekaligus berpamitan dengan mereka.
Ternyata aku tidak sendiri, karena ada beberapa
temanku yang lain juga ingin pindah sekolah. Suasana
kelas menjadi haru, ada beberapa yang menangis, ada
juga yang tertawa.
Tidak masalah karena tertawa dan menangis
adalah hal yang wajar saat perpisahan tiba. Sampai
jumpa lagi teman-teman.
***
Dua bulan kemudian. Triiiiiing, triiiiing.
Bel sekolah berbunyi dua kali, menandakan
waktu pulang telah tiba. Benar kan apa kataku, waktu
itu terasa cepat sekali. Buktinya saat ini aku sudah
mulai sekolah di Boarding School. Ternyata tidak jauh
berbeda dengan sekolah yang dulu. Bedanya saat ini
ketika pulang tidak ke rumah melainkan ke Asrama.
Jujur aku sedikit bangga dengan diriku, karena
masuk ke Boarding School ini tidaklah mudah. Aku
harus melewati beberapa tahap baru bisa diterima.
Mulai dari ujian tulis, wawancara, hingga hafalan
Juz ‘Amma dan Asmaul Husna. Dan benar kata Kak
Najla, banyak hal baru yang Aku dapat disini. Namun
informasi tentang Indomaret dan Warnet itu bohong.
Disini tidak ada Indomaret ataupun warnet, yang ada
hanya koperasi. Tidak masalah, karena aku banyak
dapat yang lebih baik disini, mulai dari pengalaman,
pengetahuan hingga teman baru.
Alif, begitulah panggilannya. Ia merupakan

8
Keajaiban Ada Bagi Yang Percaya

teman pertamaku disini. Aku senang bisa bertemu


orang baik sepertinya. Pernah waktu itu ketika aku ada
jadwal piket di kelas yang mengharuskan aku harus
pulang terakhir. Aku bingung harus pulang dengan
siapa, karena aku tidak ingin pulang ke asrama sendiri.
Tiba-tiba Alif menghampiriku dan ternyata dia sudah
menunggu ku dari waktu pulang sekolah tadi.
Sore ini aku di ajak Alif untuk bermain sepeda.
Pemandangan disini begitu Indah dan sejuk. Pohon-
pohon rindang nan hijau terlihat memenuhi ruas jalan.
Ajakan itu tentu membuat aku sangat senang. Tapi aku
juga bingung, karena saat ini aku belum punya sepeda.
Baiklah sepertinya aku akan bertanya kepada Kak
Najla, kira-kira ada tidak ya temannya yang memiliki
sepeda. Kalau ada aku mau pinjam untuk sore ini.
Akhirnya aku berangkat ke arama putri.
Aku meminta petugas disana untuk membantu
memanggilkan Kak Najla. Lalu petugas itu menyerahkan
kertas dan pulpen untuk menuliskan informasi terkait
nama dan kamar orang yang dituju yang nantinya akan
disampaikan melalui Sound System asrama putri.
Di beritahukan kepada santriwati yang bernama
Najla, kamar 301. Agar menemui sepupu nya di lantai
satu, terimakasih. Suara petugas melalui sound system
asrama.
Tak lama kemudian Kak Najla muncul dari
tangga. Aku langsung menghampiri Kak Najla dan
menanyakan apakah ada kenalannya yang memiliki
sepeda. Dan ternyata Adiknya Kak Najla, Ghifari, punya
sepeda BMX. Berita bagus, berarti sore ini aku bisa
bermain sepeda bersama Alif. Aku pun mengucapkan
terimakasih kepada Kak Najla dan langsung menuju
kamarnya Ghifari untuk meminjam sepeda.
Sesampainya di kamar Ghifari, aku langsung
menyampaikan maksud kedatanganku kepadanya.
Ghifari langsung memberikan kunci sepeda dan
menunjukkan letak sepedanya agar aku bisa langsung
memakainya.
Ghifari baik banget. Sepertinya diantara

9
Terpaut Oleh Waktu

sepupu-sepupuku dialah yang paling baik. Dia selalu


berusaha menolong orang lain yang membutuhkan
pertolongannya. Semoga kebaikanmu selalu dibalas
dengan kebaikan yang lebih besar ya.
Aku langsung menghampiri Alif dengan
membawa sepeda BMX punya Ghifari dan kami pun
akhirnya bisa bermain sepeda bersama. Sejuknyaa
udara di sore hari ini. Kami pun berkeliling daerah di
Boarding School yang sebelumnya belum pernah kami
kunjungi.
Setelah puas baru kami kembali ke asrama. Lalu
meletakkan sepeda kami di parkiran sepeda yang
ada di halaman depan asrama. Hari ini seru sekali,
saking serunya aku dan Alif jadi sangat lelah. Aku
pun mengurungkan niatku untuk mengembalikan
sepedanya ke Ghifari hari ini. Akan aku kembalikan
besok setelah pulang sekolah.
***
Sepulang sekolah, aku meminta Alif untuk
menemaniku mengembalikan sepeda ke Ghifari. aku
tidak sabar untuk main sepeda lagi kapan-kapan.
Sepertinya aku akan meminjam sepeda lagi ke Ghifari
kalau aku ingin bermain sepeda.
Setibanya di parkiran. Aku dikagetkan oleh
hilangnya sepeda Ghifari yang kemarin aku parkir di
parkiran asrama.
“Hah, dimana sepedanya. Perasaan kemarin aku
parkir disini deh, kok bisa hilang?” rasa bersalah mulai
menyelimuti diriku. Aku tidak tau bagaimana cara
memberitahukannya ke Ghifari.
“Wah sepertinya ada yang mencurinya Yan.
Karena akhir-akhir ini aku lagi sering denger ada kasus
pencurian sepeda,” Alif menanggapi.
“Terus aku harus gimana dong? aku gak enakan
sama Ghifari. Masa iya dia pinjamkan barang dia baik-
baik, terus tiba-tiba aku hilangin gitu aja,” pikiranku
mulai dipenuhi rasa cemas.
“Yaudah coba kita lapor dulu ya ke petugas disini,
kamu certain kronologisnya siapa tau bisa dibantu.

10
Keajaiban Ada Bagi Yang Percaya

Dan yang paling penting jangan lupa berdoa ya,


semoga cepat ketemu,” Alif berusaha menangkanku.
“Baiklaah,” aku mengiyakan perkataan Alif.
Tadi Alif bilang aku harus berdoa. Mohon maaf
nih. Aku aja sholat masih bolong-bolong. Itupun di
kerjakan kalau ingat saja. Sisanya yaa pura-pura lupa.
Jujur Aku termasuk anak yang lumayan jahil disini.
Suka isengin temen yang sedang belajar, dan banyak
lainnya. Rasanya tidak pantas orang sepertiku untuk
berdoa. Memangnya Tuhan akan mendengar doa
orang yang jarang sholat dan nakal sepertiku.
Kami melapor kepada petugas asrama dan
menceritakan kronologisnya. Namun hasilnya nihil,
kami tidak menemukan petunjuk satupun tentang
keberadaan sepeda milik Ghifari. Kami pun kembali
ke kamar masing-masing dengan harapan sepeda itu
akan Kembali dengan sendirinya. Mungkin sepedanya
lagi dipinjem sebentar. Aku berusaha berpikir positif.
Tapi itu tidak mungkin kan.
Sekeras apapun aku berpikir, sepeda itu
tidak akan kembali dengan sendirinya. Aku tidak
memiliki petunjuk apapun. Aku tidak punya pilihan.
Mau mencari juga bingung harus kemana. Lagipula
Boarding School ini juga terlalu luas. Seribu dua ratus
hektar. Kemungkinan ketemunya hanya kecil sekali.
Satu-satunya pilihan yang aku punya adalah
berdoa. Namun aku masih ragu apakah doaku akan
terkabul. Ah sudahlah, mungkin nanti saat datang
waktu shalat ashar aku akan mencoba untuk berdoa.
Aku pernah mendengar dari ceramah Ustad Hanan.
Umi sering menyetel ceramah beliau setiap pagi di
rumah. Katanya doa waktu ashar itu termasuk waktu
dimana jika seseorang berdoa maka doanya akan
cepat dikabulkan.
Karena berdoa adalah satu-satunya pilihan yang
aku punya. Akhirnya aku memasrahkan diriku untuk
berdoa. Berusaha mempercayakan segala urusanku
kepada-Nya. Lekas shalat ashar Aku langsung berdoa.
Meminta agar sepeda milik Ghifari cepat ditemukan.

11
Terpaut Oleh Waktu

Entah kenapa setelah berdoa hatiku terasa


sedikit lega. Tanpa petunjuk apapun Aku mencoba
pergi ke selasar asrama untuk menanyakan orang-
orang yang lewat disana apakah mereka melihat
sepeda BMX warna hijau. Satu orang lewat, Namun
hasilnya tetap nihil. Dia tidak tahu apa-apa.
Tak lama kemudian, muncul temanku Zilan. Dia
anak yang super aktif, dalam artian dia ini orang yang
susah diam, suka jahil, dan banyak orang yang tidak
suka dengan perilakunya. Aku tidak peduli, aku sudah
berdoa, maka aku akan menanyakan setiap orang
yang lewat disini.
“Oyy Zilan, pernah liat sepeda BMX warna hijau
ga?” tanyaku penuh harap.
“Hmm kayaknya pernah deh, di deket kolam
ikan samping Masjid Al-Hayya,” mukanya yang selalu
cengengesan membuatku susah yakin apakah dia
sedang bercanda atau serius. Namun di sisi lain aku
senang mendengarnya, siapa tau itu benar. Jadi apa
salahnya mengecek.
“Wahh okedeh makasih banyak Zilan!” aku
langsung kembali ke kamar untuk mengambil sandal
lalu segera berangkat ke Masjid Al-Hayya untuk
mengecek apakah benar itu sepeda Ghifari.
Dalam perjalanan tak berhenti aku melantunkan
surat-surat pendek Al-Qur’an yang aku pernah hafal
dan juga Asmaul Husna. Dengan harapan Tuhan masih
mau membantuku untuk menemukan sepeda Ghifari
yang hilang.
Sesampainya di kolam, aku melihat sepeda BMX
hijau yang sedang dipakirkan disana. Aku mencoba
mendekat dan ternyata benar. Itu sepeda Ghifari.
Namun dengan keadaan ban yang sudah bocor.
Aku tidak ingin ambil pusing. Sepeda Ghifari sudah
ketemu. Alhamdulillah, Aku senang sekali. Apakah ini
yang dinamakan keajaiban.
Saat ini aku sudah kuliah semester lima di IPB.
Pengalaman yang aku ceritakan diatas adalah salah
satu titik penting dalam perubahan dalam hidupku ke

12
Keajaiban Ada Bagi Yang Percaya

arah yang lebih baik. Dari pengalaman itu aku belajar


bahwa keajaiban akan selalu ada bagi orang yang
percaya akan Kuasa- Nya.
Karena kalau dipikir-pikir secara logika, ini
hampir tidak mungkin terjadi. Jika ini benar keajaiban,
maka aku sudah menemukan cara untuk menemukan
keajaiban. Yaitu dengan percaya. Mulai saat itu juga,
aku mulai memilih untuk percaya, percaya akan
pertolongan-Nya yang nyata.
Mulai saat ini, hingga seterusnya, Aku tidak akan
berhenti untuk percaya. Terimakasih Tuhan. Kejadian
ini mengajarkanku agar tidak pernah berhenti
berharap dan percaya hanya kepada-Mu.

13
Tak Seindah Harap
Karya Adysti Nur Fitriani

D i sebuah daerah yang jauh dari ramai kota


terdapat sebuah kampung yang sangat
sederhana. Desa Sumur Tumpang adalah namanya.
Masyarakat yang tinggal di sana hidup dengan
sederhana, bahkan jauh dari kata Jaya. Pendidikan
masih menjadi sayatan hati bagi siapa saja yang
melihatnya. Mayoritas penduduk disana hanya
mampu menamatkan putra-putrinya hingga SMP dan
SMA. Hanya hitungan jari yang dapat melanjutkan
pendidikannya hingga tingkat perguruan tinggi, itupun
hanya kalangan keluarga menengah keatas.
Di rumah kecil yang sederhana, tinggal sebuah
keluarga buruh tani. Pria paruh baya itu memiliki dua
anak gadis dengan perbedaan kami yang cukup jauh
yaitu, tujuh tahun diantaranya. Sebut saja Mbak Rara
dan aku, Dayu Putmasari. Aku dan Mbak Rara tidak
banyak bertengkar seperti anak sulung dan anak
bungsu pada umumnya.
Aku yang kini sedang menginjak 18 tahun
tepatnya siswi yang duduk di bangku SMA ini kerap
dipandang sebagai anak kecil dikeluarga kami.
Seperti halnya stereotype yang kerap melekat pada
Terpaut Oleh Waktu

masyarakat, bahwa anak bungsu adalah anak yang


manja dan selalu diperlakukan seperti anak emas. Tak
jarang aku merasa kesal dengan kalimat yang selalu
menempel pada si anak bungsu.
Sudah setahun lamanya Ibu meninggal. Saat
pandemi meningkat di desa, kami lengah menjaga ibu.
Sejak saat itu juga, Mbak Rara menggantikan peran
sebagai ibu di rumah. Suasana rumah menjadi hening,
hampa seketika. Rumah yang sebelumnya diisi oleh
sosok ibu yang mampu menghangatkan suasana di
tengah dinginnya sikap ayah yang selalu mengatur
setiap kegiatan yang akan aku lakukan. Sepeninggalan
ibuku membuat sikap ayah menjadi lebih keras
kepadaku.
Masih teringat jelas dari mulutnya, ungkapan
pedas yang dia tunjukan kepada ku. “Mau jadi apa
sih kamu tuh Yu?! Jadi perempuan gak bener kamu?!
Ayah sudah lebih tau dari kamu!” Ujarnya disuatu hari
padaku. Dengan nada yang meninggi, ayah langsung
menembak ku dengan pernyataan yang menusuk.
Seakan dia tahu segalanya. Padahal saat itu, aku baru
pulang dari rapat di balai desa pukul 19.00. Desa sedang
sibuk sibuknya mengurus proyek pembangunan. Kala
itu aku terlalu asik rapat hingga pulang agak malam.
Memang, mayoritas pemuda pengurus desa kami
adalah laki-laki seusia ku.
Ayah tidak pernah memperbolehkanku pergi
selepas petang. Apalagi bergaul dengan pemuda
lawan jenis. Dimatanya aku hanya seorang gadis kecil.
Tidak peduli berapa usiaku kini dia tetap memandang
aku gadis yang tidak pandai menjaga diri. Seharusnya,
ayah melihat bagaimana aku diluar, bagaimana aku
mengekspresikan perasaanku. Akan tetapi, kalimat itu
hanya ku telan mentah mentah dalam hati.
Di waktu yang lain, ayah selalu menyuruh Mbak
Rara ikut dalam setiap kegiatan yang aku jalani. Mulai
dari rapat dengan para pemuda desa hingga sekedar
pergi menuju toko buku sebrang pasar. Sungguh, aku
risih dibuatnya. Lagi pula aku bisa melakukan hal itu

16
Tak Seindah Harap

sendiri. Aku percaya mereka datang dengan maksud


baik, tidak seperti apa yang ayah pikirkan.
Ayah sama sekali tak mau mengerti kalau
kebiasaan rapat-rapat yang kulakukan bukan tanpa
tujuan. Anak-anak muda yang berkumpul di sana
sedang mencoba menyumbangkan pemikiran untuk
kemajuan desa. Bukan melakukan pergaulan nakal
yang melewati batas.
Bagi lelaki paruh baya itu, perempuan memang
sudah seharusnya berdiam diri dirumah. Betul-betul
isi pikiran yang tak pernah bisa aku pahami. hal ini
terus menjadi teka-teki dipikiranku. Biasanya, selalu
ada sosok ibu yang menengahi kesalahpahaman
diantara kami.
Terkadang aku merasa malu karena selalu
dimanjakan olehnya, bak anak kecil yang baru belajar
berjalan. Hal ini membuat semua orang melihatku
tampak seperti gadis kecil lemah. Tidak terkecuali
teman-temanku. Mereka mungkin menaruh perasaan
tidak nyaman saat bermain denganku. Ada perasaan
yang memngganggu dalam batinnya. Terlebih karena
aturan- aturan serta pemikiran ayah.
Ayah juga sering merasa paling mengetahui
segalanya. Padahal ia pun tidak pernah menginjakan
kaki di luar desa ini. Sekalipun iya, itu hanya liburan
ketika Ibu masih ada.
***
Terik siang matahari kali ini terlalu menyengat.
Awan di langit bersembunyi di langit yang begitu
terang. Sinarnya yang panas menyengat telah
menyentuh jalan. Membakar setiap bagiannya,
membuat anak-anak yang sedang bermain bola
berjalan berjingkat, tidak tahan dengan aspal yang
terbakar hingga mendidih, sampai-sampai mungkin
bisa membuat sebutir telur matang.
Aku yang sedang asik ngemil manisan
kesukaanku, sambil duduk di gubuk tua samping
lapangan dengan berteduhkan pohon rindang.
“Dayu!!..” suara perempuan lembut memanggil

17
Terpaut Oleh Waktu

dari sudut lapangan. Oh ternyata Mbak Rara.


“iyaa Mbak, sebentar!” sautku seraya bangun dan
menghampirinya.
“Ada surat pemberitahuan untuk mu Yu, Selamat
kamu lulus!”
“A-apa?! yang benar Mbak?”
Badanku bergetar, tak henti aku pandangi surat
yang telah aku genggam. tidak aku hiraukan kalimat apa
pun selain nama Dayu Putmasari tertera dengan label
hijau di bawah Namanya tertuliskan lolos. Tubuh ini
masih bergetar hebat, mataku mulai berbinar berkaca-
kaca. Tanpa pikir panjang aku bergegas jalan dengan
tergesa gesa menuju arah rumah kami. Baru beberapa
langkah menuju teras rumah, aku sudah dihadapi
dengan ayah yang duduk santai di singgasananya. Ya,
itu kursi teras kayu favorit kesayangan ayah.
Dengan wajah berseri, aku semangat
memberitahu ayah akan kabar baik ini. “Yah, aku
lulus universitas favorit!” teriakku dengan lantang
kepadanya. Sayang, raut wajah ayah tidak berkata
demikian. Mungkin, ia diam karena senang atau
terkejut mendengarnya. Matanya mengecil berusaha
membaca kembali pemberitahuan pada surat itu.
Sambil tersenyum tipis, menggodaku, dia berkata
“Biaya dari mana Yu?” lalu jawabanku “Beasiswa
selama 2 semester Yah” Tanpa basa-basi Ayah
langsung memalingkan mukanya ke arah burung-
burung peliharaannya.
Dengan dahi yang mengkerut ayah membalas,
“Tapi kamu tinggal sama siapa Yu? Merantau itu berat.
Bahaya” dengan nada seakan tidak percaya pada
anaknya.
“Sudah, ambil perkuliahan didekat sini saja!”
“T-tapii.. Yahh”
“Kalau Ayah bilang tidak, ya tidak!”
Batinku risau. risuh tak karuan. Suatu kalimat
yang tidak bisa aku lawan.
Begitulah satu-satunya kalimat yang tertera di
sana. Kalimat penutup pembicaraan dari ayah saat

18
Tak Seindah Harap

itu. Dengan hentakan nada tingginya, Sungguh aku


terkejut dan kecewa saat itu. Penantian dan harapku
sungguh besar, karena dengan cara ini lah aku bisa
hidup bebas dan melihat dunia tanpa aturan ayah.
Amarahku tak terbendung, seketika kata-kata ini
keluar begitu saja dari mulutku. “Kenapa sih yah? Aku
tuh sudah dewasa! Aku bisa ko menjaga diri! Tidak
semua yang diluar itu buruk yah!” dengan nada tinggi
tak seharusnya aku melakukan itu.
Seharian sudah aku menggerutu seorang diri.
Tersirat dalam pikiran untuk kabur tanpa berkata.
Nangis hingga tersedu-sedu dalam kamar sampai
menolak ajakan makan Bersama keluarga. Suatu
bentuk rasa kecewaku ini nampaknya membuat Mbak
Rara iba melihatnya. Setiap malam, dia berusaha
meyakinkan Ayah bahwa aku akan hidup baik-baik
saja ketika merantau.
Butuh waktu yang lama untuk meyakinkan
hati ayah bahwa aku bisa dan aku sudah dewasa.
Meskipun begitu, ayah akhirnya meluluh. Hanya Mbak
Rara yang bisa meyakinkan Ayah. Ayah mengalah, dan
membiarkan aku pergi merantau. Sungguh perasaan
yang tidak bisa ku ungkapkan dengan kata-kata.
Di sana aku akan tinggal bersama bude hingga
kuliah aku selesai. Kebetulan dia sering sekali
pergi keluar kota jadi tak jarang rumah itu kosong
ditinggalnya. Bude memintah ayah untuk aku tinggal
bersamanya, menemaninya sekaligus bisa memantau
kehidupan si anak bungsu ini.
***
Kehidupan rantau ku dimulai..
Untuk pertama kalinya aku menginjakan diri di
kota yang jauh dari rumah dan orang tua, sendirian.
Terlebih tanpa aturan-aturan ayah. Memangnya
kenapa? Aku bisa menjaga diri kok. Teringat pesan
ayah dan mbak Rara, untuk selalu menjaga diri
dimanapun aku berada. Kita tidak penah tau manusia
seperti apa yang akan kita temui. Ah, sejauh ini aku
bertemu orang baru, mereka tetap baik-baik saja.

19
Terpaut Oleh Waktu

Sudah tiga bulan lamanya aku merantau. Semua


nampak baik-baik saja. Ternyata, aku bisa beradaptasi
lebih cepat dari dugaannya. Namun, ada yang berbeda
dari kehidupan ku kali ini. karena bude sering pergi
keluar kota, aku memanfaatkan hal tersebut untuk
memakai jam malam ku dengan melihat kehidupan
malam di kota Jakarta. Kehidupan yang selama ini tidak
pernah aku rasakan didesa. Tak jarang aku menginap
dengan teman-teman kuliah ku. Ya, girls gang time lah.
Di kota, Dayu merasa sangat menikmati
kehidupannya. Semua serba mudah, memiliki banyak
teman, dan satu sahabat yang selalu menemaninya.
“Hai! Aku Aina. Salam kenal ya!”. Aina, dialah orangnya.
Dia anak yang sopan, baik dan ceria. Saat pertama
perkuliahan dimulai, Aina sudah aktif memperkenalkan
dirinya kepadaku. Bahkan Aina sering membantuku
ketika aku sedang merasa kesulitan di mata kuliah
tertentu.
Bisa dibilang aku tergolong wanita yang menarik
dan cerdas. Dengan paras yang cantik dan lugu, tak
sedikit orang ingin berkenalan dengan ku. Namun,
aku bukan orang yang sembarang. Aku juga tergolong
wanita yang tidak mudah untuk didekati setiap orang.
Wanita yang hobinya kupu-kupu ini (Kuliah pulang,
kuliah pulang) tidak terlalu menonjolkan dirinya di
perkuliahan.
Sampai akhirnya aku bertemu dengan Damar.
Seorang laki-laki yang cukup popular di jurusan ku.
Nampaknya, Damar tertarik denganku. Tidak sekali
dua kali Damar terpergok sedang menunjukan
perhatiannya lebih kepadaku. Tak jarang, aku diajak
oleh Damar untuk bertemu dengan teman-temannya.
Sekedar berkenalan lebih jauh.
“Damar nampak baik di mataku, namun
tidak untuk Aina.” Gumam ku dalam hati. Sahabat
ku mungkin memiliki firasat buruk terhadapnya.
Aina bilang, Damar dan teman- temannya hanya
memanfaatkan aku saja. Tapi aku tidak merasa
demikian. Lebih-lebih aku sering diantarnya melihat-

20
Tak Seindah Harap

lihat ke berbagai tempat baru di sudut kota ini.


Aina merasa aku berubah sejak mengenal
Damar. Aku jadi sering malas dan lalai dengan tugas
perkuliahanku. Bahkan pergaulan dan sikapku pun kian
berubah. Tak aneh bila Aina tidak menyukai Damar.
Bagi Aina, Damar membawa pengaruh buruk. Tapi
sayangnya, aku tidak berfikir demikian. Aku merasa
Aina yang terlalu kuno dalam cara menikmati hidup.
“Yu.. kayanya kamu harus hati-hati dengan
Damar, dia licik dan nakal Yu”
“Santai lah Na, jangan terlalu sibuk jadi orang”
ujarku kepada Aina sambil tertawa.
Sering kali aku melilihat Aina menatapku sinis
ketika sedang bersama Damar. Ah seperti ayah saja.
Bahkan tak jarang kami berdebat seputar Damar dan
teman-temannya. Meski begitu, Aina tidak melarangku
untuk melakukan apa yang aku mau.
Suatu hari aku diajak Damar untuk ikut Bersama
teman-temannya mengunjungi tempat sebagai acara
perayaan ulang tahun kerabatnya di Villa Puncak Bogor.
Acara yang berlangsung Sehari semalam ini katanya
adalah acara untuk menjalin ke akraban. Namun,
kali ini aku tidak ditemani dengan Aina. Dia memilih
untuk pergi mengurus kesibukan organisasinya
dibandingkan harus bermain-main dengan Damar dan
teman-temannya.
Kembali ke acara, kali ini lain rasanya. Aku
gelisah. Entah perasaan apa ini, banyak wajah-wajah
asing yang tak begitu ku kenal. “Sudah, santai saja
Yu.. anggap rumah sendiri” ujar Damar yang coba
menenangkan ku sambil bercanda. Tak banyak yang
ku lakukan disana. Hanya sekedar duduk, menonton,
makan, tiduran dan sesekali aku ikut mengobrol
dengan teman- temannya Damar. Hal itu tentunya
berlangsung mudah, sampai akhirnya malam pun tiba.
Puncak acara perayaan ulang tahun kerabat
Damar diwarnai dengan hal yang tidak biasa bagiku.
Sisi gelap kehidupan kota yang hanya biasa aku
dengar, kini bisa kulihat langsung dengan mata kepala

21
Terpaut Oleh Waktu

ini. Sepertinya, mereka sedang menunjukan sifat


aslinya. Damar yang selama ini hanya menunjukan
sisi baiknya kepada aku, kini berbalik seratus delapan
puluh derajat. Dia memaksa aku mengikuti apa yang
dia mau. Menyuapiku dengan minuman-minuman
keras, memaksaku merokok dan sesekali dia
mencoba menggoda aku dengan sentuhan-sentuhan
melecehkannya. Sungguh, aku takut. Ingin aku pulang
rasanya. Menangis dan pergi sejauh jauhnya.
“Tenang Yu, sama kami kamu aman” bisik kawan
Damar lainnya. Kalimat penenang kali ini membuatku
semakin takut dan berjaga sepanjang malam. Namun
apa daya, semakin pagi aku semakin tak berdaya.
Aku sempat melirik kearah jam dinding. Waktu telah
menunjukan pukul tiga dini hari. Sesekali aku melihat
mereka sedang mengambil foto sambil menenggak
minuman keras. Entah apa yang telah terjadi dimalam
itu, aku sungguh menyesal.
Sejak saat itu aku aku menjauhi Damar dan
teman-temannya. Aku menjadi lebih pendiam, tak
banyak cakap, bahkan sering kali aku melamun. Saat
itu aku tidak memandang kota dengan keindahannya
lagi.
Seminggu kemudian, tiba-tiba namaku ramai
diperbincangkan. Foto-foto saat acara itu tersebar.
Banyak foto diriku yang sedang menjadi hangatnya
perbincangan. Entah siapa yang menyebarnya. Namun
saat itu yang aku lihat hanya Damar dan teman-
temannya yang berdiri menatap seakan tidak bersalah.
Jelas, dia hanya mentertawakannya bersama yang
lain. Lantas aku harus marah kepada siapa?
Dari awal, sebenarnya Damar dan teman-
temannya, sudah berniat buruk untuk menjebak
aku. Mereka hanya memanfaatkan kecantikan dan
kepintaran ku semata. Namun dengan polosnya aku
percaya dan tak sedikit pun mengetahui niatan jahat
Damar dan teman-teman barunya tersebut.
Perasaanku kacau, aku malu. Bagaimana jika
ayah dan bude ku tau? Bisa habis aku. Tak hanya

22
Tak Seindah Harap

itu, setelah foto-foto ku tersebar, aku dipanggil oleh


pihak kampus dan diberitahukan bahwa aku terancam
dikeluarkan jika tidak dapat membersihkan nama
baiknya. Perasaanku semakin tidak karuan. Harus aku
jelaskan bagaimana nanti kepada ayah?
Mungkin ini ujian berat dalam hidup. Dikhianati
teman, beasiswanya dicabut dan kini semua orang
memandang aku sebelah mata. Kini Aina tidak dapat
menolong lebih. Dia hanya bisa mendengarkan
cerita kawannya yang tidak mau mendengar nasihat
orang. Hanya karena sebuah foto, hidupku seketika
berantakan. Image pintar pun tidak bisa menutupi aib
yang telah tersebar.
Tak ada cara lain untuk merahasiakan ini kepada
keluargaku. Bude pun sempat menyadari bahwa
akhir-akhir ini aku berubah. Dia merasa ponakannya
lebih banyak melamun dari biasanya. Bude juga sering
mendengar isak tangis dari dalam kamarku ketika
malam datang.
Kegelisahan ini semakin menjadi-jadi, aku
pun bercerita kepada bude. Bersyukur aku memiliki
saudara yang putih hati. Sepandai pandainya
menyembunyikan bangkai, baunya akan tercium juga
bukan?.
Akhirnya aku memilih pulang dari
perantauannya. Kembali ke desa tempat ku dilahirkan.
Bude menjelaskan semua kejadian kepada ayah. Dari
bisik telfon terdengar respon Ayah yang kurang baik.
Namun, sekali lagi bude meyakinkan aku bahwa
semua akan baik-baik saja. Entah apa yang akan ayah
lakukan kepadaku, setidaknya aku sudah berusaha.
Dayu menyesal Yah.
Kali ini bude yang mengurus kepulanganku.
Tanpa mengabari ayah dan mbak Rara bahwa aku
akan pulang, mungkin itu cukup membuat mereka tak
menghindar jika bertemu.
***
Tiga jam sudah kutempuh perjalanannya.
Meninggalkan kota yang kini tak lagi indah di

23
Terpaut Oleh Waktu

pandanganku. Dengan lemas aku tiba dan turun di


stasiun tujuannya. Perasaanku kini masih gelisah
tak karuan. Tangan gemetar dan pikiran yang kalang
kabut. Aku ketuk pintu rumah dengan pelan.
Tok Tok Tok.
“Assalamualaikum yah, mbak.. Dayu pulang”
Jantungku berdebar di iringi langkah kaki yang
menginjak ubin kayu sedang mendekat kearah pintu.
“Waalaikumsalam. Eh Dayu kok tidak berkabar
ingin pulang” ternyata kali ini Mbak Rara yang
membukakannya.
Air mataku turun membanjiri pipi dan bajunya,
saat Mbak Rara tiba-tiba memeluk ku dengan erat.
Aku terisak, meminta maaf kepadanya karena telah
mengecewakan kepercayaan dan nasihatnya. Jiwa
hangat ibu yang turun kepada Mbak Rara membuat
aku tenang.
Jam sudah menunjukan pukul tiga sore hari.
Seraya Mbak Rara menenangkan tangisanku, aku
bertanya “Mbak, Ayah dimana? Biasanya jam segini
sudah pulang dari ladang, atau Ayah tidak ingin
bertemu dengan Dayu?” suara gemetar aku semakin
menjadi jadi. “Ayah sedang pergi kepasar Yu. Dia
tau kamu pulang” jawab Mbak Rara halus. Sore itu,
akhirnya aku habiskan waktu dengan Mbak Rara di
teras depan rumah kami.
Tepat waktu menunjukan pukul lima sore, Ayah
pulang dengan membawa banyak jajanan manisan
kesukaanku. Sungguh hati ini sangat senang. Tanpa
basa-basi panjang aku berlari memeluk ayahnya
tercinta. Menuahkan semua perasaan dan risau batin
ini. Langsung aku ujarkan maaf kepadanya, karena
telah mengecewakan kepercayaan dan mengabaikan
nasihatnya.
“Maaf Ayah, Dayu telah mengecewakan Ayah”
ujarku dengan nada lemas karena takut ayah marah.
Namun, siapa sangka. Pria 57 tahun itu hanya
mengelus kepalaku dan berkata lembut, “Maaf Ayah
tidak bisa menjaga mu Dayu”. Sambil tersenyum dan

24
Tak Seindah Harap

menatap mataku tajam. Hati ku terasa tenang. Batin


ku tentram dibuatnya.
Sungguh hatiku tersayat karena telah
mengecewakan dua orang yang aku sayang. Setiap
orang tua pasti memiliki cara dan alasannya sendiri
dalam mendidik anaknya. Mereka hanya ingin yang
terbaik untuk kita. Orang tua tentunya memiliki naluri
untuk menyayangi dan menjaga anaknya. Dengarlah
nasihatnya selagi itu baik, jangan sampai kau menyesal.

25
Satu Kuadrat
Karya Alfina Damayanti

J am sudah menunjukkan pukul enam pagi.


Ayam jantan sudah berkokok menandakan
hari setiap orang harus dimulai. Aku sudah berdiri
di depan cermin kamarku hampir lima menit hanya
untuk berusaha memakai dasi biru itu dengan baik
dan rapih. Di otakku terus terlintas bahwa hari ini
harus menjadi hari yang sempurna. Nyaring kudengar
suara ibuku, dia memanggil namaku dengan nada
yang sedikit kesal mungkin karena diriku terlalu lama
bercengkrama dengan cermin. Kuhamipiri suara
ibuku yang sudah menghidangkan sebuah nasi dan
ceplok telur yang begitu hangat. Setelah kuselesaikan
sarapan aku siap untuk memulai bagian baru dalam
hidupku kala itu.
Pagi ini langit seakan mendukung aku untuk
melewati hari, awan cerah sudah hadir menyambut.
Hari ini aku Alfina Damaiyanti resmi menjadi bagian
dari putih biru atau yang disebut sekolah menengah
pertama. Tak kusangka secepat itu aku melewati enam
Terpaut Oleh Waktu

tahun di sekolah dasar. Ku tapakkan kakiku tepat di


depan gerbang yang akan ku singgahi selama kurang
lebih tiga tahun yang akan mendatang. Dalam benakku
terus bertanya-tanya apakah aku akan mendapatkan
teman-teman yang baik, atau apakah aku bisa menjadi
berprestasi di sekolah ku yang baru ini, semakin aku
pikirkan rasanya malah semakin membebaniku saja.
Aku berjalan dengan penuh semangat di tempat
dimana aku akan menghabiskan hari-hariku selama
tiga tahun mendatang. Mataku di penuhi dengan anak-
anak seusiaku yang mengenakan pakaian yang sama
denganku. Mataku memandang sekeliling hingga ada
suara samar memanggilku. Dari jauh aku menyakini
diri bahwa orang itu yang memanggilku. Sembari
melihat orang itu, pikiranku mencoba mengingat siapa
dia dan tak butuh berpikir lama aku panggil orang itu.
Orang yang memanggilku tadi merupakan
teman rumahku. Aku dan dia tidak terlalu dekat karena
memang kita tidak pernah main hanya sekedar tahu
saja. Aku menghampirinya dengan sedikit berlari. Aku
membuka obrolan dan beberapa kali kami tertawa
sembari duduk didepan teras sekolah menunggu
arahan dari pihak sekolah. Ketika sedang asyik
mengobrol teman komplekku ternyata memanggil
seseorang, orang yang dipanggil pun itu kaget. Sejenak
orang baru itu terdiam namun tak butuh waktu lama
ia berteriak memanggil teman komplekku dan berlari
ke arah kami.
Dia memakai kerudung rapih, memakai kacamata
dan menggunakan jaket bola Barcelona dengan ciri
khas merah biru. Orang itu bernama Celia Sukma.
Celia atau yang kerap dipanggil Cel itu merupakan
teman SD dari teman komplekku. Seketika pikiranku
menanggap bahwa memang dunia sekecil itu. Tanpa
basa basi aku langsung mengulurkan tangan kanan ku
untuk berkenalan.
“Hai gue Alfina, panggil gue Dame,”ucapku
“Hai, salam kenal, Celia.” jawab Celia.
Setelah berkenalan dengan Celia kami termasuk

28
Satu Kuadrat

teman komplekku berjalan menuju kelas melewati


lorong yang cukup gelap walaupun masih pagi hari. Saat
memasuki kelas Celia duduk dengan teman komplekku
dan aku duduk sendiri menunggu seseorang yang
bersedia duduk disampingku. Tak butuh waktu lama,
seseorang perempuan dengan rambut hitam sebahu
menduduki bangku kosong disebelahku. Merasa
bosan aku mencoba menghilangkan kecanggungan
itu dengan mengajak berkenalan perempuan itu. Dia
memiliki senyum yang manis dan bola mata yang indah
dia adalah Hilya Levian yang merupakan saudara dari
pemilik yayasan sekolah ini.
“Halo, Gue Alfina biasa dipanggil Dame, nama
kamu siapa?” tanyaku kepada Hilya.
“Hai, nama gue Hilya Levian panggil aja Hilya”
jawab Hilya dengan ekspresi senang dengan senyum
yang diberikan.
“Oh hai Hilya, Salam Kenal” balasku
“Btw, kenapa lu pilih sekolah disini?” tanyaku
kepada Hilya untuk membuka obrolan kami
“Ya gimana ya, disuruh nyokap sih soalnya
sekalian dititipin ke saudara” Respon Hilya atas
pertanyaanku
“Oh saudara?” perasaanku bingung.
“Iya Me ini sekolah punya saudara gue” jawaban
Hilya yang membuatku sedikit kaget.
Perkenalan singkat antara aku dengan Hilya
harus diakhiri karena guru kami memasuki kelas
menandakan kelas itu di mulai. Saat kelas di mulai kami
dipersilahkan memperkenalkan asal sekolah dasar dan
juga cita-cita dari setiap orang dari siswa dan siswi di
kelas itu. Terkesan pertanyaan biasa namun dihari itu
membawa kebahagiaan tersendiri bagiku karena bisa
berkenalan dengan teman baru.
Berawal dari perkenalan singkat dengan Celia
dan Hilya aku menjadi dekat dengan mereka bahkan
kami menjadi sahabat. Di awal semester kelas tujuh
kami memilih ekstrakulikuler yang sama yaitu basket.
Kesukaan yang sama tersebut membuat kami menjadi

29
Terpaut Oleh Waktu

intens untuk bertemu bahkan diluar jam sekolah.


Pada kelas tujuh semester awal aku diajak untuk
sekedar main ketempat tinggal Celia bersama dengan
Hilya. Di dalam perjalanan menuju rumah Celia kami
bersendau gurau sambil menunggu angkutan umum
ini sampai di depan gang rumah Celia. Sesampainya
dirumah Celia kami disambut dengan baik oleh Ibu
Celia dan Adiknya yang bernama Delia. Selain itu Celia
ternyata merupakan anak ketiga dengan dua abang
yaitu Ari dan Adim, cukup menarik batinku ketika
mengetahui keluarga dari Celia.
Pergi kerumah Celia sudah menjadi rutinitas
kami dalam satu minggu, selain itu kami bertiga juga
sering menghabiskan waktu kami seusai sekolah ke
mall terdekat dari sekolah. Jarak dari mall tersebut
tidak terlalu jauh dari sekolah kami cukup berjalan kaki
beberapa menit. Di dalam mall tersebut biasanya kami
menghabiskan waktu untuk ke toko buku ternama
hanya sekedar membaca buku gratis dan melihat-lihat
yang tak bisa kami beli saat itu. Menyenangkan dan
begitu terkesan ketika menghabiskan waktu bersama
dengan Celia dan Hilya.
Kedekatanku dengan Celia dan Hilya memiliki
porsinya masing-masing. Hilya dan Celia merupakan
sahabat dekatku yang memiliki karakteristik yang
berbeda pula. Hilya contohnya dia merupakan
sosok yang ceria dan suka diajak berbicara ia juga
senang bila diperhatikan hal-hal kecil namun Hilya
lebih irit berbicara dibandingkan dengan Celia. Celia
adalah sosok yang lebih dekat dan mengenalku lebih
dibandingkan dengan Hilya, Celia adalah sosok yang
periang, senang diajak bersenda gurau, ambisius dan
tertarik dengan banyak hal yang sama denganku.
Kedekatanku dengan Celia yang lebih dalam
dibandingkan dengan Hilya tidak membuatku tidak
merasa nyaman melainkan kami sudah memiliki porsi
kami masing-masing.
Aku dan Celia memang lebih sering
menghabiskan waktu bersama. Aku seringkali datang

30
Satu Kuadrat

kerumahnya hanya sekedar ingin cerita diatas plafon


rumahnya sambil menatap bintang lalu pulang. Hal-
hal yang aku sukai pun hampir sama dengan Celia,
kami menyukai radio dan stand up comedy. Celia lebih
sering update soal stand up comedy dan aku di hal
yang berbau dengan radio. Selain itu, ibu dari Celia
serta abang dan adiknya sudah cukup mengenalku
bahkan sempat aku diajak pergi bersama dengan Ibu
Celia hanya untuk berbelanja. Saat ekstrakulikuler dan
pulang ekstrakulikuler saja aku lebih sering bersama
Celia entah itu naik angkutan umum atau motor.
Persahabatan antara aku, Celia dan Hilya
semakin akrab sampai kami memasuki kelas tiga atau
tingkat teratas di SMP. Rutinitas yang kami lalui pun
masih sama seperti pulang bersama, sekedar baca
buku di Toko Buku, ekstrakulikuler dan beberapa
lagi lainnya. Tak terasa sudah dua tahun lebih aku
mempunyai sahabat yang baik di masa-masa putih
biruku. Di masa-masa akhir putih biru tersebut, kami
menjadi lebih sering menghabiskan waktu bersama.
Jalan-jalan sore, main kerumahku atau kerumah Hilya
menjadi hal yang kami habiskan saat menjelang lulus
dari SMP.
Suatu waktu kami bertiga dan seluruh teman-
teman sebaya kami sedang sibuk-sibuknya belajar
menghadapi ujian nasional yang mengerikan itu. Aku
dan sahabatku mengurangi waktu bermain kami untuk
fokus terhadap ujian nasional yang sudah di depan
mata. Rasanya seperti dicekik karena harus terus
belajar dan tidak bermain sahabat-sahabatku tapi
apalah daya, ini yang menentukan aku akan masuk di
sekolah menengah atas nanti.
Memasuki waktu pengumuman hasil ujian
nasional detak jantungku berdegup lebih cepat,
bahkan kalau bisa dibayangkan lebih cepat daripada
kereta api saat melaju. Saat pengumuman itu tiba aku,
Celia dan Hilya berpelukan karena menganggap kami
sudah selesai melewati fase berat itu. Rasanya sedikit
lega karena bisa hempas dari masa-masa belajar dan

31
Terpaut Oleh Waktu

tidak bermain bersama sahabat-sahabatku.


Setelah selesai masa pengumuman kami dengan
gencar mulai mencari sekolah menengah atas untuk
kami daftar sesuai dengan nilai ujian nasional yang
telah keluar.
“Gimana guys kalian mau daftar dimana?”
tanyaku pada Hilya dan Celia.
“Gue kayaknya hopeless deh sama nilai jadi
paling ke lanjut di SMA punya saudara gue” jawab
Hilya dengan lesu.
“Jangan gitu hil, coba aja dulu yang lain siapa tau
dapet” ucapku menyakinkan Hilya.
“Iya bener Hil coba aja dulu siapa tau rezeki”
sanggah Celia.
“Kalo lo gimana fin?” tanya Celia padaku.
“Ya gue sih coba yang negri dulu, paling kalo
engga bisa ya swasta lagi” ucapku.
Obrolan singkat antara aku Celia dan Hilya
merupakan obrolan yang cukup singkat namun
dengan perasaan campur aduk antara sedih, bingung,
khawatir. Semenjak obrolan itu kami sibuk untuk
mengurus sekolah kami sampai ketika waktu untuk
perpisahan yang diadakan dari sekolah datang. Malam
perpisahan kami diadakan di Puncak, Bogor dan
rombongan angkatanku berangkat menuju tujuan. Di
malam itu kami semua termasuk aku Hilya dan Celia
sedih hingga tak terasa kami mengeluarkan air mata
dan berpelukan. Tak terasa persahabatan ini sudah
berlalu tiga tahun dan kami harus melanjutkan studi
ke tempat dimana kami belum tau pasti.
Dingin udara di Puncak membuat tubuhku
sedikit mengigil. Tepat ditepian kolam itu aku
termenung sejenak memikirkan hal apa yang harusku
lewati sehabis ini, benakku mengucap syukur atas
malam yang indah bersama sahabat terkasih. Masa
putih biruku telah usai aku tersenyum sedu sambil
menatap langit malam yang terang dipenuhi bintang
dan bulan yang bersinar.
****

32
Satu Kuadrat

Bunyi alarm handphone ku berdering jam


menandakan pukul setengah enam pagi aku bergegas
keluar kamar dan memulai semuanya dari awal.
Pagi ini, aku resmi menjadi seorang anak SMA
mengenakan pakaian kebanggan yaitu putih abu-abu.
Bagi kebanyakan orang, putih abu-abu adalah fase
terindah dalam hidup mereka dan itu yang kuyakini
untuk memulai pagi ku saat ini.
“Asik” satu kata yang menggambarkan betapa
senangnya aku memasuki masa putih abu-abu.
Berkenalan dengan manusia baru dengan berbagai
perbedaan, hal-hal yang lebih menantang, dan
tentunya keasyikan yang tidak aku dapat saat aku di
masa putih biruku. Katlyn, Anisa, Ageng merupakan
tiga teman terbaiku yang sepertinya masih ada lagi
berkat diriku yang supel dan senang berbaur aku
mendapatkan banyak teman di SMA. Kegiatan ku
yang biasanya bermain bersama Hilya dan Celia pun
perlahan berkurang.
Sebelumnya, Celia memasuki salah satu SMA
Negri di wilayah tempat tinggal kami. Sedangkan
Hilya masuk ke sekolah yang sama denganku namun
dia memilih masuk ke Jurusan IPS dan aku masuk
ke Jurusan IPA. Karena perbedaan jurusan yang
memaksa kami harus terpisah walau disatu tempat
membuat hubungan kedekatanku dengan Hilya pun
perlahan berkurang. Beberapa waktu kami masih bisa
bermain dan bercerita bersama di selasar sekolah dan
menceritakan masa SMP kami dengan Celia. Selain
itu beberapa waktu juga aku, Hilya dan Celia masih
bermain basket bersama sekedar untuk melepaskan
rindu.
Seiring waktu, kesibukkan ku terus bertambah.
Aku sibuk dengan urusan ku yang bermain dengan
teman baruku dan dunia baruku. Beberapa kali aku
melewatkan ajakan dari Celia untuk bermain bersama
dikarenakan kesibukkan ku saat itu. Setiap bermain
bersama teman baru di SMA pasti aku selalu upload di
sosial mediaku seperti Instagram atau Ask.fm. Ketika

33
Terpaut Oleh Waktu

mengunggah itu ternyata Celia merasa rindu padaku


dan ingin bermain bersama ku tapi kuhiraukan dia
begitu saja.
Suatu waktu di sore hari, bel berdering
menandakan waktunya untuk setiap anak
menyelesaikan kewajibannya dan pulang kerumah
masing-masing. Saat itu aku dan mempunyai rencana
untuk main sehabis pulang sekolah. Waktu menuju
ke tempat dimana aku dan Katlyn, Anisa, Ageng akan
nongkrong tak sengaja aku melihat Celia dengan Bang
Ari dijalan. Ketika melihat itu sontak aku berteriak
memanggil nama Celia. Celia menolehku namun
dia tidak menjawab panggilanku dan memalingkan
mukanya sinis.
Detik itu aku merasa ada sesuatu yang
membuatku kesal pada Celia. Bagaimana tidak aku
yang notabene merupakan sahabat dekat Celia
diabaikan begitu saja saat kupanggil namanya.
Dalam pikiranku langsung berkata bahwa Celia kesal
denganku yang membuatku bertambah kesal dengan
Celia dua kali lipat. Setelah sampai di tempat aku
nongkrong dengan teman-temanku, ternyata ekspresi
di wajahku masih saja dalam kondisi yang masih kesal
dan itu disadari oleh temanku.
“Kenapa lu Me?,” tanya Katlyn padaku
“Gapapa gue.” jawab ku dengan nada yang
sedikit ketus.
Di balik jawab tidak apa-apa yang ada diriku
saat itu aku merasa bahwa aku menyelesaikan hal
ini dengan Celia. Selesai nongkrong bersama dengan
teman-teman aku balik kerumah ku dan membersihkan
tubuhku sehabis penat sekolah dari pagi sampai sore
dan dilanjut dengan nongkrong sampai malam hari.
Terlintas di pikiranku saat itu untuk mengungkapkan
apa yang kurasakan saat ini pada Celia, tanpa basa-
basi pikirku saat itu aku langsung menghubungi Celia
lewat ketikkan pesan.
Dalam pesan itu aku mengungkapkan
kekecewaanku padanya ketika ku panggil. Selain itu

34
Satu Kuadrat

juga aku menjelaskan bahwa aku tidak bisa main


dengannya karena memang aku sedang menikmati
dunia baruku dan aku juga tidak ingin menganggu
dunia baru Celia. Aku ingin Celia mengerti apa
maksudku. Selesai kuutarakan apa yang kurasakan aku
merasa lega terlebih lagi Celia juga mengerti apa yang
ku maksud.
Dunia baruku terus berjalan dan semakin seru
karena banyak hal-hal baru yang tak terduga datang
dihidupku. Setiap hariku di putih abu-abu terisi dengan
tawa dan senyum walaupun ada saja hari dimana
aku tidak senang tapi itu tidak sebanyak rasa senang
yang aku dapatkan. Ku lihat Hilya menikmati waktu
dengan teman-teman barunya dan hal itu membuatku
beberapa waktu tidak berbicara dengan Hilya padahal
kita bertemu dan hanya sekedar senyum saja. Pada
saat itu aku tidak merasakan keberatan karena akupun
begitu.
Tak terasa aku telah duduk di bangku kelas sebelas
atau tingkat dua di SMA. Di kelas dua ini kesibukan ku
bertambah dikarenakan aku mencalonkan diri sebagai
kandidat Organisasi Siswa Intra Sekolah (OSIS) dan
aku menjadi kandidat ketua ekstrakulikuler teater di
sekolah. Sungguh lelah sebenernya karena banyak
hal yang harus kulewatkan bersama teman-temanku
karena aku harus mengerjakan beberapa tugas
sebagai calon osis dan menyeimbangkan nilaiku agar
tidak turun.
***
Pagi datang seperti biasa, aku melakukan
rutinitasku untuk memulai hari ini. Sampai disekolah
aku duduk di depan selasar dengan teman-temanku
sambil bercerita. Saat itu aku menyadari bahwa ada
pemberitahuan yang masuk ke telepon genggamku.
Itu adalah sebuah pesan dari Celia. Ya dia adalah Celia.
Celia mengirimkan sebuah pesan cukup panjang dan
dengan teliti aku membacanya.
Pagi itu tubuhku terdiam karena membaca
pesan dari Celia. Isi pesan itu berisikan sebuah

35
Terpaut Oleh Waktu

ucapan terimakasih yang begitu hangat dan sebuah


ucapan harapan karena Celia akan segera operasi
dikarenakan sakit yang selama ini ia derita. Benar
Celia menyimpan sebuah penyakit itu hampir setahun
lebih tanpa memberitahu aku ataupun Hilya. Saat itu
aku merasa menjadi orang yang paling bodoh karena
tidak mengetahui kalau sahabat baikku sakit parah.
Pesan itu kubalas dengan cepat dan aku bertanya
Celia menderita sakit apa, namun nihil ia tidak
menjawab. Saat itu aku mempunyai rencana untuk
mengajak Hilya untuk bergegas menjenguk Celia dan
bermain bersamanya. Di sekolah aku mencari Hilya
dan mengungkapkan maksud dan tujuan ku padanya.
Saat itu kami sepakat untuk mengunjungi Celia.
Setelah kesepakatan tersebut aku ternyata tidak
bisa hadir dikarenakan huru-hara ku menjadi OSIS dan
pelajaran ku di SMA. Aku merasa tidak enak dengan
sahabat baiku, saat itu aku mengirimkan pesan
kepada Celia dan meminta maaf padanya bahwa aku
belum bisa hadir menjenguknya dengan Hilya. Celia
pun menjawab pesanku dan berkata tidak apa-apa.
Kejadian itu pun berlalu, aku menjalani
rutinitasku seperti biasa. Pagi hari aku duduk di
kelasku sambil memainkan telepon genggam dan
membuka sosial media. Dua pesan masuk ke salah
satu sosial mediaku dari adik kelasku saat SMP, dengan
cepat aku membuka dan membaca dua kalimat yang
menggoncang jiwaku.
Ka Dame
Ka Celia sudah meninggal
Bagaikan di tombak dari dalam. Hatiku
mendadak sakit tubuku lemas tak berdaya. Awalnya
aku tidak percaya dan menjawab pesan tersebut
denga tegas bahwa adik kelas ku tidak boleh bercanda
membawa nyawa orang, namun ia bersikukuh dengan
pernyataanya. Pesan itu seakan didukung oleh teman
smp ku yang lain yang juga mengirimkan pesan yang
sama kepadaku. Aku bagaikan ditombak dua kali. Sakit
dan bodoh itu yang ada dalam pikiranku.

36
Satu Kuadrat

Tak tinggal diam, aku berlari ke arah kelas Hilya


yang berada diujung dari kelasku. Aku lari dengan
sekuat tenaga dan berteriak.
“Hilyaaa, Celia…Celia udah meninggal” ucapku
dengan nada tegas namun jatuh lusuh di hadapan
Hilya
“Hah serius lu me??,”, jawab Hilya dengan serius
dan penuh penekanan
“Ini lu liat sendiri.” sambil mengulurkan pesan
yang dikirimkan oleh adik kelas dan teman SMP ku
yang lain.
Saat itu aku dan Hilya berlarut dalam pelukan
dengan diiringi air mata yang membanjiri wajah
kami. Detik itu juga aku ingin bertemu Celia, aku ingin
kerumahnya. Sebelumnya aku mendapat kabar juga
dari adik kelas ku bahwa dia akan dimandikan hari
itu juga dan tanpa menunggu lama lagi aku dan Hilya
bergegas menuju rumah Celia.
Sesampainya dirumah Celia, suasana rumahnya
sudah dipenuhi dengan banyak orang terutama teman-
teman SMA Celia. Saat itu, aku dan Hilya duduk tepat di
gerbang tempat tinggal Celia yang sudah ditutupi oleh
kain batik yang dijadikan tempat untuk memandikan
Almarhum Celia. Ya dia sudah menyandang nama itu
didepannya. Aku menangis dalam hening hingga Ibu
Celia melihat aku dan Hilya diluar dan sontak aku
memeluk Ibu Celia dan kami menuangkan airmata itu
bersamaan.
“Celia sebelum dipanggil, dia mimpi main
bareng sama kalian,” ucap Ibu Celia sambil terbata-
bata sambil mengelap air mata
Tak mampu berkata lagi, aku semakin memeluk
erat Ibu Celia. Merasa bodoh, ceroboh semua yang
buruk dalam pikirku saat itu tertuju untukku. Setelah
selesai memeluk Ibu Celia aku dan Hilya masuk
kedalam untuk memanjatkan doa untuk Almarhum
Celia.
Celia sudah dibalut dengan pakaian putih itu
terlebih dahulu. Tak pernah kusangka akan menjadi

37
Terpaut Oleh Waktu

seperti ini. Didalam tangisku ku lipatkan tanganku


berdoa kepada-Nya. Dalam doaku, aku mengutuki
diriku sendiri karena kebodohan ku sebagai seorang
sahabat.
Doaku juga berisikan betapa aku bersyukur
memiliki seorang Celia dalam hidupku. Bak satu
kuadrat yang dikalikan berapapun itu tetap satu. Satu
kesempatan dimana saat itu aku bisa menjenguk Celia
dan sekedar bermain sebentar bersamanya. Satu
kesempatan yang tidak akan terulang lagi dan akan
selalu menjadi seperti itu.
Aku berterima kasih untuk Celia atas semua
kebaikan dan kenangan yang takkan terjadi lagi.
Karena Celia aku mengerti banyak hal. Terima kasih
Cel karena sudah mau menjadi sahabat terbaik
dalam hidupku. Terima kasih karena hadirmu mampu
membuat hidupku berwarna bahkan ketika Celia pergi
ia selalu menjadi sumber cahaya ku saat gelap melanda
dalam diri ini. Persahabatan ini akan selalu selamanya
ku kenang, Hilya dia yang akan kujaga walaupun kami
tidak sedekat dulu saat bersama Celia.
Celia, terima kasih dan maaf untuk
kebodohanku.

38
Diajar, Belajar, dan
Terpelajar
Karya Alma Rahayu

L angit cerah membentang biru, dingin angin


menyentuh kalbu, rumput-rumput bergoyang
beriringan, debur ombak yang gaduh menyadarkan
aku dari lamunan. Tanpa sadar pikiranku bertanya-
tanya, baru aku mengingat satu jam lamanya aku
sendiri membisu di bawah pasir putih yang dingin.
Yahh sekarang aku di pantai. Nyamannya termenung
sendirian dalam lautan emosi dan pikiran. Tak
lama seorang wanita paruh baya memanggilku dari
kejauhan.
“Lilianaa...kembalilah ke rumah, ada yang ingin
Moma bicarakan,” ucap wanita paruh baya yang
ternyata itu ibuku. Teriakan moma membuat aku
tersentak, berlari dengan cepat menghampiri rumah
kayu di ujung pantai.
“Siapkan pakaianmu, kita akan pergi hari ini
Terpaut Oleh Waktu

juga!” ucapan moma yang membuat raut wajahku


berubah heran.
“kali ini kemana?” dalam diam aku bertanya-
tanya.
Perjalanan panjang kami telusuri melalui bis
yang dipenuhi banyak orang dengan latar belakang dan
tujuan yang berbeda. Pria paruh baya mengendarai bis
dengan waspada. Konon katanya banyak kecelakaan.
Jalanan yang bergelombang turun dan naik membuat
aku mual, rasanya ingin cepat sampai tujuan. Hari ini
adalah ketiga kalinya aku dibawa ketempat berbeda,
seribu pertanyaan ingin kutanyakan pada moma.
“Kemana kita kali ini?” ucapku kepada moma.
“Nanti juga kau akan tau,” tak terdengar jawaban
tulus dari raut wajahnya,
Jadi kusimpan pertanyaan ini dengan penuh
tanya yang menimbulkan praduga dalam hati.
Klakson bis berbunyi Tiit...Tiit...seekor hewan
tertabrak bis, aku berdiri dari kursi bis dan mencari
penyebab bis berhenti. Aku berjalan perlahan
menelusuri kursi demi kursi dalam bis, ternyata
seekor kucing hitam tertabrak bis, konon katanya jika
kita menabrak kucing hitam menandakan sesuatu hal
buruk yang akan terjadi. Gemetar aku melihat tubuh
kucing itu, kemudian bis berhenti sejenak untuk
menguburkan jenazah kucing yang baru saja tewas
tanpa sengaja.
Tidak terasa empat jam lamanya aku duduk di
bis ditemani moma dan Bis berhenti tepat di depan
halte yang nampaknya sepi, cuaca cerah berubah
menjadi gelap gulita seperti akan turun hujan, moma
menarik tanganku untuk segera turun dari bis.
“Ayo kita sudah sampai Lili, ” ucap moma
40
Diajar, Belajar, dan Terpelajar

kepadaku.
Aku berjalan perlahan menuruni tangga bis
yang lumayan tinggi, duduk bergandengan tangan
bersama moma sebelum akhirnya moma pergi jauh.
Moma pergi menuju rumah diseberang halte bis, aku
mengejarnya, sesudah sampai kami di depan pintu
rumah yang tampak tua dan tak terawat, seorang
nenek membukakan pintu dengan tertatih-tatih.
“Halo Lili silahkan masuk, ” ucap nenek tua yang
tak pernah aku temui sebelumnya.
Wajah nenek tampak ramah dan berwibawa.
Kami bertiga duduk dibawah lampu redup yang
nampaknya ini ruang tamu.
“Madame Lei ini Liliana, aku titipkan dia padamu,
aku akan kembali ke sini tahun depan, ” Ucapan moma
kepada Madame Lei.
Terkejut aku dengan pernyataan moma yang
menitipkan aku pada nenek tua yang ternyata
namanya adalah Madame Lei, lebih terkejutnya aku
belum mengenalnya.
Moma pergi meninggalkan aku dengan Madame
Lei tanpa sepatah kata. Rupanya moma hendak pergi
untuk bekerja ke Amerika. Aku tidak mengetahui
pekerjaan apa yang dilakukan moma hingga ia berani
menitipkanku di rumah madam. Masih terduduk aku
dikursi meratapi nasibku untuk satu tahun mendatang
tanpa kehadiran moma. Madam lei yang setengah
keturunan Tionghoa mulai mendekati dan duduk di
sampingku berusaha menenangkan agar aku tidak
bersedih ditinggal moma.
“Baguslah aku bisa jauh dari moma, pasti aku
bisa hidup lebih bebas, lagi pula moma menyebalkan
dan terlalu protective,” ucapku dalam hati sambil
41
Terpaut Oleh Waktu

mengusap air mata yang turun berjatuhan.


“Hallo Madam Lei aku Liliana Gebber,biasa
dipanggil Liliana, saat ini aku kelas 6 Sekolah Dasar,
senang bertemu denganmu,” Tersenyum aku
dihadapan Madam Lei.
“Hallo Lili, aku sudah mengenalmu sejak kecil,
sekarang kamu sudah dewasa yaa! Madam harap
kamu nyaman tinggal di sini” ucap Madame Lei
kepadaku dikursi ruang tamu.
Sebenarnya aku hanya berusaha beradaptasi
dengan situasi ini meski sulit, namun kupaksakan
untuk lebih dekat dengan madam. Matahari mulai
terbenam menandakan hari mulai malam. Madam
menyuruhku untuk tidur di kamar atas lantai dua. Aku
perhatikan rumah ini tampak sepi sekali lantaran tidak
ada orang di rumah selain aku dan madam, seram
sekali bukan? Fokus aku teralihkan saat melihat foto
keluarga di dinding sebelah kamarku, tampak moma,
madam, dan seorang ibu berdiri bersama di foto
tersebut, aku rasa itu moma dan madam saat masih
muda. Siapakah Madame Lei ini? Kusimpan rasa
penasaranku di keesokan hari untuk aku tanyakan
pada madam.
Alarm ponsel berbunyi kencang menandakan
pagi sudah tiba. Seorang wanita mengetuk pintu
kamarku dan ternyata itu madam.
“Lili cepat mandi dan siap-siap, madam akan
mengantarmu hari ini ke sekolah barumu,” Madam
membuka pintu kamar dan menatap ke arah mataku.
Terdiam aku seketika bingung ternyata aku
pindah sekolah juga, kini aku menaiki kelas satu
sekolah menengah pertama di daerah Palembang.
Dua puluh menit perjalanan menuju sekolah baru
42
Diajar, Belajar, dan Terpelajar

aku tempuh bersama madam menaiki mobil, dalam


perjalanan menuju sekolah aku bertanya mengenai
siapa madam dan apa hubungannya dengan moma.
“Jadi, aku dan moma adalah kerabat jauh,
moma memang bukan Tionghoa, namun ibu moma
mengurus madam sejak kecil meskipun kami tidak ada
hubungan darah ” Madame Lei menjawab.
Ohh begitu, bisa disimpulkan jika madam adalah
saudara angkat moma. Rem mobil berhenti di depan
sekolah yang terlihat keren dan besar.
“Lili kita sudah sampai, madam antar sampai
di sini yaa, semoga harimu menyenangkan, ” kata
madam kepadaku, sepertinya itu kata- kata motivasi.
***
Bel sekolah berdering menandakan proses
belajar telah selesai, dan tibanya waktu istirahat.
Semua murid berhamburan keluar kelas dengan riang,
sebagian murid berlarian menuju kantin dan lainnya
tetap menetap di dalam kelas. Beberapa di antaranya
adalah Liliana Gebber yang ambisius, Sebastian Filley
sosok ketua kelas yang teladan, Kaia Monk si “social
butterfly” yang kebiasaannya nongkrong dan belanja,
yang terakhir adalah Devon Murphy si pendiam.
Liliana Gebber, gadis cantik dan bisa dibilang
cukup pintar di SMP nya. Selain itu Liliana adalah gadis
yang baik hati, murah senyum,dan mudah bergaul. Di
rumah Liliana juga suka membantu Madame Lei untuk
membersihkan rumah, terkadang Liliana juga suka
membantu
Madame Lei memasak atau membuat kue, Liliana
juga rajin menabung dan tidak suka menghambur-
hamburkan uangnya untuk sesuatu yang tidak penting.
Ibu (moma) Liliana bekerja di luar kota, oleh karena
43
Terpaut Oleh Waktu

itu Liliana dititipkan kepada Madame Lei walaupun


begitu Liliana tidak putus komunikasi dengan moma
terkadang Liliana akan menelpon moma ketika waktu
senggang atau setidaknya sekali dua hari sementara
ayah Liliana sudah meninggal karena kecelakaan saat
liliana masih berumur 3 tahun.
Karakter pertama, yaitu Sebastian Filley, pria
dengan paras tampan ini menjabat sebagai ketua osis
di Sekolah Menengah Pertama. Meski begitu nilai di
setiap mata pelajarannya tidak pernah kecil, Sebastian
yang kerap dipanggil Tian ini adalah sahabat dari
Liliana. Tian memiliki latar belakang berbeda dengan
teman lainnya. Lantaran Tian sudah ditinggal kedua
orang tuanya karena overdosis narkotika. Orang tua
Tian juga seorang pengedar narkoba, namun sifat
Tian berbeda dengan kedua orang tuanya, Tian adalah
pribadi yang cerdas, mandiri, baik, dan seperlunya.
Bisa dibilang Tian adalah pribadi pria yang seperlunya
dalam berbicara. Sepeninggalan kedua orang tuanya,
Tian mampu menghidupi diri dengan warisan dan
asuransi ibunya yang seorang bandar.
Sosok pria dengan sikap dan kepribadiannya
yang sewaktu-waktu dapat berbeda dan hampir saja
aku tidak mengenalinya dia adalah Devon Murphy.
Aku sering memanggilnya Devon, dia adalah pria
dengan dua kepribadian ganda, terkadang Devon
berubah menjadi pria dengan sosok feminim dan
sensitive, terkadang juga Devon tampil keren dengan
karakter pria sejati dan pendiam, perubahan sikap
pada dirinya juga dapat berubah sewaktu-waktu.
Aku mengetahui hal ini karena Devon sempat cerita
mengenai hal ini kepadaku. Aku menyarankannya
untuk pergi ke psikiater dan menceritakan pemicu apa
44
Diajar, Belajar, dan Terpelajar

yang menyebabkan Devon begini. Ternyata Devon lahir


di keluarga yang terlarang, lantaran ibu dan ayahnya
adalah sepasang sepupu bersaudara. Tidak sampai di
situ, gangguan jiwa pada Devon ia dapat dari ibunya
yang ternyata penyandang bipolar dan anxiety.
Aku sempat bertanya kepada Devon mengenai
apa itu bipolar dan anxiety. Devon menjelaskannya
kepadaku (Liliana) bahwa menurut Psikolog, gangguan
bipolar atau mania depresif adalah gangguan mental
yang menyebabkan perubahan suasana hati, energi,
tingkat aktivitas, konsentrasi, serta kemampuan untuk
melakukan kegiatan sehari-hari. Pengidap bipolar
yang sebelumnya merasa sangat gembira bisa tiba-
tiba berubah menjadi sangat sedih dan putus asa.
Perubahan suasana hati secara tiba-tiba ini dapat
memengaruhi tidur, energi, aktivitas, perilaku, dan
kemampuan berpikir pengidapnya. Gangguan bipolar
adalah kondisi seumur hidup. Artinya, gangguan
mental ini tidak benar-benar bisa disembuhkan. Meski
begitu, gejalanya bisa dikelola dengan baik melalui
terapi dan pengobatan. Sedangkan Anxiety adalah
gangguan kecemasan berlebih. Tak diketahui apa
penyebabnya, namun yang pasti Devon kurang kasih
sayang dari sosok Ibunya sejak ia berumur 9 tahun.
Meski demikian Devon tetap berusaha untuk sembuh
dengan menghubungi psikolog setiap bulannya.
Selanjutnya ada Kaia Monk anak dari orang kaya
raya yang ternyata ayahnya adalah seorang pejabat,
aku tidak mengetahui lebih ayah Kaia sebagai pejabat
apa, namun yang pasti ayahnya sangat royal dan kaya.
Saat aku mengunjungi Kaia, rumahnya nampak besar
sekali dan terkejutnya aku saat Kaia memperkenalkan
tiga orang wanita yang ternyata salah satu diantaranya
45
Terpaut Oleh Waktu

adalah ibunya. Aku beranggapan bahwa ayahnya


pecinta wanita. Kaia seperti sudah berdamai dengan
keadaannya dengan sibuk berbelanja pakaian dan
apapun yang diinginkannya. Menurutku Kaia adalah
wanita pemilih dari berbagai hal mulai dari teman,
makanan, dan pakaian. Aku biasa memanggilnya Kaia
dan ternyata dia benar-benar kaya.
Kisah kami berempat dimulai saat ospek
pada sekolah menengah pertama, sesampainya aku
di sekolah, Kaia menghampiriku dengan pakaian
anehnya yang sensasional dan menarik perhatian.
Kaia mengenakan pakaian putih dengan rok tali robek-
robek dan bola yang terbelah dua di atas kepalanya,
aku menatapnya dengan aneh dan aku bertanya,
“kostum apa ini, lucu sekali,” ucapku dalam hati
sambil tersenyum saat Kaia berjalan menghampiriku.
“Hallo salam kenal aku Kaia, siapa namamu?”
kata Kaia sambil menjabat tanganku untuk bersalaman.
“Hallo Kaia aku Liliana Gebber, panggil saja aku
Lili atau Liliana!” jawabku pada Kaia sambil tersenyum
manis.
Semenjak pertemuan pertama itu kami
berteman dan Kaia mengajakku untuk pergi makan
di kantin sekolah. Ternyata aku bukan teman pertama
Kaia melainkan teman terakhirnya yang ketiga.
Meskipun begitu Kaia mau memperkenalkan aku
kepada dua orang temannya yaitu Tian dan Devon.
Menurutku Tian dan Devon adalah pribadi yang baik,
namun Devon agak sedikit aneh.
Kaia dan kedua teman dekatnya yaitu Devon,
dan Tian tetap berada di dalam kelas karena merasa
malas pergi ke kantin sebab pada jam istirahat makan
siang pasti kantin akan penuh sesak dan antriannya
46
Diajar, Belajar, dan Terpelajar

juga akan lumayan menguras tenaga jadi mereka


memilih untuk menunggu kantin sedikit sepi.
“Aduh aku laper banget! Ke kantin yuk..” ujar
Kaia mengusap perut nya yang baru saja berbunyi.
Saat ini mereka berempat tengah fokus dengan
kesibukan masing-masing. Lili yang sibuk merapihkan
catatannya. Tian yang tengah sibuk menyalin catatan
milik lili, karena Tian terlalu sering izin tidak masuk
sekolah. Devon yang tidur di atas meja sambil
mendengarkan musik melalui ponselnya. Lili yang
mendengar Kaia mengeluh langsung menoleh malas.
“Aku malas, sekarang pasti kantin sumpek”
Kataku kepada Kaia.
“Ayolah temani aku ke kantin janji deh aku
traktir.” Kaia mengerucutkan bibirnya dan memasang
wajah memohon. Mendengar itu Tian menghela nafas,
“Pekerjaan Rumahmu sudah?” tanya Tian.
Dengan polos Kaia menggeleng,
“Lagian mata pelajarannya masih lama nanti aku
kan bisa lihat punya Lili.” Kata Kaia. “siapa yang mau
kasih liat coba, PR tuh kerjainnya sendiri Kaia.” ucap
Lili mendelik kesal ke arah Kaia.
“Masih lama apanya pelajaran nya sehabis
istirahat.” Ucap Tian mengangguk mengiyakan.
Mendengar itu membuat Kaia berdecak, gadis
itu segera mengeluarkan buku tulisnya dengan kesal
dan mulai mengerjakan PR matematikanya.
“Cepat mau nitip apa?” kata Devon, bola
matanya malas.
“Aku nasi goreng aja ya pedasnya sedang.” Sahut
Kaia semangat,
“Aku susu kotak strawberry ya, ini uangnya”
ucap Lili memberikan uang kepada Devon. “Aku roti
47
Terpaut Oleh Waktu

coklat yaa, makasih Devon” ucap Tian memberikan


uang nya pada Devon.
Bel kembali berdering menandakan waktu
istirahat ospek sudah berakhir, kami berempat
bergegas cepat masuk kembali kedalam kelas untuk
mengikuti tahap ospek selanjutnya yaitu perkenalan
para guru dari sekolah ini. Aku sebagai Lili, Kaia, Tian,
dan Devon duduk bersampingan sambil memfokuskan
diri pada presentasi guru, dan alangkah terkejutnya
aku bahwa guru ketiga dari sekolah ini adalah Madame
Lei!
“Selamat siang, teman-teman siswa dan siswi
baru selamat datang di sekolah, semoga kalian bisa
bersenang-senang dan mengikuti pelajaran dengan
baik bersama guru lainnya dan juga saya sebagai
guru matematika,” ucap Madame Lei di hari ospek
sekolahku.
Tidak bisa kubayangkan lagi ternyata Madam
juga guru matematika! Salah satu pelajaran yang tidak
aku gemari. Memikirkannya saja sudah membuatku
gila, apalagi aku satu atap tinggal dengan Madam, aku
memilih menyimpan rapat rahasia ini demi reputasi
Madam dan juga demi sikap profesional aku disekolah.
Kaia dan Tian menatapku dengan heran ketika aku
terkejut melihat Madame Lei diatas panggung.
“Liliana kamu kenapa terlihat sangat terkejut
begitu?” kata Kaia dan menatap wajahku. “Benar
sekali, wajahmu seperti baru saja melihat hantu,” ucap
Tian menambahkan pertanyaan Kaia. Aku berusaha
meyakinkan mereka bahwa aku tidak mengenal
Madame Lei.
“Aku tidak apa apa, hanya saja aku lelah, kapan
kita pulang, lama sekali ospeknya!” kata aku kepada
48
Diajar, Belajar, dan Terpelajar

Tian dan Kaia sambil merangkul tangan mereka


dengan tubuhku yang lemas. Dilain sisi Devon sibuk
memperhatikan kukunya,tampaknya sisi kepribadian
lainnya mulai muncul.
Bel sekolah berdering kembali untuk ketiga
kalinya,menandakan waktunya pulang sekolah.
“Senang sekali rasanya akhirnya pulang juga,”
ucapku saat berjalan menuju gerbang pintu keluar
sekolah. Aku menyaksikan kaia dijemput supir
pribadinya dengan mobil mercedez.
“Lilii..aku duluan yaa!” kata Kaia sambil
melambaikan tangan dari dalam mobil.
Aku sibuk berjalan kaki ke depan halte menunggu
bis menjemputku, namun tiba-tiba Tian datang dan
menepuk bahuku dari belakang.
“Lili..ayo kita pulang bareng, rumahku tidak jauh
dari rumahmu,” kata Tian.
Kami pun menaiki bis bersama dan setibanya
didepan rumah, ternyata rumah Tian ada diseberang
rumahku, jika begitu kami adalah teman sekaligus
tetangga. Senang sekali rasanya aku bisa belajar
bersama dengan Tian. Rumah Tian tampak lebih
sepi dari rumah Madam Lei. Benar sekali Tian hidup
seorang diri, hanya ditemani oleh seekor anjing poodle
peliharaannya.
“Ternyata rumahmu dekat sekali Tian dengan
rumahku,mengapa kamu tidak cerita saat disekolah?”
kata aku menatap wajah Tian dengan heran.
“Haha aku hanya ingin membuatmu terkejut
Lili.” Dengan wajah santai dan menyebalkan Tian
menjawab.
Tak kusangka hari-hariku di lingkungan baru ini
terdapat banyak plot twist. Aku dan Tian berpisah
49
Terpaut Oleh Waktu

dipinggiran jalan dan mengakhiri pembicaraan untuk


masuk ke dalam rumah masing- masing.
***
Sudah satu tahun aku sekolah mendapati kabar
bahwa devon jatuh sakit dan divonis terkena kanker
stadium dua. Berat sekali hidupnya selain divonis
memiliki kepribadian ganda, devon juga terkena
kanker. Aku, Kaia, dan Tian menangisi Devon seharian
di rumah sakit. Devon berusaha tegar dan meyakinkan
kami bahwa dia tidak apa-apa. Devon terlihat begitu
ikhlas bila ia harus mati muda. Tian bertanya kepada
Devon apa keinginan terakhirnya? dan Devon
menjawab.
“Aku ingin kalian tetap rukun dan bisa
membantuku untuk belajar lebih giat, agar aku bisa
menggapai mimpiku untuk membangun perpustakaan
gratis.” Kata Devon sambil terbaring lemas dikasur
rumah sakit.
Kami duduk dikursi mengelilingi devon dan
terkejut mendengar keinginannya yang cukup unik
untuk anak SMP seusianya.
“Apaaa membangun perpustakaan? Apa tidak
salah dengar aku? Mengapa tidak toko emas saja biar
cepat kaya!” kata Kaia sambil tertawa.
“Apa yang salah dengan perpustakaan? Devon
menyukai buku bukan?” Aku (Liliana) berusaha
menetralkan keadaan.
“Kenapa harus Perpustakaan ?” kata Tian.
“Karena buku tempat kita diajar, untuk
belajar,dan menjadi seseorang yang terpelajar.” Kata
Devon.
Jawabannya membuat aku dan teman-teman
terkejut. Bahwa selama ini Devon bukan sekedar
50
Diajar, Belajar, dan Terpelajar

pendiam, tapi Devon diam-diam belajar tanpa


sepengetahuan kami.
“Yahh jangan khawatir Devon, kami akan
berusaha semaksimal mungkin untuk membantumu.”
Ucap Tian untuk menenangkan Devon yang sedang
sakit.
Dua bulan berjalan, kami berusaha belajar
dengan giat tanpa Devon. Kami membantunya untuk
mengejar pelajaran sekolah dengan memberikan
catatan setiap tugas dan rekaman suara untuk Devon
dengarkan saat dia sedang stabil dan lumayan pulih.
Yah Devon diliburkan dari sekolah selama lima bulan
lamanya, kemungkinan kami tidak akan satu tingkat
lagi dengan Devon. Kaia yang malas saja berusaha
giat belajar agar bisa mengajarkannya kembali kepada
Devon. Kami mengunjunginya setiap satu minggu
sekali untuk melihat sejauh mana tubuh Devon mulai
pulih atau memburuk. Tidak lupa aku, Kaia dan Tian
selalu memberikan semangat kepada Devon untuk
bisa sembuh dan bisa membangun perpustakaan
buku gratis bersama-sama.
Madame Lei tidak pernah melarangku untuk
terus berimajinasi dan melakukan banyak kreativitas
bersama dengan teman-temanku yang tentunya
memiliki kepribadian dan pengalaman yang masing-
masing unik. Aku bersenang-senang bersama Kaia,
Tian, dan Devon sambil menunggu kedatangan ibu
lima bulan ke depan untuk menjemputku kembali
dari rumah ini. Kuhabiskan banyak malam di bawah
lampu terang meja belajar untuk bisa membangun
perpustakaan bersama sesuai dengan apa yang Devon
inginkan. Setibanya aku dipenghujung hari tepat
lima bulan setelah Devon dirawat, dan ibu datang
51
Terpaut Oleh Waktu

menjemputku, senang rasanya aku bisa bertemu ibu


kembali, namun di sisi lain hancur rasanya saat aku
mendengar kabar bahwa Devon telah tiada.
Perpisahan kami terjadi begitu saja, aku,Kaia dan
Tian memutuskan untuk berpisah setelah Devon tiada.
Kaia tetap melanjutkan pendidikannya, sementara
Tian tidak mampu lagi membiayai sekolah, lantaran
warisan orang tuanya yang habis begitu saja tanpa
dikelola dengan baik, sehingga Tian memutuskan
untuk pergi merantau bekerja. Sementara aku pindah
sekolah ke daerahku pertama kali aku terlahir, yah di
sebuah rumah dipenghujung pantai. Keinginan Devon
tak berhasil kami wujudkan, namun nanti akan kami
lanjutkan. Selamat jalan Devon mungkin kamu akan
lebih bahagia di universe lain.
Aku sebagai Liliana Gebber atau Lili,
mendapatkan pengalaman dan pembelajaran dari
kisah ketiga temanku saat di Sekolah Menengah
Pertama. Belajar tidak hanya sekedar bersekolah.
Namun belajar bisa dari perjalanan kehidupan orang-
orang di sekitar kita. Sebagian berbahagia, dan
memiliki kesempatan lebih banyak untuk mencoba,
dan sebagian lainnya tidak memiliki kesempatan yang
sama.

52
Angel, Angelin dan
Gengsi
Karya Angel Chatarina Siregar

“S ahabat...
Teman baik yang sulit dicari.
Namun, jika sudah menemukan yang cocok
akan membuat kita nyaman untuk saling berbagi
tawa hingga tangis.
Seribu terima kasih aku panjatkan kepada
Tuhan karena telah menghadirkan pelangi yang
selalu mewarnai hidupku melalui enam orang
konyol yang sangat aku sayangi.
Tuhan Yesus... terima kasih atas kehadiran
Angelin, Angely, Sebastian, Timothy, Yosua dan
Yulia di dalam hidup Angel.”
Tulis Angel di diary-nya sehari sebelum
kepergiannya dari Medan, kota kelahirannya.
Angel, Angelin, Angely, Sebastian, Timothy,
Yosua dan Yulia adalah sekelompok sahabat yang mau
tidak mau harus berpisah demi meraih impian mereka
masing-masing. Angel, Sebastian, Timothy dan Yosua
Terpaut Oleh Waktu

akan berangkat ke Pulau Jawa untuk melanjutkan studi


mereka meninggalkan Angelin, Angely, Yulia, beserta
Kota Medan. Berat rasanya meninggalkan kota yang
sudah menjadi zona nyaman mereka selama ini. Hal
itu telah menjadi keputusan empat orang dari tujuh
sekawan itu.
Kalau kata Yosua sih, “Sudah habis masanya
Angel, Angelin, Angely, Sebastian, Timothy, Yosua dan
Yulia untuk sekedar bermain”
Berteman sedari kecil hingga menginjakkan kaki
di bangku perkuliahan, terasa sangat singkat diantara
mereka. Tentunya sebelum saling berjauhan dan sulit
bertemu, tujuh sekawan itu menjadi lebih sering
bertemu dan bermain.
Canda dan tawa ria Angel, Angelin, Angely,
Sebastian, Timothy, Yosua dan Yulia menghiasi ruang
tamu Sebastian, mereka yang tengah merayakan ulang
tahun Sebastian pada malam itu tiba-tiba berpikir
untuk merencanakan untuk menginap di salah satu
hotel di Kota Medan sekaligus momen terakhir sebagai
tanda perpisahan mereka untuk sementara waktu.
Canda dan tawa pun berganti dengan pembahasan
yang serius mengenai rencana tujuh sekawan ini.
Perpisahan adalah kata yang enggan sekali
Angel ingat jika sedang bersama Angelin, Angely,
Sebastian, Timothy, Yosua dan Yulia. Terlalu nyaman
dan tak ingin waktu memisahkan. Jika sedang bermain
dengan enam sahabatnya itu untuk pulang ke rumah
saja Angel merasa berat, apalagi memikirkan berpisah
untuk waktu yang mungkin akan lama. Perasaan galau
meliputi hati dan pikiran Angel saat melihat satu
persatu sahabatnya itu, teringat akan waktu yang
sebentar lagi akan memisahkan mereka.
“Oke ya we, sepakat ya hari Minggu selesai
gereja kumpul di rumah Angelin,” ujar Sebastian
dengan semangat.
“Setujuu” teriak Angel, Angelin, Angely, Timothy,
Yosua dan Yulia.
Lagi-lagi waktu berjalan dengan sangat cepat,

54
Angel, Angelin dan Gengsi

tujuh sekawan itu akhirnya bertemu pada tanggal 9


Januari 2022 untuk merealisasikan rencana yang telah
mereka sepakati dua hari yang lalu. Hotel Swiss Bellin
menjadi kediaman yang mereka pilih untuk menginap
pada hari itu. Hujan deras di hari itu tak mengubah
perasaan gembira tujuh sekawan tersebut.
Pasalnya selama sepuluh tahun menjalin
pertemanan, baru kali ini mereka dapat menginap
bersama di balik orang tua strict yang tujuh sekawan
ini miliki. Angel dan Angelin sudah menyiapkan
rundown acara pada acara perpisahan kali ini dengan
sangat niat. Mulai dari bermain game, makan siang,
bermain Tiktok, deeptalk, nonton bareng, hingga
makan malam, semua kegiatan tersebut satu persatu
mereka lakukan.
Saat sesi deeptalk, tujuh sekawan tersebut
terbuka akan segala hal yang mereka rasakan, sukai,
benci hingga apa yang mereka pendam selama
berteman hingga hari itu. Sakit, senang dan lega
mereka rasakan saat sesi deeptalk, ditutup dengan
saling berpelukan satu persatu. Momen langkah yang
akan menjadi kenangan indah untuk setiap orang dari
tujuh sekawan ini.
“Mata merah dan bengkak akan menjadi saksi
dari kebahagiaan dan keabadian persahabatan kami di
hari yang akan datang,” ujar Angel dalam hati.
***
Seminggu berlalu semenjak tujuh sekawan
itu menyelenggarakan momen perpisahan mereka,
akhirnya satu persatu berangkat meninggalkan Medan
dan kenangan yang mereka ukir setiap bermain.
Angel menghela nafas, “Andai saja waktu dapat
sedikit saja lebih lama untuk berlalu” gumam Angel
dalam hatinya di hari kepergiannya itu.
“Apa aku salah langkah ya? Apa aku akan
menemukan sahabat sebaik mereka nantinya
disana?” Angel masih bergelut dengan pikiranya saat
di perjalanan menuju bandara.
Tak disangka ternyata Angelin dan Yulia ikut

55
Terpaut Oleh Waktu

mengantar Angel ke bandara di hari keberangkatannya


tersebut. Tentunya ia sangat bahagia, namun
menyadari bahwa mereka akan segera berpisah
membuat senyum Angel memudar.
Perpisahan antara Angel dan sahabat-
sahabatnya tersebut pun di mulai...
Sudah sebulan lamanya Angel berada di Bogor,
belum menemukan teman yang bisa dekat dengan
dirinya dan hal yang dapat membuatnya bahagia di
kota tersebut menjadi hal yang Angel sesali untuk
pergi ke sana. Setiap hari ia kepikiran akan keenam
sahabatnya, dimana mereka, sedang berbuat apa,
apa yang mereka alami setiap harinya, apakah mereka
punya teman baru yang lebih mereka sayangi, semua
hal itu terus berputar mengitari otak Angel.
“Kenapa ya Angelin, Angely, Bastian, Tim, Yosua
atau Yulia gitu nggak nanyain kabar aku, mereka nggak
kangen aku ya?” gumam Angel dalam hatinya.
Saat sedang sakit ingin rasanya diperhatikan oleh
sahabat-sahabatnya itu, paling tidak sekedar saling
bertukar kabar. Angel sedih karena merasa sahabat-
sahabatnya, terlebih Angelin, Angely maupun Yulia
yang lebih dekat dengannya seolah-olah lupa akan
dirinya. Angel memendam kesedihannya tersebut
untuk waktu yang lama, gengsi untuk mengutarakan
yang hatinya rasakan.
***
Bang Dinan adalah sosok yang dekat dengan
Angel dan Angelin, mereka sudah menganggapnya
seperti abang sendiri. Saat di Medan dulu, Angelin
yang memperkenalkan Bang Dinan pada Angel untuk
membantu tugas kuliah Angel. Angel sangat berterima
kasih karena Angelin telah memperkenalkannya
kepada Bang Dinan yang selalu baik kepada Angel
dan membantunya dalam mengerjakan tugas desain
grafis.
Menganggap Bang Dinan sudah seperti abang
sendiri membuat Angel sering curhat kepada Bang
Dinan mengenai Angelin. Pernah suatu kali Angel

56
Angel, Angelin dan Gengsi

curhat kepada Bang Dinan bahwasanya ia sakit


hati karena Angelin yang tak kunjung menanyakan
kabarnya atau sekedar berbasa-basi kepadanya.
Apakah sahabatnya tersebut sesibuk itu hingga tidak
bisa meluangkan waktu untuk sekedar bertukar kabar
dengannya. Namun Angel tak menyampaikan hal
tersebut langsung kepada Angelin, memilih bercerita
tentang hal yang ia pendam itu kepada orang yang
sudah ia anggap sebagai abang. Berharap jika Bang
Dinan dapat menyampaikannya pada Angelin dengan
bahasa yang baik dan dapat membuat Angelin
mengerti akan hal yang Angel pendam dan rindukan
selama ini dari sosoknya.
Malam itu, Angel sedang mengerjakan tugas
membuat video yang deadline pada 23.59 di hari itu.
Tiba-tiba notifikasi Whatsapp membuyarkan pikiran
Angel, dengan cepat ia membaca pesan yang masuk.
“Chat dari Angelin? Tiba-tiba saja dia muncul
setelah sekian lama,” gumam Angel dalam hati.
Rasanya senang, akhirnya sahabat yang
ia tunggu-tunggu sedari lama itu kembali
menghubunginya. Angel pun segera membalas pesan
sahabatnya tersebut, namun tentu masih dengan
perasaan jengkel yang membuat Angel membalas
pesan sahabatnya tersebut dengan penuh amarah.
Amarah bagi Angel adalah dengan bersikap dingin
dan cuek bukan dengan melontarkan makian kasar, ya
begitulah anak satu ini karena ia sendiri sangat benci
akan makian.
Pesan panjang yang Angelin kirimkan padanya
sangat sulit untuk Angel cerna, ia tidak mengerti apa
yang tiba-tiba membuat Angelin mengetik setiap kata
yang mengutarakan amarahnya pada Angel. Pesan
dari Angelin menimbulkan perasaan bingung, sedih
dan panik menghantui Angel pada malam itu. Pasalnya
dalam pesan tersebut Angelin mengungkapkan segala
amarahnya pada Angel dan satu yang Angel sadari,
Bang Dinan menjadi oknum penting yang berperan
atas hal yang terjadi malam itu antara dirinya dan

57
Terpaut Oleh Waktu

Angelin.
“Ngel aku nggak nyangka kau ternyata selama
ini berpikir seperti itu ke aku dan kau pengen aku
kehilangan teman. Setelah semua perbuatan baik yang
aku buat ke kau, ini balasan yang kau kasih,” ungkap
Angelin dalam pesannya yang ia kirimkan pada Angel.
Angel tidak pernah sekali pun berpikiran atau
berharap Angelin kehilangan temannya, sungguh hal
jahat yang tidak pernah muncul dalam pikirannya.
Angel memang pernah curhat ke Bang Dinan kalau
saja Angelin kehilangan sosok Angel yang merupakan
sahabat karibnya itu, kira-kira bagaimana perasaan
Angelin, apakah dia akan merasa sedih dan kehilangan
salah satu warna dalam pelangi di kehidupannya.
Kehilangan dirinya, bukan teman lain dari Angelin,
itulah yang Angel maksud. Kadang kala saja jika
manusia overthingking.
Dalam pesannya itu, Angelin mengatakan hal
yang benar-benar menjadi teka-teki yang sulit Angel
pecahkan, namun rasanya sangat sakit membaca
setiap kata yang ada dalam pesan tersebut. Dalam
pesan tersebut terlihat Angelin seolah mengatakan
bahwa ia kecewa dengan segala sikap Angel selama
ini, ia kecewa dengan Angel yang tak tahu diri
akan kebaikannya selama ini dan malah membalas
semuanya dengan tancapan tajam yang membuat
Angelin sakit. Namun, saat Angel berusaha meminta
penjelasan atas apa yang terjadi, Angelin malah
menyudahi semuanya dan enggan untuk memperjelas
semuanya.
Hal yang Angel tahu adalah Bang Dinan menjadi
tokoh utama untuk hal yang terjadi antara dirinya
dan Angelin. Apa yang sebenarnya Bang Dinan
sampaikan kepada Angelin sehingga membuat amarah
sahabatnya tersebut meledak padanya. Bukankah
seharusnya Angel yang marah di sini? Kenapa jadi
begini? Angel sangat tak paham untuk hal yang kini
menjadi perdebatan antara dirinya dan Angelin,
Angel terus meminta maaf dan mencoba menjelaskan

58
Angel, Angelin dan Gengsi

hal yang menjadi kesalahpahaman Angelin atas


dirinya. Bukannya mendengar dahulu penjelasan dari
Angel, Angelin yang dikuasai amarah saat itu terus
mengeluarkan kata- kata pedas yang sungguh tak
ingin Angel terima lagi.
Kata maaf dari Angel pun ditolak mentah-
mentah oleh sahabatnya itu. Angel yang merasa butuh
penjelasan untuk semua ini pun segera menelfon Bang
Dinan. Angel lupa waktu dan tak perduli walaupun
sudah tengah malam, ia hanya perlu penjelasan untuk
hal yang terjadi itu.
“Bang ada apa ini? Angelin kenapa? Abang
ngomong apa ke Angelin? Ya ampun kenapa ini Bang
Nan?” dengan isak tangis Angel melontarkan semua
pertanyaan itu pada Bang Dinan.
Bukannya mendapatkan penjelasan atas hal
tersebut. Angel malah mendengar bentakan Angelin
pada dirinya. Angel tahu saat ini Angelin dikuasai oleh
amarahnya, tetapi bukankah ia juga harus menjaga
perasaan orang lain.
“Apalagi? Nggak usah sok merasa disakiti ya!
Jangan hubungi lagi Bang Dinan. Aku udah tahu
semuanya. Pokoknya jangan pernah lagi hubungi
Bang Dinan, intropeksi diri aja sama apa yang udah
kau buat!” bentakan Angelin tersebut berhasil
memecahkan tangis Angel pada malam itu.
Sulit untuk menggambarkan apa yang kini
Angel rasakan, yang ia tahu ialah yang menjadi teman
jahat yang telah menggoreskan luka di hati sahabat
terbaiknya itu. Air mata terus mengalir di pipi Angel,
ia terus mengutuki dirinya atas kejadian tersebut.
Rasanya kata maaf memang tidak pantas untuk
dirinya. Angelin adalah sosok sahabat terbaik yang
pernah Angel miliki, tak pernah ia bayangkan untuk
kehilangan sosok sahabat baiknya itu. Namun Angel
juga kecewa untuk luka yang Angelin gores di hatinya
dan sulit rasanya untuk baik-baik saja mengingat luka
itu.
Seribu maaf pun rasanya tak akan membalikkan

59
Terpaut Oleh Waktu

keadaan dari dua sekawan ini, mereka sama-sama


merasa sangat terluka atas perbuatan satu sama lain.
Nasi sudah menjadi bubur adalah hal yang tak bisa
dihindarkan atas kejadian itu.
“Apakah Tuhan akan memaafkan aku untuk
perbuatanku ini?” tanya Angel terus dalam hatinya
tanpa menemukan jawaban.
Goresan luka di hati Angel karena perkataan
Angelin terasa semakin sakit setiap waktunya, Rasanya
Angel membutuhkan pelukan hangat dan bahu untuk
bersender detik itu juga namun nihil. Tidak ada bahu
yang bisa Angel jadikan senderan apalagi berharap
mendapat pelukan hangat malam itu.
***
Setelah merenung atas semuanya, Angel
kecewa dan sangat marah terhadap dirinya sendiri.
Ia memang salah karena telah menjadi sahabat yang
jahat, ia pantas untuk mendapat semua perlakuan
yang menjadi luka bagi dirinya dan ia pikir itu semua
pun tak bisa menjadi hal yang membuat Angelin
memaafkannya.
Andai mesin waktu itu ada, Angel tak akan
memilih untuk berbuat seperti itu. Angel memang
tak seharusnya terlalu banyak cerita kepada Bang
Dinan perihal dirinya dan Angelin dan mengenai kisah
antara dia dan Angelin. Namun rasa percaya Angel
karena sudah menganggap Bang Dinan seperti abang
kandungnya sendiri membuat ia memilih berbagi hal
yang tak seharusnya ia bagi. Memang manusia itu
sangat sulit untuk kita terka dan pahami, yang kita
lihat sangat baik bisa saja menusuk kita di waktu yang
kita tak sangka-sangka.
“Angelin maaf aku berbagi tentang kita kepada
orang yang salah. Aku pikir semuanya akan berakhir
baik kalau aku bercerita pada Bang Dinan. Aku pikir
dia bisa menyampaikan hal yang hatiku maksudkan,
namun sulit kusampaikan padamu. Maaf karena
memilih untuk tidak tutup kuping atas cerita tentang
keluargamu yang tidak seharusnya aku tahu. Sampai

60
Angel, Angelin dan Gengsi

kapan pun aku sayang dan akan selalu menggapmu


sahabat” tulis Angel di diary-nya sembari menangis
di malam yang seharusnya menjadi waktu untuk tidur
baginya.
Angel lagi-lagi menekankan semua beban itu
kepada dirinya yang sebenarnya sudah tak mampu
menerima luka atas hal tersebut. Melupakan dirinya
yang juga rapuh dan butuh kekuatan dari dirinya
sendiri.
Setiap malam Angel hanya bisa menyalahkan
dirinya atas hal yang tidak mampu ia perbaiki lagi.
Angel sampai berpikir akan lebih baik jika Tuhan
menjemputnya sekarang dari dunia karena ia sudah
tidak mampu lagi bertahan akan kesalahan yang
terus menghantuinya. Apakah Tuhan tidak tahu kalau
itu menjadi cobaan yang terlalu berat di waktu yang
lagi berat juga untuk Angel jalani. Harus bertahan
hidup sendiri dengan cobaan yang datang bagai
petir untuknya. Angel hanya bisa berdoa untuk
Angelin, Bang Dinan dan dirinya. Tak pernah Angel
lupa untuk mendoakan mereka dan meminta ampun
atas kesalahan yang ia perbuat pada sahabatnya
itu. Semoga saja Tuhan menerima maaf Angel dan
mengampuninya, walau terasa sulit juga bagi Angel
sendiri untuk memaafkan dirinya.
Tak sampai disitu, tiba-tiba saja Angel merasa
aneh karena sudah lama ia tak melihat postingan story
Instagram dari Angelin padahal biasanya ia sering
membuat story di media sosial Instagram-nya. Angel
langsung membuka aplikasi Insatgram yang ada di
handphone-nya dan menyadari bahwa Angelin mem-
block dirinya di Instagram dari kedua akun mereka
yang seharusnya saling berteman.
Air matanya langsung jatuh menghujani pipinya
kala itu, sakit rasanya mengetahui bahwa sahabat yang
ia sayangi tersebut telah memilih untuk memutuskan
hubungan dengannya. Salah besar Angel berpikir
Angelin akan mendengar dahulu penjelasan darinya
sehingga akan ada kata damai untuk mereka. Apakah

61
Terpaut Oleh Waktu

ini artinya kisah mereka sudah selesai? Tidak bisakah ia


menerima maaf dan kesempatan atas kesalahannya?
Nyatanya menyakiti dan menyalahkan diri sendiri
adalah kebiasaan buruk yang kerap Angel lakukan.
Berharap mendapat maaf dari orang lain, padahal ia
sendiri pun belum mampu memberikan maaf pada
dirinya sendiri.
***
Untungnya selama di kost ada Kak Syakira. Kak
Syakira adalah oknum yang selalu memberi nasihat
dan kekuatan untuk Angel selama dia berada di kost.
Masih ada sosok yang Tuhan berikan kepada Angel
untuk menguatkan dirinya.
“Sudah cukup untuk menyalahkan diri kamu
sendiri, kamu harus menjalani hidup kembali dengan
menerima kebahagiaan yang pantas kamu dapatkan.
Toh kamu kan hidup juga bukan sekedar untuk satu
orang, banyak orang yang menjadi alasan untuk kamu
bertahan. Tunjukkan bahagia kamu lagi ke dunia Ngel”
tegas Kak Syakira pada Angel.
Rasanya ia sudah menyerah dan tak membiarkan
dirinya untuk mengenal kata bahagia lagi jika tak
menerima omongan Kak Syakira yang membantunya
untuk kuat.
Baiklah, Angel akan mencoba untuk memaafkan
dirinya terlebih dahulu walaupun masih terasa sulit
baginya. Mau sampai kapan raga membenci jiwa, itu
hal yang tidak seharusnya manusia lakukan. Berdamai
dengan diri sendiri, Angel juga akan mencobanya dan
berusaha untuk dapat mewujudkan hal itu.
Sebastian yang merupakan sahabat Angel, juga
sudah mengetahui kisahnya ini dan terus membantu
Angel untuk berdamai dengan dirinya.
“Tidak ada yang salah, hanya saja ada
kesalahpahaman yang terjadi antara kau dan Angelin.
Biar saja waktu yang jawab semuanya Ngel, jangan
terlalu menyalahkan dirimu dan cobalah berbahagia
dengan kisahmu yang sekarang sedang terjadi,” pesan
yang Angel terima dari Sebastian via Whatsapp itu juga

62
Angel, Angelin dan Gengsi

membantunya untuk kuat dan memaafkan dirinya.


Ada satu lagi sahabat yang ikut menguatkan
Angel di tengah kesalahan yang menghantuinya, Yulia
namanya. Yulia yang sangat kaget ketika mendengar
hal yang terjadi antara Angel dan Angelin, ditambah
lagi ia baru mengetahuinya setelah hampir tiga
bulan Angel menyembunyikan hal itu darinya. Ia juga
meminta maaf kepada Angel jika selama ini ia terkesan
tak perduli dan tidak pernah menanyakan kabar Angel,
sahabat yang ternyata merindukan kehadirannya.
Perlahan-lahan Angel pun akhirnya mampu
berdamai dengan dirinya, tetapi tentu masih dengan
memohon agar Tuhan mampu mengampuni dan
memaafkannya. Angel berjanji kepada Tuhan akan
berusaha dapat menjadi teman yang baik bagi
orang lain dan tidak mengulang lagi kesalahannya di
masa lampau itu. Rasanya Tuhan merestuinya untuk
berdamai dengan dirinya karena rasanya ia lebih
lega seiring berjalannya waktu dan ia sudah mampu
membiarkan dirinya untuk merasakan kembali
bahagia itu.
***
Liburan semester telah tiba, hal yang sangat Angel
nanti-nantikan. Ia sudah tidak sabar mengistirahatkan
dirinya setelah segala kelelahan di semester empat
yang ia jalani. Mama Angel terus mendesaknya agar
lekas kembali ke Medan selama liburan semester.
Setiap diminta kembali, Angel malah membahas hal
lain dan mengulur-ulur waktu dengan alasan masih
ada hal yang harus ia urus di kampus.
Trauma menjadi alasan utama dari gadis remaja
tersebut untuk mengundur kepulangannya ke Medan,
baginya luka yang ia dapat enam bulan lalu menjadi
trauma yang mendalam yang membuat ia takut untuk
kembali ke Medan. Ia takut kalau saja harus bertemu
Angelin, ia takut kalau harus bertemu Angelin di gereja
yang menjadi tempat yang sangat memungkinkan
adanya pertemuan antara Angel dan Angelin.
Tidak bisa lagi mengelak, Angel pun memenuhi

63
Terpaut Oleh Waktu

permintaan papa dan mamanya untuk pulang ke


Medan. Setelah dua minggu ia mencoba memberi
ruang bagi dirinya untuk menikmati libur semesternya
itu dengan berjalan-jalan di Pulau Jawa. Akhirnya,
pada tanggal 01 Juli Angel pun memutuskan untuk
pulang ke Medan.
Bahagia rasanya, Angel dapat kembali berkumpul
dan merasakan kehangatan dari keluarganya yang
sudah lama tidak ia dapatkan. Menyesal rasanya
Angel mengulur waktu untuk pulang ke Medan hanya
dikarenakan ia yang belum sepenuhnya berdamai
dengan dirinya sendiri. Saat di Medan, tak bisa
bohong kalau Angel terus merindukan sosok Angelin.
Andai saja mereka baik-baik saja saat ini pasti sudah
hampir setiap hari Angel bermain dengan Angelin.
Tapi sudahlah, angel harus bisa melangkah maju untuk
semua kisah yang telah terjadi.
***
Saat sudah mencoba melupakan sepenuhnya hal
yang menjadi bayang-bayang kesalahannya, tiba-tiba
saja Angel mendapatkan pesan dari temannya Angely
yang mengajaknya untuk bertemu dan bermain. Angel
pun memenuhinya dan mereka berdua bertemu di
rumah Angel. Tak disangka, ternyata Angely telah
mengetahui hal yang terjadi antara kedua sahabatnya
tersebut dan ia marah kepada Angel yang memilih
diam dan tidak bercerita kepadanya untuk hal yang
telah terjadi itu. Angely mengetahui masalah tersebut
dari Angelin yang juga awalnya menyembunyikan hal
itu darinya.
Ikut merasa hancur atas hal yang terjadi pada
dua sahabatnya itu, Angely pun berusaha untuk
memahami cerita dari kedua sahabatnya itu dan
mencerna semuanya. Ia juga memberi nasihat kepada
dua belah pihak. Angely yang menyadari bahwa Angel
dan Angelin telah dikuasai oleh gengsi untuk berdamai
ditambah luka hati masing-masing, membuat Angely
berpikir keras bagaimana cara menyatukan kembali
kedua sahabatnya ini dan menghilangkan gengsi yang

64
Angel, Angelin dan Gengsi

menguasai Angel dan Angelin.


Angely mengetahui bahwa memang ada
kesalahpahaman antara Angel dan Angelin yang tidak
mereka coba untuk ketahui kebenarannya. Keduanya
justru memilih untuk diam dan saling melupakan satu
sama lain. Mencoba mencari bahagia masing-masing
tanpa keberadaan satu sama lain dan mencoba
melupakan luka mereka yang seharusnya mereka
sembuhkan dahulu sebelum memutuskan untuk
saling melupakan.
Angely menyadari juga bahwa kedua sahabatnya
ini sebenarnya masih saling ingin mengetahui satu
sama lain dari yang ia amati. Keduanya yang masih
saling mencari tahu kehidupan sosial media satu sama
lain, pasti ada rasa rindu di antara kedua orang ini
yang membuat mereka saling ingin tahu kehidupan
satu sama lain. Namun nyatanya gengsi mereka lebih
besar untuk hal itu, memang kedua orang ini adalah
budak gengsi hingga menghiraukan hati sendiri.
Kabar dari Angely, Angelin memang menantikan
Angel untuk minta maaf secara langsung padanya.
Tentu saja ada niatan Angel untuk melakukan hal itu,
tetapi ia masih takut untuk mengungkapkan maaf
yang selama ini tahan karena rasa takut dan gengsinya.
Begitu juga dengan Angelin yang juga gengsi untuk
mengakui bahwa ia rindu untuk bertemu dengan
Angel, sahabat terlucu yang sangat ia sayangi itu.
Dua hari lagi Angel akan kembali ke Bogor
dikarenakan libur semester yang akan segera berakhir.
Sebelum kembali ke Bogor, Angely telah menyusun
rencana untuk Angel dan
Angelin bertemu untuk berdamai atas akar
pahit yang mereka pendam selama ini. Keduanya
pun menyetujui hal tersebut dan mungkin memang
keduanya juga saling menginginkan untuk melihat
satu sama lain.
Ternyata takdir berkata lain, Angel yang
disibukkan oleh hal-hal yang ia harus persiapkan
menjelang kepergiannya kembali ke Bogor membuat

65
Terpaut Oleh Waktu

ia tak bisa bertemu dengan Angelin. Dalam lubuk


hati masing-masing sebenarnya mereka sudah
sangat rindu untuk bertemu dan ingin segera saling
mendengar hati satu sama lain yang selama ini hanya
bisa mereka simpan sendiri hingga menjadi akar pahit
satu sama lain.
Angel yang dari awal memang berniat untuk
menuliskan surat untuk sahabat lamanya tersebut
jauh sebelum niat untuk bertemu akhirnya ia
realisasikan. Setelah selesai oleh kesibukan packing
untuk keberangkatannya besok hari, ia pun mengambil
kertas dari lemari bukunya dan langsung saja ia
menuliskan segala hal yang ingin ia sampaikan pada
Angelin. Ia menuliskan kata demi kata yang menjadi
hal yang ingin ia katakan pada Angelin, namun hanya
bisa ia pendam selama ini.
Angel terhanyut dengan kegiatan yang ia
lakukan saat itu hingga lupa untuk tidur. Alhasil, ia
tidak tidur karena baru mulai untuk menulis suratnya
pada pukul hingga pukul empat dini hari. Selama dua
jam Angel tenggelam dalam hal yang selama ini ingin
diutarakan oleh hatinya. Tepat pukul lima dini hari,
Angel berangkat ke Bandara Kualanamu diantar oleh
keluarganya. Sedih? Sudah pasti. Ia akan berpisah
dengan pelangi indah dalam kehidupannya. Keluar dari
zona nyamannya dan kembali berjuang melanjutkan
pendidikannya.
***
Angel meninggalkan Medan dengan perasaan
yang masih merindukan Angelin. Sangat disesalkan
mereka tidak dapat bertemu, namun Angel berpikir
bahwa Tuhan mempunyai rencana dan rancangan
yang lebih baik untuknya.
Puji Tuhan, Angel sampai di Bogor dengan
selamat. Sangat lelah setelah perjalanan panjang, Angel
pun langsung bersih-bersih dan segera beristirahat.
Hari kedua setelah kepulangannya ke Bogor, Angel
masih santai karena memang belum masuk kuliah.
Baru keesokan harinya, di hari Senin Angel akan

66
Angel, Angelin dan Gengsi

kembali masuk kuliah dan memasuki semester baru.


Angel memilih untuk tidak bergadang untuk nonton
drama Korea di hari itu karena keesokanya ia akan
kuliah offline pada pukul 07.00 pagi.
Pada pukul 00.00 WIB di tanggal 15 Agustus
saat Angel telah memejamkan matanya untuk tidur,
tiba-tiba saja ia mendapatkan pesan dari nomor yang
tidak dikenal. Angel pun langsung bangkit kembali dan
membaca pesan itu kata demi kata dengan perasaan
yang sangat bingung.
“Can i say, miss u too? Maaf jadi teman yang
gengsi dan nggak kenal dirimu sesaat” Begitulah isi
pesan dari nomor tidak dikenal itu.
Angel menyadari siapa pengirim pesan itu dan
segera memastikan kebenarannya. Benar saja, pesan
tersebut pengirimnya adalah Angelin. Tangis Angel
langsung pecah membaca pesan tersebut dan ia
masih bingung apakah itu nyata atau hanya mimpi.
Syukurnya itu adalah kenyataan yang selama ini ia
nantikan.
Selama enam bulan mereka saling membenci,
menyimpan akar pahit, menjadi sosok yang saling
tak mengenal dan melupakan satu sama lain. Angel
bersyukur, Tuhan mengembalikan sahabat lamanya
setelah enam bulan ia merasa kehilangan sosok
Angelin. Tidak sia-sia selama ini Angel berdoa kepada
Tuhan untuk mengembalikan kondisinya dan Angelin
seperti semula. Walaupun baginya itu terasa sulit dan
terdengar mustahil, tetapi Angel percaya Tuhan tidak
tidur untuk doanya.
“Seribu terima kasih Tuhan Yesus sudah
membuat rencana dan rancangan untuk aku dan
Angelin bisa berdamai atas situasi kami selama ini.”
batin Angel dalam hatinya.
Angel juga bersyukur selama dirinya dan Angelin
sedang musuhan, mereka berdua tidak pernah
menarik salah satu dari lima sahabat mereka yang
lainnya untuk memihak salah satu diantara mereka.
Angel dan Angelin sama-sama tidak ingin sahabat

67
Terpaut Oleh Waktu

mereka pecah karena harus memilih untuk memihak


siapa.
“Maaf untuk luka yang telah aku gores ya ngel.
Setelah berdamai dengan situasi kita selama ini,
semoga saja bekas luka kita perlahan memudar dan
hilang,” Angel membalas pesan dari Angelin.
Angel dan Angelin pun berakhir dengan saling
bercerita dan mengungkapkan apa yang menjadi
akar pahit satu sama lain via chat Whatsapp. Mereka
akhirnya sadar kalau mereka telah percaya pada
orang yang salah, Bang Dinan. Angel memilih untuk
memaafkan Bang Dinan karena telah menyampaikan
hal yang mengakibatkan kesalahpahaman Angelin,
yang penting mereka sekarang sudah berbaikan dan
meluruskan kesalahpahaman yang telah terjadi itu.
Walaupun rasanya kurang puas karena Mereka berdua
memilih untuk fokus berdamai dan menghiraukan
Bang Dinan, tidak mau mengingat luka yang Bang
Dinan tinggalkan untuk kisah persahabatan mereka.
Ternyata Angel dan Angelin saling datang ke
mimpi satu sama lain. Mereka berdua memimpikan
hal yang sama, bahwa keduanya dapat berbaikan
dan berdamai. Hal itu menandakan jiwa mereka yang
sudah saling merindukan raga mereka untuk dapat
bertemu. Angel dan Angelin malu menyadari bahwa
ternyata keduanya sudah saling merindu, namun
gengsi untuk mengungkapkannya. Rasanya Angel
tidak sabar kembali ke Medan untuk bertemu Angelin,
sahabat baik yang sempat hilang darinya.

68
Terpaut Oleh Waktu
Karya Eria Masdiani

S uasana di lapangan saat itu sangatlah ramai,


sedang dilaksanakan acara classmeeting
pekan setelah penilaian akhir semester. Semua kelas
menyambut dengan meriah, berlomba - lomba
mengharumkan nama kelas masing - masing. Banyak
sekali perlombaan - perlombaan yang diadakan di
sana, lomba futsal, voli, debat, puisi dan masih banyak
lainnya.
Ayra Zafira Yasmine wanita perhatian, penyayang
dan tegas itu, sedang memandangi suasana lapangan
dari lantai dua. Ia sedang berpikir mengapa dirinya
tidak memiliki keberanian untuk mengikuti dari sekian
banyak rangkaian lomba yang ada, bahkan hanya
mengikuti bulu tangkis. Walapun Ayra tidak terlalu
mahir dalam permainan bulu tangkis dan hanya
mengetahui cara mainnya saja, tidak ada sedikit
pun rasanya ingin ikut mengharumkan nama kelas.
Padahal ini hanya permainan saja kalah tidak apa –
apa, daripada tidak mencobanya sama sekali. Tiba -
Terpaut Oleh Waktu

tiba disela lamunan Ayra, ada yang memanggil sambil


menepuk pundaknya.
“Ay, kenapa? sakit?” tanya Bella.
“Ah enggak, ini aku senang saja melihat orang
- orang dari atas sini. Oh iya Bel, katanya ikut lomba
debat ya?” tanya Ayra pada Bella sahabatnya. “Hebat
sekali kamu, jam berapa kamu lomba?” lanjut tanya
Ayra pada Bella.
“Udah ko tadi, Ay” jawab Bella.
“Udah? Asyik, gimana tadi? menang ga kamu,
pasti sahabat aku ini jago nih” ujar Ayra.
“Emm heboh banget, belum nanti siang, nonton
ya” ucapnya sambil tersenyum dengan raut wajah
yang ceria.
Mendengar hal itu hati Ayra senang karena
sahabatnya mengikuti lomba, namun di sisi lain
Ayra juga ingin bisa seperti Bella, jago debat bahkan
berbagai kegiatan olahraga pun dia tidak kalah hebat.
Tak lain Rafi sahabat karib Ayra pun sama, mengikuti
lomba basket yang dimana hobi Rafi sedari kecil.
Rafi gemar sekali bermain basket, hampir di setiap
kesempatan dia bermain basket. Rafi sering sekali
mengajak Ayra untuk bermain basket bersama, namun
ujung - ujungnya dia hanya menontoni saja.
“Ay ayo kita main basket, olahraga lah sekali -
kali” Rafi yang sambil men-dribble bola basket.
“Duluan aja” jawab Ayra
“Tadi diajak, iya ayo main. Lagian ngapain sih
udah pake baju jersey ga main” sambil memasukan
bola ke dalam ring.
Ayra bingung mengapa di benaknya tidak ada
rasa semangat untuk mencoba suatu hal, ia selalu
dikelilingi dengan rasa takut yang ada pada dirinya.
Dirinya enggan untuk mencoba hal baru, ia selalu takut
gagal dan takut salah. Ayra bingung mau sampai kapan
dirinya seperti ini. Sampai disatu ketika, ketakutan itu
muncul disaat dirinya mendekati hari kelulusan. Ayra
berpikir bagaimana nasibnya setelah dia lulus dari
Sekolah Menengah Atas ini, dirinya akan seperti apa

70
Terpaut Oleh Waktu

nantinya.
Rafi Farhan Azhar sahabat Ayra yang begitu
pintar, cuek, namun lain halnya pada Ayra dia begitu
penuh perhatian dan pengertian pada Ayra. Rafi selalu
memberi nasihat pada Ayra untuk bisa keluar dari zona
nyamannya. Salah, gagal itu bukan hal yang tabu, itu
wajar terjadi di setiap orang, namun tetap saja Ayra
sama sekali tidak menghiraukan perkataan dari Rafi,
karena Ayra berpikir
Rafi berbicara seperti itu karena memang dia
melakukan sesuatu selalu berhasil dan tidak pernah
gagal. Bahkan tidak bertindak apa pun Rafi setelah
lulus sekolah sudah ditawari om nya untuk bekerja di
tempatnya yaitu di suatu kantor pabrik lemari.
“Ay kamu tenang saja pasti bisa ko, dengan
niat dan usaha yang kamu kerjain, asal kamu tekun
Ay” nasihat Rafi yang mencoba menenangkan setiap
kekahawatiran Ayra datang.
“Iya kamu enak, segala hal yang kamu butuhin
ada Fi, sedangkan aku bingung harus apa, mau kuliah
ga ada biaya, mau kerja ke mana ngelamarnya” keluh
Ayra.
Hari demi hari tak terasa tiga bulan telah berlalu
dari semenjak Ayra lulus di bangku SMA, Ayra menjadi
jenuh. Bingung, apa plan berikutnya yang harus Ayra
kerjakan. Ayra masih bingung sekali harus apa dan
seperti apa. Ayra lebih memilih menonton Youtube
dan nonton drama korea seharian. Ayra berpikir, ia
tidak mau menjadi beban untuk keluarganya. Akhirnya
Ayra mulai mencoba menggerakan badannya untuk
bisa melamar pekerjaan. Melamar menjadi Sales
Promotion Girl minuman. Harga minuman saat itu
sepuluh ribu rupiah, sedangkan di mini market saja
hanya empat ribu rupiah, menurut Ayra harga yang
tidak masuk akal membuat susah sekali menawarkan
kepada orang - orang karena harganya yang terlalu
mahal. Sehari kerja Ayra sudah keluar dari tempat
pekerjaanya, tanpa digaji. Lagi pula bagaimana
menggajinya bekerja hanya satu hari.

71
Terpaut Oleh Waktu

Pertama mencoba pekerjaan ternyata tidak


terlalu menakutkan, namun hanya saja kurang cocok
dengan pekerjaan tersebut. Ayra begitu mengapresiasi
dirinya karena telah berani mencoba hal yang menurut
ia baru di hidupnya. Seperti kehidupan di awal ia
lulus SMA menonton drama dan menonton Youtube
menjadi kesehariannya. Di sela - sela kesehariannya
Ayra mencoba menghubungi Rafi sahabatnya, ia ingin
bercerita tentang pekerjaanya minggu lalu sebagai
Sales Promotion Girl minuman.
“Fi sibuk ga? ayo kita ketemu” pesan yang
dikirim Ayra melalui WhatsApp.
“Besok gimana? aku ga begitu sibuk sih” jawab
Rafi.
“Boleh, aku tunggu di Second Home yah cafe
deket sekolah kita dulu” Ayra mencoba
mengarahkan.
Setibanya di cafe, Ayra dan Rafi berbincang
- bincang mengenai keseharian mereka. Di tengah
- tengah pembicaraan mereka, Rafi ingin sekali
mengundang Bella, namun Ayra menolaknya karena
ia begitu iri melihat kehidupan Ayra di sosial media
miliknya, berkuliah, memiliki teman banyak dan
berfoya - foya. Beda sekali dengan nasib Ayra.
“Fi kalau kamu ajak Bella aku pulang aja ya”
pinta Ayra pada Rafi.
“Loh ko pulang? Ay kamu ga boleh jadi anti
sosial dan minderan kaya begini” Rafi yang mencoba
menenangkan.
“Fi kalau kamu nanti sama Bella nyeritaiin
keseharian kalian, aku cerita apa, masa sih aku diem
saja cuma ngedengerin kalian ngomong?” Ayra
menghela napas.
Rafi si pengertian mengurungkan diri untuk
mengajak Bella bergabung bersama. Lalu mengalihkan
topik, ke topik yang lebih seru dan keduanya
memahami.
“Tapi aku senang Ay kamu mau cerita sama aku,
jadi ngerasa kamu ga sendirian”

72
Terpaut Oleh Waktu

Ayra yang memang lebih menutup diri semenjak


lulus dan sering membanding - bandingan dirinya
dengan teman - temannya. Di tengah - tengah
pembicaraan Ayra dengan Rafi, Aleef Aldelard Mahavir
yang biasa dipanggil Aleef itu melewati meja Ayra.
“Lif..” panggil Rafi yang langsung beranjak dari
bangkunya.
Ayra mengira Aleef yang dahulunya anak
bandel, pencari rebut hingga dikeluarkan dari sekolah
itu sekarang hidupnya pasti tidak begitu enak.
Perkiraan Ayra salah, Aleef yang kini diterima untuk
berkesempatan sekolah penerbangan membuatnya
melongo. Ayra begitu terkejut mendengarnya,
bahwa sekarang Aleef bisa berkesempatan sekolah
penerbangan, namun dari sana Ayra berpikir semua
tidak ada kata terlambat untuk bisa memperbaiki diri.
Mencari pekerjaan memang tidaklah mudah
bagi Ayra, melamar ke sana ke sini belum juga diterima.
Alhasil Rafi menyuruhnya untuk mengikuti pelatihan -
pelatihan menulis Curriculum Vitae, Publik Speaking,
dan lainnya. Agar kegiatan yang ia lakukan sehari - hari
tidak monoton dan lebih bermanfaat. Sedikit demi
sedikit Ayra mengubah hidupnya menjadi lebih baik.
Tidak membanding - bandingkan hidupnya dengan
orang lain dan mencoba berfokus pada dirinya sendiri.
Berkat kerja kerasnya selama ini Ayra sekarang
bekerja di sebuah toko baju brand yang cukup besar
dan terkenal. Sentul menjadi tempat kerja pertama
Ayra yang cukup lama ia bertahan kerja, meskipun
jauh dari rumahnya. Ayra sangat bersyukur atas
pekerjaanya selama ini, meskipun banyak tekanan di
tempat kerjanya Ayra harus bertahan.
Tiada satu orang pun yang mengetahui Ayra
diberi waktu untuk beristirahat, namun Ayra luangkan
waktunya itu untuk menangis di kamar mandi. Sedih
kesal karena Ayra tidak bisa makan untuk istirahat ke
dua meskipun Ayra sudah membawa bekal dari rumah
untuk di istirahat pertama, ingin membeli makanan
uangnya hanya cukup untuk ongkosnya sehari - hari.

73
Terpaut Oleh Waktu

“Kerja dari jam delapan pagi sampai jam tujuh


malem, istirahat jam dua belas siang dan di jam lima
sore, sedangkan bekal hanya cukup satu kali makan
di jam dua belas siang. Mau pulang makan di rumah,
rumahnya jauh, mau makan beli disini tidak ada uang,
hanya cukup untuk ongkos saja. Begitu berat sekali ya
kerja di sini, kemarin kerja sudah tiga minggu dibilang
baru dua minggu. Satu minggunya dianggap ga diitung
karena itu hanya percobaan awal saja, sangat berat
ya ternyata bekerja itu. Yahh tetapi mau bagaimana
lagi, ini memang rezeki aku untuk bisa kerja di tempat
ini. Mengeluh boleh ya Ay, tetapi jangan lama - lama”
Keluhnya yang berbicara pada diri sendiri.
Masa Probation, ya masa dimana percobaan
karyawan untuk diangkat menjadi karyawan tetap.
Tiga bulan masa itu telah dilalui Ayra, yang mana
seminggu lagi akan dihubungi jika ia menjadi karyawan
tetap, namun tidak ada email, SMS, WhatsApp bahkan
telepon yang masuk dari handphone nya. Lagi - lagi itu
memang bukan rezeki dirinya untuk bisa bekerja lebih
lama lagi di toko baju yang memang brand nya cukup
terkenal itu.
Tidak ada kata menyerah, Ayra melamar
untuk bisa bekerja. Di satu ketika Ayra mendapatkan
pekerjaan yang lebih dekat dari rumahnya. Sudah satu
bulan ia bekerja di toko donat, toko donat itu menjadi
salah satu yang begitu banyak digemari orang - orang
Bogor saat ini. Senioritas di tokonya tersebut menjadi
alasan Ayra tidak betah pada pekerjaan tersebut,
pemilik toko loyal dan baik hati, itu menjadi satu alasan
Ayra untuk bisa bertahan bekerja di tempat tersebut,
namun ada satu hal lagi yang bisa membuatnya ia
bersyukur selain melihat perjuangannya kebelakang,
yaitu saat ia membuka lemari yang berada di tempat
kerjanya penuh dengan tumpukan Curriculum Vitae.
Ayra berfikir ternyata banyak sekali orang - orang yang
melamarnya, begitu beruntung dirinya bisa bekerja
di tempat yang mana orang lain pun ingin bekerja di
tempat ini. Di dalam kehidupan ini ternyata kuncinya

74
Terpaut Oleh Waktu

hanya bersyukur.
***
“Ayra kan?” seseorang memanggil sambil
mengetuk - ngetuk kaca etalase donat.
“Ya ada apa?” Ayra yang memberikan senyuman
penuh terhadap orang di depannya. “Masih kenal
aku?” tersenyum kecil.
“Iya aleef, temen SMA dan beberapa bulan yang
lalu, terakhir kita bertemu di cafe dekat
sekolah itu kan” jawab Ayra.
“Iya, kamu kerja di sini?” tanya Aleef.
Ibu pemilik toko tersebut menghampiri Aleef
dan Ayra.
“Rupanya kalian sudah kenal” sambil berjalan
menghampiri Ayra dan Aleef.
“Iya ibu, kita satu sekolah dulu” jawab Ayra.
“Pantesan ibu lihat - lihat kalian sudah seperti
lama kenal” tambah ibu pemilik toko. Ternyata Aleef
merupakan anak dari pemilik toko donat dimana
tempat ia bekerja,
semenjak Aleef tahu Ayra bekerja di tempatnya.
Ia menjadi sering sekali datang, setiap ia libur pun ia
datang untuk berbincang dengan Ayra. Menceritakan
hal seru, menceritakan waktu SMA dahulu dan masih
banyak topik random yang mereka bicarakan selama
mereka mengobrol satu sama lain. Semenjak itu pula
tidak ada senioritas di toko tersebut, pegawai disana
mengetahui bahwa Ayra mengenal dekat dengan anak
pemilik toko semua menjadi baik pada Ayra. Ayra
menjadi semakin betah untuk bekerja di toko donat
tersebut.
Kenyamanan baru saja Ayra rasakan. Ayra
dipindahkan untuk bekerja jauh dari rumahnya lebih
jauh dari Sentul, kali ini Ayra dipindahkan ke Bandung
oleh pemilik toko, karena adanya pembukaan cabang
baru disana. Dengan begitu Ayra lebih memilih untuk
mengundurkan diri daripada dipindah kerjakan di
Bandung, lagi pula orang tua dari Ayra sendiri tidak
mengizinkan jika Ayra dipindahkan ke Bandung.

75
Terpaut Oleh Waktu

Meskipun Ayra dekat dengan Aleef dan Aleef


menyuruhnya untuk tetap di Bogor saja, Ayra tetap
bertekat untuk mengundurkan diri.
Hari demi hari berganti, Bella, Aleef dan Rafi
mengajak bertemu Ayra di cafe tempat sekolah SMA
dahulu. Second Home menjadi langganan anak - anak
SMA Taruna Terpadu, benar seperti namanya Second
Home, rumah kedua yang begitu nyaman dan tenang
saat ada di cafe tersebut membuatnya betah tidak mau
beranjak dari cafe itu. Sesampainya Ayra disana terasa
sekali canggung dan minder melihat mereka bertiga
berkumpul. Aleef di sekolah penerbangan, Bella yang
berkuliah di jurusan hukum dan Rafi yang bekerja
di kantor pabrik lemari. Sedangkan Ayra yang selalu
terlihat menganggur jika bertemu dengan mereka.
Dengan berkumpulnya mereka ternyata ada
maksud lain, Aleef menginginkan Ayra untuk bisa
bekerja di tempatnya lagi. Aleef akan menempatkan
Ayra di Bogor bukan di Bandung seperti sebelumnya.
“Apa maksudnya kaya begini” tanya Ayra kepada
mereka bertiga.
“Kita mau kamu kerja di tempat Aleef lagi Ay”
Rafi membujuk.
Ayra mengetahui betul, maksud dari mereka
bertiga memiliki niatan yang baik, namun Ayra merasa
terpojokan dengan adanya mereka seperti ini, seperti
tidak ada cara lain. Ayra memandang diri sendiri
rendah, dengan keadaannya yang tidak berkegiatan.
Lalu teman - temannya membujuk untuk bekerja di
tempat Aleef. Ayra bener - benar tidak tahu harus
apa, harus balik lagi kah ke tempat Aleef atau apa,
ia benar - benar bingung dengan keadaan seperti ini.
Ayra tetap menolak halus ajakan dari Aleef, ia memilih
untuk mencari pekerjaan nya sendiri.
Lamar, melamar dan melamar Ayra yang hampir
saja frustrasi dengan keadanya yang sekarang mencoba
untuk bisa bangkit lebih kuat dari sebelumnya,
ia yakin akan lebih hebat dibandingkan teman -
temannya yang lain. Hari senin, hari dimana Ayra

76
Terpaut Oleh Waktu

Interview kerja di tempat notaris di daerah Cibinong.


Tempat yang tidak begitu jauh dari rumahnya, namun
untuk daerahnya sendiri bisa terbilang cukup macet.
Ayra dengan semangat dan senyumnya lebar untuk
bisa datang interview, tidak tahu mengapa kali ini
Ayra berfirasat bahwa akan lolos. Benar saja sudah
seminggu Ayra menunggu panggilan kerja, akhirnya
Ayra lolos dan sudah mulai bisa masuk di awal bulan
nanti. Ayra betul - betul mempersiapkan segala hal
untuk bekerja disana. Kali ini dengan penuh keyakinan,
kejujuran dan keterampilan yang Ayra miliki yakin
akan membawanya menuju kesuksesan nanti pada
masa depan. Ayra Zafira Yasmine Wanita tangguh yang
tinggal di Kota Bogor ini, telah mengubah hidupnya ke
arah yang lebih baik.
Tidak terasa sudah tiga tahun Ayra bekerja
mengabdi di kantor notaris, Ibu dari pemilik
kantor notaris tersebut menyuruh Ayra untuk bisa
berkesempatan kuliah di jurusan hukum. Dengan biaya
separuh dibayarkan oleh pemilik notaris tersebut, rasa
senang berada di benaknya hal yang menjadi mimpi
kini menjadi kenyataan di kehidupan Ayra.
Ibu dari pemilik kantor notaris tersebut, sebut
saja Ibu Vania. Ia memiliki dua orang anak, perempuan
dan juga laki - laki. Anak pertama Ibu Vania, Mas Anton
sudah bekerja sebagai dokter, di salah satu rumah
sakit yang ada di Jakarta dan anak kedua Ibu Vania,
kak Pita sudah menikah dan dibawa oleh suaminya
ke Padang. Semua anak Ibu Vania tidak ada yang
berkuliah mengambil jurusan hukum, alhasil tidak ada
yang bisa menurunkan pekerjaan tersebut ke anak -
anaknya.
Ibu Vania bercerita kepada Ayra, dengan
keadaan keluarganya. Mengenai suaminya meninggal
sudah sejak delapan tahun yang lalu, hingga keadaan
penerus kantornya tersebut.
“Ay, ibu bingung, ibu kan sudah tua bagaimana
keadaan kantor ibu nanti. Masih banyak klien - klien
yang ibu pegang. Ibu mau deh, di hari tua ibu ga

77
Terpaut Oleh Waktu

mikirin kerjaan lagi” keluh Bu Vania kepada Ayra.


“Bagimana ya bu, aku juga bingung. Mas Anton,
kak Pita memang tidak bisa bu?” tanya ayra. “Mereka
mana mengerti Ayra,” Ibu Vania tertawa kecil“ Ay,
kamu kan sekarang sudah berkuliah jurusan hukum,
kamu juga mengerti tugas - tugas ibu, ibu rasa kamu
bisa deh melanjutkan perusahaan ibu”
Ayra terkejut sekaligus terheran - heran
mendengar omongan yang keluar dari mulut Ibu
Vania, ia ditawarkan setelah ia lulus nanti sudah mulai
belajar melanjutkan pekerjannya sambil dipantau oleh
Ibu Vania. Sebenarnya dengan rasa syukur yang Ayra
rasakan saat ini betul - betul memengaruhi hidupnya.
Ibu Vania yang sudah menganggap Ayra seperti anak
sendiri itu begitu mempercayainya.
Dengan fokus pada tujuan dan mimpi Ayra,
ternyata akan lebih baik. Tidak takut gagal, takut salah
atau takut ketinggalan sukses oleh teman - temannya
itu hal yang baik sekali diterapkan pada diri seorang
Ayra. Semua ada masanya, semua ada waktunya jadi
bagaimaana pintar - pintar seseorang untuk bisa dan
mau mengembangkan dirinya kearah yang lebih baik
lagi di setiap harinya.
Kini Ayra tidak ada rasa minder lagi untuk bisa
berkumpul dengan sahabat - sahabatnya yaitu Aleef,
Bella dan juga Rafi. Setiap mereka berkumpul semua
punya cerita yang siap dibagi - bagi. Teman yang baik
yang akan terus mendukung teman - temannya itu
adalah bentuk dukungan yang membuat persahabatan
menjadi sangat erat.

78
Melukis Harapan
Karya Febiola Dwi Mentari

S uatu langkah menjadi dewasa memang tidak


semudah yang aku bayangkan sekeras ini.
Detik demi detik aku lalui, hari demi hari aku jalani.
Tak pernah aku kira ternyata perjuangan ini begitu
berat, namun keadaan ini tidak membuatku putus
semangat.
Suasana terang angin menghembus seperti
mendorong ku untuk bisa lebih kuat melangkah
dengan sendiri nya. Bagaimana mungkin aku anak
perempuan satu-satu nya ini, yang dahulu selalu
menjadi anak kesayangan, selalu dimanja dan tidak
pernah diberi beban seberat ini. Namun sekarang
aku harus bisa lebih mandiri. Ketika semua alur hidup
berubah dan aku harus bisa memulai perjalanan ini
dengan lebih ikhlas.
Dimulai pada tahun 2017 aku mencoba
melangkah demi melukis suatu harapan yang indah.
Dahulu aku pikir ini sangat mudah untuk aku gapai,
namun nyata nya semua ini tidak semudah yang aku
Terpaut Oleh Waktu

kira.
Aku memiliki adik laki-laki dengan perbedaan
jarak 5 tahun denganku, saat ini aku berusia 22 tahun,
bukan hal yang mudah aku sampai titik ini, titik dimana
aku harus bisa menjadi seorang kaka yang memiliki
tanggung jawab untuk adik serta keluarga, berbicara
soal tanggung jawab aku disini tidak sama lagi seperti
keadaan yang dulu serba instan, saat ini semua butuh
proses untuk aku capai.
Keluargaku adalah, keluarga yang sangat
sederhana, naik turun ombak itu sudah menjadi hal
yang lumrah bagi kami semua. Papah adalah sosok
yang paling aku kagumi, beliau adalah orang yang
sangat kuat, berani dan baik hati, selain itu beliau pun
adalah sosok yang sangat bertanggung jawab.
Berbicara soal ibu, ibu adalah orang yang paling
baik hati dan tulus, ibu selalu merawatku dalam
kondisi apapun, aku bener-bener mendapatkan
sosok yang hangat dalam jiwa ibu. Ibu aku memiliki
riwayat penyakit asma, ibu sering sekali terserang
hampir setiap hari, aku enggak pernah tega banget
ketika melihat ibu sakit, aku selalu menjaga ibu dalam
keadaan apapun, begitupun untuk sosok ayah yang
begitu tanggung jawab, walaupun saat ini ayah sudah
cukup berumur tetapi ayah masih selalu berusaha
untuk mencari nafkah keluarga nya, namun aku sangat
tidak tega melihat ketika muka ayah mengeluarkan
keringet nya yang begitu banyak, seharusnya ayah
sudah bisa istirahat menikmati masa tua nya, namun
ini berbeda dengan harapan.
***
Perjalanan pertamaku, dimulai pada saat
aku lulus SMA tahun 2018. Aku bekerja di suatu
perusahaan kecil, semua berjalan dengan lancar tanpa
ada hambatan apapun, selain bekerja akupun mengisi
waktu dengan kegiatan lainnya seperti mengikuti
organisasi, lembaga, mapun kegiatan positif.
Aku selalu memulai segala perjalananku dengan
meminta doa restu dari kedua orang tua, menurutku

80
Melukis Harapan

doa ayah dan ibu adalah doa yang paling manjur dan
jembatan yang paling kuat untuk semua harapan aku
ini.
Aku gapyears selama 2,5 tahun, aku rasa ini
adalah waktu yang panjang untuk aku mempersiapkan
semuanya. Aku memulai karir sebagai Pramugari,
aku mengikuti banyak seleksi dari mulai body check,
psikotes, unjuk bakat, sampai dalam tahap seleksi
anggota dan aku resmi menjadi karyawan di suatu
maskapai swasta. Pada saat awal aku ikut seleksi,
sejujurnya aku takut, karena banyak sekali saingan dari
luar sana yang sudah memiliki pengalaman kerja yang
lebih banyak dan lebih baik di dunia penerbangan.
Namun pada akhirnya aku mampu untuk bisa melewati
tantangan itu semua. Dari sekian banyak nya orang
yang mendaftar, aku terpilih dalam seleksi ini.
Aku bekerja di maskapai kurang lebih dalam
waktu 6 bulan, setelah itu aku tidak berlanjut bekerja
dikarenaka ada hal yang membuat aku harus berenti
ditengah jalan yaitu aku harus fokus untuk masuk ke
Perguruan Tinggi Negeri. Sebelum aku masuk PTN
aku mengisi kegiatan dengan cara mengikuti kegiatan
sosial. Kegiatan sosial ini dimulai dari lingkungan
rumah, lingkungan kelurahan sampai lingkungan Kota
Bogor.
Sebenarnya ada beberapa faktor kenapa aku
harus berhenti untuk menjadi pramugari, selain aku
mau melanjutkan kuliah, ada faktor dari kesehatan
diri aku, aku di rekomendasikan untuk melakukan
operasi mata, karena mataku sudah masuk minus 5,
aku harus mengikuti prosedur ini namun ada beberapa
resiko, salah satu nya yaitu mataku akan menjadi lebih
sensitive aku takut tidak bisa kembali normal. Pada
akhrinya aku memutuskan untuk tidak lanjut bekerja
di maskapai itu.
Jatuh bangun aku rasakan, namun aku selalu
mendapatkan pengalaman yang membuat aku
menjadi lebih menghargai waktu, keadaan. Pada
tahun 2018 keluargaku mendapatkan musibah

81
Terpaut Oleh Waktu

yaitu ayahku kecelakaan dan sempat divonis bahwa


umurnya tidak bisa panjang lagi, hal itu membuat aku
menjadi terpuruk, segala isi pikiranku kacau, pada
akhirnya aku memilih untuk memberikan pengobatan
yang terbaik untuk kesembuhan ayah, karena hal ini
lah aku yang dahulu nya selalu diberikan perhatian
lebih namun sekarang ini harus lebih kuat dan mandiri
untuk membantu keluarga. Pemikiran yang aku tanam
saat ini adalah jangan pernah menyesal sehari dalam
hidupmu. Hari-hari baik memberimu kebahagiaan dan
hari-hari buruk memberimu pengalaman.
Semua pekerjaan aku jalani selagi itu halal
bagiku dan keluargaku, mulai menjadi sales promotion
girl, freelance, waiters, kasir, penjaga toko, maupun
penjaga warung makan. Walaupun semua pekerjaan
aku sangat sederhana, namun aku lalui dengan
sepenuh hati, membuatku tidak pernah lelah dalam
menjalankan semuanya.
Aku pernah merasakan dimana aku terpuruk,
pada saat itu jujur aku tidak sanggup, aku sampai
harus masuk ke suatu psikiater untuk mengontrol
kejiwaan aku sendiri. Aku memiliki kecemasan yang
tinggi, dikarenakan aku selalu merasakan ketakutan
yang lebih.
Pada saat itu aku merasa lelah, kenapa aku harus
merasakan hal ini. Hal yang tidak pernah terpikirkan
dan harus terjadi. Membuatku harus berkala untuk
mengecek kesehatan diriku sendiri, aku terlalu larut
dalam suasana yang begitu dalam. Aku pasrah tak
tahu lagi harus bagaimana, rasa nya ingin mengakhir
semuanya.
Ayah dan ibu serta adikku selalu memberikan
penguatan dalam bentuk kasih sayang, perhatian,
serta dukungan untukku agar bisa kuat untuk melewati
semuanya. Setelah aku rutin melakukan mengobatan,
aku sudah mulai biasa kembali untuk melakukan
kegiatan seperti biasanya. Namun tetap aku harus
menjaga kesehatan aku diri.
***

82
Melukis Harapan

Pada akhirnya aku memutuskan untuk


melakukan kegiatan sosial saja, aku menjalankan
semuanya dengan sepenuh hati aku. Lalu aku memiliki
harapan besar untuk bisa membangun rumah singgah
untuk orang yang membutuhkan. Akhirnya aku cerita
kepada temenku dan akupun mendapatkan solusinya.
Aku bertemu dengan orang yang memiliki visi
misi yang sama yaitu membantu orang terdekat untuk
bisa memiiki kemauan untuk maju. Aku membangun
sekolah kecil untuk orang yang membutuhkan. Awal
memang banyak sekali rintanganya, dimulai dari
orang yang kurang suka dengan kegiatan kita, orang
yang merasa sirik dengan segala apapun yang kita
kerjakan bersama, namun dibalik semua ini, aku
yakin segala niat baik tidak akan bisa berjalan dengan
mulus,karena banyak makhluk yang berusaha untuk
menghancurkan semua niat baik kita.
Lalu segala harapan kecilku dalam membangun
rumah singgah ini telah berkembang dengan baik,
mulai dari 5 orang saat ini memiliki namun saat ini
jumlah nya sudah mencapai 40 orang. Kamipun
membuat kegiatan sosial untuk ibu-ibu , bapak-bapak
dan seluruh masyarakat sekitar.
Menurutku berkah dari semua ini memang
banyak sekali selain aku bisa membangun mimpiku,
akupun bisa tetap menjaga, melindungi ayah, ibu, dan
adik aku yang masih berusia 5 tahun.
Semua manusia yang menjalankan hidupnya
pasti memiliki versi cerita nya masing-masing. Dengan
rejekinya yang sesuai dengan kemapuan kita sendiri.
Setelah ini terjadi, aku mengontrol. Pada tahun 2022
aku masuk kuliah, ini sdalah harapan awal aku dengan
mewujudkan harapan ayah aku.
Harapan ibu aku untuk aku mendapatkan
pekerjaanpun terlaksana dengan lancar. Aku kuliah
sambil bekerja disuatu perusahaan. Yang awalnya aku
hanya seorang SPG, Part time namun aku diberikan
kepercayaan untuk mngelola perusahannya sebagai
Leider.

83
Terpaut Oleh Waktu

Tak henti-hentinya aku selalu bersyukur kepada


Tuhan berkat ridho kedua orang tua serta berkah dari
Yang Maha Kuasa, membuat segala perjalanan aku
menjadi lancar.
Banyak pesan dari ibu pada saat aku bekerja
ini, aku harus menjadi orang yang memiliki kejujuran,
keberanian, kegigihan, karena itu adalah kunci kita
untuk maju kelangkah selanjutnya. Perbanyaklah
relasi dan jangan sampai menghilangkan kepercayaan
soerang yang telah diberikan kepada kita.
Tuhan akan selalu memberikan hadiah terbaik
untuk orang yang mau berjuang dengan niat baik dan
mengutamakan kebahagiaan keluarga. Kata- kata itu
selalu aku ingat dan aku tanam kan pada diri aku, agar
aku sesela berusaha untuk mencari keberkahan tidak
hanya untuk dunia saja, namun untuk bekal nanti.
Aku pernah merasakan posisi menjadi orang di
atas dan akupun pernah mengalami posisi dibawah,
semua aku rasakan secara bergantian, pada saat
pertama kali aku mengalami perasaan yang buruk,
aku benar benar tidak terarah. Namun pada saat aku
bertemu dengan lingkungan yang positif, alhamdullilah
jalanku menjadi terarah.
Saat ini adalah langkah awal aku untuk bangkit
kembali, semua proses telah aku lalui, tidak ada hal
sedikit pun yang terlewatkan untuk aku syukuri.
Ternyata memang benar Tuhan telah merencanakan
segalanya dengan proses yang begitu panjang namun
menghasilkan suatu kesuksesan yang begitu berharga.
Membagi waktu antara kerja dan kuliah
memang tidak mudah, tetapi harus bagaimana lagi,
aku harus tetap berjuang demi semuanya. Terkadang
aku merasa ada kesulitan dalam mengatur semua nya,
sempat aku menyerah namun, aku rasa itu adalah hal
yang salah menurutku.
Aku tidak bisa berleha-leha untuk menikmati
masa muda aku ini, aku harus bisa membagi waktu
agar semua tetap berjalan dengan sempurna. Sampai
suatu hari aku pernah mendengar kata-kata yang

84
Melukis Harapan

kurang menyenangkan untukku.


Kata kata itu adalah “kasian banget sih harus
berjuang, harusnya masih muda itu seneng- seneng,
bukan sibuk begini“ namun pada saat aku mendengar
itu, aku hanya bisa tertawa. Aku ngga habis fikir
dengan orang seperti itu.
Padahal aku ngga pernah untuk menyusahkan
mereka, tapi kenapa mereka seperti itu. Aku terima
dengan lapang dada dan aku ikhlas, dari perkataan itu
membuat aku menjadi lebih bangkit lagi.
Tidak ada proses yang menghianati hasil, aku
yakin semua perjuangan aku ini akan menghasilkan
suatu harapan yang indah, bahkan lebih indah.
Walaupun memang banyak yang harus aku
perjuangkan, namun itu bukan alasan untuk aku
mundur.
Semakin keras kita bekerja, semakin besar
perasaan saat untuk mengapai harapan itu. Lelah pasti
tetapi jangan pernah untuk berkata aku menyerah itu
tidak boleh. Dengan cara kita bertindak untuk maju
berarti kita ingin menggapai harapan kita sendiri.
Jangan pernah menunda – nunda pekerjaan sampai
besok hari, sementara sebetul kita bisa kerjakan saat
ini.
***
Tibalah waktu dimana matahari terbenam,
situasi yang begitu hangat menemani obralanku
bersama ibu, ditambah lagi dengan suara air yang
mengalir di dalam akuarium membuat suasana
menjadi lebih tenang. Ibu bertanya kepadaku.
“nak… ibu lihat sepertinya kamu lelah sekali
ya?“ aku menjawab,
“tidak ibu, aku tidak pernah lelah“ ibu menatapku
dengan sangat serius
“aku tidak apa-apa bu… aku hanya ingin mengisi
semua waktuku dengan baik “ Ibu menarik nafas
sangat dalam,
“tidak nak ibu tahu, kamu sangat lelah
menghapi ini, namun ibu pun binggung harus

85
Terpaut Oleh Waktu

bagaimana memberikan solusi, saat ini ibu tidak


bisa membantumu seperti dahulu, jikalau ibu masih
dalam kondisi sehat, ibu pasti bantu kamu dan
tidak membiarkan kamu berjuang sendiri seperti ini
berjuang kesana kesini demi kehidupan kita ini, tapi
ibu yakin, sangat yakin, setiap tetes keringatmu yang
mengalir itu akan menjadi pahala untukmu, berjuang
terus nak, ibu akan selalu memberikan doa yang
terbaik untukmu, jangan pernah khawatir ketika kamu
sedang diluar sana ibu tidak menghubungimu, ibu
hanya takut mengganggumu, namun doa ibu selalu
ada untukmu.” Aku yang mendengar pembicaraan itu,
membuat perasaanku menjadi terdiam. Aku tidak bisa
menjawab apa yang ibu telah ucapkan kepadaku, aku
hanya bisa diam, menangis dan memeluk ibu.
Aku tidak ingin mengecewakan ibu apalagi ayah
dan aku pun tidak ingin membuat mereka mengetahui
perasaanku sebenarnya. Aku menutupi perasaan lelah
ku ini bukan berarti aku membohongi mereka, aku
hanya tidak ingin mereka merasa bersalah ataupun
menambahkan pikiran mereka menjadi lebih berat.
Berbagai cara untuk aku tertawa terlihat baik-baik saja
didepan mereka, itu adalah suatu ketenangan aku.
Apalagi jika aku bisa membuat mereka tersenyum dan
tertawa itu adalah suatu kebahagian untukku, rasanya
lelah yang aku rasakan hilang begitu saja.
Aku memiliki beberapa impian yang pertama
yaitu, aku ingin melaksanakan makan malam bersama
keluarga di restaurant dengan menu lezat dan nikmat
serta pemandangan alam yang begitu indah ataupun
dengan pemandangan lampu kota yang membantu
untuk menyinari gelap nya malam di setiap akhir
minggu. Lalu yang kedua aku ingin sekali untuk bisa
memberikan kebebasan untuk ibu, ayah dan adikku
untuk bisa berbelanja tanpa harus berfikir panjang
tentang keuangan, asalkan itu hal yang memang
dibutuhkan bukan diinginkan. Lalu yang ketiga, aku
ingin sekali mengajak ayah, ibu dan adikku untuk bisa
melaksanakan kewajiban seorang islam yaitu pergi

86
Melukis Harapan

umroh.
Aku yakin, aku bisa mengapai itu. Walau
terkadang aku membutuhkan sosok support system
namun aku merasa takut, nanti nya dia akan mengekang
waktuku. Tapi sudah lah itu bukan tujuan pertamaku.
Mulai saat ini aku sudah siap untuk melukis harapan
dengan segala impian yang tersusun rapih. Melukis
bukan hanya sebuah gambar atau warna, melukis
ialah memikirkan bagaimana warna ataupun bentuk
itu cocok atau tidak untuk aku terapkan pada kertas
putih ini.
Walaupun kertas putih itu sangat tipis maka
dari itu berhati-hati lah ketika melangkah, tidak
perlu tergesah – gesah semua sudah ada waktu dan
jalannya.
Disetiap tempat atau lingkungan baru, pasti
akan merasa menjadi kertas putih yang tidak tahu
tentang apapun, aku memulai dengan seluruh tekad
yang kuat untuk mengisi kertas itu. Jika ada kata yang
tak mampu diutarakan secara langsung maka kertas
dan pena siap menjadi media pelipur lukamu. Jangan
pernah berbicara dengan kata yang penyakit perasaan
orang lain, jika kamu tidak ingin merasakan hal yang
sama. Namun jika ada perasaan kepada seseorang,
jangan terlalu lama terpendam dan menjadikannya
‘titik’ kesedihan di dalam kertas putih kebahagiaan.
Namun terkadang aku pernah merasakan
dimana aku takut bertindak, padahal tidak bertindak
adalah kegagalan yang jelas sudah terjadi. Kesulitan
utama sebenarnya adalah mengatasi cara bagaimana
berpikir tentang diri sendiri. Dan keberhasilan dijamin
ketika seseorang takut akan rasa sakit penyesalan
lebih dari rasa sakit dari proses. Menurutku diriku
adalah kesuksesan sejati jika aku dapat mempercayai,
mencintai dan menjadi diri sendiri. Percaya diri adalah
pakaian terbaik untuk diriku sendiri. Dan ketika
aku bertindak itu adalah kunci dasar untuk semua
kesuksesan.
Hidup bukan hanya mengenai mendapatkan

87
Terpaut Oleh Waktu

serta memiliki belaka, akan tetapi juga mengenai


memberi serta menjadi sesuatu. Jangan pernah
khawatir seluruh upaya akan berbuah manis asalkan
selalu berusaha dan berdoa. Kebahagiaan bukanlah
sesuatu yang sudah jadi. Kita butuh proses dalam
mengapai kebahagian itu. Pada saat sukses nanti
itu belum menjadi final, kegagalan tidaklah fatal.
Semua itu adalah keberanian untuk melanjutkan yang
diperhitungkan. Ketika seseorang mengatakan aku
tidak bisa melakukannya, lakukan dua kali dan ambil
gambar sebagai bukti bahwa aku bisa tidak seperti
yang mereka kira. Tidak hanya sebuah mimpi, tetapi
kita wajib untuk bertindak.
Setiap pengalaman yang aku jalani, aku
selalu berfikir bahwa ini adalah belajar dari hari
kemarin, hidup untuk hari ini, berharap untuk besok.
Jangan takut menghadapi masa depan, hadapi dan
perjuangkanlah. Fokuslah mencapai tujuan, walau
banyak hal menarik di dalam perjalanan. Walaupun
sebelumnya ada beberapa kejadian yang membuatku
tidak bersemangat, biarkanlah perjalanan jauh lebih
mudah jika aku mampu untuk tidak membawa masa
laluku. Aku selalu menikmati hal-hal kecil dalam hidup,
karena suatu hari aku akan melihat ke belakang dan
menyadari itu adalah hal-hal besar. Ke mana pun aku
pergi, aku akan selalu melakukan itu dengan segenap
hatiku.
Suatu ketika aku mendengar masukan dari
ayahku yaitu, “Ketika perjalanan hidupmu terasa
membosankan, maka Allah menyuruh kita untuk
selalu bersyukur.“ kata kata itu yang selalu aku ingat
hingga saat ini. Aku selalu bersyukur dalam keadaan
apapun dan segala yang aku terima. Lalu ada kata-
kata yang membuat aku lebih bersyukur lagi yaitu,
“Bersyukurlah untuk kesalahan yang kamu buat. Itu
akan mengajarkan pelajaran yang berharga. Karena
Orang yang bersyukur selalu menghiasi wajah mereka
dengan senyuman.” Kata kata itu selalu terlintas
dikepalaku. Dan pada akhirnya aku siap untuk

88
Apa Yang Salah Dengan
Tidurku?
Karya Annisa Puspa Kirana

S uara jangkrik terdengar dari belakang


rumah, diiringi dengan gesekan ranting-
ranting pohon yang terkena hembusan angin. Bulan
dengan bentuknya yang bulat sempurna dan cahaya
merah jambunya seakan memberi kehangatan bagi
rumahku yang berada di sebuah desa yang damai.
Ambarwati Batari Rengganis, itulah namaku. Aku
terlahir dari perempuan yang masa mudanya hidup
sebagai kembang desa. Diajeng Chandrawati. Dialah
ibuku yang masih sangat awet muda. Reksa Yuwana.
Pria itu adalah ayahku. Masa mudanya sangat penuh
dengan perjuangan, salah satunya perjuangan
untuk mendapatkan hati ibuku saat muda dulu.
Rasanya memiliki keluarga seperti ini, hidupku terasa
sempurna.
Malam itu terasa damai sekali bagiku, ibu, dan
juga ayah. Kami duduk di bale yang terbuat dari bambu
sembari menyanyikan lagu favorit Ibu di teras rumah.
Suara jangkrik pun menambah suasana damai pada
Terpaut Oleh Waktu

malam itu. Mereka seakan mengiringi kami bernyanyi.


Sebuah kesederhanaan yang membuatku bersyukur
memiliki orang tua seperti ayah dan ibuku.
Kami adalah keluarga sederhana yang saling
menyayangi satu sama lain. Aku adalah anak semata
wayang bagi ayah dan ibu. Ayahku bekerja sebagai
karyawan di sebuah perusahaan dan ibuku hanya
sebagai ibu rumah tangga saja. Aku saat ini berumur
12 tahun, dan duduk di bangku kelas 2 SMA.
Itulah sekilas gambaran tentang keluargaku.
Setelah kami menyanyikan tiga lagu, ibuku masuk
terlebih dahulu ke dalam rumah karena sudah malam
dan jarum jam tepat berhenti di angka sepuluh.
“Mbar, ngegugel lagi yu cari penampakan,” tutur
ayahku.
Itulah ayahku, dia sangat menyukai hal-hal yang
berbau mistis. Tidak heran lagi ketika setiap malam
Jumat dan Senin aku selalu diajak menonton acara
dunia lain yang sedang tayang di TV. Terkadang kami
juga menonton bersama dengan ibu, walaupun jarang.
Keesokan harinya, aku bangun pagi untuk
bergegas berangkat menuju sekolah. Di sekolah
aku memiliki teman dekat bernama Sukma, nama
panjangnya Sukma Rahayu. Banyak teman-teman
ku yang lain menganggap Sukma adalah orang yang
aneh, tapi menurutku dia sama sekali tidak aneh.
Sukma memiliki kelebihan yang tidak dimiliki orang
lain, mungkin perbandingannya seribu banding satu.
Ya, Sukma adalah anak indigo. Katanya sih memang
ada keturunan dari keluarganya, sehingga semua
keluarganya memiliki kelebihan yang sama persis
dengan dirinya.
Anaknya sedikit pendiam, sehingga sedikit sulit
bagi dirinya untuk berbaur dengan orang lain, apalagi
orang baru. Kami belajar di kelas yang berbeda,
meskipun begitu kami adalah teman yang baik. Jarak
rumahnya tidak terlalu jauh dengan rumah ku, rumah
kami masih berada di RW yang sama, dan jaraknya
hanya ditempuh sepuluh menit dengan berjalan kaki.

90
Apa Yang Salah Dengan Tidurku?

“Ma, kan kamu indigo yaa. Berarti kamu setiap


hari dong liat hantu?” Tanyaku sambil mengunyah
bekalku saat jam istirahat tiba.
“Bukan setiap hari tapi setiap waktu Mbar.
Lagian kamu kan udah tahu, tapi nanya aja terus. Dasar
cerewet,” jawabnya sambil memerhatikan papan tulis
di kelasku. Memang aku adalah anak yang ingin tahu
segala hal, begitu juga rasa penasaran ku yang besar
tentang dunia lain yang bukan dunia manusia.
“Kalau aku kayak Sukma, bisa lihat hantu seru
kali yaa.” Gumamku dalam hati sambil mengunyah
bekal ku, mie goreng yang sudah mekar dan berwarna
pucat. Seandainya Ayahku tidak menyukai hal mistis
dan aku tidak memiliki teman indigo, mungkin aku
tidak akan menyukai dan ingin tahu mengenai hal-hal
yang berbau mistis.
Setiap hari sepulang sekolah, aku selalu pulang
bersama Sukma walaupun tidak setiap hari, dan hari
ini kebetulan kami pulang bersama.
“Ma, pengen liat hantu juga dong, hehe,”
celetukku dengan bercanda.
Aku pikir pasti Sukma bisa membantuku agar
bisa melihat hantu, karena setiap aku melihat acara
dunia lain di TV, orang yang memiliki kemampuan
spesial yaitu indra keenam bisa membantu orang
normal sepertiku agar bisa melihat hantu.
“Ah, ada-ada aja kamu ini. Ya gak bisa laah!”
Jawabnya dengan ketus.
Selain pendiam, Sukma juga adalah orang yang
sifatnya lumayan cuek. Ia memiliki sikap yang cukup
dingin dan tidak peduli dengan lingkungan sekitar. Aku
pikir pasti Sukma berbohong, aku yakin dia bisa, karena
dilihat dari raut wajahnya seperti tidak meyakinkan.
Setelah itu aku berpikir untuk mencobanya di lain
waktu saja.
Rasa penasaranku masih saja berlarian di
pikiranku. “Gimana ya kira-kira biar aku bisa liat?”
Gumamku dalam hati.
Akhirnya dengan ponsel Nokia jadulku, ku

91
Terpaut Oleh Waktu

mencoba mencari tahu lewat browser. Memang saat


itu jaringan sangat lambat sekali, bahkan masih H+.
Ku ketik, cara agar melihat hantu dan membuka mata
batin.
Banyak sekali cara-cara yang ku temukan di
website itu. Cara bermeditasi di rumah sendiri, pergi
ke orang pintar, berdoa kepada tuhan, bahkan sampai
mengambil tanah kuburan. Pikirku cara pertama
tidak terlalu susah yaitu bermeditasi di dalam rumah
sendiri. Ku pikir itu hal yang mudah karena biasanya
meditasi dilakukan di hutan, air terjun, makam,
ataupun tempat lainnya.
Ketika itu, matahari masih terang dan jam
menunjukan pukul tiga siang. Ku pergi ke kamarku,
kumatikan lampu kamarku, dan ku biarkan kamarku
menjadi gelap sementara. Ku ubah posisi ku menjadi
duduk sila di lantai. Semua ku lakukan sesuai instruksi
yang ku baca di website tersebut. Setelah itu,
kepejamkan mata ku.
Di dalam website itu dikatakan bahawa setiap
manusia memiliki indra keenam, namun saja tidak
semua orang mampu melihat hal-hal diluar nalar.
Mereka yang memiliki mata batin dan mampu melihat
dunia alam ghaib adalah mereka yang indra keenamnya
terbuka, sedangkan orang yang tidak bisa melihat
eksistensi makhluk ghaib adalah orang yang indra
keenamnya tertutup. Dalam website ini pun dikatakan
dengan bermeditasi, akan mampu membuka indra
keenam yang tertutup secara perlahan.
Sembari duduk sila, aku menutup kedua
mataku dan berdoa kepada tuhan agar aku diberi
kemampuan untuk melihat mereka yang tidak bisa ku
lihat. Dalam website itu juga dikatakan bahwa orang
yang melakukan hal ini harus membayangkan sebuah
enam lapisan mata batin yang berada di antara kedua
bola matanya. Setelah itu, aku membayangkan enam
lapisan mata batin yang berada di antara kedua bola
mataku. Saat itu juga ketika aku membayangkan
hal itu, aku seperti melihat sebuah lapisan cahaya

92
Apa Yang Salah Dengan Tidurku?

berwarna ungu, padahal kondisi saat itu aku sedang


memejamkan mata.
Lapisan berwarna ungu yang ku lihat itu seperti
sebuah galaksi di angkasa. Di dalam cahaya warna
ungu itu, juga ku melihat banyak cahaya-cahaya kecil
berwarna putih seperti bintang yang berada di langit
yang gelap. Disaat yang bersamaan juga aku seperti
melihat sesuatu berwarna hitam dengan bentuknya
yang abstrak. Baru sebentar saja ku melihat bentuk
warna hitam itu, tiba-tiba ibu memanggilku.
“Mbaarr, beli gula di warung,” pinta ibuku.
Saat itu juga aku membuka kedua mataku, dan
cahaya warna ungu serta bentuk hitam itu tidak ku
lihat lagi. Setelah itu aku bergegas menuju warung
dekat rumah ku untuk membeli satu bungkus gula.
Aku kembali ke kamarku dan memikirkan hal yang ku
lihat tadi.
“Cahaya apa ya itu? bagus banget kayak galaksi,”
pikirku. Setelah itu aku tidak melanjutkan untuk
melakukan hal itu lagi. Perasaan ku mulai tidak enak,
namun mungkin hanya sugesti ku saja
***
Tujuh hari sudah kulewati. Perasaanku, suasana
hati, masih baik-baik saja setelah aku melakukan
sebuah meditasi yang mungkin sedikit aneh. Rasa
penasaranku makin liar, ku lakukan apapun untuk
mengetahui suatu cara agar aku bisa melihat mereka
yang tidak bisa aku lihat. Aku menyerah dan tidak
bertanya lagi pada Sukma. Terhitung empat kali aku
bertanya padanya, namun jawabannya tetap sama.
“Aku gak bisa Mbar”. Akhirnya aku cari cara lain
semampuku.
Aku mencari tahu kembali mengenai hal itu.
Akhirnya aku menemukan sebuah artikel di internet.
Artikel itu hanya menjelaskan satu cara untuk melihat
makhluk halus, namun dengan penjelasan yang
lumayan panjang. Mengusap kelopak mata dengan
lemah layat.
“Lah kan lemah layat itu tanah kuburan?” Aku

93
Terpaut Oleh Waktu

bertanya-tanya dalam hati.


Untuk meyakinkan itu, akhirnya aku mencari
tahu apa itu lemah layat, dan benar lemah layat itu
adalah tanah kuburan.
“Wah gila sih kalau caranya gini, kayaknya gak
mungkin aku lakuin deh,” pikirku.
Akhirnya aku mencoba untuk tidak melakukan
hal itu, karena aku pikir tidak masuk akal dan mungkin
akan berbahaya. Aku putuskan untuk mencari cara
lain, karena rasa penasaranku yang amkin memuncak.
Keesokan harinya ku jalani hari-hari seperti biasa.
Ketika sedang jam istirahat, ku pikir tumben sekali
Sukma tidak datang ke kelas untuk menikmati bekal
bersama. Akhirnya aku datang ke kelasnya untuk
mengajaknya makan bekal bersama, tapi Sukma tidak
berada di kelas. Aku pun menanyakan kepada teman
sebangku Sukma, apakah ia hari ini masuk atau tidak,
namun ternyata ia masuk, hanya saja sedang membeli
minum di kantin sekolah. Akhirnya ku tunggu di depan
kelasnya.
Ketika aku sedang menunggunya, ku lihat
Sukma sedang membawa botol air mineral, namun
pandangannya selalu menunduk ke bawah.
“Maaa jalannya jangan nunduk ke bawah
dong, nanti nabrak orang,” ujarku sambil berteriak
kepadanya.
Ketika Sukma sudah berada di depanku, dia
hanya diam tidak berkata apapun sambil menatapku
cukup lama. Aku sangat heran, karena sebelumnya
Sukma tidak pernah berperilaku seperti itu.
“Kamu gapapa Mbar?” Tanya Sukma kepadaku
sembari menatapku tajam. “Lah emang kenapa? Aku
pengen makan bekal bareng kamu kok,” jawabku.
“Hmm, aku hari ini mau makan bekal sama
temen sebangku dulu deh, nanti kalau bareng aku
pasti nyusul ke kelas kamu,” sahutnya.
Akhirnya aku pun kembali ke kelas untuk
menikmati bekalku. Sambil mengunyah bekal, aku
masih memikirkan kejadian tadi. Mengapa Sukma

94
Apa Yang Salah Dengan Tidurku?

menatapku begitu tajam, tidak pernah ia melakukan


itu sebelumnya. Apa mungkin ia kesal denganku?
Namun setelah ku pikir aku tidak pernah membuatnya
kesal ataupun sakit hati.
Ku berusaha menepis semua pikiranku tentang
kejadian tadi, walaupun sebenarnya terasa ada
sesuatu yang mengganjal di hatiku. Tidak berhenti
sampai disitu, aku malah memikirkan hal lain yaitu
tentang lemah layat. Hari ini aku tidak pulang bersama
Sukma, aku tidak tahu kenapa. Ia tidak datang ke
kelasku, dan ketika sepulang sekolah, aku mencari ke
kelasnya namun ia sudah pulang duluan. Akhirnya aku
pulang bersama Paradista Paramitha, atau Dista. Dia
adalah temanku sejak kecil, rumahnya pun tidak jauh
dari rumahku. Kami sangat dekat, hanya saja memang
kami terbilang lumayan jarang untuk pulang bersama.
Akhirnya kami pun pulang bersama. Ketika di
jalan pulang, aku memikirkan apa dengan lemah
layat itu ampuh untuk membuatku bisa melihat
makhluk ghaib? Akhirnya tanpa berpikir panjang, aku
memutuskan untuk melakukan hal tersebut. Entah
apa yang sedang aku pikirkan hari itu, sehingga aku
nekat untuk melakukannya.
“Ta, panas banget ih sekarang. Lewat kuburan
yu, kan teduh tuh banyak pohon. Lumayan adem,”
ujarku sambil beralasan agar ia mau lewat kuburan
bersamaku, padahal aku memiliki niat lain.
“Ya ayoo, emang sih panas,” jawabnya. “Yess dia
mau.” Gumamku dalam hati.
Akhirnya kami berdua pulang bersama dan
melewati pemakaman itu. Sebenarnya ada tiga jalan
yang bisa dilewati untuk bisa sampai ke rumah, salah
satunya lewat pemakaman, walaupun sedikit lebih
jauh tapi memang disana suasanya lebih sejuk dan
tidak panas.
Saat aku berjalan di pemakaman itu, aku
langsung mengambil segenggam lemah layat, dan aku
langsung memasukannya ke dalam kantong plastik
hitam yang sudah aku siapkan di tangan kiriku. Dista

95
Terpaut Oleh Waktu

tidak mengetahui hal itu karena ia berjalan di depanku.


Setelah itu, kantong plastik hitam itu langsung aku
masukan ke dalam tasku, supaya tidak ketahuan oleh
ibuku.
Akhirnya malam pun tiba. Aku mengambil tas
ranselku untuk mencari lemah layat yang ku simpan di
dalam kantong plastik hitam. Warna tanah itu sedikit
berbeda dengan tanah-tanah lainnya, warnanya
cenderung merah kecoklatan namun aromanya tidak
jauh berbeda dengan tanah lainnya. Ku ambil lemah
layat itu dengan kedua jari tangan kananku. Setelah
itu ku usapkan ke kedua kelopak mataku sebanyak
tiga kali. Kemudian ku buka kedua mataku, namun
semuanya masih sama. Akhirnya aku pergi ke depan
rumah untuk memastikan, tapi ternyata sama saja.
Tidak berhasil.
Kebetulan malam itu adalah malam Jumat, jadi
seperti biasa ayahku mengajakku untuk menonton
penelusuran dunia lain yang tayang di televisi. Malam
itu aku menonton acara televisi itu bersama ibu dan
ayah. Ketika acara sudah berlangsung aku merasakan
perasaan yang sedikit aneh. Ketika tayangan televisi
tersebut sedang menayangkan penelusuran ke suatu
gedung terbengkalai, aku merasakan ada sesuatu hal
yang tidak biasa pada tayangan tersebut, namun aku
tidak tahu dan sama sekali tidak mengerti. Perasaanku
terasa sedikit aneh, namun ku alihkan perasaan dan
pikiranku dengan menyemil keripik singkong.
Saat hendak pergi tidur ternyata perasaanku
masih saja sama, padahal aku sudah berusaha kuat
untuk menepisnya. Aku pun tidak bisa tidur di malam
itu. Mataku terjaga hingga sekitar pukul tiga pagi , dan
diwaktu itu juga akhirnya aku tertidur.
“Ambar sayang bangun nak, solat shubuh.”
Ibuku membangunkanku sambil mengusap kepalaku.
Aku pun bergegas mengambil air wudhu, dan
melaksanakan sholat subuh berjamaah bersama ayah
dan ibuku.
“Bu, Ambar semalem nggak bisa tidur. Perasaan

96
Apa Yang Salah Dengan Tidurku?

Ambar aneh aja gitu Bu gak enak, jadi gabisa tidur,”


ujarku. “Makanya kalau mau tidur baca doa, jangan
cuma bissmika aja tapi surah- surah pendek yang lain,”
sahut ibuku. Aku baru tersadar semalam aku bahkan
sama sekali tidak membaca doa sebelum tidur, apalagi
surah-surah pendek. Aku malah mendengarkan musik
klasik pengantar tidur.
Hari itu adalah tanggal merah sehingga aku tidak
pergi ke sekolah. Hari itu juga tidak ada kegiatan lain,
jadi aku hanya diam di rumah saja dan mengerjakan
tugas sekolah yang belum aku selesaikan. Malam
pun tiba, aku tidak mengalami susah tidur lagi. Untuk
pertama kalinya dalam hidupku, aku mengalami
sebuah kejadian yang sangat aneh dan cukup
menyeramkan.
Saat aku tertidur, tiba-tiba aku terbangun namun
aku tidak bisa menggerakkan badanku sama sekali,
nafasku sesak dan tersenggal-senggal, badanku terasa
sangat sakit dan berat. Aku merasa ada sesuatu yang
menindihku. Perasaanku kacau saat itu, aku sangat
takut, tubuhku terasa sangat berat dan sakit, akhirnya
ku coba untuk memanggil ibuku, namun ternyata
aku tidak bisa berbicara. Aku tidak bisa bersuara
sama sekali, seperti ada sesuatu yang menahan
tenggorokanku. Aku tidak tahu harus melakukan apa
saat itu, akhirnya aku pasrah dan membiarkan semua
itu terjadi.
Tidak lama kemudian, semua kembali normal,
aku berusaha untuk bangun dan duduk sambil
menyenderkan badanku. Aku nyalakan lampu
kamarku agar tidak gelap. Badanku terasa sangat
lemas, rasanya sama persis ketika mengelilingi
lapangan sepak bola selama dua atau tiga kali. Saat
itu juga jantungku berdebar sangat kencang, dan
nafasku masih tersenggal-senggal. Ketika itu juga
aku menyadari sesuatu lagi, aku lupa membaca doa
sebelum tidur. Setelah semuanya kurasa kembali baik-
baik saja, aku kembali tidur dengan kondisi lampu
kamarku yang masih menyala.

97
Terpaut Oleh Waktu

Pagi pun tiba, aku tidak menceritakan kejadian


itu kepada ibu ataupun ayahku. Aku sangat takut hal
itu terjadi kembali, namun aku masih penasaran,
sebenarnya mengapa semalam tadi aku mengalami
hal seperti itu. Aku tidak mengerti sama sekali.
Akhirnya ku coba mencari tahu lewat internet. Setelah
ku coba berbagai kata kunci, ternyata hal yang aku
alami itu bernama ‘tindihan’ atau istilah medisnya
adalah ‘sleep paralysis’. Lain halnya dengan Bahasa
Sunda, rata-rata orang sunda menyebutnya dengan
nama ‘ereup-ereup’.
Banyak penjelasan mengenai hal itu baik dari sisi
medis, ghaib, ataupun agama. Setelah ku membaca
semua penjelasan itu, sedikit aku mulai memahami hal
yang terjadi semalam. Disini aku berpikir mungkin hal
itu terjadi karena aku terlalu lelah dan banyak pikiran,
sehingga aku mengalami hal itu, dan aku percaya hal
tersebut dari sisi medis.
Malam selanjutnya, aku tidak lupa untuk
membaca doa sebelum tidur. Ku baca juga tiga surah
pendek Al-Qur’an. Aku lebih memilih untuk tidak
mematikan lampu tidur di kamar, agar aku tidak terlalu
merasa takut. Kejadian itu ternyata terulang kembali,
aku mengalami hal itu kembali. Badanku tidak bisa
digerakkan, nafasku sesak, aku tidak bisa berbicara,
dan badanku terasa sangat berat. Aku tidak bisa
berbuat apa-apa, aku takut sejadi-jadinya. Anehnya di
kondisi seperti itu, aku bisa menangis, aku menangis
karena sangat takut dan tubuhku terasa sangat sakit.
Aku membaca doa didalam hati, berharap semuanya
kembali normal.
Tidak lama kemudian, suasana pun kembali
normal. Aku bangun dari tidurku, dan berpindah
ke kamar orang tuaku untuk tidur disana. Tanpa
membangunkan ayah dan ibuku, aku tidur disamping
Ibuku. Aku pun bisa kembali tidur dengan nyenyak.
Keesokan harinya di hari minggu, aku membantu
ibuku memasak makanan favoritku. Kami berdua
memasak pepes ikan mas dan soto daging. Tidak

98
Apa Yang Salah Dengan Tidurku?

terasa kami berdua sudah dua jam memasak, karena


lelah akhirnya aku memutuskan untuk tidur siang
sebentar.
Lagi-lagi kejadian itu terulang kembali. Ya, aku
mengalami Ereup-ereup di siang hari. Kejadian itu
sama persis seperti malam-malam sebelumnya. Aku
sudah tidak bisa berpikir jernih, aku merasakan ada
sesuatu yang aneh pada diriku. Mengapa jika hal ini
bisa dijelaskan secara medis, namun kejadian itu
selalu terulang kembali setiap aku tidur? Ya benar aku
lelah, namun tidak setiap hari aku lelah, bahkan aku
sudah rajin berdoa setiap sebelum tidur.
Malam pun tiba, namun aku memutuskan untuk
tidak tidur sama sekali. Aku takut, benar- benar takut.
Sebisa mungkin aku tahan kantukku, dan menahan
mataku agar tidak terpejam. Tetap saja, rasa kantukku
yang hebat mengalahkan semuanya, dan aku pun
tertidur. Ya, kejadian itu terulang lagi. Ereup-ereup.
***
Setiap malam ku lalui bersama hal mengerikan
itu, bahkan ketika aku tidur siang pun aku tetap
mengalaminya. Kejadian itu sudah seperti makanan di
setiap tidurku. Aku terlalu lelah dengan semua yang
terjadi, sehingga aku benar-benar pasrah. Bahkan
aku pernah berpikir, terserah jika nyawaku ingin kau
ambil, silakan.
Ada yang aneh dengan kejadian malam ini.
Ya benar, aku pasti mengalaminya kembali. Setelah
tindihan itu selesai dan suasana normal kembali,
aku mendengar suara perempuan menangis tepat
disebelahku. Disaat itu juga aku merasakan takut
yang sangat hebat. Suaranya benar-benar terdengar
jelas di kupingku. Ku hiraukan suara itu dan kembali
melanjutkan tidurku. Selang satu atau dua menit,
aku hiraukan suara itu, namun tiba-tiba juga aku
mendengar suara perempuan yang sedang tertawa
tepat disebelahku. Rasa penasaran mengalahkan rasa
takutku.
Ketika itu aku tidur dengan posisi badan

99
Terpaut Oleh Waktu

menghadap ke kiri, dan suara perempuan itu tepat


berada di sebelah kananku. Akhirnya ku balikan badan
menghadap ke kanan untuk mengetahui sumber suara
tersebut. Ku lihat seorang perempuan, usianya masih
muda sekitar dua puluh tahunan. Ia memakai baju
putih selutut, panjang rambutnya sebahu, tatapan
matanya kosong namun ia sedang menatap mataku.
Dilihat dari wajahnya sepertinya ia bukan sosok hantu
pribumi karena kulitnya putih pucat dan rambutnya
berwarna coklat muda.
Saat itu juga aku langsung membalikan badanku
menghadap ke kiri. Rasa takutku makin menjadi-jadi,
badanku terpaku tidak berani bergerak sedikit pun.
Aku menangis sejadi-jadinya, aku takut, benar-benar
takut. Aku tidak berani berteriak untuk memanggil
kedua orang tuaku. Aku putuskan untuk tidak tidur
kembali karena takut mengalami tindihan lagi. Tidak
tahan dengan semua yang terjadi setiap tidur, aku
akhirnya buka suara. Aku menceritakan semuanya
secara terbuka kepada ibuku.
“Tunggu sekitar dua minggu lagi, kalau masih
seperti itu kita pergi ke tempat pengobatan,” sahut
ibuku ketika aku selesai bercerita.
Selama dua minggu itu aku menunggu dengan
penuh kesabaran dan rasa lelah. Suatu malam saat
kejadian itu terulang lagi, tubuhku di dorong dari
tempat tidur, selimutku ditarik, bahkan tubuhku
diterbangkan oleh hantu wanita jahat itu. Kakiku
ditarik, saat pagi tiba, terdapat banyak lebam
ditubuhku. Hidupku terasa sangat tersiksa. Saat
itu aku benar-benar merasakan trauma tidur yang
mendalam, setiap malam tiba aku sangat takut dan
tidak mau beranjak tidur.
Hidupku terasa diantara hidup dan mati. Aku
benar-benar tidak memiliki semangat hidup, karena
sering sakit-sakitan, aku pun sering sekali tidak masuk
sekolah. Aku pun merasa hidupku tidak berguna lagi.
Suatu malam saat tidur, untuk pertama kalinya
setelah kejadian dari awal tindihan itu datang,

100
Apa Yang Salah Dengan Tidurku?

malam ini anehnya aku tidak mengalami tindihan.


Aku bermimpi hal yang aneh. Di dalam mimpi itu aku
berada di sebuah lift kayu yang sudah sangat lapuk
dan usang. Di dalam itu terdapat lampu yang sering
dipakai orang jaman dahulu sebagai penerang rumah,
lampu itu berwarna kuning. Anehnya lift kayu itu
berada di dalam tanah, dan lift itu bergerak menuju
dasar tanah. Di dalam lift itu aku tidak sendirian, aku
bersama perempuan jahat itu. Ia memegang tanganku
erat sembari berkata “Ayo anna ikut bersama Karel.”
Tanpa henti. Mimpi itu tidak berujung dan terjadi
sangat lama. Sampai akhirnya aku dibangunkann oleh
ibuku.
“Kamu kenapa lagi Mbar? Badan kamu kejang-
kejang gitu tadi?” Tanya ibuku.
Aku diam tidak menjawab sepatah kata pun. Aku
langsung memeluk ibuku dengan deraian air mata.
Ibuku tidak tega melihatku seperti itu.
“Yaudah besok kita ke rumah tante, nanti nenek
ikut,” sahut ibuku sambil memeluk dan mengusap
kepalaku.
Setelah suasana tegang sudah cukup tenang,
aku baru menyadari bahwa perempuan yang selalu
mengikuti dan menggangku itu bernama Karel. Ketika
sore tiba, nenekku datang ke rumah.
“Ya Allah Ambar, kenapa cah ayu jadi kurus gini?
Kenapa wajah kamu gak seger lagi. Maafin nenek
gabisa bantu Ambar yaa,” ujar nenekku sembari
nangis memelukku.
Nenek ku benama Ayu Kemala. Aku adalah
cucu perempuan kesayangan nenek. Nenek selalu
memanjakanku dan sering membelikanku baju dan
tas baru. Hari itu terlihat dari raut wajahnya bahwa
nenek sangat sedih sekali ketika melihat kondisiku.
Aku paham, aku pun tidak tega melihatnya sedih
seperti itu.
Keesokan harinya aku pergi bersama nenek dan
ibu ke rumah tanteku. Ayah tidak ikut, karena ia tidak
diberi izin oleh atasannya untuk libur kerja. Tante

101
Terpaut Oleh Waktu

ku bernama Adine Inggit Gayatri, ia adalah adik ipar


ibuku dan menantu dari nenekku. Adik ibuku adalah
suami tante Inggit yaitu Om Bimo, nama lengkapnya
Cakra Bimo Dewandaru. Sesampainya di rumah Tante
Inggit, aku tidak banyak bicara, hanya diam saja. Aku
hanya ingin semua kembali normal.
Saat malam hari tiba, aku tidur bersama ibuku
di ruang tengah. Ruang tengah rumah tanteku dekat
sekali dengan teras rumah. Saat semuanya sudah
terlelap, termasuk aku dan ibuku. Aku mengalami
tindihan lagi, tapi setelah itu kaki ku ditarik oleh Karel
menuju teras rumah, seperti ia ingin menjatuhkanku
dari lantai dua rumah tante ku menuju lantai dasar.
Sontak aku langsung memegang tangan ibu dan ia
langsung menarik ku agar tidak jatuh.
Pembatas ruang tengah dengan teras rumah
tanteku adalah pintu, namun anehnya saat kakiku
ditarik, pintu itu tiba-tiba terbuka dengan sendirinya
padahal sebelumnya pintu itu sudah ditutup. Hal itu
terjadi seakan-akan sudah direncanakan Karel. Aku
rasa ia tahu bahwa besok aku akan di ruqyah oleh
seorang Ustad. Ku pikir pasti Karel ingin membunuhku
dan membawaku alamnya untuk dijadikan teman.
Pagi pun tiba. aku, ibu, nenek, tante, dan om
sudah bersiap-siap. Mereka semua akan mengantarku
ke rumah Ustad itu. Sesampainya di tempat tujuan
aku melihat pria berjanggut, memakai baju koko dan
celana cingkrang lengkap dengan peci di kepalanya.
Dia adalah Ustad yang akan meruqyah ku, beliau
bernama Ustad Arga. Aku juga melihat wanita
sepantaran tanteku dengan memakai gamis dan juga
cadar yang menutupi sebagian wajahnya, wanita itu
bernama Ustadzah Asmara.
Aku duduk di sebuah ruang tunggu yang
luasnya sekitar tiga kali dua meter. Disana aku diajak
mengobrol oleh Ustad Arga. Ia menanyakan hal-hal
apa saja yang sudah terjadi kepadaku. Pertanyaan-
pertanyaan yang ia tanyakan padaku pun tidak rumit,
kami hanya melakukan perbincangan yang sederhana.

102
Apa Yang Salah Dengan Tidurku?

“Oh oke saya paham, sudah saya tebak


sebelumnya,” ujar Pak Ustadz.
Aku pikir sepertinya Pak Ustad sudah mengetahui
semuanya sebelum aku memberi tahu hal-hal tadi,
karena saat kami mengobrol pertanyaan Pak Ustad
terkesan hanya sekedar untuk meyakinkan hal yang
sudah ia ketahui sebelumnya saja.
Aku dipanggil ke ruang tengah oleh Ustadzah
Asmara, Pak Ustad pun ikut bersamaku menuju
ruang tengah. Nenek, tante, dan ibuku pun berada di
ruang tengah. Ketika itu aku hanya mengingat Ustad
Arga dan Ustadzah Asmara membacakan ayat suci Al
Quran. Mereka juga memberikanku air putih. Setelah
itu aku tidak ingat apa-apa lagi.
Aku sempat tidak sadar beberapa menit saat
proses ruqyah berlangsung. Setelah sadar, Pak Ustad
memberi tahuku bahwa sosok gadis yang selalu
menggangku awalnya berada di jempol kakiku,
namun ternyata ia sudah berpindah dan bersarang di
kepalaku. Saat itu juga Pak Ustad menyarankan agar
kepala ku harus diterapi bekam.
Akhirnya sedikit bagian rambut di kepalaku
dicukur oleh ibuku hingga tidak tersisa rambut sedikit
pun. Ustadzah Asmara mulai melakukan terapi bekam
pada kepalaku. Setelah kurang lebih selama sepuluh
menit, kulihat darah berwarna hitam pekat yang
berada di alat bekam itu. Ustadzah menjelaskan bahwa
darah itu adalah darah kotor, ia juga menjelaskan
berbagai macam manfaat yang akan dirasakan dari
terapi bekam. Setelah itu aku merasa kondisi tubuhku
jauh lebih enak dan tidak terasa berat lagi. Kepalaku
sangat terasa ringan, dan aku merasa semua sudah
kembali normal. Aku mengucapkan banyak terima
kasih kepada Ustad Arga dan Ustadzah Asmara yang
telah membantuku. Ibu, nenek, tante, dan omku
pun mengucapkan terima kasih kepada mereka. Saat
hendak pulang aku diberi selembar kertas kecil oleh
Ustad Arga.
“Ini pesan buat kamu ya Mbar, cuma kamu yang

103
Terpaut Oleh Waktu

boleh baca. Kalau udah dibaca dibuang aja kertasnya,”


sahutnya.
Sesampainya di rumah tanteku, aku langsung
pergi menuju kamar mandi untuk membaca pesan
di kertas kecil itu. “Sehat selalu Ambar, semoga
Allah selalu melindungimu. Jauhi perbuatan dan
perilaku yang mengundang setan. Selalu bersyukur
atas apa yang telah diberikan oleh Allah kepadamu.
Jangan tinggalkan solat lima waktu, dan jangan lupa
selalu berdoa sebelum tidur, serta tidak melakukan
perbuatan yang dilarang di agama dan masyarakat”.
Seperti itulah isi pesan di secarik kertas itu.
Mulai saat itu, aku menjadi pribadi yang lebih
baik lagi. Tidak melakukan hal-hal aneh seperti yang
sudah aku lakukan sebelumnya. Aku merasa lebih
bersyukur atas apa yang telah Allah berikan kepadaku
dan keluargaku. Sejak saat itu juga, aku lebih sensitif
terhadap eksistensi makhluk ghaib, walaupun tidak
sepenuhnya. Kini aku bisa melihat dan merasakan
mereka yang tidak bisa kalian lihat.
Terima kasih Karel Roosevelt, nama itu ku tahu
dari Ustad Arga. Semoga kau tenang di alam sana,
terima kasih telah membuatku lebih bersyukur dan
terimakasih telah mengajarkanku agar mengerti
betapa hidup itu berarti. Aku benci kamu, jangan
datang lagi.

104
Anak Petani Yang Sukses
Karya Novita Tambunan

T erlahir dari keluarga miskin, membentuk


karakter Rapolo menjadi sosok pekerja keras
dan pantang menyerah. Sejak kecil ia sudah harus
melakukan pekerjaan yang seharusnya dikerjakan
orang dewasa. Orang tuanya berprofesi sebaga petani
yang hanya mengandalkan hasil panen sawah, itupun
lahan persawahaan yang tidak luas. Mereka sangat
kesulitan membiayai kebutuhan hidup keluarga.
Jangankan memikirkan pendidikan Rapolo
beserta saudara-saudaranya, biaya hidup sehari-
hari saja sekedar untuk mengisi perut sangat sulit
didapat. Rapolo tak pernah terbayang bahwa dirinya
akan menginjak titik kesuksesan dalam hidup di masa
depan. Keadaan ekonomi keluarga yang sangat sulit
itulah yang menjadikan Rapolo kecil saat itu sudah
harus memikirkan hal-hal yang semestinya menjadi
beban orang tua.
Walaupun memiliki orang tua yang berprofesi
sebagai petani, Rapollo tidak menjadikan hal ini sebagai
sebuah halangan untuk bisa meraih kesuksesan.
Terpaut Oleh Waktu

Keterbatasan ekonomi bukan menjadi pengahalang


Rapolo terus berjuang dan pantang menyerah. Semua
hal dilalui mulai dari tangis, tawa serta luka akan
terbayar dengan kesuksesan yang diraih. Kalau dipikir-
pikir memang sulit untuk harus keluar dari situasi yang
sangat memprihatinkan seperti ini. Untuk makan saja
sulit, boro-boro untuk sekolah tinggi dan meraih cita-
cita yang diinginkan.
Ayah Rapolo sudah meninggal sejak Rapolo kelas
lima SD dengan enam saudaranya yang masih kecil. Hal
ini membuat ibunya harus memutar otak, pekerjaan
apalagi yang bisa ia lakukan agar anak-anaknya bisa
makan dan sekolah. Selain menjadi petani yang hanya
memiliki lahan yang sedikit, ibunya bekerja di ladang
orang sebagai pembantu saat bulan panen datang
dan juga ibunya bekerja sebagai pembantu di rumah
orang.
***
Saat menduduki bangku SMP, Rapolo tumbuh
menjadi pemuda yang kuat. Ia merasa lebih percaya
diri melakukan pekerjaan-pekerjaan yang lebih
berat dan rela melakukan pekerjaan apapun untuk
memenuhi kebutuhan hidupnya. Pada saat duduk
di bangku SMP, Rapolo menekuni pekerjaan sebagai
pekerja di sawah orang saat musim panen tiba, kuli
bangunan dan melakoni pekerjaan orang dewasa
lainnya. Ia semangat melakukan pekerjaan apapun
demi mendapat penghidupan selama itu halal.
Dari pengalaman hidup yang demikian berat
dan menantang, sosok Rapolo Tambunan terbentuk
menjadi pribadi yang tidak mudah menyerah dan
selalu gigih berjuang untuk menata masa depan.
Setelah menyelesaikan pendidikan sekolah
menegah pertamanya di kampung, Rapolo bertekad
untuk merantau. Tinggal di desa yang kecil namun
memiliki pemandagan yang indah serta memiliki udara
yang sejuk, di daerah Sumatra Utara yang bernama
Lumban Pea. Rapolo berbicara didalam hatinya
“Aku harus merantau! Aku harus sukses!”

106
Anak Petani Yang Sukses

Rapolo pun akhirnya memutuskan untuk


merantau ke Medan. Untuk melanjutkan pendidikan
sekolah menegah atas sambil ia bekerja untuk
membantu perekonomian keluarganya yang benar-
benar buruk.
Rapolo selalu ingat pesan dari ayahnya saat ia
masih kecil. Ayahnya berkata,“Uang mungkin kendala,
namun tanpa uang bukan berarti kendala”. Kata-kata
ini sering ia gunakan untuk meyakinkan ibunya, bahwa
orang miskin pun bisa sukes. Hampir setiap malam ia
selalu berdoa dan meyakinkan diri sendiri, bahwa ia
harus sukses.
Memiliki keluarga dari ayahnya yang tinggal di
kota bukan berarti ia akan mendapatkan hidup yang
enak, ia tidak mau menumpang dan memberatkan
keluarganya walaupun ia tau keluarganya tersebut
adalah orang yang berkecukupan dari segi ekonomi.
Rapolo lebih memilih kerja di tempat saudaranya,
tante Heti namanya yang merupakan tante kandung
dari Rapolo yang sehari harinya membuka usaha
rumah makan di Medan yang memilki dua orang anak.
Setibanya di Medan, Rapolo langsung menemui
tantenya dan berkata,
“Tante aku ingin melanjutkan SMA ku di Medan!
Apakah aku boleh tinggal dan bekerja di rumah
tante?” Dengan senang hati tante Heti menerima
kedatangannya dan berkata,
“Boleh banget tapi rap, kamu harus bantu tante
ya bekerja di sini karena kamu tau sendiri tante juga
mempunyai anak yang harus tante biayai. Dengan
semangat Rapolo menjawab,
“Iya tante aku bakal kerja di rumah makan tante”
Setiap harinya Rapolo pun bekerja dengan penuh
semangat, karena ia tau ada cita- cita dan keluarga
yang harus ia perjuangkan hidupnya di kampung sana.
Akhirnya ia pun bersekolah di salah satu SMAN yang
berada di Medan, aktivitasnya pun ia lakukan dengan
penuh semangat setiap pagi harinya ia bangun jam
empat pagi. Disaat anak anak tante nya masih tertidur

107
Terpaut Oleh Waktu

ia sudah harus pergi ke pasar untuk belanja keperluan


masak yang akan di jual di rumah makan tantenya.
“Rap kamu belanja ya kepasar ini tante sudah
menyiapkan bahan bahan apa saja yang perlu kamu
beli nanti, jangan sampe ada yang terlewatkan”
dengan rasa ngantuk yang masi melekat dimatanya
rapolo pun harus pergi kepasar.
“Baik tante aku pastikan tidak ada yang terlewat”
Sesampainya di pasar Rapolo pun memastikan
tidak ada barang belanjaan yang terlewat dari daftar
belanjaan yang sudah di berikan tantenya. Setelah
selesai belanja kebutuhan bahan rapolo pun bergegas
untuk cepat pulang kerumah karena ia harus segera
membantu tantenya untuk membuka warung
makannya.
***
Setelah ia selesai membuka warung, menyusun
bangku, mengelap meja dan juga menata makanan di
rak kaca ia segera mandi untuk berangkat ke sekolah.
Ia kesekolah biasanya dengan berjalan kaki agar
uang jajan yang di berikan tante nya dapat ia tabung.
Sesampainya ia di sekolah Rapolo pun bertemu
dengan sahabat dekatnya yang Bernama Ramli, Ramli
merupakan teman yang baik dan selalu mendukung
rapolo. Ramli tau Rapolo adalah anak yang baik dan
pekerja keras.
Mereka banyak bertukar pikiran satu dengan
yang lainnya, ternyata Ramli dan Rapolo memiliki
cita cita yang sama yaitu mereka ingin menjadi abdi
negara.
“Ram aku pengen banget deh ketika lulus nanti
jadi polisi, kalo kamu gimana Ram?”
Ramli pun menjawab
“Sama nih cita cita kita aku juga pengen banget
bisa jadi polisi, ngikutin jejak ayah ku yang dulu juga
pensiunan polisi.” Rapolo pun langsung merasa agak
pesimis melihat teman nya ini memilki latar balakang
dari keluarga Angkatan.
“Wah ayah kamu pensiunan polisi ya Ram keren

108
Anak Petani Yang Sukses

banget, setidaknya kamu sudah tau gimana kalau


ujiannya nanti.”
“Yah begitulah Rap, sedikit sedikit aku tahu
tapi aku yakin kok kamu juga pasti bisa, walapun dari
keluarga angkatan tapi kalo tidak pernah belajar dan
Latihan sama saja tidak akan bisa lulus Rap” Rapolo
pun tersenyum.
“Iya benar yang kamu bilang kuncinya adalah
semangat belajar dan terus berlatih”
Setelah pulang sekolah biasanya Rapolo akan
lanjut membantu tantenya di warung makan. Setelah
tante nya melihat Rapolo pulang dari sekolah
“Rap cepat naik keatas ganti seragam sekolah
mu dan lanjut membantu tante jangan lama lama.”
walapun cape di tambah juga dengan rasa kantuk yang
melanda Rapolo pun mengiyakan perkataan tantenya.
“Baik tante aku akan segera kebawah”
Berbeda nasib dengan Rapolo, kedua anak
tante nya yang bernama Sinta dan Yosa tidak pernah
membantu orang tuanya di warung. mereka selalu
lari dari perekerjaan jika di suruh oleh ibu mereka
membantu di warung, dan perkejaan mereka hanya
bermain di saat pulang sekolah. kalau bisa di bilang
tante nya ini termasuk orang yang pilih kasi pernah
sewaktu waktu saat tante dan anak-anak nya,
berbelanja pakaian dan mendapatkan baju baru
namun rapolo tidak di belikan, dan hanya menggunkan
pakaian sisa dari anak anak nya. namun itu bukan
menjadi masalah yang besar bagi Rapolo dia tetap
fokus dengan tujuannya untuk apa ia merantau.
Disaat anak anak seusianya bergaya dengan gaya
yang keren menggunakan jam, sepatu serta baju dan
celana yang keren. Berbeda nasibnya dengan Rapolo
yang tidak pernah merasakan hal itu. Namun di dalam
hatinya selalu berkata
“ Nanti saja aku beli lebih bagus aku kirim uang
ini ke ibu di kampung dan sisanya bisa aku tabung”
Ia selalu membeli pakaian nya sendiri
“Aku tidak punya uang tapi celana ku sudah

109
Terpaut Oleh Waktu

sobek”
Rapolo hanya mempunyai tiga pasang celana
bola yang murah kisaran dua puluh ribu satu nya, ia
selalu membeli pakaian nya menggunakan uang jajan
nya sendiri. Namun dia tidak pernah sedih dan selalu
menguatkan hatinya.
“Nanti kalau aku sudah sukses aku bisa beli
semua pakaian yang aku mau dan membelikan ibu
juga.”
Setiap manusia di muka bumi ini pasti pernah
melakukan kesalahan, baik disengaja maupun yang
tidak disengaja. sama hal nya juga pada Rapolo pernah
suatu hari ia telat bangun, ia terlambat pergi ke pasar
untuk berbelanja kebutuhan warung. Entah apa yang
ada dipikiran tantenya pada saat itu. Tante nya marah
“ kamu sudah numpang harus tau diri” lalu menyiram
air dengan gayung agar rapolo bangun.
Pada saat itu rapolo sangat kaget ia langsung
bangun dan berdiri,
“Maaf tante aku sangat mengantuk tadi jadi aku
terlambat bangun tante maaf sekali lagi”
Dengan amarah yang mengebu gebu
“Kamu malam ini jangan tidur di tempat tidur
ya! Kamu tidur di lantai di depan pintu”.
Rapolo sangat sedih mendegar perkataan
tantenya tersebut namun apa yang bisa ia lakukan
bagaimana pun itu salahnya nya
“Baik tante nanti aku akan tidur di lantai saat
malam” sang tante pun langsung membanting pintu.
Rapolo pun pergi ke dapur ia sangat kangen
dengan ibunya di kampung, ia sangat kangen dengan
adik serta kakak nya di kampung namun apa boleh
buat ia jauh berada di medan “ ibu kakak adik aku
kangen kalian, aku rindu makan malam Bersama
dengan kalian walapun hanya ikan asin, aku rindu.
Doakan aku di perantau ini agar sukses bu”
Tiap minggu Rapolo selalu pergi kegerja ia tidak
pernah absen untuk datang ke gereja. Itu merupakan
pesan ibunya diamana pun ia berada apa pun yang ia

110
Anak Petani Yang Sukses

inginkan tetap ingat tuhan lah yang nomor satu.


***
Tak terasa Rapolo sudah berada di kelas tiga SMA
saat teman teman nya banyak yang sudah melakukan
persipan tes untuk masuk polisi ada daya ia tidak
punya uang untuk les sana sini. Boro boro untuk les,
makan saja kalau bisa sudah syukur, namun ia tidak
putus akal ia selalau minta diajari oleh sahabatnya
yang Bernama ramli
“Ramli aku boleh minta ajari kamu ga soal soal
tentang masuk polisi, terus biasanya bentuk soalnya
giman ya? Aku tidak punya uang untuk les ram”
Syukurnya Ramli orang yang baik dia tidak
pernah pelit ilmu kepada teman nya ini.
Ia selalu membantu “wah bilang saja rap kalau
kamu mau soalnya nanti aku bakal foto kopi buat kamu
lalu kita bisa belajar Bersama” Rapolo yang mendegar
itu sangat senang mempunyai sahbat seperti ramli
yang tidak pernah pelit ilmu kepadanya. Ramli dengan
ternseyum.
“Aku tidak pernah menggangap kamu sebagai
lawan ku rap aku mau kita sukses bareng rap, aku
senang kalau kamu bisa membanggakan ibumu Rap
karena aku tau Pundak mu sangat berat Rap banyak
harapan yang di tanggungkan kepadamu, jadi jangan
sungkan”
Mereka pun sering belajar Bersama di sekolah
dan biasanya pada malam hari mereka akan Latihan
fisik Bersama, mereka akan Latihan seperti lari, push
up, pull up, dan juga situp. Ini mereka lakukan untuk
ujian jasmani nanti, begitu keras mereka berlatih dan
saling menolong.
“Ram nanti kalau kita sukes dengan jalan apa
pun jangan pernah lupa ya sama perjuagan kita ram
aku senang sekali bisa kenal dengan kamu” Ramli
yang mendegar itu terseyum hangat dan langsung
memeluk Rapolo.
“Iya Rap pasti aku tidak akan pernah lupa
bagaimana perjugan kita rap, aku bangga punya teman

111
Terpaut Oleh Waktu

pekerja keras sepertimu”


Pagi hari pun tiba, tante nya rapolo tidak tau
kalau rapolo ingin mendaftar menjadi anggota polisi
yang ia tahu hanya rapolo datang ke medan untuk
melanjut kan Pendidikan sekolah menegah atasnya
dan bekerja. Rapolo duduk di samping tantenya yang
sedang menunggu pembeli makanan nya
“Tante aku ingin ngomong”
Tante dengan wajah nya yang datar melihat
rapolo “ngomong saja jagan lama lama takut ada
pelanggan ku yang datang, aku lagi repot”
Raplo pun menarik nafas nya
“Tante makasih buat tumpagan, pekerjaan nya
dirumah ini tante” Tante nya yang mendegar itu lantas
melihat rapolo dengan aneh
“Kenapa kamu mau pindah dari rumah ini ?
kamu ga betah karena tante suruh suruh”? “Engga
tante ga sama sekali aku betah kok tante malah aku
sangat bersyukur bisa tante perbolehkan tinggal di
rumah tante”
Tante menatap tajam kerah rapolo “lantas kamu
mau bilang apa”
Rapolo memberanikan diri dan berkata “Tante
aku ingin mendaftar polisi, aku ingin meminta restu
dan doa dari tante Heti”
Tante Heti yang mendegar itu cukup kaget
ternyata rapolo ingin mendaftar menjadi polisi tidak
pernah terlitas dipikran tante heti kalau rapolo
mempunyai cita cita yang tinggi seperti itu.
“ Wah tante bangga dengar nya semoga kamu
bisa lulus ya dan bisa membahagiakan ibu kamu di
kampung”
Rapolo pun tersenyum “makasih tante”
Namun tanpa mereka sadari ada anak tante Heti
yang mendegar perkataan itu lantas menjawab
“Hah rap kamu mau nyoba jadi polisi ? aku ga
salah denger itu? Emang kamu punya uang ha ?”
Mendegar perkataan dari anak nya tante heti
rapolo pun menjawab

112
Anak Petani Yang Sukses

“Siapa yang bilang masuk polisi harus


menggunkan uang, aku cukup pakai ilmu dan kerja
keras ku selama ini saja” dan aku yakin aku bisa”
Hari wisuda sekolah mengah atasnya pun tiba,
Rapolo pun berhasil menyelesaikan SMA dengan baik
dan mendapatkan nila UN yang tinggi. disaat hari
wisudanya tiba tidak ada ibu atau pun sudaranya yang
datang karena jarak rumah mereka yang cukup jauh
dari kampung ke medan. Serta keterbatasan biaya
menjadi salah satu alasannya, namun hal itu tidak
menjadi masalah untuk Rapolo karena ia mengerti
kedaan keluarganya
“Ibu tidak apa tidak datang bu, nanti di saat
aku sudah punya uang akan ku ajak ibu jalan jalan
ya bu” dalam hati rapolo berkata demikian untuk
mengguatkan dirinya.
***
Pendaftraan polisi resmi dibuka, ini merupakan
hari yang paling di tunggu oleh anak anak SMA
yang baru lulus. Pada malam hari saat ia sedang
menyiapakan semua perlengkapan dan berekas
berkas yang akan dibawa besok tante heti datang dan
mengedor kamar rapolo
“Rap apakah boleh tante masuk” Rapolo yang
mendegar itu lantas langsung membukakan pintu
untuk tante heti
“Silahkan tante ada apa” tante heti menyerahkan
amplop berwarna coklat tipis. “Apa ini tante tanya
rapolo binggung”
Buka lah amplop ini rap kata tante heti. Rapolo
pun membuka amplop tersebut betapa terkejudnya
di aitu adalah sejumlah uang yang dikirim ibunya dari
kampung. “ ini kiriman dari ibu mu gunakan lah sebaik
mungkin” lalu tante heti langsung keluar dari kamar
rapolo.
Rapolo pun melihat ada sepucuk surat di sana
“Anakku apa kabar nak semoga sehat selalu ya
nak, ibu sangat rindu kepadamu. Ibu dengar kamu akan
mendaftar polisi ya nak, sesuai cita cita mu, ibu doakan

113
Terpaut Oleh Waktu

apa pun yang menjadi pilihan mu itu yang terbaik ya


nak. Ini ada sedikit uang untuk kamu tes nanti, tidak
banyak nak ini hasil panen kita dan pekerjaan ibu di
ladang orang nak. Jangan lupa makan sebelum kamu
tes ya dan yang paling penting jangan lupa berdoa ya
nak, ibu akan selalu mendokan mu di sini”.
Membaca surat itu tangis Rapolo pun tidak
terbedung “Makasi ibu aku sangat kangen doakan
anak mu ini ya”
Keesokan paginya Rapolo pun mendaftar ia
melangkah datang ke kantor polisi dimana tempat
pendaftaran itu dibuka, dengan kemeja berwarna
putih dan celana berwarna hitam serta menggunakan
sepatu yang agak kebesaran ia pun datang menenteng
berkas yang akan ia serahkan.
Panjang perjalanan ujian demi ujian ia lakukan
degan baik, tak lupa doa dan usaha tiap malam
belajar. Hasil dari kerjakeras yang ia lakukan tidak
sia sia semuanya berbuah manis, saat yang sangat
menegangkan pun tiba dimana ini merupakan tahap
terakhir penentuan ia lulus menjadi anggota polisi
atau tidak. Saat ia melihat papan pengumuman di situ
ada namanya Rapolo Tambunan dinayatakan lulus.
Betapa Bahagia nya dia, tangis haru menjadi
satu ia langsung ke rumah tante heti dan memberi
kabar bahawa ia lulus
“Tante aku lulus”
Tante Heti pun ikut menagis “pulang lah ke
kampung kabari ibu, adik serta kakak mu kalau kamu
sudah lulus”
Dengan semangat Rapolo pun pulang ke
kampung dan memberi kabar kepada ibu dan suadara
suadara nya.
Bangga itulah yang bisa menggambarkan
perasaan keluarganya. Setelah penantian panjang
ibu serta saudara rapolo mengantar Rapolo untuk
melakukan pendidikan.
“Untuk orang tua saya, terutama ibu saya
terima kasih. karena saya sendiri tahu jerih payah

114
Anak Petani Yang Sukses

dari orang tua saya. Telah menggantarkan saya ketitik


kesukesasan, saya bangga, saya anak petani yang bisa
memabahagian keluarganya, terimakasih ibu.

115
Terpaut Oleh Waktu

116
Rumah Tanpa Jendela
Karya Putri Nopiandini

N amaku Alisha Prajnaparamita. Aku adalah


anak tunggal di keluarga ini. Kata mama
yang percaya dengan Dewa dan Dewi, Prajnaparamita
berasal dari Bahasa Sansekerta yang berarti sosok
Dewi dengan kebijaksanaan yang sempurna. Mama
juga berharap jika Prajnaparamita dalam namaku akan
menjadikan sifatku seperti Dewi tersebut. Padahal
pada kenyataannya aku adalah perempuan biasa saja.
Dengan kehidupan biasa saja. Tak jauh beda dengan
kebanyakan orang.
Keberuntunganku adalah, aku lahir di keluarga
yang hangat dan berkecukupan. Orang tuaku tak
hanya bijaksana, tapi juga selalu melimpahi diriku
dengan banyak kasih dan perhatian. Ayahku bernama
Karim, ia adalah seorang pengusaha semenjak
kepindahannya ke Yogyakarta. Punya istri yang begitu
ia sayangi dan dicintai. Ayah bilang ia rela mati demi
kebahagiaan istri tercintanya yaitu mama dan juga
aku anaknya. Mama adalah sosok ibu rumah tangga
Terpaut Oleh Waktu

yang baik hati, sabar, penyayang dan cantik. Mama


sangat menyayangiku dan ayah, makanya ia selalu
membuatkan kami masakan dan kue-kue yang lezat.
***
Pagi yang cerah di keluarga Karim. Meskipun
ini adalah hari minggu, aku tetap bangun pagi untuk
menikmati segarnya udara pagi. Dan Bu Lia alias
mamaku sedang memasak sarapan untuk aku anak
kesayangannya dan ayah suami tercintanya. Tangannya
sangat terampil, membuat semua masakan yang ia
buat begitu lezat. Tanpa suara dentingan sendok dan
garpu, di ruang tengah yang tenang ini kami sarapan
sambil mengobrol.
Siang nanti ayah berencana untuk berkunjung
ke rumah pekerja setianya yang tinggal di Beji, sebuah
kampung yang dikelilingi hutan pohon pinus. Jarak
antara Beji dan rumahku tidak begitu jauh, hanya
butuh waktu 40 menit. Kira-kira begitulah yang ayah
bilang padaku. Aku tidak pernah ke sana. Hanya
sering mendengarkan cerita tentang ayah yang sering
pergi ke sana dari ibu, dan barbekku (barang bekas
berkualitas) milikku sering dikirim ke sana.
Aku dan mama berencana ingin ikut dengan ayah
pergi ke Beji untuk memenuhi rasa bosanku, daripada
hanya berdiam diri seharian di rumah saat hari libur
seperti ini. Jadi setelah sarapan selesai aku langsung
mandi dan bergegas untuk siap. Aku mematut
menatap pantulan diriku di cermin. Aku memakai
celana kargo panjang hitam, topi juga berwarna hitam
yang dibelikan oleh ayah tempo hari, kaos panjang
warna biru dan sebuah ransel cokelat kecil untuk
membawa bekal. Rambut hitam panjangku, kuikat
kuda. Setelah merasa benar, aku bergegas keluar dari
kamar sambil membawa sepatu kets.
Kami jalan kaki ke sana. Melalui jalan belakang
rumah hingga sampai ke kampung sebelah, dan
terus berlanjut masuk ke dalam hutan. Selama di
perjalanan, ada banyak yang alam tawarkan untuk
kunikmati keindahannya. Sayangnya akses jalannya

118
Rumah Tanpa Jendela

semakin sulit. Hanya setapak, banyak jurang, jalan


terjal lalu menurun dan begitu curam! Sangat sulit
untuk kunikmati. Perjalanan sudah hampir dua jam.
Seperti dugaanku, ayah pasti berbohong jika kami
sebentar lagi sampai di tujuan. Matahari sudah tepat
berada di atas kami, jam pun menunjukkan pukul 12.
Aku sampai ngos-ngosan dibuatnya. Sepanjang jalan
masih begitu sepi. Bahkan gema adzan dzuhur pun
tidak terdengar sama sekali, menandakan aku masih
jauh dari perkampungan yang kami tuju.
***
Tak lama ketika melewati jembatan kayu dan
semak-semak yang tinggi, aku mendapati diriku
seperti berada di sebuah taman. Persis di depan
mata, aku melihat pepohonan dan hamparan bunga.
Kupejamkan mata sembari menarik napas panjang
lalu menengadahkan kepala. Tanpa sadar kami telah
sampai. Langit yang menyoroti kampung kecil indah
di sudut hutan ini seperti memberiku salam selamat
datang.
Aku pun tersenyum lebar. Melamun. Lebih ke
arah takjub dan bingung. Karena sepanjang hidupku,
hal yang sering kulihat adalah bangunan permanen
yang dibangun di lahan hijau kemudian menjadi
gersang dan roda besi yang hilir mudik ke sana kemari.
Rumah di sini terlihat masih jarang dan sepi,
letaknya saling berjauhan. Dan anehnya semuanya
sama sekali tidak memiliki jendela, sangat menarik
perhatianku. Memiliki sawah dan sungai di belakang
atau di sampingnya. Namun aku semakin tertegun,
terkesima. Sungguh, apalagi saat berjalan melewati
kali yang di tengah-tengahnya ada saung kecil untuk
memancing atau sekedar bersantai. Tempatnya adem,
asri, semilir angin sepoi-sepoi menerpa wajahku dan
aku suka.
Aku sedang melihat-lihat sekitar. Sangat berbeda
dengan daerah tempat aku tinggal. Semua hal yang
ada di sini terlihat alami dan nyaman. Terkecuali
sebuah pancuran air yang kering, sepertinya itu

119
Terpaut Oleh Waktu

adalah sumber air satu-satunya di kampung ini. Disana


sering digunakan untuk mandi. Banyak sampah plastik
sampo saset. Rasanya sangat memalukan untuk mandi
di area terbuka. Selain itu, airnya berwarna hijau
menggenang dan tidak mengalir. Sudah jelas sangat
kotor untuk di minum dan tidak layak untuk disebut air
bersih. Bagaimana bisa mereka bertahan di keadaan
air seperti ini? Sedangkan air bersih bagiku adalah
kehidupan. Ini benar- benar sebuah perkampungan
yang tertinggal.
Tiba-tiba seorang anak laki-laki bersorot mata
tajam dengan warna kulit cokelat terbakar matahari
menghampiri kami. Dia adalah Ilham, anak bungsu
Pak Sarip. Kata ayahku, dia senang ikut bekerja
serabutan bersama bapaknya. Kami dibawanya ke
sebuah rumah yang di kelilingi pohon besar. Ternyata
ini rumahnya Pak Sarip. Kuedarkan pandangan,
ternyata rumahnya kecil. Tiga kali lipat lebih kecil dari
rumahku mungkin? Rumahnya terbuat dari potongan
kayu jati gelondongan besar yang dibelah memanjang.
Tiap sisinya tidak rata. Menampilkan celah-celah yang
sangat renggang. Dalam batinku ngeri sekali, ular bisa
saja masuk.
Terdengar suara berderit tanda pintu dibuka.
Muncul dua sosok laki-laki dan perempuan hampir
paruh baya dengan ramahnya menyambut kedatangan
kami. Jujur aku agak kikuk harus ikut melebur bersama
keluarga Pak Sarip di dalam rumahnya, di tengah-
tengah keluarganya. Tapi keramahannya benar-benar
terasa. Istrinya Pak Sarip kuketahui dari obrolan
bersama mamaku dengannya, ia memanggilnya
Bu Minah. Bu Minah berjalan ke dapur lalu kembali
bersama anak perempuannya, Wati. Membawakan
buah papaya besar dan pisang raja matang yang
sangat banyak untuk menjamu kami, lalu meminta
kami untuk mencicipinya. Aku tersenyum lebar
seraya mengucapkan terima kasih padanya. Wati juga
tersenyum dibarengi salim hormat terhadap tanganku
dan orang tuaku, sopan sekali dia.

120
Rumah Tanpa Jendela

Wati sangat ramah, seramah ibunya. Berbeda


sekali dengan adiknya yang laki-laki. Wati mengajakku
untuk jalan-jalan. Pak Sarip dan Bu Minah terkekeh
mengobrol bersama mama dan ayahku. Aku sama
sekali tidak mengerti apa yang sedang mereka
bicarakan. Namun tiba-tiba suasananya berubah,
yang tak sengaja kudengar adalah tadi malam ia
kecolongan. Sebuah motor yang biasa ia pakai kerja
di parkir di samping rumahnya telah digondol orang.
Tapi, beruntung malingnya tidak masuk ke dalam
rumah dan menyakiti anak istrinya. Kasihan sekali.
***
Kami berdua meninggalkan rumah melewati
sungai kering, hutan pinus, dan jalan setapak yang
sebelah kanannya adalah jurang. Sekitar 15 menit
cukup jauh kami berjalan, di sana ada sebuah gubuk
tua penuh coretan ‘tukang panai’. Kata Wati, dahulu
di sini tempat tinggal seorang kakek pengrajin besi.
Dari tempat ini, sejauh mata memandang ada
begitu luas sawah terhampar. Di ujung sana juga aku
melihat rimbun pohon singkong dan bukit. Lalu, jika
aku menengadah ke atas, indahnya langit cakrawala
langsung menyambut mataku. Benar-benar indah
dan menakjubkan. Awan seperti kapuk kasur yang
bertebaran di langit yang membentang luas. Tak
hentinya aku dibuat takjub.
Aku ingin mengabadikan perjalanan ini,
makanya kukeluarkan ponselku dan memotretnya.
Aku memotret sawah dan bukit. Tiba-tiba aku tersadar
ada tanda silang merah di sudut paling kanan layar
ponselku. Tidak ada sinyal.
Aku memilih untuk mengobrol saja bersama
Wati. Ia mulai bercerita dengan ceria dan antusias,
memberitahuku kalau dia belajar di Sekolah Dasar
(SD) dekat rumahku. Aku tersentak cukup kaget.
Membayangkan ia berangkat pukul berapa? Ini sangat
jauh. Berada di pedalaman dan harus melewati jalanan
ekstrim yang kulalui tadi.
“Jadi kamu pergi ke sekolah selalu diantar bapak

121
Terpaut Oleh Waktu

naik motor?” tanyaku.


“Naik motor hanya kalau bapak juga kebetulan
pergi kerja pagi kak, seringnya aku jalan kaki bersama
Ilham dan Elina” jawabnya.
“Kamu serius? Berangkat jam berapa kalau
jalan kaki? Tidak takut dijalan bertemu sesuatu yang
menakutkan?” lanjutku memborong pertanyaan
karena penasaran.
Sambil bergumam ia menjawab, “Aku berangkat
abis Shalat Subuh!” Dengan kaget aku spontan
bertanya, “Jam 5?”
“Bukan kak, setengah 6” sambil sedikit tertawa
karena berhasil mengagetkanku.
Aku sedikit lega mendengarnya. Tapi tetap saja
ia berangkat sejak pagi buta dan berjalan kaki untuk
sampai di sekolah setiap harinya. Tak jarang pula
datang terlambat. Jika cuaca sedang hujan, maka ia
akan menjinjing sepatu nya sampai sekolah agar tidak
kotor dan berjalan bertelanjang kaki. Mendengarnya
membuat batinku pilu. Ditambah, jika kuperhatikan
saat ini ia sedang mengenakan baju olahraga bekas
diriku saat masih di Sekolah Menengah Pertama
(SMP). Ternyata barbekku (barang bekas berkualitas)
milikku yang dikirim ke kampung Beji yang dikelilingi
hutan pinus ini adalah untuknya.
“Wati, jarak yang sejauh ini apa tidak apa-apa
untukmu?” tanyaku sambil memperhatikannya.
Ia menjawab sambil tersenyum, “Tidak, aku
sangat senang pergi ke sekolah” “Apa kamu tidak
capek?” tanyaku lagi.
“Tidak sama sekali, setelah melihat teman-
teman dan Bu Amy menungguku di depan gerbang
sekolah”
Berbicara dengannya membuatku prihatin
dengan diri sendiri. Bagaimana dengan diriku yang
masih sering mengeluh ketika pelajarannya sulit
kumengerti. Aku juga malas pergi ke sekolah jika
tidak memakai kendaraan. Pada intinya aku tidak
mempunyai gairah untuk hanya sekedar pergi ke

122
Rumah Tanpa Jendela

sekolah apalagi memahami pelajarannya. Aku sangat


malu dengan keikhlasannya untuk lelah demi belajar.
“Aku akan terus belajar kak biar bisa jadi guru
seperti Bu Amy, dia baik banget. Kata mamah, Wati
harus punya kemauan yang besar dan belajar yang
serius buat ngejar cita-cita Wati” tutur Wati. Aku
mengangguk dan sedikit menyimpulkan senyum
membenarkan ucapannya.
“Kakak doain Wati ya biar bisa jadi guru yang
baik seperti Bu Amy” sambung Wati dengan wajah
yang sumringah.
Aku hanya terdiam mendengarkan ucapannya
dengan mata berkaca-kaca. Aku tahu keluarganya
kurang mampu, sampai-sampai orang tuanya harus
memungut pakaian bekas diriku dan harus bekerja
menjadi buruh harian lepas di ayahku. Di tengah
kesulitan orang tuanya untuk memenuhi kebutuhan
sehari-hari dan biaya sekolah tidak lantas menjadikan
semangat Wati pupus, justru membuatnya semakin
bersemangat.
Wati mungkin masih sangat kecil. Ia hanyalah
anak kelas 6 Sekolah Dasar, usianya jika kutaksir terpaut
8 tahun denganku yang sudah hamper berkepala dua
ini. Tapi semangatnya untuk belajar sangat tinggi,
aku salut sekali padanya. Dia harus berjuang lebih
untuk sampai ke sekolah. Banyak diluaran sana yang
memiliki akses mudah kesekolahnya namun bersikap
malas-malasan. Mempunyai cita-cita besar menjadi
seorang guru Sekolah Dasar, aku sangat terharu.
Baginya cita-citanya menjadi seorang Guru itu akan
sangat menyenangkan seperti dia bersekolah saat ini.
Aku berharap semoga Wati menjadi purnama bagi
keluarganya kelak.
***
Tanpa berlama-lama, aku pulang ke rumah
Pak Sarip karena takut orang tuaku menunggu. Aku
diajaknya untuk makan. Disana makanannya sudah
tersaji, digelar di tengah rumah beralaskan tikar
plastik. Ada pete mentah yang sudah dikupas, sambal

123
Terpaut Oleh Waktu

kacang panjang, tahu tempe, ikan asin, dan juga tumis


kangkung. Oh ya, Bu Minah memasak menggunakan
hawu. Hawu adalah tungku untuk memasak. Terbuat
dari tumpukan bata atau gerabah yang dilapisi adonan
tanah liat sehingga tidak akan mudah ambruk dan
retak. Hawu dibuat sedemikian rupa sehingga api dari
suluh (kayu bakar) dapat keluar melalui lubang bagian
atas hawu.
Tadi saat pulang aku melewati pintu belakang,
asap dari kayu bakar memenuhinya hingga keluar
dan membumbung tinggi ke udara. Posisi dapurnya
persis ada di belakang, terbuat dari bilik dan sebagian
lantainya menggunakan papan kayu, sebagiannya lagi
dibiarkan seperti lantai tanah. Kondisi dapurnya cukup
gelap karena Bu Minah memakai lampu cempor (lampu
minyak) sebagai penerangan. Di kampung ini tidak ada
aliran listrik. Jadi ketika mereka ingin menggunakan
listrik, setiap rumah sesekali akan menggunakan panel
surya yang telah terpasang di atap rumah.
Setelah masuk, aku mencoba mencari celah
tempat duduk yang dekat dengan pintu keluar, tapi
sulit untuk melangkah. Di sini sangat sempit. Bau
keringat, obat nyamuk bakar, kasur yang tidak pernah
di jemur, pete dan ikan asin yang baru saja di sajikan
bercampur aduk di ruangan tengah itu. Aku yang tidak
terbiasa tentu merasa sangat gerah, sesak, dan tidak
nyaman. Aku ingin langsung pulang saat itu juga.
Tubuhku mulai terasa lemas akibat perjalanan tadi
dan kepalaku juga pusing. Rasanya tak berselera untuk
mengudap makanan di depanku. Aku hanya butuh
istirahat, tapi tidak ingin di sini.
***
Langit biru kemerah-merahan perlahan berganti
menjadi gelap. Barulah orang tuaku bergegas
merapikan tas, menerima buah tangan berupa
pisang raja yang tadi disajikan saat pertama kami
datang, dan kemudian pulang. Aku berpamitan
duluan seraya menunggu mereka bersiap. Tidak ada
yang menerangi jalan setapak dari kampung itu. Jadi

124
Rumah Tanpa Jendela

perhatikan langkahmu dengan hati-hati atau kau akan


terperosok!.
Tepat saat kami menaiki bukit, tetes-tetes
gerimis jatuh, memecah dan menyebar di atas tanah
yang padat dan menjadikannya licin. Sangat licin
sampai aku yang baru saja menaiki bukit tergelincir
sampai jatuh terkapar memandang ke arah jatuhnya
hujan. Aku berusaha bangkit dibantu mama dengan
jalan sedikit tertatih. Sepertinya kakiku sedikit terkilir.
Suara petir berbunyi nyaring. Tak lama kemudian
hujan deras turun membuat kami basah kuyup.
Samar- samar aku juga mencium bau tanah basah,
pohon yang tertiup angin kencang dan kayu menguar
menyebar di udara.
Sepanjang jalan aku terus menggerutu dan
mengeluh karena ayah menipuku, katanya tempatnya
dekat. Meskipun aku menikmatinya, tapi ini sangat
menyebalkan. Genangan air hampir saja membuat
mata kakiku tenggelam. Sepuluh menit aku menggigil,
masih bisa kutahan. 40 menit menggigil, aku sudah
tidak tahan. Langkah kaki kupercepat, aku tak sempat
menghitung setiap langkah, barangkali sudah tidak
bisa diukur dalam hitungan angka satu kali langkah.
Aku berjalan begitu cepat, tidak memperdulikan orang
tuaku di belakang, tak peduli dengan sapaan orang
di kebun yang aku lewati, tak peduli ponsel di dalam
saku celana yang sudah sangat basah. Aku hanya ingin
cepat sampai.
***
Hujan berhenti, tepat saat kami sedang
menuruni bukit yang penuh dengan rumput tajam
yang sangat tinggi, tanganku sangat perih habis
berdarah tergores olehnya. Ya, kami salah mengambil
jalan karena ayahku juga ikut terburu-buru karena
melihatku menggigil kedinginan.
Keadaan lumayan gelap, ditambah angin
semakin kencang. Adzan maghrib berkumandang.
Agak jauh suaranya, sepertinya kami sudah hampir tiba
di rumah. Di momen seperti ini, kala senja terbenam

125
Terpaut Oleh Waktu

di ufuk barat, mataku fokus menatap kearah semburat


jingga di atas sana. Sangat indah.
Badanku rasanya remuk semua. Perjalanan jauh
dengan cuaca yang tidak bersahabat membuat kami
tiba di rumah petang hari. Aku sangat kedinginan dan
lapar karena tak ikut mengudap makanan di rumah
Pak Sarip tadi. Setelah sedikit mengeringan badan
dengan handuk, lalu untuk mengobati perutku yang
keroncongan ini, sepiring nasi goreng dan gorengan
berhasil kusantap. Dihidangkan dengan acar, sambal
cabai, mayones dan es teh manis menjadikannya
semakin mantap. Kini perutku sudah bersahabat.
Setelah beberapa menit aku berhasil
membersihkan semua hidangan yang ada di depanku,
ayah dan ibu datang menghampiriku. Mereka
mengatakan jika tadi sikapku kurang sopan karena
menolak dan sama sekali tak mencicipi masakan yang
mereka sajikan. Aku kesall mendengarnya. Seketika
semua makanan yang tadi nikmat menjadi hambar.
Sejujurnya makanan yang mereka sajikan tadi terlihat
cukup enak, bahkan ayah sampai menambah makanan
dua kali kedalam piringnya. Tapi aku tak tahan dengan
bau ruang tengah di rumah Pak Sarip tadi.
Aku segera beranjak ke kamar, membersihkan
badan sekilas lalu tertidur denga asal. Yang penting
aku bisa terpejam, merasakan kasur yang sangat
empuk. Aku mulai memejamkan mata. Tapi aku tak
bisa tidur, rasanya resah sekali. Aku tiba-tiba kepikiran
keluarga Pak Sarip. Bagaimana anak-anak mereka bisa
tahan menetap di sebuah perkampungan tertinggal
yang jauh dari kota, di tengah hutan pinus, akses jalan
yang sulit dilalui, tidak tersedia air bersih, listrik pun
tidak ada dan harus menempati rumah yang baunya
tak karuan itu.
Aku sangat bersyukur atas kehidupanku saat
ini. Aku bersyukur atas semua yang kumiliki. Aku
bersyukur atas semua yang datang padaku. Memiliki
kesempatan untuk mampu melihat sesuatu yang indah
dalam seluruh pengalaman hidup yang aku rasakan.

126
Rumah Tanpa Jendela

Tekadku dalam belajar harus kembali dibulatkan.

127
Terpaut Oleh Waktu

128
Koma Lalu Titik
Karya Rizka Mutezah

“A duh dek, ini gua bawa bukan buat makeup


kok, tapi buat bibir gua yang pecah-pecah"
ucap siswi yang kena razia.
“Tetap tidak boleh kak, ini berwarna soalnya.
Kalau tidak mau disita, lain kali bawa yang tidak
berwarna ya,” jawab aku.
“Loh bedain dong, itu bukan lipstik tapi
pelembab bibir,” jelasnya dengan nada
memohon.
“Tetep ya gabisa. Aturan ya aturan. Kalo mau
ambil langsung bilang ke wakasek.” tegas aku.
Tegas, galak, seram, menyebalkan, adalah
sebagian kecil sebutan untuk aku semasa menjabat
sebagai Wakil Ketua II OSIS SMA Citra Bakti. Bagi
sebagian orang, sebutan itu tidak etis, sebuah ejekan
dan malah akan menyakitkan hati. Aku iyakan sebutan-
sebutan itu ketika dilayangkan kepadaku, bahkan jika
itu terlontar dari orang yang tidak aku sukai. Toh,
itu memang fakta bagi mereka yang tidak dekat dan
Terpaut Oleh Waktu

tidak mengenal diriku, si pelawak berkedok siswa


SMA katanya. Citra diri yang menjadi ciri khasku dan
sungguh mengesankan karena artinya orang- orang
memiliki perhatian lebih terhadapku.
Bagi sebagian orang lagi, aku adalah sosok
periang, kocak, gila dan menyenangkan. Mereka
biasanya orang yang dekat dan mengenal baik diriku.
Memiliki perawakan tubuh kurus, kulit sawo matang,
hidung mancung, rambut hitam lurus, dan mata besar.
Gadis berdarah NTB dan Batak ini punya dua mode
dalam tubuh kurusnya. Mode organisasi dan mode
siswa pada umumnya. Aku sangat menyukai organisasi
karena selain sekolah, di sanalah wadahku untuk
menggali hal yang dapat mengubah dunia menjadi
lebih baik yaitu kepemimpinan.
Menjadi Wakil Ketua II Osis bukanlah hal berat
jika kerjanya biasa-biasa saja. Sayangnya, aku bekerja
luar biasa jadi jabatan itu cukup berat bagiku. Tidak
heran, sejak SMP diriku juga mengemban amanah
sebagai Ketua Umum Osis. Memimpin rapat sudah
menjadi makanan sehari-hari bagiku, dan lauknya
adalah pujian lengkap dengan caci maki. Pergi pagi
pulang malam, berpikir dua kali lipat daripada siswa
lainnya.
“Ngapain aja sih disekolah sampe jam segini
baru pulang?” celoteh mama hampir setiap hari
sambil membukakan pintu.
Mendengar celotehan itu, aku hanya membalas
dengan senyum tipis di bibirku dan masuk ke kamar.
Antara belajar dan organisasi, aku pernah dilema
dihadapkan pada keduanya. Ketika ruang osis menjadi
lebih nyaman dibanding ruang belajar, ketika ruang
rapat lebih prioritas daripada ruang kelas dan ketika
tujuan datang ke sekolah untuk agenda osis bukan
untuk jam pelajaran.
Mengorbankan waktu belajar karena
disibukkan dengan organisasi. Dijuluki bucinnya
organisasi dan pelayannya siswa-siswi. Proses
panjang dan sulit tersebut benar-benar membentuk

130
Koma Lalu Titik

gaya kepemimpinanku. Gaya kepemimpinan yang


mengedepankan logika dibandingkan perasaan.
Sehingga, diriku lebih suka suasana organisasi yang
formal dan professional.
“Tes, maaf banget gua izin gaikut rapat ya,
nyokap gua gaada yang nemenin dirumah,” izin Nina
salah satu pengurus OSIS
“Kan udah dikasitau dari jauh-jauh hari,” ujarku
dengan nada judes. “Iya tau, tapi ini kan tiba-tiba
banget dan dadakan,” jelas Nina.
“Boleh, asal kerjaan lu udah selesai,” ucapku
memberikan syarat
“Yah, ya belom lah Tal, gimana mau selesai, kan
rapatnya hari ini,” keluh Nina.
“Nah, udah tau lu sering nemenin nyokap lu,
kalo tau gitu selesaiin kerjaan jauh-jauh hari biar kalo
izin juga enak, kasian itu temen-temen sekbid lu yang
jadi ngerjain kerjaan lu tiap hari,” terangku.
“Terus ini berarti gaboleh?” tanya Nina dengan
wajah murung.
“Terserah.” ucap aku sambil pergi meninggalkan
Nina di depan ruang rapat.
Bagiku, rapat rutin adalah hari sakralnya
OSIS. Toh, rapatnya cuma sekali atau dua kali dalam
seminggu. Ini bukan masalah kesibukan, tapi prioritas.
Kalau OSIS penting buat mereka, pasti mereka bakal
menyempatkan datang atau setidaknya menyelesaikan
tanggung jawabnya di OSIS seperti halnya aku. Begitu
yang ada di benak diri ini. Tanggung jawab yang besar
di pundaknya, membuatku merasa telah menjadi
bagian dari OSIS , begitupun OSIS. Prinsipnya, OSIS
adalah aku dan aku adalah OSIS.
Jarang dari mereka izin kepada Tesa, mereka
lebih memilih izin rapat kepada Al, Ketua Umum OSIS
dan Ari, Wakil Ketua I OSIS. Sebab, mereka tidak akan
mendapat izin rapat dariku. Sama halnya denganku,
Al dan Ari adalah bagian dari Badan Pengurus OSIS.
Namun, kami memiliki perbedaan signifikan dalam
memimpin. Meskipun begitu, formasi dalam Badan

131
Terpaut Oleh Waktu

Pengurus Harian (BPH) ini dibentuk untuk saling


melengkapi. Al dengan ketenangannya mampu
meredam api pada Ari dan aku. Sedang Ari, ia mampu
merangkul seluruh pengurus dengan inisiatif yang
baik. Aku dengan gaya tegasnya, mampu membuat
lingkup OSIS yang professional.
***
Pukul enam pagi, teng! Seperti biasa, pengurus
OSIS sudah berkumpul di depan gerbang lengkap
menggunakan almamater sesuai jadwal kelompok
piket jaga gerbang masing-masing. Menyambut
siswa-siswi SMA Citra Bakti dengan mengecek atribut
mereka dari atas kepala sampai kaki sesuai tidaknya
dengan aturan sekolah. Bagi siswa-siswi sekolah ini
punya kabar yang lebih horror dari isu hantu di lantai
dua yaitu hari dimana aku kebagian piket jaga gerbang.
Beberapa dari mereka seringkali bertanya pada
temannya yang merupakan pengurus OSIS, kapan hari
ada Tesa jaga gerbang. Aku yang kerap mendengar
itu dari anak-anak OSIS hanya bisa tertawa, segitu
menyeramkannya kah aku? Pikirku.
“Lin,” panggilku kepada salah satu siswa yang
merupakan temanku sedang melewati gerbang. Tidak
dihiraukan, aku kembali memanggil dengan volume
sedikit keras sambil menghampiri Lina dan berhenti
tepat di depannya tersebut.
“Apasih Tes, kaus kaki gua ini udah panjang aseli,
gua belom ngerjain MTKP sumpah, plis ya awas,”
ucapnya memohon agar tidak kena razia.
“HAHAHA sama gua juga belum, tapi gimana ya
Lin, aturannya kan panjangnya minimal 5 cm diatas
mata kaki,” jelasku dengan tenang dan tersenyum.
“Bisa kok ini dipanjangin, nanti ya gua benerin di
kelas Tes,” jelas Lina.
“Gabisa sayang, di sini aja ya kalo gitu
benerinnya. Sini minggiran Lin,” tidak pandang bulu,
aku tetap meminta Lina yang merupakan teman
dekatku menunjukkan kalau kaus kakinya memang
panjang.

132
Koma Lalu Titik

“Yailah Tal bener-bener lu sama temen aja


begitu, plis kek ah.” ujarnya sembari menepis lengaku
agar tidak menghalangi jalannya.
Namun, bukan Tesa namanya kalau tidak
tetap pada pendiriannya. Aku mau tidak mau berlari
menghalangi jalannya Lina sambil ketawa tipis dan
meminta Lina menaikkan kaus kakinya langsung di
tempat sama seperti siswa-siswi yang lain. Disamping
itu, selama menunggu Lina membuka sepatu, aku
juga menegur dan meminta salah satu siswa yang
memakai kaus kaki berwarna merah muda itu untuk
berhenti dan membuka sepatunya. Sesuai aturan, aku
mengambil kaus kakinya dan mencatat namanya di
buku pelanggaran. Sedangkan Lina, sesuai dugaanku,
kaus kakinya memang pendek dan hanya dipaksakan
untuk panjang oleh Lina. Mengesampingkan rengekan
temannya itu, aku tetap menyita kaus kaki Lina dan
mencatat namanya. Ya begitulah aturan di sekolah,
memang seketat persaingan PNS.
Waktu sudah menunjukkan pukul 06.45, bel
masuk pun berbunyi, dari kejauhan rutinitas lari pagi
memang selalu dibiasakan sejak sekolah. Mereka
berlari sekuat tenaga untuk sampai di gerbang agar
tidak ditutup oleh kami pengurus OSIS, lewat dari itu
kami tanpa segan menutup gerbang. Mereka yang
tidak bisa masuk, mau tidak mau menunggu di depan
gerbang sampai kegiatan tadarus di lapangan selesai.
Begitupun OSIS, harus ikut diluar gerbang untuk
memimpin tadarus, memantau dan mencatat yang
telat pada buku sakralnya OSIS, buku pelanggaran
hehe. Setelah yang telat mendapatkan sanksi, dan
masuk kedalam kelas masing- masing. OSIS yang piket
masih harus di luar gerbang untuk menerima sanksi
khusus karena telat datang piket.
Sanksi ini digagas olehku, karena bagaimana
bisa OSIS mendisiplinkan para siswa kalau mereka
saja tidak bisa disiplin? Aku tidak suka mentoleransi,
apalagi ada koma dalam setiap keputusan yang telah
ditetapkan.

133
Terpaut Oleh Waktu

***
Yeay.
Hore, makan.
Tiga kata yang rasanya aneh kalau tidak
dilontarkan oleh siswa-siswi SMA Citra Bakti saat bel
istirahat berbunyi. Maklum, tiga puluh menit adalah
waktu kemerdekaan perut dan otak siswa-siswi bebas
dari hafalan, hitung-hitungan, dan rumitnya menebak
isi kepala guru. Beberapa dari mereka berbondong-
bondong menuju surganya sekolah, yaitu kantin.
Beberapa dari mereka juga harus main petak-umpat
dengan pengurus OSIS agar tidak ketahuan membawa
makanan dan minuman kemasan plastik dari kantin
kedalam lingkungan sekolah.
“Kak stop,” ujar aku menjegat siswa berkacamata
dan berambut panjang tepat di pintu keluar masuk
yang sedang asyik berjalan dari kantin ke gedung
akademik bagian belakang.
“Kak, udah tau kan ya peraturannya hehe,”
tambahku.
“Yaelah, tumblrnya di kelas, nanti langsung
dipindahin kok. Ini makanannya juga kalau udah habis,
langsung gue buang di tempat sampah kok. Ribet lo,”
tegas siswi berkacamata itu dan temannya yang aku
lupa namanya. Pengurus OSIS yang lain hanya terdiam
karena tidak berani dan membiarkan aku yang
mencegatnya serta menjelaskannya sendiri.
“Jangan pada diem aja dong, urusin juga sini,”
kataku secara lirih kepada pengurus lainnya.
“Kita diem bukan kita gamau kerja, tapi emang
cuma lu doang yang bisa kan hehe,” jelas
salah satu pengurus dan didukung anak osis
lainnya. “Kita percaya lu Tes.” ujar mereka. Halah
kataku prett dalam hati, selalu saja begitu. Kebiasaan.
Ya, selain piket jaga gerbang setiap pagi,
memang hal yang tidak disenangi sebagian pengurus
OSIS adalah piket jaga gerbang kantin setiap istirahat.
Ya, bukan cuma siswa-siswi umum yang tidak suka
dengan program Zero Plastic ini. Pun, pengurus

134
Koma Lalu Titik

OSIS yang diminta langsung untuk mengawasi saja


menganggap ini bagaikan program neraka, alias
menyusahkan. Tujuannya sih amat baik yaitu untuk
mengurangi penggunaan sampah plastik. Tetapi niat
baik memang tidak selalu diterima dengan baik, kan?
“Hmm maaf ya kak, gaboleh dibawa ke kelas.
Kalau gamau makan dikantin, kakak ambil tumblr dan
tempat makan kesini terus pindahin dulu baru boleh
dibawa ke kelas,” lanjutku dengan tetap tenang dan
beberapa kali berusaha untuk nyengir biar kelihatan
ramah.
“Aduh, jangan gitu dong. Laper banget gua,
soalnya gue juga gabawa tempat makan,” ucap
perempuan berambut panjang dengan nada
memohon.
“Ya berarti pilihannya, kakak-kakak makan disini
dan abisin, atau minjem tempat makan punya teman,”
jelasku. Tidak dihiraukan, kedua siswi tersebut
langsung meninggalkan aku ditempat dan jalan
cepat menuju kelasnya. Tidak boleh kecolongan, aku
langsung mengejar mereka dan berdiri di hadapannya.
“Ini gua mau ke kelas, beneran langsung
dipindahin ke tempat makan temen gua,” ujar siswa
bermata sipit itu.
“Iya, etdah ribet lo,” tambah temannya. Didalam
lorong, ditengah-tengah jalannya para siswa menuju
kantin maupun dari kantin, kami masih berdebat dan
menjadi pusat perhatian mereka yang berlalu-lalang.
“Jadi yang ke kelas salah satu dari kaka aja ya,
dan bawa tempat makan dan tumblrnya kesini, dan
pindahinnya disini. Jadi makanannya ditinggal disini
sama salah satu dari kalian, gitu yah,” tegasku yang
sudah mulai lelah berdebat.
“Kalau gamau gimana?” tantang siswa berambut
panjang sambil memainkan rambutnya.
“Namanya dicatat dan dikasih ke Bu Ade,” terang
aku sembari menujukkan pesan WhatsApp bersama
Bu Ade. Mereka jelas langsung menciut. Siapa yang
tidak menciut mendengar nama Bu Ade, penanggung

135
Terpaut Oleh Waktu

jawab dari kebersihan lingkungan termasuk program


Zero Plastic ini. Mengajar pelajaran matematika, ibu
guru dengan penampilan khasnya; rambut pendek,
dan berkacamata serta memiliki logat khas batak itu
merupakan guru killer dan ditakuti oleh seluruh siswa-
siswi.
Keduanya menghela napas panjang, mencoba
untuk sabar menghadapiku. Dengan sangat terpaksa,
pada akhirnya mereka mengikuti perkataanku.
Tidak sekalipun aku merasa menang. Berapa kalipun
ketegasan dan kegigihanku membuat mereka
mengikutiku, aku lah yang merasa kalah. Kalah
menghadapi egoku, kalah menghadapi keras kepalaku,
kalah menghadapi diri sendiri, yang tidak pernah bisa
berhenti menjadi capek sendirian, kalah membuktikan
kepada mereka semua bahwa aku tidak sekaku dan
setegas itu. Kalah dalam membuktikan kalau aku
bisa se-santai mereka, menikmati masa-masa SMA
dengan pakai makeup ke sekolah, aku bisa melanggar
peraturan sekolah, aku bisa membawa plastik ke
dalam kelas, dan masih banyak lagi. Aku bisa dan aku
juga mau. Namun, ada kenyamanan dan kepuasan
yang aku dapatkan baik kepercayaan guru, dan teman-
teman, semakin dekat dengan stakeholder sekolah,
mendapatkan rekomendasi mengikuti kegiatan-
kegiatan penting diluar sekolah dan previllege-
previllege yang tidak semua siswa umum dapatkan.
Kelelahan ini akan menjadi pencapaian-pencapaian
bukan hanya jangka pendek namun jangka panjang.
Hal-hal itu selalu menjadi alasanku, kalau apa yang
aku lakukan ini adalah benar, sepenuhnya tidak salah.
Pujian-pujian, apresiasi, dan kepercayaan yang
datang setiap harinya, membuat aku semakin tumbuh
dan bertahan pada zona nyaman ini. Meskipun
semakin tinggi pohon, dan kuat akarnya, maka
semakin kencang angin yang menerjang. Tidak pernah
aku hiraukan perkataan teman-temanku itu, bagiku
hanya angin lewat saja. Ya, bukan hal menyakitkan,
atau hal negatif, aku mengerti itu adalah fakta dan

136
Koma Lalu Titik

itulah keunikan yang aku miliki dan seharusnya aku


kembangi. Aku selalu sumringah mendengarnya,
mereka memujiku bagaimana aku bisa sekuat ini.
Banyak pujian yang datang dari sekitarku, aku senang.
Disisi lain, pujian-pujian ini justru menutup akses kritik
dan saran memasuki hati dan kepalaku.
Namun, aku merasa ada bagian yang hilang
dan seharusnya ada dalam hati mungilku menyertai
perjalanan organisasiku. Bagian itu masih belum
kutemukan hingga aku sudah melepas jabatan di
OSIS dan masa SMA akan berakhir. Kini aku sedang
menunggu pengumuman salah satu penentu masa
depanku setelah benar-benar lulus dari SMA Citra
Bakti.
***
Selamat, Anda dinyatakan lulus seleksi
Pendaftaran Mahasiswa Baru Tahun Akademik
2020/2021.
Haru dan bangga saat membaca pengumuman
aku lolos seleksi pendaftaran di lama web resmi yang
sudah menjadi kampusku saat ini. Tidak terasa, tiga
tahun lamanya belajar dengan rok abu-abu yang
setia menemani, kini sudah waktunya meninggalkan
identitas diri sebagai siswa dan beranjak menjadi
mahasiswa, memasuki dunia sebenarnya, yaitu
dunia kampus. Kini aku sudah tingkat tiga di salah
satu universitas negeri di Indonesia. Perasaan bosan
dengan organisasi dan ingin jadi mahasiswa yang
berprestasi saja pernah terlintas dalam benakku
sesekali. Kendati demikian, tidak ada yang pasti di
dunia selain matematika dan hati manusia yang
suka berubah-ubah. Sulit dipungkiri, aku selalu
tidak ingin melewatkan kesempatan besar untuk
mengembangkan ilmu kepemimpinan yang masih
dasar ini. Cerita suka dan duka yang pernah dilewati,
tidak inginku cukupkan sampai disitu saja.
Akhirnya aku mengawali jejak organisasi di
kampus dengan mengikuti Badan Eksekutif Mahasiswa
dan beberapa kepanitiaan. Disinilah, aku memiliki

137
Terpaut Oleh Waktu

banyak relasi, bertemu dengan berbagai macam


pemimpin dari berbagai daerah di Indonesia dengan
gaya kepemimpinan masing-masing.
“Guys, maaf bangett aku izin ya gabisa ikut rapat,
mau nganter mama dulu soalnya,” pesan WhatsApp
dari Mina di group BEM.
“Oke gapapa Mina, tapi usahain langsung join
secepatnya ya setelah anter mama, hati- hati dijalan.”
jawab Nani, Ketua Departemen kami.
Jleb. Aku dejavu membaca pesan itu. Setahun
yang lalu, diriku di depan ruang osis dihadapkan
pada situasi yang sama, namun caraku dengan kak
Nani sangat berbeda. Cara yang berbeda rupanya
memberikan dampak yang berbeda pula. Internalisasi
yang lebih hangat, dan have fun aku rasakan di BEM,
rasa saling memiliki dan kekeluargaan yang lebih erat.
Sesuatu yang belum pernah aku rasakan semasa OSIS
SMA.
Ya, itu hanya salah satu dari sekian banyaknya
tamparan yang Tuhan tunjukkan padaku semasa
kuliah ini. Mataku semakin terbuka lebar, semakin
diikuti semakin sadar bahwa aku masih belum apa-
apa. Aku bukan siapa-siapa dan masih bodoh, pikirku.
Disini aku menjelajahi tentang kepemimpinan lebih
jauh. Merasakan relasi yang lebih luas, bertemu
dengan berbagai macam pemimpin dengan gayanya
masing-masing.
Sekarang aku mengerti alasannya, mengapa
aku tidak merasakan hal-hal diatas saat dahulu. Hal-
hal baru yang aku temui, dan ternyata aku abaikan
kala itu. Jembatan antara hubungan manusia dengan
manusia lainnya, yaitu empati. Ya, memimpin dengan
hati dan empati. Sesuatu yang terlupakan olehku
dalam memimpin. Pertanyaan yang seringkali aku
dapati, ketika aku menjadi bawahan.
“Gimana hari ini? Capek ya? Kalau capek,
istirahat aja dulu nanti lanjut lagi,”
“Ada yang bisa dibantu ga?”
“Ada kendala apa Tes?”

138
Koma Lalu Titik

Sederhana namun bermakna serta penting


bagi para anggota organisasi, juga salah satu bentuk
memanusiakan manusia. Banyak yang aku pelajari
dari gaya kepemimpinan di kuliah ini. Komunikasi yang
inklusif, tidak memandang jabatan dalam berinteraksi.
Menghargai dan menghormati setiap pendapat
sekalipun berbeda. Mampu menyelesaikan persoalan
baik kecil ataupun besar dengan tenang.
Hal terbesar yang bermakna bagiku, empati.
Sesuatu yang semestinya dimiliki setiap insan. Bahwa
mendengarkan dahulu, memberikan kesempatan
mereka menjelaskan barulah membuat keputusan.
Menyertai koma terlebih dahulu sebelum menentukan
titik.
Dari cerita kepemimpinan tersebut, aku
menyimpulkan bahwa orang cerdas menggunakan
logika, orang bodoh menggunakan perasaan dan
orang bijak menggunakan keduanya. Pemimpin
yang bijaksana adalah pemimpin yang dalam setiap
langkahnya menggunakan logika dan perasaan, sebab
hanya orang bijak yang dapat menggunakan keduanya.
Manusia diciptakan dengan bentuk sempurna,
namun tidak ada pemimpin sempurna. Bahkan bukan
hanya dilahirkan, pemimpin itu dibangun. Dibangun
dari serangkaian pengalaman-pengalaman, bakat,
pembelajaran-pembelajaran dan cerita-cerita bahkan
sejak kecil.

139
Terpaut Oleh Waktu

140
Aku Pulang
Karya Rosyida Haifa

A ku adalah anak kedua dari tiga saudara


perempuan dalam keluarga. Aku dan
keluargaku hidup sangat berkecukupan, kami tinggal
di Kota Jakarta dengan kehidupan yang memadai.
Semua yang kami inginkan hampir bisa terpenuhi dan
meminta suatu barang kepada ibu tidak menjadi suatu
hal yang sulit. Apa yang orang lain bilang sangat mahal
tidak menjadi masalah untuk keluargaku. Kedua orang
tuaku memang penuh dengan kasih sayang awalnya.
Berjalannya waktu, aku tumbuh menjadi gadis
dewasa yang bisa merasakan sikap ibu yang berbeda
jika dibandingkan dengan sikap ibuku yang dulu. Pada
saat aku kecil, sepertinya kasih sayang ibu terasa
begitu besar. Mungkin, karena aku belum banyak tahu
tentang kehidupan dunia luar atau memang sudah
tergantikan. Semua yang aku rasakan hanya bisa aku
pendam dalam perasaanku saja, seperti bayi yang
belum bisa berbicara satu kata pun.
Aku menjalani hari-hariku seperti biasa
Terpaut Oleh Waktu

kelihatannya, bersekolah dan bermain bersama


sahabat-sahabatku membuat semua pertanyaan yang
ada di kepala ini hilang begitu saja. Siapa sangka, aku
yang biasa dipanggil Nabila murid dari salah satu SMA
yang cukup terkenal di Jakarta. Kelihatannya aku gadis
yang selalu penuh dengan tawa dan selalu menghibur
temanku, ternyata aku memiliki banyak pertanyaan
tentang sikap ibu yang kini berbeda kepadaku.
Aku hampir tidak pernah merasa sedih maupun
kecewa jika berada di dekat teman- temanku.
Namun, lain rasanya jika aku sudah pulang ke rumah.
Bagaimana bisa rumah yang seharusnya menjadi
tempat ternyaman dan terhangat untuk diriku, kini
berubah seperti bukan rumah yang begitu nyaman
dan hangat lagi. Aku merasakan semua berbeda ketika
aku berada di SMP. Namun pada saat itu aku merasa
tidak ada yang berubah dan hanya perasaanku saja.
Waktu terus berjalan sekarang aku sudah memasuki
awal perkuliahan, ternyata sudah cukup lama aku
menjadi Nabila yang penyabar.
Salsa adalah kakak perempuanku, ibu sangat
memanjakannya dengan semua hal yang ia inginkan
sejak kecil hingga saat ini. Salsa sudah memiliki
pekerjaan sendiri yang artinya ia bisa membeli apa
yang ia mau tanpa harus meminta ataupun dibelikan
oleh ibu. Memang aku memiliki rasa cemburu kepada
kakak pertamaku yang selalu cepat mendapatkan apa
yang ia inginkan. Aku memang orang yang penyabar
tapi, setelah ia memperlakukanku tidak sopan dan
tidak menghargaiku, kesabaranku kini semakin
menipis.
Rasa cemburu yang selalu aku rasakan
sebenarnya tidak pernah aku ceritakan pada siapapun
karena aku malu untuk bercerita kepada orang lain. Aku
memang selalu menutup dan menahan semua rasa
cemburuku kepada kakakku yang selalu diperhatikan
oleh ibu. Aku tidak mengerti mengapa ibu terlihat
berbeda sangat jelas saat memberi perhatian kepada
kakakku. Aku seperti merasa bukan anak dalam

142
Aku Pulang

keluarga ini dan pertanyaan sebenarnya aku dianggap


siapa oleh ibu terus menghantui pikiranku, semua
terasa asing untukku.
Rasa sedihku selalu timbul ketika aku melihat
semua perhatian yang ibu berikan kepadanya
di hadapanku. Kalau dilihat dari prestasi yang
didapatkan oleh kakakku sepertinya aku hampir sama
dengannya. Aku hanya berbeda sikap dan sifat saja
jika dibandingkan dengannya dan aku rasa memang
aku terlihat lebih sopan kepada orang tuaku. Salsa
ini memang selalu mendapatkan apa yang ia mau
dengan cepat. Sayangnya ia suka sekali membangkang
dengan ibu. Aku rasa ia sangat terlihat egois dan hanya
memikirkan dirinya sendiri.
Ia sering sekali mengecewakan perasaan ibu di
depan orang yang sedang bertamu ke rumah. Jelas
sekali perasaan ibu dan ayahku ketika ia sedang
bersikap mengecewakan terlihat sangat sedih. Sikap ia
yang seperti itu ayah dan ibuku tidak pernah sekalipun
untuk menegur walaupun mereka merasa malu dan
sedih dengan sikap anaknya yang seperti itu. Jika aku
yang bersikap seperti itu jelas sekali, kalau mereka
akan langsung menegurku dengan keras, hingga aku
hanya bisa menangis saja tanpa bisa membantah satu
katapun, memang sangat berbeda aku dengannya.
Semua memang terlihat baik-baik saja di
dalam rumah karena aku hanya bisa terdiam dan aku
belum berani buka suara untuk semua hal yang aku
rasakan. Setiap hari ibu selalu menyuruhku untuk
mengambilkan makan ataupun minum untuknya
dan aku harus mengantarkan ke kamarnya. Semua
hal itu tidak pernah ibu lakukan untukku, aku hanya
menikmati semua kasih sayang ibu yang diberikan
kepada kakakku. Aku berpikir mungkin memang
ibu cintai kakakku ketimbang diriku. Setiap hari aku
menangis dalam kamar tidurku jika melihat hal itu
dan terkadang aku tidak mau menjalankan perintah
ibu yang hanya untuknya.
Hari demi hari aku lewati dengan penuh kecewa,

143
Terpaut Oleh Waktu

aku selalu merasa asing dalam rumah yang seharusnya


menjadi tempat ternyaman. Semakin hari rasanya ibu
semakin mencintai kakakku dengan hangat. Setiap hari
aku hanya selalu disuruh ibu untuk mengingatkan ia
makan ataupun melihat ia sedang melakukan kegiatan
apa dalam kamarnya dan melapor kepada ibu.
Kecewa rasanya menjadi seperti bukan bagian dalam
kehangatan rumah itu, ingin sekali aku bersuara akan
perasaan yang aku rasakan sejak dahulu. Mengingat
sikap ibu yang selalu penuh kasih sayang kepada
kakakku, sepertinya ayah tidak bersikap sama dengan
ibu.
Ayahku memang lebih bisa membagi kasih
sayangnya dengan sama terhadapku dan kakakku.
Sesekali ayahku ini terlihat lebih menyayangi kakakku
namun, tidak selalu sama dengan ibu. Sebenarnya aku
hanya ingin mendapatkan kasih sayang ibu yang sama
seperti ia memberikannya pada kakakku. Aku selalu
ingin menjadi kakak yang begitu disayangi oleh ibu, aku
juga selalu ingin apa yang aku butuhkan bisa langsung
ibu berikan padaku. Aku berpikir kalau semua angan-
angan diriku itu akan selalu menjadi angan-angan, dan
tidak tahu kapan semua itu bisa tercapai.
***
Waktu seminggu, aku tidak pernah merasakan
kasih sayang ibu yang begitu hangat padaku. Di benak
ibuku sepertinya memang hanya ada nama Salsa
dan bagaimana cara aku mendapatkan kasih sayang
ibu yang hanya diberikan padanya. Sungguh hancur
rasanya jika setiap hari aku harus melihat kehangatan
yang ibu berikan hanya untuk anak pertama nya saja.
Aku sudah sangat lelah melihat semua kasih sayang ibu
yang begitu dalam hanya diberikan kepada kakakku.
“Apakah kesabaran aku ini memang sudah
terlalu lama dan terlalu dalam,” batinnya dengan
penuh pertanyaan.
Aku tidak tahu kapan aku harus bersuara tentang
semua perasaan sedih dan kecewa yang aku rasakan
selama ini, ingin sekali aku berteriak dan menangis

144
Aku Pulang

kencang di hadapan kedua orang tuaku beserta


kakakku agar mereka tahu perasaan sedih ini sudah
cukup aku pendam dalam bertahun-tahun lamanya.
Tiba saatnya aku membuka suara tentang semua
yang aku rasakan selama ini. Saat itu aku melihat
kakakku yang sedang kesal dengan ibu. Di situ aku
hanya bisa berkata dalam hati,
“Kamu yang selalu ibu pikirkan dalam hal
apapun, yang selalu didahulukan oleh ibu, sekarang
kamu bersikap kesal dan tidak ada rasa sopan pada
ibu! Anak yang tidak tahu terima kasih!”. Geram sekali
aku melihat tingkahnya seperti itu dan ingin sekali
aku melontarkan kata- kata itu padanya. Aku melihat
ia meninggalkan ibu dari ruang tamu hingga menuju
kamarnya dengan raut wajah yang kesal kepada ibu,
sangat membuat diriku memanas dan ingin sekali
menegurnya. Semua perasaan kesal aku tertahan
sejenak di ruang makan keluarga. Hingga ia keluar
dari kamar, ternyata raut wajahnya masih sama. Rasa
kesal yang ada di diriku sudah tidak bisa tertahan
lagi dengan melihat tingkah ia yang seperti itu dan
aku lontarkan perkataan yang mungkin membuat ia
merasa kesal denganku.
“Heh! kamu jadi anak kurang ajar banget ya
sama orang tua! Ngapain masang muka kaya gitu?
Semua yang kamu mau itu sudah terpenuhi! Kurang
apa lagi hidup kamu? Anak yang tidak tahu terima
kasih banget ya kamu!” ucapku kepadanya dengan
spontan.
Suasana ruang makan keluarga ini semakin
memanas dengan perkataanku yang begitu
lancarnya aku lontarkan kepada kakakku. Setelah
aku melontarkan kata-kata seperti itu dia tidak bisa
berkata satu katapun kepadaku. Aku hanya melihat
muka kesal dengan mata yang berkaca- kaca seperti
ingin menangis. Aku terasa begitu lega untuk bisa
berkata-kata seperti itu padanya. Untung saja di ruang
makan itu hanya ada aku dan kakakku, kalau ada ayah
atau ibuku mungkin aku sudah habis dimarahi olehnya

145
Terpaut Oleh Waktu

dengan segala pembelaan yang keluar untuk membela


kakakku. Sebenarnya aku belum begitu merasa lega
dengan perkataanku yang sudah aku lontarkan pada
wanita yang sangat disayangi oleh ibu. Aku merasa
tidak puas karena aku belum berhasil bersuara kepada
ayah dan ibuku.
Aku kira pertengkaran aku dengan kakakku
sampai di ruang makan saja ternyata tidak seperti
yang aku kira. Wanita yang mendapatkan penuh kasih
sayang dari ibu itu, memilih untuk mengadu pada ibu
yang selalu bisa membentengi dia denganku. Aku tahu
ia mengadu pada ibu karena kamar aku dengannya
memang sebelahan, lalu aku mendengar ia menangis
tersedu- sedu dan tidak lama ia langsung keluar
kamar yang terlihat jelas langsung menuju kamar ibu
dan ayahku. Aku hanya mengintip dari celah pintu
kamarku, benar saja kecurigaanku ia menuju kamar ibu
dengan keadaan menangis tersedu-sedu. Ia berada di
kamar ibu dan ayah cukup lama, seketika ayah dan ibu
langsung keluar dari kamarnya dan berjalan mengarah
ke kamarku. Tidak heran jika ia masuk kamar ibu lalu
salah satu dari orang tuaku langsung menghampiri
diriku. Aku pun sudah berbaring di ranjang nyamanku,
pasang badan dan terima keadaan jika aku akan
diperlakukan kasar oleh ayahku karena aku sudah
bersikap seperti itu pada kakakku.
Setibanya ayah di hadapan pintu kamarku, ia
langsung mengetuk dan bergegas masuk kedalam
kamar yang terasa dingin. Aku yang tadinya berbaring
seketika aku langsung bergegas duduk di pinggir
ranjang. Saat itu aku hanya bisa memandangi raut
wajah ayahku yang terlihat biasa namun penuh
pertanyaan di benak kepalanya dengan kejadian di
ruang makan tersebut.
“Kamu kenapa sama kakakmu?” tanya ayah
padaku. Pertanyaan yang ayah lontarkan padaku
tidak membuat diriku bingung untuk menjawabnya.
Sebenarnya aku terkejut dengan ayahku yang tidak
langsung memarahi diriku tetapi ayah bertanya

146
Aku Pulang

dengan nada berbicara yang biasa aja. Memang aku


sempat terlihat bingung dengan nada bicaranya yang
biasa saja tapi, itu membuat diriku semakin tenang
karena ternyata ia tidak memarahi diriku.
Pertanyaan dari ayah aku jawab sesuai dengan
kejadian yang terjadi di ruang makan dengan anak
kesayangan ibu itu. Aku langsung terkejut dengan
jawaban ayahku setelah ia mendengarkan penjelasan
dari diriku. Ternyata ayahku menyetujui sikap diriku
yang seperti itu kepada kakakku. Ayahku berpikir
memang sesekali kakak kesayangan dan tercinta ibu
itu harus ditegur dengan cara yang aku lakukan tadi
agar ia tidak selalu bertindak semaunya saja.
Setelah semua perbincangan aku dan ayahku
terjadi di kamar yang dingin ini, ayahku meminta
untuk aku yang meminta maaf pada kakakku karena
aku sudah membuat ia menangis. Tidak adil rasanya,
ia yang sudah kurang ajar terhadap orang tua namun,
tetap aku yang harus meminta maaf padanya. Semua
rasa kesal yang ada aku dan ayahku bergegas berjalan
menuju kamar ibu dan menemui kakakku. Tibanya
aku di kamar ibu, aku melihat dia dan ibu sedang
berpelukan. Kesal rasanya, raut wajahku sudah tidak
bisa dibohongi lagi.
“Kamu kenapa sih bil? Punya masalah apa kamu
sama aku?” tanya Salsa padaku, sambil menangis
dihadapan aku, ibu, dan ayahku. Suasana kamar itu
terasa mulai memanas, raut wajahku yang kesal sudah
tidak bisa disembunyikan lagi.
“Ya kamu mikir dong! Tidak perlu kamu
pasang wajah kesal yang terus-menerus di hadapan
ibu! Hidup kamu itu sudah terlalu enak! Semua
kemauanmu dituruti oleh ibu! Semua kasih sayang
dan rasa perhatian ibu selalu diberikan buat kamu!
Tidak usah menjadi anak yang tidak tahu terima kasih
dengan orang tua dan tidak tahu diri ya! Kurang apa
kamu?” ucapku dengan penuh rasa amarah pada anak
kesayangan ibu itu.
Sadar tidak sadar tapi aku mengucapkan

147
Terpaut Oleh Waktu

perkataan seperti itu di hadapan ibu dan ayahku.


Suasana kamar yang dingin berubah menjadi memanas
dan tegang. Aku sudah berkata seperti itu saja ibu
tetap ada pembelaan untuk anak kesayangannya dan
ayahku sendiri tetap menyuruhku untuk meminta
maaf pada kakakku, kesal sekali rasanya.
“Yaudah aku minta maaf bil sama kamu kalo aku
punya salah bil,” ucap Salsa sambil menangis tersedu-
sedu.
“Tidak usah kamu minta maaf kepadaku ya!
Kamu itu udah kurang ajar dengan ibu!
Minta maaf dengan ibu bukan denganku!” teriak
aku sambil menunjuk padanya.
“Ibu juga Tidak perlu terus-terusan membela
anak ini! Aku capek melihat ibu yang selalu
memberikan lebih kasih sayang ibu pada Salsa! Aku
memang cemburu dengan sikap ibu yang seperti itu!
Dimana kasih sayang aku bu!” ucapku dengan suara
bergetar dan seketika air mata yang selama ini aku
sembunyikan dari mereka terlihat mengalir di pipiku.
Tidak tahan rasanya berada berlama-lama di
kamar itu aku pun bergegas pergi meninggalkan kamar
ayah dan ibu tanpa meminta maaf dengan siapapun.
Saat itu aku sudah benar-benar kesal dan bercampur
rasa lega karena sudah melontarkan isi hati yang
selama ini tertahan. Berjalan aku menuju kamarku yang
dingin dan bergegas aku untuk berbaring di ranjang
nyamanku dan menarik selimut sembari menangis
kencang karena rasa emosi yang timbul begitu besar.
Aku pun terlelap dengan keadaan menangis dan aku
terbangun dengan perasaan sedih. Aku kesal dengan
semua kejadian kemarin yang terjadi di kamar ayah
dan ibu. Aku merasa lelah sekali berada di rumah ini
dan sudah tidak tahan rasanya aku berlama-lama di
rumah ini.
***
Aku berkuliah di tempat yang cukup jauh dari
rumah, jadi aku berpikir serta memutuskan untuk
mencari tempat tinggal yang dekat dengan kampusku

148
Aku Pulang

dan memilih untuk meninggalkan rumah ini dalam


waktu yang tidak tahu sampai kapan. Aku tidak tahu
kapan aku bisa berdamai dengan rumah ini lagi dan
aku tidak tahu kapan aku bisa kembali ke rumah itu
lagi. Selang perdebatan kemarin aku dengan anak
kesayangan ibu, aku mengambil keputusan yang
tepat jika aku meninggalkan rumah ini. Aku ingin
hidup sendiri tanpa mendengar rasa kepedulian ibu
terhadap anak kesayangannya itu. Aku memang sudah
tidak mau dengar suara ibu yang selalu memerintahku
untuk kepentingan anak kesayangannya itu. Memang
disini aku terlihat cukup egois namun, dengan semua
yang aku rasakan begitu mengecewakan dan selalu
membuatku ingin menangis. Hal tersebut mematahkan
niatku untuk meninggalkan rumah ini. Aku rasa
perasaanku akan lebih baik jika aku meninggalkan
rumah ini karena memang aku membutuhkan waktu
untuk sendiri.
Setelah aku mendapatkan persetujuan dari ayah
dan ibuku untuk mencari tempat tinggal di sekitaran
kampus, aku segera bergegas menyiapkan semua
barang yang aku perlukan untuk di sana. Setibanya
aku menemukan tempat tinggal baru yang sesuai, aku
menikmati hari- hariku dengan begitu tenang. Aku
sangat berdamai dengan keadaan aku yang sekarang,
aku tidak perlu memikirkan tentang perhatian ibu
pada kakakku lagi. Aku begitu nyaman dengan
tempat baruku ini, aku baru merasa ini adalah rumah
untukku, walaupun memang tidak ada siapa-siapa di
dalamnya selain diriku. Tinggal di tempat baru ini aku
harus bisa melakukan apa saja dengan sendiri tanpa
ada bantuan dari siapapun hal tersebut tidak menjadi
suatu masalah yang besar untukku.
***
Aku sudah dua bulan lamanya tidak kembali
pulang ke rumah. Tidak terasa waktu berjalan begitu
cepat membuat aku lupa akan kejadian terakhir
di rumah. Di tempat tinggal baruku ini aku begitu
menikmati dengan perkuliahanku dan teman-

149
Terpaut Oleh Waktu

temanku sehingga, aku tidak ingat dengan orang-


orang yang berada di rumah. Perkuliahan yang cukup
padat dan cuaca yang tidak menentu seperti pagi
cerah memasuki siang hari secara tiba-tiba turun
hujan. Hal tersebut membuat aku jatuh sakit yang
tidak kunjung sembuh selama berminggu-minggu.
Aku merasa semakin melemah dan aku menghubungi
ayahku untuk menjemputku pulang ke rumah.
Sebenarnya aku masih ragu, apakah yang aku
sebut rumah tinggal itu masih sama seperti dulu atau
sudah berbeda. Tak lama aku meminta ayah untuk
menjemputku, ia sudah tiba di depan tempat tinggalku
yang dekat dengan kampus. Aku dan ayah melakukan
perjalanan untuk pulang ke rumah. Setibanya aku
di rumah, badanku terasa sakit dan aku semakin
melemah. Aku memasuki rumah itu, aku membuka
pintu utama dan aku melihat ibu sedang menatap ke
arahku dengan raut wajah yang penuh pertanyaan.
“Loh kenapa badanmu tampak seperti itu?
Apakah kamu sakit?” tanya ibu sedikit
dengan nada cemas.
Aku cukup terkejut dengan pertanyaan ibu
yang seperti itu padaku dan aku berpikir sejak kapan
ibu peduli seperti ini padaku, pertanyan tersebut
memenuhi kepalaku yang sedang pusing ini. Kondisi
badanku yang tidak seperti biasanya, membuat
diriku semakin lelah jika aku harus berdiri berlama-
lama dan aku bergegas duduk di sofa yang berada
di dekat ibu. Aku menduduki sofa tersebut, banyak
sekali pertanyaan yang ibu lontarkan padaku dan
rasanya memang agak aneh karena aku tidak biasa
mendengar ia bertanya seperti itu padaku. Aku hargai
semua pertanyaannya padaku, aku pun menjawab
satu persatu pertanyaan ibu hingga akhirnya ia tahu
bahwa aku sedang tidak sehat.
Aku merasa pada saat aku sakit ibu lebih
perhatian kepadaku. Aku tidak mengerti apakah sikap
ibu ini memang sudah berubah atau karena keadaan
aku yang sedang kurang sehat ini. Aku merasa terharu

150
Aku Pulang

sekali dengan semua perhatian yang ibu berikan


kepadaku yang selama ini selalu ia berikan kepada
anak kesayangan ibu itu. Aku lelah dengan perjalanan
pulang tadi setelah berbincang dengan ibu aku pun
bergegas pergi beristirahat ke kamarku dan aku mulai
terlelap.
Pagi hari telah tiba, kondisi diriku yang telah
sakit ini semakin membaik. Tidak lama setelah aku
bangun, aku mendengar ada yang mengetuk dan mulai
membuka pintu kamarku dengan segera. Ternyata
setelah kupandangi arah pintu itu aku lihat wajah ibu
yang penuh dengan kasih sayang mulai mendekat
ke arahku. Aku terkejut bahwa aku mendapati ibu
yang berlinang air mata sambil berbicara kepadaku
akan hal perasaan yang selama ini aku rasakan. Aku
terkejut pada semua pernyataan-pernyataan ibu tidak
aku sangka ternyata sosok ibu yang selalu memikirkan
anak pertama kesayangannya itu kini menyadari akan
perasaanku yang merasa terasingkan dari rumah ini.
Kata demi kata ibu lontarkan padaku, semua
kalimat-kalimat ibu saat itu membuatku tidak bisa
menahan air mata ini. Suasana kamar itu terasa
sangat haru dengan keadaan diriku yang sedang
tidak enak badan ini namun, aku merasa bahagia.
Aku dan ibu berpelukan dengan erat pada saat itu,
aku merasakan kehangatan dari sosok ibu yang
selama ini aku cari dan selama ini yang mendapatkan
kehangatan itu adalah kakak pertamaku saja. Aku
begitu terharu dan juga bahagia pastinya dengan ibu
yang memperlakukan diriku seperti itu dan rasanya
aku selalu ingin mendapatkan perhatian yang seperti
ini dalam hari-hariku. Aku tidak menyangka ia berkata
padaku kalau ia ingin memperbaiki semuanya, ia ingin
memberikan kasih sayang yang sama seperti yang ia
berikan pada anak pertamanya. Ibu mengakui bahwa
perbuatanya selama ini adalah hal yang salah dan ibu
menyesal karena sudah memberikan perhatian dan
kasih sayang yang lebih pada satu anak saja yang jelas
akan menimbulkan rasa kecemburuan.

151
Terpaut Oleh Waktu

Pada akhirnya aku bisa berdamai dengan


keluargaku, suasana rumah yang dahulu sangat tidak
aku inginkan kini telah berubah menjadi rumah yang
hangat dan nyaman sebagai tempat untuk pulang. Kali
ini aku merasa dianggap anak oleh ibu dan aku merasa
diberikan kasih sayang yang sama olehnya. Tempat
tinggalku yang dulu aku pikir tidak nyaman dihuni
oleh ayah, ibu, dan kakakku kini berbeda. Kehangatan
rumah ini semakin melekat di diriku dan aku sekarang
sudah bisa pulang tanpa rasa tidak nyaman lagi tinggal
di rumah ini.

152
Biodata Penulis
Aby, itulah panggilan penulis dengan nama lengkap
Abyan Abdullah Ashar. Penulis lahir di Tangerang,
19 Mei 2002 dan saat ini penulis sedang menempuh
pendidikan di Sekolah Vokasi IPB University jurusan
Komunikasi Digital dan Media. Memiliki hobi
berpetualang dan fotografi membuat penulis memiliki
banyak cerita di hidupnya. Cerita ini merupakan karya
pertama penulis yang diambil dari kisah nyata dan
berharap dapat menginspirasi banyak orang yang
membacanya. Mari kita berteman, membuat banyak
cerita seru dalam kehidupan, jumpai penulis melalui
instagram @abyanaashar

Akrab dengan sapaan Adis, perempuan kelahiran Bogor


ini memiliki nama lengkap Adysti Nur Fitriani. Saat ini
penulis merupakan mahasiswi semester 5 di Sekolah
Vokasi IPB. Penulis merupakan anak kedua dari dua
bersaudara. Selain ketertarikannya di bidang seni dan
olahraga, penulis bercita-cita untuk bisa mendapatkan
penghasilan hanya dengan rebahan di rumah. Melalui
karya pertamanya ini, penulis berharap bisa menghibur
pembaca dengan curahan kata-katanya. Sapa penulis
melalui instagram @Adystinur

Alfina Damaiyanti atau yang kerap dipanggil fina atau


dame adalah anak kedua dari tiga bersaudara. Penulis
ini merupakan mahasiswi aktif semester 5 di SV IPB
University dengan jurusan Komunikasi Media dan
Digital. Memiliki pribadi yang supel dan menyenangkan
merupakan keseharian penulis. Gemar menonton film
dan berlari adalah hobi atau kesukaan dari penulis.
Salah satu impian penulis adalah bisa berguna bagi
banyak orang, penulis membuat cerita ini adalah
bentuk tanda terima kasihnya untuk sahabatnya yang
telah tiada. Wanna catch up with this writer? dont
hesitate to follow intagram @alfinadg

153
Alma Rahayu yang kerap dipanggil alma merupakan
penulis cerpen "Diajar, Belajar, dan Terpelajar"
cerpen tersebut merupakan kisah persahabatan di
sekolah dengan latar belakang yang berbeda dari
setiap tokohnya. Permasalahan membuat para tokoh
menjadi lebih kuat. Selain itu, penulis memiliki hobi
menonton film dan membaca buku. Penulis cerpen
yang kerap dipanggil alma saat ini bersekolah di sekolah
vokasi Institut Pertanian Bogor dengan program studi
Komunikasi Digital dan Media. Penulis berharap kisah
ini dapat memberikan manfaat dan kesan positif bagi
pembacanya.

Angel Chatarina Siregar atau akrab dipanggil Angel


merupakan mahasiswi semester 5 jurusan Komunikasi
Digital dan Media di Sekolah Vokasi IPB. Angel lahir di
Medan, 11 Juni 2002. Selain kuliah, penulis memiliki
kesibukan sebagai asisten dosen di mata kuliah
Agama Kristen serta aktif mengikuti berbagai kegiatan
kepanitiaan yang ada di kampus. Penulis juga memiliki
ketertarikan dalam dunia menulis, akting serta public
relations. Karya cerita pendek yang telah berhasil
diselesaikan, penulis berharap pembaca bisa terbawa
suasana yang mendalam saat membacanya. Penulis
dapat disapa dan dikenal lebih dekat melalui instagram
@Angelchatarinaa

Dua puluh satu tahun silam tanggal 2 Maret 2001,


seorang anak perempuan dilahirkan dari rahim
wanita hebat dengan didampingi pria tangguh di Kota
Bogor. Eria Masdiani mahasiswi Sekolah Vokasi IPB
University angkatan 57. Sambil berkuliah, penulis
melakukan berbagai aktivitas yang menjadi hobinya,
seperti jalan - jalan dan kulineran. Cerpen ini menjadi
karya perdananya dalam bidang menulis. Jika ingin
berkomunikasi dengan penulis, silahkan melalui e-mail
eriamasdiani1@gmail.com atau melalui instagram @
eriamasdiani1

154
Febiola Dwi Mentari anak kedua dari tiga bersaudara,
anak perempuan satu - satu nya yang harus memiliki
harapan serta impian besar untuk melanjutkan cerita
hidup nya. Dilahirkan dari seorang rahim wanita hebat
dan dalam kondisi keluarga yang sederhana tepatnya
pada tanggal 02 Februari 2000. Saat ini aktif menjadi
mahasiswi Komunikasi Media dan Digital di semester 5
Sekolah Vokasi IPB. Banyak warna dalam setiap langkah
nya membuat cerita ini di kemas menjadi suatu karya
yang harapan nya bisa memberikan motivasi, bahwa
sesungguhnya kebahagiaan datang dengan waktu yang
tepat, tidak ada yang salah, semua butuh proses dalam
mengapai sebuah impian, dengan melukis harapan kita
dapat lebih menghargai setiap langkah dan waktu.
Untuk lebih kenal lagi bisa langsung cek instagram nya
@mentarifbldw, selamat membaca <3

Anissa Puspa Kirana, atau yang akrab disapa Anna


ini adalah anak pertama dari tiga bersaudara.
Kegemarannya dalam menonton film dengan genre
fantasi, membuatnya memiliki tingkat imajinasi
yang tinggi. Tidak heran jika wanita semester 5 yang
berkuliah di jurusan Komunikasi Digital dan Media
ini selalu merangkap sebagai divisi acara di berbagai
kegiatan, karena kegemarannya membuat ide suatu
acara yang menarik. Kisah nyata penulis yang berhasil
dituangkan dalam sebuah cerita yang berjudul "Apa
yang Salah Dengan Tidurku?" Membuat penulis lebih
dekat dengan penciptanya dan terkhusus membuat
penulis lebih bersyukur atas segala kelebihan dan
kemampuan yang telah Tuhan anugerahkan kepada
setiap manusia. Yuk sapa penulis di instagramnya
@anissapuspakiranaa

Novita Tambunan yang lahir pada 15 November 2002


biasa di sapa nov atau Vita. Penulis Sekarang sedang
berkuliah di sekolah vokasi ipb jurusan komunikasi
digital dan media, mempunyai hobi menonton
dan membaca novel. Ingin mengenal penulis lebih
jauh yuk follow ig nya @novitatbn_ dan email di :
novitatambunan99@gmail.com

155
Putri Nopiandini lahir di Sukabumi, 2 November 2002.
Pada 2020, masuk Sekolah Vokasi IPB University jurusan
Komunikasi Digital dan Media. Sangat menyukai musik,
buku, film, dan karakter fiksi. Bercita-cita suatu hari
bisa menjajaki kaki di berbagai tanah di negeri serpihan
surga ini. Yuk, kamu bisa menyapa dan mengenal lebih
dekat dengan penulis di akun Instagram @put._.rii

Rizka Mutezah adalah nama lengkapnya. Gadis yang


kini berusia 21 tahun sangat gemar berorganisasi dan
bersosialisasi sejak dulu. Tidak heran, kini ia merupakan
mahasiswa aktif tingkat 3 Jurusan Komunikasi Digital
dan Media di salah satu universitas negeri di Bogor.
Selain kuliah, penulis memiliki kesibukan pada
organisasi Badan Eksekutif Mahasiswa di kampus dan
aktif kegiatan diluar kampus. Kisah nyata penulis dalam
perjalanan kepemimpinannya selama berorganisasi ,
dituangkan dalam cerita pendek berjudul “Koma Lalu
Titik”. Penulis berharap karya ini dapat bermanfaat bagi
pembaca dalam mengasah perilaku kepemipinan

Rosyida Haifa atau yang akrab dipanggil Rosyi adalah


seorang mahasiswi Sekolah Vokasi IPB jurusan
Komunikasi Digital dan Media. Penulis lahir di Bekasi,
21 April 2000. Penulis memiliki hobi menggambar dan
berenang. Penulis berharap karya pertamanya ini dapat
menjadi inspirasi banyak orang. Penulis juga dapat
dijumpai melalui instagram @rosyi__

156
158

Anda mungkin juga menyukai