Anda di halaman 1dari 195

oleh

Laras Sekar Seruni


Bincang di Bawah Bintang, Rembulan, dan Hujan

Penulis
Laras Sekar Seruni

Penyunting
Devi Anugra Pratama

Penata Letak
Yuniar Retno Wulandari

Pendesain Sampul
Hanung Norenza Putra

Ellunar Publisher
Email: ellunar.publisher@gmail.com
Website: www.ellunarpublisher.com

Bandung; Ellunar, 2017


vi+189hlm., 14.8 x 21 cm
ISBN:

Cetakan pertama, Agustus 2017

Hak cipta dilindungi undang-undang. Dilarang mengutip atau


memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis dari
penerbit.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2002 tentang


Hak Cipta
Lingkup Hak Cipta
Pasal dua :
1. Hak Cipta merupakan hak eksklusif bagi Pencipta atau Pemegang
Hak Cipta untuk mengumumkan atau memperbanyak Ciptaannya,
yang timbul secara otomatis setelah suatu ciptaan dilahirkan tanpa
mengurangi pembatasan menurut peraturan perundang-undangan
yang berlaku.
Untuk ayah dan ibuku tercinta,
Didik Suryantoro dan Yuli Lunawati
Kata Pengantar
Bincang di Bawah Bintang, Rembulan, dan Hujan adalah secarik kisah
yang tersirat nyata mengenai kegelisahan saya. Kisah ini berbaur bersama
dua puluh satu kisah lainnya yang terangkum dalam kumpulan cerpen
perdana saya ini. Perdana adalah sesuatu yang spesial karena memiliki
daya juang tersendiri untuk mewujudkannya.
Maka, kumpulan cerpen ini saya persembahkan untuk para
pembaca sekalian yang sangat berbaik hati mau meluangkan waktunya
untuk sekadar membolak-balik halaman atau bahkan terjun bersama
kisah-kisah yang ada di dalam buku ini. Terima kasih hanyalah kata yang
tidak sanggup membalas kebaikan kalian itu.
Saya harap, di lain kesempatan saya bisa kembali memanjakan
kalian lewat kisah-kisah yang berbeda.

Pamulang, 21 Juni 2017

Laras Sekar Seruni


Daftar Isi
Sabtu di Panggung Kantin .................................................................. 1
Vara ................................................................................................. 14
Bincang di Bawah Bintang, Rembulan, dan Hujan ............................. 21
Embusan Hujan ............................................................................... 31
Trapara ............................................................................................ 39
Apel untuk Aphrodite....................................................................... 46
Penerimaan Sejati ............................................................................. 54
Menanti Gerhana .............................................................................. 66
Pantai Kuta Bersama Senja ............................................................... 78
Jihan................................................................................................. 89
Have a Fun(?) Dinner With ... ........................................................... 95
Sepatu Baru Abu-abu ...................................................................... 104
Penantian Bunda ............................................................................ 114
Life As a Music Director................................................................. 119
Salju di Istanbul .............................................................................. 128
Sebuah Perjalanan........................................................................... 136
Ceritaku Tentang Kamu dan Kita ................................................... 145
Perjalanan Pulang ........................................................................... 152
Warisan Bu Aminah........................................................................ 160
Kertas dari Masa ke Masa ............................................................... 168
Gadis Senja .................................................................................... 174
Kesempurnaan Kupu-Kupu............................................................ 180
ZAHIR
ertama kali aku merasakan ini, aku tidak menyadari bahwa ini
cinta. Yang aku tahu adalah kamu sanggup membuatku tersenyum malu
setiap kali kamu menatap ke arahku. Lalu aku mulai merasakan pipiku
hangat, sampai teman yang melihat tingkahku mengatakan bahwa pipiku
merona merah.
Awalnya aku berpikir bahwa ini wajar. Setiap orang pasti pernah
jatuh cinta tanpa bisa mengetahui kapan, kenapa, dan kepada siapa.
Begitu juga denganku. Dia adalah lelaki yang dengan lihainya memainkan
nada-nada indah dari keyboard. Pertama kali aku mendengarnya ketika
aku masih memakai seragam SMP di sekolah baruku, salah satu SMA
favorit di Jakarta. Aku adalah siswa baru. Saat sedang upacara penutupan
MOS, tiba-tiba saja terdengar alunan nada itu.
Fokusku teralih. Tadinya aku masih mendengarkan calon guruku
menyampaikan pidatonya. Perlahan, justru aku berjingkat mencari
sumber nada yang sanggup membuatku terpancing itu. Mungkin karena
aku sedikit pendek, aku tidak berhasil menemukannya. Aku terus
berusaha hingga aku bisa mengetahui bahwa yang memainkan keyboard
adalah seorang laki-laki. Dia adalah calon kakak kelas, pikirku. Siapa pun
itu, dia yang mengiringi lagu Indonesia Raya ketika dinyanyikan serempak
oleh warga sekolah. Dia berhasil membuat perhatianku tertuju penuh
kepadanya, meskipun aku belum bisa bertemu dengannya.
Saat ditanya apa bakatku oleh mentor, aku menjawab bahwa aku
bisa bermain keyboard. Ya, itu adalah hobiku. Setidaknya aku cukup
menguasai beberapa kunci dasar. Walupun tidak terlalu mahir, namun
aku menyukainya. Entah bagaimana, dia menyarankan agar aku bermain
keyboard untuk sekolah. Kemudian, aku diantarkan kepada orang yang
bisa memanduku dalam bermain keyboard. Tiba-tiba saja jantungku
berdegup lebih kencang. Meskipun aku belum bertemu, entah bagaimana
perasaanku berkata bahwa aku akan dipertemukan oleh orang yang
barusan berhasil mengalihkan perhatianku ketika di lapangan upacara.
Benar saja. Dia yang aku kira adalah kakak kelasku menjabat
tanganku lebih dahulu. Namanya Panji. Dia tidak terlalu tampan,
sejujurnya. Hanya saja ada sesuatu yang membuatku sulit untuk
mengalihkan tatapanku dari dirinya.
“Kamu suka bermain keyboard, Zahir?” tanyanya basa-basi
kepadaku.
“I-iya, Kak. Aku suka bermain kalau sedang di rumah,” jawabku
sedikit gugup.
“Bagus. Terus berlatih ya. Nanti kita berlatih bersama. Kakak
akan memandu kamu.”
Entah bagaimana, ada sorakan dalam diriku. Untung saja aku
masih bisa mengontrol diri.
“Biasanya aku berlatih setiap Sabtu di Panggung Kantin. Kamu
datang saja ya,” lanjutnya.
“Iya. Kak Panji?” Entah bagaimana aku ingin menanyakan
sesuatu.
“Ya, Zahir?”
“Sekarang Kakak kelas berapa?” Sungguh, aku sangat penasaran
dengan hal ini.
“Kelas dua belas,” jawabnya. Bodohnya, aku tidak bisa menutupi
rasa kecewaku.
Aku dengan pelan berkata, “Yaaah.” Seakan kecewa dengan
jawaban itu. Berarti aku hanya mempunyai waktu satu tahun untuk
mengenalnya.
Sabtu pertama sebagai siswa baru, aku menuju Panggung
Kantin. Panggung itu permanen dan terletak di kantin. Tidak ada yang
meresmikan nama tersebut. Hanya saja para siswa seakan sudah biasa
menyebutnya begitu. Tentu saja dilihat dari tempat panggung itu berada,
dan itu adalah sebuah panggung, maka dinamakan Panggung Kantin.
Biasanya Panggung Kantin dipakai untuk kegiatan apa pun yang berbau
seni. Untuk kali ini aku menemukan Panji di sana, di belakang keyboard.
Dia sedang mencoba-coba kunci A minor, pindah ke D mayor, pindah
lagi ke C, kemudian kembali ke A minor. Aku tertegun untuk sesaat.
Sepertiya dia langsung menyadari kehadiranku.
“Hei, Zahir. Kemari. Kamu hampir saja terlambat,” sapa dia
dengan senyum yang, demi Tuhan, sangat manis.
“Memang ini kelas, bisa terlambat?” tanyaku. Ayolah, kita hanya
berlatih biasa. Tidak ada aturan konkrit tentang ketepatan waktu. Lagi
pula ini masih terlalu pagi untuk dibilang terlambat.
“Hahaha. Aku bercanda.” Lagi-lagi aku terpesona dengan
tawanya yang renyah.
Aku naik ke atas panggung. Panji menyingkir, membiarkanku
duduk di belakang keyboard. “Sekarang, kamu mainkan lagu Indonesia
Raya,” perintahnya.
Aku bermain dengan mencoba untuk bersungguh-sungguh.
Agak sulit karena jantungku sedikit jumpalitan. Aku sangat grogi.
Akhirnya di pertengahan lagu ada satu nada yang meleset.
“Tidak apa-apa. Pemanasan. Coba sekali lagi,” kata Panji dengan
suara yang sanggup membuatku semakin grogi. Kali ini aku berhasil. Dia
bertepuk tangan. Aku tidak sanggup menyembunyikan senyumku.
“Kamu jago juga bermain keyboard. Kamu terus berlatih. Harus
sering. Karena kalau aku lulus, kamu yang akan menggantikanku menjadi
pengiring lagu ketika upacara bendera,” cerocosnya tanpa henti.
Aku hanya mengangguk. Jariku masih bermain beberapa kunci.
Kemudian, dia juga memencet tuts-tuts keyboard, bersamaan denganku.
Kami berdua memainkan lagu entah-apa-judulnya, aku berada di sisi kiri
berkonsentrasi dengan kunci. Sementara dirinya seperti sedang mencari
nada yang pas untuk mengimbangi. Aku merasa pipiku menghangat lagi.
Tolong, jangan memerah. Karena jika dia melihat, aku bisa malu setengah
mati.
“Zahir,” panggilnya.
“Ya, Kak?”
“Sebentar lagi tanggal 17 Agustus. Aku ingin kamu menjadi
pengiring untuk lagu Hari Merdeka ketika upacara bendera.”
“A-apa? Aku kan anak baru, Kak. Tidak, ah. Aku malu. Kalau
salah bagaimana?” Aku tidak siap.
“Justru itu. Kamu akan belajar tampil di depan seluruh siswa.
Dengan begitu nantinya kamu akan terbiasa. Mau, ya? Aku yakin kamu
pasti bisa,” bujuknya berusaha meyakinkan.
“Oke. Akan aku usahakan,” jawabku masih ragu.
Maka mulai hari Senin, dia menjemputku ke kelas untuk berlatih.
Ketika dia menampakkan diri di kelas dan mencari, “Ada Zahir?” hatiku
berdesir lagi. Dia selalu berhasil membuatku tersenyum. Lalu teman-
teman sekelas langsung menoleh ke arahku, seakan berkata Beruntung
kamu tidak ikut pelajaran matematika hari ini. Atau Dia dijemput oleh senior?
Keren. Kemudian aku akan berjalan dengan percaya diri menghampiri
Panji. Dia melangkah terlebih dahulu, aku mengikuti di belakangnya.
Sejujurnya, lagu ini agak sedikit rumit. Temponya cepat. Sampai
H-1 aku masih belum menguasainya. Aku sangat bingung. Jika aku
bermain dengan kondisi seperti ini, aku akan membuat diriku malu di
depan seluruh warga sekolah. Bisa-bisa, kesan pertama yang didapatkan
justru tidak terlalu baik. Aku tidak ingin mempermalukan diriku sendiri.
Malam hari sebelum pentas, mendadak aku demam. Aku tidak
bisa bangun dari tempat tidur. Mimpi buruk. Aku tidak akan bisa datang
besok. Bahkan aku tidak mempunyai keberanian untuk mengatakan
kepada Panji. Aku takut dia marah.
***
Tentu saja dia marah. Betapa bodohnya diriku. Sejak aku tidak
datang ke upacara 17 Agustus, dia tidak pernah lagi berlatih keyboard di
Panggung Kantin. Aku semakin sulit menemukannya. Pernah tanpa
sengaja kami hampir bertubrukan. Saat melihatku air mukanya berubah.
Dia melanjutkan jalan tanpa berkata apa-apa.
Itu membuatku sangat sedih. Astaga, Zahir. Bagaimana bisa
diriku begitu mudahnya mengecewakan orang yang sudah memberikan
kepercayaan kepadaku? Apalagi orang itu adalah Panji, yang belakangan
baru aku sadari bahwa aku menyimpan rasa kepada dirinya. Bahwa aku
tidak bisa berhenti untuk memikirkannya. Sekarang, dengan mudahnya
aku membuat dia begitu membenciku.
Aku harus meminta maaf. Kalau bisa secepatnya. Tetap saja aku
berpikir yang tidak-tidak. Dia seorang senior. Jika aku berbuat yang tidak
mengenakan hatinya, bisa saja dia bercerita kepada teman-temannya. Lalu
aku dicap sebagai junior yang tidak tahu diri. Bisa saja mereka menegurku
dan menyebarkan hal-hal yang tidak aku inginkan tentang diriku.
Selain itu, jika aku meminta maaf bisa saja Panji tidak
memaafkan. Aku belum mengenalnya terlalu jauh. Aku tidak tahu
respons apa yang akan dia berikan kepadaku. Itu akan membuatku lebih
malu. Aku dibuat tertekan duluan. Padahal itu hanya pikiran negatif.
Seharusnya aku mencoba terlebih dahulu.
Sikap Panji kepadaku tidak berubah. Aku masih sulit
menemukannya, untuk sekadar melihat wajahnya yang membuat hariku
semangat. Tidak ada lagi latihan keyboard di Panggung Kantin. Setiap
Sabtu panggung itu diisi oleh siswa lain yang sedang berlatih teater atau
menari. Dia menghilang, dan aku merindukannya.
Sayangnya keberanian itu baru muncul enam bulan kemudian.
Aku bertekad untuk menyudahi ‘perang dingin’ dengannya. Masih, aku
tidak mempunyai nyali untuk berkata langsung kepadanya. Aku
memutuskan untuk mengirimkan SMS permintamaafan yang sudah aku
persiapkan sejak tiga bulan yang lalu.
Dia tidak mengenali nomorku karena kami memang tidak
pernah berhubungan lewat SMS ataupun telepon. Awalnya kami hanya
berkomunikasi tentang hal-hal yang sepele. Dia menanggapi. Mungkin
dia menyangka aku hanya orang iseng. Sampai pada saatnya aku berani
untuk mengirimkan pesan itu. Jantungku berdegup sangat cepat,
menantikan SMS balasan dari dirinya.
Sekitar lima menit kemudian, aku baru menerima balasan dari
dirinya. Aku menutup mata sambil membuka isinya, memikirkan hal-hal
buruk yang akan menjadi balasan darinya. Kemudian aku memberanikan
untuk membuka mata dan membaca. Isinya sangat singkat, padat, dan
jelas. Dia berkata, Oke, tidak apa-apa.
Aku langsung telungkup di kasur, membenamkan kepalaku ke
bantal dan berteriak senang. Astaga. Ini seperti mimpi. Dia bilang ‘tidak
apa-apa’? itu artinya dia memaafkanku, bukan? Bebanku selama enam
bulan ini terangkat sudah. Terserah setelah ini bagaimana sikapnya
kepadaku. Yang penting aku sudah meminta maaf, dan dia sudah
memaafkan. Bagiku ini sudah lebih dari cukup.
Hari itu Rabu malam. Dengan segenap keyakinanku bahwa
semua ini akan menjadi baik-baik saja. Keesokan harinya, aku belum siap
bertemu langsung dengan dirinya. Namun aku memperhatikan dirinya
dari jauh. Aku tersenyum lega. Hanya aku yang mengetahui arti dari
senyumanku untuknya, meskipun dia tidak menyadari itu. Hari Jumat,
hujan turun dengan lebat. Aku tidak bertemu dengannya. Kukira dia
pulang lebih cepat.
Sabtu setelah pulang sekolah, aku berkunjung ke kantin. Betapa
terkejutnya diriku menemukan ada keyboard yang terpasang di
panggung. Keyboard dan ada Panji di belakangnya, sedang memainkan
nada-nada yang sangat aku rindukan. Aku duduk tidak jauh dari
panggung, ingin menikmati suara yang dimainkan dengan sangat tulus,
tanpa tuntutan, tanpa terpaksa. Nada yang sangat menentramkan hatiku.
Lalu Panji melihat ke arahku. Tersenyum dan hampir
membuatku melayang. Kemudian dia turun dari panggung dan
menghampiriku. “Gantian, Za. Aku sejak tadi sudah berlatih. Sekarang
giliran kamu,” ucapnya dengan intonasi sangat tenang.
Sebelum naik ke panggung aku berkata, “Terima kasih. Maaf
sudah membuat Kakak kecewa.” Dia hanya membalas dengan senyuman.
Sejak saat itu aku berjanji tidak akan menyia-nyiakan kesempatan
yang diberikan untukku, dari siapa pun, dalam bentuk apa pun. Karena
kesempatan belum tentu datang dua kali. Ketika aku memutuskan untuk
tidak mengambil kesempatan itu, maka bersiap pula untuk menyesal di
kemudian hari.
***

PANJI
Hari pertama masuk sekolah. Dengan malas saya bangkit dari
tempat tidur. Aneh. Ketika liburan saya kangen ingin sekolah karena
terlalu lama berada di rumah. Namun jika hari sekolah tiba, saya malah
ingin melanjutkan libur. Saya mematut diri di depan kaca, merasa sudah
tampan, kemudian menyabet tas dan langsung pergi tanpa sarapan.
Seharusnya saya memimpin lagu ketika upacara. Ya, memang itu
yang akan saya lakukan hari ini. Thomas sudah lulus dan saya yang
menggantikan dirinya. Tanpa perlu latihan yang lama, saya sudah
menguasai sebagian besar lagu wajib dan lagu daerah. Seharusnya sekolah
juga mewajibkan kami untuk bernyanyi lagu daerah saat upacara bendera.
Agar para siswa tidak lupa atau melupakan.
Seperti biasa. Saya bermain dengan sempurna. Semua berjalan
dengan lancar. Hanya ada sedikit perbedaan. Saat ini hampir separuh
lapangan diisi oleh siswa-siswi berseragam putih-biru. Saya juga sempat
mengalaminya.
Untungnya hari ini belum ada pelajaran. Saya akan mengiringi
keyboard untuk pementasan para murid baru. Jadi saya tidak perlu pergi
dari kantin. Sambil mengobrol santai dengan Denny, saya menyesap
minuman.
Tidak lama, Guntur datang bersama seorang perempuan. Dia
terlihat mungil dan sedikit menggemaskan. Rambutnya dikuncir kuda.
Manis. Dia bernama Zahir. Saya menyukai namanya. Mengingatkanku
pada karya Paulo Coelho yang berjudul sama. Guntur bilang Zahir bisa
bermain keyboard. Kebetulan sekali. Saya tidak perlu repot-repot
mencari pengganti ketika nanti saya lulus.
Ketika kami berkenalan, Zahir bertingkah sedikit lucu. Dia
sedikit grogi. Mungkin karena dia berada di lingkungan dan suasana yang
baru. Wajar. Saya juga dulu seperti itu. Kalau tidak salah, pipi Zahir
sempat bersemu merah. Ah, peduli apa diri saya? Namun itu membuat
saya penasaran. Ada apa dengan anak ini? Apakah karena saya tampan?
Hahaha. Sangat percaya diri. Terlalu percaya diri malah.
Sabtu pertama, Zahir saya undang untuk berlatih bersama. Saya
akui, dia memang mempunyai bakat alam dalam bermain keyboard. Dia
hanya perlu berlatih agar tidak kagok saat bermain. Karena pada
permainan pertama, ada not yang sempat meleset. Tidak masalah.
Saya mengaguminya. Kelihatannya dia profesional. Aku semakin
penasaran. Saat dia fokus bermain di kunci G minor, aku mengikuti
permainannya. Mencoba mencari nada yang seimbang. Hingga akhirnya
permainan kami berakhir. Eureka. Sepertinya aku dan Zahir baru saja
menciptakan satu buah lagu. Entah dia menyadari atau tidak.
“Zahir.” Saya memanggilnya.
“Ya, kak?” jawabnya sambil menoleh ke arah saya. Tatapannya
sangat tenang dan tajam. Membuat saya hampir lupa ingin berkata apa.
“Sebentar lagi tanggal 17 Agustus. Aku ingin kamu menjadi
pengiring untuk lagu Hari Merdeka ketika upacara bendera.”
“A-apa? Aku kan anak baru, Kak. Tidak, ah. Aku malu. Kalau
salah bagaimana?” Dia terlihat tidak siap.
“Justru itu. Kamu akan belajar tampil di depan seluruh siswa.
Dengan begitu nantinya kamu akan terbiasa. Mau, ya? Aku yakin kamu
pasti bisa.”
Saya berusaha membujuk. Lagu Hari Merdeka adalah lagu yang
sulit. Temponya cepat. Sejujurnya, saya tidak menguasai lagu tersebut.
Hampir setiap lagu wajib saya kuasai, tapi tidak termasuk Hari Merdeka.
Mumpung ada anak baru dan saya melihat potensi dari dirinya,
saya memercayakan agar dia memainkannya tanggal 17 nanti. Biasanya,
Thomas yang menangani ini. Sayangnya dia sudah menjadi anak kuliahan
sekarang.
“Oke. Akan aku usahakan,” jawabnya ragu. Namun saya yakin
dia bisa.
Sejak saat itu, saya rutin menjemput Zahir di kelasnya untuk
berlatih. Saya belum melihat progress yang memuaskan dari dirinya. Entah
apakah karena lagu tersebut memang sulit, atau Zahir memang tidak
ingin. Saya harus tetap meyakinkan dirinya agar dia bisa.
***
Ini adalah hari pentingnya. Zahir seharusnya sudah tiba sejak
setengah jam yang lalu. Upacara akan dimulai dan saya belum melihat
tanda-tanda kedatangannya. Saya sedikit panik. Saya bertanya kepada
teman Zahir yang saya kenal wajahnya dan dia berkata bahwa Zahir sakit.
Baiklah. Ini seperti akhir bagi saya. Apa yang harus saya lakukan? Saya
tidak ada persiapan maupun latihan untuk mengiringi lagu ini. Zahir,
Zahir. Kenapa kamu tiba-tiba sakit? Saya sangat mengharapkan kamu
datang hari ini.
Maka saya memutuskan untuk tetap menangani lagu tersebut.
Saya berdoa dalam hati, agar semuanya dapat berjalan dengan lancar.
Waktu lagu itu dimulai, saya memainkannya dengan terbata-bata pada
awalnya. Namun saya dapat menyelesaikannya dengan lancar. Sekarang
saya lebih tenang. Saya masih mengharapkan Zahir hadir. Bagaimana
keadaannya sekarang? Apakah dia sudah sembuh? Semoga dia
mendapatkan istirahat yang cukup.
Hari-hari saya selanjutnya lebih sibuk, lebih padat. Sekolah
mengadakan pendalaman materi setiap sore. Ditambah saya harus
mengikuti bimbingan belajar untuk tes masuk perguruan tinggi negeri.
Sepertinya saya tidak mempunyai waktu luang yang cukup walaupun
hanya untuk sekadar berlatih keyboard di Panggung Kantin. Bahkan
untuk sekadar memikirkan hal lain. Tiba-tiba aku merindukan Zahir. Apa
kabar dia sekarang? Rasanya sudah lama sekali aku tidak berinteraksi
dengan dirinya.
Tanpa sengaja, teman satu kelas saya ada yang mengenal Zahir.
Rita adalah senior Zahir waktu SMP dulu. Hubungan mereka
kelihatannya cukup dekat. Mungkin Rita mempunyai nomor handphone
Zahir. Setelah saya bertanya, ternyata Rita memang mempunyai nomor
itu. Langsung saja saya memintanya dengan alasan untuk janjian berlatih
keyboard bersama.
Saya mempunyai nomor Zahir. Tinggal SMS, maka urusan akan
lebih mudah. Mungkin dengan begitu saya juga bisa melampiaskan rasa
rindu ini. Ternyata tidak semudah itu. Nyali saya belum cukup kuat. Laki-
laki macam apa saya ini? Padahal saya hanya tinggal mengetik pesan,
mengirimkan pesan, menunggu balasan. Saya masih belum punya
keberanian.
Tidak lama setelah nomor Zahir saya simpan, datang SMS
darinya. Jujur, itu membuat saya sedikit terkejut. Saya baru mengetahui
bahwa ternyata dia menyimpan nomor saya. Kami membicarakan hal-hal
yang kurang penting. Saya selalu nyaman ketika berbicara dengannya. Itu
membuat saya senang. Entah bagaimana, pada akhirnya dia meminta
maaf kepada saya. Katanya karena dia tidak datang waktu upacara 17
Agustus.
Tidak apa-apa Zahir. Kamu tidak perlu meminta maaf. Saya tahu
kamu sakit. Yang saya inginkan adalah kamu baik-baik saja.
Saya membalas dengan singkat. Oke, tidak apa-apa. Meskipun di
balik kata-kata itu, masih tersimpan kata-kata tersirat yang belum bisa
saya ungkapkan secara langsung. Bisa jadi dia tidak menyadari. Tidak apa.
Pada waktunya, dia akan mengerti bagaimana perasaan saya kepadanya.
Akhirnya, saya mendapatkan waktu luang. Sabtu itu saya kembali
berlatih keyboard di Panggung Kantin. Saya kembali memainkan lagu
yang kami berdua ciptakan. Ke mana anak itu? Sudah lama saya tidak
melihatnya. Bagi saya, lagu seperti doa. Doa itu langsung terkabul.
Tepat setelah saya selesai memainkan lagu yang diciptakan
bersama Zahir, gadis itu muncul. Masih dengan kuncir kuda dan tubuh
mungilnya. Dia duduk di dekat panggung. Saya bermain satu lagu lagi,
spesial untuknya. Saya memang tidak menyebutkan secara gamblang, tapi
saya harap Zahir menikmati permainan keyboard saya.
Kemudian saya turun dari panggung dan menuju ke arahnya.
Saya merindukannya. “Gantian, Za. Aku sejak tadi sudah berlatih.
Sekarang giliran kamu.”
Sebelum naik ke panggung dia berkata, “Terima kasih. Maaf
sudah membuat Kakak kecewa.” Saya hanya tersenyum, tanpa kata-kata.
Saya tidak kecewa, Zahir. Itu yang perlu kamu tahu. Saya hanya
ingin kamu tidak membuat saya khawatir. Itu sudah lebih dari cukup.
Nanti kamu akan mengerti arti senyuman itu. Senyum yang belum pernah
saya berikan kepada siapa pun, kecuali kamu.
(*) Pamulang, 6 Juni 2014.
ara membuka lipatan kertas itu. Isinya adalah deskripsi dari
teman-teman tentang dirinya. Senyum kecil terulas dari bibirnya. Hampir
semua dari deskripsi itu menunjukkan hal yang positif. Padahal tadi,
ketika ia menuliskan deskripsi tentang teman-temannya yang lain, Vara
menemukan beberapa hal yang masih harus diintrospeksi dari teman-
temannya yang telah ditulis sebelumnya.
Senyuman kecil yang hinggap di bibir Vara tidak berarti
sebenarnya. Hatinya berkata lain. Kegelisahan ini hanya dirinya yang
tahu. Dirinya, dan tidak pantas untuk disebarkan kepada orang-orang.
Wajar jika teman-teman menganggap dirinya sempurna. Karena ada satu
tabir kelam yang masih menjadi misteri bagi yang lain. Vara ingin
menyimpannya sendirian.
***
Ini tentang perasan bersalahnya kepada Tuhan. Karena lelaki itu,
seorang yang memaksanya dengan halus. Dengan bodohnya Vara tidak
dapat menolak. Padahal jika diingatkan, semudah itu orang mengucapkan
untuk meninggalkan dia. Tapi kenyataannya, tidak semudah
membalikkan telapak tangan untuk pergi.
Vara tahu, jika rahasia ini bocor, ia akan kehilangan rasa percaya
dari semua orang yang mengenalnya. Termasuk sahabatnya yang telah
mengingatkan dirinya untuk enyah dari orang itu. Maka Vara
memutuskan untuk memegang kunci itu hanya pada dirinya.
Setiap sehabis beribadah, tidak jarang Vara menangis kepada
Tuhan. Tuhan adalah satu-satunya yang bisa Vara ceritakan tentang ini.
Tuhan memang tidak menjawab secara langsung. Setidaknya, Dia
memberikan ketenangan dalam diri Vara. Baginya, itu cukup.
Kesalahan yang sama kerap terulang. Vara ingin pergi,
menghilang, tidak ditemukan. Agar orang melupakan dirinya. Tidak ada
Vara yang begitu munafik. Tidak ada Vara yang sempurna bagi teman-
teman dan keluarganya. Karena Vara bukan seperti yang mereka kira.
Vara kian menanti, kapan Tuhan akan menunjukkan yang
namanya keadilan. Kapan waktu itu akan berputar hingga menemui titik
yang akan ia sebut sebagai perubahan? Vara terkadang mencari, tapi
belum menemukan.
***
Vara mengenal Nadin sudah begitu lama. Tidak berjarak jauh
setelah dirinya dan Keenan memutuskan mengikat tali kasih.
Ditemukannya beberapa hal tentang Nadin yang membuat Vara begitu
cemburu. Ini tentang Keenan dan masa lalunya. Tentang Keenan dan
Nadin, lebih tepatnya.
Nadin. Wajar jika Keenan pernah jatuh hati kepadanya. Parasnya
cantik, tubuhnya ideal, Vara kira dia juga pintar dan kaya. Terlihat dari
caranya melonggek anggun di foto atau tatapan tajamnya di kamera.
Begitu feminin dan mudah memikat banyak lelaki.
Sedangkan Vara, perempuan yang begitu biasa. Keenan
menyukainya karena sesuatu yang Vara sebut sebuah dosa. Tanpa itu,
Keenan mungkin akan berpaling dan kembali memilih Nadin. Cinta
memang bodoh. Atau mungkin, Vara belum sanggup membedakan
antara cinta dan nafsu.
Semudah itukah Vara terjatuh? Atau itu yang disebut dengan
penasaran? Vara kira dia tahu jawabannya. Hanya saja dia terlampau
polos dan enggan untuk lepas. Bukan perkara takut. Namun ini
menyangkut perasaan yang kian dalam terhadap Keenan. Vara belum
ingin– atau belum siap–melepaskan Keenan.
Sedangkan Nadin begitu sulit Keenan dapatkan. Seharusnya
perempuan yang begitu sulit akan lebih mahal dan menantang, bukan?
Seharusnya Keenan bertahan. Atau mungkin Keenan tidak cukup
tangguh mendapatkan Nadin. Bisa jadi juga Nadin yang terlampau muak
dan ingin enyah dari Keenan. Vara tidak tahu.
Kibaran api kecemburuan sering membakar dada Vara. Dia dan
Nadin memang tidak pernah bertemu secara langsung. Tapi setidaknya,
itu cukup ampuh membuat Vara memiliki rasa sentimen tersendiri
terhadap Nadin. Dia tidak menyukai Nadin, seperti Nadin tidak
menyukai Keenan.
Perjalanan Vara dan Keenan masih berlanjut. Hingga detik ini,
ketika daun-daun telah ribuan kali menggugurkan dirinya dari ranting dan
digantikan dengan yang baru, ketika gading gajah tidak sanggup tumbuh,
ketika pelangi memiliki satu warna tambahan, yaitu abu-abu. Masih
seperti sebelumnya, Vara yang menyerah tapi enggan berpaling. Vara
yang masih meminta petunjuk Tuhan tentang apa yang harusnya
dilakukan. Vara masih menunggu.
***
Sore itu, telepon genggam Vara berdering nyaring. Dengan
tergopoh dia mendatanginya. Bukan nomor yang dia kenal. Biasanya dia
tidak akan acuh. Tapi kali ini dia penasaran, siapa kiranya yang menelepon
di kala orang-orang sibuk berlalu-lalang?
“Halo,” sapa orang di kejauhan. Suara seorang perempuan.
“Ya, halo,” jawab Vara.
“Apakah ini dengan Vara?”
“Ya, saya sendiri. Dengan siapa saya bicara sekarang?”
“Saya Nadin.”
Jeda kurang dari satu detik. Vara tidak sempat berpikir Nadin
yang ‘itu’.
“Ini dengan Vara?” Perempuan bernama Nadin tadi melanjutkan.
“Ya, saya sendiri. Apa saya kenal kamu?” Tepat setelah berkata
demikian, Vara merasakan degupan jantungnya mengencang.
“Tidak. Tapi saya yakin kamu kenal Keenan,” jawab Nadin.
Kemudian jantung Vara benar-benar statis untuk sesaat. Jadi, ini
Nadin. Perempuan yang telah ia kenal sejak sekian lama. Sungguh, demi
Tuhan, Vara tidak pernah berhubungan langsung dengan perempuan ini.
Dari mana dia mengetahui kontak Vara?
“Ada apa dengan Keenan?” suara Vara dingin.
“Dia psikopat. Demi Tuhan, Vara. Apa hubunganmu dengan Keenan?”
Apa-apaan? Nadin tidak tahu siapa aku?
“Aku kekasihnya.”
“Astaga! Vara, kamu harus menjauhi Keenan. Aku tersandera. Kamu
tahu, sekarang aku berada di Antalya. Bersembunyi darinya sejak aku tiba. Dia
menerorku. Dia menginginkanku. Aku berada di negeri orang. Sendirian. Dan aku
ketakutan,” suara Nadin bergetar menahan tangis.
“Aku tidak mengerti kamu bicara apa.” Vara masih konstan
dengan nada bicaranya yang dibuat sedingin mungkin. Padahal Vara tahu,
saat itu hatinya tercabik. Vara tahu Keenan berada di Ankara untuk
beberapa tahun lamanya. Memisahkan diri demi meraih cita-cita. Ankara
dan Antalya berada di negara yang sama. Sedang apa Nadin di sana?
“Aku mengikuti program pertukaran pelajar. Kamu tahu, kami berteman
lumayan baik. Dia berjanji akan menjagaku. Dia mengingatkanku tentang
kehidupan di negeri orang yang tidak mudah. Kemudian dia merampasku. Mengaku
aku perempuannya. Mempermalukanku di depan teman-teman dari seluruh penjuru
dunia.
“Menyambangiku ke mana pun aku pergi. Memohon agar aku berada di
sisinya. Memintaku menjauhi teman-teman priaku. Aku sendirian, aku takut, aku
hampir tidak tahu harus berbuat apa. Aku sampai harus lari dari Ankara demi
menghindarinya. Uangku hampir habis. Sedangkan setelah ini aku masih akan ke
Paris.”
Vara hampir bungkam dan tidak sanggup mengeluarkan sepatah
kata pun dari bibirnya. Hingga dia menguatkan hati untuk bertanya,
“Bagaimana kamu bisa sampai menghubungiku?”
“Karena aku yakin kamu dari Indonesia. Aku melihat percakapan
kalian sekilas dari telepon genggam Keenan. Aku curiga dengan bahasa yang kalian
gunakan. Sedangkan Keenan tidak pernah bercerita bahwa dia memiliki kekasih.
Aku tidak tahu lagi ke mana harus bercerita jika bukan kepadamu.”
Detik itu juga pertahanan Vara roboh. Pembendungan air di
matanya gagal. Pipinya dialiri sungai kecil yang merambat turun melewati
dagu hingga ke leher. Hampir dia juga gagal menyembunyikan isak
tertahan yang semakin menekan dada.
“Halo, Vara? Kamu masih di sana?”
“I-iya. Aku masih di sini. Nadin, aku sudah mengenalmu. Jauh
dari sebelum kamu mengenalku. Kamu tidak usah khawatir. Kamu akan
pulang ke Indonesia dengan selamat, tanpa bayang-bayang Keenan di
dalamnya.”
Entah mengapa kalimat itu meluncur dengan sangat mudah dari
bibir Vara. Memastikan dia selamat dari bajingan tengik itu. Meskipun
sakit tak tertahankan semakin merajalela menyebar ke seluruh tubuh.
Ketika itu azan magrib baru saja berkumandang–tepat setelah
pembicaraannya dengan Nadin berhenti. Vara mengambil air wudu dan
memakai mukena berwarna kelabu. Setelah mengucap salam di rakaat
ketiga, Vara bersimpuh jatuh di hadapan Tuhan.
Air matanya bukan lagi seperti sungai. Melainkan samudra yang
luas dan berarus deras. Paru-parunya hampir berat mengeluarkan napas.
Hidungnya pampat tersumbat ingus. Tercetak kubangan mengering
sebesar pulau kecil di sajadahnya. Dari mulutnya keluar raungan sekeras
kumandang azan.
Vara memohon ampunan. Bertaubat nasuha. Merelakan
nyawanya terbang sementara diambang langit dan bumi. Sesakit itukah
patah hati? Meskipun Vara menanti, tapi ternyata bukan hal yang mudah
ketika menghadapi.
Hingga muazin berganti tujuan untuk memanggil. Langit kian
memancarkan kegelapan. Isya pun datang. Vara masih tersungkur di
hadapan Sang Maha Pemberi Ampunan. Apakah ini jawaban dari Tuhan?
Vara tahu jawabannya.
(*) Pamulang, 13 April 2016.
,
,
ega malam menghitam dan kian menghitam ketika hujan
mengetuk pintu dan meminta masuk. Awan menggelayut manja
terhempas laksana butir-butir beras bersama setitik demi setitik air mata
yang jatuh dari langit. Tanpa peduli angin yang semakin bertiup syahdu,
kemesraan sepasang teman tidak dapat dikalahkan oleh apa pun dan siapa
pun.
“Selamat ulang tahun.”
“Selamat ulang tahun.”
“Pertanyaan pertama ....”
“Biarkan aku bernapas dulu.”
“Sekarang sudah siap?”
“Ya.”
“Apa yang kamu rasakan saat ini?”
“Jatuh cinta. Giliranku. Pertanyaan pertama untukmu. Apa yang
kamu rasakan saat ini?”
“Jangan dibiasakan plagiat. Jatuh cinta.”
“Kamu juga plagiat.”
Suara renyah tawa terdengar dari kedua orang itu. Yang satu
memakai tuksedo warna abu-abu dengan sepatu armani hitam legam
terpasang di kakinya. Yang satu memakai gaun rancangan Mary
Katrantzou keluaran terbaru dengan sepatu Channel berwarna pastel.
“Siapa orang yang berhak mendapatkan perasaan dari sang
penakluk kamera?”
“Wanita cantik. Tentu saja. Seleraku selalu bagus.”
“Hahaha. Tidak cukup bagus.”
“Kenapa?”
“Jika itu bukan aku.”
“Grace, tentu saja dia bukan kamu.”
“Berarti benar, kan. Seleramu tidak cukup bagus.”
“Ayolah.”
“Aku yang seharusnya berkata ayolah. Ayolah, ceritakan tentang
dia.”
“Dia yang pertama kali memberi sinyal.”
“Hm, hm.”
“Menyadarkanku dari sebuah keambiguan. Dia bergelayut
manja. Mengirimkan suara cemprengnya ketika bernyanyi lewat
WhatsApp. Bercerita tentang apa saja.”
“Tidak meyakinkan.”
“Tapi aku yakin.”
“Kalau dia tertarik denganmu?”
“Dan aku jatuh cinta kepadanya.”
“Sesederhana itu?”
“Ya.”
“Cinta memang bodoh.”
“Tapi dia cantik.”
“Cinta tidak dilihat dari kecantikan fisik. Taruhan, kecantikan
yang kamu maksud memang karena dia memiliki paras yang elok, bukan?
Namanya juga fotografer.”
“Hahaha. Kamu benar, Grace.”
“Aku jarang salah.”
“Kemudian kenyamanan itu merasuki jiwaku. Memintaku untuk
bertahan. Meyakinkanku tentang arti ketulusan.”
“Kamu mulai gila, Nazef.”
“Cinta memang gila, bukan?”
“Berarti cinta itu bodoh dan gila.”
“Tidak selalu begitu.”
“Tapi itu terbukti.”
“Sekarang giliranmu.”
“Aku jatuh ketika dia tidak pernah berhenti menyemangatiku.”
“Hei, aku juga selalu begitu kepadamu.”
“Kamu bukan dia.”
“Gengsimu terkadang terlalu tinggi, Grace. Lanjutkan.”
“Dia meyakinkanku tentang arti sebuah keberhasilan. Hal yang
akan aku hadapi sebentar lagi.”
“Semudah itu kamu jatuh cinta.”
“Cinta bisa datang dengan cara apa pun.”
“Kamu gila.”
“Kamu juga.”
Senyuman kesenangan dari sepasang teman menantang hujan.
Mereka mengeluarkan kado dari tas masing-masing. Setelah mengucap
terima kasih dan menyesap anggur terakhir, keduanya beranjak. Yang
satu menuju peraduan keindahan malam bersama alat pencetak
keabadian dan menyampirkan tuksedo di jok belakang mobil kesayangan.
Yang satu menuju landasan empuk sambil ditemani tumpukan halaman
penuh tulisan sebelum menuntun jauh ke alam mimpi.
***
Malam, seperti malam-malam yang lain, selalu gelap. Tapi
malam, terkadang menangis manja meminta kesenduan, terkadang
tersenyum bergairah meminta penerangan, terkadang terlampau senang
dengan pengabulan harapan. Sedangkan dua orang teman memiliki
keabsahan pengertian tentang banyak hal, dan malam lebih setia
menemani mereka ketimbang siang.
Malam yang lain menjelma di tengah pucuk-pucuk kerinduan
terpendam. Bertanya tentang keinginan, namun menjawab tentang
ketidak tahuan. Malam yang ini bulan tersenyum merayu. Mencoba
menghibur siapa saja yang membutuhkan.
Mereka masih berada di kafe yang sama seperti kemarin. Nazef
memakai polo shirt berwarna biru tua, sedangkan Grace mengenakan baju
kasual rancangan Alexander McQueen keluaran terbaru. Nikon keluaran
terbaru baru saja menyentuh ujung tas, sedangkan seri terbaru Bilangan
Fu lanjutan dari Maya disingkirkan dari meja untuk sementara.
“Teman-temanku yang lain tahu.”
“Kurasa begitu. Kamu selalu tidak tahan untuk tidak cerita.
Tidak sepertiku yang hanya bercerita kepadamu.”
“Mereka mendukungku untuk mendapatkannya.”
“Bagus kalau begitu.”
“Aku semakin jatuh cinta kepadanya.”
“Begitu pun aku. Kepadanya.”
“Huh. Apalagi kesamaan yang terjadi di antara kita?”
“Selain tanggal lahir dan jatuh cinta?”
“Ya.”
“Mungkin anak-anak kita nanti akan menikah di hari yang
sama.”
“Atau jangan-jangan anak aku akan menikah dengan anakmu.
Aku menjadi mertua anakmu dan kamu menjadi mertua anakku.”
“Hahaha. Kamu gila, Nazef.”
“Aku memang konsisten. Termasuk dalam kegilaan.”
“Jadi, dia memberikan respons yang berarti?”
“Setiap apa yang dia lakukan selalu berarti untukku.”
“Itu karena kamu sedang jatuh cinta.”
“Ya. Kamu juga, kan?”
“Jatuh cinta terkadang memungkinkan segala kemungkinan yang
bahkan tidak mungkin sekalipun. Asumsi terlalu banyak. Perasaan terlalu
banyak. Terlalu banyak juga membenarkan.”
“Apakah itu salah?”
“Tidak. Cinta tidak pernah salah.”
“Tapi cinta menjerumuskan.”
“Seperti kamu.”
“Oh. Kita juga sama-sama gila.”
“Tentu saja.”
“Jadi, kapan kamu akan menyatakannya kepada perempuan itu?”
“Sebenarnya, sudah.”
“Lalu jawabnya?”
“Dia nyaman denganku sebagai teman.”
“Sudah kuduga.”
“Maksudmu?”
“Kamu akan dia tolak.”
“Kamu menyebalkan.”
“Apakah kamu akan menyerah?”
“Tidak. Aku tidak gampang menyerah.”
“Bagus. Lalu apa langkah selanjutnya?”
“Aku akan mengevaluasi diriku dan membuatnya nyaman, lebih
dari sekadar teman.”
“Caranya?”
“Sedang aku pikirkan.”
“Lalu kamu menjamin setelah itu dia akan menerimamu sebagai
kekasih?”
“Seribu persen.”
“Kupegang kata-katamu.”
“Dan kamu?”
“Dia mengantarku pulang.”
“Aku juga sering melakukan itu padamu.”
“Tapi dia bukan kamu.”
“Lalu apa bedanya?”
“Dia ya dia. Kamu ya kamu, Nazef.”
“Oh ayolah. Apakah tidak ada yang lebih spesial dari
mengantarkanmu pulang?”
“Dia berkata kepada ayahku, ‘Anak Om sudah saya kembalikan
dengan selamat. Terima kasih sudah menjaganya selama ini. Lain kali saya
akan menjaganya lagi.’”
“Hahaha. Aku juga bisa berkata seperti itu.”
“Tapi ayahku sudah biasa melihatmu.”
“Harusnya ayahmu lebih percaya kepadaku timbang
kepadanya.”
“Tapi aku maunya dia.”
“Terserah.”
“Mau tambah anggur lagi, Tuan dan Nyonya?” Seorang pelayan
menghampiri sepasang teman itu.
“Ya, silakan. Terima kasih. Omong-omong, aku masih nona,”
jawab Grace.
“Baik. Maaf, Nona.”
Mereka kembali melanjutkan perbincangan.
“Ada anggota baru di kepengurusan kami. Dia sebagai penasihat
umum. Alumni tahun 2007.”
“Lalu?”
“Kami menghormatinya, tentu saja. Jarak kami sekitar enam
tahun. Namun dia cukup bersahabat. Kemudian dia menawarkan diri
untuk membantuku untuk mendapatkan calon kekasihku itu.”
“Tunggu. Kau tahu kebodohan kita yang lain?”
“Apa?”
“Sampai sekarang, aku dan kamu bahkan tidak tahu kepada siapa
masing-masing dari kita jatuh cinta.”
“Ave.”
“Sungguh? Ave?”
“Untuk apa aku bohong kepadamu?”
“Dia kan teman baikku. Kenapa kamu tidak menceritakan dari
awal?”
“Kamu tidak bertanya dari awal.”
“Hahaha. Terserah. Lanjutkan. Orang itu ingin membantumu
untuk mendapatkan Ave?”
“Ya. Di umurnya yang cukup matang, kurasa dia memiliki
pengalaman yang lumayan banyak di bidang percintaan seperti ini.”
“Jangan mudah percaya dengan orang.”
“Terima kasih sarannya. Lalu, siapa nama orang yang
membuatmu jatuh cinta?”
“Bisa jadi orang itu kenal dengan orang yang ingin
membantumu, sebenarnya. Dia juga dari angkatan 2007. Namanya Ben.”
“Apakah dia orang yang sama? Senior itu juga bernama Ben.”
“Oh Tuhan. Ini fotonya,” Grace mengeluarkan telepon
genggam dan menunjukkan kepada Nazef.
“Demi Tuhan. Ini Ben.”
“Tanggal lahir, jatuh cinta, gila, dan Ben.”
***
Ketika hujan menarik ulurannya, awalnya bintang muncul malu-
malu. Kemudian secara perlahan, dia memancarkan cahayanya dengan
benderang. Meskipun terkadang dia lupa, bahwa suatu saat dia bisa
meledak.
“Katanya kamu ingin menceritakan rahasia.”
“Ya. Aku baru bercerita kepadamu, Grace.”
“Aku menunggu, Ave.”
“Aku memiliki kekasih.”
“Nazef?”
“Hahaha. Bukan.”
“Lalu siapa?”
“Ben.”
“Maksudmu, senior yang baru bergabung di tim kalian itu?”
“Ya. Benar.”
“Lalu ceritanya?” suara Grace tertahan. Pandangannya
ditundukkan. Beruntung malam menyembunyikan. Dia tidak sanggup
menghadap muka ke arah Ave. Padahal biasanya, Grace akan menatap
mata setiap siapa saja yang diajak bicara
“Aku tahu Nazef menyukaiku. Aku nyaman dengannya. Kami
bersahabat. Tidak bisa lebih dari itu. Maksudku, perasaanku tidak bisa
melebihi dari seorang sahabat kepada Nazef. Aku tahu, ketika Ben
datang, Ben ingin membantu Nazef untuk mendapatkanku. Tapi kurasa
Ben juga tertarik kepadaku.
“Dan perasaanku, juga mengatakan yang sama. Mungkin jika
teman-teman yang lain tahu, mereka akan sangat marah dengan Ben.
Karena bisa dibilang Ben menikam Nazef dari belakang. Aku bisa jamin,
Ben tidak bermaksud seperti itu. Kau tahu, perasaan tidak bisa dipaksa?
Begitu pun dengan kami.” Ave mengakhiri ceritanya.
“Sebenarnya aku dan Ben sedang membuat proyek bersama.”
“Ya. Ben juga cerita tentang itu.”
Sebenarnya, aku hampir bercerita kepadamu bahwa aku jatuh cinta
dengan Ben, Ave.
***
Mungkin memendam lebih baik. Meski belum tentu lebih baik
itu selalu baik. Karena bisa saja menikam. Seperti malam yang tenangnya
mudah membunuh. Atau keriuhannya yang menciptakan kebahagiaan.
“Kamu sudah tahu tentang ini?”
“Persetan dengan Ben.”
“Aku tertikam. Rasanya sakit, Nazef.”
“Aku juga.”
“Apakah kita harus mengikhlaskan?”
“Entahlah.”
“Berapa kali kamu meminta Ave untuk menjadi kekasihmu?”
“Lima.”
“Ben?”
“Satu, mungkin.”
“Ave teman baikku.”
“Ben orang yang aku percaya.”
Tanggal lahir, jatuh cinta, gila, Ben, patah hati.
Malam tidak mengenal usia. Walau ada yang telah selesai
bertemu tahun berulang-ulang, namun kepekatannya tetap menjadi
andalan. Tetap konsisten dalam ketentraman dan kesunyian. Tetap
menyangkal meski di dalamnya terdapat ribuan uraian cerita yang
terkadang tidak pernah usai.
(*) Pamulang, 3 April 2016.
“ unggu!” Gadis itu berlari mengejar kereta yang berjalan
perlahan. Dengan sekuat tenaga dia berlari melewati kerumunan orang di
peron agar bisa menaiki kereta itu. Ransel besar di punggungnya seakan
tidak menghambat.
Usahanya tidak sia-sia. Ia berhasil mencapai pintu terakhir
kereta. Namun nahas bagi lelaki yang sedang berdiri di dekat pintu. Dia
baru saja ingin memasuki gerbong lebih dalam karena baru saja
mengucap pisah kepada sahabat dekatnya. Tiba-tiba saja tubuhnya
doyong dan jatuh ke lantai kereta karena ditabrak sesuatu yang berat dari
belakang.
“Aw.” Lelaki itu mengaduh.
“Untung tidak tertinggal kereta,” ucap perempuan yang
menabrak laki-laki.
“Hei! Kamu baru saja membuatku jatuh. Untung daguku tidak
membentur lantai. Bisa-bisa rahangku patah!” seru lelaki kepada si
perempuan dengan nada sedikit kesal. Bukannya meminta maaf. Memang dia
tidak sadar sekarang sedang mendarat di tubuhku? Dasar perempuan tidak peka,
kata laki-laki itu dalam hati.
Perempuan itu kemudian berpindah posisi agar tidak menindih
si laki-laki. Seakan dia baru sadar bahwa ada seseorang yang
menyelamatkannya. Dirinya pun tidak langsung menyentuh lantai ketika
jatuh barusan.
“M-maafkan aku. Aku tadi terburu-buru dan harus berlari untuk
mencapai kereta ini.”
Mereka berdua bangkit sebelum menarik perhatian lebih banyak
orang. Beruntung saat itu kereta tidak terlalu penuh. Namun tetap saja,
siku dan dengkul si perempuan lecet karena menahan diri. Sedangkan si
laki-laki yang jatuh terlungkup tidak terluka sedikit pun.
“Kamu?” Yudis—nama si laki-laki, sedikit mengernyitkan dahi
melihat perempuan yang hampir membuatnya celaka itu. Dia seperti
pernah melihatnya. Wajahnya begitu femiliar.
“Kak Yudis?” Si perempuan sama terkejutnya melihat Yudis.
Ah! Dia adalah anak baru. Kemarin dia yang paling berisik ketika
sedang perkenalan awal, batin Yudis. Yudis langsung mengingatnya karena
dia merupakan koordinator lapangan ketika perkenalan siswa baru di
ekstrakulikuler atau ekskul yang dia geluti. Pecinta Alam SMA
Mahadiaksa merupakan salah satu ekskul yang banyak diminati.
Sekarang si Berisik malah berdiri di depannya. Bukan itu saja.
Dia baru saja membuat Yudis hampir celaka. Ingin rasanya Yudis
menyemprot si perempuan saat itu juga. Hitung-hitung sekalian
meluapkan kekesalan karena kemarin ia juga begitu rusuh. Namun Yudis
ingat sekarang dia sedang berada di tempat umum.
“Sedang apa kamu di sini?” tanya Yudis ketus.
“Aku akan mendaki Bromo. Kak Yudis?” tanya perempuan itu
kembali.
Sial. Destinasi kita sama. Tapi Yudis tidak mengucapkan itu
dengan bersuara. “Bukan urusanmu,” katanya singkat.
“Anyway, namaku Elena. Boleh dipanggil Elen.” Perempuan itu
memperkenalkan diri tanpa diminta.
“Terserah. Aku ingin mencari tempat duduk.” Tanpa berlama-
lama Yudis langsung meninggalkan Elena sendirian dan memasuki
gerbong. Dia menemukan tempat duduk yang kosong di tengah gerbong
ketiga, sesuai dengan yang tertera di tiketnya. Langsung saja dia
menempati kursi itu.
Elena tidak terlihat. Mungkin tempat duduknya yang lebih dekat
dengan gerbong tempat ia masuk. Yudis tidak peduli. Udara terasa
semakin dingin. Perlahan gerimis membasahi jendela kereta. Lama-lama
semakin besar, membuat uap yang tebal di jendela. Yudis memilih tidur.
Perjalanannya masih panjang.
***
Yudis adalah siswa kelas 12 SMA Mahadiaksa. Sebentar lagi dia
akan menghadapi Ujian Nasional. Namun kecintaannya terhadap alam
membuatnya sulit untuk melepas rindu sebentar saja. Baru dua minggu
yang lalu dia turun dari puncak Papandayan. Satu malam sebelum dia
kembali masuk sekolah, dia baru sampai di rumah.
Kedua orang tuanya tidak dia temukan di rumah. Ibu memang
tidak tinggal bersamanya. Sedangkan Ayah juga jarang pulang. Gunung
adalah satu-satunya tempat yang bisa membuat Yudis nyaman. Itu
mengapa ia sering pergi ke gunung.
Namun akhir-akhir ini cuaca sedang tidak menentu. Seperti
sekarang, seharusnya musim panas namun malah hujan. Itu membuat
Yudis harus ekstra hati-hati dalam melakukan pendakian. Dia berharap
agar ketika sampai hujan tidak menghambat. Trisno dan beberapa kawan
gunungnya mungkin telah menunggu dia sekarang. Atau mereka juga
sedang dalam perjalanan seperti Yudis. Tinggal waktu yang membuatnya
sampai ke tujuan.
Sedangkan Elena, untuk pertama kalinya ia mendaki gunung. Ia
sangat penasaran dengan pandakian. Ia bersama Rita, Manda, dan
beberapa kerabat SMP-nya akan naik ke Gunung Bromo. Tidak sabar
rasanya. Elena dan rombongan telah membayar cukup mahal untuk
menyewa pemandu. Namun dia harus pergi sendiri ke Malang karena
rombongannya telah sampai satu hari yang lalu.
Elena merapatkan jaket. Hujan membuatnya semakin merasa
lapar. Ia mengambil beberapa snack untuk mengganjal perut. Hujan
belum menjadi bagian penting dalam hidupnya. Setidaknya untuk
sekarang.
Tanpa mereka berdua sadari, itu adalah titik di mana mereka
akan terus berhubungan. Saat itu memang bukan pertama kali mereka
bertemu. Namun untuk pertama kalinya Yudis dan Elena dapat bertatap
muka satu sama lain seperti tadi.
Hujan yang turun ketika mereka berdua di kereta menjadi saksi.
Hujan memang tidak melihat ketika mereka bertemu tadi. Namun ia tahu
bahwa Yudis dan Elena akan ditakdirkan untuk bertemu lagi. Kisah
mereka baru saja dimulai.
***
Dalam diam, Yudis menatap ke luar jendela kamarnya. Satu
tahun yang lalu di tempat yang sama, dia masih bisa tersenyum karena
ada seseorang di sampingnya. Dia yang memberikan setengah jiwanya
untuk Yudis, dia yang membela Yudis saat dirinya membutuhkan, dia
adalah separuh dari hidup Yudis. Sekarang, orang itu tidak ada di sini.
Begitu cepat waktu berlalu. Terkadang menyisakan pedih yang tiada
tertahan ketika seseorang yang kita kasihi telah pergi.
Yudis ingat ketika dia berbicara pertama kali dengan Elena.
Perempuan itu telah mengubah banyak hal. Ketika dia akan menghadapi
Ujian Nasional, Elena yang pertama kali memberikan paket alat tulis
untuknya. Hal-hal kecil namun begitu berarti bagi Yudis.
Berbeda dengan satu tahun yang lalu, hari ini rintikan hujan
membasahi pekarangan rumah Yudis. Musim memang telah berubah.
Padahal baru tahun lalu di hari yang sama tanah yang sedang dia pandangi
kering. Hari ini, tanah itu basah. Seakan hujan mengerti tentang
keinginannya untuk dapat kembali bertemu dengan masa itu, maka hujan
mencoba untuk menghapuskannya dari jiwa Yudis. Menurut hujan, tidak
ada gunanya mengingat sesuatu yang lampau jika hanya rasa sakit yang
dirasakan. Lebih baik hujan basuh itu semua agar jiwa kembali bersih dan
segar, serta menemui kehidupan baru yang lebih baik.
Nampaknya, Yudis tidak ingin mendengar hujan. Dia masih
terpaku jauh ke dalam benaknya. Berharap dia bisa mengubah sesuatu di
masa itu agar tidak pernah terjadi. Tapi hujan berkata lain. Bukannya
membantu Yudis agar mengingat masa lalunya, hujan malah mulai
menerobos masuk ke sela-sela teralis yang dipasang di jendela kamar
Yudis. Yudis masih bergeming. Dia belum sadar hujan sedang berusaha
menentramkan hatinya.
Petir bergemuruh di langit. Dia ingin membantu hujan untuk
segera menyadarkan lamunan Yudis. Petir berhasil. Yudis mengadahkan
wajahnya dan melihat ke langit yang sangat pekat karena tertutup sang
awan. Perlahan, rintikan hujan mulai membasahi wajahnya. Yudis tidak
mengatakan apa pun. Namun dia seolah mengerti bahwa pesan hujan
sudah sampai ke dasar hatinya.
Dengan segera, Yudis menutup tirai agar hujan tidak tampias ke
dalam kamarnya. Serta merta dia bangkit dari kursi yang dia duduki, dan
langsung menuju ke luar rumah. Hujan turun semakin deras. Petir tidak
mau kalah dalam meneriakkan suaranya yang keras. Yudis melewati pagar
rumahnya dan berlari kecil dan berharap bisa menentramkan hatinya
yang risau.
Tanpa diberi aba-aba, hujan menjalankan tugas yang sudah ia
niatkan sebelumnya. Yudis menangis dalam hujan. Perlahan, kebekuan
dalam rasa itu terurai oleh hujan. Kebisuan yang tercipta oleh dirinya
sendiri berganti dengan hembusan lega. Yudis merasa tentram sekarang.
Yudis bangkit dari tempat dia bersimpuh. Dengan jiwa yang
utuh, dia melangkah kembali ke rumah sambil tersenyum. Beban yang
telah lama dia pendam hilang sudah. Tidak ada lagi harapan kosong yang
tercipta tanpa nama. Harapan itu kandas, lebur bersama hujan. Yudis
tersenyum dalam lamunan yang ia sendiri tidak mengerti. Yang dia
rasakan hanyalah sesuatu yang hilang itu tidak akan kembali.
Tapi, Yudis salah. Derasnya hujan membuat mobil beroda
empat itu tidak sempat mengelak saat Yudis melangkah gontai menuju
rumah. BRAKKK. Kemudian sunyi. Sang pengemudi yang panik hampir
melarikan diri ketika dia menyadari siapa yang dia tabrak.
Betapa terkejutnya ia mendapati sosok yang terkapar di jalanan
beraspal adalah ayah dari anak yang sedang menunggunya pulang di
rumah. “Yudis!” Perempuan itu berteriak histeris. Perempuan dalam
balutan kemeja hijau tua dengan rok putih masih mengguncangkan tubuh
Yudis. Sedangkan Yudis hampir tidak sanggup menoleh ke asal suara.
Tapi, Yudis bisa tahu siapa yang sedang berbicara kepada dirinya.
Dengan segenap tenaga, perempuan itu masih berusaha
membuat Yudis tetap tersadar. Meski dia tahu usahanya sia-sia. Hujan
membuatnya ingat agar dia menyampaikan hal yang selama ini tertahan.
“Maafkan aku. Kamu pasti mengerti mengapa aku menghilang.
Papa selalu melarang hubungan kita, Sayang. Dia menjodohkanku
dengan anak sahabatnya sesaat dia tahu bahwa ada buah hati kita di dalam
rahim ini. Sialnya, kami berdua tidak bisa menolak. Pilihannya hanya dua.
Menikah atau membunuh anak kita.
“Tentu saja aku tidak tega membiarkan kenangan akanmu satu-
satunya harus terenggut. Maka aku menikah dengan lelaki yang bahkan
baru aku ketahui namanya saat akad. Aku baru saja kembali dari luar kota.
Di sana aku tidak sekolah. Ayah tidak mengizinkan. Terkadang, aku
masih suka bertelepon dengan Rita dan Manda. Mereka lulus Ujian
Nasional tahun ini.
“Andai aku masih bisa meneruskan bangku kuliah. Tapi untuk
sekarang, rasanya tidak mungkin. Aku harus membesarkan Mesya. Demi
kita. Kalau kamu ingin tahu, aku ke daerah rumahmu karena ingin
melepas rindu kepadamu, Yudis. Aku masih mencintaimu.”
Kata-kata perempuan itu tenggelam dalam petir yang tidak
berhenti bergemuruh. Tanpa ampun, hujan tetap mengguyur tubuh
mereka berdua. Darah yang dikeluarkan dari tubuh Yudis mengalir
membentuk sungai kecil diantar pori-pori aspal. Air mata perempuan itu
tumpah dan menyatu dengan air hujan. Dia memeluk erat Yudis,
berharap Yudis mendengar setiap kata yang ia ucapkan.
“Aku senang kamu kembali,” balas Yudis. “Jaga anak kita.
Katakan padanya, aku juga mencintainya.”
Tepat saat itu, hujan menarik diri ke atas. Awan pekat menyebar
dan menciptakan semburat matahari sore. Petir tiba-tiba menghilang.
Begitu pun dengan denyut nadi yang ada di pergelangan tangan Yudis.
Tanpa daya, perempuan itu memukul keras dada Yudis agar
orang yang dicintainya itu terbangun. Tapi tidak ada respons. Dalam
diam dia mendekatkan bibirnya ke telinga Yudis dan membisikkan, “Aku
ingin tetap bersamamu.”
Perempuan itu adalah Elena.
(*) Pamulang, 29 Januari 2015.
atu ketika, aku mendengar jeritan yang ditimbulkan dari orang
yang amat kusayangi. Begitu pilu dan menyayat hati. Terasa tumpuan
tangannya berada di dekapku sekarang. Ia membisikkan sesuatu, “Aku
ingin tetap bersamamu.” Namun aku tidak sanggup berucap atau
membalas kepadanya. Bahwa aku akan baik-baik saja.
Terakhir aku melihat sedan putih yang semakin mendekat.
Pandanganku kabur karena hujan yang begitu deras. Ternyata sedan itu
terus melaju dan menghempaskanku hingga beberapa meter.
Aku sempat melihat seorang gadis cantik keluar dari sedan
tersebut. Tidak begitu jelas. Tapi aku yakin bahwa aku mengenalnya.
Setelah aku mendengar dia mengucapkan beberapa kalimat, aku masih
sempat membalasnya. Setelah itu pandanganku memburam.
***
Aku pun mendengar gemericik air di kejauhan. Pelan aku buka
kelopak mata.
“Ayo ikut bermain!” Seorang anak kecil menarikku dengan
sedikit paksaan. Posisiku yang terlentang mengharuskan aku untuk
duduk. Aku masih bingung dengan keadaan yang berada di sekitarku saat
itu.
“Kamu ternyata sudah sadar,” tutur salah seorang tiba-tiba. Ia
berada di samping kananku. Sedangkan tangan kiriku tidak terlepas dari
genggaman anak kecil tadi.
“Kamu bermain duluan ya. Nanti aku menyusul,” kataku
akhirnya pada anak kecil itu. Rengekannya berhenti. Seketika ia
melepaskan genggamannya dariku dan mulai berlari ke arah jembatan di
ujung sana. Ada banyak anak kecil lainnya. Aku masih belum mengerti
sedang di mana aku sebenarnya.
“Siapa kamu?” tanyaku kepada orang yang duduk di sebelah
kananku.
“Pertanyaan yang tidak biasa. Biasanya orang pertama kali
bertanya, ‘Di mana aku?’” kata orang tersebut. Ya, sebenarnya itu juga
akan aku tanyakan setelah ini. Orang tersebut melanjutkan, “Saya adalah
Vandroga. Penjaga negeri ini.” Dia memperkenalkan diri.
“Memang ini negeri apa?” Aku bertanya dengan wajah polos.
Atau setidaknya, kukira begitu.
Aku tidak merasa asing di sini. Seperti pernah mengunjungi,
menempati, atau melihat tempat ini entah di mana. Namun semuanya
berwarna putih bersih. Tanah yang kududuki sekarang pun sangatlah
lembut. Tunggu, bahkan ketika aku mencecapnya menggunakan tangan,
tanah ini serta merta meleleh di tanganku menjadi cairan yang sangat
sejuk.
“Akhirnya, pertanyaan itu keluar juga, Yudhistira. Kamu sedang
berada di Trapara.”
Aku menunggu dia menjelaskan lebih lanjut. Tapi malah hening
yang tercipta. Dia diam saja.
“Trapara itu apa?” tanyaku sekali lagi, berharap lelaki bernama
Vandroga ini ingin menjelaskan lebih rinci.
“Tempat ini berada di atas awan. Tempat ketiga di kehidupanmu
setelah di rahim ibumu dan di Bumi. Kamu akan terus berada di sini
sampai Yang Maha Kuasa berkehendak. Setelah itu, barulah kamu akan
tinggal di tempat selanjutnya. Antara surga atau neraka,” jelasnya.
Bumi. Kata itu seperti menghempaskanku dari ombak. Aku tahu
Bumi. Namun aku gagal menyatukan memori tentangnya. Bahkan secuil
pun tidak. Seperti ada yang hilang, namun aku tidak tahu apa itu. Aku
yakin yang hilang itu adalah sesuatu tentang bumi. Namun aku tidak bisa
mengingat apa pun tentang itu.
Aku tahu surga, neraka, Yang Maha Kuasa, atau rahim ibu. Aku
juga tahu bumi. Apa yang salah denganku? Aku mencoba berpikir keras
mengingat hubungan aku dan bumi.
“Tidak perlu diingat,” suara Vandroga memecah
kebingunganku. Bahkan seakan dia juga membaca pikiranku.
“Trapara adalah kehidupan barumu. Kamu tidak akan bisa
mengingat kehidupanmu ketika di bumi. Seperti ketika kamu menjadi
manusia di sana, kamu juga telah melewati fase kehidupan sebelum itu.
Yaitu ketika kamu pertama kali tercipta dan tumbuh di rahim ibumu
sebagai janin. Apakah kamu juga mengingat itu, Yudis?” Dia malah
bertanya kepadaku.
Aku tidak tahu. Bagaimana aku bisa tahu apakah ketika aku di
bumi bisa mengingat kehidupanku di rahim ibu? Aku saja tidak
mengingat apa pun tentang Bumi. Aku memutuskan untuk
menggelengkan kepalaku sebagai jawabanku kepadanya.
“Seperti juga di sini.” Dia melanjutkan. “Bahwa sekeras apa pun
kamu mengingat kehidupanmu yang lalu, kamu akan gagal. Karena kamu
ditakdirkan untuk menjalani kehidupan di sini sebagai orang yang baru.
Tidak usah khawatir. Kamu hanya belum terbiasa.” Vandroga
menjelaskan.
Aku memutuskan untuk tidak bertanya kepadanya lebih banyak.
Meskipun beberapa pertanyaan lagi masih tercetus di otakku, tapi aku
memutuskan untuk menyimpannya sendirian. Aku baru mengenal
Vandroga. Tidak semata-mata aku akan percaya kepada dirinya. Peduli
amat jika tadi katanya dia merupakan penjaga negeri ini. Sejauh ini, aku
akan bersikap sebatas menghormatinya karena dia lebih dulu berada di
sini ketimbang aku.
***
Entah sudah berapa hari aku menetap di Trapara. Di sini tidak
ada siang ataupun malam. Setiap hari seperti memiliki waktu yang sama.
Cerah, sejuk, dan membosankan. Bahkan mungkin sejak aku bangun
pertama kali, hari juga belum berganti? Aku tidak tahu pasti. Aku belum
menemukan keinginan untuk berinteraksi dengan orang-orang di Trapara
lebih jauh.
Anak kecil yang waktu itu mengajakku bermain tidak pernah
terlihat lagi. Mungkin dia sudah menemukan teman bermainnya. Di
kejauhan aku melihat jembatan yang sama. Anak kecil itu sudah tidak di
sana. Penasaran, aku berjalan menuju jembatan itu.
Sepanjang perjalanan aku melihat semuanya terasa normal. Ada
sepasang kakek dan nenek yang sedang duduk di bangku taman sambil
memberi makan burung, ada seorang gadis yang sedang duduk di tepi air
mancur, dan ada beberapa orang yang mungkin seusiaku sedang duduk
melingkar. Mereka tidak menyadari kehadiranku karena aku memang
hanya melewati mereka. Semuanya berwarna putih, seperti yang aku
bilang.
Setibanya di depan jembatan, aku tidak bisa melihat ujung
jembatan itu. Tempat di seberangnya tertutup kabut.
“Apa yang kamu lakukan di sini?”
Aku menengok ke belakang. Vandroga, lagi.
“Mengapa tempat itu tertutup kabut?” tanyaku padanya.
“Belum waktunya kamu melihat ke tempat itu. Jika Yang Maha
Kuasa sudah memanggilmu, maka kamu juga akan pergi ke sana. Tapi,
sekarang belum. Sebaiknya kamu menjauh dari situ,” kata Vandroga.
“Memang apa yang terjadi jika aku menaiki jembatan ini?” Aku
semakin penasaran.
“Kalau kamu memaksa, kamu akan langsung ditempatkan di
Reshvadu. Tempat di antara surga dan neraka. Kamu terperangkap, dan
tidak akan bisa ke mana-mana. Di sana kamu tidak akan bertemu siapa-
siapa. Tempat yang begitu luas, namun hanya kamu di dalamnya.
Memang sengaja untuk di-setting seperti itu.
“Sedangkan nanti, pada waktunya jembatan ini yang akan
menghubungkanmu ke surga atau neraka. Tergantung dari apa yang
sudah kamu perbuat selama di Bumi.” Vandroga menjelaskan.
“Mengapa hanya perbuatanku yang di bumi? Bukankah aku juga
hidup di Trapara?”
“Hidupmu di sini berbeda, Yudishtira. Di sini kamu tidak akan
berbuat kejahatan dan melakukan dosa. Semua yang kamu lakukan adalah
benar. Di sini kamu putih dan suci. Seperti awan yang menjadi bahan
dasar Negeri Trapara.” Vandroga menajawab pertanyaanku dengan
sabar.
“Di Trapara membosankan. Aku penasaran dengan Reshvadu,”
kataku jujur kepada Vandroga.
“Hahaha. Itu karena kamu menyikapinya seperti itu. Bayangkan
hal-hal yang menyenangkan. Trapara akan menjadi lebih indah
ketimbang di bumi. Trapara adalah satu-satunya negeri di mana kamu
bisa melampiaskan segara kecintaanmu terhadap hal yang baik. Seperti
awan yang selalu tenang dan sulit untuk bergejolak. Hanya di waktu
tertentu saja awan bisa menggelap.
“Itu pun terjadi tidak akan lama. Itu juga tidak akan berdampak
apa pun kepada Trapara.” Vandroga menceritakan panjang lebar.
“Umur orang Trapara didasarkan oleh apa?” Pertanyaanku
meluncur begitu saja.
“Tergantung di umur berapa mereka meninggalkan bumi. Kamu
tidak akan bertambah tua di sini. Juga di umur yang sama sampai Yang
Maha Kuasa memanggilmu.” Vandroga mengakhiri penjelasannya.
Ketika aku ingin bertanya lebih lanjut, tiba-tiba saja dia menghilang.
Lenyap. Tanpa bekas.
Aku mencoba mempraktekkan apa yang tadi dikatakan oleh
Vandroga. Aku harus berbuat sesuatu yang menyenangkan. Kemudian
aku mencoba tersenyum kepada orang-orang di sekitarku. Ternyata
mereka ramah. Hatiku sedikit demi sedikit mulai terisi dengan
kehangatan yang terpancar dari orang-orang di sini.
***
Entah sudah berapa lama aku menghabiskan waktu di Trapara.
Memang, secara keseluruhan semuanya terlihat datar. Putih, bersih,
dengan cuaca yang selalu cerah dan iklim yang sejuk. Di balik itu semua,
aku mulai menikmati kehidupanku di negeri ini. Menjadi salah satu
penduduk negeri yang berada di atas awan adalah hal yang tidak pernah
terpikirkan oleh hidupku sebelumnya, mungkin. Sekarang aku di sini,
menanti kehidupan yang lebih baru memanggil.
(*) Pamulang, 3 Februari 2015.
“ utri menerima apel itu dari genggaman Nenek Tua. Kemudian ia
mulai menggigitnya. Tidak lama setelah itu, ia merasakan yang aneh dalam
tubuhnya. Ternyata apel tersebut telah diracun oleh Nenek Tua! Yang lebih
mengejutkan, Nenek Tua yang bungkuk tiba-tiba berubah menjadi ratu kerajaan.
Tidak lain tidak bukan, ia juga merupakan ibu tiri sang Putri. Dia tertawa
terbahak-bahak ketika melihat sang Putri tergolek lemas di tanah karena racun
yang dimakan bersama apel.”
Bagian cerita Putri Salju itu masih terpatri dalam ingatan Dita.
Seakan suara neneknya yang menceritakan kisah tersebut masih terdengar
hingga sekarang. Padahal nenek sudah meninggal sepuluh tahun lalu,
ketika ia masih duduk di bangku kelas tiga SMP. Sejak mendengar cerita
itu, ia tidak menyukai apel. Hanya dia di dalam keluarganya yang tidak
menyukai buah yang manis itu.
Tidak peduli kata orang tentang manfaat apel yang melimpah.
Tidak peduli kata orang tentang rasanya yang enak atau bisa dijadikan
sebagai olahan apa pun, Dita tetap tidak suka. Mungkin karena cerita
Putri Salju tentang apel itu telah masuk ke bawah alam sadarnya. Secara
tidak langsung itu bisa membuat Dita alergi terhadap buah apel.
***
“Aphrodite Kencana,” panggil guru yang sedang mengabsen.
Dita mengacungkan tangan. Sementara gurunya kembali membacakan
nama-nama yang ada di bawahnya.
Hari ini Jakarta diguyur hujan deras. Matanya terfokus kepada
rintik air hujan yang membasahi jendela kelas. Pikiran Dita mengawang
kepada kisah tentang Zeus dan Poseidon, sang penguasa langit dan lautan
dalam mitologi Yunani. Dia tidak memperhatikan gurunya yang sedang
menjelaskan tentang rumus gravitasi atau apalah namanya.
Gurunya pun tidak sadar sehingga Dita bisa aman berimajinasi
di dalam kelas ketika pelajaran berlangsung. Andai ia tidak perlu sekolah
seperti Hercules atau Parseus, anak-anak Zeus. Ia lebih senang jika harus
mengendarai pegasus menuju Gunung Olimpus dan bertemu dengan
dewa-dewi Yunani.
Aphrodite juga merupakan Dewi Kecantikan dalam mitologi
Yunani. Sesuai dengan namanya, Aphrodite pun sangat cantik seperti
dewi Yunani itu. Ia biasa dipanggil Dita, agar lebih pendek. Hanya saja ia
dianggap aneh karena lebih sering melamun. Tidak banyak yang ingin
dekat-dekat Aphrodite. Teman-teman sekelasnya lebih senang menjaga
jarak dengan orang yang sering melamun. Karena jika dekat-dekat,
mereka juga akan dicap aneh.
Sebenarnya Dita ingin punya teman. Satu atau dua cukup
untuknya. Tapi, sepertinya belum ada yang menginginkan jadi teman
Dita. Sampai ia menemukan apel yang ada di dalam lokernya.
Apa maksud orang itu memberikan apel untuk Dita? Tidakkah
dia tahu bahwa Dita tidak menyukai apel? Dita mengambil apel tersebut
kemudian membuangnya di tempat sampah. Bukannya tidak menghargai
pemberian orang tersebut. Hanya saja Dita sangat membenci apel.
Memang sempat terlintas dipikirannya bahwa orang yang memberinya
apel ini ingin berteman. Mungkin caranya saja yang salah.
Di kejauhan, orang yang memberi Dita apel sedikit meringis
melihat kelakuan Dita barusan. Dia tidak menyangka bahwa perempuan
bernama Aphrodite Kencana tidak menyukai apel. Seharusnya, ia
menyukai apel seperti Aphrodite yang merupakan salah satu dewi
Yunani.
***
“Hei,” sapa Anton.
Dita mendongak ke arah suara. “Ya?”
“Kamu, Aphrodite Kencana?” tanya Anton.
Dari mana dia tahu namaku? pikir Dita dalam hati. Dita seperti
sering melihat wajahnya. Lebih tepatnya, orang ini sering berpapasan
dengannya. Entah ketika di kantin, di depan kolam renang sekolah, atau
bahkan di toko buku. Tempat yang tidak Dita sangka akan bertemu orang
ini.
Seperti sekarang. Dita sedang menyesap jus alpukatnya di kantin
sekolah. Tiba-tiba saja dia datang dan mendadak menanyakan namanya.
Tunggu. Sebenarnya Dita bukan hanya sekadar sering melihat wajahnya.
Ia juga mengenalnya. Hanya saja ia tidak mengetahui nama lelaki ini.
Dita mengasumsikan dia sebagai Hermes. Tentu saja karena dia
sering bertemu dengan Dita di tempat yang terduga. Itu karena Hermes
suka berkelana. Hermes juga dikenal sebagai dewa pencuri. Pantas,
karena beberapa kali lelaki ini sanggup mencuri perhatiannya.
“Dan, kamu Hermes?” Dita bertanya balik, asal.
“Hahahaha. Hermes? Aku merasa terpuji dipanggil Hermes. Dia
memiliki banyak julukan, kau tahu? Selain cerdik dan menjabat sebagai
duta besar, dia juga melindungi perdagangan,” jawab Anton.
“Terserah,” jawab Dita cuek.
“Kenapa kamu tidak suka apel?” Anton bertanya langsung.
“Aku membencinya.” Dita berkata pendek.
“Apakah kamu tahu? Apel itu sangat spesial bagi Dewi
Aphrodite. Setiap pria yang ingin melamarnya, harus memberinya sebuah
apel. Jika Aphrodite menerimanya, maka pria itu bisa menikahinya,” jelas
Anton.
“Aku bukan Dewi Aphrodite. Walaupun keluargaku bilang aku
secantik dirinya, namun Aphrodite versiku berbeda. Karena aku tidak
menyukai apel. Lagi pula, siapa yang ingin menikahiku? Lulus SMA saja
belum.” Dita tetap kukuh dengan pendiriannya.
“Setidaknya, terimalah pemberian orang. Jangan langsung
dibuang ke tempat sampah. Melihat pemberianmu dibuang begitu saja
bisa membuat hatimu sakit.” Anton berkata jujur.
“Jadi, kamu yang memberiku apel?” tanya Dita langsung.
Anton mengangguk.
“Baiklah. Terima kasih atas pemberiannya. Namun kamu sudah
tahu, bukan, kalau aku tidak menyukai apel? Jadi, kamu tidak perlu repot-
repot membawakan apel lagi untukku.” Dita benar-benar memberitahu
Anton dengan suara datar tapi langsung mengena.
“Mengapa kamu begitu cuek dan dingin? Aku hanya ingin
berteman denganmu.” Anton benar-benar telah mengungkapkan semua
maksudnya sekarang.
Dita menatap mata Anton. Ini pertama kalinya ia ‘ditembak’
seperti ini oleh seseorang. Belum pernah sebelumnya yang ingin dekat-
dekat dengannya. Apakah itu perempuan atau laki-laki, belum pernah ada
yang ingin menjadikannya seorang teman. Paling-paling, mereka hanya
bicara seperlunya. Entah itu ketika ingin meminjam penghapus atau
ketika mengajak janjian untuk mengerjakan tugas kelompok.
Dita akhirnya merasa bersalah karena terlalu kasar dengan lelaki
ini. Kemudian dia berkata, “Maaf, Hermes.”
“Namaku Anton. Namun aku tidak keberatan kalau kamu
memanggilku Hermes.”
“Baiklah. Aku lebih suka memanggilmu Hermes.”
“Kamu belum menjawab pertanyaanku.” Anton kembali
mengingatkan. Dita menaikkan alis tanda lupa dengan pertanyaan mana
yang belum dijawab olehnya. “Bahwa kau tidak menyukai apel.”
“Oh. Itu karena dongeng Putri Salju yang dulu suka diceritakan
oleh nenekku. Ketika Putri Salju menggigit buah apel yang diberikan oleh
ibu tirinya, dia mati karena racun yang ada di apel. Aku lebih memilih
untuk waspada dengan tidak memakan apel. Setidaknya, jauh-jauh dari
apel membuat diriku menjadi lebih baik,” cerita Dita.
“Hahaha. Kamu berhasil membuatku tertawa dua kali dalam
waktu kurang dari satu jam. Ayolah, itu hanya dongeng. Lagi pula Putri
Salju pada akhirnya hidup kembali berkat Pangeran.”
“Dan pangeran juga hanya ada di dongeng. Jadi, sebaiknya aku
tidak mengambil konsekuensi dengan mengonsumsi apel. Lagi pula,
tanpa apel aku masih bisa hidup.” Dita tetap keras kepala dengan
pendiriannya.
Sungguh, untuk ukuran anak kelas dua SMA seperti Dita
seharusnya ia sudah bisa berpikir logis. Kemungkinan keracunan akibat
apel sangatlah kecil. Lagi pula sudah tidak zaman ada ibu tiri yang
meracuni anaknya dengan apel. Dita juga tidak punya ibu tiri.
Anton tersenyum melihat tingkah Dita. Dia menyukai caranya
mengaduk jus alpukat seperti ini. Sebenarnya, sejak awal dia sudah
menyukai Dita. Sejak melihat Dita memasuki halaman sekolahnya
dengan pita warna-warni yang menghiasi rambutnya, dia sudah
penasaran. Pasti Dita tidak sadar jika Anton pernah menjadi mentor
ketika ospek tahun lalu. Diam-diam, Anton sering mengamati Dita.
Belakangan dia mengetahui bahwa nama perempuan ini
mengandung unsur dewi kecantikan, itu membuatnya semakin tertarik.
Apalagi dia menyukai mitologi Yunani. Nama Aphrodite begitu pas
dengan parasnya yang sangat cantik. Namun sayang, Dita tidak menyukai
apel. Padahal Anton kira, apel bisa menarik perhatiannya. Sesuai dengan
dongeng tentang Aphrodite yang sudah dia ceritakan barusan.
***
Aphrodite menggigit apel ketiganya hari ini. Ia melihat kucuran
air hujan yang membasahi jendela ruang makannya. Ingatannya
melambung jauh ke masa lalu. Suara neneknya tentang dongeng Putri
Salju yang membuatnya sangat membenci apel. Hingga kemudian ia
bertemu dengan Hermes, pria yang kemudian melamar dirinya di depan
kuil di Athena.
Hermes Antonius, nama pria itu. Dia yang berhasil mengubah
Aphrodite menjadi menyukai buah apel. Pertama kali Hermeslah yang
menaruh apel di dalam lokernya. Perkenalan itu kemudian berlanjut
semakin dekat hingga beberapa tahun. Hermes pula yang meyakinkan
dirinya bahwa jika ada racun dalam apel yang akan membuatnya mati,
maka ada dirinya yang siap menjadi pangeran. Hermes akan
membangunkan Aphrodite bagaimanapun caranya.
Dengan keyakinan cukup kuat, Aphrodite akhirnya mencoba
apel pertama dalam hidupnya. Hermes menatap matanya saat apel itu
digigit. Rasa manis khas apel menyeruak di dalam mulutnya. Ia
mengunyah perlahan, kemudian menelannya. Tidak terjadi apa-apa.
Malah mulutnya terasa segar.
“Tidak ada racunnya, kan? Kamu saja yang terlalu paranoid
selama ini,” kata Anton kepada Dita.
Dita tersenyum sambil menatap Anton. Dasar lelaki ini. Tidak
pernah bisa berhenti membuatku berpaling. Dita berbisik dalam hati. Apel itu
pula yang menjadi penanda bahwa Anton melamar Dita. Apel yang
kemudian diterima dengan senang hati oleh sang dewi bagi Anton.
Hanya dia yang sanggup membuatnya tersenyum. Dia juga yang
membuat Dita nyaman ketika membicarakan mitologi Yunani. Hermes,
orang pertama yang memintanya untuk menjadi teman. Hari itu
merupakan titik balik di hidup Dita. Ia merasa hidupnya menjadi lebih
baik, meski dengan satu orang teman.
Ia kembali tersedot ke masa sekarang. Masa ketika ia merasa sepi
lagi dengan kehidupan. Masih meratap jendela yang dibasahi air hujan,
air mata mulai memenuhi pelupuk dan turun membasahi pipi. Ia
merindukan Hermes. Dengan tawanya yang menggemaskan, caranya
memperlakukan ia sebagai sang dewi sekaligus putri. Membuatnya
merasa sangat spesial.
Saat Hermes menutup mata untuk selamanya, ia merasa tidak
berguna karena tidak bisa membangunkannya kembali. Padahal segala
cara telah ia lakukan. Tentu, ini bukan dongeng yang bisa menghidupkan
kembali cinta sejati. Hermes harus pergi meninggalkan Aphrodite.
Sekarang Aphrodite hanya ditemani apel-apel yang selalu membuatnya
semakin merindukan Hermes.
(*) Pamulang, 24 Januari 2015.
enatap senyumnya membuatku rindu. Setiap kali aku
menatapnya, ia selalu tersenyum balik kepadaku. Namun ketika aku
mengajaknya bicara, ia tidak membalas. Meskipun aku juga merindukan
suaranya, namun tidak mengapa. Indah senyumnya sudah cukup buatku.
Aku merebahkan diri di kasur yang keras. Sudah beberapa hari
aku tidak keluar kamar. Atau beberapa minggu? Entahlah. Seingatku
orang dengan baju berwarna hijau seringkali mengetuk pintu dan datang
untuk mengecek. Terkadang mereka juga membawa makanan.
Sebenarnya aku bosan jika harus terus berdiam diri di sini. Tapi
jika aku melangkahkan kaki keluar, mereka akan meneriakiku. Aku tidak
tahan dengan suaranya yang mengganggu gendang telingaku itu. Bentuk
mereka bermacam-macam. Ada yang tinggi besar, ada yang sangat kerdil.
Mereka membuatku takut.
Waktu aku melihatnya, aku hanya sanggup menutup telinga dan
mataku rapat-rapat. Kemudian beberapa orang berbaju hijau itu
menghampiri dan mencoba menenangkanku. Aku merasa mengantuk
setelahnya. Ketika terbangun, kedua kakiku terikat di kasur yang aku
tiduri setiap hari. Beberapa jam kemudian, mereka melepaskanku. Aku
tidak ingin keluar kamar lagi setelah itu.
Tok! Tok! Tok!
Terdengar ketukan dari luar. Aku tidak menjawab. Pasti masih
orang yang sama. Atau mungkin seragamnya yang sama.
“Kakek!!” seru seorang anak yang sudah aku kenal suaranya.
Tidak kuduga ternyata itu adalah dirinya. Nata, cucuku tercinta.
“Halo, Sayang!” Aku mencium pucuk kepalanya. Dia semakin
tinggi sekarang. Tingginya telah bertambah beberapa senti sejak terakhir
dia mengunjungiku.
“Nina bawakan jeruk mandarin kesukaan Kakek.” Matanya yang
jenaka membuatku ingin mencubit pipinya. Wajahnya familier dengan
seseorang. Namun aku tidak ingat siapa.
“Terima kasih, Nata,” kataku tulus kepadanya.
“Nina, Kek. Bukan Nata,” ucapnya menjelaskan.
Mendadak wajahnya terasa asing. Siapa anak ini? Aku bertanya
dalam hati. Dia bukan cucuku. Dia adalah orang lain. Sontak saja aku
melemparkan semua jeruk mandarin yang dibawa olehnya. Jeruk-jeruk
itu menggelinding dan berserakan di lantai.
Perempuan yang mengaku cucuku itu langsung histeris. Dalam
hitungan detik, orang-orang berbaju hijau datang ke kamarku. Salah satu
di antaranya mengeluarkan jarum suntik. Sebelum mataku tertutup, aku
melihat seorang lelaki yang memegangi anak yang bernama Nina. Dia
mendekapnya erat.
***
Hari itu pertama kalinya aku membawa Ayah ke rumah sakit.
Beruntung dokter yang menanganinya langsung adalah temanku sendiri,
Faras. Umur Ayah memang tidak muda lagi. Beberapa minggu
sebelumnya, sikap Ayah berubah aneh. Dia mulai tidak nyambung ketika
diajak bicara. Tatapannya juga kosong.
Kegiatan yang biasanya dilakukan normal seperti bermain golf
atau membaca pun sudah mulai ditinggalkan. Terkadang dia malah
mengambil sapu ijuk untuk menyapu taman. Sampai ketika istriku, Rianti
mengajaknya bicara, ayahku malah berkata bahwa beliau tidak mengenal
Rianti. Tentu saja itu membuatku sangat kaget. Mereka berdua bukan
hanya seperti mertua dan menantu, melainkan sudah seperti ayah dan
anak kandung.
Hari itu juga aku, Rianti, dan Nana mengantarnya untuk pergi ke
dokter. Pertemuanku dengan Faras pun akhirnya berlangsung secara
tidak sengaja. Tanpa bernostalgia lebih jauh, topik pembicaraan kami
difokuskan tentang keanehan yang terjadi kepada Ayah. Setidaknya aku
merasa lebih nyaman jika ditangani oleh teman lamaku.
“Coba kamu dengarkan lagu ini.” Orang berjas putih bernama
Dokter Faras itu berkata kepadaku. Kemudian ia memutar satu lagu yang
tidak asing di telingaku.
Catch a falling star and put it in your pocket
Never let it fade away
Catch a falling star and put it in your pocket
Save it for a rainy day

For love may come and tap you on the shoulder


Some starless nights
Just in case you feel, you wanna hold her
You’ll have a pocketful of starlight
“Catch A Falling Star, Perry Como,” gumamku lebih kepada
diriku sendiri.
“Benar sekali.” Dokter Faras tiba-tiba menimpali.
“Apa hubungannya dengan itu?” tanyaku kepadanya, masih
belum menemukan arah pembicaraan kami. Aku hanya butuh penjelasan.
“Dia meninggal karena alzheimer,” tukasnya pendek.
“Lalu?” Ayolah. Dokter ini sedang ingin bermain tebak-tebakan
denganku rupanya.
“Kamu belum paham? Alzheimer tidak hanya menyerang kaum
wanita. Bukan tidak mungkin jika laki-laki juga terserang penyakit ini.
Meskipun kemungkinannya sangatlah kecil,” jelasnya.
“Aku tidak tahu lagi jika dia benar-benar akan lupa kepadaku.”
Aku berkata seakan hasil diagnosis penyakit ayahku itu mengecewakan.
Sebenarnya memang mengecewakan.
“Tidak heran jika orang tua mengalami itu. Tenanglah sedikit,
Eros. Bukan hanya kau yang memiliki keluarga pengidap alzheimer.”
Dokter Faras berusaha menghiburku dengan gayanya bicara.
Dia memulai penjelasan awalnya tentang alzheimer,
“Berdasarkan hasil rontgen, kau bisa melihat di lobus kanan ada
penumpukan peptida dengan panjang 42-43 AA yang disebut amiloid-
beta, dikelilingi neurita distrofis. Amioid beta merupakan protein iris dari
APP. Kemudian rasio protein S100-beta yang tinggi, sebuah protein yang
selalu dijumpai pada fase perkembangan neurita. Interaksi antara protein
S100-beta dan tau dianggap merupakan simulator perkembangan neurita.1
Lalu ....”
“Cukup,” potongku. “Tidak bisakah kau menjelaskannya
dengan bahasa manusia? Aku tidak sekolah dokter sepertimu, Faras.
Tahu, sinyorita, atau apalah itu tadi namanya.” Mataku mendelik sebal.
Dia tidak pernah berubah sejak SMA.
“Intinya, alzheimer sinonim dengan pikun. Hanya saja dalam
beberapa kasus memang bisa menjadi lebih parah. Bukan hanya lupa
meletakkan barang atau lupa makan. Pengidap alzheimer bisa sampai sulit
untuk berbicara dan lupa dengan orang-orang di sekitarnya.” Akhirnya
dia membuatku mengerti.
“Aku ingin kamu menyembuhkan ayahku, Faras. Kau mengerti
bagaimana rasanya.” Aku masih kekeuh bahwa Ayah harus sembuh.
“Tidak semudah itu. Alzheimer belum bisa disembuhkan secara
total. Sejauh ini ayahmu perlu mengkonsumsi rivastigmine.2 Kita lihat
beberapa minggu setelah beliau meminum obat ini. Jika tidak tahan
dengan efek sampingnya, ayahmu boleh berhenti,” jelasnya lagi.
Aku menghempaskan punggungku ke sandaran kursi. Entah apa
namanya obat yang barusan disebutkan Faras, belum tentu bisa membuat
ayahku sembuh. Oh ya, aku ingat. Memang belum bisa disembuhkan.
Obat-obatan yang dikonsumsi hanyalah sebagai pencegah agar penyakit
mereka tidak menjadi lebih parah.

1Sumber: Wikipedia Indonesia


2Rivastigmine adalah obat yang diminum secara oral untuk mengobati penyakit
Alzheimer taraf rendah hingga medium. – Wikipedia Indonesia
Salahkah jika aku merasa sia-sia membawa Ayah ke sini?
Maksudku, kondisi Ayah sekarang tidak jauh lebih baik. Justru menjadi
semakin parah. Obat apa pun yang diberikan kepada Ayah tidak
membuatnya menjadi beraktivitas normal seperti dulu.
Malahan Ayah sampai harus dikarantina agar lebih mudah
dikendalikan jika berontak. Sulit untuk dipahami, ya? Setelah meminum
obat itu secara rutin, dosisnya malah dinaikkan. Ayah pun seperti
kehilangan nafsu makan dan beberpa kali muntah. Faras bilang itu adalah
proses.
Setelah beberapa kali menjalani tes memori, ayahku lulus. Tapi,
aku tidak merasa demikian. Dia terkadang lupa dengan Nina, anakku
yang merupakan cucu satu-satunya dan cucu kesayangannya. Dia juga
tidak pernah lagi menyapa Rianti setiap aku mengajaknya ke sini.
Di tengah keputusasaanku, aku merasa beruntung masih
memiliki istri yang selalu mendukung dan menyemangati. Begitu pun
Faras. Tidak jarang dia membesarkan hatiku. Setidaknya aku dapat
melewati ini. Setidaknya walaupun kemungkinan buruk terjadi, aku sudah
berusaha melakukan yang terbaik untuk Ayah.
***
Sejauh ini yang kutahu, alzheimer demensia adalah pengerutan
yang terjadi pada otak. Ya, otak itu mengerut dan mengecil. Mungkin itu
sebabnya kenapa orang-orang yang terkena alzheimer menjadi lupa.
Mungkin hal tersebut disebabkan karena sebagian memori otaknya hilang
akibat pengerutan itu.
Namun biasanya, alzheimer menyerang perempuan berusia di
atas lima puluh tahun. Sedangkan ayahku seorang laki-laki sehat yang
gemar berolahraga dan membaca, berusia hampir tujuh puluh tahun, dan
mendadak terkena alzheimer. Tentu saja aku tidak langsung bisa
menerima. Meskipun akhirnya aku diberi pengertian oleh Faras bahwa
Perry Como pun mengidap alzheimer.
Setiap pulang kerja, aku selalu menyempatkan diri untuk
menjenguk Ayah. Setidaknya, melihat beliau dari lingkaran kaca di pintu
sudah cukup. Tidak setiap hari aku bisa bercakap-cakap dengannya. Jika
kondisinya memungkinkan, kami akan sedikit bercakap-cakap.
Jika aku mendapatkan kesempatan emas itu, tidak akan lebih dari
tiga jam, tiba-tiba saja Ayah berteriak dan menyuruhku untuk pergi. Dia
menutup telinga dan matanya rapat-rapat sambil berkata, “Pergi! Jangan
ganggu aku, makhluk aneh! Janga dekat-dekat!”
Baiklah. Alzheimer telah membuatku menjadi makhluk aneh di
mata Ayah.
Jika sudah seperti itu, petugas akan datang sambil membawa
obat bius yang disuntikkan. Setelah Ayah tidak sadar, Ayah akan dibawa
ke ruangannya. Setelah itu kaki dan tangannya akan diikat di sisi-sisi
tempat tidur. Menurutku itu adalah perlakuan yang jahat. Melihat kondisi
Ayah yang sudah renta, tidak seharusnya Ayah diperlakukan seperti itu.
Namun kembali lagi dengan alasan untuk keamanan, prosedur, dan
blablabla lainnya.
Beberapa kali aku melihat Ayah sedang memandangi foto
seseorang dari balik pintu. Dia menatap foto tersebut begitu dalam,
terkadang mulutnya berkomat-kamit. Kukira dia sedang berbicara
dengan foto itu. Terkadang jari keriputnya mengusap permukaan foto.
Itu adalah foto ibuku. Aku sangat yakin. Perempuan terhebat
dalam hidup Ayah selain Nina dan Rianti adalah ibuku. Beliau pergi
ketika berumur enam puluh tahun. Ayah lebih tua lima tahun darinya.
Empat tahun dalam kesendirian membuat Rianti dan Nina menjadi
perempuan yang diprioritaskan oleh Ayah.
Setidaknya sebelum alzheimer itu datang. Sekarang Nina sering
kali uring-uringan karena kangen dengan kakeknya. Umur Nina masih
lima tahun. Tidak heran jika ia masih merasa dekat dengan kakeknya.
Sampai aku merencanakan makan malam yang akan digelar di
panti rehabilitasi. Bersama Ayah, Nina, dan Rianti. Tentu saja aku perlu
menunggu waktu yang sempurna untuk ini. Kau tahu maksudku. Ketika
Ayah ingin diajak keluar kamar dan kemungkinan beliau untuk ‘kumat’
sedikit.
***
Seseorang kembali mengetuk pintu kamarku. Eros! Aku sangat
merindukan orang ini. Dia adalah anakku satu-satunya. Kebanggaanku.
“Eros!” Aku bangkit dari tempat tidur untuk bisa memeluk
dirinya. Aku melihat senyum yang tulus tersungging dari bibirnya.
“Aku merindukan Ayah,” bisiknya. Dia menepuk pelan
punggungku. “Bagaimana kalau kita makan malam? Rianti dan Nina
sudah menunggu,” ujarnya. Rianti dan Nina. Mereka adalah menantu dan
cucuku. Sudah berapa lama aku tidak bertemu mereka?
Eros menuntunku berjalan. Aku sudah tidak secepat dulu dalam
berjalan. Kurasa dia memiliki kesabaran yang ekstra untuk berjalan
bersama orang tua ini. Kami mengobrol ringan sepanjang perjalanan.
Tidak lama, aku melihat meja bundar yang disulap menjadi meja
makan untuk kami. Meja bundar yang biasa dipakai untuk para pasien
yang sedang bersantai memang terlihat dari jendela kamarku. Nina
menyambutku dengan riang. Begitu pun dengan Rianti. Ia bersama Eros
membantuku duduk.
“Ayah ingin makan apa malam ini?” tanya Eros.
“Sate ayam dengan bumbu kecap,” jawabku mantap. Sudah
lama rasanya aku tidak memakan makanan paling enak sedunia itu.
“Aku sudah membelinya. Ternyata tebakanku benar,” ujar Eros.
Tentu saja. Mana mungkin dia lupa dengan makanan kesukaanku?
“Ayah ingin mendengar sebuah cerita?” tanya Eros. Aku
mengangguk. “Aku akan bercerita setelah kita selesai makan. Sekarang
Ayah makan dulu.” Aku mematuhi ucapannya. Kami berempat makan
dalam sunyi. Haram hukumnya berbicara ketika makan.
Eros menepati janjinya. Dia memulai ceritanya. Cerita yang
terdengar tidak asing untukku. Namun aku tidak memotongnya ketika
bercerita. Aku menikmati cerita tersebut. Seolah ada embusan kenangan
ketika Eros menceritakannya.
“Saat itu ada anak berumur delapan tahun. Dia dibesarkan di
perkampungan kumuh di Jakarta. Kedua orang tuanya bekerja sebagai
pemulung. Nahas karena suatu hari ayah dan ibunya ditemukan tewas
dekat perkampungan itu. Mereka tertabrak mobil yang melaju cepat
ketika hendak menyebrang.
“Anak itu sangat sedih. Dia bingung harus apa. Umurnya baru
delapan tahun. Dia merupakan siswa kelas tiga SD di sekolah terbuka.
Sejak itu, dia pun menggantikan peran kedua orang tuanya menjadi
pemulung. Suatu hari, seorang bapak mendatangi anak itu. Saat itu si anak
sedang mengaduk-aduk tempat sampah di salah satu komplek
perumahan elit.
“Selain mencari sampah yang dapat dikilokan, dia juga mencari
barang yang sekiranya dapat diambil untuk didaur ulang. Hasil daur
ulangnya bisa dia jual untuk menambah penghasilan. Bapak itu menepuk
pelan pundak si anak. Anak tersebut menoleh. Aroma parfum yang
maskulin terpancar dari tubuh sang bapak. Di luar itu semua, aura sang
bapak memancarkan keramahan dan kebapakkan. Beliau bertanya ramah
kepada si anak.
“‘Kamu sudah makan?’ tanya bapak itu. Anak itu menggeleng.
Kemarin dia sudah makan. Artinya, dia baru akan makan lagi esok hari.
‘Ayo, kita makan bersama. Kamu tidak sedang sibuk, kan?’ tanya bapak
itu lagi.
“Anak itu menggeleng malu. Dia tidak enak jika harus menerima
tawaran dari bapak yang baik. Belum pernah ada yang menawarinya
makan. Sejujurnya, anak itu bingung harus menjawab dan menyikapi apa.
‘Tidak usah malu-malu. Saya akan makan di rumah bersama istri saya.
Rumah saya berada di ujung jalan sana.’
“Kemudian bapak itu kembali membujuk si anak. Masih dengan
malu, anak itu pun menyutujui undangan si bapak. Dia naik mobil yang
bagus. Untuk pertama kali dalam hidupnya dia naik mobil yang sangat
mewah seperti ini. Perjalanan memang tidak terlalu jauh. Sesampainya di
rumah si bapak, dia disambut oleh perempuan yang umurnya terlihat
tidak jauh. Anak itu menyangka itu pastilah istrinya.
“Ketika anak itu keluar dari mobil, dia disambut dengan sangat
ramah oleh perempuan itu. Setelah memperkenalkan diri, ternyata itu
memang istrinya. Bapak dan Ibu Subrata. Singkat cerita, makan siang di
rumah itu menjadi awal bagi si anak menjadi salah satu keluarga Subrata.
Mereka memang merindukan seorang anak. Setelah sepuluh tahun
menikah, mereka belum dikaruniai anak. Anak pemulung itu seolah
menjadi jawaban bagi keluarga Subrata, untuk menjadikannya sebagai
salah satu anggota keluarga.
“Nama belakang anak itu menjadi Subrata. Dia disekolahkan
sampai kuliah, hingga sekarang menjadi orang yang sukses. Mungkin si
anak tidak pernah berkata langsung kepada pasangan Subrata. Namun
dalam hati kecilnya, dia merasa bersyukur dipertemukan oleh Bapak dan
Ibu Subrata. Dua orang yang sangat anak itu sayangi, dan sudah dia
anggap sebagai bapak dan ibu sendiri.”
Eros mengakhiri ceritanya. Secara refleks aku mengusap air yang
mengalir di pipiku. Semua yang dia ceritakan benar terjadi. Anak kecil itu
adalah Eros. Eros Subrata, anakku. Rianti pun mengalami ekspresi yang
sama denganku. Sedangkan Nina hanya mengangguk-angguk seakan
mengerti.
“Ayah ingin istirahat?” Eros beranya kepadaku.
Aku menangguk sebagai balasannya. Dia membantuku berdiri
dari kursi. Perlahan kami meninggalkan meja makan menuju kamarku.
Rianti dan Nina tidak ikut. Kelihatannya mereka ingin memberikan
waktu bagi kami untuk berdua. Sebelum aku pergi, Rianti menggenggam
tanganku. Nina mencium tanganku dan memelukku.
Sesampainya di depan kamar tidur, Eros memelukku. Aku
memeluknya balik. Aku pergi ke kasur dan dia menutup pintu dari luar.
Hari ini aku merasa sangat tenang. Tidak ada gangguan dari makhluk-
makhluk aneh yang biasanya rusuh di sekitarku. Hanya ada aku, Eros,
Nina, dan Rianti.
***
Faras mengabarkan hal yang tidak ingin aku dengar keesokan
paginya. Ayah ditemukan oleh perawat dalam keadaan tersenyum, namun
tidak bernyawa. Aku tidak tahu apakah harus tersenyum atau merengut.
Aku tidak ada di sampingnya ketika beliau mengembuskan napas
terakhir.
Namun seharusnya aku lega. Ayah akhirnya bisa beristirahat
dengan tenang. Dia tidak perlu mengalami kejadian yang tidak enak
seperti melihat makhluk-makhluk aneh. Dia tidak perlu lagi diikat kaki
dan tangannya agar mencegahnya untuk berontak. Setidaknya tidak ada
yang mengganggunya lagi sekarang.
(*) Pamulang, 19 Februari 2015.
wan menggelayut malas di langit yang kian membiru. Tadinya
hujan ingin datang. Namun di tengah-tengah ia urung. Maka awan tidak
jadi mengganti warnanya. Semuanya tetap putih. Kalau kata orang, awan
seputih kapas. Padahal awan merasa umurnya lebih lama ketimbang
kapas. Harusnya kapas yang seputih awan.
Ternyata hari ini hujan tidak ingin mengecewakan Negeri
Matahari. Kabarnya bulan akan menutupi matahari secara total pagi ini.
Kejadian yang sangat jarang terjadi. Bisa dibilang, terakhir bulan
melakukan itu sekitar beberapa puluh tahun silam. Sedangkan Negeri
Matahari selalu kedapatan cahaya matahari secara melimpah dan
menyinari negeri tersebut sepanjang hari. Termasuk pada malam hari,
meskipun cahaya matahari sedikit redup di waktu malam.
Sementara pasir hitam di Pantai Sulamadaha tertatih tertahan
saat dua pasang kaki menginjak-injaknya sejak jam lima pagi tadi. Mereka
sepasang kekasih yang diam-diam keluar dari rumah yang terletak
puluhan kilometer jauhnya dari pantai. Sambil berlari-lari kecil, mereka
menenteng teleskop ukuran sedang dan tas yang berisi kacamata hitam.
Katanya akan ada gerhana matahari total hari ini.
Mereka akhirnya selesai memasang teleskop yang diletakkan di
atas penyangga. Waktu mereka masih panjang hingga gerhana datang.
Ombak di kejauhan bergulung lembut. Namun mereka sudah siap akan
datangnya gerhana.
“Aku membuatkanmu sandwich tuna,” kata si Perempuan.
“Terima kasih. Kamu tahu saja aku sedang lapar. Hehehe,” ucap
si Laki-laki.
“Masih sepi ya.” Perempuan berkata sebagai balasan ucapan
kekasihnya.
“Mereka tidak tahu ini tempat yang sempurna untuk melihat
gerhana. Kebanyakan mereka menikmati di pusat kota atau Gunung
Gamalama. Biarlah. Supaya kita bisa menikmatinya berdua,” jawab si
Laki-laki yang kemudian mulutnya penuh dengan sandwich tuna.
“Mmmm nyammm nyammm. Enakkk. Kamu mau?” si Laki-laki
menawari kekasihnya.
“Tidak, ah. Kalau aku sarapan sekarang aku bisa muntah,” ujar
si Perempuan.
Mereka berdua duduk di pasir hitam dan diselubungi selimut.
Nikmat benar rasanya. Apalagi bagi pasangan yang sedang dimabuk
asmara. Mereka tidak tahu, orang-orang di Gunung Gamalama juga
sedang diselubungi selimut sambil menanti gerhana. Bedanya mereka
beramai-ramai. Wajar jika agak berisik.
“Ma, gerhana itu apa sih?” tanya seorang anak berumur lima
tahun kepada mamanya di puncak Gunung Gamalama.
“Gerhana itu ada dua. Kalau bulan menutupi matahari namanya
gerhana matahari. Kalau matahari menutupi bulan namanya gerhana
bulan,” jelas si Mama.
“Kalau yang sekarang, namanya gerhana apa?” si Anak bertanya
lagi.
“Yang sekarang namanya gerhana matahari, Sayang,” jawab si
Mama.
“Mengapa bukan gerhana bulan?” Anak ini memang pensaran
betul. Maklum, kosakata gerhana baru pertama kali dia dengar sekarang.
“Karena sekarang, matahari ditutupi oleh bulan. Karena juga,
terjadinya di pagi hari,” si Mama masih sabar.
“Oh, begitu. Kalau Mama menutupiku, namanya gerhana apa
dong?”
“Hahaha. Gerhana itu hanya terjadi pada bulan dan matahari,
Sayang. Kamu memang ketutupan Mama, ya? Sini, duduk di depan
Mama.” Si Mama kemudian mengangkat putri kecilnya duduk di
pangkuan.
Mereka berdua baru saja ditinggal pergi oleh orang tersayang.
Ayah si Anak dan suami si Mama. Pasalnya pria itu ketahuan korupsi dan
beritanya tersiar ke mana-mana. Karena malu dia melarikan diri ke hutan
rimba di jantung kota. Kemarin jenazahnya ditemukan tercabik hewan
buas yang diperkirakan seekor buaya.
Mama dan anaknya itu hanya sepasang dari ratusan pasang
lainnya yang sedang menanti gerhana di Gunung Gamalama. Mereka
sibuk dengan obrolan masing-masing tentang gerhana atau perkara
lainnya. Sisanya pura-pura sibuk mengecek teleskop yang sama-sama
mengarah ke timur. Yang lain sudah bergaya selfie dengan kacamata
hitamnya. Tinggal unggah ke Instagram dan Path, kemudian di-like
banyak orang, dan orang-orang mengikuti bergaya seperti dirinya.
Namanya juga followers.
Bukan hanya Pantai Sulamadaha dan Gunung Gamalama.
Beberapa tempat lainnya di Negeri Matahari juga menjadi sedikit
berbeda. Orang-orang berduyun-duyun mendekati tugu kota. Ada orang-
orang yang ikut-ikutan menyaksikannya lewat pusat astronomi. Ada juga
yang duduk diam di rumah tidak tahu apa-apa. Namun sebagian memilih
menyetel televisi karena gambarnya lebih jelas.
Kemudian ada juga yang sudah stand by di tempat ibadah untuk
melaksanakan salat gerhana. Tapi ada agama lain yang sedang merayakan
tahun barunya. Mereka khusyuk bersyukur dalam diam dan sengaja
membatasi diri dari berbagai macam hiburan.
Sedangkan salah satu sekolah dasar menyelenggarakan kegiatan
sebagai melihat gerhana bersama. Anak-anak kelas satu sampai enam
dikumpulkan di lapangan sekolah. Hanya sebagai alasan untuk belajar
ilmu pengetahuan alam.
Daerah lain melaksanakan ritual-ritual adat yang hanya ada di
daerahnya. Konon, gerhana adalah waktu ketika raksasa memakan
matahari. Mereka sudah tidak takut lagi sekarang. Justru pemberian
korban berupa anak perawan sebagai penggantinya. Tentu saja mereka
berharap bahwa raksasa tidak perlu repot-repot memakan matahari dan
membawa pergi gadis perawan tersebut.
Seorang fotografer sibuk mengatur cahaya di kameranya. Setelah
posisinya sempurna, kameranya menunjukkan proses ketika gerhana
berlangsung. Tidak ingin diam saja, dia juga mengabadikan gambar
tersebut lewat kamera telepon genggamnya yang disorot ke layar kamera
DSLR kesayangannya. Kemudian dia sebarkan di kelompok komunitas
pecinta fotografi.
Para mahasiswa ramai-ramai membicarakan tentang gerhana
dalam diskusi kecil di kampusnya. Mereka mengaitkan antara fenomena
alam ini dengan hal yang sedang terjadi di Negeri Matahari. Tidak lama
kemudian mereka berdemo meminta rektorat menghapuskan sistem
yang baru saja ditetapkan kampus.
Pembantu rumah tangga yang ikut-ikutan penasaran juga
memantau dari dapur majikannya. Dia sedang mencuci piring. Setelah
selesai mencuci lima piring, dia milihat ke lubang angin yang terdapat di
belakang rumah. Ternyata gerhana sudah memasuki fase pertama.
Terlihat seperempat matahari tertutupi kegelapan. Dia kembali mencuci
gelas-gelas yang berisi whiskey majikannya. Setelah selesai, dia kembali
mengamati matahari yang semakin tertutupi bulan.
Reporter di salah satu kota melaporkan keadaan terbaru dari
TKP perihal gerhana. Juru kamera dengan sigap merekam reporter
tersebut. Sedangkan juru kamera yang satunya lagi menyorot posisi
matahari menggunakan filter kamera untuk disiarkan secara langsung di
stasiun televisi tempatnya bekerja.
Para tahanan korupsi di lapas ujung kota masih sibuk dalam
ronde kedua permainan tenis meja. Mereka sudah menyiapkan kacamata
hitam untuk melihat gerhana nanti. Anggap saja selama menunggu
mereka sedang memantul-mantulkan matahari di atas meja tenis.
Para pelancong menuju tempat yang katanya menjadi pusat
gerhana matahari total. Dengan perbekalan yang mereka bawa, mereka
membentangkan tikar dan menuangkan teh ke dalam cangkir. Cangkir
tersebut masih terkena pancaran sinar matahari sedikit.
Para musisi menyanyikan lagu tentang gerhana. Mereka juga
mengubah aransemen musiknya. Jika terdengar mirip puji-pujian
terhadap Sang Pencipta gerhana matahari.
Para pemain film sejenak bungkam ketika bulan perlahan
berjalan menutupi matahari. Naskah yang mereka telah hafalkan
mendadak lenyap dari kepala. Mulut mereka bingung ingin mengucapkan
apa. Akhirnya mereka memutuskan untuk mengandahkan mata ke langit
demi melihat bulan yang sedang bergerak.
Para penyair berlomba-lomba membuat puisi tentang gerhana
agar dimuat di koran Minggu. Mereka membuat bait demi bait,
menyatukan rima, dan menyelaraskan kata. Maknanya masih tentang
matahari, bumi, dan bulan.
Para koki memasak makanan gerhana. Warna masakan itu
oranye kemerah-merahan. Sebagian lagi sengaja dibuat hitam. Mungkin
memang gosong karena disengaja. Rasanya enak luar biasa. Ternyata para
koki itu telah memecahkan rekor dunia.
Para pejabat masih mengisi bahan bakarnya di pom bensin dekat
rumah. Untuk sementara pikiran mereka teralih ke gerhana. Kertas yang
menantikan tanda tangan mereka masih tertumpuk tak berdaya di meja
kantor.
Para gubernur menyelenggarakan festival gerhana di kotanya
masing-masing. Mereka berpidato tentang gerhana. Meskipun
sebenarnya yang membuatkan teks pidato itu adalah asistennya.
Para wisatawan mancanegara berbondong-bondong datang ke
Negeri Matahari. Di negara mereka memang masih musim semi. Apalagi
jarang terjadi yang namanya gerhana matahari.
Para tukang bangunan sedikit-sedikit melirik ke arah matahari.
Padahal tanpa sadar tangannya terpaku di tembok yang sedang dibuat.
Kakinya tidak sengaja tercangkul. Semen yang sedang mereka ayak
berhamburan ke tengah jalan. Bulan semakin membuat alam sekitarnya
gelap.
Pilot sengaja menerbangkan pesawatnya mendekati matahari
dan bulan. Mereka ingin penumpang menyaksikan gerhana matahari
sangat dekat, tidak seperti orang-orang yang berada di bawah sana.
Senang rasanya ketika mendengar decakkan kagum dari para penumpang.
Hal itu menjadi kepuasan tersendiri bagi para pilot yang sering berjumpa
dengan matahari di angkasa.
Nahkoda mematikan mesin kapalnya di tengah samudra. Suara
hentakkan kaki memenuhi dek kapal. Dari dalam ruang kemudi, nahkoda
itu turut menyaksikan gerhana yang pernah dia saksikan sebelumnya tiga
puluh tahun silam.
Masinis sedang menanti rambu hijau dari ujung stasiun.
Sementara di depannya terpampang bulan semakin menutupi matahari.
Air di matanya meleleh karena ingat istrinya sedang berjuang melahirkan
anak pertama mereka.
Ibu yang sedang melahirkan anaknya mengerung keras memecah
kehampaan ruangan persalinan. Dia telah berjuang sekuat tenaga demi
mengeluarkan anak pertamanya. Suami ibu itu sedang bertugas
menjalankan kereta. Dia berpesan agar anak pertama mereka diberi nama
Gerhana.
Dokter yang sedang operasi merobek perut si pasien. Dengan
dibantu suster, dia memindahkan ginjal yang mirip seperti bulan ke
nampan yang sudah disterilkan. Ternyata pasien itu memiliki tiga ginjal,
sehingga menutupi dua ginjal yang lain.
Para kekasih yang baru putus cinta saling tampar di bawah
semburat matahari yang kian menipis. Mereka berteriak mengeluarkan
kata-kata semaunya. Yang terpenting jiwa mereka bebas dan tidak
terkungkung kepalsuan lagi ketika bercinta.
Para kekasih yang baru merajut cinta berpeluk hangat di tengah
cengkeraman kesejukkan yang diciptakan bulan. Alam di sekitarnya mulai
gelap, menyusul terbentuknya kepekatan yang hampir sama seperti
malam. Seperti yang dibisikkan ke telinga sang kekasih, “Bulan sedang
menjaga matahari.”
Para suami istri yang baru menikah memutuskan untuk membeli
rumah di atas bukit. Supaya bisa melihat gerhana lebih jelas, supaya bisa
menjangkau langit lebih dekat, supaya bisa berharap terbang lebih
mudah. Seperti sekarang, rasanya dunia hanya milik berdua.
Para suami istri yang baru bercerai tidak peduli gerhana sedang
terjadi. Mereka sibuk mengurus harta gono gini. Hitung menghitung,
harta mereka ternyata lebih banyak milik suami.
Para arsitek yang sedang mengukur luas bangunan mengelap
peluh yang sebenarnya tidak terlalu banyak. Dia sudah lelah karena belum
menemukan ukuran yang seimbang untuk bangunan yang sedang
dikerjakannya. Sejenak dia duduk dan tergugu menatap langit. Pantas saja
udara terasa sejuk sesaat, sekitarnya mendadak gelap. Dia baru ingat jika
gerhana sedang terjadi.
Para polisi yang sedang mengatur jalan raya meniup peluit
sebagai tanda berhenti bagi yang melanggar. Dia mengeluarkan surat
tilang. Pengendara nakal itu kemudian berkata, “Tidak usah ditilanglah,
Pak. Kan sedang gerhana.”
Penantian terhadap gerhana akhirnya usai, karena gerhana
sedang terjadi sepenuhnya seperti yang diberitakan di televisi-televisi
nasional maupun lokal. Orang-orang gegap gempita menyambut
kedatangan gerhana. Mereka semua serta merta sibuk dengan kegiatan
masing-masing ketika gerhana.
Ada yang berdoa, bersorak, menangis, tersenyum, berjingkat-
jingkat, terdiam, meniup terompet, menyalakan petasan, mengabadikan
menjadi foto, merekam menjadi video, dan lain sebagainya. Semua warga
Negeri Matahari sedang menikmati gerhana matahari. Diperkirakan
gerhana terjadi selama dua menit, tidak kurang tidak lebih.
Mata semua orang terfokus ke titik hitam itu. Semburat matahari
terpancar dari sisi-sisi bulan. Sungguh indah. Fenomena yang sangat
jarang terjadi.
Tanpa mereka sadari, sudah sepuluh menit gerhana terjadi.
Namun bulan masih berada di tempatnya, menutupi matahari, dan tidak
ingin bergeser. Orang-orang belum menyadari keanehan ini. Sampai
mereka tertarik mendengar teriakan di kejauhan.
“Gerhana abadi! Gerhana abadi!!” teriak orang itu.
Orang-orang lain menjadi tersadar bahwa gerhana memang tidak
beranjak. Mereka semua panik. Bahkan ada yang menyebut kiamat akan
datang dalam hitungan menit.
“Tidak mungkin kiamat! Coba buka buku agamamu. Kiamat
tidak seperti ini!” seru seorang pria tidak mau kalah.
Badan-badan astronomi seluruh negeri berkecimpung dalam
monitor dan teleskopnya. Mereka berusaha tenang. Meski pada akhirnya
mereka menemukan jawaban.
“Bulan tidak akan meninggalkan matahari.” Ketua pusat
astronomi di tengah kota Negeri Matahari akhirnya memberikan
kesimpulan.
“Mana mungkin?! Fenomena ini tidak pernah terjadi
sebelumnya!” seru bawahannya yang tidak mau kalah.
Sudah enam jam, dan gerhana masih setia menemani Negeri
Matahari. Orang-orang yang awalnya menantikan gerhana sekarang
meminta agar gerhana itu cepat pergi. Mereka membutuhkan matahari.
Jika tidak, bagaimana mereka menjemur pakaian, menjemur bayi, dan
menikmati siang?
Berita sudah tersiar tentang gerhana yang abadi. Warga Negeri
Matahari menjerit ngeri. Bagaimana ini bisa terjadi? Mereka bertanya-
tanya dalam hati.
Ayam-ayam tidak keluar dari kandang. Tanaman malam
memancarkan keindahannya. Burung hantu mulai mengeluarkan suara.
Sementara orang-orang masih berkutat tentang segala kemungkinan
terhadap gerhana yang menimpa negeri.
Padahal sekarang jam dua siang. Seharusnya matahari dengan
nakal bersinar menerangi seluruh negeri. Namun saat ini matahari
bersembunyi di balik bulan. Malu-malu dia mengintip, namun kemudian
kembali lagi.
Matahari terkekeh geli. Senang rasanya mengerjai orang-orang
Negeri Matahari. Dia ingin dirindukan seperti layaknya pelangi yang
hanya datang ketika habis hujan. Sudah terlalu sering matahari muncul
dalam semilyar tahun terakhir di negeri itu.
Kepanikan merajalela. Orang-orang menggugat matahari yang
selama ini mereka senangi. Mereka menuntut agar matahari cepat keluar.
Yang religius memohon kepada Tuhan agar keadaan kembali normal.
Sementara matahari masih statis di tempatnya.
Ramai-ramai mereka menuju bukit paling tinggi di negeri itu.
Kemudian mereka berteriak dengan keras.
“Wahai, matahari! Keluarlah kau!! Kami semua menunggu dan
menantikanmu!”
“Ya! Kami membutuhkanmu, matahari! Tanpamu kami tidak
akan bisa hidup sejahtera seperti sebelumnya.”
“Katakan, matahari. Apa yang kamu inginkan dari kami? Akan
kami berikan apa pun permintaanmu!”
“Matahari, oh matahari. Cahayamu selalu menjadi penerang
kehidupan kami di negeri ini. Sinarmu sanggup meluluh lantakkan
kegelapan yang menyerang. Datanglah, matahari. Kami merindukanmu.”
Si Laki-laki dan Si Perempuan baru saja tiba dari Pantai
Sulamadaha. Mama dan Anak baru sampai dari Gunung Gamalama.
Mereka tidak bisa ikut naik sampai ke puncak untuk menggugat matahari.
Maka mereka menunggu saja di bawah, mendengarkan curahan hati
orang-orang yang meminta matahari untuk kembali bersinar.
***
Dua puluh tahun kemudian, matahari masih bersembunyi di
balik bulan. Seluruh warga Negeri Matahari mencoba mengikhlaskan
matahari. Kini, negeri mereka berubah nama menjadi Negeri Bulan.
(*) Pamulang, 9 Maret 2016.
Pukul 14:31, 5 jam setelah gerhana matahari.
mbusan angin yang mendesah berhasil membuat beberapa
helai daun nyiur melambai. Di antara bonggol-bonggol nyiur itu ada pula
yang berhasil dibuat jatuh oleh angin. Nyiur tersebut kemudian
menggelinding menyusuri ketinggian pohon, terus turun hingga
menapaki pasir yang membuat lajunya sedikit terhambat. Nyiur itu
kemudian berhenti di samping seorang pria yang sedang duduk menatap
hamparan laut dan langit yang terlihat menyatu.
Pria tersebut menoleh. Ternyata nyiur itu tidak cukup
membuatnya tertarik. Dia kembali tenggelam dalam pikirannya yang tak
berhenti menggelayuti benak. Satu, dua, tiga, seakan tidak terhitung
masalah selalu bercokol di dalam benak pria tersebut. Kemudian, diam-
diam pria tersebut merasakan getaran kerinduan akan sesuatu. Pria itu
adalah aku.
Apakah kepada tempat ini? Kuta memang selalu menawarkan
keindahan. Tidak heran jika banyak turis domestik ataupun asing yang
singgah di pantai ini. Aku pun tidak pernah bosan berkunjung ke Kuta
meskipun hampir ratusan kali jejakku tertoreh manis di hamparan pasir
ini. Meski keringatku sudah bercampur dengan air laut yang
menyelubungi setiap jengkal pantai ini.
Ataukah kepada seseorang yang belum mampu dijelaskan oleh
lisan. Siapa dia? Bli Nyoman? Tidak. Aku langsung tahu jawabannya. Aku
sempat mengabarkan kepadanya sebelum tiba di pantai ini. Kurasa dia
sedang menyiapkan makan malam untukku bersama Mbok Ketut.
“Bli, mau ditato? Ada yang permanen ada yang temporer. Bisa
dipilih.” Seorang pengerajin tato menghampiriku sambil menunjukkan
beberapa sampel tato. Sudah tiga kali dalam satu jam aku ditawari untuk
ditato. Aku hanya membalasnya dengan senyuman dan gelengan kepala.
Kemudian pengerajin tato itu pergi dari hadapanku.
Tato memang menjadi janjaan khas di tempat penuh turis seperti
ini. Tato permanen bergambar matahari yang terletak di dada sebelah
kananku sudah cukup. Meskipun sebenarnya tato memiliki daya tarik
tersendiri, yaitu membuat pemakainya ketagihan saat ditato, namun aku
sedang tidak menginginkan itu sekarang, atau mungkin juga nanti.
Entahlah.
Hari ini aku hanya ingin sendiri. Tanpa alasan khusus
sebenarnya. Atau mungkin karena terlalu banyak alasan, maka aku sulit
menjabarkannya satu per satu. Setidaknya, menikmati pemandangan laut
yang menghempas pantai membuatku tenang. Suaranya memang sedikit
bergemuruh. Itulah yang aku suka. Memberikan kesan yang dalam akan
sesuatu yang belum dapat aku temukan dengan kata-kata.
“Hey, Mister. I’m staring at you since two hours ago. You look alone.”
Seorang gadis Bali mendatangiku. Tiba-tiba saja dia sudah duduk di
sampingku.
“Just speak in Bahasa. I’m Indonesian. Aku memang sendiri. Jadi
kamu boleh pergi sekarang. Maaf dan terima kasih.” Aku berusaha
memberikan senyum ramah agar dia menuruti kata-kataku. Sungguh, aku
sedang tidak ingin diganggu oleh siapa pun. Termasuk para gadis yang
biasanya menjadi teman bicara saat aku sedang sendiri.
Tampaknya intonasi ketus tetap tidak dapat kusembunyikan.
Gadis itu yang awalnya terlihat baik mendadak bungkam dan melenggang
dari tempat duduknya. Raut wajahnya kecewa. Aku tidak peduli. Apalagi
kepada orang yang tidak aku kenal.
Satu atau dua gangguan tidak begitu masalah untukku. Yang
penting selepas itu, aku bisa kembali menikmati ketenangan. Pantai Kuta
selalu menyediakan yang aku butuhkan. Terutama masalah batin. Cukup
duduk di tepi pantai, aku sudah bisa merasakannya. Meskipun keadaan
pantai sebenarnya tidak setenang yang kau pikir, namun bagiku itu sudah
cukup.
Aku mengambil penerbangan pertama pagi tadi. Kurang dari
empat jam, pesawat yang aku tumpangi sudah mendarat mulus di
Bandara Nungrah Rai. Beruntung bandara itu memang dekat dengan
tujuanku yang sebenarnya. Aku hanya butuh waktu tidak lebih dari dua
jam setelah landing dan check-in hotel, hingga aku dapat melepas rindu di
pantai ini.
Segala persoalan berkelebat di benakku. Jika aku memikirkannya
sekaligus, itu akan membuat kepalaku pecah. Percayalah. Tidak semudah
yang kau bayangkan bisa menghadapi masalah besar dalam waktu
bersamaan.
Bukan, aku bukan seorang pengecut. Tentu saja itu jika kau
berpikiran aku melarikan diri ke Bali untuk menghindari masalah. Aku
hanya sedang ingin menetralisir pikiranku. Paling hanya butuh satu atau
dua hari, aku akan kembali ke Jakarta. Tapi untuk sekarang, jangan harap
bisa menggangguku. Karena siapa pun tidak akan bisa menghubungi Rein
sekarang.
Ngomong-ngomong, pembicaraanku dengan Bli Agung pagi
tadi tidak dihitung. Karena aku yang menguhubunginya terlebih dahulu.
Aku hanya ingin memastikan rumahku di daerah Denpasar bisa
dikunjungi hari ini. Tentu saja aku memiliki maksud terselubung. Agar
Bli dan Mbok menyiapkan segala kebutuhanku jika aku datang ke sana,
nanti. Setelah hasrat akan kepuasan batinku terhadap ketenangan di
tempat ini terpenuhi.
Kuta tidak terlalu ramai hari ini. Memang bukan musim liburan.
Lagipula kukira para turis asing pun sedang menikmati musim dingin di
negaranya. Pasti akhir-akhir ini Nenek juga sering membuat cokelat
panas. Suhu musim dingin di Austria tidak terlalu bersahabat. Khususnya
seperti orang yang terbiasa tinggal di daerah tropis sepertiku. Meskipun
ayahku dari Austria, aku mengikuti ibu untuk tetap menambatkan hati
pada Indonesia.
Masalah liburan, berbeda denganku. Yah, bisa dibilang aku
mencuri waktu liburan lebih cepat walaupun kurang dari seminggu.
Namun kiranya, belum ada yang mempermasalahkan tentang itu.
***
“Kita tidak bisa melanjutkan hubungan ini.” Dia berkata
kepadaku. Matanya menatapku tajam, tidak lembut seperti biasanya.
Tangan kanannya melepaskan cincin yang tertambat di jari manis tangan
kirinya.
“Maksudmu? Kamu pasti bercanda.” Aku masih tidak percaya
ketika mendengar kata-katanya barusan.
“Aku serius. Kamu tahu? Aku sudah sering memikirkan tentang
momen ini. Maafkan aku. Tidak seharusnya aku menerima lamaranmu
waktu itu.” Lagi-lagi dia berkata sangat enteng. Seperti tidak ada beban
sedikit pun.
Aku tidak membalas ucapannya. Namun aku berusaha mencari
sebuah kebenaran dalam diam. Ya, dia menginginkan itu. Untuk pergi
dariku. Tapi, kenapa? Aku masih tidak bisa terima.
Tanpa kusuruh, dia menjelaskan yang aku butuhkan. “Ragu,
Rein. Aku belum menemukan sosok yang aku butuhkan dalam dirimu.”
Semudah itukah? Dia kira selama ini untuk apa aku berkorban
demi dirinya? Mengapa dia tidak pernah bilang? Masih dalam diam, aku
meninggalkannya. Aku berjalan menuju lift untuk mencapai lantai paling
bawah dari salah satu gedung tertinggi di Jakarta. Sementara aku dapat
mendengar isak tertahan dalam dirinya sebelum aku masuk kembali ke
ruangan indoor.
Kala itu senja sedang berlangsung. Ditemani langit berwarna
kemerahan, aku yang hampir benci dengan cinta bertolak menuju rumah.
Sementara dia mungkin masih di sana bersama senja. Padahal senja juga
yang menemani kami untuk pertama kalinya ketika terucap kata “Ya” dari
bibirnya. Senja menemani ketika aku menjadi lelaki yang bahagia, di saat
yang lain menjadi lelaki yang begitu sedih.
Waktu berjalan begitu cepat, bukan? Persiapan pernikahan
tinggal sebentar lagi rampung. Undangan hampir disebar. Tiba-tiba dia
minta berhenti. Bukan sekadar berhenti sesaat. Namun mengakhiri
semuanya. Kisah cinta yang sudah kami rajut dua tahun belakangan.
Seorang yang kupercaya akan menjadi istriku, semudah itu dia
mengkhianati semua kepercayaanku. Sayangnya, masalah tidak berhenti
sampai di situ. Di tengah keterpurukan, perusahaanku mengalami angka
kerugian yang fantastis. Sialnya lagi, salah satu orang kepercayaanku
malah membawa kabur uang perusahaan.
Jika angka kerugian itu tidak segera diatasi, kemungkinan
terburuk adalah perusahaanku bangkrut. Aku tidak dapat membayangkan
ribuan karyawanku harus menganggur jika itu benar-benar terjadi.
Padahal meminimalisir pengangguran adalah cita-citaku, dan aku sudah
berhasil mewujudkannya. Kurang ajar benar jika itu membuat cita-citaku
kembali pupus.
Itu terjadi dua hari setelah Reni memutuskanku. Rasanya? Ya,
hampir mati.
Aku memutuskan untuk pulang lebih cepat. Tepat setelah aku
sampai di rumah, datang seorang yang sesungguhnya tidak aku kenal. Dia
berdiri di depan rumahku sambil menggedor-gedor pagar. Demi Tuhan,
apakah dia tidak melihat ada bel di bawah kotak pos di samping pagar?
“REIN! Buka pagar ini!!” bentak seorang ibu paruh baya yang
tidak pernah aku kenal. “Buka atau aku telepon polisi!!” hardiknya lagi.
Parto, keamanan di rumahku akhirnya membukakan pagar
setelah mendapat izin dariku. Tanpa salam tanpa permisi, ibu itu langsung
menyerobot masuk ke dalam rumah. Aku yang sudah siap menemui
orang gila ini langsung disemprot mentah-mentah olehnya.
“Rein! Kembalikan semua hartaku! Tidak sepantasnya kau
mendapatkan kekayaan ini! Ini adalah hak dari anakku!” bentaknya.
“Bisa kita bicara dengan kepala dingin? Saya tidak mengerti apa
yang anda maksud.” Aku menjawabnya dengan intonasi setenang
mungkin.
“Semua kekayaan yang kamu terima berasal dari suamiku! Dan
dia adalah ayah dari anakku! Kamu hanya anak dari istri simpanannya,
Rein. Tidak seharusnya kamu menikmati kemewahan sementara anakku
harus berusaha keras untuk mendapatkan sesuatu,” jelasnya. Ibu ini
memang sudah gila.
“Tunggu. Saya tidak mengerti maksud Anda.” Aku masih
berusaha tenang.
“Tentu saja! Kamu tidak akan mengerti kecuali Richard
menjelaskannya langsung kepadamu di depan wanita jalang itu, kamu,
aku, dan anakku.”
Ibu itu mengeluarkan kata, apa tadi? Wanita jalang? Aku
langsung sadar siapa yang dimaksud ibu itu. Dengan refleks aku
menggebrak meja kaca yang ada di depan kami. Langsung saja terlihat
retakkan di sepanjang meja itu. Bahkan aku melihat cairan merah darah
tercetak di meja itu.
Aku tidak merasakan sakit sedikit pun pada tanganku. Rasa sakit
itu dikalahkan oleh amarah yang begitu besar terhadap ibu gila ini. Berani-
beraninya!
“Saya tidak perlu penjelasan dari Anda. Saya minta Anda keluar
dari rumah saya. SEKARANG!” Amarahku meledak.
“Tidak! Aku harus mendapatkan apa yang seharusnya aku dan
anakku dapatkan!” Ibu itu tidak berhenti membentak.
Parto dengan sigap langsung memboyong ibu itu pergi.
“Lepaskan, kau satpam kampung! Aku sedang berbicara dengan
anak haram ini!” Bahkan ibu itu tidak berhenti menyerocos ketika kedua
tangannya dipegang erat dan dibawa pergi oleh Parto.
“Urusan kita belum selesai! Lihat saja, Rein! Kau akan
menyesal!” Ibu itu kembali menghardik. Aku masih mendengar sayup-
sayup suaranya bahkan setelah pagar rumahku kembali digembok oleh
Parto. Di waktu yang bersamaan, senja datang bersamaan dengan semilir
angin yang membuat aku kembali tenang.
***
Bahkan diumurku yang terbilang sudah mapan, aku belum
sanggup menstabilkan emosi secara cepat. Aku butuh waktu. Setidaknya
beberapa saat hingga aku dapat kembali normal seperti biasa.
Setelah semua masalah itu menumpuk dan tidak dapat aku
bendung, aku memutuskan untuk pergi. Persetan dengan Reni, dengan
perusahaanku, dengan ibu paruh baya itu. Kuta menyimpan kenangan
manis. Setidaknya sampai saat ini selalu begitu.
Entah mengapa mendadak aku bersyukur tidak melamar Reni
di sini. Jika aku melakukannya di Kuta, tidak ada lagi tempat spesial dalam
hidupku. Omong-omong, kuingatkan padamu. Kemiripan dalam inisial
bahkan susunan nama terhadap lawan jenis tidak serta merta
menunjukkan dia adalah jodohmu.
***
Beberapa tahun yang lalu, ketika semua kenangan itu bermula.
Aku terduduk di Pantai Kuta. Saat itu aku mengamati sesosok wanita
yang mungkin tidak menarik bagi kebanyakan orang. Dia terlihat lugu
dan kikuk. Namun aku menyukai caranya berjalan dan melakukan segala
kegiatannya.
Bukan satu atau dua hari aku melakukan pengamatan. Hampir
tiga bulan. Sampai pada suatu hari, kami ditakdirkan untuk duduk
berdampingan. Aku sudah mengetahui beberapa hal tentang dirinya. Tapi
dia belum mengenalku sejauh aku mengenalnya.
“Aku menyukai senja.” Perempuan dengan rambut panjang
dengan poni hampir mentup mata itu akhirnya angkat suara. Ada sesuatu
yang masih tersembunyi di dalamnya. Aku belum bisa menguak itu
semua. Namun seketika aku mendapati matanya yang tertuju kepadaku,
rasanya tubuhku seketika membeku. Senyumnya yang jarang terlihat
membuatnya begitu manis ketika melakukannya.
“Karena namamu Senja.” Tanpa berbasa-basi aku
menyebutkannya secara gamblang di hadapannya.
Aku menatap wajahnya. Sungguh, dia sangat manis jika
tersenyum seperti itu. Kapan terakhir aku melihatnya tersenyum? Kukira
belum pernah. Pantas saja senyumnya begitu menawan.
“Selain itu, aku sangat menyukai warna langit ketika senja.
Warna-warna cerah akan bergradasi. Ungu, oranye, merah, kuning.
Sangat manis dan menawan,” jelasnya. Aku belum pernah mendengarnya
bicara sepanjang ini. Suaranya terkadang terdengar bergetar, ragu, namun
lembut dan membuatku ingin terus mendengarnya.
Kemudian, penjelasannya tadi tentang warna langit saat senja.
Demi Tuhan, dia memiliki kesukaan yang sama kepadaku tentang senja.
Sejak dulu aku pun selalu menyukai warna langit sebelum matahari
tenggelam. Bagaikan semua spektrum warna bercampur menjadi satu,
menghasilkan guratan-guratan kecantikan senja yang sebenarnya.
Terkadang aku bergumam dalam hati. Senja. Masihkah kau di
sana? Menanti sesuatu yang belum pasti itu? Andai saja kamu tidak memiliki
kesetiaan yang berlebih kepada pria yang beruntung itu, aku akan menjamahmu
dalam pelukku. Jauh sebelum Reni tiba di hidupku dan menghancurkan semuanya,
aku sudah mencintaimu.
Bagiku, Senja masih perempuan yang tidak bisa kugapai. Bahkan
dalam keadaan aku yang sekarang single dan segera melupakan Reni, ia
begitu jauh. Bukan karena aku tidak ingin. Namun karena aku tidak
memiliki kesempatan. Atau kuharap, belum.
***
Menikmati senja di Pantai Kuta merupakan sesuatu yang
diinginkan oleh kebanyakan orang. Matahari perlahan akan turun ke
barat. Kelihatannya seolah tenggelam ke dalam laut. Langit kesukaanku
akan berubah menjadi gelap. Matahari digantikan oleh bulan.
Indah jika itu dilewati oleh orang yang berarti dalam hidup kita.
Namun aku belum menemukan orang itu. Lupakan Reni. Dia bukan
orang yang akan menancapkan jangkar di relung hatiku.
Aku harap, jangkar itu akan tertambat kepada Senja. Sial.
Mengapa ketika aku ingin tenang, kenangan tentang Senja malah
membuat dada ini berdegub dua kali lebih cepat? Rein, kontrol dirimu. Aku
berusaha mengingatkan diriku sendiri.
Yap. Aku berhasil. Jika aku terus termaktub pada masa lalu, aku
tidak akan bergerak maju. Senja adalah masa laluku. Dia memang cinta
pertamaku. Namun cinta pertama belum pasti menjadi cinta sejati dan
cinta terakhir, bukan?
Bersama senja yang mulai menghilang, aku berharap semua
permasalahanku pun menghilang. Tidak serta merta secara langsung.
Paling tidak aku dapat menyelesaikannya dengan lancar.
Langit senja juga membawa senjaku pergi. Keheningan Pantai
Kuta di malam hari selalu terpecahkan oleh ombak yang menghantam
pantai. Jika Senja belum pergi, mungkin aku akan mengaitkan jari-jariku
kepada jari-jarinya. Berharap angin malam akan membuat kami hangat
meskipun dalam jarak yang masih diperbolehkan.
Jika itu terjadi, aku tidak akan berpaling. Tidak kepada Reni atau
perempuan mana pun di muka bumi. Hanya untuk dan kepada Senja.
Bagiku, dia yang pantas menerima cinta seorang Rein. Meskipun
sebaliknya, aku belum tentu pantas menerima cintanya.
(*) Pamulang, 24 Februari 2015.
ihan terus mencari. Melangkah satu demi satu, melewati
ribuan rintangan yang kian lama kian melebar. Terantuk jatuh beberapa
kali. Ingin menyerah, tapi urung. Ingin berpaling, tapi rindu. Ingin
menyangkal, tapi penasaran.
Jatuh, bangun, ia hadapi dengan ketegaran tanpa sandaran. Kian
hari kian berdebu. Mencoba untuk bertahan demi pertemuan yang kerap
dia rasakan meski lewat angan.
Orang-orang di sekelilingnya lebih sering menanamkan
ambiguitas tentang arti sebuah kata sayang. Sementara Jihan kerap
bertanya seperti apa sayang itu. Sayang yang nyata, suci, asli. Sayang dari
seorang ibu.
Hingga ia tergolek ketika suhu tubuhnya memanas, namun
dingin yang ia rasakan. Terlihat kuat padahal lemah. Orang-orang di
sekelilingnya menolong agar suhu tubuh Jihan menjadi normal. Jihan
dibelai, dipeluk, diberi obat. Hatinya diam-diam menolak. Raga Jihan
sembuh, tapi hatinya berlubang.
Ke mana sosok yang katanya disebut ibu itu? Ibu yang Jihan
kenal bernama Bu Ratih. Bu Ratih memiliki dua orang anak. Mas Handi
dan Mbak Tiar. Kedua anaknya menyayangi Jihan. Kata mereka, Jihan
adalah adik kesayangan.
Perih ketika mengetahui Jihan tidak pernah berada di kandungan
Bu Ratih. Kelu lidah Jihan ketika mengucap kata ‘Ibu’ untuk Bu Ratih.
Meski Jihan telah mendapatkan kasih sayang berlimpah bagai air di
samudra darinya, namun sudut hatinya menyangkal. Tidak ingin Jihan
durhaka kepada Ibu yang selama ini merawatnya dengan penuh kasih.
Meski segenap kehadiran yang kerap membelenggu perasaan ini terus
bergejolak demi menghindari sebuah pengakuan kasih dari Bu Ratih.
“Jihan ingin pergi,” kata Jihan suatu pagi. Sanggup
menghentakkan lamunan Bu Ratih di pagi hari. Ia sedang beristirahat
karena baru usai memasak makanan kesukaan Jihan.
“Boleh. Jihan mau pergi ke mana? Ada keperluan apa? Dengan
siapa?” Pertanyaan Bu Ratih berentet. Wajar untuk ukuran ibu yang
senang menjaga anak perempuannya ketika ingin bepergian.
“Jihan ingin mencari ibu.”
Wajah Bu Ratih bisu. Warnanya pias. Dahinya mengeluarkan
peluh yang tak diizinkan. Dia ingin mengusap tapi terlanjur lemas.
Napasnya tersengal, menaburkan butiran karbon dioksida di sekeliling
ruangan. Membuat Jihan ikutan sesak. Tapi, Jihan bertahan. Ia tidak ingin
meneteskan butir-butir cairan yang biasanya keluar dari mata.
“Ini ibumu, Jihan.” Bu Ratih berusaha berucap. Meski debam di
dadanya semakin kentara. Bu Ratih menunjuk dirinya sendiri.
“Jihan menemukan ini.” Jihan menyerahkan secarik surat adopsi
yang sekarang terpampang di depan wajah Bu Ratih.
“Dari mana kamu mendapatkan itu?!” Bu Ratih mendadak
marah. Emosinya yang tidak stabil membuatnya mudah bergejolak.
Dengan kasar Bu Ratih merebut kertas adopsi itu dari Jihan.
Refleks dia menampar Jihan. Jihan tersungkur. Semakin terluka.
Kepercayaannya hilang. Hidupnya sejenak runtuh. Dalam senyap Jihan
bangkit, berlari menuju pintu keluar, tidak menoleh ke belakang, dan
tidak pernah kembali.
***
Ah, Jihan. Andai kamu tahu. Sejak itu Bu Ratih jatuh sakit.
Penyesalan memang selalu datang terlambat. Dalam buaian terlembut
yang dapat diberikan Mas Handi dan Mbak Tiar, Bu Ratih memutuskan
menyerah dengan kehidupan. Rahasia tentang Jihan hanya Bu Ratih dan
suaminya, Pak Handoko yang tahu. Sedangkan Pak Handoko sudah
terlebih dahulu beristirahat di keabadian ketika Jihan masih bayi.
Ah, Jihan. Andai kamu tahu. Mas Handi dan Mbak Tiar telah
berusaha keras menemukanmu. Berbulan waktu mereka luangkan untuk
menjemput adik kecil kesayangan. Tapi kamu selalu bersembunyi,
tertutupi kekecewaan dan luka yang kian hari kian dalam. Kamu
menghindar dalam pertanyaan yang tidak akan kamu dapatkan
jawabannya.
Ah, Jihan. Andai kamu tahu. Bu Ratih tidak pernah menganggap
kamu berbeda dari Mas Handi dan Mbak Tiar. Kamu adalah bidadari
kecilnya yang kerap ia belai ketika kamu kecil. Harapan kesucian akan
kamu di kubangan kehidupanmu telah tersemat di sela-sela doa yang ia
minta kepada Yang Maha Kuasa. Kasih sayangnya kepadamu tidak
terbatas. Ia tidak melihat siapa dirimu di masa lalu. Karena Bu Ratih
membutuhkanmu sebagai penjaga hatinya di kehidupanmu dan
kehidupannya.
Jihan, sejak kepergian lelaki yang seharusnya kamu sebut ayah,
meski dia bukan ayah kandungmu, jiwa Bu Ratih pincang. Emosi
kemarahan sering keluar tanpa ia minta. Padahal dia tidak ingin.
Kepergian kekasih hatinya membuat kelembutan Bu Ratih ternodai.
Padahal dia sosok yang tidak mungkin menyakitimu. Maafkan Bu Ratih,
Jihan.
Jihan, pulanglah. Mas Handi dan Mbak Tiar masih
menunggumu. Mereka merindukanmu. Ucapkan salam sederhana
namun sanggup memberikanmu pelukan hangat dari kedua orang yang
tersisa untukmu saat ini. Meski mungkin saat ini kamu menanggap dirimu
sebatang kara. Tidak, Jihan. Kamu tidak sendiri seperti yang kamu kira.
Tapi, Jihan tetap melangkah. Tubuhnya kurus. Dia mencoba
mencari pekerjaan untuk mengganjal perut. Sehari-dua hari, kemudian
dia berhenti. Jiwanya tidak tenang. Raganya semakin rapuh.
Kemudian dia kembali mencoba bekerja lagi. Seperti itu terus
sampai dirinya bosan. Hingga ia memutuskan untuk tidak bekerja.
Menyerahkan hidupnya untuk mencari sosok ibu. Bertahan dalam
kenestapaan sendirian.
Malam-malam dihiasi oleh bunga tidur yang terkadang membuat
Jihan terjaga. Bu Ratih sering hadir di mimpinya. Tapi, ada juga sosok
perempuan tak berwajah yang ada di belakang Bu Ratih. Jihan meyakini
itu adalah ibu yang dia cari. Ibu yang dia cari dan tidak akan pernah
ketemu.
Jihan, wajar jika kamu penasaran. Tidak ada yang
menyalahkanmu. Kamu hanyalah satu dari banyak orang yang menjadi
korban kekejian tahun ’65. Waktu itu kamu hanyalah seorang bayi tidak
berdaya. Ibumu direnggut serdadu bersenjata. Tubuhnya jatuh di
samping dirimu yang terus menerus meneriakkan tangisan meminta susu.
Ibumu bekerja demi nutrisi yang cukup agar bisa memberimu
susu. Pak Handoko dan Bu Ratih adalah majikannya ketika itu. Meski
hanya seorang buruh, tapi ibumu tegar seperti karang. Tidak goyah meski
desas-desus terus mengikuti ke mana pun ibumu melangkah. Tetap
menjaga dan melindungimu agar kamu selamat dan kelak tumbuh
menjadi orang yang tidak munafik.
Jihan, ketika Bu Ratih dan Pak Handoko melihatmu untuk
pertama kali, jiwa mereka remuk. Rasa sayang yang tidak diminta
mendadak muncul terhadapmu. Menyergap dan melepaskan batas-batas
antara ikatan lahir dan batin.
Peduli benar apakah Bu Ratih pernah mengandungmu atau
tidak. Apakah kasih sayang yang Bu Ratih berikan selama ini tidak cukup
bagimu? Ataukah kamu hanya sakedar ingin melampiaskan nafsu
penasaranmu terhadap sosok yang bernama Ibu itu?
Sekarang Jihan tergolek lesu. Sekarang hanya belaian angin
malam yang ia dapatkan. Sekarang ia merasa kesia-siaan menyelimuti.
Sekarang ia sadar, ego terkadang menyesatkan.
Suara lemah merobek keheningan malam. Suara itu datang dari
Jihan. Suara dari sepotong kalimat tentang keinginan besar yang tidak
terkabul dalam sekian juta permintaan.
Suara kejujuran dari seorang Jihan. “Ibu, aku merindukanmu.”
(*) Pamulang, 15 Januari 2016.
Terbit di Qureta.com.
(?) ...
PART 1

RANGGA
ku seorang superstar. Hanya satu kali lirik, wanita yang aku
inginkan akan bertekuk lutut untukku. Tanpa perlu bersusah payah, aku
mendapatkan apa yang aku mau. Itu semua terjadi tidak seperti, cring.
Simsalabim. Omong kosong. Aku merintis karierku dari nol.
Setiap yang berusaha dengan sungguh-sungguh, kelak akan
mendapatkan nikmat. Adil, bukan? Aku senang dengan prinsip itu.
Bukan seperti orang-orang yang tong kosong nyaring bunyinya. Aku
memang nyaring bunyinya. Tapi, otakku penuh. Jika tidak, aku tidak akan
seperti sekarang.
Konserku malam ini berjalan dengan sukses. Semua crew puas
dengan penampilanku. Fans-ku yang kebanyakan wanita berteriak
histeris. Mereka meminta aku menyanyi lebih ketika aku melangkah turun
dari panggung. Para pemain musik yang telah membantuku memberikan
pelukan selamat.
Sepuluh orang dancer langsung mengangkatku menuju ruang
ganti. Layaknya seorang setelah melakukan body surfing, mereka sedikit
menambah adrenalinku. Kemudian aku sampai di ruang ini dan Tania
sudah menungguku. Tanpa basa-basi dia langsung melontarkan
pernyataan yang sedikit mengganggu.
“Besok kita ada intervew di Channel 9. Setelah itu kamu akan
makan malam bersama salah satu fans-mu yang beruntung.”
Singkat, padat, dan jelas. Dia selalu seperti itu. Omong-omong,
Tania adalah kakakku. Sialnya dia merangkap tugas sebagai manager-ku.
Dua puluh satu tahun bersamanya tanpa harus bekerja sama sebenarnya
sudah cukup membuatku menderita. Namun entah ada wangsit apa, aku
mempercayakan semua jadwalku diatur olehnya.
“Demi Tuhan, Tania. Tidakkah kau ingin memberikan pelukan
hangat kepada adikmu yang tampan ini? Aku baru saja menyihir hampir
seluruh orang di negeri ini dan kamu tidak kagum sedikitpun? Pantas saja
Jordan memutuskanmu. Kamu terlalu kaku dan tidak memiliki selera
laki-laki yang bagus.”
“Dengan atau tanpa aku memberikan selamat untukmu, kamu
akan tetap bekerja untukku. Jadi, itu bukan masalah besar. Adik kecil, just
grow up. You look money for me and I will give you a fame,” ujarnya dengan suara
datar.
“Jika kamu bukan kakak kandungku, aku akan menjebloskanmu
ke panti rehabilitasi.” Aku tidak mau kalah.
“Aku lapar. Sepertinya makanan Asia akan enak untuk
sekarang.” Itu balasan dari pembalasanku barusan. Sungguh, dia memang
sangat menyebalkan. Kenapa aku bisa menyayanginya?
Kemudian, ohhh aku baru sadar bahwa perutku sudah menjerit.
Terakhir perutku terisi makanan adalah tadi pagi. Bukan, kemarin pagi.
Bagaimana bisa aku bertahan tidak makan selama itu sementara aku baru
saja melangsungkan konser yang maha hebat? Aku baru ingat aku hanya
mengganjalnya dengan kopi sebelum naik ke atas panggung.
***
Sepiring deep fried honshemeje mushroom in spicy salt sudah aku
habiskan sebagai makanan pembuka. Jamur yang digoreng dengan
bumbu pedas-asin memang sanggup membuat lidahku bergoyang. Tidak
lama aku menyelesaikan makanan pembuka, makanan utama pun datang.
Perutku masih menjerit. Sepertinya jamur goreng tadi belum
membuatnya tenang. Atau mungkin aku lupa berdoa sebelum makan
sehingga jadi tidak terasa kenyang? Entahlah.
Sekarang aku dihadapi oleh semangkuk braised chinese spinach thick
soup with crab meat. Aku tahu, aku harus tetap menjaga kualitas makanku.
Aku selalu suka kepiting. Meskipun jalannya miring, tapi dagingnya
sangat enak. Selain itu, biar bagaimanapun sayur sangat penting untuk
kesehatan dan pencernaanku. Apalagi di jadwalku yang mungkin lebih
padat dari presiden saat ini. Katakan aku sombong, tapi memang
kenyataannya seperti itu.
Aku juga memesan makanan tambahan untuk memuaskan nafsu
makanku. Pan fried lamb rack adalah makanan rekomendasi Chef Lee. Aku
setuju dengannya. Karena makanan ini sangat enak. Bagaimana tidak?
Domba memang memiliki aroma prengus yang khas. Ditambah bumbu
Cina terasa begitu kuat memenuhi rongga mulutku.
Aku suka restoran ini. Untuk ukuran restoran yang terletak di
pusat kota dan buka dua puluh empat jam, restoran ini mengaggumkan.
Sangat dibutuhkan oleh orang-orang yang tidak mengenal waktu
sepertiku. Tania yang pertama membawaku ke sini beberapa tahun lalu.
Setelah itu aku merasa cocok. Hingga aku kenal dengan chef di sini.
Tania menghabiskan sendok terakhir homemade chinese herbal jelly
sebagai makanan penutup. Aku melihatnya sedikit terpicing karena
setelah ini dia pasti akan mulai mengoceh kembali. Bagi kami, berbicara
ketika makan adalah haram hukumnya. Semuanya dilakukan setelah
selesai makan.
“Sepulang dari sini, kamu harus langsung tidur. Tiga sampai
empat jam tampaknya sudah lebih dari cukup. Besok jadwalmu tidak
kalah padat dari hari ini.” Dia menjelaskan kepadaku.
“Baiklah. Kalau tidak salah, besok aku akan makan malam
bersama fans-ku? Apakah dia cantik?” tanyaku langsung.
“Aku tidak tahu. Evan yang mengurus itu. Besok kamu hanya
perlu datang dan makan malam dengan fans-mu itu.”
Aku tidak banyak bertanya lagi setelah itu. Apa pun yang terjadi
besok aku sudah siap. Lagi pula malam ini aku sudah terlalu lelah. Aku
ingin cepat-cepat sampai rumah dan merebahkan diri di tempat tidur.
***
PART 2

DAVINA
“Selamat ya, Sayang. Kamu sebentar lagi bisa bertemu dengan
Rangga.” Suara Ibu menentramkan hatiku.
Rasanya aku sangat terharu. Hampir-hampir air mataku tumpah.
Tapi, aku malu jika harus menangis di depan Ibu. Aku kan sudah besar.
Tidak boleh cengeng seperti dulu lagi.
“Iya, Bu. Aku masih tidak menyangka bisa mendapatkan
kesempatan untuk bertemu Rangga Mahendra secara langsung.” Hanya
itu kata-kata yang sanggup aku ucapkan.
Hampir dua minggu aku menantikan hari ini. Aku mengenakan
gaun paling cantik yang dijahit sendiri oleh Ibu. Aku merasa sama
cantiknya dengan gaun yang aku gunakan sekarang. Selama perjalanan
aku kembali memutar lagu Trust My Love For You. Suaranya berat dan
mampu menyihir seluruh indra yang ada di tubuhku. Terkadang aku tidak
sadar kalau tubuhku ikut bergoyang ketika mendengarnya bernyanyi.
“Kita sudah sampai, Non,” kata Pak Trisno, supir kepercayaan
keluargaku.
Tidak lama setelah itu, aku bertemu dengan Mas Evan. Kukira
dia adalah event organization dari acara Have a Fun Dinner With Rangga
Mahendra. Dia sangat baik dan ramah.
“Halo, Davina. Senang bertemu denganmu. Rangga sudah
menunggu di dalam.” Suara Mas Evan terdengar sangat bersahabat.
“Terima kasih.” Aku menyunggingkan senyum kepadanya.
“Kamu sangat cantik, Davina. Rangga pasti tidak akan menyesal
bertemu fans secantik dirimu.” Dia berusaha memujiku. Atau merayuku?
Entahlah.
Aku hanya membalasnya dengan seulas senyum tipis. Kami
kemudian memasuki restoran tempat aku akan bertemu dengan Rangga.
Suasananya nyaman. Aroma masakan menguak dan merangsang indra
penciumanku. Baiklah, aku mulai lapar.
“Rangga, ini Davina. Davina, ini Rangga. Aku sangat senang bisa
menyelenggarakan event Have a Fun Dinner With Rangga Mahendra. Semoga
makan malam kalian berkesan ya. Silakan menikmati makan malam
kalian.” Setelah mengucapkan kata itu, Evan pergi menjauh dari kami.
Sekarang tinggal aku dan Rangga Mahendra.
Aku merasakan tangan hangatnya menjabat tanganku barusan.
Rasanya seperti melayang mencapai langit ketujuh. Mungkin terdengar
berlebihan. Tapi itulah rasanya ketika aku akhirnya bisa berinteraksi
secara langsung dengan orang yang sangat aku idolakan selama ini.
***

RANGGA
Menunggu bukan sesuatu yang menyenangkan. Aku memujamu,
para pencipta gawai yang canggih. Karena dengan bermain handphone atau
mendengarkan lagu lewat i-pod bisa mengobati rasa jenuhku. Sebenarnya
aku tidak menunggu terlalu lama. Mungkin hanya sekitar sepuluh menit.
Aku melihat seorang gadis memakai gaun berwarna biru laut
datang menghampiri mejaku. Dia bersama Evan. Tidak salah lagi. Ini
adalah fans-ku yang beruntung itu. Tapi tunggu, dia memakai tongkat?
Apakah ada yang salah dengan kakinya?
Sampai Evan mengenalkan kami berdua. Namanya Davina,
cantik seperti dirinya. Dugaanku salah. Bukan kakinya yang bermasalah.
Ya Tuhan, dia seorang tuna netra. Aku menjabat tangannya yang lembut.
Kemudian Evan membantunya duduk dan mengucapkan sepatah dua
patah kata untuk berbasa-basi sebelum kami memulai makan malam.
Satu per satu makanan mulai memenuhi meja kami. Mulai dari
makanan pembuka, dilanjutkan makanan utama, dan diakhiri oleh
makanan penutup. Seperti biasa, selama makan aku tidak berbicara.
Davina pun tampak menikmati makan malamnya. Mataku tidak lepas
darinya. Dia sudah terlatih makan tanpa harus melihat makanannya
secara langsung. Semuanya terlihat sempurna dan seperti tidak ada
masalah apa-apa.
“Sop buntutnya enak.” Dia membuka pembicaraan.
“Y-ya. Aku setuju denganmu. Menu itu adalah menu andalan di
restoran ini. Kamu suka makanan Indonesia?” tanyaku kepadanya.
“Tentu saja. Makanan Indonesia adalah juara dibanding dengan
makanan khas negara-negara lain. Apalagi dessert-nya. Kalau tidak salah,
itu adalah pisang goreng dengan topping gula jawa yang dicairkan, bukan?”
“Kamu benar, Davina. Aku suka dengan dessert malam ini.”
Meskipun sebenarnya aku makan banana split sebagai dessert. Sungguh,
senyumnya begitu manis saat mengucapkan kata-kata tadi.
“Aku tidak percaya ini akan terjadi,” katanya tiba-tiba.
“Maksudmu?” Aku bertanya karena memang benar-benar tidak
mengerti maksudnya.
“Bisa duduk berhadapan denganmu, Rangga. Setelah John
Lennon, belum ada lagi yang sanggup membuatku jatuh hati. Dia adalah
masterpiece. Kemudian kamu hadir dengan suara beratmu itu. Aku lebih
dari menyukainya. Mungkin bisa dibilang, aku mencintai suaramu.” Aku
mendengar suatu kejujuran dari suaranya.
Suaraku hilang. Aku tidak sanggup membalas ucapannya.
Sungguh, aku juga mengagumi perempuan ini. Kami memang baru
pertama kali bertemu. Tapi, aku merasakan aura yang menenangkan
terpancar dari dirinya.
Tidak seperti perempuan lain yang pernah menjadi pacarku.
Atau bahkan euforia fans-ku yang lain ketika melihat aku bernyanyi. Dia
bisa mengontrol itu dengan sempurna. Aku tidak menyangka akan
menghabiskan makan malam bersama fans-ku dengan sangat tenang
seperti ini. Kukira dia akan memelukku atau menciumku dan langsung
mengajak foto bersama tepat ketika kami bertemu. Namun kali ini,
rasanya aku yang ingin melakukan itu kepada Davina.
“Rangga? Kau masih di sana?” Suara Davina terdengar sedikit
panik.
“Ya. Aku masih di sini. Terima kasih sudah mengidolakanku.
Kau tahu, John Lennon adalah inspirasiku,” jawabku jujur kepadanya.
“Aku bawakan ini untukmu,” Davina mengeluarkan satu kotak
kecil dari tas tangannya.
Aku menerima pemberian itu dan membuka kotaknya. Sebuah
pin. Dia memang fans sejatiku. Dia tahu kalau aku suka mengoleksi pin.
“Terima kasih sekali lagi. Huruf ‘D’? Apakah ini inisial dari
namamu? Kamu pasti berharap aku menyimpannya dan tidak akan
melupakanmu,” kataku spontan.
“Hahaha. Bagaimana kamu bisa membaca pikiranku? Ya, itu
adalah inisial namaku. Disimpan ya. Jangan sampai hilang,” tawanya
sungguh lembut dan aku menyukainya.
Obrolan ringan kami berlanjut. Ditemani satu gelas anggur
merah untukku dan satu gelas hazelnut latte untuk dirinya, kami mencoba
mengenal satu sama lain lebih dalam. Malam ini aku tahu bahwa orang
bukan hanya menyukaiku karena aku tampan. Aku yakin Davina tidak
tahu seperti apa rupaku. Dia menyukaiku dengan sangat tulus dan jujur.
Karena memang aku seorang penyanyi profesional dengan suara bagus.
“Aku juga punya sesuatu untukmu,” kataku kemudian.
“Apa itu?” Wajah Davina terlihat penuh harap.
Aku langsung bangkit menuju panggung yang sudah tersedia.
Nada pertama mengalun, aku dapat merasakan sensasi yang aku sukai.
Lirik pertama aku nyanyikan hingga Trust My Love About You aku selesai
nyanyikan. Dari panggung aku melihat Davina tersenyum lebar dan
menambah kecantikannya.
“Lagu ini saya persembahkan khusus untuk Davina. Saya Rangga
Mahendra. Selamat malam.”
(*) Pamulang, 2 Maret 2015.
-
ancaran matahari masuk melewati celah-celah teralis yang tidak
ditutupi gorden. Semalaman gorden itu tidak ditutup. Sengaja. Agar angin
dapat memberikan belaian lembut kepada tubuh yang sudah beberapa
kali tersentuh oleh kehangatan tanpa syarat. Akhir-akhir ini cuaca
berubah semaunya. Kadang sejuk, kadang panas menyengat. Tidak peduli
apakah di waktu pagi atau malam, dia lebih suka mengatur ritme
temperatur sendirian.
Pelan, dia membuka selaput yang menutupi bola matanya.
Cukup lama dia tersadar bahwa hari ini adalah hari pertama di awalan
tahun. Kepalanya berat. Dia mencoba mengingat-ingat. Semalam habis
sekitar empat, lima botol Hennessy dalam kurun waktu tiga jam. Pantas
saja. Perutnya sekarang mual, tapi tidak ingin muntah.
Tidak apalah. Lagi pula dia hangover hanya setahun sekali.
Merayakan momen yang telah hilang, berjejak namun kerap terhapus
dimakan sang waktu. Sekarang waktunya dia menghadapi rintangan yang
akan terpapar satu tahun kedepan. Kemudian akan kembali ditutup
dengan empat, lima botol, mungkin Johnnie Walker. Tergantung siapa
yang menyarankan minum apa.
Kemudian nyaring terdengar suara dari ponselnya. Bukan suara
panggilan masuk. Tapi suara alarm yang sengaja dia set di pukul sepuluh
pagi. Ah, alarm bodoh. Aku bangun lebih dulu ketimbang kamu
membangunkanku, cemoohnya dalam hati. Percuma saja. Manusia yang
hidup sering tidak mengetahui apa yang orang lain bilang jika disuarakan
dari dalam hati. Bagaimana ponsel yang merupakan benda mati?
Dia adalah Dian. Dian adalah seorang perempuan yang menurut
dirinya baru mencecap kehidupan. Kehidupan menurut Dian adalah
kesenangan dan kehampaan. Dian sadar, dirinya pernah terombang-
ambing di kala kecil sendirian. Tanpa teman, Dian bertahan. Sekarang
Dian masih berjalan bersama kedua malaikat yang katanya terus
mengikuti ke mana pun dia melangkah. Dian tidak keberatan selama
kedua malaikat itu tidak mengganggunya, atau sekadar iseng membuat
Dian terjatuh di jalanan karena tersandung kaki yang sengaja
dibentangkan.
Nyawanya baru setengah ketika ada suara lain yang menghentak
jantungnya.
Tok! Tok! Tok!
Katanya kalau tiga kali pintu tidak kerap dibukakan, artinya tuan
rumah sedang tidak ada atau tidak ingin bertemu dengan tamunya.
Tok! Tok! Tok!
Ketukan kedua. Nyawa Dian hampir sepenuhnya sampai. Kisah
di mimpinya sudah berakhir beberapa detik yang lalu. Namun masih
terngiang perkataan terakhir orang yang paling tidak ingin ditemuinya
selama empat bulan terakhir itu.
“Kamu mau bayar pakai uang atau tubuh?”
Sialan, kata Dian dalam hati.
Tok! Tok! Tok!
“Mbak Dian! Saya tahu kamu ada di dalam. Jangan menghindar
terus!!”
Suara itu sanggup membuat Dian terjaga sepenuhnya sekarang.
Tanpa mandi, tanpa gosok gigi, Dian mengambil sepatu abu-abu yang
baru dibelinya kemarin. Memakainya, kemudian menyabet tas selempang
yang bertengger di antara tumpukan kertas dengan tinta yang mulai
luntur.
Dian pergi ke kamar mandi. Genangan air membuat sepatu
barunya sedikit basah.
Uhh. Aku harus menyikat tempat ini nanti. Bau pesing! kata Dian
dalam hati.
Deretan sabun, pasta gigi, cukuran, dan beberapa peralatan
mandi lainnya berjajar memenuhi tepian bak mandi yang bocor. Airnya,
tentu saja ditampung di ember-ember yang diletakkan di ubin kamar
mandi. Klosetnya berwarna keemasan. Padahal warna aslinya adalah
putih, tujuh belas tahun lalu, ketika kamar kecil itu baru rampung
diselesaikan.
Kemudian sepatu baru abu-abu Dian menjejak tepian bak bocor
tersebut. Suara bergelimpangan terdengar yang berasal dari botol-botol
berisi cairan pewangi untuk tubuh, wajah, dan rambut. Dian tidak peduli.
Dengan tangkas, dia menyelinap ke dalam langit-langit kamar mandi.
Dian sedikit merangkak, dengan sangat hati-hati. Karena kalau tidak,
langit-langit itu bisa jebol dan urusan malah tambah runyam.
Terlihat lubang seukuran tubuh Dian tidak jauh dari tempat
Dian masuk tadi. Seperti Spider-Man yang menyelamatkan orang dari
kebakaran, Dian keluar dari lubang tadi dengan hati-hati. Bedanya, tidak
ada nenek-nenek atau anak kecil yang Dian bawa. Hanya tas selempang
dan sepatu baru abu-abunya. Itu pun sudah dipakai oleh Dian.
Usai alas sepatu baru abu-abu milik Dian itu menyentuh tanah,
suara yang tadi membangunkan Dian terasa kian dekat.
“Kurang ajar! Sudah tujuh bulan kamu menunggak, sekarang
kamu kabur?! Lihat saja kalau kamu kembali nanti. Tidak akan selamat!”
Suara itu terdengar marah. Maklum, dirinya juga butuh makan.
Sedangkan salah satu orang yang menumpang di rumahnya kian
membangkang.
Dian berlari melewati rentetan pohon-pohon cemara. Pohon-
pohon cemara terakhir yang ada di pusat kota. Mereka mengerti dan
memberi Dian jalan. Biasanya, pohon-pohon cemara ini akan merapat
dan membiarkan siapa pun terjebak di dalamnya. Namun karena
sekarang awal tahun, mereka berbaik hati dengan membukakan jalan bagi
Dian.
Rumah kost tempat Dian tinggal memang berada di tengah
hutan cemara. Satu-satunya hutan cemara di pusat kota. Hutan cemara
kedua yang dimiliki negeri itu. Karena yang lainnya sudah habis dibuat
vila.
Maka dari itu, pemilik kost ragu untuk mengejar Dian. Dia akan
terjebak di tengah-tengah hutan cemara karena hatinya yang sedang
marah. Jika seseorang sedang marah, pohon-pohon cemara tidak akan
membiarkan orang tersebut lewat meskipun ini awal tahun. Mereka hanya
memberikan jalan bagi orang-orang yang senang, penyayang, dan butuh
bantuan.
Kurang dari sepuluh menit, Dian sudah sampai di tepi jalan.
Dian langsung menyetop bus yang lewat. Dengan percaya diri Dian naik.
Tentu saja. Sepatunya kini tidak berlubang. Warnanya abu-abu dan masih
bersih. Baru dibeli kemarin sebelum tokonya tutup karena pemiliknya
ingin menyalakan kembang api.
Bisik-bisik terdengar. Meskipun pelan namun artikulasinya jelas.
Dian dapat mengerti isi dari semua bisik-bisik itu.
“Hei. Sepatunya masih bersih. Mungkin baru dicuci,” kata
seorang remaja dengan baju berwarna hijau tua.
“Tidak, Bodoh. Itu sepatu baru. Lihat saja, pricetag-nya belum
dilepas. Pasti pemiliknya lupa. Hihihi.” Seorang remaja yang duduk di
sebelahnya menanggapi.
“Ah, paling sepatu kawe. Harga asli merk sepatu itu kan sangat
mahal. Mana mungkin yang sanggup membelinya menaiki bus kota
seperti ini. Harusnya dia naik Lamborghini,” celetuk pemuda berpakaian
necis dengan kemeja yang terkancing rapi dengan dasi.
“Siapa peduli barang itu asli atau bukan. Yang penting warnanya
abu-abu.”
“Aku tidak suka abu-abu. Seperti rok SMA. Waktu SMA aku
sering di-bully. Aku benci SMA dan abu-abu.”
“Lagi pula zaman sekarang tidak ada bedanya asli atau kawe.
Yang penting bisa dipakai. Yang penting bisa makan. Kalau membeli
sepatu asli bisa tidak makan berhari-hari.”
“Lebih baik sepatunya kamu makan saja gih.”
“Kalau sepatunya aku makan, nanti aku sembelit dong.
Hahaha.”
Orang-orang di dalam bus sibuk mengomentari sepatu baru abu-
abu punya Dian. Dian merasa senang. Dirinya mendapat perhatian.
Belum pernah dirinya merasa diperhatikan seperti itu. Meskipun
sebenarnya orang-orang memperhatikan sepatu yang dia pakai. Bukan
dirinya.
Kemudian, Dian duduk di belakang bus. Seisi bus terlihat
olehnya sekarang. Ada remaja berbaju hijau, pemuda berdasi yang
mengenakan kemeja, ibu paruh baya yang membawa banyak plastik berisi
belanjaan, anak kecil yang sedang menjilati permen lolipop, seorang
bapak setengah telanjang yang hanya mengenakan sarung, juga
kondektur dan sopir bus. Tidak beberapa lama, kondektur itu
menghampiri Dian. Dia ingin meminta ongkos.
“Ongkos, ongkos,” katanya kepada Dian.
Dian kemudian membongkar tasnya. Isinya hanya sebungkus
permen karet dan satu novel yang Dian pinjam dari perpustakaan daerah.
Barang yang dia cari untuk membayar tidak ketemu. Dian mulai panik.
Pasti tertinggal di suatu tempat. Atau memang barang itu sudah habis?
“Ayo cepat. Mana ongkosnya?” Kondektur itu semakin
memaksa. Dian pun semakin panik.
“Ongkosnya hilang.” Dian akhirnya mengakui hal tersebut.
“Apa kamu bilang?! Hilang?” Kondektur itu terlihat marah.
“I-iya,” jawab Dian terbata.
“Kalau begitu kamu pilih. Jika kamu ingin melanjutkan
perjalanan, maka kamu harus membayarnya dengan sesuatu. Jika tidak,
kamu harus turun saat ini juga,” ancam kondektur bus.
Dian bingung harus menjawab apa. Dian tidak tahu lagi dengan
apa dia harus membayar. Kalau dia menukarkan ongkosnya dengan tas
miliknya, maka dia tidak mempunyai tas lagi. Kalau dia menukarkan
ongkosnya dengan novel milik perpustakaan daerah, pasti dia akan kena
sanksi negara. Kalau dia menukarkan dengan sebungkus permen karet,
tidak akan cukup. Kalau dia menukarkan ongkosnya dengan sepatu baru
abu-abunya ....
“Sudah cukup berpikirnya. Kelamaan. Copot sepatu abu-abu
kamu itu. Itu ongkos yang setimpal dengan waktuku yang sudah kamu
buang untuk menagih ongkos bus. Lagipula sepatu itu cukup bagus untuk
aku pakai,” ujar kondektur bus.
“Jangan! Sepatu ini baru aku beli kemarin. Aku dan dia tidak
terpisahkan,” Dian berusaha menaikkan kakinya agar sepatunya tidak
direbut oleh kondektur bus.
“Berikan atau kamu turun sekarang!” kata kondektur bus
memaksa.
“Baik, aku turun saja.” Dian memutuskan dengan bulat.
Ketika Dian berjalan menuju pintu keluar bus, dirinya
terjembab. Ternyata kondektur bus berhasil membuka tali sepatu Dian
sehingga Dian tersandung. Seisi bus tertawa kecuali sopir. Sopir harus
berkonsentrasi ketika mengendarai bus.
“Pak Sopir! Berhenti! Penumpang kita tidak memiliki ongkos.
Dia harus turun sekarang,” teriak kondektur dari belakang bus.
Dian dipaksa berdiri dan didorong-dorong agar dirinya segera
keluar dari bus. Penumpang bus yang lain hanya tertawa melihat dirinya
dipaksa keluar oleh kondektur. Dian melawan. Tapi kalah. Dia sudah
berada di ambang pintu bus. Sebentar lagi dirinya akan terpelanting
keluar.
“Kota Akhir!!” seru sopir bus.
Dian mendengar seruan sopir bus sebelum dirinya jatuh dari bus
yang ditumpanginya. Wajahnya menyentuh aspal. Tangannya lecet.
Kakinya besot. Kakinya terasa ringan. Kakinya terasa janggal. Kakinya,
sudah tidak memakai sepatu baru abu-abunya lagi! Kondektur itu
ternyata sangat licik karena telah mengambil sepatu baru abu-abu
miliknya.
Dian mencabik-cabik aspal di depannya. Tapi kukunya malah
patah. Jarinya berdarah. Sepatu baru abu-abunya hilang.
Dian kesal. Meraung. Tapi tidak ada yang peduli. Orang-orang
sibuk dengan urusannya masing-masing di awal tahun. Lagi pula ini
bukan tempat pejalan kaki. Hanya mobil-mobil yang melintas dari tadi.
Sambil sesegukkan, Dian berjalan gontai. Kakinya telanjang.
Tapaknya mencium tiap jengkal aspal yang membentang. Tiba-tiba Dian
sadar. Kota Akhir. Dia harus ke Kota Akhir. Mungkin saja sepatunya ada
di situ.
Lalu Dian melangkah. Satu demi satu. Mencengkram erat tasnya.
Jangan sampai harta satu-satunya itu juga hilang.
Matahari sedang senang hari itu. Cahayanya menyilaukan.
Membuat siapa saja yang menatap langsung menjadi buta. Cahayanya
menghantam ubun-ubun Dian. Tapi Dian tidak merasa kepalanya panas.
Kepalanya dari tadi dipenuhi pikiran-pikiran tentang di mana sepatu baru
abu-abunya itu berada. Kota Akhir. Ya, Kota Akhir.
Selama berjam-jam Dian mengarungi seluruh kota menuju Kota
Akhir. Kepalanya tertunduk lesu. Dian membiarkan kedua kakinya
melangkah menjemput sang kekasih. Kakinya tahu ke mana kekasihnya
itu berada. Dian hanya ikut saja.
Kulit kaki Dian sudah mengelupas. Aspal yang Dian lewati
menyisakan jejak kaki berwarna merah. Tentu saja tidak terlihat. Aspal
berwarna abu-abu tua hampir hitam. Berbeda dengan sepatu barunya
yang berwarna abu-abu. Dian tidak peduli dengan rasa menusuk di
kakinya. Dian ingin sepatu baru abu-abunya kembali.
Senja berada di depan mata. Dian sudah sampai di Kota Akhir.
Tidak berapa lama, sopir bus tadi muncul dengan sepatu abu-abu yang
sudah Dian rindukan.
“Ambillah. Ini bukan hak kondektur licik itu,” ungkap si Sopir.
Dian tidak mampu menjawab. Bibirnya terlalu kering. Lidahnya
kelu. Tapi matanya berbinar. Sepatu abu-abunya kembali. Dian langsung
memakai sepatu baru abu-abunya itu. Tapak kakinya menciumi sepatu itu
dengan ganas. Melumatinya dengan hasrat penuh kerinduan.
***
Sesampainya di tempat kost, Dian disambut pemilik kosnya
dengan mata penuh amarah.
“Saya tidak punya uang. Saya tidak ingin membayar dengan
sepatu,” jawab Dian jujur.
“Kalau begitu, kamu pergi ke kamar saya sekarang,” kata pemilik
kost dengan nama Bu Kunti.
(*) Pamulang, 7 Januari 2016.
Terbit di Jurnal RusaBesi.
ngin berbisik di telingaku tentang penantian. Aku sengaja
bungkam agar dia tersenyum senang dan kembali bercerita. Ragaku statis
di bawah rindangnya pohon berdaun merah. Lamat-lamat aku membalas
kicauan daun ketika angin terdiam sesaat. Mereka berkelindan dan
memaksaku untuk patuh.
Di depanku, lampu altar yang aku agungkan padam. Motor-
motor yang terparkir di seberangnya semakin berkurang. Namun aku
tidak sendirian karena angin dan daun menemaniku seharian.
Angin berkata, “Jawabanmu ada di tempat ini. Tempat yang
memiliki sejarah panjang tentang pendidikan keislaman. Aku pernah
menemani Quraish Shihab di taman belakang ketika dia merancang
kebijakan.”
Aku terkikik geli. Usianya sudah tua ternyata. Kemarin dia bilang
baru saja dilahirkan. Angin pun bisa berbohong. Atau mungkin, waktuku
berbeda dengannya.
Waktu. Bunda berkata waktu memisahkan dia dan keluarga
besarnya. Ya, keluarga besar. Ayah dari Bunda, atau kakekku memiliki
istri lebih dari lima. Masing-masing anaknya lepas dari hitungan jari.
Belum lagi mereka beranak-pinak.
Bunda anak terakhir dari istri keempat. Ia terlunta sendirian di
dunia baru yang asing. Sekarang ia sakit-sakitan dan tiba-tiba memintaku
mencari kakak dan adik-adiknya. Aku tidak pernah bertemu dan
mengenal mereka. Yang aku punya hanya satu nama, nama kakekku.
Sebab Bunda belum sempat menghapal nama kakak-kakaknya ketika ia
ditaruh di depan pintu panti asuhan sejak dalam gendongan. Hikayat
kehidupannya tertoreh di atas kertas putih yang kian memudar, tanpa
mencantumkan jejak lebih lanjut perihal silsilah keluarga.
“Mengapa kau yakin jawabannya ada di tempat ini?” Pertayaanku
pun keluar untuk Angin.
“Intuisiku kuat. Tubuhku dihirup banyak makhluk. Aku bisa
bersahabat, tapi juga bisa merusak. Dari situ aku mengenal filosofi
kehidupan. Kalian semua berasal dari satu akar. Mudah saja aku
mengetahui jawaban dari persoalanmu.”
Dalam diam aku mencoba mencerna ucapannya. Daun tiba-tiba
berujar, “Mungkin aku baru saja diciptakan. Tapi hela napasku membaur
bersama sejarah yang tertoreh diam-diam. Mereka tersembunyi namun
nampak. Kau tidak usah khawatir.”
Balasanku hanya berupa senyuman tipis. Sudah tiga tahun
tempat ini menjadi tempat persinggahan keduaku setelah rumah. Dulu
orang-orang mengenalnya sebagai ADIA, lalu berubah menjadi IAIN,
dan sekarang terkenal dengan nama UIN. Di Jakarta, tepatnya. Lalu,
apakah tempatku melepas dahaga akan ilmu ini akan memiliki jawaban
yang sedang aku cari?
Gedung bertuliskan Perpustakaan Utama di depanku seolah
mendengar percakapan kami. Ia ikut tersenyum mendengar ucapan angin
dan daun, juga wajahku yang menerawang melewati batas ruang dan
waktu. Kemudian terdengar suara lonceng di kejauhan. Tengah malam
menyapa. Aku tetap hampa.
***
Aku masih mencari dan menanti permintaan Bunda, meskipun
perlahan harapan itu mulai pupus ditelan waktu. Bunda semakin lemah
dan kerap memanggil nama saudara sekandung juga seayah. Nama
karangan Bunda. Karena Bunda tidak pernah tahu nama-nama mereka.
Waktu kembali berlalu. Tugas akhir semakin menipis dan
akhirnya tuntas. Saatnya aku merayakannya dengan mulai meneliti
persoalan yang akan dituangkan di skripsi. Terkejut tapi senang saat
mengetahui dosen yang aku idolakan akhirnya menjadi pembimbingku.
Intensitasku mengobrol bersama angin dan daun berkurang
drastis. Akhir-akhir ini aku lebih sering menghabiskan waktu
berkonsultasi dan berdiskusi dengan dosenku itu. Menyenangkan, tentu
saja.
Hingga beliau bercerita tentang keluarganya yang sangat besar.
Begitu bercabang, kompleks, dan tidak akan selesai diceritakan dalam tiga
kali pertemuan. Aku menyimaknya dengan seksama. Bahwa hampir
semua kakak dan adiknya berpencar ketika ayahnya mengusir secara halus
dan perlahan. Ibunya tak kuasa menahan pedih saat dia dikalahkan si istri
muda. Bagai karma, karena sebelumnya ia juga merupakan istri muda
yang mengusir istri sebelumnya. Lima hari setelah mereka
menggelandang, sang ibu meninggal.
Ceritanya terhenti. Raungan kenangan masa lalu melesak. Air
mata lelaki paruh baya itu hampir tumpah. Desau angin menghambur
pelan mengusap pelupuk. Aku terdiam, tak sanggup mengucap barang
sepatah kata. Sore itu di kantin kampus, aku merasa begitu melekat
dengan orang yang sudah kukagumi sejak lama, namun baru kekenal
kurang dari dua bulan itu.
Meja-meja di kantin ikut merasakan. Waktu seolah terhenti.
Diamku tidak berarti. Masih gugup, aku mencoba bersuara. Keluarlah
segala keluh kesah yang aku juga rasakan. Tentang pencarianku dan
tentang penantianku.
Dosenku itu menarik napas dalam. Kemudian bertanya, “Siapa
nama kakekmu?”
Aku memberikan sepotong kertas yang sudah berwarna
kecokelatan. Terlalu lusuh karena sering kupegang. Seperti aku takut
bahwa aku akan lupa nama kakeku itu.
“Kita cukupkan diskusi hari ini. Biarkan saya antar kamu
pulang,” ujarnya.
“Tidak perlu, Pak. Terima kasih. Rumah kita tidak searah,”
balasku sekenanya.
“Saya hanya ingin memastikan. Kuharap kamu mengizinkan.”
“Memastikan tentang apa, Pak?” tanyaku heran.
“Ini berkaitan tentang pencarian ibumu dan kamu.”
***
Angin mengikutiku dari belakang. Daun memaksa diri agar
gugur dari ranting. Mereka tersenyum dan berharap aku beserta dosenku
tiba sampai rumah dengan selamat.
Bunda hampir tak sadarkan diri ketika aku dan dosenku tiba.
Lingkaran matanya semakin menghitam karena terlalu lelah berusaha
mengeluarkan air mata yang telah habis. Aku bersimpuh di samping kasur
tempat bunda berbaring.
“Ada yang ingin bertemu Bunda,” bisikku pelan di telinganya.
Kepalanya menoleh dengan lemas. Matanya terbuka sedikit demi
sedikit. Dia melihatku datang bersama pria paruh baya yang aku yakin
seratus persen bunda tidak pernah bertemu dengannya sebelum ini.
“M-Mas Sudirman?” tanya Bunda dengan suara parau.
Dosenku ikut bersimpuh di sampingku. Dia memegang lembut
tangan Bunda.
“Aku Haryono. Anak ketiga dari Midah, istri ketiga ayah kita.
Istri sebelum Ayah menikah dengan ibumu. Istri yang terusir, seperti istri
sebelumnya,” jelas dosenku dengan suara hampir habis.
Aku berdiri dan mundur selangkah melihat reuni kecil-kecilan
itu. Bunda dengan terbata membalas pernyataan Pak Haryono. Setelah
itu Pak Haryono membisikkan selawat. Bunda mengikuti perlahan.
Kemudian matanya tertutup, untuk selamanya.
Penantian Bunda usai.
(*) Pamulang, 21 Mei 2016.
Juara 3 lomba MILAD UIN ke-59.
Maliq & D’essential – Aurora
Christina Perri feat. Ed Sheeran – Be My Forever
Isyana Sarasvati – Keep Being You
Walk The Moon – Shut Up And Dance
Taylor Swift – Bad Blood
Virzha – Hadirmu
Jessie J – Flashlight

one. Playlist untuk besok akhirnya selesai. Setelah berkutat di


depan layar komputer selama kurang lebih lima jam, mendengarkan,
menimbang, dan akhirnya memutuskan. Daftar lagu ini akan langsung
ditransfer ke ruangan on air sehingga Droyo bisa langsung
menggunakannya besok pagi saat siaran.
Hampir setengah satu pagi. Aku merenggangkan tubuh sejenak
di kursi dan memejamkan mata sebentar. Hanya untuk melemaskan otot-
otot mata sebelum kembali menempuh jalanan Jakarta yang aku yakin,
sudah sangat lengang. Kalau kata Tania sahabatku, ambil saja hikmahnya.
Tidak bisa aku pungkiri, ini merupakan pekerjaan yang
menyenangkan. Mungkin karena sesuai dengan passion-ku. Akan aku beri
tahu sedikit tentang perihal menyusun lagu untuk radio yang biasa kalian
dengarkan. Pertama, sesuaikan dengan jadwal siaran. Kedua, tentukan
beat. Ketiga, masukkan genre yang sesuai dengan segmentasi program.
Yang terakhir, jangan lupakan gender.
Bukan hanya itu saja, kawan. Pekerjaan ini masih harus berkutat
dengan orang-orang label rekaman yang selalu rajin meminta agar lagunya
diputar. Lalu bertemu dengan musisi pendatang baru yang ingin
mempromosikan lagunya agar bisa sukses di masa yang akan datang.
Kemudian memiliki janji temu dengan para musisi papan atas yang akan
tampil di acara yang diselenggarakan oleh radio tempat kamu bekerja.
Bagi sebagian orang, bisa bertemu dengan musisi tersebut–yang
bisa dibilang juga merupakan idola mereka–adalah hal yang sangat
membahagiakan. Aku harus mengakui, itu benar. Dulu, ketika pekerjaan
ini baru aku tekuni, aku merasa menjadi orang yang paling beruntung
ketika bisa berada di backstage bersama Sheila On7, Iwan Fals, atau
D’Cinnamon. Saat aku seakan mendapatkan tiket emas karena tidak perlu
berdesak-desakan agar bisa berfoto bersama.
Namun sekarang, akulah yang dikejar para musisi yang telah aku
besarkan namanya lewat playlist yang aku buat setiap hari. Ketika ada
suatu event yang mengharuskanku untuk datang, mau tidak mau aku harus
berkunjung ke backstage. Setidaknya, aku menyapa mereka dalam rangka
sopan santun. Setelah itu, aku akan meluangkan waktu sedikit lebih
banyak agar dapat mengobrol tentang hal apa pun kepada para musisi
tersebut. Sebelum mereka naik ke atas panggung untuk perform, mereka
akan meminta berfoto bersama kepadaku.
It is fun.
But not as always as what you think.
***
“Aku ada meeting dengan Rheino Bhaskoro satu jam lagi.” Itu
adalah sapaan pertama yang aku lontarkan saat Yasmin, general manager di
radio tempatku bekerja menelepon untuk yang kelima kalinya. Ayolah,
apakah dia mengerti konsep safety driving? Jika aku tidak mengangkat
teleponnya, bukan berarti aku menghindarinya, sungguh–walaupun
sebenarnya aku sangat ingin menyumpal mulutnya yang cerewet itu. Tapi
karena memang aku sedang mengemudi. Bisakah dia sabar sedikit?
“Rheino sudah aku handle. Sekarang kamu ke Trophycoffee Shop.
Ada musisi baru yang minta bertemu denganmu. Jika cocok, dia akan jadi
bintang tamu New Rising Star minggu depan.” Yasmin memerintah
dengan sangat mudah.
Apa-apaan? Dua jam yang lalu Rheino sudah konfirmasi akan
bertemu denganku. Catat baik-baik, Rheino yang konfirmasi. Bukan aku.
Jadi seharusnya Yasmin tidak bisa seenaknya mengganti jadwal yang
sudah disepakati antara aku dan Rheino. Lagi pula ngapain sih dia repot-
repot meng-handle urusanku dengan Rheino? Jelas-jelas event off air yang
akan dilaksanakan sebentar lagi dikepalai oleh aku.
Oh, aku baru ingat. Ya, Yasmin memang sangat mengidolakan
Rheino. Penyanyi Solo Pria Terbaik yang dinobatkan MTv Indonesia
beberapa waktu lalu itu memang semakin menyedot perhatian massa.
Terlebih Yasmin. Jarang ada musisi jazz di Indonesia yang bisa sangat
populer. And he made it.
“Halo, you still there, Sya?” Suara Yasmin menyadarkanku.
“Iya. Ya sudah, aku balik arah ke Trophycoffee Shop sekarang,”
jawabku.
“Terima kasih banyak, my honey bunny sweety. Kiss kiss,” Yasmin
memberikan suara kecupan di akhir pembicaraannya sebelum ia menutup
telepon.
“Euhhh. Stop that. I’m not your boyfriend,” namun suaraku sudah
tidak didengar Yasmin.
***
Lantunan suara Gerard Way harus kuhentikan saat kuparkir
mobil di depan bangunan dengan tulisan “Trophycoffee Shop” di depannya.
Aku melangkah masuk ke dalam bangunan itu. Sialnya, aku lupa bertanya
tentang orang yang akan kutemui kali ini. Ralat. Yasmin yang lupa
memberitahuku. Jadi, aku sama sekali tidak tahu orang yang akan aku
temui ciri-cirinya seperti apa.
Aku menempati tempat duduk di dekat bar, kemudian memesan
satu gelas creamy hazelnut. Baru saja aku mengeluarkan handphone untuk
mengontak Yasmin, tiba-tiba seseorang memanggil namaku.
“Sasya?”
Aku mendongak ke arahnya. Seorang lelaki dengan jaket denim
dan kaos oblong berdiri di hadapanku. I have no idea who is he.
“Benar,” jawabku.
“Kenalkan. Aku Bisma. Kamu music director di L Radio?”
“Benar.” Lagi-lagi masih dengan jawaban yang sama. Kemudian
dia mengambil duduk di depanku.
“Aku langsung to the point saja ya. Musikalitasku bagus,” katanya
percaya diri,
“Memang aku peduli?” jawabku tak acuh. Sungguh, tidak
biasanya aku seperti ini. Mungkin karena keangkuhannya jadi aku
berbalik menyerangnya dengan kata-kata halus.
“Kau harus peduli. Kau seorang music director. Tugasmu
menentukan musik mana yang layak untuk didengar, bukan?”
Aku hanya mengangguk sebagai jawaban. Demi Tuhan, aku
tidak suka dengan orang ini. Bukan apa-apa. Kesan pertama yang dia
timbulkan sudah membuatku tidak nyaman.
“Kau tidak ingin bertanya lebih lanjut?” tanyanya.
“Kau tidak ingin mencoba ke label rekaman?” Itu adalah satu-
satunya pertanyaanku yang ingin kulontarkan sejak tadi.
“Aku ingin mencoba mandiri,” ucapnya singkat.
Sombong, kataku dalam hati. Ya, sebenarnya tidak selalu musisi
yang ingin memilih . jalur indie dikatakan sombong karena ingin mandiri.
Lagi-lagi, karena aku tidak menyukai orang ini.
“Aku tidak bisa berlama-lama. CD demo ini berisi lima buah
lagu,” katanya sambil menyerahkan CD demo. “Jangan lupa didengarkan
ya. Aku tunggu telepon darimu, kamu bisa meminta kontakku ke Yasmin.
Aku sudah meluangkan waktu untuk New Rising Star minggu depan. Nice
to meet you, Sasya. Bye.”
Kemudian dia bangkit dari tempat duduknya dan meninggalkan
Trophycoffee Shop. Bahkan dia tidak memesan minum barang satu cangkir
kopi pun. Aku melihat dia masuk ke dalam mobil sport yang terlihat
sangat maskulin.
Aku membolak-balikkan CD dengan cover yang sangat simpel.
Aku pun bangkit dengan CD Bisma masih di tangan. Setelah membayar,
aku juga masuk ke dalam mobil dan kembali mengemudi. Tidak lupa aku
mendengarkan CD demo yang diberikan Bisma.
Satu track selesai. Dua track, dan aku semakin menikmati lagu-
lagu yang ada di CD tersebut. Sampai kelima track tersebut selesai. Aku
menyukainya. Berbanding terbalik dengan kesan yang dia berikan
pertama kali kepadaku saat bertemu, aku justru menyukai setiap lagu yang
dia mainkan. Setiap nada yang dia mainkan, setiap lirik yang dia
nyanyikan, membuatku seperti teringat akan sesuatu.
***
New Rising Star akan on air kurang dari lima menit lagi. Sedangkan
Bisma belum tampak batang hidungnya. Aku seperti orang kebakaran
jenggot. Yasmin apalagi. Dia juga merangkap sebagai produser New Rising
Star. Nomor Bisma tidak aktif.
Bintang tamu paling lambat datang satu jam sebelum acara.
Untuk briefing dan hal-hal lainnya. Kesha, penyiar New Rising Star tidak
berhenti mengoceh. Oh Tuhan. Harusnya dia bisa mengontrol emosinya
sebelum siaran. Aku tahu dia tidak kalah panik karena bahan yang
diberikan tidak mencukupi saat sairan nanti.
Dalam hati aku merutuki sikap Yasmin. Jelas-jelas dia juga
produser program ini. Sesuka apa pun dia dengan Rheino Bhaskoro, dia
tidak bisa seenaknya melepaskan tanggung jawabnya dan melimpahkan
kepadaku. Jika seperti ini, aku juga yang kelimpungan.
Hingga dua menit sebelum on air, seseorang masuk ke dalam
ruang siaran.
“Maaf, aku sangat terlambat,” kalimat pertama yang terlontar
dari mulut orang itu.
Semua orang yang berada di dalam ruang siaran seperti aku,
Yasmin dan Kesha menengok ke arah orang tersebut. Bukan Bisma.
Orang inilah yang selalu berhasil membuat hidupku kacau. Kacau karena
hatiku selalu jumpalitan saat bertemu dengannya.
Alfian. Masih dengan style yang sama setelah terakhir aku
bertemu denganya beberapa tahun yang lalu. Masih dengan perasaan
yang sama, yang tidak pernah pupus sedikit pun. Sekarang dia di sini,
kembali mengejutkanku.
“Astaga, Alfian! Kau sudah gila?!” Yasmin berteriak kesenangan
saat bintang tamunya ini hadir. “Kau siaran sekarang. Kita briefing saat
break time.” Yasmin berujar masih dalam keadaan menggebu.
Aku mengernyitkan dahi. Aku sama sekali tidak mengerti apa
yang terjadi di sini. Yasmin tahu tentang hal ini? Bahwa bintang tamunya
adalah Alfian, bukan Bisma? Mereka hutang penjelasan kepadaku. Titik.
Aku akan menagihnya saat mereka selesai siaran. Sekarang aku
mendengarkan siaran mereka dari meja kerjaku. Alfian membawakan
lagu favoritku dari CD demo yang diberikan Bisma minggu lalu. Ini
sangat membingungkan.
***
Kami berada di Trophycoffee Shop sekarang. Sambil mendengarkan
musik akustik yang dimainkan oleh penyanyi kafe, aku dan Alfian terasa
bernostalgia. Aku menikmati ini.
“Bisma adalah sahabatku. Sahabat baru lebih tepatnya. Pantas
saja kamu tidak kenal.” Kata-katanya meluncur sangat mudah. Tidak
tahukah aku masih butuh penjelasan di sini?
“Itu belum menjawab apa pun,” kataku kepada Alfian.
“Hei. Memang aku bintang tamunya, Sasya. Bisma hanya
mewakilkanku memberikan CD demo kepadamu minggu lalu. Apakah
dia tidak berkata apa pun tentangku?”
“Tidak! Sama sekali tidak. Dia sangat, sangat menyebalkan.
Astaga, Alfian. Bisakah kau mengajarkan tata krama kepada sahabat
barumu itu? Dia sangat angkuh dan membuatku tidak betah berlama-
lama ketika bersama dengannya. Lagi pula dia bilang itu CD dia. Dia sama
sekali tidak membawa-bawamu dalam pembicaraan kami waktu itu,”
kataku jujur.
“Hahaha. Kurasa dia harus diajarkan agar tidak sering-sering
berbohong. Musikalitasnya memang bagus. Aku belajar banyak darinya.”
Aku mendengus sebal mendengar pengakuan itu.
“Aku merindukanmu.” Alfian berkata singkat. Namun itu
sanggup membuat otot-otot kakiku lemas. Untung aku dalam keadaan
duduk.
“No comment,” jawabku. Aku masih mempunyai gengsi yang
tinggi untuk mengakui kepadanya bahwa aku juga merindukannya.
“Bohong. Kau juga merindukanku,” ujarnya dengan tatapan
yang tegas ke dalam mataku.
“Kau memiliki hutang yang banyak kepadaku. Hutang karena
kamu tiba-tiba menghilang selama hampir tiga tahun. Hutang karena
kamu memaksaku untuk berbohong kepada diriku sendiri tentang
perasaanku kepadamu. Kemudian, hutang karena kau telah membuatku
jatuh dan sulit untuk bangkit lagi.” Semua yang aku rasakan tumpah di
hadapannya.
Dia menjawabnya dengan senyuman tulus ditambah rasa
bersalah yang tidak bisa ditutupinya. “Aku akan membayar hutang-
hutang itu. Tapi, biarkan aku mencicilnya. Sepakat?” katanya kemudian.
Aku menjawabnya dengan anggukan kecil. Membiarkannya
memainkan hatiku lebih lama. Membuat sensasi hangat namun berdebar
dari dalam hatiku.
Dia menuju panggung. Meminta izin kepada penyanyi yang
sedang berhenti bermain, kemudian meminjam gitar dari penyanyi
tersebut. Dia membawakan lagu favoritku.
“It is for you, Sasya,” ungkapnya setelah selesai bernyanyi.
(*) Pamulang, 20 Juni 2015.
“ ku sudah membeli tiketnya,” tuturku kepada seseorang di
seberang sana.
“Coba lihat,” kata orang itu.
Aku menunjukkan satu lembar tiket pesawat dengan destinasi
Istanbul. Orang tersebut tersenyum. Mata kami terpaut satu sama lain,
dan itu selalu berhasil membuatku tersenyum. Dia jarang mengucapkan
kata-kata ‘itu’. Tapi aku bisa mengartikannya lewat tatapan yang dia
berikan untukku.
“Aku ingin ke Istana Topkapi, menyebrangi Boshporus, Masjid
Biru–”
“Bersamaku.” Dia memutus ucapanku. “Kamu akan pergi ke
sana bersamaku. Kita juga akan mengunjungi setiap tempat yang indah
di Istanbul. Kamu akan bertemu juga dengan kakak dan adik-adikku.
Kalau ada waktu, kita akan pergi ke Trabzon untuk bertemu ayah dan
ibuku.”
“Aku tidak bisa menunggu lagi untuk bertemu denganmu,”
kataku padanya, sangat jujur.
“Aku merasakan yang sama. Kita akan bertemu dalam waktu
yang sangat dekat.” Perkataannya lagi-lagi berhasil membuatku
tersenyum manja.
“Aku harap kali ini tidak akan tertunda lagi.” Aku membalas
ucapannya.
***
Sebagian dari kalian mungkin lebih senang musim panas (yang
berlaku di negara empat musim. Karena kalau di Indonesia kita
menyebutnya musim kemarau). Atau musim semi dan musim gugur.
Orang yang belum tahu bisa jadi juga akan menyukai musim dingin.
Tentu karena musim itu identik dengan salju yang tidak turun di
Indonesia.
Jika kita menonton film-film yang berlatar luar negeri seperti
Inggris atau Amerika, salju merupakan sesuatu yang indah. Namun jika
kalian mengalami itu, maksudku berada di tempat itu ketika musim
dingin, itu bukan sesuatu yang indah seperti yang dibayangkan pertama
kali. Itu karena kita berasal dari negara dengan iklim tropis, atau sub
tropis, terserahlah. Intinya kita tidak pernah mencecap musim dingin
selama berbulan-bulan. Kecuali jika kalian termasuk orang yang sering
bepergian atau memang pernah menetap di negeri orang.
Suhu terdingin di Indonesia tidak akan mencapai minus derajat
celcius. Itu tidak terjadi di negara-negara empat musim. Saat musim
dingin, terkadang suhu akan mencapai dua atau minus dua. Itulah yang
aku katakan tentang betapa musim dingin tidak seindah kelihatannya.
Kalian akan merasa, beku.
Namun, tidak akan selalu terasa dingin jika kalian melewatinya
bersama orang yang kalian sayang. Kehangatan memang tidak tersurat
terasa dari luar. Namun kehangatan itu akan merambat dari hati kalian,
kemudian menyebar ke seluruh tubuh.
Setidaknya itu yang aku bayangkan atau aku harapkan. Aku
berangkat ke Istanbul bulan Februari pertengahan. Musim yang kurang
disarankan untuk berlibur. Namun itu adalah satu-satunya waktu yang
paling sempurna. Tentu saja karena aku telah berusaha mati-matian
untuk mendapatkan cuti dari kantor.
Untungnya, dia tidak masalah. Dia-ku. Tayfun Karaküllukçu.
Namanya terdengar asing di telinga orang Indonesia, bukan? Dia
memang seorang pria Turki.
Aku sangat, sangat mencintainya. Kalian tidak perlu tahu
kisahku dengannya secara utuh. Aku hanya ingin menceritakan kisah
indah kami ketika kita berada di Istanbul. Negeri yang amat sangat
dicintainya, seperti aku mencintai Indonesia. Hal yang sangat tidak
mudah dilakukan bagi penganut long distance relationship.
***
Aku mendorong troli menuju lobi Bandara Internasional
Istanbul Atatürk. Sudah berakali-kali aku menelepon nomornya namun
tidak berhasil. Ayolah, dia tahu aku akan datang ke sini. Dia memang
tidak janji akan menjemputku. Tetap saja itu membuatku sedikit
bertanya, apakah dia tidak peduli?
Aku kembali merapatkan jaket tebal yang sengaja dikenakan
sejak sampai bandara ini. AccuWeather memang tidak pernah salah
memprediksi cuaca. Terakhir mengecek setelah turun dari pesawat, suhu
di sini sekitar lima derajat celcius. Padahal ini siang hari. Langit terlihat
mendung. Semoga tidak hujan.
Dalam kebingungan, datang seorang sopir taksi. Dia
menawarkan untuk mengantarku ke hotel terdekat. Kukira dia tahu kalau
aku adalah turis. Bisa terlihat dari postur tubuh dan bentuk wajah, juga
dari raut wajahku yang terlihat bingung di tempat asing. Dia
menggunakan tanda pengenal. Setidaknya itu membuatku cukup yakin
kalau dia tidak akan menipuku atau lain sebagainya.
Seperti pria Turki kebanyakan. Sopir taksi itu tetap terlihat
tampan. Aku tidak akan mengkhianatimu, Tayfun. Itu hanya tanggapan
umum dari kebanyakan orang Indonesia terhadap orang Turki asli.
“Kau seorang turis?” Sopir itu mencoba berbasa-basi. Kami
sudah meninggalkan area bandara dua menit yang lalu.
“Evet,3” jawabku.
“Biar kutebak. Kau berasal dari Thailand.”
“Bukan. Aku berasal tidak jauh dari Thailand. Aku dari
Indonesia,” jelasku.
“Ah. Maafkan aku. Orang Thailand dan Indonesia memang
mirip. Sebelum mengantarmu, aku mengantar turis dari Thailand. Jika
dilihat sekilas, kalian seperti berasal dari negara yang sama,” katanya.
“Kami memang mempunyai ras yang sama,” aku mencoba
tersenyum dari bangku penumpang. Berharap dengan smiling voice suaraku
akan terdengar ramah. Padahal hati ini sedang gundah karena belum ada
kabar apa pun dari Tayfun.

3 Ya.
Sopir itu terus mengoceh dengan bahasa Inggris yang tidak
terlalu lancar. Sesekali aku mengangguk dan bergumam untuk membalas
ucapannya. Aku melihat ke luar jendela. Perlahan-lahan turun butiran-
butiran putih dari langit. Butiran itu menyentuh jendela taksi.
“Kar düşmüştür 4,” gumam sopir taksi, lebih kepada dirinya sendiri.
“Apakah kita sudah dekat?” tanyaku kepadanya.
“Pertanyaanmu tepat sekali. Kita sudah sampai,” jawab si sopir
taksi yang bernama Mürat. Tentu saja aku mengetahuinya dari tanda
pengenal yang dia kenakan saat menawariku untuk menaiki taksinya. Aku
memberinya beberapa lembar lira. Dia membantuku mengeluarkan
koper dari bagasi. Pertemuan kami hanya sampai di situ. Setelah itu aku
kembali merasa sendiri.
Aku membuka pintu kamar hotel. Langsung saja kurebahkan diri
di atas kasur. Perjalanan yang tidak kurang dari lima belas jam lumayan
membuatku lelah. Aku tertidur saat itu juga. Mendadak melupakan
tujuanku datang ke sini, melupakan aku sedang berada di Istanbul dan
sendirian, juga melupakan Tayfun.
***
Saat terbangun, sudah ada lima belas missed call yang tertera di
handphone-ku. Aku memang tidak mengganti nomor. Jujur saja, aku
membayar mahal untuk mengurus nomorku agar tetap bisa dipakai di
sini. Semuanya dari nomor yang sama dengan nama Kocam.

4 Salju sudah turun.


Belum sempat aku menekan tombol dial untuk meneleponnya
balik, sudah kembali masuk telepon dengan nama Kocam. Langsung saja
aku mengangkatnya.
“Kamu di mana?” Suaranya terdengar panik.
“Kamar hotel,” jawabku pendek.
“Hotel apa?” tanyanya. Aku menyebutkan nama hotel tersebut.
Tanpa pamit atau apa, telepon sudah terputus. Dia terkadang memang
menyebalkan.
Kurang dari lima belas menit, pintu kamar hotelku diketuk. Aku
membukanya dan menemukan Tayfun dengan raut puppy face. Untungnya
aku cukup handal membuat raut kesal.
“Üzgünüm.5”
“Aku menunggumu di bandara. Kukira kamu tidak akan
menjemputku. Ya, kamu memang tidak menjemputku.” Suaraku dibuat
seketus mungkin. Aku harus menekan perasaan agar tidak memeluknya.
Aku sangat merindukannya. Apalagi dia yang sekarang berdiri di
hadapanku berwujud tiga dimensi. Bukan dua dimensi dari layar datar
seperti biasanya.
Dia membalas ucapanku dengan pelukan yang sangat hangat.
Kemudian dia berbisik lembut di telingaku, “Aku menjemputmu, Karra.
Aku mencoba meneleponmu namun gagal. Aku tahu pesawatmu telah
sampai. Memang aku salah tidak menunggumu bersama penjemput yang
lain. Saat kamu sampai kukira aku sedang ada di toilet.”

5 Maafkan aku.
Penjelasannya sudah cukup untukku. Aku ingin bersamanya
sekarang. Menghabiskan waktu bersamanya di tempat ini.
“Kamu akan membawaku ke mana hari ini?” tanyaku tanpa
berbasa-basi lagi.
“Kamu ingin melihat Selat Boshporus secara langsung?”
Anggukanku sebagai jawaban.
Dia langsung menyeret lembut tanganku menuju lift hotel.
Dalam hitungan menit, aku sudah berada di sebelahnya yang sedang
mengemudi mobil. Kami bercakap-cakap sambil melepas rindu. Rasa
kesalku hilang begitu saja. Hanya dia yang sanggup menghilangkan
kesalku dengan cepat dan mudah.
Kami sampai di dermaga. Dia memarkirkan mobilnya di tepi
selat yang dibatasi oleh pagar penghalang. Masih dengan kelembutannya,
dia menggenggam tanganku menuju kapal yang sebentar lagi akan
berangkat.
Kami menuju dek untuk menikmati pemandangan yang
menurutku, sangat menakjubkan. Rasa dingin tidak lagi aku hiraukan.
Salju masih tetap turun sejak pertama kali aku berada di dalam taksi.
Namun di atas kapal ini, semua terlihat sangat indah.
Terlihat kubah Hagia Sophia di kejauhan. Perlahan-lahan kubah
itu mulai ditutupi salju. Itu tidak mengurangi kekagumanku terhadap
tempat bersejarah bagi warga Turki, bahkan dunia tersebut. Salju yang
turun ke air yang berada di bawah kami langsung mencair. Namun aku
tetap bisa merasakan salju yang jatuh di telapak tanganku.
Kami akan menyeberang dari Istanbul bagian Asia menuju
Istanbul bagian Eropa. Menakjubkan, bukan? Kurang dari tiga jam aku
berada di Turki, aku sudah dapat melintasi dua benua yang berbeda. Itu
mengapa Turki disebut sebagai negara Eurasia. Letaknya yang berada di
perbatasan benua membuat Turki menjadi negara yang unik. Perbatasan
benua tersebut ada di selat yang aku lalui sekarang bersama Tayfun, Selat
Boshporus.
Semakin lama salju yang turun semakin banyak. Kami belum
beranjak dari dek kapal. Aku masih ingin menikmati salju secara
langsung, bersama orang yang aku cintai. Tayfun memelukku dari
belakang. Aku merasa hangat dan aman. Sekali kali dia berbicara lembut
di telingaku tentang harapan-harapannya tentang kami di masa depan.
Setidaknya, masih beberapa jam menuju malam. Kami sudah
sampai di Istanbul bagian Eropa. Pemandangan sore hari menjadi sangat
indah disertai dengan salju yang masih turun dari langit. Kami akan
kembali ke dermaga tempat Tayfun memarkirkan mobilnya beberapa jam
lagi. Sekarang waktunya kami menikmati sore di tengah salju.
Terkadang Tayfun menyapu salju yang bertengger di batang
hidungku. Rasanya dingin, tapi aku tidak merasa kedinginan. Mungkin
suhu sudah mencapai titik minus sekarang. Namun aku tidak peduli.
Menikmati salju bersama orang yang kucintai memang terasa semakin
indah.
(*) Pamulang, 19 Februari 2015.
iuh rendah suara dari berbagai macam sumber memecah
fokusku untuk sementara. Tatapan gamang dari mataku mengisyaratkan
agar aku terus melangkah, melewati lautan orang yang mungkin memiliki
tujuan yang sama atau berbeda denganku. Aku tidak peduli. Kakiku
hanya mengikuti ke mana otakku menyuruhnya melangkah.
“Mau diangkut, Neng, tasnya?” tawar seorang pengangkut
barang.
Aku hanya tersenyum kaku dan menggeleng. Dia mengerti.
Kemudian dia meninggalkanku dan mencari sasaran berikutnya.
“Mari, Bu, saya bantu angkat.” Sayup kudengar suara si
pengangkut barang tadi menawarkan jasanya kepada orang yang mungkin
ibu-ibu, atau berpura-pura menjadi ibu-ibu.
Sedangkan aku menuju ke antrian.
“Mana kartu identitas aslimu?” tanya petugas tiket.
“Masih diurus,” jawabku pendek.
“Apakah ada identitas lain?” tanyanya lagi.
Aku mengeluarkan SIM A yang baru kumiliki seminggu. Dia
mengangguk, mencocokkannya dengan data yang terlihat di layar,
kemudian mempersilakanku untuk masuk. Aku memasukkan SIM A
tersebut ke kantong celana belakang. Kemudian dengan sedikit terseok
aku menuju tempat pemberhentian kereta yang akan membawaku entah
ke mana.
Tujuanku memang tercantum di tiket. Namun antara sadar dan
tidak, aku tidak terlalu memedulikannya. Aku hanya ingin lepas untuk
sementara. Terserah mau dikata kabur, lari, menghindar, atau apalah.
Bukan urusanmu.
Sambil menunggu kedatangannya, jari-jariku menghentak
bangku besi yang aku duduki. Sebagai formalitas agar tidak terlihat bosan.
Aku memperhatikan orang berlalu-lalang. Ada yang menggendong
anaknya, ada yang menggendong anaknya yang sedang menangis, ada
yang sibuk dengan tablet berwarna putih dengan logo buah di
belakangnya, ada yang menenteng plastik berisi makan malam, ada yang
mengobrol dengan orang di sebelahnya, bermacam-macam. Mungkin ada
juga yang sedang memerhatikan orang duduk di bangku besi sambil
menghentakkan bangku itu dengan jari-jarinya.
Tidak berapa lama, suara lonceng mendobrak kesadaranku
untuk sementara. Diikuti suara khas dari laju besi yang bersinggungan
dengan rel di bawahnya membuat mataku sejurus menatapinya. Masih
dengan perasaan malas, aku mendorong koperku menuju rangkaian
gerbong yang akan membawaku pergi. Pergi dari omong kosong. Pergi
dari kemunafikan. Pergi dari kehampaan yang akhir-akhir ini
membelenggu diriku.
Sialnya aku menunggu jauh dari gerbong yang tertera di tiketku.
Maka aku harus ekstra keras mendorong koper yang besar ini agar bisa
sampai ke sana. Ditambah gerutuan dan perasaan kesal, koper ini menjadi
tiga kali lebih berat. Sialnya lagi, sudah ada orang duduk rapi di tempat
dudukku. Aku mengerling malas, namun malas juga menegur. Tempat
dudukku memang enak karena berada di pojok dekat jendela. Mungkin
orang ini tidak mengerti membaca tiket.
Jadilah aku duduk di sebelahnya, tempat yang kuyakini
merupakan tempatnya. Kemudian aku mengeluarkan novel tipis yang
bercerita tentang mitos dewa-dewi. Baru beberapa paragraf, fokusku
kembali pecah dengan suara tangisan anak kecil. Uhhh. Makin kesal
rasanya. Aku kesal dengan anak kecil yang suka menangis. Mengganggu
saja.
Untung aku belum punya anak. Jika iya, tidak akan aku
membawanya ke mana-mana sampai dia mengerti agar tidak menangis
meraung-raung seperti itu. Kalau mau menangis, jangan sampai
mengganggu penumpang lain. Saat itu aku belum mengerti, kalau setiap
alasan pasti ada sebab. Pasti ada sebab mengapa ibu anak kecil itu
membawanya pergi jauh. Mungkin dulu ibuku juga pernah melakukan hal
yang sama. Sayangnya aku tidak peduli.
Maka aku mengalihkan pandanganku ke sebelah kanan. Kereta
sudah jalan beberapa menit yang lalu. Masih terlihat lalu lalang kendaraan
dengan polusi yang dihasilkan. Raungan anak kecil itu berhenti.
Digantikan dengan omongan tensi tinggi dari orang di depanku. Seorang
bapak paruh baya yang kutaksir merupakan seorang businessman.
“Saya disuruh ke Cirebon sekarang. Iya, sama orang sok tahu itu.
Saya tahu dia baru di perusahaan. Tapi dia mengobrak-abrik hampir
semua sistem yang saya bangun. Saya lebih lama di perusahaan itu. Gila
saja! Dia pikir dia siapa?”
Semakin aku tidak ingin mendengar, semakin keras suaranya.
“Apa?! Kamu menempatkanku satu kamar dengannya?! Bisa
tolong dipindah? Aku tidak mau satu kamar dengan orang itu! Lagi pula
dia bos. Tidak etis jika harus sekamar dengan anak buahnya.” Kemudian
bapak itu mematikan telepon.
Tidak beberapa lama, dia kembali menempelkan teleponnya di
telinga sebelah kanan, “Tidak bisa dipindah?! Ya sudah, saya pesan satu
kamar lagi. Yang penting saya terpisah darinya. Kalau perusahaan tidak
mampu bayar, biar saya bayar sendiri.”
Wahai Bapak Paruh Baya yang Habis Marah-Marah di Telepon.
Peduli benar dengan urusanmu. Urusanmu tidak kalah pelik dengan
urusanku. Kamu dengan kantor, aku dengan hati. Kamu enak bisa
melampiaskannya dengan marah-marah di telepon. Aku harus
memendamnya sendirian. Kecuali aku cukup gila dengan marah-marah
di telepon sendirian. Biarpun orang lain tidak tahu aku benar-benar
sedang menelepon atau tidak.
Sayangnya semburat senja yang biasanya menghiburku di waktu
sore tidak terlihat. Jelas saja aku semakin muram dibuatnya. Aku menanti
hingga langit berubah warna menjadi biru dongker, kemudian
sepenuhnya gelap. Beberapa orang yang terlihat olehku menangkat
tangannya sampai ke telinga, kemudian bersedekap. Mereka khusyuk
dalam doanya masing-masing meskipun duduk di tempat yang sama dan
tidak menghadap ke arah yang ditentukan.
“Nasi goreng nasi rames. Silakan nasi gorengnyaaaa ....”
“Bantal ..., bantal .... Lima ribu saja ....”
“Ada kopi, ada cokelat. Tehnya di belakang, Bu. Hei!! Ada yang
pesan teh. Kemari cepat!”
“Pop mie, pop mie .... Masih hangat, masih hangat ....”
“Air mineralnya, Neng. Boleh air mineraaall ....”
Satu demi satu penjanja makanan hingga bantal hilir mudik
melewati gerbong yang aku diami. Dari cara mereka menawarkan tidak
ada bedanya dengan pedagang asongan yang biasa aku temui di bus antar
kota. Bedanya mereka berseragam dan berpantofel.
Aku memilih bantal. Langsung kuletakkan tepat di leherku.
Lumayan. Meskipun rasa pegal tidak sepenuhnya pergi. Setidaknya aku
sedikit pamer kepada orang yang merebut kursiku karena dia tidak
menyewa bantal. Tidak beberapa lama setelahnya, aku terlelap.
***
Pukul tiga pagi. Sudah hampir dua belas jam aku duduk di
tempat yang sama. Merasa agak tepos, aku berdiri dan melangkah
menyusuri gerbong. Satu per satu aku melihat wajah-wajah kelelahan
yang sedang dirudung mimpi. Harusnya aku bisa tertawa. Rata-rata dari
mereka membuka mulut. Bahkan sudah ada air liur yang mengalir hingga
membasahi kerah. Sedangkan anak kecil yang meraung-raung tadi sore
tenggelam dalam pelukan ibunya. Tapi aku tidak berniat tertawa.
Perjalananku masih lama. Mungkin sekitar lima jam lagi akan
sampai. Peduli amat. Kalau tidak pernah sampai pun aku tidak peduli.
Aku telah tiba di ujung gerbong. Pintu masuk aku buka. Kontan saja
angin kencang menampar-nampar wajahku. Untungnya aku cukup cakap
sehingga langsung berpegangan di kanan-kiri pintu. Jika tidak aku sudah
terpelanting keluar.
Setelah keseimbangan kudapatkan, aku berjongkok di pintu
tersebut. Kemudian kukeluarkan bungkusan yang berisi batang-batang
kenikmatan. Hanya perlu satu dalam sekali pakai. Lalu aku apit di antara
kedua belah bibirku. Kurang dari satu menit, batang itu sudah
mengeluarkan asap tepat ketika api menyentuh ujungnya.
Kusesap perlahan. Membiarkan zat yang katanya bahaya itu
mengendap sebentar di paru-paruku. Lalu aku embuskan perlahan,
seolah tidak ingin zat itu keluar dari sana. Nikmat. Wajar jika aku kembali
menghisapnya dalam-dalam dan menghembuskanya perlahan-lahan.
Setidaknya ketenangan aku dapatkan sekarang. Ditambah nuansa hangat
yang menyebar ke seluruh tubuh.
Aku merasakan kesendirian. Kesepian, kesunyian, kesenyapan
merangkak semakin mendekatiku. Angin yang awalnya bersuara lewat
siulannya sekarang diam. Seolah waktu berhenti. Statis.
Sigaret yang menemaniku sebentar lagi habis terbakar. Ingin aku
menyalakan temannya. Tapi urung. Padahal jika sudah waktunya, satu
bungkus sekaligus bisa langsung habis. Kemarin dan hari ini aku bukan
seperti diriku. Sebagian diriku menyarankan untuk melompat saja. Cih.
Pengecut benar jika aku melompat. Semakin menghindar.
Jadi, aku berbenah. Kembali menutup pintu kereta, dan kembali
ke kursiku. Satu-dua orang sudah terjaga. Sesampainya di kursi, aku
mengecek telepon genggam. Niatnya ingin mengetahui sudah sampai
mana aku sekarang. Namun sistem navigasinya kacau. GPS-nya tidak
berfungsi normal. Mungkin aku sudah menembus dimensi ruang dan
waktu.
Karena merasa tidak penting, aku mencoba kembali terlelap.
Sengaja aku pepet orang di sebelahku agar dia sadar kalau aku kesal
dengannya. Suaraku terlalu mahal untuk dikeluarkan lantaran menegur
kelakuannya yang tidak sopan. Merebut kursi orang lain, enak saja! Lagi
pula ini waktu yang tepat untuk balas dendam. Pura-puranya aku sedang
tidak sadar karena terlelap. Jadi, dia tidak akan marah-marah.
Kalau dia marah-marah, mudah saja dihiraukan. Salah sendiri
marah-marah dengan orang tidak sadar. Padahal sebenarnya aku sadar.
Aku malah tidur betulan. Karena ketika sadar, kereta sedang
berhenti. Matahari malu-malu mulai menampakkan pancarannya.
Ternyata sudah pagi. Aku melihat businessman yang duduk di depanku
sudah raib. Sontak aku melihat ke atas. Ternyata dua tumpuk bingkai
yang dia letakkan di bagasi atas tertinggal. Aku masih malas untuk
melaporkan baranganya yang tertinggal itu.
Sedangkan orang yang duduk di sebelahku masih terpaku.
Mungkin dia tidak bisa bergerak lantaran aku apit. Ingin marah, tapi
terlalu penyabar. Hahaha. Senang rasanya.
Entah di mana aku harus turun. Nyatanya setelah aku terjaga,
orang di sebelahku pun turun. Tanpa kata tanpa suara, dia
meninggalkanku sendirian di deretan kursi yang sekarang tak bertuan.
Tidak lama setelah itu, kereta kembali melaju. Berarti bukan ini tujuanku.
Rintihan tertahan datang dari kursi yang ada di depanku.
Suaranya seorang ibu tua. Ingin aku mengecek, tapi tidak acuh. Akhirnya
keributan kecil muncul.
“Tadi saya taruh di sini. Isinya empat ratus ribu.”
Aku mendengar dari kursiku. Aku berusaha tidak ikut campur.
“Ibu lihat, kan, saya dari tadi berada di sini. Tidak bergerak
barang sesenti.” Ada suara lelaki menyahuti ibu itu.
“Tapi saya tadi tertidur. Ketika bangun sudah tidak ada
amplopnya. Ya Rabb. Isinya empat ratus ribu. Itu uang titipan.”
Kemudian terdengar lirih isak tangisnya.
“Jadi Ibu menuduh saya?” kata suara Lelaki.
“Tidak. Saya tidak menuduh kamu. Tapi siapa lagi? Mana
mungkin suami saya. Kamu yang berada di dekatku selain suami saya.”
Baru aku tahu ibu itu bersama suaminya setelah dia menyebut-
nyebutnya barusan.
“Kalau begitu namanya Ibu menuduh saya. Sudahlah, saya lapor
keamanan saja. Biarkan mereka mengecek tas saya. Lalu kita buktikan
apakah saya benar mengambil atau tidak,” kata suara lelaki itu.
Aku melihat lelaki itu pergi meninggalkan deretan kursinya.
Mencari keamanan. Tidak beberapa lama datang beberapa orang
berseragam biru tua menghampiri tempat duduk mereka. Bokongku
masih belum beranjak dari kursiku. Tidak ingin terlibat, itu alasanku.
Setelah sedikit cek-cok, entah bagaimana, amplop itu ketemu.
Terselip di resleting yang tertutup keranjang bawaan ibu itu sendiri.
Wajah ibu itu merona merah saking malunya. Kemudian gelak tawa
masih dari dirinya terdengar lantang. Amplop berisi empat ratus ribunya
sudah kembali.
Lelaki yang baru aku dengar suaranya menghampiriku. Dia
mohon izin untuk melaksanakan salat duha. Setelah itu terjadi
perbincangan di antara kami. Parasnya lumayan. Jika dia ikut casting
sinetron, kemungkinan akan lolos dan jadi idola baru para ABG.
Malah kami bertukar nomor telepon. Kesempatan sekali
memang. Baginya, mungkin. Bagiku, tidak, terima kasih.
Rentetan gerbong itu akhirnya berhenti, sekaligus menyudahi
obrolan kami. Semua orang berlalu lalang meninggalkan tempat duduk
mereka sambil memanggul tas. Semua orang. Artinya termasuk aku.
Sebelum pergi, aku sempatkan diri melaporkan perihal dua tangkup
bingkai yang tertinggal di bagasi atas milik si businessman. Setelah itu, aku
kembali tergopoh mendorong koper ukuran jumbo sendirian.
Meskipun di tengah-tengah lelaki bernama Akmal itu
menawarkan diri untuk membantuku membawakan kopernya, aku tetap
tidak peduli. Dia memaksa. Aku pasrah. Biarkan dia menunjukkan
kejantanannya lewat membawakan koper seorang perempuan muda.
Setelah ini, entah ke mana aku akan berlabuh. Kisahku belum
selesai.
(*) Pamulang, 25 Februari 2016.
Untuk Kamu ....

atu demi satu lembar daun pasrah ketika harus tergolek di


tengah jalanan beraspal. Di kanan kirinya ada persawahan. Salah satu
daun tidak sempat memerhatikan karena tidak beberapa lama, ia bergulir
beberapa meter, terbang karena ada hempasan dari roda bergerak yang
tanpa sadar telah menabraknya. Jari-jarinya masih cukup kuat menopang
tubuhnya yang rapuh. Belum ada satupun yang robek meskipun telah
bergulir mengikuti arah angin.
Daun itu kembali jatuh mengayun menyentuh jalanan yang
asing. Kemudian ia mendengar hentakkan kaki dari sepatu berwarna biru
tua. Sepatu milik orang yang sebelumnya ada di dalam mobil yang telah
membawa daun ini terpisah jauh dari ibunya. Daun ini tidak tahu, bahwa
ia akan menjadi saksi kisah orang bersepatu biru tua untuk beberapa
minggu ke depan.
Orang bersepatu biru tua itu pun tidak menyadari kalau selembar
daun akan setia memerhatikannya, tanpa daun itu minta, tanpa orang itu
minta, tapi begitulah suruhan angin yang senantiasa menggeliat dan
membuat sang daun akhirnya memiliki kisah di hidupnya. Kisah yang ia
dapatkan dari orang yang akan menuai pelajaran tentang arti sebuah cinta
dan kerinduan.
***
Aku ingin menghindar. Tapi aku terlalu lemah. Dengan
mudahnya aku mempersilakan kamu masuk terlalu dalam. Menjelma
menjadi sebuah keniscayaan yang tidak ingin aku sebutkan sekarang.
Terkadang aku gusar. Namun aku lebih sering merasakan bahagia. Maka
lebih sering keresahan yang menghantui diriku.
Kamu tidak perlu tahu tentang itu. Karena aku ingin kamu tahu
bahwa aku bahagia. Seperti harapanmu tentangku. Seperti permintaanmu
kepadaku.
Aku bahagia. Tidak perlu khawatir. Jalani kisah kita sebagaimana
mestinya. Bahwa kamu ingin aku tetap menjadi yang kamu butuhkan.
Bahwa aku ingin selalu berada kapan pun kamu butuh.
***
Ketika itu aku baru saja sampai. Tubuhku remuk karena hampir
dua hari tidak tidur. Tulang dudukku rasanya mau keluar karena terlalu
lama tidak berdiri. Aku hampir bangkit ketika kamu datang. Kemudian
kita tersenyum. Berkenalan secara normal. Lalu mengobrol.
Obrolan kita laksana air sungai yang terus mengalir hingga ke
hilir. Tidak berhenti. Tidak ada yang menghambat. Begitu tenang tapi
menghanyutkan. Seperti aku yang dapat merasakan kekuatan luar biasa
dari dirimu saat bercerita. Maka aku duduk diam dan mendengarkan.
Tersenyum, tertawa, karena memang begitu semestinya.
Terkadang aku menceritakan tentang aku. Kamu
menanggapinya. Kita hampir lupa, waktu telah berjalan begitu cepat.
Namun tidak ingin rasanya aku beranjak. Ingin rasanya waktu kuminta
untuk berhenti. Padahal itu baru yang pertama. Aku menemukan titik
kenyamanan ketika bersamamu.
Aku melupakan rasa lelah yang telah hinggap. Saat itu,
bersamamu adalah hal yang aku inginkan. Padahal, baru pertama kali itu
juga kita bertemu. Padahal, itu membuatku bertanya, tentang apakah aku
siap?
Kita berbicara tentang banyak hal. Hampir tak terhitung berapa
kali aku terkejut karenamu. Alasannya, kita banyak sekali memiliki
kesamaan. Sebelumnya belum pernah aku bertemu dengan orang yang
begitu mirip dalam hal kesukaan sepertimu. Bukan satu atau dua hal. Tapi
banyak.
Itu hari pertama kita. Keras aku berusaha agar tidak kembali
tercemplung dan hanyut. Awalnya aku berhasil. Aku teguh agar tidak
luluh. Padahal hatiku menyangkal. Mengapa ini menjadi begitu rumit?
***
Hari-hari berikutnya berlalu dengan indah. Sangat indah. Malam
pertama kau memintaku menemanimu menjadi guru. Hal itu sukses
membuat murid-muridmu berpikir yang macam-macam tentang kita.
Aku sudah nyaman. Namun masih menyangkal.
Setelah itu, puluhan kejutan kamu berikan kepadaku. Setiap hari.
Mulai dari puisi yang kamu buat, cokelat berbentuk boneka, buku-buku
bahasa Perancis, air mineral dalam botol, menyembunyikan kunci sepeda,
hingga kamu membuatkan lagu untukku! Perempuan mana yang tidak
terlena dengan segala bentuk perhatian seperti itu? Dan kamu
melakukannya untukku. Kamu, orang pertama yang melakukan itu
untukku. Hati ini terasa terombang-ambing, membutuhkan sandaran,
menginginkan tambatan agar tidak hilang ditelan kabut malam.
Kamu selalu memiliki perhatian tentang hal yang aku ucapkan.
Tidak lama setelahnya kamu membuat itu menjadi kenyataan, membuat
hatiku tak karuan untuk sementara. Seperti ketika pengakuanku tentang
cintanya aku terhadap Perancis. Bagaimana aku ingin ke sana, bagaimana
mimpi-mimpi itu telah terpatri hampir sepuluh tahun lamanya,
bagaimana setiap doaku selalu menyebut kota itu.
“Kamu istirahat yang cukup. Sempatkanlah salat hajat.
Berdoalah supaya rencana kita berjalan lancar,” ucapmu.
Jawabanku berupa anggukan lemah. Saat itu tubuhku tidak sehat.
Namun kamu sedang merencanakan sesuatu untukku. Kamu akan
memberikan hal yang tidak akan terlupakan dalam hidupku. Aku berdoa,
agar aku sembuh seperti yang kamu minta.
Malam itu gerimis kembali turun. Tapi kita tidak membatalkan
rencana ini. Aku tidak ingin kamu kecewa. Maka aku, dengan sekuat
tenaga bangkit dan menuju tempat pertemuan kita. Belum berhenti
sampai di situ. Karena setelahnya, kita kembali pergi, ke suatu tempat,
aku hanya rela dibawa kemanapun kamu pergi. Sebab aku menangkap
suatu ketulusan dan kejujuran dalam dirimu yang tidak ingin aku cabik.
“Hai,” katamu dari depan.
Kita menggunakan sepeda motor untuk mencapai tempat itu.
“Iya?” jawabku.
“Tutup matamu sekarang,” pintanya.
“Oke,” jawabku singkat.
Kemudian aku menutup mataku.
“Jangan dibuka ya,” pintanya lagi.
“Siap,” kataku.
“Masih ditutup, kan, matamu?” tanyanya.
“Hahahaha. Kamu harus memercayaiku. Aku menutupnya dan
tidak akan membukanya sampai kamu minta,” kataku.
Tidak lama setelahnya, aku merasakan kita berhenti. Dengan
sangat hati-hati, kamu membimbingku. Masih dengan mata tertutup, aku
berdiri di satu titik. Masih juga hatiku diliputi pertanyaan tentang kemana
kamu akan membawaku.
“Kamu boleh membuka matamu sekarang,” katamu.
Tepat ketika aku membuka mata, suara lantunan indah pun
terdengar. Suara itu selalu menjadi teman ketika kita mengobrol melewati
malam. Suara sama yang kerap aku rindukan ketika tidak sedang
bersamamu. Suara kesukaanmu, yang juga selalu menjadi pengiringmu
ketika sedang mengajar atau melakukan hal lain yang menurutmu itu
bermakna. Suara yang berasal dari telepon genggam milikmu, dan sering
membuatku tersenyum ketika kamu mulai memainkannya.
Mataku tidak kuasa membendung airnya. Di hadapanku berdiri
kokoh Arc de Triomphe. Bukan, aku tidak sedang berada di Paris.
Namun tugu ini sama persis seperti tugu kemenangan yang berada di
Paris, dan kamu membawaku ke tempat ini. Hampir sulit mulut ini
mengeluarkan kata. Ini adalah pemberian terindah untukku darimu.
Tanpa kita sadari, di bawah kaki kita, selembar daun
menyaksikan kebahagiaanku dan kamu. Diam-diam daun itu tersenyum.
Kemudian ia kembali terbawa angin, mengikuti kita dari belakang ketika
kita memutuskan untuk pergi menuju tugu itu lebih dekat.
***
Masih seperti sebelum-sebelumnya, kita bersepeda bersama
mengelilingi kampung. Sadarkah kamu ketika kedua kaki kita mengayuh
sepada, gerakannya seirama? Setelah turun dari sepeda dan kita berjalan
menuju tempat tujuan, apakah kamu menyadari kalau iringan kaki kita
selalu sama? Aku melangkah menggunkan kaki kanan, begitu pun
denganmu. Ketika kamu melangkahkan kaki kiri, aku pun sama.
Tidak ingin rasanya berasumsi terlalu jauh. Anggap saja ini
kebetulan semata. Sebuah kebetulan indah dan aku biarkan menjadi
rahasia kecilku tentang kita.
Sulit rasanya diriku menghapus senyum itu dari wajah. Kamu
yang menemaniku untuk mengunjungi salah satu tempat terpenting di
wilayah ini pun turut merasakan senang. Tepat setelah kita memarkir
sepeda, orang yang kita nantikan dan kamu harap agar aku dapat bertemu
dengannya hadir.
Akhirnya tugas yang aku bawa dari tempat asalku selesai. Aku
berhasil mewawancarai dari sumber utama. Dada ini rasanya bergejolak
ketika aku selesai mewawancarainya. Apalagi dengan kamu yang
mendampingiku saat aku melakukannya.
Mungkin kamu tidak menyadari itu. Tapi, kamu dapat
merasakanku. Seperti biasanya. Seperti sebelumnya.
***
Daun itu masih setia menyaksikan kita. Bahkan ia juga
merasakan gejolak yang tertanam dalam benakku dan benakmu. Mungkin
dia mengetahui apa yang sebenarnya terjadi di antara kita. Tanpa kita
sadari, daun itu pun mengetahui kejadian apa yang akan terjadi kepada
kita, jauh sebelum kita berpikir ke arah sana, jauh sebelum halang
rintangan akan menyapa kita, khususnya aku, jauh sebelum langit mulai
merestui apa yang seharusnya terjadi antara aku dan kamu.
(*) Pamulang, 28 Februari 2016.
ku kembali. Menatapi orang yang berlalu-lalang di sekitarku.
Urung kurasakan jika langsung menuju peron. Lagi pula keretaku baru
akan tiba dua jam dari sekarang.
Perasaanku tak karuan. Sial. Aku menghindari perasaan ini.
Namun dengan tidak tahu diri ia malah berkembang semakin pesat dalam
dada. Ingin aku meredamnya. Dua menit, tiga menit, berhasil. Setelahnya
aku kembali dipecundangi.
Bukan Akmal yang bersamaku sekarang. Tanpa pamit, dia telah
meninggalkan kota pertemuan kami beberapa hari yang lalu. Aku tidak
benar-benar peduli sebenarnya. Tiba-tiba saja, orang yang bersamaku
sekarang menjadi sangat penting. Orang ini, bukan Akmal yang tiga
minggu lalu mengangkat koperku demi mencari perhatian. Orang ini
berbeda. Tidak seperti Akmal.
Kami memutuskan untuk duduk di ruang tunggu. Obrolan kami
mengalir lancar. Seperti biasanya. Mengalun lembut membunuh sang
waktu. Selalu seperti itu. Namun aku tidak pernah sadar. Waktu selalu
terlalu cepat untuk kami.
Harusnya aku belajar. Tentang perasaan, tentang terluka, tentang
kebahagiaan sementara. Sepertinya aku kembali gagal. Karena saat ini aku
berada di ruang dan waktu yang sama seperti sebelum-sebelumnya.
Terlanjur tercemplung dan hanyut terbawa arus tak tentu arah. Tahu-tahu
aku sudah mengambang tak bernyawa dan ditemukan kawanan
pengalaman. Setelah direngkuh dan diberi bekal dan nyawa tambahan,
aku kembali dilepas bebas dan menuntut diriku yang memutuskan
perjalanan selanjutnya.
Seperti sekarang. Aku telah memilih untuk kembali menggeluti
hal yang sebelumnya terlarang. Memang aku menikmatinya untuk
sementara. Catat itu, untuk sementara. Keabadian bagiku hanyalah
fatamorgana.
“Aku ingin ke kamar kecil,” kataku memotong cerita seru kami.
Anggukan disertai senyumannya merupakan jawaban. Aku
bangkit menuju pintu keluar. Mencari tempat lengang agar dapat
merenung untuk sementara. Untuk pertama kalinya hari ini, aku
mengeluarkan bungkusan favoritku. Cricket yang baru aku beli langsung
dinyalakan ke ujung benda dalam bungkusan.
Ingin aku menikmatinya lama-lama. Namun aku tahu dia
menunggu. Dia tidak menyukai benda ini sepertiku. Sedangkan desakkan
hasratku tidak dapat terbendung. Jadilah aku menghindar agar dapat
melakukan ritual ini. Meskipun agak tidak khusyuk, yang penting aku
dapat mencicipinya hari ini.
Akhir-akhir ini semakin sulit bagiku untuk dapat bercengkrama
bersama kumpulan tar dan nikotin. Hampir sebagian besar waktuku
dihabiskan bersamanya. Terlebih dia membenci benda ini. Bisa jadi dia
mendadak membenciku jika mengetahui hal ini. Karena dia ingin aku
sehat dan bahagia. Permintaan yang sederhana. Namun berhasil
menghancurkan tembok yang baru saja aku selesai bangun.
“Bunga!!” Suara itu sedikit membuatku terkejut. Cepat-cepat aku
matikan puntung itu dan menengok ke asal suara.
Untung bukan dia. Orang itu adalah teman baruku. Seorang
lelaki bertubuh agak pendek, mengenakan kacamata, memiliki rambut
bergaya Leonardo DiCaprio dalam film Blood Diamond, gigi yang rapih,
sekilas mirip orang yang mendapatkan ciuman pertamaku. Pantas saja
pertama aku melihatnya aku agak tertarik, atau mungkin teringat
seseorang. Sekarang aku tahu alasannya.
“Kuhubungi kau dari tadi, tidak dijawab,” katanya.
Aku mengeluarkan telepon genggam dari kantong celanaku.
Terdapat satu SMS dan belasan missed call darinya. Aku nyengir kuda.
“Bukannya kau kehabisan tiket?” tanyaku.
“Iya. Aku hanya mengantarkan temanku. Kenalkan, ini Raihan.
Ini Bunga.”
Kami pun bersalaman layaknya orang yang sedang berkenalan.
“Jadi, kamu dengan siapa ke sini?” tanyanya lagi.
“Temanku yang kemarin bertemu denganmu,” jawabku
sekenanya.
“Tuh, kan! Apa aku bilang! Kalian benar-benar terlibat cinta
lokasi.” Asumsinya mungkin berdasar, tapi wajahnya menyebalkan.
Raihan berencana ingin pergi ke kota yang sama denganku.
Mungkin karena akhir minggu, dia tidak kebagian tiket. Jadi, dia ke sini
hanya untuk mengantarkan temannya itu.
“Aku ke sana dulu ya. Mau beli makanan,” ujarnya.
Aku tersenyum dan memberikan salam singkat. Kemudian aku
memutuskan untuk kembali. Tidak karuan rasanya meninggalkan dirinya
walau hanya sebentar. Waktu kebersamaan kami kian menipis. Namun
jika tadi aku tidak melakukan ritual, bisa-bisa aku semakin tertekan. Ini
adalah cara yang paling baik.
Senyuman darinya menyambutku.
“Sudah selesai?” tanyanya.
Anggukanku adalah jawaban. Aku duduk di sampingnya. Kami
kembali berbincang. Seputar apa saja. Diriku tidak seperti diriku ketika
berada di dekatnya. Begitu tenang namun menghanyutkan. Mendadak
suka bicara, namun tidak lepas arah. Karena ada dia yang selalu
menunjukkan arah.
Mendadak, dia memberiku klipingan bersampul merah dengan
warna oranye sebagai cover belakangnya. Isinya adalah rangkaian kisah
kami mulai dari pertama kali bertemu. Setiap lembaran yang aku buka
menawarkan secercah kenangan yang telah lewat. Sanggup membuatku
tersenyum, namun juga terenyuh. Bersamaan dengan itu, dia memainkan
instrumen favoritnya yang selalu menemani kami ketika sedang
mengobrol. Air mataku hampir tumpah sampai ....
“Nah! Ini dia pasangan favoritku. Benar-benar, kalian berdua
seperti amplop dan perangko. Melekat. Tidak terpisahkan.” Anton
membuatku kaget yang kedua kalinya hari ini.
Aku hanya terkekeh menanggapi komentarnya. Kupersilakan dia
duduk di sampingku, dan Raihan di sebelahnya. Anton benar-benar
mengganggu momen antara aku dan dia.
“Wah. Apa itu? Proposal lamaran ya?” ungkapnya setelah
melihat klipingan yang aku pegang.
Kami berdua tersenyum simpul. Aku malas menanggapi. Dia
angkat suara, mengajak Anton ngobrol untuk mengalihkan topik
pembicaraan. Setelah itu, Anton sibuk dengan Raihan. Tidak beberapa
lama, Anton pamit pulang.
“Titip temanku ya. Nanti kopermu biar temanku yang bantu
bawakan,” katanya sebagai penutup kalimat.
Ya, dia tidak boleh masuk ke kereta. Batas dia mengantarku
hanya sampai pintu pengecekan tiket dan identitas. Setelah itu aku
kembali sendiri. Oh, tidak benar-benar sendiri, mungkin. Ada Raihan.
Raihan dan aku terpisah dua gerbong. Jadi kesimpulannya, aku tetap
sendiri.
Setelah Anton pulang, kami dan Raihan sedikit bercakap. Tidak
lama setelahnya, speaker stasiun mengumumkan kedatangan keretaku.
Aku enggan untuk bangkit. Terlihat calon penumpang memadati pintu
masuk.
Waktu terus berjalan. Dengan sangat berat aku menuju pintu
masuk.
“Kamu yakin ingin pergi?” Suaranya penuh penekanan.
“Tolong jangan katakan itu. Kita akan bertemu lagi,” jawabku
jujur.
Kita akan bertemu lagi. Tolong, tidak usah khwatir dengan itu.
Karena keyakinanku mengatakan demikan.
Sesampainya di peron, keretanya ternyata belum tiba. Aku
memanfaatkan waktu yang ada untuk mengobrol bersamanya. Kami
dipisahkan oleh pagar pembatas antara penumpang dan pengantar.
Sebagian orang memperhatikan kami dengan berbagai macam pendapat,
dan aku menikmatinya.
“Kereta terlambat satu jam. Penumpang dimohon sabat menunggu.”
Sayup-sayup terdengar pengumuman dari arah datangnya suara. Refleks,
aku berlari menuju pintu masuk, meminta izin penjaga, dan ajaibnya,
penjaga itu mengizinkanku keluar lagi.
Hampir aku memeluknya. Namun aku tahan. Aku baru ingat
kalau itu dilarang. Rasanya senang sekali bisa mendapatkan tambahan
satu jam agar bisa bersamanya. Dia menyambutku dengan mimik yang
mencerminkan kebahagiaan.
“Ya Tuhan! Aku tahu Kau selalu memiliki rencana yang indah
untuk kami.” Dia memuji-muji Tuhan.
Dengan perasaan yang sama senangnya, aku pun tidak berhenti
tersenyum. Sementara Raihan masih berada di dalam peron, dengan
ikhlas menjaga koper dan tasku. Dia juga sibuk dengan urusannya. Jadi,
aku biarkan saja. Padahal mungkin, Raihan mengerti memperlakukan
orang yang sedang dilanda kebahagiaan seperti aku dan dia.
Masih dilanda kebahagiaan, kami kembali melanjutkan obrolan.
Tidak jarang aku menatap dalam-dalam matanya. Namun dia lebih sering
berpaling. Tapi kami menikmati itu. Sangat menikmati itu.
Hingga satu jam telah lewat. Keretaku datang. Aku kembali ke
pintu masuk. Berharap dia transparan agar tidak terlihat petugas peron,
agar bisa ikut denganku. Sayangnya ini bukan di Hogwarts. Dia terlalu
nyata dan sulit untuk melangar peraturan.
Aku belum benar-benar pergi. Kami kembali memosisikan diri
kami seperti sebelumnya. Aku di peron, dia di ruang tunggu, di antara
kami berdiri pagar besi pembatas.
“Berapa lama kereta akan berhenti?” tanyanya.
“Mungkin sekitar lima menit,” jawabku.
“Aku butuh satu menit untuk berbicara denganmu. Setelah itu
kamu boleh pergi.” Dia mengambil napas dalam-dalam, kemudian,
“Tolong, ingat apa yang aku minta kepadamu. Itu adalah permintaanku
yang paling spesial untukmu.Omong-omong, kamu tahu kenapa aku
memintamu mengenakan sarung tangan?”
“Supaya aku tidak kedinginan?” jawabanku menggunakan
intonasi tanya.
Di perjalanan dia memang memintaku agar mengenakan sarung
tangan. Yang benar saja. Sudah tidak ada waktu untuk itu. Lagipula
sepanjang perjalanan aku tidak menemukan sarung tangan yang dijual.
“Iya. Tapi ada alasan lain.” Dia melanjutkan, “Karena aku ingin
menggenggam tanganmu.”
Aku semakin terenyuh. Dia begitu indah. Dengan segala tingkah
lakunya, dengan prinsipnya, dengan segalanya. Dia tidak ingin memegang
kulitku secara langsung. Lalu dia menyuruhku berpegangan pada teralis
besi yang menjadi pemisah kami. Kemudian dia menggenggam tanganku
yang dibalut jaket. Barulah dia melepaskanku dan menyuruhku pergi.
“Pergi sekarang juga atau kamu akan ketinggalan kereta. Jangan
lupa ingat kata-kataku.”
Kami mengucapkan permintaan dia secara bersamaan.
“Kita akan bertemu lagi,” ucapku.
Aku berjalan mundur. Mundur, semakin menjauhinya, hingga
tubuh kereta yang membentur punggung membuatku membalikkan
badan. Raihan sudah tidak terlihat. Dia juga tidak membawakan koperku.
Maka aku berusaha sendiri menaikkan koper itu ke kereta dan mencari
tempat dudukku sesuai tiket yang tertera.
Kereta perlahan maju. Meninggalkanku bersama sejuta
kenangan yang belum tentu dapat terhapus. Memenjarakanku tentang arti
sebuah melepaskan. Mengajarkanku tentang perubahan. Menceritakanku
tentang arti kebaikan.
Sudah sepuluh menit aku duduk di kursi. Tanpa kusadari, satu
demi satu butir air terjun dari pelupuk mata. Demi Tuhan, aku merasa
sesak. Bukan kesal seperti tiga minggu yang lalu. Atau marah, atau geram.
Aku seperti berada di awang mimpi. Ingin rasanya aku kembali ke sana,
bersamanya, dan tidak akan pernah pergi dari sisinya.
Dia meminta hal sederhana yang mungkin terlalu klise bagi
setiap orang. Dia meminta agar aku menjadi perempuan yang lebih baik.
Dia ingin agar aku selalu sehat dan bahagia, agar aku bisa menaati setiap
permintaannya yang utama itu.
Tiga minggu yang lalu, aku pergi dengan membawa beban.
Kukira beban itu akan terangkat ketika aku pulang. Nyatanya aku pulang
masih dengan beban yang semakin berat. Beban akan sebuah kerinduan.
Waktu memang kejam. Kisahku belum selesai.
(*) Pamulang, 26 Februari 2016.
u Aminah duduk di kursi goyangnya. Di sebelahnya uap teh
mengarungi udara bersama dengan aroma gula aren yang bercampur di
cangkir berwarna hijau tua. Hidung yang dulu sering membaui aneka
mawar dari berbagai negeri sekarang tidak lagi berfungsi sebagaimana
mestinya. Hanya wangi kakus dan debu yang dapat ia cecap. Betapa
malang nasib ibu berusia hampir kepala sembilan ini.
Matanya jauh menerawang ke arah selatan. Angannya
melambung jauh bersama suara kicauan burung yang hinggap di ranting
pohon sebelah tenggara. Pagi tadi ia lupa menitipkan pesan kepada
burung yang terbang merambah cakrawala. Maka harinya kembali sunyi
karena si burung hanya bernyanyi-nyanyi belaka.
Sekali dua kali ia berkedip. Seolah takut kehilangan seseorang
yang tiba-tiba datang tapi juga tiba-tiba pergi. Sudah sepuluh tahun
kesepuluh anaknya tidak ada yang datang berkunjung.
Sedang apa Gabriel, cucunya berdarah Sunda–Bordeaux itu
sekarang? Terakhir ia dengar, Gabriel sedang berusaha menaklukan
Himalaya bersama kekasihnya asal Wina. Julia, ibu dari Gabriel tidak usah
ditanyalah. Nampaknya dia sedang sibuk minum teh bersama ibu-ibu
sosialita lainnya.
Gabriel adalah cucu kesayangan dan cucu satu-satunya. Tentu
saja. Kesembilan anaknya yang lain tidak menghasilkan satu anak pun.
Julia dan Jules, pasangan suami istri yang baru direstui Bu
Aminah setelah kelahiran Gabriel sangat sibuk dengan urusan tetek
bengek perusahaan yang baru dirintis. Jadilah Gabriel dititipkan dengan
keikhlasan dan rengkuhan hangat seorang nenek. Giliran semuanya
sudah maju pesat, Gabriel diambil paksa dari Bu Aminah yang sempat
memohon agar Gabriel tetap tinggal bersamanya.
“Anak tidak boleh pisah dengan orang tua,” kata Martini keras
kepala ketika itu.
“Lalu apa yang kamu lakukan lima tahun ke belakang? Gabriel
asing dengan kalian.” Bu Aminah mulai geram.
“Sudah saatnya Gabriel kembali ke pelukan ayah dan ibunya.”
Setelah itu Gabriel menghilang dari pandangan Bu Aminah,
hingga sekarang. Sepi kembali merayap. Kerinduan yang diawali
kebencian terkadang lebih dahsyat. Bu Aminah berkhayal tentang
Gabriel yang sekarang semakin mirip Julie Delpy atau mungkin Audrey
Hepburn. Harapan kosong tanpa nama tidak akan menjelma menjadi
apa-apa.
Kedelapan anaknya yang lain pasti sedang bercengkerama
bersama urusannya masing-masing. Satu di antara mereka hilang tak ada
rimba ketika terjadi kerusuhan di timur Indonesia. Meskipun Bu Aminah
tetap juga menantikan kehadirannya. Karena kakak dan adik si anak yang
hilang hampir lupa jika mereka masih memiliki seorang ibu.
Bu Aminah tidak ingin mengganggu mereka dengan telepon
yang sudah berumur tidak kurang dari enam puluh tahun itu. Takut anak-
anaknya malah marah karena merasa terganggu dan semakin urung
menemaninya di ujung usia ini. Jadilah ia hanya terpekur menatap langit
yang menjingga sambil ditemani nyanyian burung camar dan segelas teh
di cangkir hijau tua.
Beberapa kali ingatan Bu Aminah berlari menembus pohon
rindang di depan rumah, menjalar cepat dan terpantul ke andromeda,
kemudian kembali lagi ke bumi. Jari jemarinya sambil menghitung. Sudah
tiga kali dia menikah. Terakhir adalah dengan ayah dari Agus dan Septi.
Mereka dipisahkan oleh kematian, bukan oleh perceraian seperti
biasanya.
Bu Aminah sampai harus terusir sementara di keluarga dan
lingkungan karena malu disangka wanita gampangan. Padahal niatnya
untuk menikah amatlah mulia. Daripada sama-sama suka, tapi
dipaksakan untuk kumpul kebo. Terlebih dia membutuhkan asupan susu
dan nasi untuk kedelapan adik-adik Julia. Tanpa kemunafikan, Bu
Aminah memilih dicerca timbang terlihat sok suci di depan ratusan
pasang mata.
Himpitan ekonomi membuatnya semakin tersiksa. Padahal
harapan Bu Aminah setelah menikah dapat mencari kebahagiaan hakiki,
yaitu kebahagiaan yang ternilai dengan uang, menurutnya. Jadilah dua
dari lima anaknya diurus sang kakak, yang tentu saja setelah memaafkan
kelakuannya.
“Biarlah Febrian, Desi, dan April aku yang urus,” ujar kakaknya
ketika itu.
Tanpa membantah, Bu Aminah memberikan anak keempat
sampai keenamnya itu ke pangkuan sang kakak. Dia sudah lama
merindukan kehadiran buah hati dari rahim sang istri. Namun hanya
Febrian, Desi, dan April yang menjadi anaknya hingga dia menutup mata.
Setelah ayah dari Agus dan Septi dipanggil Tuhan, Bu Aminah
hidup dalam kesendirian. Anak-anaknya kabur setelah mendapatkan
warisan hasil dari rebutan. Awalnya Januar dan Febri masih menetap
bersamanya. Desi dan Novi masih rutin berkunjung ketika lebaran.
Selepas itu mereka juga hilang, seperti Okta.
Sementara ia sebagai istri, hanya kursi goyang yang tertinggal.
Tempat ia meratapi kerinduan yang masih terbang dibawah angan-angan.
Kerjaannya tidak jauh-jauh dari bangun, makan, melamun, merindu,
buang air, tidur lagi. Semenjak hidupnya semakin hampa, dia tidak lagi
bergairah menonton televisi. Padahal dulu dia tidak pernah absen
menonton Tersanjung. Semua serinya dilahap habis.
Di tengah keterpekurannya, kedua daun telinga yang telah
terkulai itu menangkap suara asing. Kedengarannya seperti pintu yang
berderit. Pintu yang hanya dibuka sekali-kali saja. Bu Aminah menoleh
ke asal datangnya suara. Jarum jam berhenti berdetak. Oksigen seperti
tersedot seluruhnya ke arah pintu itu. Bu Aminah bergeming dengan apa
yang dilihatnya.
“Aku Izrail,” katanya memperkenalkan diri.
Bu Aminah masih tidak percaya dengan apa yang didengarnya
barusan. Izrail katanya? Dia bukankah yang akan meniup terompet
sangkakala? Oh bukan. Itu Israfil. Izroil itu..., Bu Aminah mengerutkan
keningnya sambil mengingat-ingat. Maklum, dulu pelajaran agama belum
masuk kurikulum. Kemudian perkara pikun juga menghambat laju
otaknya sekarang.
“Aku akan mencabut nyawamu sebentar lagi.”
Lampu merk philops menyembul dari atas kepala Bu Aminah.
Ya, Izrail adalah malaikat pencabut nyawa. Dan dia ingin mencabut
nyawanya sebentar lagi.
Rupa malaikat itu, biasa saja sebenarnya. Tidak tampan dan tidak
jelek juga. Bedanya dia lebih tinggi dua kali lipat dari rata-rata manusia.
Kemudian pendar-pendar cahaya menyelimuti seluruh tubuhnya. Wangi
tubuhnya aduhai. Seperti bau kasturi dan sanggup mengalahkan aroma
teh dengan gula aren yang semakin dingin. Meskipun sebenarnya Bu
Aminah sendiri belum pernah mencium bau kasturi.
“Izinkan aku untuk menulis surat warisan terlebih dahulu,” pinta
Bu Aminah tanpa membantah bahwa sebentar lagi nyawanya akan
dicabut.
“Tidak perlulah. Urusan warisan sudah tertulis dalam Alquran.
Anak-anakmu pasti mengerti,” ungkap Izrail.
“Begini, Izrail. Waktu suamiku meninggal, surat warisan yang
sudah dipersiapkan saja tidak digubris. Apalagi aturan dalam Alquran.
Mereka lebih suka berebut. Kemarin aku berdoa agar mereka disadarkan.
Daripada mereka berebut lagi seusai kematianku, lebih baik aku
persiapkan saja supaya adil,” jelas Bu Aminah dengan detail.
“Baiklah, baiklah. Kau kuberi waktu kurang dari dua menit
untuk menuliskannya.”
“Bisakah kau mengambilkan selembar kertas dan sebuah pulpen.
Kakiku sudah terlalu kaku untuk berjalan. Aku minta tolong,” kata Bu
Aminah kepada Izrail.
Izrail hanya menggeleng-gelengkan kepala. Baru sekali ini dia
disuruh-suruh oleh orang yang akan dia cabut nyawanya. Biasanya yang
dia temukan adalah orang-orang dengan wajah ketakutan memohon
ampunan dan meminta agar tidak lebih dulu dicabut nyawanya agar bisa
bertobat. Lalu dengan sekali petikan tangan, kertas dan pulpen
permintaan Bu Aminah sudah tersedia.
“Ini,” ucap Izrail sambil menyerahkannya kepada Bu Aminah.
Kemudian Bu Aminah sibuk mencorat-coret kertas tersebut.
Tepat di menit pertama dia berkata, “Selesai.”
Setelah kertas itu dilipat dan diselipkan di bawah gelas tehnya,
Bu Aminah mempersilakan Izrail membawanya menembus nirwana.
***
“Duh. Bau apa ini?” ungkap seorang warga ketika melangkah di
depan rumah Bu Aminah. Daerah rumah Bu Aminah mendadak ramai
karena ada bau yang tidak wajar. Setelah ditelusuri, bau tersebut berasal
dari rumah Bu Aminah. Tanpa menunggu perintah lebih lama lagi, ramai-
ramai warga mengecek ke dalam rumah tersebut.
Benar saja. Mayat Bu Aminah telah membusuk di kursi
goyangnya. Belatung keluar masuk dari lubang-lubang yang berada di
sekujur tubuhnya. Beberapa warga yang tidak tahan dengan baunya
langsung berlari ke luar rumah untuk muntah. Sisanya pergi untuk
mencari masker agar bisa mengurus jenazah perempuan tua tersebut.
Tujuh hari setelah dikebumikan, datang seorang perempuan
berparas menawan mengunjungi rumah kosong Bu Aminah. Dia adalah
Gabriel. Dia baru saja menyelesaikan petualangannya dari Amazon.
Sesingkat dia kembali, sesingkat itu pula hempasan masalah
mendobrak pertahanannya. Dia membutuhkan nenek yang belum
pernah ia temui dua puluh tahun terakhir. Dia ingin bersimpuh dan
menceritakan beban yang kian menghimpit sanubarinya.
Ketua RT setempat mendatangi Gabriel.
“Permisi. Kalau boleh tahu, Nona siapa? Dan ada perlu apa
datang kemari?”
“Aku cucu Bu Aminah. Dari tadi aku tunggu, Nenek tidak keluar
juga. Pintunya pun tergembok.”
“Mohon maaf sebelumnya. Bu Aminah sudah meninggal satu
minggu yang lalu.”
Gabriel tersentak mendengar ucapan dari Pak RT. Guratan di
jidatnya menyatu membentuk garis memanjang. Matanya berkaca-kaca.
Sebelum air mata Gabriel tumpah, Pak RT buru-buru
menambahkan, “Tapi almarhumah meninggalkan secarik kertas di atas
meja dekat jenazahnya. Sepertinya ini surat warisan. Isinya masih
tersimpan rapi. Belum ada yang membuka.”
Pak RT memberikan lipatan kertas putih tersebut ke tangan
Gabriel. Gabriel menerimanya dengan tangan dan tatapan kosong.
Setelah penawarannya untuk mengantarkan cucu cantik Bu Aminah ini
ke makam ditolak, Pak RT memutuskan untuk pamit.
Gabriel terpekur di tangga depan pintu masuk rumah neneknya.
Tangga yang dulu dia pergunakan untuk belajar berjalan. Jatuh
pertamanya pun juga di tangga itu. Sekarang, dia terduduk lesu meratap
ke rumput halaman yang kian mengunging.
Padahal dia ingin mengabarkan Julia yang mayatnya tidak
ditemukan saat pesawat yang ditumpanginga jatuh di Samudra Hindia.
Lalu diam-diam Jules juga memiliki anak yang usianya delapan tahun di
bawah Gabriel dari seorang perempuan Jepang. Kemudian tentang
kembalinya Okta dari kerusuhan dengan wajah gompal dan kaki pincang.
Tante dan om yang lain Gabriel tidak terlalu peduli. Mereka tidak
pernah baik kepada Gabriel. Mereka bukannya menyayangi Gabriel
seperti anak atau keponakannya. Mereka malah sering mencerca dirinya
lantaran rasa iri karena Julia yang paling sukses di antara yang lain.
Tangisan yang sejak tadi tertahan akhirnya pecah. Gabriel
sesegukan di sore hari yang mengelam. Tidak jauh dari situ seekor burung
camar bernyanyi syahdu karena ikut merasakan gundah gulana yang
dirasakan Gabriel.
Secara perlahan dia pun membuka lipatan kertas yang katanya
merupakan surat warisan dari sang nenek. Di situ hanya tertulis satu buah
kalimat:
Semua hartaku aku hibahkan kepada yang pertama kali membaca
surat ini.
Gabriel tidak tahu, Pak RT adalah orang pertama yang membuka
dan membaca lipatan kertas berisi surat wasiat itu.
(*) Pamulang, 28 Mei 2016.
1946
nak-anak berlarian menuju bangunan itu. Bangunannya tidak
besar. Hanya memuat beberapa ruangan untuk menampung mereka yang
ingin belajar. Tidak ada kursi dan meja. Mereka duduk melingkar ketika
guru menjelaskan. Setelah itu, mereka akan duduk berpencar ketika guru
mereka memberi tugas untuk dikerjakan.
“Ada yang tahu kemarin kita memperingati hari apa?” Bu Yatmi,
guru kelas tiga SD itu bertanya kepada murid-muridnya.
“Hari kemerdekaan, Bu!” mereka serempak menjawab.
“Benar sekali. Kita sudah satu tahun merdeka.” Kemudian Bu
Yatmi sedikit menceritakan bagaimana perjuangan para pahlawan
kemerdekaan. Bagaimana para golongan muda dan golongan tua bersatu
mengusir penjajah. Ia memang masih dirubung kesedihan karena telah
kehilangan suami tercinta di medan perang tiga tahun yang lalu. Namun
ia bisa tersenyum karena perjuangan suaminya tidak sia-sia. Hadiah
terbesar dalam hidupnya, kemerdekaan Indonesia.
“Sekarang waktunya pelajaran berhitung.” Bu Yatmi sukses
membuat semua muridnya tersenyum bahagia. Ini memang pelajaran
favorit mereka.
Bu Yatmi tidak menjelaskannya di papan tulis. Dia hanya
menjelaskan secara lisan, sedangkan murid-muridnya mencatat. Bukan
memakai buku catatan berupa kertas. Melainkan batu tulis. Mereka
menggunakan kapur untuk mencatat. Setelah itu, mereka harus
mengingat semua yang dicatat. Kemudian batu itu dihapus sampai bersih,
dan dibubuhi catatan untuk pelajaran-pelajaran lain.
Saat itu pelajar tidak menggunakan kertas. Alat tulisnya sangatlah
sederhana. Ditambah, mereka harus selalu mengingat pelajaran yang
diberikan oleh guru mereka. Itu sebabnya siswa-siswi zaman itu pandai
dalam mengingat pelajaran. Karena mereka tidak memiliki bahan untuk
dibaca ulang.
Harga kertas sangatlah mahal. Tidak banyak yang bisa
menikmatinya. Hanya golongan orang terpandang saja. Sedangkan saat
itu, jumlah rakyat kecil lebih banyak. Anak-anak yang ingin sekolah
belum bisa menikmati kertas secara leluasa.
Kertas menjadi sesuatu yang mewah. Satu tahun setelah
merdeka, kertas masih menjadi barang yang tidak bisa dinikmati oleh
sebagian besar rakyat Indonesia. Kertas hanya digunakan di pusat-pusat
pemerintahan dan sekolah-sekolah orang berada. Selain itu kertas juga
dipakai sebagai bahan dasar pembuatan koran.
***
2006
“Nenek! Aku naik ke kelas empat,” Winda berlarian dari depan
rumahnya dan menghampiri Nek Diah, neneknya tercinta.
Nek Diah tersenyum senang melihat rapor cucunya itu. Nilainya
memang tidak fantastis. Tapi tidak juga buruk. Berada di kondisi standar
atau biasa-biasa saja terasa lebih spesial bagi Nek Diah.
Satu per satu Nek Diah membuka lembaran buku rapor tersebut.
Zamannya ketika sekolah dulu, tidak ada sistem rapor seperti sekarang.
Juga sistem pembelajaran yang sangat berbeda jauh.
Setiap hari Winda harus membawa berbagai macam buku ke
sekolahnya menggunakan tas. Buku-buku itu sangat tebal dengan
beragam jenis. Ada buku paket, buku tulis, buku gambar. Sungguh
banyak buku yang harus dibawa dan digunakan anak sekecil Winda.
Terkadang Nek Diah bingung. Mengapa harus ada banyak buku?
Itu sangat menghabiskan kertas. Belum tentu juga cucunya itu membaca
semua buku-buku itu. Paling hanya ketika ada PR atau pelajaran yang ia
suka seperti IPS. Belum lagi masih ada buku tulis yang isinya lembaran
kertas kosong berisi garis-garis bantu. Katanya itu untuk mencatat hal-
hal penting.
Nek Diah teringat saat Bu Yatmi, guru SD-nya mengajar. Beliau
tidak pernah memerintahkan murid-muridnya untuk menggunakan
kertas. Ketika pelajaran bahasa Indonesia, beliau akan mendiktenya. Para
murid akan menuliskannya di batu tulis menggunakan kapur. Begitu juga
dengan pelajaran berhitung, sejarah, dan lain sebagainya. Setelah itu, batu
tulis yang berisi catatan akan dihapus dan digunakan hingga tahun
pelajaran berakhir.
Berbeda dengan sekarang. Para murid dimanja dalam belajar.
Mereka telah mempunyai bahan selama satu tahun ke depan. Tidak perlu
membutuhkan memori yang kuat, mereka dapat melihat kembali bahan
pelajaran jika lupa. Dulu, Nek Diah harus langsung mengingat pelajaran
hari itu juga. Itu berlaku hingga ia lulus. Maka tidak heran jika ingatan
Nek Diah tentang pelajarannya waktu SD, masih kuat hingga beberapa
tahun ke depan setelah ia lulus.
***
Kertas menjadi sesuatu yang lumrah. Setiap akan memulai tahun
ajaran baru, toko alat tulis akan diserbu oleh para ibu yang akan membeli
lusinan buku tulis baru. Tentu saja buku tulis itu untuk anak mereka.
Digunakan ketika sekolah. Setelah sekolah mereka selesai, selesai pula
perjuangan kertas itu.
Ada yang membiarkannya berdebu dan tertumpuk begitu saja di
gudang. Ada yang membuangnya atau menjualnya ke tukang loak untuk
dibeli dalam hitungan kilo. Ada yang menggunakannya sebagai bungkus
kacang atau gorengan. Hanya segelintir yang kembali membuka kertas-
kertas itu. Mengingat masa lalu yang tertulis di dalamnya. Baik berupa
kenangan ataupun pelajaran.
Mungkin sebagian tidak sadar tentang harga yang tidak ternilai
dari penggunaan kertas yang berlebih. Yang penting, urusan mereka
selesai karena kertas. Pemanasan global adalah urusan belakangan.
Bukankah sudah ada yang peduli tentang itu? Kebanyakan hanya
menganggukkan kepala seolah peduli, namun tidak bertindak sama sekali.
***

2036
Kertas semakin terlupakan. Benda putih bersih itu telah
tenggelam dalam zaman. Orang semakin sadar dengan sulitnya
mendapatkan kertas. Karena ketika ingin memakai kertas, puluhan
bahkan ratusan pohon harus direlakan. Sedangkan persediaan pohon
semakin menipis. Jika satu pohon ditebang, sinar ultraviolet tidak
pandang bulu membuat orang lain terkena kanker kulit karena
pancarannya.
Maka orang semakin mencari cara untuk tidak menggunakan
kertas. Masa itu telah berawal sejak lebih dari dua puluh tahun silam.
Orang-orang mulai mempercayai teknologi. Era kertas digantikan oleh
era digital. Proses itu tidak memerlukan waktu yang lama. Orang-orang
dapat beradaptasi dengan mudah oleh perkembangan zaman.
Bahkan sekarang, tidak ada lagi uang kertas atau logam.
Semuanya menggunakan e-money atau uang elektronik. Setiap orang hanya
memegang kartu debit atau kredit yang kemudian bisa diisi ulang.
***
“Ayo, cepat, Zee. Nanti kamu terlambat.” Winda kembali
mengingatkan anak semata wayangnya untuk menghampirinya. Ia telah
menunggu hampir lima belas menit di dalam mobil. Winda sampai harus
mengirimnya voice message agar anaknya bisa cepat bergegas. Padahal tadi
mereka selesai sarapan berbarengan.
Ada saja yang harus kembali dipersiapkan Zee. Entah barangnya
yang tertinggal atau apalah. Winda terkadang hanya dapat
menggelengkan kepala melihat tingkah anaknya yang menginjak remaja
itu. Namun ia juga mafhum karena dirinya dulu juga tidak jauh seperti
itu.
Kurang dari dua menit, Zee berlari ke arah mobil. Ia memakai
seragam kotak-kotak putih-oranye hari ini. Zee hanya membawa tas kecil
yang berisi kotak makanan, terlampir di bahu kirinya. Tidak ada buku.
Hanya sarung tablet yang ia genggam di tangan kanannya.
“Kotak bekalmu tidak tertinggal, kan?” tanya Winda kepada Zee.
“Beres, Ma,” sahut anaknya.
“Oke. Kita berangkat sekarang,” anak dan ibu itu pun
meninggalkan halaman rumah.
(*) Pamulang, 12 Februari 2015.
angit menatap keadaan di sekitarnya. Senja baru saja berganti
malam. Langit baru saja menerima kabar dari sang Malam lewat sepucuk
surat yang diantarkan Aurora. Katanya, ada satu orang gadis yang
menantikan sang Surya tenggelam. Tapi dia selalu gagal. Gadis itu selalu
terlambat. Tepat ketika gadis itu berlari menghampiri bibir pantai, Surya
sudah tenggelam ditelan kegelapan.
Tepat ketika itu juga, Langit menemukan sesosok gadis
mengenakan gaun putih bercorak merah polkadot. Rambutnya dikuncir
kuda. Jari-jari tangannya mengeruk pasir. Satu demi satu lelehan air mata
keluar menyapu lembut kedua pipinya yang putih.
Gadis itu cantik. Tidak salah jika Langit ingin memeluknya dan
menyuruhnya agar tinggal bersama. Karena dia memiliki segalanya. Jadi,
gadis ini yang diceritakan Malam. Pantas saja Aurora tersenyum tersipu
saat menyampaikannya. Rupanya Aurora juga memendam rasa kepada
gadis itu.
Tapi, Langit lebih luas dan kuat. Aurora pun sadar dia tidak bisa
berbuat banyak. Tugasnya mengantarkan pesan antara Pagi, Senja,
Malam, Langit, Matahari, Bulan, dan Pelangi sudah cukup baginya. Meski
tersimpan perasaan terpendam, namun Aurora memaksanya untuk
hilang. Seperti sebelum-sebelumnya. Aurora lebih memilih mengalah
kepada yang lebih luas dan kuat.
Langit ingin memiliki gadis itu. Tapi, gadis itu mencintai Senja.
Sedangkan Senja belum mengetahuinya. Karena yang selalu melihat gadis
itu adalah Malam. Gadis itu selalu terlambat untuk menyaksikan Senja
dari dekat dan melihat sang Surya terlelap bersama warna jingganya.
Padahal gadis itu ingin menyaksikan Surya yang tenggelam. Dia
hanya ingin menyaksikannya dari bibir pantai. Menatap gelombang yang
ikut menjadi jingga ketika Surya mulai pasrah ditelan air laut. Bersamaan
dengan burung-burung yang mengicau indah mengiringi kepergian Surya
dan menyambut kepekatan malam.
Seperti yang dia lihat di gambar buku ceritanya sewaktu kecil.
Atau seperti yang ada di film kesukaannya. Atau seperti di cerpen
favoritnya. Senja selalu indah. Terlebih ketika Matahari menenggelamkan
dirinya di ufuk barat sana. Gadis itu ingin melihat semua potongan
keindahan itu secara langsung.
Ia menyukai langit ketika senja. Warnanya bermacam-macam.
Lebih banyak jingga. Namun terkadang ada nila, merah muda, biru,
bersusun-susun menjadi satu. Sebuah kombinasi yang sangat
memanjakan mata. Tapi, dia ingin melihat matahari terbenam. Proses
perpindahan antara terang dan gelap. Perpindahan kehidupan siang dan
malam.
***
“Gadis itu tinggal di hutan yang tidak berisi pohon,” kata Malam
kepada Langit.
“Maksudmu di perkotaan?” tanya Langit.
“Seperti itulah. Dia tidak pernah bisa menyaksikan matahari
tenggelam. Padahal itu adalah cita-citanya sejak kecil. Maka dari itu, jika
ingin menyaksikannya dia harus pergi ke pantai. Sedangkan dia belum
mampu tinggal sendirian di pantai. Ke pantai pun hanya jika ketika dia
liburan.”
“Mengapa dia tidak pergi ke tempat paling tinggi di kotanya?
Menyaksikan matahari terbenam tidak harus lewat pantai,” ujar Langit.
“Dia takut ketinggian. Namun itulah keinginan terbesarnya.
Menyaksikan senja sekaligus matahari tenggelam,” jawab Malam.
“Bagaimana kau tahu?” Langit bingung Malam tahu begitu
banyak tentang gadis itu.
“Dia selalu mencintai senja. Dia menyukai spektrum warna yang
dihasilkan senja. Tidak seperti aku yang hanya memiliki hitam. Tapi dia
juga ingin menyaksikan matahari tenggelam. Dia pernah melihatnya di
film-film atau di buku-buku bergambar. Sayangnya dia belum pernah
menyaksikannya secara langsung. Gadis itu selalu gagal.” Malam tidak
langsung menjawab pertanyaan Langit.
“Selain karena terlambat, apa lagi yang membuatnya gagal?”
Langit benar-benar ingin mengetahui banyak tentang gadis itu. Dirinya
sedikit cemburu karena gadis itu lebih mencintai Senja ketimbang dirinya.
“Mendung. Saat beberapa kali dia ke pantai untuk menanti senja,
tiba-tiba saja awan menutupi matahari. Yang ada hanyalah kelabu hingga
aku datang. Selalu begitu. Kalau tidak terlambat, ya mendung,” jelas
Malam.
“Kau tahu terlalu banyak tentang gadis itu.”
“Tentu saja. Aku selalu menyaksikan dia menatap nanar ke
arahmu dan aku. Tapi kamu terlalu angkuh. Kamu terlalu sibuk
menyaksikan gadis-gadis lain yang bertebaran di belahan bumi mana pun.
Bahkan kau sempat mengintip gadis dari galaksi andromeda. Kukira
gadis-gadis di bumi yang terbaik.”
“Gurauanmu sangat lucu. Bukannya aku sibuk menyaksikan
gadis-gadis lain. Hanya saja manusia-manusia ini yang terlalu banyak
jumlahnya.” Langit mengelak. “Mengapa tak kamu sampaikan sendiri
kepada Senja tentang gadis itu?”
“Biarlah Senja mengetahui sendiri tentang gadis itu. Lagi pula
gadis itu bukan urusanku. Lebih baik aku menjalankan tugas dan tidak
mengutak-atik urusan orang lain,” jawab Malam sekenanya.
Langit termenung. Dia mudah menyukai siapa saja. Siapa saja
pun mudah menjadi miliknya. Setelah mereka berakhir di Bumi, maka
orang-orang itu akan diangkat ke Langit. Namun dia sangat
menginginkan gadis itu. Lagi pula, meski gadis itu tidak mencintai dirinya,
ketika Langit memilikinya, gadis itu tetap dapat menikmati Senja dan
Matahari.
Hingga malam berganti pagi, gadis itu belum beranjak. Dia
terlelap di hamparan pasir. Air laut membasahi tubuhnya. Beruntung dia
tidak terbawa ombak. Karena ketika malam hari ombak bisa menjadi tiga
kali lipat lebih tinggi.
Gadis itu bergeming. Semalam ia bermimpi Matahari
memanggilnya. Kemudian ia berjingkat-jingkat kesenangan. Ia menapaki
Pelangi yang merelakan dirinya menjadi jembatan antara gadis itu dan
Matahari.
Ketika gadis itu sampai, Matahari tersenyum dan berkata,
“Tetaplah bersamaku. Kita bisa melihat seluruh dunia dari sini. Bahkan
sekarang aku memiliki jadwal untuk bersinar di Kutub Utara.”
Gadis itu hanya mengangguk bahagia. Dia sangat senang karena
bersama Matahari sekarang. Apalagi dia menantikan datangnya senja.
Pasti dia akan menikmati ketika Matahari juga tenggelam dan digantikan
sang Malam. Ah, indah sekali rasanya.
Rasanya gadis itu memiliki segalanya sekarang. Karena dia sudah
bersama dengan Matahari. Matahari juga telah berada bersama Senja.
Kemudian perlahan-lahan turun, terlelap dan beristirahat untuk sejenak.
Gadis itu pun juga. Terlelap, dan enggan untuk membuka mata
selamanya.
Satu demi satu tetesan embun memudar. Digantikan cahaya
gemerlap yang terpantul dari lelehan malam yang kian meninggalkan
mega. Merekah menampakkan semburat keemasan.
Seperti senja. Malu tapi memancar. Melebarkan warna-warna
berserat jingga yang tak ingin dikalahkan hitam. Meski pada akhirnya dia
harus menyerah pada malam.
Seperti gadis itu. Terlampau terlena pada keindahan mimpi.
Menyerah bersama angan yang kian sulit untuk tergapai. Padahal dia
hanya tinggal menunggu kurang dari sehari. Hingga pada akhirnya, dia
dapat dimiliki Langit. Bahkan Senja masih belum mengetahui kebesaran
cinta gadis itu kepadanya.
(*) Pamulang, 3 Maret 2016.
-
epakan sayap dari sang ulat yang telah bermertamorfosis
terdengar sangat pelan. Telinga manusia tentu tidak bisa menjamah suara
nan lembut itu. Namun, jika sedikit demi sedikit manusia ingin
merasakan keindahan sang ulat, maka dia bisa melihatnya dari dekat.
Tidak perlu merasa takut. Cukup percaya bahwa ulat telah berubah
menjadi serangga baru bernama kupu-kupu yang tidak akan tega melukai.
Karena kupu-kupu hanya hidup singkat. Hidup kupu-kupu hanya
digunakan untuk menebar kebahagiaan dari keindahan yang terpancar di
kedua sayapnya.
“Ayo, aku buatkan kamu pita,” ungkap Vani menarik lengan
Fanya menuju kamarnya. Mereka berdua adalah sepasang sahabat.
“Nah, selesai. Kamu terlihat lebih cantik sekarang.” Vani
memutar tubuh Fanya hingga sahabatnya itu bisa melihat pantulan
dirinya di cermin. Fanya tersenyum melihat rambutnya dengan hiasan
pita mungil berwarna merah jambu. Pita itu tersemat manis di antara
helai-helai rambut keriting Fanya.
“Terima kasih, Vani. Sekarang aku terlihat cantik seperti
dirimu,” tukas Fanya.
Mereka berdua tertawa cekikikan di depan cermin. Kemudian
seekor kupu-kupu bermotif biru dengan lingkaran hijau di tengah
sayapnya hinggap di rambut Vani. “Sekarang kamu seperti memakai pita
juga,” kata Fanya. Mereka berdua kembali tertawa.
“Lihat! Kupu-kupunya banyak sekali!” Vani yang baru puas
mematut dirinya di depan cermin mendadak terpana melihat ratusan,
bahkan ribuan kupu-kupu terbang di padang ilalang samping rumahnya.
“Benar! Ayo kita ke sana. Aku ingin menangkap mereka
menggunakan jaring.” Tanpa menunggu persetujuan Vani, Fanya segera
keluar dari kamar sahabatnya itu. Ia mengambil jaring dari samping
rumah Vani dan kemudian langsung menuju keluar. Vani mengikuti di
belakangnya.
Mereka tertawa riang di tengah kupu-kupu yang terbang. Sekali-
kali Fanya akan menangkap beberapa ekor kupu-kupu, kemudian
langsung dilepaskannya. Setelah itu giliran Vani yang menangkap kupu-
kupu itu. Sekali mereka mencoba menangkap, tiga sampai lima kupu-
kupu akan tersangkut di jaring. Kemudian mereka akan tertawa senang.
Musim kupu-kupu sedang berlangsung. Dua sahabat itu tentu
saja sangat menikmati saat-saat seperti ini. Mereka bisa bermain dan
tertawa ditengah ribuan kupu-kupu yang terbang di atasnya. Tidak jarang
para kupu-kupu itu hinggap di tubuh mereka. Rasanya menggelitik dan
menggelikan.
Beruntung karena di daerah rumah Vani dan Fanya masih
banyak terdapat tanaman. Mereka memang belum sadar tentang itu.
Bahwa tanaman yang banyak sebenarnya dimanfaatkan ulat sebagai
makanan. Banyaknya tanaman di suatu daerah ternyata dapat
menentukan populasi kupu-kupu. Tentu saja melalui proses
metamorfosis dari ulat menjadi kepompong dan berubah menjadi kupu-
kupu.
Sedangkan kupu-kupu bertugas sebagai penyebar serbuk
tanaman. Itu akan membantu tanaman untuk berbuah maupun menikah.
Pun kupu-kupu menjadikan madu atau nektar dari bunga sebagai
makanan.
Vani dan Fanya belum mengerti tentang itu. Yang penting,
mereka dapat tersenyum senang karena keindahan yang diciptakan oleh
kupu-kupu. Mereka berdua juga belum tahu bahwa kupu-kupu paling
lama bertahan hanya satu tahun. Bahkan ada yang hidup hanya satu
minggu. Keindahannya hanya sebentar, namun sanggup memberikan
kebahagiaan bagi orang yang melihatnya.
Kedua sahabat itu saling memiliki dan melengkapi satu sama
lain. Vani merupakan anak yang cantik. Rambutnya panjang tergerai di
punggung dan selalu dirawatnya dengan benar. Sejak kecil ia selalu
menjadi bunga di antara teman-temannya yang lain.
Sedangkan Fanya memiliki kelebihan lain. Definisi cantik bagi
dirinya tidak terlalu berlaku jika disandingkan dengan perempuan
berwajah artis atau model. Namun dia memiliki kemampuan dalam
akademik yang sangat memuaskan. Orang lebih mengagumi dirinya
karena otaknya yang cemerlang. Lelaki mana pun belum tentu langsung
jatuh hati kepadanya ketika pertama kali melihat.
Beberapa tahun setelahnya, kupu-kupu memiliki arti penting
untuk Fanya. Fanya mengambil filososfi sendiri tentang kupu-kupu di
hidupnya. Dia tidak pernah menceritakan ini kepada siapa pun, termasuk
kepada Vani. Hanya dia yang tahu.
***
Hari kelulusan SMA memang saat-saat yang ditunggu oleh
sebagian besar orang. Beberapa orang mendefinisikan saat itu adalah
transformasi dari kempompong menjadi kupu-kupu. Masa-masa kuliah
di depan mata adalah ketika mereka akan lebih bebas dalam
bereksplorasi. Entah dalam urusan akademik, minat bakat, ataupun
penampilan.
Meskipun beberapa orang yang lain justru sebaliknya. Mereka
menganggap selepas dari kuliah baru orang tersebut ‘berubah’ menjadi
kupu-kupu. Namun itu bukan masalah besar. Bagi Fanya, ini adalah
saatnya untuk membuktikan kepada orang-orang bahwa dirinya sanggup
dikatakan sebagai kupu-kupu yang sebenarnya. Jauh melampaui Vani.
“Bagaimana? Semua barang sudah siap? Kamu yakin tidak ada
yang tertinggal?” Vani memastikan kepada Fanya sebelum sahabatnya
benar-benar meninggalkan kamar.
“Ya, aku yakin. Kita sejak semalam sudah re-packaging berulang-
ulang, Van. Hahaha. Rajin sekali ya. Tapi itulah fungsinya. Aku yakin
tidak ada barang yang tertinggal.” Fanya kembali meyakinkan Vani.
“Oke. Kita berangkat sekarang.” Vani berkata mantap.
Mereka meninggalkan kamar Fanya dan langsung bertolak ke
garasi mobil. Ini merupakan perjalanan besar untuk Fanya. Dia mendapat
beasiswa di Universitas Harvard selepas SMA. Sungguh kemungkinan
yang amat sangat kecil. Tapi bagi Fanya, itu semua mungkin.
Mungkin juga kalau dirinya akan lebih hebat dari Mark
Zuckeberg. Sudah banyak rencana yang Fanya persiapkan untuk
membuktikan kepada setiap orang. Dia belum akan membukanya
sekarang.
“Jangan lupakan aku,” kata Vani dengan nada merajuk kepada
Fanya.
“Tentu saja tidak, Vanili! Kamu kira aku apa, yang mudah sekali
melupakan orang setia sepertimu?”
“Bisa saja kamu terlalu sibuk atau apa. Jangan pernah berhenti
memanggilku Vanili. Hanya kamu yang aku izinkan memanggilku dengan
nama itu.”
“Aku akan selalu mengabarimu di waktu luang.” Fanya tidak
tahan untuk tidak memeluk Vani. “You are my best girl friend. Dan selalu
seperti itu,” bisik Fanya.
Setelah melepaskan pelukannya dari Vani, pandangan Fanya
beralih kepada Rivo. “Jaga Vani. Aku tidak ingin sesuatu yang buruk
terjadi kepada sahabatku,” pesan Fanya sangat padat dan jelas.
“Tidak usah khawatir. Tanpa kamu minta, aku sudah akan
menjaga Vani. Hati-hati ya, Fanya.”
Rivo memberikan pelukan perpisahan untuk Fanya. Dia
menyayangi Fanya sebagai sahabat dari perempuan yang dia cintai.
Setelah Rivo melepaskan pelukannya, Fanya mengambil satu
lembar plastik bening yang sudah direkatkan. Dia memberikannya
kepada Vani. “Jaga ini, Van. Plastiknya tidak perlu kamu buka.”
Vani sedikit terkejut dengan apa yang ia dapatkan. “Kamu dapat
ini dari mana?” tanyanya kepada Fanya.
“Lantai kamarku. Lihat, ini masih sempurna. Hanya tubuhnya
saja yang sudah tidak ada. Sayapnya masih tetap cantik. Jangan sampai
terkoyak sedikit pun. Aku menemukan ini dan mempersiapkannya
untukmu.” Fanya memberikan plastik bening itu kepada Vani.
Benda di dalamnya terlihat cantik. Seperti Vani. Seperti
persahabatan mereka berdua. Corak hijau toska berpadu dengan titik-titik
biru tua membuat siapa pun suka. Fanya menemukan sayap kupu-kupu
itu jatuh di lantai kamarnya. Yang dia temukan hanyalah sepasang sayap,
tanpa tubuh.
Fanya tahu, pada masanya kupu-kupu hanya akan tertinggal
sayapnya yang indah. Tubuhnya telah mati, namun keindahan sayapnya
akan tetap ada. Itu pun tidak akan bertahan lama. Tergantung bagaimana
sayap itu terjaga. Jika tidak, sayap itu pun juga akan terkoyak dan hilang.
***

SATU TAHUN KEMUDIAN


Terpaan salju tidak membuat Fanya putus asa. Perlahan tapi
pasti dia menapaki jalan menuju altar yang dia agung-agungkan sejak
lama. Rasa dingin yang menelusup pasti ke dalam setiap jengkal tubuhnya
tidak dia hiraukan. Meskipun salju yang berhasil hinggap di jaket rajutnya
akan mencair, tapi rasanya tidak lebih baik dari tumpukan es yang
menggunung menyelimuti tubuh. Bahkan, masker yang dia gunakan tidak
banyak membantu karena sebagian matanya tidak berhasil tertutupi.
Tumpukan kertas yang berada di pelukannya harus segera
sampai di meja Profesor Truman. Jika tidak, beasiswa yang ditawarkan
pihak kedutaan terancam batal. Fanya yakin dia tidak mungkin secara
sengaja mencabut beasiswanya. Bodoh sekali jika hal itu sampai terjadi.
Fanya bukan lagi seperti Fanya yang dulu. Sekarang ia menjadi
semakin cantik secara fisik. Apalagi ditunjang dengan intelektualitas yang
dia miliki. Dalam waktu kurang dari satu tahun selama ia menjadi
mahasiswi di Universitas Harvard, dia sudah dipercaya oleh sebagian
besar dosennya sebagai mahasiswi berprestasi. Tidak heran juga banyak
lelaki yang terpikat dengan pesona Fanya.
Namun Fanya harus berhenti. Ia ingin menjadi kupu-kupu yang
diingat karena keindahannya. Ia ingin berhenti di saat-saat kesempurnaan
sedang menapaki hidupnya. Agar yang diingat orang lain tentang dirinya
sebelum pergi adalah tentang keindahan dan kesempurnaan.
Meskipun masih ada satu ruang kosong di hatinya. Sebanyak apa
pun lelaki yang memintanya untuk menjadi kekasih, belum ada satu pun
yang ia terima. Bukan karena tidak ingin. Namun belum ada yang berhasil
menggantikan posisi cintanya itu.
Cinta yang masih sulit untuk dijangkau. Bahkan mungkin tidak
akan pernah berhasil ia raih. Tentu saja. Ia tahu lelaki itu mencintai orang
lain. Perempuan beruntung itu adalah Vina.
Lagi-lagi, Fanya harus mengalah untuk sahabatnya. Sebesar apa
pun usahnya untuk berubah menjadi lebih cantik seperti Vina, itu tidak
akan mengubah perasaan Rivo kepada Vina. Fanya tahu, itu adalah
kebodohan terbesar dalam hidupnya. Perasaan tidak bisa dipaksakan.
Perasaan juga bukan berdasarkan kecantikan.
Kemudian, Fanya harus rela. Hal yang ia bangun selama ini,
keberhasilan sebagai mahasiswi yang ia dapatkan, kecantikan yang ia
rawat setiap hari semata-mata hanya untuk dirinya sendiri. Tidak
ditujukan kepada orang lain secara khusus. Namun bisa dinikmati oleh
orang banyak lainnya.
***
Melepas keresahan memang tidak semudah yang dipikirkan.
Mencoba untuk berdiri salah, duduk salah, tidur-tiduran salah, nonton
TV salah, bernyanyi salah. Dentuman jantung yang terus berdegub
kencang akhirnya memiliki jawaban. Setidaknya itu cukup berhasil
membuat beberapa butir air menggenang di pelupuk mata gadis milik
Rivo.
“Aku menyayanginya.” Vina yang sejak tadi bungkam, mencoba
melepaskan segala kegundahan hatinya tepat ketika surat itu datang.
“Aku tahu. Aku juga menyayanginya, sebesar rasa sayangmu
terhadapnya.” Rivo menyandarkan kepala Vina di bahunya. Dia
membiarkan perempuan itu menangis di pundaknya. Sekencang-
kencangnya, hingga semua yang dibebankan keluar.
Surat tentang kepergian Fanya baru sampai tadi pagi. Surat itu
resmi dari Kedutaan Besar Republik Indonesia di Amerika. Surat datang
bersama dengan kupu-kupu hitam yang sempat menghiggapi pojok
kanan amplop putih. Dengan diksi penuh keprihatinan dan rasa bela
sungkawa yang dalam, surat tersebut menyatakan bahwa Fanya
ditemukan tewas di kamar mandi asramanya. Terdapat luka sayatan di
tangan kiri perempuan itu.
Bathub tempatnya terbaring sebelum mengembuskan napas
terakhir diselimuti warna merah yang berasal dari darah yang mengalir
dari tangannya. Terus begitu sampai Fanya kehabisan darah. Tidak ada
yang menemukan sampai empat jam setelahnya. Fanya tidak dapat
diselamatkan.
Polisi belum bisa mengidentifikasi penyebab dari bunuh diri
yang dilakukan oleh Fanya. Vina pun tidak pernah tahu kenapa
sahabatnya sampai nekat melakukan perbuatan keji tersebut. Tapi diam-
diam, Rivo mempunyai jawabannya. Bukan jawaban yang konkrit. Dia
hanya mengira-ngira karena perkenalannya dengan Fanya sudah dimulai
sejak lama. Selama hubungannya dengan Vina.
Fanya memiliki rasa iri kepada Vina. Tentang kecantikan Vina
yang mampu banyak lelaki bertekuk lutut. Tanpa harus berusaha keras,
Vina dapat dengan mudah lelaki yang ia inginkan. Berbeda dengan Fanya.
Padahal, Fanya memiliki kelebihan yang tidak dimiliki oleh Vina.
Namun mungkin bagi Fanya itu belum cukup. Ia tidak secantik kupu-
kupu yang selama ini ia kagumi. Rivo kira, Fanya ingin menjadi
perempuan yang cantik secara fisik.
Sayang sekali Fanya tidak mengerti tentang itu. Atau mungkin ia
belum menyadarinya. Semuanya sudah terlambat. Rivo yang menjadi
salah satu orang terdekat Fanya merasa menyesal. Bahwa dia tidak
berhasil mencegah apa yang seharusnya tidak perlu Fanya lakukan.
Kupu-kupu itu telah pergi. Terbang ke langit menuju nirwana.
Kesempurnaannya sangat singkat. Tapi mampu memberi keindahan bagi
setiap yang melihatnya. Orang-orang yang tidak mengenalnya hanya
sebatas melihat keindahan ketika kupu-kupu tersebut telah
bermetamorfosis secara sempuna. Selain itu, masih ada orang yang
menyaksikan kupu-kupu itu ketika masih menjadi ulat dan kepompong.
Orang itu disebut sahabat. Sahabat yang senantiasa ada ketika
dibutuhkan. Sahabat yang menyaksikan sendiri perubahan-perubahan
pada diri sang kupu-kupu. Sayangnya, si kupu-kupu menjadikan
kelebihan yang dimiliki oleh sahabatnya menjadi sebuah obsesi yang
membuatnya berakhir.
(*) Pamulang, 27 Februari 2015.
Biodata Penulis
Laras Sekar Seruni lahir tahun 1995. Selain suka membaca dan menulis,
Laras sedang berusaha mewujudkan mimpi kedua orang tuanya untuk
lulus jenjang S1 di tahun 2017. Meskipun skripsi menjadi nomor sekian
karena Laras masih sibuk menuntaskan resolusi tahunan agar tulisannya
banyak tersebar di media massa dan aktif mengikuti berbagai kegiatan
literasi.

Anda mungkin juga menyukai