Penulis
Laras Sekar Seruni
Penyunting
Devi Anugra Pratama
Penata Letak
Yuniar Retno Wulandari
Pendesain Sampul
Hanung Norenza Putra
Ellunar Publisher
Email: ellunar.publisher@gmail.com
Website: www.ellunarpublisher.com
PANJI
Hari pertama masuk sekolah. Dengan malas saya bangkit dari
tempat tidur. Aneh. Ketika liburan saya kangen ingin sekolah karena
terlalu lama berada di rumah. Namun jika hari sekolah tiba, saya malah
ingin melanjutkan libur. Saya mematut diri di depan kaca, merasa sudah
tampan, kemudian menyabet tas dan langsung pergi tanpa sarapan.
Seharusnya saya memimpin lagu ketika upacara. Ya, memang itu
yang akan saya lakukan hari ini. Thomas sudah lulus dan saya yang
menggantikan dirinya. Tanpa perlu latihan yang lama, saya sudah
menguasai sebagian besar lagu wajib dan lagu daerah. Seharusnya sekolah
juga mewajibkan kami untuk bernyanyi lagu daerah saat upacara bendera.
Agar para siswa tidak lupa atau melupakan.
Seperti biasa. Saya bermain dengan sempurna. Semua berjalan
dengan lancar. Hanya ada sedikit perbedaan. Saat ini hampir separuh
lapangan diisi oleh siswa-siswi berseragam putih-biru. Saya juga sempat
mengalaminya.
Untungnya hari ini belum ada pelajaran. Saya akan mengiringi
keyboard untuk pementasan para murid baru. Jadi saya tidak perlu pergi
dari kantin. Sambil mengobrol santai dengan Denny, saya menyesap
minuman.
Tidak lama, Guntur datang bersama seorang perempuan. Dia
terlihat mungil dan sedikit menggemaskan. Rambutnya dikuncir kuda.
Manis. Dia bernama Zahir. Saya menyukai namanya. Mengingatkanku
pada karya Paulo Coelho yang berjudul sama. Guntur bilang Zahir bisa
bermain keyboard. Kebetulan sekali. Saya tidak perlu repot-repot
mencari pengganti ketika nanti saya lulus.
Ketika kami berkenalan, Zahir bertingkah sedikit lucu. Dia
sedikit grogi. Mungkin karena dia berada di lingkungan dan suasana yang
baru. Wajar. Saya juga dulu seperti itu. Kalau tidak salah, pipi Zahir
sempat bersemu merah. Ah, peduli apa diri saya? Namun itu membuat
saya penasaran. Ada apa dengan anak ini? Apakah karena saya tampan?
Hahaha. Sangat percaya diri. Terlalu percaya diri malah.
Sabtu pertama, Zahir saya undang untuk berlatih bersama. Saya
akui, dia memang mempunyai bakat alam dalam bermain keyboard. Dia
hanya perlu berlatih agar tidak kagok saat bermain. Karena pada
permainan pertama, ada not yang sempat meleset. Tidak masalah.
Saya mengaguminya. Kelihatannya dia profesional. Aku semakin
penasaran. Saat dia fokus bermain di kunci G minor, aku mengikuti
permainannya. Mencoba mencari nada yang seimbang. Hingga akhirnya
permainan kami berakhir. Eureka. Sepertinya aku dan Zahir baru saja
menciptakan satu buah lagu. Entah dia menyadari atau tidak.
“Zahir.” Saya memanggilnya.
“Ya, kak?” jawabnya sambil menoleh ke arah saya. Tatapannya
sangat tenang dan tajam. Membuat saya hampir lupa ingin berkata apa.
“Sebentar lagi tanggal 17 Agustus. Aku ingin kamu menjadi
pengiring untuk lagu Hari Merdeka ketika upacara bendera.”
“A-apa? Aku kan anak baru, Kak. Tidak, ah. Aku malu. Kalau
salah bagaimana?” Dia terlihat tidak siap.
“Justru itu. Kamu akan belajar tampil di depan seluruh siswa.
Dengan begitu nantinya kamu akan terbiasa. Mau, ya? Aku yakin kamu
pasti bisa.”
Saya berusaha membujuk. Lagu Hari Merdeka adalah lagu yang
sulit. Temponya cepat. Sejujurnya, saya tidak menguasai lagu tersebut.
Hampir setiap lagu wajib saya kuasai, tapi tidak termasuk Hari Merdeka.
Mumpung ada anak baru dan saya melihat potensi dari dirinya,
saya memercayakan agar dia memainkannya tanggal 17 nanti. Biasanya,
Thomas yang menangani ini. Sayangnya dia sudah menjadi anak kuliahan
sekarang.
“Oke. Akan aku usahakan,” jawabnya ragu. Namun saya yakin
dia bisa.
Sejak saat itu, saya rutin menjemput Zahir di kelasnya untuk
berlatih. Saya belum melihat progress yang memuaskan dari dirinya. Entah
apakah karena lagu tersebut memang sulit, atau Zahir memang tidak
ingin. Saya harus tetap meyakinkan dirinya agar dia bisa.
***
Ini adalah hari pentingnya. Zahir seharusnya sudah tiba sejak
setengah jam yang lalu. Upacara akan dimulai dan saya belum melihat
tanda-tanda kedatangannya. Saya sedikit panik. Saya bertanya kepada
teman Zahir yang saya kenal wajahnya dan dia berkata bahwa Zahir sakit.
Baiklah. Ini seperti akhir bagi saya. Apa yang harus saya lakukan? Saya
tidak ada persiapan maupun latihan untuk mengiringi lagu ini. Zahir,
Zahir. Kenapa kamu tiba-tiba sakit? Saya sangat mengharapkan kamu
datang hari ini.
Maka saya memutuskan untuk tetap menangani lagu tersebut.
Saya berdoa dalam hati, agar semuanya dapat berjalan dengan lancar.
Waktu lagu itu dimulai, saya memainkannya dengan terbata-bata pada
awalnya. Namun saya dapat menyelesaikannya dengan lancar. Sekarang
saya lebih tenang. Saya masih mengharapkan Zahir hadir. Bagaimana
keadaannya sekarang? Apakah dia sudah sembuh? Semoga dia
mendapatkan istirahat yang cukup.
Hari-hari saya selanjutnya lebih sibuk, lebih padat. Sekolah
mengadakan pendalaman materi setiap sore. Ditambah saya harus
mengikuti bimbingan belajar untuk tes masuk perguruan tinggi negeri.
Sepertinya saya tidak mempunyai waktu luang yang cukup walaupun
hanya untuk sekadar berlatih keyboard di Panggung Kantin. Bahkan
untuk sekadar memikirkan hal lain. Tiba-tiba aku merindukan Zahir. Apa
kabar dia sekarang? Rasanya sudah lama sekali aku tidak berinteraksi
dengan dirinya.
Tanpa sengaja, teman satu kelas saya ada yang mengenal Zahir.
Rita adalah senior Zahir waktu SMP dulu. Hubungan mereka
kelihatannya cukup dekat. Mungkin Rita mempunyai nomor handphone
Zahir. Setelah saya bertanya, ternyata Rita memang mempunyai nomor
itu. Langsung saja saya memintanya dengan alasan untuk janjian berlatih
keyboard bersama.
Saya mempunyai nomor Zahir. Tinggal SMS, maka urusan akan
lebih mudah. Mungkin dengan begitu saya juga bisa melampiaskan rasa
rindu ini. Ternyata tidak semudah itu. Nyali saya belum cukup kuat. Laki-
laki macam apa saya ini? Padahal saya hanya tinggal mengetik pesan,
mengirimkan pesan, menunggu balasan. Saya masih belum punya
keberanian.
Tidak lama setelah nomor Zahir saya simpan, datang SMS
darinya. Jujur, itu membuat saya sedikit terkejut. Saya baru mengetahui
bahwa ternyata dia menyimpan nomor saya. Kami membicarakan hal-hal
yang kurang penting. Saya selalu nyaman ketika berbicara dengannya. Itu
membuat saya senang. Entah bagaimana, pada akhirnya dia meminta
maaf kepada saya. Katanya karena dia tidak datang waktu upacara 17
Agustus.
Tidak apa-apa Zahir. Kamu tidak perlu meminta maaf. Saya tahu
kamu sakit. Yang saya inginkan adalah kamu baik-baik saja.
Saya membalas dengan singkat. Oke, tidak apa-apa. Meskipun di
balik kata-kata itu, masih tersimpan kata-kata tersirat yang belum bisa
saya ungkapkan secara langsung. Bisa jadi dia tidak menyadari. Tidak apa.
Pada waktunya, dia akan mengerti bagaimana perasaan saya kepadanya.
Akhirnya, saya mendapatkan waktu luang. Sabtu itu saya kembali
berlatih keyboard di Panggung Kantin. Saya kembali memainkan lagu
yang kami berdua ciptakan. Ke mana anak itu? Sudah lama saya tidak
melihatnya. Bagi saya, lagu seperti doa. Doa itu langsung terkabul.
Tepat setelah saya selesai memainkan lagu yang diciptakan
bersama Zahir, gadis itu muncul. Masih dengan kuncir kuda dan tubuh
mungilnya. Dia duduk di dekat panggung. Saya bermain satu lagu lagi,
spesial untuknya. Saya memang tidak menyebutkan secara gamblang, tapi
saya harap Zahir menikmati permainan keyboard saya.
Kemudian saya turun dari panggung dan menuju ke arahnya.
Saya merindukannya. “Gantian, Za. Aku sejak tadi sudah berlatih.
Sekarang giliran kamu.”
Sebelum naik ke panggung dia berkata, “Terima kasih. Maaf
sudah membuat Kakak kecewa.” Saya hanya tersenyum, tanpa kata-kata.
Saya tidak kecewa, Zahir. Itu yang perlu kamu tahu. Saya hanya
ingin kamu tidak membuat saya khawatir. Itu sudah lebih dari cukup.
Nanti kamu akan mengerti arti senyuman itu. Senyum yang belum pernah
saya berikan kepada siapa pun, kecuali kamu.
(*) Pamulang, 6 Juni 2014.
ara membuka lipatan kertas itu. Isinya adalah deskripsi dari
teman-teman tentang dirinya. Senyum kecil terulas dari bibirnya. Hampir
semua dari deskripsi itu menunjukkan hal yang positif. Padahal tadi,
ketika ia menuliskan deskripsi tentang teman-temannya yang lain, Vara
menemukan beberapa hal yang masih harus diintrospeksi dari teman-
temannya yang telah ditulis sebelumnya.
Senyuman kecil yang hinggap di bibir Vara tidak berarti
sebenarnya. Hatinya berkata lain. Kegelisahan ini hanya dirinya yang
tahu. Dirinya, dan tidak pantas untuk disebarkan kepada orang-orang.
Wajar jika teman-teman menganggap dirinya sempurna. Karena ada satu
tabir kelam yang masih menjadi misteri bagi yang lain. Vara ingin
menyimpannya sendirian.
***
Ini tentang perasan bersalahnya kepada Tuhan. Karena lelaki itu,
seorang yang memaksanya dengan halus. Dengan bodohnya Vara tidak
dapat menolak. Padahal jika diingatkan, semudah itu orang mengucapkan
untuk meninggalkan dia. Tapi kenyataannya, tidak semudah
membalikkan telapak tangan untuk pergi.
Vara tahu, jika rahasia ini bocor, ia akan kehilangan rasa percaya
dari semua orang yang mengenalnya. Termasuk sahabatnya yang telah
mengingatkan dirinya untuk enyah dari orang itu. Maka Vara
memutuskan untuk memegang kunci itu hanya pada dirinya.
Setiap sehabis beribadah, tidak jarang Vara menangis kepada
Tuhan. Tuhan adalah satu-satunya yang bisa Vara ceritakan tentang ini.
Tuhan memang tidak menjawab secara langsung. Setidaknya, Dia
memberikan ketenangan dalam diri Vara. Baginya, itu cukup.
Kesalahan yang sama kerap terulang. Vara ingin pergi,
menghilang, tidak ditemukan. Agar orang melupakan dirinya. Tidak ada
Vara yang begitu munafik. Tidak ada Vara yang sempurna bagi teman-
teman dan keluarganya. Karena Vara bukan seperti yang mereka kira.
Vara kian menanti, kapan Tuhan akan menunjukkan yang
namanya keadilan. Kapan waktu itu akan berputar hingga menemui titik
yang akan ia sebut sebagai perubahan? Vara terkadang mencari, tapi
belum menemukan.
***
Vara mengenal Nadin sudah begitu lama. Tidak berjarak jauh
setelah dirinya dan Keenan memutuskan mengikat tali kasih.
Ditemukannya beberapa hal tentang Nadin yang membuat Vara begitu
cemburu. Ini tentang Keenan dan masa lalunya. Tentang Keenan dan
Nadin, lebih tepatnya.
Nadin. Wajar jika Keenan pernah jatuh hati kepadanya. Parasnya
cantik, tubuhnya ideal, Vara kira dia juga pintar dan kaya. Terlihat dari
caranya melonggek anggun di foto atau tatapan tajamnya di kamera.
Begitu feminin dan mudah memikat banyak lelaki.
Sedangkan Vara, perempuan yang begitu biasa. Keenan
menyukainya karena sesuatu yang Vara sebut sebuah dosa. Tanpa itu,
Keenan mungkin akan berpaling dan kembali memilih Nadin. Cinta
memang bodoh. Atau mungkin, Vara belum sanggup membedakan
antara cinta dan nafsu.
Semudah itukah Vara terjatuh? Atau itu yang disebut dengan
penasaran? Vara kira dia tahu jawabannya. Hanya saja dia terlampau
polos dan enggan untuk lepas. Bukan perkara takut. Namun ini
menyangkut perasaan yang kian dalam terhadap Keenan. Vara belum
ingin– atau belum siap–melepaskan Keenan.
Sedangkan Nadin begitu sulit Keenan dapatkan. Seharusnya
perempuan yang begitu sulit akan lebih mahal dan menantang, bukan?
Seharusnya Keenan bertahan. Atau mungkin Keenan tidak cukup
tangguh mendapatkan Nadin. Bisa jadi juga Nadin yang terlampau muak
dan ingin enyah dari Keenan. Vara tidak tahu.
Kibaran api kecemburuan sering membakar dada Vara. Dia dan
Nadin memang tidak pernah bertemu secara langsung. Tapi setidaknya,
itu cukup ampuh membuat Vara memiliki rasa sentimen tersendiri
terhadap Nadin. Dia tidak menyukai Nadin, seperti Nadin tidak
menyukai Keenan.
Perjalanan Vara dan Keenan masih berlanjut. Hingga detik ini,
ketika daun-daun telah ribuan kali menggugurkan dirinya dari ranting dan
digantikan dengan yang baru, ketika gading gajah tidak sanggup tumbuh,
ketika pelangi memiliki satu warna tambahan, yaitu abu-abu. Masih
seperti sebelumnya, Vara yang menyerah tapi enggan berpaling. Vara
yang masih meminta petunjuk Tuhan tentang apa yang harusnya
dilakukan. Vara masih menunggu.
***
Sore itu, telepon genggam Vara berdering nyaring. Dengan
tergopoh dia mendatanginya. Bukan nomor yang dia kenal. Biasanya dia
tidak akan acuh. Tapi kali ini dia penasaran, siapa kiranya yang menelepon
di kala orang-orang sibuk berlalu-lalang?
“Halo,” sapa orang di kejauhan. Suara seorang perempuan.
“Ya, halo,” jawab Vara.
“Apakah ini dengan Vara?”
“Ya, saya sendiri. Dengan siapa saya bicara sekarang?”
“Saya Nadin.”
Jeda kurang dari satu detik. Vara tidak sempat berpikir Nadin
yang ‘itu’.
“Ini dengan Vara?” Perempuan bernama Nadin tadi melanjutkan.
“Ya, saya sendiri. Apa saya kenal kamu?” Tepat setelah berkata
demikian, Vara merasakan degupan jantungnya mengencang.
“Tidak. Tapi saya yakin kamu kenal Keenan,” jawab Nadin.
Kemudian jantung Vara benar-benar statis untuk sesaat. Jadi, ini
Nadin. Perempuan yang telah ia kenal sejak sekian lama. Sungguh, demi
Tuhan, Vara tidak pernah berhubungan langsung dengan perempuan ini.
Dari mana dia mengetahui kontak Vara?
“Ada apa dengan Keenan?” suara Vara dingin.
“Dia psikopat. Demi Tuhan, Vara. Apa hubunganmu dengan Keenan?”
Apa-apaan? Nadin tidak tahu siapa aku?
“Aku kekasihnya.”
“Astaga! Vara, kamu harus menjauhi Keenan. Aku tersandera. Kamu
tahu, sekarang aku berada di Antalya. Bersembunyi darinya sejak aku tiba. Dia
menerorku. Dia menginginkanku. Aku berada di negeri orang. Sendirian. Dan aku
ketakutan,” suara Nadin bergetar menahan tangis.
“Aku tidak mengerti kamu bicara apa.” Vara masih konstan
dengan nada bicaranya yang dibuat sedingin mungkin. Padahal Vara tahu,
saat itu hatinya tercabik. Vara tahu Keenan berada di Ankara untuk
beberapa tahun lamanya. Memisahkan diri demi meraih cita-cita. Ankara
dan Antalya berada di negara yang sama. Sedang apa Nadin di sana?
“Aku mengikuti program pertukaran pelajar. Kamu tahu, kami berteman
lumayan baik. Dia berjanji akan menjagaku. Dia mengingatkanku tentang
kehidupan di negeri orang yang tidak mudah. Kemudian dia merampasku. Mengaku
aku perempuannya. Mempermalukanku di depan teman-teman dari seluruh penjuru
dunia.
“Menyambangiku ke mana pun aku pergi. Memohon agar aku berada di
sisinya. Memintaku menjauhi teman-teman priaku. Aku sendirian, aku takut, aku
hampir tidak tahu harus berbuat apa. Aku sampai harus lari dari Ankara demi
menghindarinya. Uangku hampir habis. Sedangkan setelah ini aku masih akan ke
Paris.”
Vara hampir bungkam dan tidak sanggup mengeluarkan sepatah
kata pun dari bibirnya. Hingga dia menguatkan hati untuk bertanya,
“Bagaimana kamu bisa sampai menghubungiku?”
“Karena aku yakin kamu dari Indonesia. Aku melihat percakapan
kalian sekilas dari telepon genggam Keenan. Aku curiga dengan bahasa yang kalian
gunakan. Sedangkan Keenan tidak pernah bercerita bahwa dia memiliki kekasih.
Aku tidak tahu lagi ke mana harus bercerita jika bukan kepadamu.”
Detik itu juga pertahanan Vara roboh. Pembendungan air di
matanya gagal. Pipinya dialiri sungai kecil yang merambat turun melewati
dagu hingga ke leher. Hampir dia juga gagal menyembunyikan isak
tertahan yang semakin menekan dada.
“Halo, Vara? Kamu masih di sana?”
“I-iya. Aku masih di sini. Nadin, aku sudah mengenalmu. Jauh
dari sebelum kamu mengenalku. Kamu tidak usah khawatir. Kamu akan
pulang ke Indonesia dengan selamat, tanpa bayang-bayang Keenan di
dalamnya.”
Entah mengapa kalimat itu meluncur dengan sangat mudah dari
bibir Vara. Memastikan dia selamat dari bajingan tengik itu. Meskipun
sakit tak tertahankan semakin merajalela menyebar ke seluruh tubuh.
Ketika itu azan magrib baru saja berkumandang–tepat setelah
pembicaraannya dengan Nadin berhenti. Vara mengambil air wudu dan
memakai mukena berwarna kelabu. Setelah mengucap salam di rakaat
ketiga, Vara bersimpuh jatuh di hadapan Tuhan.
Air matanya bukan lagi seperti sungai. Melainkan samudra yang
luas dan berarus deras. Paru-parunya hampir berat mengeluarkan napas.
Hidungnya pampat tersumbat ingus. Tercetak kubangan mengering
sebesar pulau kecil di sajadahnya. Dari mulutnya keluar raungan sekeras
kumandang azan.
Vara memohon ampunan. Bertaubat nasuha. Merelakan
nyawanya terbang sementara diambang langit dan bumi. Sesakit itukah
patah hati? Meskipun Vara menanti, tapi ternyata bukan hal yang mudah
ketika menghadapi.
Hingga muazin berganti tujuan untuk memanggil. Langit kian
memancarkan kegelapan. Isya pun datang. Vara masih tersungkur di
hadapan Sang Maha Pemberi Ampunan. Apakah ini jawaban dari Tuhan?
Vara tahu jawabannya.
(*) Pamulang, 13 April 2016.
,
,
ega malam menghitam dan kian menghitam ketika hujan
mengetuk pintu dan meminta masuk. Awan menggelayut manja
terhempas laksana butir-butir beras bersama setitik demi setitik air mata
yang jatuh dari langit. Tanpa peduli angin yang semakin bertiup syahdu,
kemesraan sepasang teman tidak dapat dikalahkan oleh apa pun dan siapa
pun.
“Selamat ulang tahun.”
“Selamat ulang tahun.”
“Pertanyaan pertama ....”
“Biarkan aku bernapas dulu.”
“Sekarang sudah siap?”
“Ya.”
“Apa yang kamu rasakan saat ini?”
“Jatuh cinta. Giliranku. Pertanyaan pertama untukmu. Apa yang
kamu rasakan saat ini?”
“Jangan dibiasakan plagiat. Jatuh cinta.”
“Kamu juga plagiat.”
Suara renyah tawa terdengar dari kedua orang itu. Yang satu
memakai tuksedo warna abu-abu dengan sepatu armani hitam legam
terpasang di kakinya. Yang satu memakai gaun rancangan Mary
Katrantzou keluaran terbaru dengan sepatu Channel berwarna pastel.
“Siapa orang yang berhak mendapatkan perasaan dari sang
penakluk kamera?”
“Wanita cantik. Tentu saja. Seleraku selalu bagus.”
“Hahaha. Tidak cukup bagus.”
“Kenapa?”
“Jika itu bukan aku.”
“Grace, tentu saja dia bukan kamu.”
“Berarti benar, kan. Seleramu tidak cukup bagus.”
“Ayolah.”
“Aku yang seharusnya berkata ayolah. Ayolah, ceritakan tentang
dia.”
“Dia yang pertama kali memberi sinyal.”
“Hm, hm.”
“Menyadarkanku dari sebuah keambiguan. Dia bergelayut
manja. Mengirimkan suara cemprengnya ketika bernyanyi lewat
WhatsApp. Bercerita tentang apa saja.”
“Tidak meyakinkan.”
“Tapi aku yakin.”
“Kalau dia tertarik denganmu?”
“Dan aku jatuh cinta kepadanya.”
“Sesederhana itu?”
“Ya.”
“Cinta memang bodoh.”
“Tapi dia cantik.”
“Cinta tidak dilihat dari kecantikan fisik. Taruhan, kecantikan
yang kamu maksud memang karena dia memiliki paras yang elok, bukan?
Namanya juga fotografer.”
“Hahaha. Kamu benar, Grace.”
“Aku jarang salah.”
“Kemudian kenyamanan itu merasuki jiwaku. Memintaku untuk
bertahan. Meyakinkanku tentang arti ketulusan.”
“Kamu mulai gila, Nazef.”
“Cinta memang gila, bukan?”
“Berarti cinta itu bodoh dan gila.”
“Tidak selalu begitu.”
“Tapi itu terbukti.”
“Sekarang giliranmu.”
“Aku jatuh ketika dia tidak pernah berhenti menyemangatiku.”
“Hei, aku juga selalu begitu kepadamu.”
“Kamu bukan dia.”
“Gengsimu terkadang terlalu tinggi, Grace. Lanjutkan.”
“Dia meyakinkanku tentang arti sebuah keberhasilan. Hal yang
akan aku hadapi sebentar lagi.”
“Semudah itu kamu jatuh cinta.”
“Cinta bisa datang dengan cara apa pun.”
“Kamu gila.”
“Kamu juga.”
Senyuman kesenangan dari sepasang teman menantang hujan.
Mereka mengeluarkan kado dari tas masing-masing. Setelah mengucap
terima kasih dan menyesap anggur terakhir, keduanya beranjak. Yang
satu menuju peraduan keindahan malam bersama alat pencetak
keabadian dan menyampirkan tuksedo di jok belakang mobil kesayangan.
Yang satu menuju landasan empuk sambil ditemani tumpukan halaman
penuh tulisan sebelum menuntun jauh ke alam mimpi.
***
Malam, seperti malam-malam yang lain, selalu gelap. Tapi
malam, terkadang menangis manja meminta kesenduan, terkadang
tersenyum bergairah meminta penerangan, terkadang terlampau senang
dengan pengabulan harapan. Sedangkan dua orang teman memiliki
keabsahan pengertian tentang banyak hal, dan malam lebih setia
menemani mereka ketimbang siang.
Malam yang lain menjelma di tengah pucuk-pucuk kerinduan
terpendam. Bertanya tentang keinginan, namun menjawab tentang
ketidak tahuan. Malam yang ini bulan tersenyum merayu. Mencoba
menghibur siapa saja yang membutuhkan.
Mereka masih berada di kafe yang sama seperti kemarin. Nazef
memakai polo shirt berwarna biru tua, sedangkan Grace mengenakan baju
kasual rancangan Alexander McQueen keluaran terbaru. Nikon keluaran
terbaru baru saja menyentuh ujung tas, sedangkan seri terbaru Bilangan
Fu lanjutan dari Maya disingkirkan dari meja untuk sementara.
“Teman-temanku yang lain tahu.”
“Kurasa begitu. Kamu selalu tidak tahan untuk tidak cerita.
Tidak sepertiku yang hanya bercerita kepadamu.”
“Mereka mendukungku untuk mendapatkannya.”
“Bagus kalau begitu.”
“Aku semakin jatuh cinta kepadanya.”
“Begitu pun aku. Kepadanya.”
“Huh. Apalagi kesamaan yang terjadi di antara kita?”
“Selain tanggal lahir dan jatuh cinta?”
“Ya.”
“Mungkin anak-anak kita nanti akan menikah di hari yang
sama.”
“Atau jangan-jangan anak aku akan menikah dengan anakmu.
Aku menjadi mertua anakmu dan kamu menjadi mertua anakku.”
“Hahaha. Kamu gila, Nazef.”
“Aku memang konsisten. Termasuk dalam kegilaan.”
“Jadi, dia memberikan respons yang berarti?”
“Setiap apa yang dia lakukan selalu berarti untukku.”
“Itu karena kamu sedang jatuh cinta.”
“Ya. Kamu juga, kan?”
“Jatuh cinta terkadang memungkinkan segala kemungkinan yang
bahkan tidak mungkin sekalipun. Asumsi terlalu banyak. Perasaan terlalu
banyak. Terlalu banyak juga membenarkan.”
“Apakah itu salah?”
“Tidak. Cinta tidak pernah salah.”
“Tapi cinta menjerumuskan.”
“Seperti kamu.”
“Oh. Kita juga sama-sama gila.”
“Tentu saja.”
“Jadi, kapan kamu akan menyatakannya kepada perempuan itu?”
“Sebenarnya, sudah.”
“Lalu jawabnya?”
“Dia nyaman denganku sebagai teman.”
“Sudah kuduga.”
“Maksudmu?”
“Kamu akan dia tolak.”
“Kamu menyebalkan.”
“Apakah kamu akan menyerah?”
“Tidak. Aku tidak gampang menyerah.”
“Bagus. Lalu apa langkah selanjutnya?”
“Aku akan mengevaluasi diriku dan membuatnya nyaman, lebih
dari sekadar teman.”
“Caranya?”
“Sedang aku pikirkan.”
“Lalu kamu menjamin setelah itu dia akan menerimamu sebagai
kekasih?”
“Seribu persen.”
“Kupegang kata-katamu.”
“Dan kamu?”
“Dia mengantarku pulang.”
“Aku juga sering melakukan itu padamu.”
“Tapi dia bukan kamu.”
“Lalu apa bedanya?”
“Dia ya dia. Kamu ya kamu, Nazef.”
“Oh ayolah. Apakah tidak ada yang lebih spesial dari
mengantarkanmu pulang?”
“Dia berkata kepada ayahku, ‘Anak Om sudah saya kembalikan
dengan selamat. Terima kasih sudah menjaganya selama ini. Lain kali saya
akan menjaganya lagi.’”
“Hahaha. Aku juga bisa berkata seperti itu.”
“Tapi ayahku sudah biasa melihatmu.”
“Harusnya ayahmu lebih percaya kepadaku timbang
kepadanya.”
“Tapi aku maunya dia.”
“Terserah.”
“Mau tambah anggur lagi, Tuan dan Nyonya?” Seorang pelayan
menghampiri sepasang teman itu.
“Ya, silakan. Terima kasih. Omong-omong, aku masih nona,”
jawab Grace.
“Baik. Maaf, Nona.”
Mereka kembali melanjutkan perbincangan.
“Ada anggota baru di kepengurusan kami. Dia sebagai penasihat
umum. Alumni tahun 2007.”
“Lalu?”
“Kami menghormatinya, tentu saja. Jarak kami sekitar enam
tahun. Namun dia cukup bersahabat. Kemudian dia menawarkan diri
untuk membantuku untuk mendapatkan calon kekasihku itu.”
“Tunggu. Kau tahu kebodohan kita yang lain?”
“Apa?”
“Sampai sekarang, aku dan kamu bahkan tidak tahu kepada siapa
masing-masing dari kita jatuh cinta.”
“Ave.”
“Sungguh? Ave?”
“Untuk apa aku bohong kepadamu?”
“Dia kan teman baikku. Kenapa kamu tidak menceritakan dari
awal?”
“Kamu tidak bertanya dari awal.”
“Hahaha. Terserah. Lanjutkan. Orang itu ingin membantumu
untuk mendapatkan Ave?”
“Ya. Di umurnya yang cukup matang, kurasa dia memiliki
pengalaman yang lumayan banyak di bidang percintaan seperti ini.”
“Jangan mudah percaya dengan orang.”
“Terima kasih sarannya. Lalu, siapa nama orang yang
membuatmu jatuh cinta?”
“Bisa jadi orang itu kenal dengan orang yang ingin
membantumu, sebenarnya. Dia juga dari angkatan 2007. Namanya Ben.”
“Apakah dia orang yang sama? Senior itu juga bernama Ben.”
“Oh Tuhan. Ini fotonya,” Grace mengeluarkan telepon
genggam dan menunjukkan kepada Nazef.
“Demi Tuhan. Ini Ben.”
“Tanggal lahir, jatuh cinta, gila, dan Ben.”
***
Ketika hujan menarik ulurannya, awalnya bintang muncul malu-
malu. Kemudian secara perlahan, dia memancarkan cahayanya dengan
benderang. Meskipun terkadang dia lupa, bahwa suatu saat dia bisa
meledak.
“Katanya kamu ingin menceritakan rahasia.”
“Ya. Aku baru bercerita kepadamu, Grace.”
“Aku menunggu, Ave.”
“Aku memiliki kekasih.”
“Nazef?”
“Hahaha. Bukan.”
“Lalu siapa?”
“Ben.”
“Maksudmu, senior yang baru bergabung di tim kalian itu?”
“Ya. Benar.”
“Lalu ceritanya?” suara Grace tertahan. Pandangannya
ditundukkan. Beruntung malam menyembunyikan. Dia tidak sanggup
menghadap muka ke arah Ave. Padahal biasanya, Grace akan menatap
mata setiap siapa saja yang diajak bicara
“Aku tahu Nazef menyukaiku. Aku nyaman dengannya. Kami
bersahabat. Tidak bisa lebih dari itu. Maksudku, perasaanku tidak bisa
melebihi dari seorang sahabat kepada Nazef. Aku tahu, ketika Ben
datang, Ben ingin membantu Nazef untuk mendapatkanku. Tapi kurasa
Ben juga tertarik kepadaku.
“Dan perasaanku, juga mengatakan yang sama. Mungkin jika
teman-teman yang lain tahu, mereka akan sangat marah dengan Ben.
Karena bisa dibilang Ben menikam Nazef dari belakang. Aku bisa jamin,
Ben tidak bermaksud seperti itu. Kau tahu, perasaan tidak bisa dipaksa?
Begitu pun dengan kami.” Ave mengakhiri ceritanya.
“Sebenarnya aku dan Ben sedang membuat proyek bersama.”
“Ya. Ben juga cerita tentang itu.”
Sebenarnya, aku hampir bercerita kepadamu bahwa aku jatuh cinta
dengan Ben, Ave.
***
Mungkin memendam lebih baik. Meski belum tentu lebih baik
itu selalu baik. Karena bisa saja menikam. Seperti malam yang tenangnya
mudah membunuh. Atau keriuhannya yang menciptakan kebahagiaan.
“Kamu sudah tahu tentang ini?”
“Persetan dengan Ben.”
“Aku tertikam. Rasanya sakit, Nazef.”
“Aku juga.”
“Apakah kita harus mengikhlaskan?”
“Entahlah.”
“Berapa kali kamu meminta Ave untuk menjadi kekasihmu?”
“Lima.”
“Ben?”
“Satu, mungkin.”
“Ave teman baikku.”
“Ben orang yang aku percaya.”
Tanggal lahir, jatuh cinta, gila, Ben, patah hati.
Malam tidak mengenal usia. Walau ada yang telah selesai
bertemu tahun berulang-ulang, namun kepekatannya tetap menjadi
andalan. Tetap konsisten dalam ketentraman dan kesunyian. Tetap
menyangkal meski di dalamnya terdapat ribuan uraian cerita yang
terkadang tidak pernah usai.
(*) Pamulang, 3 April 2016.
“ unggu!” Gadis itu berlari mengejar kereta yang berjalan
perlahan. Dengan sekuat tenaga dia berlari melewati kerumunan orang di
peron agar bisa menaiki kereta itu. Ransel besar di punggungnya seakan
tidak menghambat.
Usahanya tidak sia-sia. Ia berhasil mencapai pintu terakhir
kereta. Namun nahas bagi lelaki yang sedang berdiri di dekat pintu. Dia
baru saja ingin memasuki gerbong lebih dalam karena baru saja
mengucap pisah kepada sahabat dekatnya. Tiba-tiba saja tubuhnya
doyong dan jatuh ke lantai kereta karena ditabrak sesuatu yang berat dari
belakang.
“Aw.” Lelaki itu mengaduh.
“Untung tidak tertinggal kereta,” ucap perempuan yang
menabrak laki-laki.
“Hei! Kamu baru saja membuatku jatuh. Untung daguku tidak
membentur lantai. Bisa-bisa rahangku patah!” seru lelaki kepada si
perempuan dengan nada sedikit kesal. Bukannya meminta maaf. Memang dia
tidak sadar sekarang sedang mendarat di tubuhku? Dasar perempuan tidak peka,
kata laki-laki itu dalam hati.
Perempuan itu kemudian berpindah posisi agar tidak menindih
si laki-laki. Seakan dia baru sadar bahwa ada seseorang yang
menyelamatkannya. Dirinya pun tidak langsung menyentuh lantai ketika
jatuh barusan.
“M-maafkan aku. Aku tadi terburu-buru dan harus berlari untuk
mencapai kereta ini.”
Mereka berdua bangkit sebelum menarik perhatian lebih banyak
orang. Beruntung saat itu kereta tidak terlalu penuh. Namun tetap saja,
siku dan dengkul si perempuan lecet karena menahan diri. Sedangkan si
laki-laki yang jatuh terlungkup tidak terluka sedikit pun.
“Kamu?” Yudis—nama si laki-laki, sedikit mengernyitkan dahi
melihat perempuan yang hampir membuatnya celaka itu. Dia seperti
pernah melihatnya. Wajahnya begitu femiliar.
“Kak Yudis?” Si perempuan sama terkejutnya melihat Yudis.
Ah! Dia adalah anak baru. Kemarin dia yang paling berisik ketika
sedang perkenalan awal, batin Yudis. Yudis langsung mengingatnya karena
dia merupakan koordinator lapangan ketika perkenalan siswa baru di
ekstrakulikuler atau ekskul yang dia geluti. Pecinta Alam SMA
Mahadiaksa merupakan salah satu ekskul yang banyak diminati.
Sekarang si Berisik malah berdiri di depannya. Bukan itu saja.
Dia baru saja membuat Yudis hampir celaka. Ingin rasanya Yudis
menyemprot si perempuan saat itu juga. Hitung-hitung sekalian
meluapkan kekesalan karena kemarin ia juga begitu rusuh. Namun Yudis
ingat sekarang dia sedang berada di tempat umum.
“Sedang apa kamu di sini?” tanya Yudis ketus.
“Aku akan mendaki Bromo. Kak Yudis?” tanya perempuan itu
kembali.
Sial. Destinasi kita sama. Tapi Yudis tidak mengucapkan itu
dengan bersuara. “Bukan urusanmu,” katanya singkat.
“Anyway, namaku Elena. Boleh dipanggil Elen.” Perempuan itu
memperkenalkan diri tanpa diminta.
“Terserah. Aku ingin mencari tempat duduk.” Tanpa berlama-
lama Yudis langsung meninggalkan Elena sendirian dan memasuki
gerbong. Dia menemukan tempat duduk yang kosong di tengah gerbong
ketiga, sesuai dengan yang tertera di tiketnya. Langsung saja dia
menempati kursi itu.
Elena tidak terlihat. Mungkin tempat duduknya yang lebih dekat
dengan gerbong tempat ia masuk. Yudis tidak peduli. Udara terasa
semakin dingin. Perlahan gerimis membasahi jendela kereta. Lama-lama
semakin besar, membuat uap yang tebal di jendela. Yudis memilih tidur.
Perjalanannya masih panjang.
***
Yudis adalah siswa kelas 12 SMA Mahadiaksa. Sebentar lagi dia
akan menghadapi Ujian Nasional. Namun kecintaannya terhadap alam
membuatnya sulit untuk melepas rindu sebentar saja. Baru dua minggu
yang lalu dia turun dari puncak Papandayan. Satu malam sebelum dia
kembali masuk sekolah, dia baru sampai di rumah.
Kedua orang tuanya tidak dia temukan di rumah. Ibu memang
tidak tinggal bersamanya. Sedangkan Ayah juga jarang pulang. Gunung
adalah satu-satunya tempat yang bisa membuat Yudis nyaman. Itu
mengapa ia sering pergi ke gunung.
Namun akhir-akhir ini cuaca sedang tidak menentu. Seperti
sekarang, seharusnya musim panas namun malah hujan. Itu membuat
Yudis harus ekstra hati-hati dalam melakukan pendakian. Dia berharap
agar ketika sampai hujan tidak menghambat. Trisno dan beberapa kawan
gunungnya mungkin telah menunggu dia sekarang. Atau mereka juga
sedang dalam perjalanan seperti Yudis. Tinggal waktu yang membuatnya
sampai ke tujuan.
Sedangkan Elena, untuk pertama kalinya ia mendaki gunung. Ia
sangat penasaran dengan pandakian. Ia bersama Rita, Manda, dan
beberapa kerabat SMP-nya akan naik ke Gunung Bromo. Tidak sabar
rasanya. Elena dan rombongan telah membayar cukup mahal untuk
menyewa pemandu. Namun dia harus pergi sendiri ke Malang karena
rombongannya telah sampai satu hari yang lalu.
Elena merapatkan jaket. Hujan membuatnya semakin merasa
lapar. Ia mengambil beberapa snack untuk mengganjal perut. Hujan
belum menjadi bagian penting dalam hidupnya. Setidaknya untuk
sekarang.
Tanpa mereka berdua sadari, itu adalah titik di mana mereka
akan terus berhubungan. Saat itu memang bukan pertama kali mereka
bertemu. Namun untuk pertama kalinya Yudis dan Elena dapat bertatap
muka satu sama lain seperti tadi.
Hujan yang turun ketika mereka berdua di kereta menjadi saksi.
Hujan memang tidak melihat ketika mereka bertemu tadi. Namun ia tahu
bahwa Yudis dan Elena akan ditakdirkan untuk bertemu lagi. Kisah
mereka baru saja dimulai.
***
Dalam diam, Yudis menatap ke luar jendela kamarnya. Satu
tahun yang lalu di tempat yang sama, dia masih bisa tersenyum karena
ada seseorang di sampingnya. Dia yang memberikan setengah jiwanya
untuk Yudis, dia yang membela Yudis saat dirinya membutuhkan, dia
adalah separuh dari hidup Yudis. Sekarang, orang itu tidak ada di sini.
Begitu cepat waktu berlalu. Terkadang menyisakan pedih yang tiada
tertahan ketika seseorang yang kita kasihi telah pergi.
Yudis ingat ketika dia berbicara pertama kali dengan Elena.
Perempuan itu telah mengubah banyak hal. Ketika dia akan menghadapi
Ujian Nasional, Elena yang pertama kali memberikan paket alat tulis
untuknya. Hal-hal kecil namun begitu berarti bagi Yudis.
Berbeda dengan satu tahun yang lalu, hari ini rintikan hujan
membasahi pekarangan rumah Yudis. Musim memang telah berubah.
Padahal baru tahun lalu di hari yang sama tanah yang sedang dia pandangi
kering. Hari ini, tanah itu basah. Seakan hujan mengerti tentang
keinginannya untuk dapat kembali bertemu dengan masa itu, maka hujan
mencoba untuk menghapuskannya dari jiwa Yudis. Menurut hujan, tidak
ada gunanya mengingat sesuatu yang lampau jika hanya rasa sakit yang
dirasakan. Lebih baik hujan basuh itu semua agar jiwa kembali bersih dan
segar, serta menemui kehidupan baru yang lebih baik.
Nampaknya, Yudis tidak ingin mendengar hujan. Dia masih
terpaku jauh ke dalam benaknya. Berharap dia bisa mengubah sesuatu di
masa itu agar tidak pernah terjadi. Tapi hujan berkata lain. Bukannya
membantu Yudis agar mengingat masa lalunya, hujan malah mulai
menerobos masuk ke sela-sela teralis yang dipasang di jendela kamar
Yudis. Yudis masih bergeming. Dia belum sadar hujan sedang berusaha
menentramkan hatinya.
Petir bergemuruh di langit. Dia ingin membantu hujan untuk
segera menyadarkan lamunan Yudis. Petir berhasil. Yudis mengadahkan
wajahnya dan melihat ke langit yang sangat pekat karena tertutup sang
awan. Perlahan, rintikan hujan mulai membasahi wajahnya. Yudis tidak
mengatakan apa pun. Namun dia seolah mengerti bahwa pesan hujan
sudah sampai ke dasar hatinya.
Dengan segera, Yudis menutup tirai agar hujan tidak tampias ke
dalam kamarnya. Serta merta dia bangkit dari kursi yang dia duduki, dan
langsung menuju ke luar rumah. Hujan turun semakin deras. Petir tidak
mau kalah dalam meneriakkan suaranya yang keras. Yudis melewati pagar
rumahnya dan berlari kecil dan berharap bisa menentramkan hatinya
yang risau.
Tanpa diberi aba-aba, hujan menjalankan tugas yang sudah ia
niatkan sebelumnya. Yudis menangis dalam hujan. Perlahan, kebekuan
dalam rasa itu terurai oleh hujan. Kebisuan yang tercipta oleh dirinya
sendiri berganti dengan hembusan lega. Yudis merasa tentram sekarang.
Yudis bangkit dari tempat dia bersimpuh. Dengan jiwa yang
utuh, dia melangkah kembali ke rumah sambil tersenyum. Beban yang
telah lama dia pendam hilang sudah. Tidak ada lagi harapan kosong yang
tercipta tanpa nama. Harapan itu kandas, lebur bersama hujan. Yudis
tersenyum dalam lamunan yang ia sendiri tidak mengerti. Yang dia
rasakan hanyalah sesuatu yang hilang itu tidak akan kembali.
Tapi, Yudis salah. Derasnya hujan membuat mobil beroda
empat itu tidak sempat mengelak saat Yudis melangkah gontai menuju
rumah. BRAKKK. Kemudian sunyi. Sang pengemudi yang panik hampir
melarikan diri ketika dia menyadari siapa yang dia tabrak.
Betapa terkejutnya ia mendapati sosok yang terkapar di jalanan
beraspal adalah ayah dari anak yang sedang menunggunya pulang di
rumah. “Yudis!” Perempuan itu berteriak histeris. Perempuan dalam
balutan kemeja hijau tua dengan rok putih masih mengguncangkan tubuh
Yudis. Sedangkan Yudis hampir tidak sanggup menoleh ke asal suara.
Tapi, Yudis bisa tahu siapa yang sedang berbicara kepada dirinya.
Dengan segenap tenaga, perempuan itu masih berusaha
membuat Yudis tetap tersadar. Meski dia tahu usahanya sia-sia. Hujan
membuatnya ingat agar dia menyampaikan hal yang selama ini tertahan.
“Maafkan aku. Kamu pasti mengerti mengapa aku menghilang.
Papa selalu melarang hubungan kita, Sayang. Dia menjodohkanku
dengan anak sahabatnya sesaat dia tahu bahwa ada buah hati kita di dalam
rahim ini. Sialnya, kami berdua tidak bisa menolak. Pilihannya hanya dua.
Menikah atau membunuh anak kita.
“Tentu saja aku tidak tega membiarkan kenangan akanmu satu-
satunya harus terenggut. Maka aku menikah dengan lelaki yang bahkan
baru aku ketahui namanya saat akad. Aku baru saja kembali dari luar kota.
Di sana aku tidak sekolah. Ayah tidak mengizinkan. Terkadang, aku
masih suka bertelepon dengan Rita dan Manda. Mereka lulus Ujian
Nasional tahun ini.
“Andai aku masih bisa meneruskan bangku kuliah. Tapi untuk
sekarang, rasanya tidak mungkin. Aku harus membesarkan Mesya. Demi
kita. Kalau kamu ingin tahu, aku ke daerah rumahmu karena ingin
melepas rindu kepadamu, Yudis. Aku masih mencintaimu.”
Kata-kata perempuan itu tenggelam dalam petir yang tidak
berhenti bergemuruh. Tanpa ampun, hujan tetap mengguyur tubuh
mereka berdua. Darah yang dikeluarkan dari tubuh Yudis mengalir
membentuk sungai kecil diantar pori-pori aspal. Air mata perempuan itu
tumpah dan menyatu dengan air hujan. Dia memeluk erat Yudis,
berharap Yudis mendengar setiap kata yang ia ucapkan.
“Aku senang kamu kembali,” balas Yudis. “Jaga anak kita.
Katakan padanya, aku juga mencintainya.”
Tepat saat itu, hujan menarik diri ke atas. Awan pekat menyebar
dan menciptakan semburat matahari sore. Petir tiba-tiba menghilang.
Begitu pun dengan denyut nadi yang ada di pergelangan tangan Yudis.
Tanpa daya, perempuan itu memukul keras dada Yudis agar
orang yang dicintainya itu terbangun. Tapi tidak ada respons. Dalam
diam dia mendekatkan bibirnya ke telinga Yudis dan membisikkan, “Aku
ingin tetap bersamamu.”
Perempuan itu adalah Elena.
(*) Pamulang, 29 Januari 2015.
atu ketika, aku mendengar jeritan yang ditimbulkan dari orang
yang amat kusayangi. Begitu pilu dan menyayat hati. Terasa tumpuan
tangannya berada di dekapku sekarang. Ia membisikkan sesuatu, “Aku
ingin tetap bersamamu.” Namun aku tidak sanggup berucap atau
membalas kepadanya. Bahwa aku akan baik-baik saja.
Terakhir aku melihat sedan putih yang semakin mendekat.
Pandanganku kabur karena hujan yang begitu deras. Ternyata sedan itu
terus melaju dan menghempaskanku hingga beberapa meter.
Aku sempat melihat seorang gadis cantik keluar dari sedan
tersebut. Tidak begitu jelas. Tapi aku yakin bahwa aku mengenalnya.
Setelah aku mendengar dia mengucapkan beberapa kalimat, aku masih
sempat membalasnya. Setelah itu pandanganku memburam.
***
Aku pun mendengar gemericik air di kejauhan. Pelan aku buka
kelopak mata.
“Ayo ikut bermain!” Seorang anak kecil menarikku dengan
sedikit paksaan. Posisiku yang terlentang mengharuskan aku untuk
duduk. Aku masih bingung dengan keadaan yang berada di sekitarku saat
itu.
“Kamu ternyata sudah sadar,” tutur salah seorang tiba-tiba. Ia
berada di samping kananku. Sedangkan tangan kiriku tidak terlepas dari
genggaman anak kecil tadi.
“Kamu bermain duluan ya. Nanti aku menyusul,” kataku
akhirnya pada anak kecil itu. Rengekannya berhenti. Seketika ia
melepaskan genggamannya dariku dan mulai berlari ke arah jembatan di
ujung sana. Ada banyak anak kecil lainnya. Aku masih belum mengerti
sedang di mana aku sebenarnya.
“Siapa kamu?” tanyaku kepada orang yang duduk di sebelah
kananku.
“Pertanyaan yang tidak biasa. Biasanya orang pertama kali
bertanya, ‘Di mana aku?’” kata orang tersebut. Ya, sebenarnya itu juga
akan aku tanyakan setelah ini. Orang tersebut melanjutkan, “Saya adalah
Vandroga. Penjaga negeri ini.” Dia memperkenalkan diri.
“Memang ini negeri apa?” Aku bertanya dengan wajah polos.
Atau setidaknya, kukira begitu.
Aku tidak merasa asing di sini. Seperti pernah mengunjungi,
menempati, atau melihat tempat ini entah di mana. Namun semuanya
berwarna putih bersih. Tanah yang kududuki sekarang pun sangatlah
lembut. Tunggu, bahkan ketika aku mencecapnya menggunakan tangan,
tanah ini serta merta meleleh di tanganku menjadi cairan yang sangat
sejuk.
“Akhirnya, pertanyaan itu keluar juga, Yudhistira. Kamu sedang
berada di Trapara.”
Aku menunggu dia menjelaskan lebih lanjut. Tapi malah hening
yang tercipta. Dia diam saja.
“Trapara itu apa?” tanyaku sekali lagi, berharap lelaki bernama
Vandroga ini ingin menjelaskan lebih rinci.
“Tempat ini berada di atas awan. Tempat ketiga di kehidupanmu
setelah di rahim ibumu dan di Bumi. Kamu akan terus berada di sini
sampai Yang Maha Kuasa berkehendak. Setelah itu, barulah kamu akan
tinggal di tempat selanjutnya. Antara surga atau neraka,” jelasnya.
Bumi. Kata itu seperti menghempaskanku dari ombak. Aku tahu
Bumi. Namun aku gagal menyatukan memori tentangnya. Bahkan secuil
pun tidak. Seperti ada yang hilang, namun aku tidak tahu apa itu. Aku
yakin yang hilang itu adalah sesuatu tentang bumi. Namun aku tidak bisa
mengingat apa pun tentang itu.
Aku tahu surga, neraka, Yang Maha Kuasa, atau rahim ibu. Aku
juga tahu bumi. Apa yang salah denganku? Aku mencoba berpikir keras
mengingat hubungan aku dan bumi.
“Tidak perlu diingat,” suara Vandroga memecah
kebingunganku. Bahkan seakan dia juga membaca pikiranku.
“Trapara adalah kehidupan barumu. Kamu tidak akan bisa
mengingat kehidupanmu ketika di bumi. Seperti ketika kamu menjadi
manusia di sana, kamu juga telah melewati fase kehidupan sebelum itu.
Yaitu ketika kamu pertama kali tercipta dan tumbuh di rahim ibumu
sebagai janin. Apakah kamu juga mengingat itu, Yudis?” Dia malah
bertanya kepadaku.
Aku tidak tahu. Bagaimana aku bisa tahu apakah ketika aku di
bumi bisa mengingat kehidupanku di rahim ibu? Aku saja tidak
mengingat apa pun tentang Bumi. Aku memutuskan untuk
menggelengkan kepalaku sebagai jawabanku kepadanya.
“Seperti juga di sini.” Dia melanjutkan. “Bahwa sekeras apa pun
kamu mengingat kehidupanmu yang lalu, kamu akan gagal. Karena kamu
ditakdirkan untuk menjalani kehidupan di sini sebagai orang yang baru.
Tidak usah khawatir. Kamu hanya belum terbiasa.” Vandroga
menjelaskan.
Aku memutuskan untuk tidak bertanya kepadanya lebih banyak.
Meskipun beberapa pertanyaan lagi masih tercetus di otakku, tapi aku
memutuskan untuk menyimpannya sendirian. Aku baru mengenal
Vandroga. Tidak semata-mata aku akan percaya kepada dirinya. Peduli
amat jika tadi katanya dia merupakan penjaga negeri ini. Sejauh ini, aku
akan bersikap sebatas menghormatinya karena dia lebih dulu berada di
sini ketimbang aku.
***
Entah sudah berapa hari aku menetap di Trapara. Di sini tidak
ada siang ataupun malam. Setiap hari seperti memiliki waktu yang sama.
Cerah, sejuk, dan membosankan. Bahkan mungkin sejak aku bangun
pertama kali, hari juga belum berganti? Aku tidak tahu pasti. Aku belum
menemukan keinginan untuk berinteraksi dengan orang-orang di Trapara
lebih jauh.
Anak kecil yang waktu itu mengajakku bermain tidak pernah
terlihat lagi. Mungkin dia sudah menemukan teman bermainnya. Di
kejauhan aku melihat jembatan yang sama. Anak kecil itu sudah tidak di
sana. Penasaran, aku berjalan menuju jembatan itu.
Sepanjang perjalanan aku melihat semuanya terasa normal. Ada
sepasang kakek dan nenek yang sedang duduk di bangku taman sambil
memberi makan burung, ada seorang gadis yang sedang duduk di tepi air
mancur, dan ada beberapa orang yang mungkin seusiaku sedang duduk
melingkar. Mereka tidak menyadari kehadiranku karena aku memang
hanya melewati mereka. Semuanya berwarna putih, seperti yang aku
bilang.
Setibanya di depan jembatan, aku tidak bisa melihat ujung
jembatan itu. Tempat di seberangnya tertutup kabut.
“Apa yang kamu lakukan di sini?”
Aku menengok ke belakang. Vandroga, lagi.
“Mengapa tempat itu tertutup kabut?” tanyaku padanya.
“Belum waktunya kamu melihat ke tempat itu. Jika Yang Maha
Kuasa sudah memanggilmu, maka kamu juga akan pergi ke sana. Tapi,
sekarang belum. Sebaiknya kamu menjauh dari situ,” kata Vandroga.
“Memang apa yang terjadi jika aku menaiki jembatan ini?” Aku
semakin penasaran.
“Kalau kamu memaksa, kamu akan langsung ditempatkan di
Reshvadu. Tempat di antara surga dan neraka. Kamu terperangkap, dan
tidak akan bisa ke mana-mana. Di sana kamu tidak akan bertemu siapa-
siapa. Tempat yang begitu luas, namun hanya kamu di dalamnya.
Memang sengaja untuk di-setting seperti itu.
“Sedangkan nanti, pada waktunya jembatan ini yang akan
menghubungkanmu ke surga atau neraka. Tergantung dari apa yang
sudah kamu perbuat selama di Bumi.” Vandroga menjelaskan.
“Mengapa hanya perbuatanku yang di bumi? Bukankah aku juga
hidup di Trapara?”
“Hidupmu di sini berbeda, Yudishtira. Di sini kamu tidak akan
berbuat kejahatan dan melakukan dosa. Semua yang kamu lakukan adalah
benar. Di sini kamu putih dan suci. Seperti awan yang menjadi bahan
dasar Negeri Trapara.” Vandroga menajawab pertanyaanku dengan
sabar.
“Di Trapara membosankan. Aku penasaran dengan Reshvadu,”
kataku jujur kepada Vandroga.
“Hahaha. Itu karena kamu menyikapinya seperti itu. Bayangkan
hal-hal yang menyenangkan. Trapara akan menjadi lebih indah
ketimbang di bumi. Trapara adalah satu-satunya negeri di mana kamu
bisa melampiaskan segara kecintaanmu terhadap hal yang baik. Seperti
awan yang selalu tenang dan sulit untuk bergejolak. Hanya di waktu
tertentu saja awan bisa menggelap.
“Itu pun terjadi tidak akan lama. Itu juga tidak akan berdampak
apa pun kepada Trapara.” Vandroga menceritakan panjang lebar.
“Umur orang Trapara didasarkan oleh apa?” Pertanyaanku
meluncur begitu saja.
“Tergantung di umur berapa mereka meninggalkan bumi. Kamu
tidak akan bertambah tua di sini. Juga di umur yang sama sampai Yang
Maha Kuasa memanggilmu.” Vandroga mengakhiri penjelasannya.
Ketika aku ingin bertanya lebih lanjut, tiba-tiba saja dia menghilang.
Lenyap. Tanpa bekas.
Aku mencoba mempraktekkan apa yang tadi dikatakan oleh
Vandroga. Aku harus berbuat sesuatu yang menyenangkan. Kemudian
aku mencoba tersenyum kepada orang-orang di sekitarku. Ternyata
mereka ramah. Hatiku sedikit demi sedikit mulai terisi dengan
kehangatan yang terpancar dari orang-orang di sini.
***
Entah sudah berapa lama aku menghabiskan waktu di Trapara.
Memang, secara keseluruhan semuanya terlihat datar. Putih, bersih,
dengan cuaca yang selalu cerah dan iklim yang sejuk. Di balik itu semua,
aku mulai menikmati kehidupanku di negeri ini. Menjadi salah satu
penduduk negeri yang berada di atas awan adalah hal yang tidak pernah
terpikirkan oleh hidupku sebelumnya, mungkin. Sekarang aku di sini,
menanti kehidupan yang lebih baru memanggil.
(*) Pamulang, 3 Februari 2015.
“ utri menerima apel itu dari genggaman Nenek Tua. Kemudian ia
mulai menggigitnya. Tidak lama setelah itu, ia merasakan yang aneh dalam
tubuhnya. Ternyata apel tersebut telah diracun oleh Nenek Tua! Yang lebih
mengejutkan, Nenek Tua yang bungkuk tiba-tiba berubah menjadi ratu kerajaan.
Tidak lain tidak bukan, ia juga merupakan ibu tiri sang Putri. Dia tertawa
terbahak-bahak ketika melihat sang Putri tergolek lemas di tanah karena racun
yang dimakan bersama apel.”
Bagian cerita Putri Salju itu masih terpatri dalam ingatan Dita.
Seakan suara neneknya yang menceritakan kisah tersebut masih terdengar
hingga sekarang. Padahal nenek sudah meninggal sepuluh tahun lalu,
ketika ia masih duduk di bangku kelas tiga SMP. Sejak mendengar cerita
itu, ia tidak menyukai apel. Hanya dia di dalam keluarganya yang tidak
menyukai buah yang manis itu.
Tidak peduli kata orang tentang manfaat apel yang melimpah.
Tidak peduli kata orang tentang rasanya yang enak atau bisa dijadikan
sebagai olahan apa pun, Dita tetap tidak suka. Mungkin karena cerita
Putri Salju tentang apel itu telah masuk ke bawah alam sadarnya. Secara
tidak langsung itu bisa membuat Dita alergi terhadap buah apel.
***
“Aphrodite Kencana,” panggil guru yang sedang mengabsen.
Dita mengacungkan tangan. Sementara gurunya kembali membacakan
nama-nama yang ada di bawahnya.
Hari ini Jakarta diguyur hujan deras. Matanya terfokus kepada
rintik air hujan yang membasahi jendela kelas. Pikiran Dita mengawang
kepada kisah tentang Zeus dan Poseidon, sang penguasa langit dan lautan
dalam mitologi Yunani. Dia tidak memperhatikan gurunya yang sedang
menjelaskan tentang rumus gravitasi atau apalah namanya.
Gurunya pun tidak sadar sehingga Dita bisa aman berimajinasi
di dalam kelas ketika pelajaran berlangsung. Andai ia tidak perlu sekolah
seperti Hercules atau Parseus, anak-anak Zeus. Ia lebih senang jika harus
mengendarai pegasus menuju Gunung Olimpus dan bertemu dengan
dewa-dewi Yunani.
Aphrodite juga merupakan Dewi Kecantikan dalam mitologi
Yunani. Sesuai dengan namanya, Aphrodite pun sangat cantik seperti
dewi Yunani itu. Ia biasa dipanggil Dita, agar lebih pendek. Hanya saja ia
dianggap aneh karena lebih sering melamun. Tidak banyak yang ingin
dekat-dekat Aphrodite. Teman-teman sekelasnya lebih senang menjaga
jarak dengan orang yang sering melamun. Karena jika dekat-dekat,
mereka juga akan dicap aneh.
Sebenarnya Dita ingin punya teman. Satu atau dua cukup
untuknya. Tapi, sepertinya belum ada yang menginginkan jadi teman
Dita. Sampai ia menemukan apel yang ada di dalam lokernya.
Apa maksud orang itu memberikan apel untuk Dita? Tidakkah
dia tahu bahwa Dita tidak menyukai apel? Dita mengambil apel tersebut
kemudian membuangnya di tempat sampah. Bukannya tidak menghargai
pemberian orang tersebut. Hanya saja Dita sangat membenci apel.
Memang sempat terlintas dipikirannya bahwa orang yang memberinya
apel ini ingin berteman. Mungkin caranya saja yang salah.
Di kejauhan, orang yang memberi Dita apel sedikit meringis
melihat kelakuan Dita barusan. Dia tidak menyangka bahwa perempuan
bernama Aphrodite Kencana tidak menyukai apel. Seharusnya, ia
menyukai apel seperti Aphrodite yang merupakan salah satu dewi
Yunani.
***
“Hei,” sapa Anton.
Dita mendongak ke arah suara. “Ya?”
“Kamu, Aphrodite Kencana?” tanya Anton.
Dari mana dia tahu namaku? pikir Dita dalam hati. Dita seperti
sering melihat wajahnya. Lebih tepatnya, orang ini sering berpapasan
dengannya. Entah ketika di kantin, di depan kolam renang sekolah, atau
bahkan di toko buku. Tempat yang tidak Dita sangka akan bertemu orang
ini.
Seperti sekarang. Dita sedang menyesap jus alpukatnya di kantin
sekolah. Tiba-tiba saja dia datang dan mendadak menanyakan namanya.
Tunggu. Sebenarnya Dita bukan hanya sekadar sering melihat wajahnya.
Ia juga mengenalnya. Hanya saja ia tidak mengetahui nama lelaki ini.
Dita mengasumsikan dia sebagai Hermes. Tentu saja karena dia
sering bertemu dengan Dita di tempat yang terduga. Itu karena Hermes
suka berkelana. Hermes juga dikenal sebagai dewa pencuri. Pantas,
karena beberapa kali lelaki ini sanggup mencuri perhatiannya.
“Dan, kamu Hermes?” Dita bertanya balik, asal.
“Hahahaha. Hermes? Aku merasa terpuji dipanggil Hermes. Dia
memiliki banyak julukan, kau tahu? Selain cerdik dan menjabat sebagai
duta besar, dia juga melindungi perdagangan,” jawab Anton.
“Terserah,” jawab Dita cuek.
“Kenapa kamu tidak suka apel?” Anton bertanya langsung.
“Aku membencinya.” Dita berkata pendek.
“Apakah kamu tahu? Apel itu sangat spesial bagi Dewi
Aphrodite. Setiap pria yang ingin melamarnya, harus memberinya sebuah
apel. Jika Aphrodite menerimanya, maka pria itu bisa menikahinya,” jelas
Anton.
“Aku bukan Dewi Aphrodite. Walaupun keluargaku bilang aku
secantik dirinya, namun Aphrodite versiku berbeda. Karena aku tidak
menyukai apel. Lagi pula, siapa yang ingin menikahiku? Lulus SMA saja
belum.” Dita tetap kukuh dengan pendiriannya.
“Setidaknya, terimalah pemberian orang. Jangan langsung
dibuang ke tempat sampah. Melihat pemberianmu dibuang begitu saja
bisa membuat hatimu sakit.” Anton berkata jujur.
“Jadi, kamu yang memberiku apel?” tanya Dita langsung.
Anton mengangguk.
“Baiklah. Terima kasih atas pemberiannya. Namun kamu sudah
tahu, bukan, kalau aku tidak menyukai apel? Jadi, kamu tidak perlu repot-
repot membawakan apel lagi untukku.” Dita benar-benar memberitahu
Anton dengan suara datar tapi langsung mengena.
“Mengapa kamu begitu cuek dan dingin? Aku hanya ingin
berteman denganmu.” Anton benar-benar telah mengungkapkan semua
maksudnya sekarang.
Dita menatap mata Anton. Ini pertama kalinya ia ‘ditembak’
seperti ini oleh seseorang. Belum pernah sebelumnya yang ingin dekat-
dekat dengannya. Apakah itu perempuan atau laki-laki, belum pernah ada
yang ingin menjadikannya seorang teman. Paling-paling, mereka hanya
bicara seperlunya. Entah itu ketika ingin meminjam penghapus atau
ketika mengajak janjian untuk mengerjakan tugas kelompok.
Dita akhirnya merasa bersalah karena terlalu kasar dengan lelaki
ini. Kemudian dia berkata, “Maaf, Hermes.”
“Namaku Anton. Namun aku tidak keberatan kalau kamu
memanggilku Hermes.”
“Baiklah. Aku lebih suka memanggilmu Hermes.”
“Kamu belum menjawab pertanyaanku.” Anton kembali
mengingatkan. Dita menaikkan alis tanda lupa dengan pertanyaan mana
yang belum dijawab olehnya. “Bahwa kau tidak menyukai apel.”
“Oh. Itu karena dongeng Putri Salju yang dulu suka diceritakan
oleh nenekku. Ketika Putri Salju menggigit buah apel yang diberikan oleh
ibu tirinya, dia mati karena racun yang ada di apel. Aku lebih memilih
untuk waspada dengan tidak memakan apel. Setidaknya, jauh-jauh dari
apel membuat diriku menjadi lebih baik,” cerita Dita.
“Hahaha. Kamu berhasil membuatku tertawa dua kali dalam
waktu kurang dari satu jam. Ayolah, itu hanya dongeng. Lagi pula Putri
Salju pada akhirnya hidup kembali berkat Pangeran.”
“Dan pangeran juga hanya ada di dongeng. Jadi, sebaiknya aku
tidak mengambil konsekuensi dengan mengonsumsi apel. Lagi pula,
tanpa apel aku masih bisa hidup.” Dita tetap keras kepala dengan
pendiriannya.
Sungguh, untuk ukuran anak kelas dua SMA seperti Dita
seharusnya ia sudah bisa berpikir logis. Kemungkinan keracunan akibat
apel sangatlah kecil. Lagi pula sudah tidak zaman ada ibu tiri yang
meracuni anaknya dengan apel. Dita juga tidak punya ibu tiri.
Anton tersenyum melihat tingkah Dita. Dia menyukai caranya
mengaduk jus alpukat seperti ini. Sebenarnya, sejak awal dia sudah
menyukai Dita. Sejak melihat Dita memasuki halaman sekolahnya
dengan pita warna-warni yang menghiasi rambutnya, dia sudah
penasaran. Pasti Dita tidak sadar jika Anton pernah menjadi mentor
ketika ospek tahun lalu. Diam-diam, Anton sering mengamati Dita.
Belakangan dia mengetahui bahwa nama perempuan ini
mengandung unsur dewi kecantikan, itu membuatnya semakin tertarik.
Apalagi dia menyukai mitologi Yunani. Nama Aphrodite begitu pas
dengan parasnya yang sangat cantik. Namun sayang, Dita tidak menyukai
apel. Padahal Anton kira, apel bisa menarik perhatiannya. Sesuai dengan
dongeng tentang Aphrodite yang sudah dia ceritakan barusan.
***
Aphrodite menggigit apel ketiganya hari ini. Ia melihat kucuran
air hujan yang membasahi jendela ruang makannya. Ingatannya
melambung jauh ke masa lalu. Suara neneknya tentang dongeng Putri
Salju yang membuatnya sangat membenci apel. Hingga kemudian ia
bertemu dengan Hermes, pria yang kemudian melamar dirinya di depan
kuil di Athena.
Hermes Antonius, nama pria itu. Dia yang berhasil mengubah
Aphrodite menjadi menyukai buah apel. Pertama kali Hermeslah yang
menaruh apel di dalam lokernya. Perkenalan itu kemudian berlanjut
semakin dekat hingga beberapa tahun. Hermes pula yang meyakinkan
dirinya bahwa jika ada racun dalam apel yang akan membuatnya mati,
maka ada dirinya yang siap menjadi pangeran. Hermes akan
membangunkan Aphrodite bagaimanapun caranya.
Dengan keyakinan cukup kuat, Aphrodite akhirnya mencoba
apel pertama dalam hidupnya. Hermes menatap matanya saat apel itu
digigit. Rasa manis khas apel menyeruak di dalam mulutnya. Ia
mengunyah perlahan, kemudian menelannya. Tidak terjadi apa-apa.
Malah mulutnya terasa segar.
“Tidak ada racunnya, kan? Kamu saja yang terlalu paranoid
selama ini,” kata Anton kepada Dita.
Dita tersenyum sambil menatap Anton. Dasar lelaki ini. Tidak
pernah bisa berhenti membuatku berpaling. Dita berbisik dalam hati. Apel itu
pula yang menjadi penanda bahwa Anton melamar Dita. Apel yang
kemudian diterima dengan senang hati oleh sang dewi bagi Anton.
Hanya dia yang sanggup membuatnya tersenyum. Dia juga yang
membuat Dita nyaman ketika membicarakan mitologi Yunani. Hermes,
orang pertama yang memintanya untuk menjadi teman. Hari itu
merupakan titik balik di hidup Dita. Ia merasa hidupnya menjadi lebih
baik, meski dengan satu orang teman.
Ia kembali tersedot ke masa sekarang. Masa ketika ia merasa sepi
lagi dengan kehidupan. Masih meratap jendela yang dibasahi air hujan,
air mata mulai memenuhi pelupuk dan turun membasahi pipi. Ia
merindukan Hermes. Dengan tawanya yang menggemaskan, caranya
memperlakukan ia sebagai sang dewi sekaligus putri. Membuatnya
merasa sangat spesial.
Saat Hermes menutup mata untuk selamanya, ia merasa tidak
berguna karena tidak bisa membangunkannya kembali. Padahal segala
cara telah ia lakukan. Tentu, ini bukan dongeng yang bisa menghidupkan
kembali cinta sejati. Hermes harus pergi meninggalkan Aphrodite.
Sekarang Aphrodite hanya ditemani apel-apel yang selalu membuatnya
semakin merindukan Hermes.
(*) Pamulang, 24 Januari 2015.
enatap senyumnya membuatku rindu. Setiap kali aku
menatapnya, ia selalu tersenyum balik kepadaku. Namun ketika aku
mengajaknya bicara, ia tidak membalas. Meskipun aku juga merindukan
suaranya, namun tidak mengapa. Indah senyumnya sudah cukup buatku.
Aku merebahkan diri di kasur yang keras. Sudah beberapa hari
aku tidak keluar kamar. Atau beberapa minggu? Entahlah. Seingatku
orang dengan baju berwarna hijau seringkali mengetuk pintu dan datang
untuk mengecek. Terkadang mereka juga membawa makanan.
Sebenarnya aku bosan jika harus terus berdiam diri di sini. Tapi
jika aku melangkahkan kaki keluar, mereka akan meneriakiku. Aku tidak
tahan dengan suaranya yang mengganggu gendang telingaku itu. Bentuk
mereka bermacam-macam. Ada yang tinggi besar, ada yang sangat kerdil.
Mereka membuatku takut.
Waktu aku melihatnya, aku hanya sanggup menutup telinga dan
mataku rapat-rapat. Kemudian beberapa orang berbaju hijau itu
menghampiri dan mencoba menenangkanku. Aku merasa mengantuk
setelahnya. Ketika terbangun, kedua kakiku terikat di kasur yang aku
tiduri setiap hari. Beberapa jam kemudian, mereka melepaskanku. Aku
tidak ingin keluar kamar lagi setelah itu.
Tok! Tok! Tok!
Terdengar ketukan dari luar. Aku tidak menjawab. Pasti masih
orang yang sama. Atau mungkin seragamnya yang sama.
“Kakek!!” seru seorang anak yang sudah aku kenal suaranya.
Tidak kuduga ternyata itu adalah dirinya. Nata, cucuku tercinta.
“Halo, Sayang!” Aku mencium pucuk kepalanya. Dia semakin
tinggi sekarang. Tingginya telah bertambah beberapa senti sejak terakhir
dia mengunjungiku.
“Nina bawakan jeruk mandarin kesukaan Kakek.” Matanya yang
jenaka membuatku ingin mencubit pipinya. Wajahnya familier dengan
seseorang. Namun aku tidak ingat siapa.
“Terima kasih, Nata,” kataku tulus kepadanya.
“Nina, Kek. Bukan Nata,” ucapnya menjelaskan.
Mendadak wajahnya terasa asing. Siapa anak ini? Aku bertanya
dalam hati. Dia bukan cucuku. Dia adalah orang lain. Sontak saja aku
melemparkan semua jeruk mandarin yang dibawa olehnya. Jeruk-jeruk
itu menggelinding dan berserakan di lantai.
Perempuan yang mengaku cucuku itu langsung histeris. Dalam
hitungan detik, orang-orang berbaju hijau datang ke kamarku. Salah satu
di antaranya mengeluarkan jarum suntik. Sebelum mataku tertutup, aku
melihat seorang lelaki yang memegangi anak yang bernama Nina. Dia
mendekapnya erat.
***
Hari itu pertama kalinya aku membawa Ayah ke rumah sakit.
Beruntung dokter yang menanganinya langsung adalah temanku sendiri,
Faras. Umur Ayah memang tidak muda lagi. Beberapa minggu
sebelumnya, sikap Ayah berubah aneh. Dia mulai tidak nyambung ketika
diajak bicara. Tatapannya juga kosong.
Kegiatan yang biasanya dilakukan normal seperti bermain golf
atau membaca pun sudah mulai ditinggalkan. Terkadang dia malah
mengambil sapu ijuk untuk menyapu taman. Sampai ketika istriku, Rianti
mengajaknya bicara, ayahku malah berkata bahwa beliau tidak mengenal
Rianti. Tentu saja itu membuatku sangat kaget. Mereka berdua bukan
hanya seperti mertua dan menantu, melainkan sudah seperti ayah dan
anak kandung.
Hari itu juga aku, Rianti, dan Nana mengantarnya untuk pergi ke
dokter. Pertemuanku dengan Faras pun akhirnya berlangsung secara
tidak sengaja. Tanpa bernostalgia lebih jauh, topik pembicaraan kami
difokuskan tentang keanehan yang terjadi kepada Ayah. Setidaknya aku
merasa lebih nyaman jika ditangani oleh teman lamaku.
“Coba kamu dengarkan lagu ini.” Orang berjas putih bernama
Dokter Faras itu berkata kepadaku. Kemudian ia memutar satu lagu yang
tidak asing di telingaku.
Catch a falling star and put it in your pocket
Never let it fade away
Catch a falling star and put it in your pocket
Save it for a rainy day
RANGGA
ku seorang superstar. Hanya satu kali lirik, wanita yang aku
inginkan akan bertekuk lutut untukku. Tanpa perlu bersusah payah, aku
mendapatkan apa yang aku mau. Itu semua terjadi tidak seperti, cring.
Simsalabim. Omong kosong. Aku merintis karierku dari nol.
Setiap yang berusaha dengan sungguh-sungguh, kelak akan
mendapatkan nikmat. Adil, bukan? Aku senang dengan prinsip itu.
Bukan seperti orang-orang yang tong kosong nyaring bunyinya. Aku
memang nyaring bunyinya. Tapi, otakku penuh. Jika tidak, aku tidak akan
seperti sekarang.
Konserku malam ini berjalan dengan sukses. Semua crew puas
dengan penampilanku. Fans-ku yang kebanyakan wanita berteriak
histeris. Mereka meminta aku menyanyi lebih ketika aku melangkah turun
dari panggung. Para pemain musik yang telah membantuku memberikan
pelukan selamat.
Sepuluh orang dancer langsung mengangkatku menuju ruang
ganti. Layaknya seorang setelah melakukan body surfing, mereka sedikit
menambah adrenalinku. Kemudian aku sampai di ruang ini dan Tania
sudah menungguku. Tanpa basa-basi dia langsung melontarkan
pernyataan yang sedikit mengganggu.
“Besok kita ada intervew di Channel 9. Setelah itu kamu akan
makan malam bersama salah satu fans-mu yang beruntung.”
Singkat, padat, dan jelas. Dia selalu seperti itu. Omong-omong,
Tania adalah kakakku. Sialnya dia merangkap tugas sebagai manager-ku.
Dua puluh satu tahun bersamanya tanpa harus bekerja sama sebenarnya
sudah cukup membuatku menderita. Namun entah ada wangsit apa, aku
mempercayakan semua jadwalku diatur olehnya.
“Demi Tuhan, Tania. Tidakkah kau ingin memberikan pelukan
hangat kepada adikmu yang tampan ini? Aku baru saja menyihir hampir
seluruh orang di negeri ini dan kamu tidak kagum sedikitpun? Pantas saja
Jordan memutuskanmu. Kamu terlalu kaku dan tidak memiliki selera
laki-laki yang bagus.”
“Dengan atau tanpa aku memberikan selamat untukmu, kamu
akan tetap bekerja untukku. Jadi, itu bukan masalah besar. Adik kecil, just
grow up. You look money for me and I will give you a fame,” ujarnya dengan suara
datar.
“Jika kamu bukan kakak kandungku, aku akan menjebloskanmu
ke panti rehabilitasi.” Aku tidak mau kalah.
“Aku lapar. Sepertinya makanan Asia akan enak untuk
sekarang.” Itu balasan dari pembalasanku barusan. Sungguh, dia memang
sangat menyebalkan. Kenapa aku bisa menyayanginya?
Kemudian, ohhh aku baru sadar bahwa perutku sudah menjerit.
Terakhir perutku terisi makanan adalah tadi pagi. Bukan, kemarin pagi.
Bagaimana bisa aku bertahan tidak makan selama itu sementara aku baru
saja melangsungkan konser yang maha hebat? Aku baru ingat aku hanya
mengganjalnya dengan kopi sebelum naik ke atas panggung.
***
Sepiring deep fried honshemeje mushroom in spicy salt sudah aku
habiskan sebagai makanan pembuka. Jamur yang digoreng dengan
bumbu pedas-asin memang sanggup membuat lidahku bergoyang. Tidak
lama aku menyelesaikan makanan pembuka, makanan utama pun datang.
Perutku masih menjerit. Sepertinya jamur goreng tadi belum
membuatnya tenang. Atau mungkin aku lupa berdoa sebelum makan
sehingga jadi tidak terasa kenyang? Entahlah.
Sekarang aku dihadapi oleh semangkuk braised chinese spinach thick
soup with crab meat. Aku tahu, aku harus tetap menjaga kualitas makanku.
Aku selalu suka kepiting. Meskipun jalannya miring, tapi dagingnya
sangat enak. Selain itu, biar bagaimanapun sayur sangat penting untuk
kesehatan dan pencernaanku. Apalagi di jadwalku yang mungkin lebih
padat dari presiden saat ini. Katakan aku sombong, tapi memang
kenyataannya seperti itu.
Aku juga memesan makanan tambahan untuk memuaskan nafsu
makanku. Pan fried lamb rack adalah makanan rekomendasi Chef Lee. Aku
setuju dengannya. Karena makanan ini sangat enak. Bagaimana tidak?
Domba memang memiliki aroma prengus yang khas. Ditambah bumbu
Cina terasa begitu kuat memenuhi rongga mulutku.
Aku suka restoran ini. Untuk ukuran restoran yang terletak di
pusat kota dan buka dua puluh empat jam, restoran ini mengaggumkan.
Sangat dibutuhkan oleh orang-orang yang tidak mengenal waktu
sepertiku. Tania yang pertama membawaku ke sini beberapa tahun lalu.
Setelah itu aku merasa cocok. Hingga aku kenal dengan chef di sini.
Tania menghabiskan sendok terakhir homemade chinese herbal jelly
sebagai makanan penutup. Aku melihatnya sedikit terpicing karena
setelah ini dia pasti akan mulai mengoceh kembali. Bagi kami, berbicara
ketika makan adalah haram hukumnya. Semuanya dilakukan setelah
selesai makan.
“Sepulang dari sini, kamu harus langsung tidur. Tiga sampai
empat jam tampaknya sudah lebih dari cukup. Besok jadwalmu tidak
kalah padat dari hari ini.” Dia menjelaskan kepadaku.
“Baiklah. Kalau tidak salah, besok aku akan makan malam
bersama fans-ku? Apakah dia cantik?” tanyaku langsung.
“Aku tidak tahu. Evan yang mengurus itu. Besok kamu hanya
perlu datang dan makan malam dengan fans-mu itu.”
Aku tidak banyak bertanya lagi setelah itu. Apa pun yang terjadi
besok aku sudah siap. Lagi pula malam ini aku sudah terlalu lelah. Aku
ingin cepat-cepat sampai rumah dan merebahkan diri di tempat tidur.
***
PART 2
DAVINA
“Selamat ya, Sayang. Kamu sebentar lagi bisa bertemu dengan
Rangga.” Suara Ibu menentramkan hatiku.
Rasanya aku sangat terharu. Hampir-hampir air mataku tumpah.
Tapi, aku malu jika harus menangis di depan Ibu. Aku kan sudah besar.
Tidak boleh cengeng seperti dulu lagi.
“Iya, Bu. Aku masih tidak menyangka bisa mendapatkan
kesempatan untuk bertemu Rangga Mahendra secara langsung.” Hanya
itu kata-kata yang sanggup aku ucapkan.
Hampir dua minggu aku menantikan hari ini. Aku mengenakan
gaun paling cantik yang dijahit sendiri oleh Ibu. Aku merasa sama
cantiknya dengan gaun yang aku gunakan sekarang. Selama perjalanan
aku kembali memutar lagu Trust My Love For You. Suaranya berat dan
mampu menyihir seluruh indra yang ada di tubuhku. Terkadang aku tidak
sadar kalau tubuhku ikut bergoyang ketika mendengarnya bernyanyi.
“Kita sudah sampai, Non,” kata Pak Trisno, supir kepercayaan
keluargaku.
Tidak lama setelah itu, aku bertemu dengan Mas Evan. Kukira
dia adalah event organization dari acara Have a Fun Dinner With Rangga
Mahendra. Dia sangat baik dan ramah.
“Halo, Davina. Senang bertemu denganmu. Rangga sudah
menunggu di dalam.” Suara Mas Evan terdengar sangat bersahabat.
“Terima kasih.” Aku menyunggingkan senyum kepadanya.
“Kamu sangat cantik, Davina. Rangga pasti tidak akan menyesal
bertemu fans secantik dirimu.” Dia berusaha memujiku. Atau merayuku?
Entahlah.
Aku hanya membalasnya dengan seulas senyum tipis. Kami
kemudian memasuki restoran tempat aku akan bertemu dengan Rangga.
Suasananya nyaman. Aroma masakan menguak dan merangsang indra
penciumanku. Baiklah, aku mulai lapar.
“Rangga, ini Davina. Davina, ini Rangga. Aku sangat senang bisa
menyelenggarakan event Have a Fun Dinner With Rangga Mahendra. Semoga
makan malam kalian berkesan ya. Silakan menikmati makan malam
kalian.” Setelah mengucapkan kata itu, Evan pergi menjauh dari kami.
Sekarang tinggal aku dan Rangga Mahendra.
Aku merasakan tangan hangatnya menjabat tanganku barusan.
Rasanya seperti melayang mencapai langit ketujuh. Mungkin terdengar
berlebihan. Tapi itulah rasanya ketika aku akhirnya bisa berinteraksi
secara langsung dengan orang yang sangat aku idolakan selama ini.
***
RANGGA
Menunggu bukan sesuatu yang menyenangkan. Aku memujamu,
para pencipta gawai yang canggih. Karena dengan bermain handphone atau
mendengarkan lagu lewat i-pod bisa mengobati rasa jenuhku. Sebenarnya
aku tidak menunggu terlalu lama. Mungkin hanya sekitar sepuluh menit.
Aku melihat seorang gadis memakai gaun berwarna biru laut
datang menghampiri mejaku. Dia bersama Evan. Tidak salah lagi. Ini
adalah fans-ku yang beruntung itu. Tapi tunggu, dia memakai tongkat?
Apakah ada yang salah dengan kakinya?
Sampai Evan mengenalkan kami berdua. Namanya Davina,
cantik seperti dirinya. Dugaanku salah. Bukan kakinya yang bermasalah.
Ya Tuhan, dia seorang tuna netra. Aku menjabat tangannya yang lembut.
Kemudian Evan membantunya duduk dan mengucapkan sepatah dua
patah kata untuk berbasa-basi sebelum kami memulai makan malam.
Satu per satu makanan mulai memenuhi meja kami. Mulai dari
makanan pembuka, dilanjutkan makanan utama, dan diakhiri oleh
makanan penutup. Seperti biasa, selama makan aku tidak berbicara.
Davina pun tampak menikmati makan malamnya. Mataku tidak lepas
darinya. Dia sudah terlatih makan tanpa harus melihat makanannya
secara langsung. Semuanya terlihat sempurna dan seperti tidak ada
masalah apa-apa.
“Sop buntutnya enak.” Dia membuka pembicaraan.
“Y-ya. Aku setuju denganmu. Menu itu adalah menu andalan di
restoran ini. Kamu suka makanan Indonesia?” tanyaku kepadanya.
“Tentu saja. Makanan Indonesia adalah juara dibanding dengan
makanan khas negara-negara lain. Apalagi dessert-nya. Kalau tidak salah,
itu adalah pisang goreng dengan topping gula jawa yang dicairkan, bukan?”
“Kamu benar, Davina. Aku suka dengan dessert malam ini.”
Meskipun sebenarnya aku makan banana split sebagai dessert. Sungguh,
senyumnya begitu manis saat mengucapkan kata-kata tadi.
“Aku tidak percaya ini akan terjadi,” katanya tiba-tiba.
“Maksudmu?” Aku bertanya karena memang benar-benar tidak
mengerti maksudnya.
“Bisa duduk berhadapan denganmu, Rangga. Setelah John
Lennon, belum ada lagi yang sanggup membuatku jatuh hati. Dia adalah
masterpiece. Kemudian kamu hadir dengan suara beratmu itu. Aku lebih
dari menyukainya. Mungkin bisa dibilang, aku mencintai suaramu.” Aku
mendengar suatu kejujuran dari suaranya.
Suaraku hilang. Aku tidak sanggup membalas ucapannya.
Sungguh, aku juga mengagumi perempuan ini. Kami memang baru
pertama kali bertemu. Tapi, aku merasakan aura yang menenangkan
terpancar dari dirinya.
Tidak seperti perempuan lain yang pernah menjadi pacarku.
Atau bahkan euforia fans-ku yang lain ketika melihat aku bernyanyi. Dia
bisa mengontrol itu dengan sempurna. Aku tidak menyangka akan
menghabiskan makan malam bersama fans-ku dengan sangat tenang
seperti ini. Kukira dia akan memelukku atau menciumku dan langsung
mengajak foto bersama tepat ketika kami bertemu. Namun kali ini,
rasanya aku yang ingin melakukan itu kepada Davina.
“Rangga? Kau masih di sana?” Suara Davina terdengar sedikit
panik.
“Ya. Aku masih di sini. Terima kasih sudah mengidolakanku.
Kau tahu, John Lennon adalah inspirasiku,” jawabku jujur kepadanya.
“Aku bawakan ini untukmu,” Davina mengeluarkan satu kotak
kecil dari tas tangannya.
Aku menerima pemberian itu dan membuka kotaknya. Sebuah
pin. Dia memang fans sejatiku. Dia tahu kalau aku suka mengoleksi pin.
“Terima kasih sekali lagi. Huruf ‘D’? Apakah ini inisial dari
namamu? Kamu pasti berharap aku menyimpannya dan tidak akan
melupakanmu,” kataku spontan.
“Hahaha. Bagaimana kamu bisa membaca pikiranku? Ya, itu
adalah inisial namaku. Disimpan ya. Jangan sampai hilang,” tawanya
sungguh lembut dan aku menyukainya.
Obrolan ringan kami berlanjut. Ditemani satu gelas anggur
merah untukku dan satu gelas hazelnut latte untuk dirinya, kami mencoba
mengenal satu sama lain lebih dalam. Malam ini aku tahu bahwa orang
bukan hanya menyukaiku karena aku tampan. Aku yakin Davina tidak
tahu seperti apa rupaku. Dia menyukaiku dengan sangat tulus dan jujur.
Karena memang aku seorang penyanyi profesional dengan suara bagus.
“Aku juga punya sesuatu untukmu,” kataku kemudian.
“Apa itu?” Wajah Davina terlihat penuh harap.
Aku langsung bangkit menuju panggung yang sudah tersedia.
Nada pertama mengalun, aku dapat merasakan sensasi yang aku sukai.
Lirik pertama aku nyanyikan hingga Trust My Love About You aku selesai
nyanyikan. Dari panggung aku melihat Davina tersenyum lebar dan
menambah kecantikannya.
“Lagu ini saya persembahkan khusus untuk Davina. Saya Rangga
Mahendra. Selamat malam.”
(*) Pamulang, 2 Maret 2015.
-
ancaran matahari masuk melewati celah-celah teralis yang tidak
ditutupi gorden. Semalaman gorden itu tidak ditutup. Sengaja. Agar angin
dapat memberikan belaian lembut kepada tubuh yang sudah beberapa
kali tersentuh oleh kehangatan tanpa syarat. Akhir-akhir ini cuaca
berubah semaunya. Kadang sejuk, kadang panas menyengat. Tidak peduli
apakah di waktu pagi atau malam, dia lebih suka mengatur ritme
temperatur sendirian.
Pelan, dia membuka selaput yang menutupi bola matanya.
Cukup lama dia tersadar bahwa hari ini adalah hari pertama di awalan
tahun. Kepalanya berat. Dia mencoba mengingat-ingat. Semalam habis
sekitar empat, lima botol Hennessy dalam kurun waktu tiga jam. Pantas
saja. Perutnya sekarang mual, tapi tidak ingin muntah.
Tidak apalah. Lagi pula dia hangover hanya setahun sekali.
Merayakan momen yang telah hilang, berjejak namun kerap terhapus
dimakan sang waktu. Sekarang waktunya dia menghadapi rintangan yang
akan terpapar satu tahun kedepan. Kemudian akan kembali ditutup
dengan empat, lima botol, mungkin Johnnie Walker. Tergantung siapa
yang menyarankan minum apa.
Kemudian nyaring terdengar suara dari ponselnya. Bukan suara
panggilan masuk. Tapi suara alarm yang sengaja dia set di pukul sepuluh
pagi. Ah, alarm bodoh. Aku bangun lebih dulu ketimbang kamu
membangunkanku, cemoohnya dalam hati. Percuma saja. Manusia yang
hidup sering tidak mengetahui apa yang orang lain bilang jika disuarakan
dari dalam hati. Bagaimana ponsel yang merupakan benda mati?
Dia adalah Dian. Dian adalah seorang perempuan yang menurut
dirinya baru mencecap kehidupan. Kehidupan menurut Dian adalah
kesenangan dan kehampaan. Dian sadar, dirinya pernah terombang-
ambing di kala kecil sendirian. Tanpa teman, Dian bertahan. Sekarang
Dian masih berjalan bersama kedua malaikat yang katanya terus
mengikuti ke mana pun dia melangkah. Dian tidak keberatan selama
kedua malaikat itu tidak mengganggunya, atau sekadar iseng membuat
Dian terjatuh di jalanan karena tersandung kaki yang sengaja
dibentangkan.
Nyawanya baru setengah ketika ada suara lain yang menghentak
jantungnya.
Tok! Tok! Tok!
Katanya kalau tiga kali pintu tidak kerap dibukakan, artinya tuan
rumah sedang tidak ada atau tidak ingin bertemu dengan tamunya.
Tok! Tok! Tok!
Ketukan kedua. Nyawa Dian hampir sepenuhnya sampai. Kisah
di mimpinya sudah berakhir beberapa detik yang lalu. Namun masih
terngiang perkataan terakhir orang yang paling tidak ingin ditemuinya
selama empat bulan terakhir itu.
“Kamu mau bayar pakai uang atau tubuh?”
Sialan, kata Dian dalam hati.
Tok! Tok! Tok!
“Mbak Dian! Saya tahu kamu ada di dalam. Jangan menghindar
terus!!”
Suara itu sanggup membuat Dian terjaga sepenuhnya sekarang.
Tanpa mandi, tanpa gosok gigi, Dian mengambil sepatu abu-abu yang
baru dibelinya kemarin. Memakainya, kemudian menyabet tas selempang
yang bertengger di antara tumpukan kertas dengan tinta yang mulai
luntur.
Dian pergi ke kamar mandi. Genangan air membuat sepatu
barunya sedikit basah.
Uhh. Aku harus menyikat tempat ini nanti. Bau pesing! kata Dian
dalam hati.
Deretan sabun, pasta gigi, cukuran, dan beberapa peralatan
mandi lainnya berjajar memenuhi tepian bak mandi yang bocor. Airnya,
tentu saja ditampung di ember-ember yang diletakkan di ubin kamar
mandi. Klosetnya berwarna keemasan. Padahal warna aslinya adalah
putih, tujuh belas tahun lalu, ketika kamar kecil itu baru rampung
diselesaikan.
Kemudian sepatu baru abu-abu Dian menjejak tepian bak bocor
tersebut. Suara bergelimpangan terdengar yang berasal dari botol-botol
berisi cairan pewangi untuk tubuh, wajah, dan rambut. Dian tidak peduli.
Dengan tangkas, dia menyelinap ke dalam langit-langit kamar mandi.
Dian sedikit merangkak, dengan sangat hati-hati. Karena kalau tidak,
langit-langit itu bisa jebol dan urusan malah tambah runyam.
Terlihat lubang seukuran tubuh Dian tidak jauh dari tempat
Dian masuk tadi. Seperti Spider-Man yang menyelamatkan orang dari
kebakaran, Dian keluar dari lubang tadi dengan hati-hati. Bedanya, tidak
ada nenek-nenek atau anak kecil yang Dian bawa. Hanya tas selempang
dan sepatu baru abu-abunya. Itu pun sudah dipakai oleh Dian.
Usai alas sepatu baru abu-abu milik Dian itu menyentuh tanah,
suara yang tadi membangunkan Dian terasa kian dekat.
“Kurang ajar! Sudah tujuh bulan kamu menunggak, sekarang
kamu kabur?! Lihat saja kalau kamu kembali nanti. Tidak akan selamat!”
Suara itu terdengar marah. Maklum, dirinya juga butuh makan.
Sedangkan salah satu orang yang menumpang di rumahnya kian
membangkang.
Dian berlari melewati rentetan pohon-pohon cemara. Pohon-
pohon cemara terakhir yang ada di pusat kota. Mereka mengerti dan
memberi Dian jalan. Biasanya, pohon-pohon cemara ini akan merapat
dan membiarkan siapa pun terjebak di dalamnya. Namun karena
sekarang awal tahun, mereka berbaik hati dengan membukakan jalan bagi
Dian.
Rumah kost tempat Dian tinggal memang berada di tengah
hutan cemara. Satu-satunya hutan cemara di pusat kota. Hutan cemara
kedua yang dimiliki negeri itu. Karena yang lainnya sudah habis dibuat
vila.
Maka dari itu, pemilik kost ragu untuk mengejar Dian. Dia akan
terjebak di tengah-tengah hutan cemara karena hatinya yang sedang
marah. Jika seseorang sedang marah, pohon-pohon cemara tidak akan
membiarkan orang tersebut lewat meskipun ini awal tahun. Mereka hanya
memberikan jalan bagi orang-orang yang senang, penyayang, dan butuh
bantuan.
Kurang dari sepuluh menit, Dian sudah sampai di tepi jalan.
Dian langsung menyetop bus yang lewat. Dengan percaya diri Dian naik.
Tentu saja. Sepatunya kini tidak berlubang. Warnanya abu-abu dan masih
bersih. Baru dibeli kemarin sebelum tokonya tutup karena pemiliknya
ingin menyalakan kembang api.
Bisik-bisik terdengar. Meskipun pelan namun artikulasinya jelas.
Dian dapat mengerti isi dari semua bisik-bisik itu.
“Hei. Sepatunya masih bersih. Mungkin baru dicuci,” kata
seorang remaja dengan baju berwarna hijau tua.
“Tidak, Bodoh. Itu sepatu baru. Lihat saja, pricetag-nya belum
dilepas. Pasti pemiliknya lupa. Hihihi.” Seorang remaja yang duduk di
sebelahnya menanggapi.
“Ah, paling sepatu kawe. Harga asli merk sepatu itu kan sangat
mahal. Mana mungkin yang sanggup membelinya menaiki bus kota
seperti ini. Harusnya dia naik Lamborghini,” celetuk pemuda berpakaian
necis dengan kemeja yang terkancing rapi dengan dasi.
“Siapa peduli barang itu asli atau bukan. Yang penting warnanya
abu-abu.”
“Aku tidak suka abu-abu. Seperti rok SMA. Waktu SMA aku
sering di-bully. Aku benci SMA dan abu-abu.”
“Lagi pula zaman sekarang tidak ada bedanya asli atau kawe.
Yang penting bisa dipakai. Yang penting bisa makan. Kalau membeli
sepatu asli bisa tidak makan berhari-hari.”
“Lebih baik sepatunya kamu makan saja gih.”
“Kalau sepatunya aku makan, nanti aku sembelit dong.
Hahaha.”
Orang-orang di dalam bus sibuk mengomentari sepatu baru abu-
abu punya Dian. Dian merasa senang. Dirinya mendapat perhatian.
Belum pernah dirinya merasa diperhatikan seperti itu. Meskipun
sebenarnya orang-orang memperhatikan sepatu yang dia pakai. Bukan
dirinya.
Kemudian, Dian duduk di belakang bus. Seisi bus terlihat
olehnya sekarang. Ada remaja berbaju hijau, pemuda berdasi yang
mengenakan kemeja, ibu paruh baya yang membawa banyak plastik berisi
belanjaan, anak kecil yang sedang menjilati permen lolipop, seorang
bapak setengah telanjang yang hanya mengenakan sarung, juga
kondektur dan sopir bus. Tidak beberapa lama, kondektur itu
menghampiri Dian. Dia ingin meminta ongkos.
“Ongkos, ongkos,” katanya kepada Dian.
Dian kemudian membongkar tasnya. Isinya hanya sebungkus
permen karet dan satu novel yang Dian pinjam dari perpustakaan daerah.
Barang yang dia cari untuk membayar tidak ketemu. Dian mulai panik.
Pasti tertinggal di suatu tempat. Atau memang barang itu sudah habis?
“Ayo cepat. Mana ongkosnya?” Kondektur itu semakin
memaksa. Dian pun semakin panik.
“Ongkosnya hilang.” Dian akhirnya mengakui hal tersebut.
“Apa kamu bilang?! Hilang?” Kondektur itu terlihat marah.
“I-iya,” jawab Dian terbata.
“Kalau begitu kamu pilih. Jika kamu ingin melanjutkan
perjalanan, maka kamu harus membayarnya dengan sesuatu. Jika tidak,
kamu harus turun saat ini juga,” ancam kondektur bus.
Dian bingung harus menjawab apa. Dian tidak tahu lagi dengan
apa dia harus membayar. Kalau dia menukarkan ongkosnya dengan tas
miliknya, maka dia tidak mempunyai tas lagi. Kalau dia menukarkan
ongkosnya dengan novel milik perpustakaan daerah, pasti dia akan kena
sanksi negara. Kalau dia menukarkan dengan sebungkus permen karet,
tidak akan cukup. Kalau dia menukarkan ongkosnya dengan sepatu baru
abu-abunya ....
“Sudah cukup berpikirnya. Kelamaan. Copot sepatu abu-abu
kamu itu. Itu ongkos yang setimpal dengan waktuku yang sudah kamu
buang untuk menagih ongkos bus. Lagipula sepatu itu cukup bagus untuk
aku pakai,” ujar kondektur bus.
“Jangan! Sepatu ini baru aku beli kemarin. Aku dan dia tidak
terpisahkan,” Dian berusaha menaikkan kakinya agar sepatunya tidak
direbut oleh kondektur bus.
“Berikan atau kamu turun sekarang!” kata kondektur bus
memaksa.
“Baik, aku turun saja.” Dian memutuskan dengan bulat.
Ketika Dian berjalan menuju pintu keluar bus, dirinya
terjembab. Ternyata kondektur bus berhasil membuka tali sepatu Dian
sehingga Dian tersandung. Seisi bus tertawa kecuali sopir. Sopir harus
berkonsentrasi ketika mengendarai bus.
“Pak Sopir! Berhenti! Penumpang kita tidak memiliki ongkos.
Dia harus turun sekarang,” teriak kondektur dari belakang bus.
Dian dipaksa berdiri dan didorong-dorong agar dirinya segera
keluar dari bus. Penumpang bus yang lain hanya tertawa melihat dirinya
dipaksa keluar oleh kondektur. Dian melawan. Tapi kalah. Dia sudah
berada di ambang pintu bus. Sebentar lagi dirinya akan terpelanting
keluar.
“Kota Akhir!!” seru sopir bus.
Dian mendengar seruan sopir bus sebelum dirinya jatuh dari bus
yang ditumpanginya. Wajahnya menyentuh aspal. Tangannya lecet.
Kakinya besot. Kakinya terasa ringan. Kakinya terasa janggal. Kakinya,
sudah tidak memakai sepatu baru abu-abunya lagi! Kondektur itu
ternyata sangat licik karena telah mengambil sepatu baru abu-abu
miliknya.
Dian mencabik-cabik aspal di depannya. Tapi kukunya malah
patah. Jarinya berdarah. Sepatu baru abu-abunya hilang.
Dian kesal. Meraung. Tapi tidak ada yang peduli. Orang-orang
sibuk dengan urusannya masing-masing di awal tahun. Lagi pula ini
bukan tempat pejalan kaki. Hanya mobil-mobil yang melintas dari tadi.
Sambil sesegukkan, Dian berjalan gontai. Kakinya telanjang.
Tapaknya mencium tiap jengkal aspal yang membentang. Tiba-tiba Dian
sadar. Kota Akhir. Dia harus ke Kota Akhir. Mungkin saja sepatunya ada
di situ.
Lalu Dian melangkah. Satu demi satu. Mencengkram erat tasnya.
Jangan sampai harta satu-satunya itu juga hilang.
Matahari sedang senang hari itu. Cahayanya menyilaukan.
Membuat siapa saja yang menatap langsung menjadi buta. Cahayanya
menghantam ubun-ubun Dian. Tapi Dian tidak merasa kepalanya panas.
Kepalanya dari tadi dipenuhi pikiran-pikiran tentang di mana sepatu baru
abu-abunya itu berada. Kota Akhir. Ya, Kota Akhir.
Selama berjam-jam Dian mengarungi seluruh kota menuju Kota
Akhir. Kepalanya tertunduk lesu. Dian membiarkan kedua kakinya
melangkah menjemput sang kekasih. Kakinya tahu ke mana kekasihnya
itu berada. Dian hanya ikut saja.
Kulit kaki Dian sudah mengelupas. Aspal yang Dian lewati
menyisakan jejak kaki berwarna merah. Tentu saja tidak terlihat. Aspal
berwarna abu-abu tua hampir hitam. Berbeda dengan sepatu barunya
yang berwarna abu-abu. Dian tidak peduli dengan rasa menusuk di
kakinya. Dian ingin sepatu baru abu-abunya kembali.
Senja berada di depan mata. Dian sudah sampai di Kota Akhir.
Tidak berapa lama, sopir bus tadi muncul dengan sepatu abu-abu yang
sudah Dian rindukan.
“Ambillah. Ini bukan hak kondektur licik itu,” ungkap si Sopir.
Dian tidak mampu menjawab. Bibirnya terlalu kering. Lidahnya
kelu. Tapi matanya berbinar. Sepatu abu-abunya kembali. Dian langsung
memakai sepatu baru abu-abunya itu. Tapak kakinya menciumi sepatu itu
dengan ganas. Melumatinya dengan hasrat penuh kerinduan.
***
Sesampainya di tempat kost, Dian disambut pemilik kosnya
dengan mata penuh amarah.
“Saya tidak punya uang. Saya tidak ingin membayar dengan
sepatu,” jawab Dian jujur.
“Kalau begitu, kamu pergi ke kamar saya sekarang,” kata pemilik
kost dengan nama Bu Kunti.
(*) Pamulang, 7 Januari 2016.
Terbit di Jurnal RusaBesi.
ngin berbisik di telingaku tentang penantian. Aku sengaja
bungkam agar dia tersenyum senang dan kembali bercerita. Ragaku statis
di bawah rindangnya pohon berdaun merah. Lamat-lamat aku membalas
kicauan daun ketika angin terdiam sesaat. Mereka berkelindan dan
memaksaku untuk patuh.
Di depanku, lampu altar yang aku agungkan padam. Motor-
motor yang terparkir di seberangnya semakin berkurang. Namun aku
tidak sendirian karena angin dan daun menemaniku seharian.
Angin berkata, “Jawabanmu ada di tempat ini. Tempat yang
memiliki sejarah panjang tentang pendidikan keislaman. Aku pernah
menemani Quraish Shihab di taman belakang ketika dia merancang
kebijakan.”
Aku terkikik geli. Usianya sudah tua ternyata. Kemarin dia bilang
baru saja dilahirkan. Angin pun bisa berbohong. Atau mungkin, waktuku
berbeda dengannya.
Waktu. Bunda berkata waktu memisahkan dia dan keluarga
besarnya. Ya, keluarga besar. Ayah dari Bunda, atau kakekku memiliki
istri lebih dari lima. Masing-masing anaknya lepas dari hitungan jari.
Belum lagi mereka beranak-pinak.
Bunda anak terakhir dari istri keempat. Ia terlunta sendirian di
dunia baru yang asing. Sekarang ia sakit-sakitan dan tiba-tiba memintaku
mencari kakak dan adik-adiknya. Aku tidak pernah bertemu dan
mengenal mereka. Yang aku punya hanya satu nama, nama kakekku.
Sebab Bunda belum sempat menghapal nama kakak-kakaknya ketika ia
ditaruh di depan pintu panti asuhan sejak dalam gendongan. Hikayat
kehidupannya tertoreh di atas kertas putih yang kian memudar, tanpa
mencantumkan jejak lebih lanjut perihal silsilah keluarga.
“Mengapa kau yakin jawabannya ada di tempat ini?” Pertayaanku
pun keluar untuk Angin.
“Intuisiku kuat. Tubuhku dihirup banyak makhluk. Aku bisa
bersahabat, tapi juga bisa merusak. Dari situ aku mengenal filosofi
kehidupan. Kalian semua berasal dari satu akar. Mudah saja aku
mengetahui jawaban dari persoalanmu.”
Dalam diam aku mencoba mencerna ucapannya. Daun tiba-tiba
berujar, “Mungkin aku baru saja diciptakan. Tapi hela napasku membaur
bersama sejarah yang tertoreh diam-diam. Mereka tersembunyi namun
nampak. Kau tidak usah khawatir.”
Balasanku hanya berupa senyuman tipis. Sudah tiga tahun
tempat ini menjadi tempat persinggahan keduaku setelah rumah. Dulu
orang-orang mengenalnya sebagai ADIA, lalu berubah menjadi IAIN,
dan sekarang terkenal dengan nama UIN. Di Jakarta, tepatnya. Lalu,
apakah tempatku melepas dahaga akan ilmu ini akan memiliki jawaban
yang sedang aku cari?
Gedung bertuliskan Perpustakaan Utama di depanku seolah
mendengar percakapan kami. Ia ikut tersenyum mendengar ucapan angin
dan daun, juga wajahku yang menerawang melewati batas ruang dan
waktu. Kemudian terdengar suara lonceng di kejauhan. Tengah malam
menyapa. Aku tetap hampa.
***
Aku masih mencari dan menanti permintaan Bunda, meskipun
perlahan harapan itu mulai pupus ditelan waktu. Bunda semakin lemah
dan kerap memanggil nama saudara sekandung juga seayah. Nama
karangan Bunda. Karena Bunda tidak pernah tahu nama-nama mereka.
Waktu kembali berlalu. Tugas akhir semakin menipis dan
akhirnya tuntas. Saatnya aku merayakannya dengan mulai meneliti
persoalan yang akan dituangkan di skripsi. Terkejut tapi senang saat
mengetahui dosen yang aku idolakan akhirnya menjadi pembimbingku.
Intensitasku mengobrol bersama angin dan daun berkurang
drastis. Akhir-akhir ini aku lebih sering menghabiskan waktu
berkonsultasi dan berdiskusi dengan dosenku itu. Menyenangkan, tentu
saja.
Hingga beliau bercerita tentang keluarganya yang sangat besar.
Begitu bercabang, kompleks, dan tidak akan selesai diceritakan dalam tiga
kali pertemuan. Aku menyimaknya dengan seksama. Bahwa hampir
semua kakak dan adiknya berpencar ketika ayahnya mengusir secara halus
dan perlahan. Ibunya tak kuasa menahan pedih saat dia dikalahkan si istri
muda. Bagai karma, karena sebelumnya ia juga merupakan istri muda
yang mengusir istri sebelumnya. Lima hari setelah mereka
menggelandang, sang ibu meninggal.
Ceritanya terhenti. Raungan kenangan masa lalu melesak. Air
mata lelaki paruh baya itu hampir tumpah. Desau angin menghambur
pelan mengusap pelupuk. Aku terdiam, tak sanggup mengucap barang
sepatah kata. Sore itu di kantin kampus, aku merasa begitu melekat
dengan orang yang sudah kukagumi sejak lama, namun baru kekenal
kurang dari dua bulan itu.
Meja-meja di kantin ikut merasakan. Waktu seolah terhenti.
Diamku tidak berarti. Masih gugup, aku mencoba bersuara. Keluarlah
segala keluh kesah yang aku juga rasakan. Tentang pencarianku dan
tentang penantianku.
Dosenku itu menarik napas dalam. Kemudian bertanya, “Siapa
nama kakekmu?”
Aku memberikan sepotong kertas yang sudah berwarna
kecokelatan. Terlalu lusuh karena sering kupegang. Seperti aku takut
bahwa aku akan lupa nama kakeku itu.
“Kita cukupkan diskusi hari ini. Biarkan saya antar kamu
pulang,” ujarnya.
“Tidak perlu, Pak. Terima kasih. Rumah kita tidak searah,”
balasku sekenanya.
“Saya hanya ingin memastikan. Kuharap kamu mengizinkan.”
“Memastikan tentang apa, Pak?” tanyaku heran.
“Ini berkaitan tentang pencarian ibumu dan kamu.”
***
Angin mengikutiku dari belakang. Daun memaksa diri agar
gugur dari ranting. Mereka tersenyum dan berharap aku beserta dosenku
tiba sampai rumah dengan selamat.
Bunda hampir tak sadarkan diri ketika aku dan dosenku tiba.
Lingkaran matanya semakin menghitam karena terlalu lelah berusaha
mengeluarkan air mata yang telah habis. Aku bersimpuh di samping kasur
tempat bunda berbaring.
“Ada yang ingin bertemu Bunda,” bisikku pelan di telinganya.
Kepalanya menoleh dengan lemas. Matanya terbuka sedikit demi
sedikit. Dia melihatku datang bersama pria paruh baya yang aku yakin
seratus persen bunda tidak pernah bertemu dengannya sebelum ini.
“M-Mas Sudirman?” tanya Bunda dengan suara parau.
Dosenku ikut bersimpuh di sampingku. Dia memegang lembut
tangan Bunda.
“Aku Haryono. Anak ketiga dari Midah, istri ketiga ayah kita.
Istri sebelum Ayah menikah dengan ibumu. Istri yang terusir, seperti istri
sebelumnya,” jelas dosenku dengan suara hampir habis.
Aku berdiri dan mundur selangkah melihat reuni kecil-kecilan
itu. Bunda dengan terbata membalas pernyataan Pak Haryono. Setelah
itu Pak Haryono membisikkan selawat. Bunda mengikuti perlahan.
Kemudian matanya tertutup, untuk selamanya.
Penantian Bunda usai.
(*) Pamulang, 21 Mei 2016.
Juara 3 lomba MILAD UIN ke-59.
Maliq & D’essential – Aurora
Christina Perri feat. Ed Sheeran – Be My Forever
Isyana Sarasvati – Keep Being You
Walk The Moon – Shut Up And Dance
Taylor Swift – Bad Blood
Virzha – Hadirmu
Jessie J – Flashlight
3 Ya.
Sopir itu terus mengoceh dengan bahasa Inggris yang tidak
terlalu lancar. Sesekali aku mengangguk dan bergumam untuk membalas
ucapannya. Aku melihat ke luar jendela. Perlahan-lahan turun butiran-
butiran putih dari langit. Butiran itu menyentuh jendela taksi.
“Kar düşmüştür 4,” gumam sopir taksi, lebih kepada dirinya sendiri.
“Apakah kita sudah dekat?” tanyaku kepadanya.
“Pertanyaanmu tepat sekali. Kita sudah sampai,” jawab si sopir
taksi yang bernama Mürat. Tentu saja aku mengetahuinya dari tanda
pengenal yang dia kenakan saat menawariku untuk menaiki taksinya. Aku
memberinya beberapa lembar lira. Dia membantuku mengeluarkan
koper dari bagasi. Pertemuan kami hanya sampai di situ. Setelah itu aku
kembali merasa sendiri.
Aku membuka pintu kamar hotel. Langsung saja kurebahkan diri
di atas kasur. Perjalanan yang tidak kurang dari lima belas jam lumayan
membuatku lelah. Aku tertidur saat itu juga. Mendadak melupakan
tujuanku datang ke sini, melupakan aku sedang berada di Istanbul dan
sendirian, juga melupakan Tayfun.
***
Saat terbangun, sudah ada lima belas missed call yang tertera di
handphone-ku. Aku memang tidak mengganti nomor. Jujur saja, aku
membayar mahal untuk mengurus nomorku agar tetap bisa dipakai di
sini. Semuanya dari nomor yang sama dengan nama Kocam.
5 Maafkan aku.
Penjelasannya sudah cukup untukku. Aku ingin bersamanya
sekarang. Menghabiskan waktu bersamanya di tempat ini.
“Kamu akan membawaku ke mana hari ini?” tanyaku tanpa
berbasa-basi lagi.
“Kamu ingin melihat Selat Boshporus secara langsung?”
Anggukanku sebagai jawaban.
Dia langsung menyeret lembut tanganku menuju lift hotel.
Dalam hitungan menit, aku sudah berada di sebelahnya yang sedang
mengemudi mobil. Kami bercakap-cakap sambil melepas rindu. Rasa
kesalku hilang begitu saja. Hanya dia yang sanggup menghilangkan
kesalku dengan cepat dan mudah.
Kami sampai di dermaga. Dia memarkirkan mobilnya di tepi
selat yang dibatasi oleh pagar penghalang. Masih dengan kelembutannya,
dia menggenggam tanganku menuju kapal yang sebentar lagi akan
berangkat.
Kami menuju dek untuk menikmati pemandangan yang
menurutku, sangat menakjubkan. Rasa dingin tidak lagi aku hiraukan.
Salju masih tetap turun sejak pertama kali aku berada di dalam taksi.
Namun di atas kapal ini, semua terlihat sangat indah.
Terlihat kubah Hagia Sophia di kejauhan. Perlahan-lahan kubah
itu mulai ditutupi salju. Itu tidak mengurangi kekagumanku terhadap
tempat bersejarah bagi warga Turki, bahkan dunia tersebut. Salju yang
turun ke air yang berada di bawah kami langsung mencair. Namun aku
tetap bisa merasakan salju yang jatuh di telapak tanganku.
Kami akan menyeberang dari Istanbul bagian Asia menuju
Istanbul bagian Eropa. Menakjubkan, bukan? Kurang dari tiga jam aku
berada di Turki, aku sudah dapat melintasi dua benua yang berbeda. Itu
mengapa Turki disebut sebagai negara Eurasia. Letaknya yang berada di
perbatasan benua membuat Turki menjadi negara yang unik. Perbatasan
benua tersebut ada di selat yang aku lalui sekarang bersama Tayfun, Selat
Boshporus.
Semakin lama salju yang turun semakin banyak. Kami belum
beranjak dari dek kapal. Aku masih ingin menikmati salju secara
langsung, bersama orang yang aku cintai. Tayfun memelukku dari
belakang. Aku merasa hangat dan aman. Sekali kali dia berbicara lembut
di telingaku tentang harapan-harapannya tentang kami di masa depan.
Setidaknya, masih beberapa jam menuju malam. Kami sudah
sampai di Istanbul bagian Eropa. Pemandangan sore hari menjadi sangat
indah disertai dengan salju yang masih turun dari langit. Kami akan
kembali ke dermaga tempat Tayfun memarkirkan mobilnya beberapa jam
lagi. Sekarang waktunya kami menikmati sore di tengah salju.
Terkadang Tayfun menyapu salju yang bertengger di batang
hidungku. Rasanya dingin, tapi aku tidak merasa kedinginan. Mungkin
suhu sudah mencapai titik minus sekarang. Namun aku tidak peduli.
Menikmati salju bersama orang yang kucintai memang terasa semakin
indah.
(*) Pamulang, 19 Februari 2015.
iuh rendah suara dari berbagai macam sumber memecah
fokusku untuk sementara. Tatapan gamang dari mataku mengisyaratkan
agar aku terus melangkah, melewati lautan orang yang mungkin memiliki
tujuan yang sama atau berbeda denganku. Aku tidak peduli. Kakiku
hanya mengikuti ke mana otakku menyuruhnya melangkah.
“Mau diangkut, Neng, tasnya?” tawar seorang pengangkut
barang.
Aku hanya tersenyum kaku dan menggeleng. Dia mengerti.
Kemudian dia meninggalkanku dan mencari sasaran berikutnya.
“Mari, Bu, saya bantu angkat.” Sayup kudengar suara si
pengangkut barang tadi menawarkan jasanya kepada orang yang mungkin
ibu-ibu, atau berpura-pura menjadi ibu-ibu.
Sedangkan aku menuju ke antrian.
“Mana kartu identitas aslimu?” tanya petugas tiket.
“Masih diurus,” jawabku pendek.
“Apakah ada identitas lain?” tanyanya lagi.
Aku mengeluarkan SIM A yang baru kumiliki seminggu. Dia
mengangguk, mencocokkannya dengan data yang terlihat di layar,
kemudian mempersilakanku untuk masuk. Aku memasukkan SIM A
tersebut ke kantong celana belakang. Kemudian dengan sedikit terseok
aku menuju tempat pemberhentian kereta yang akan membawaku entah
ke mana.
Tujuanku memang tercantum di tiket. Namun antara sadar dan
tidak, aku tidak terlalu memedulikannya. Aku hanya ingin lepas untuk
sementara. Terserah mau dikata kabur, lari, menghindar, atau apalah.
Bukan urusanmu.
Sambil menunggu kedatangannya, jari-jariku menghentak
bangku besi yang aku duduki. Sebagai formalitas agar tidak terlihat bosan.
Aku memperhatikan orang berlalu-lalang. Ada yang menggendong
anaknya, ada yang menggendong anaknya yang sedang menangis, ada
yang sibuk dengan tablet berwarna putih dengan logo buah di
belakangnya, ada yang menenteng plastik berisi makan malam, ada yang
mengobrol dengan orang di sebelahnya, bermacam-macam. Mungkin ada
juga yang sedang memerhatikan orang duduk di bangku besi sambil
menghentakkan bangku itu dengan jari-jarinya.
Tidak berapa lama, suara lonceng mendobrak kesadaranku
untuk sementara. Diikuti suara khas dari laju besi yang bersinggungan
dengan rel di bawahnya membuat mataku sejurus menatapinya. Masih
dengan perasaan malas, aku mendorong koperku menuju rangkaian
gerbong yang akan membawaku pergi. Pergi dari omong kosong. Pergi
dari kemunafikan. Pergi dari kehampaan yang akhir-akhir ini
membelenggu diriku.
Sialnya aku menunggu jauh dari gerbong yang tertera di tiketku.
Maka aku harus ekstra keras mendorong koper yang besar ini agar bisa
sampai ke sana. Ditambah gerutuan dan perasaan kesal, koper ini menjadi
tiga kali lebih berat. Sialnya lagi, sudah ada orang duduk rapi di tempat
dudukku. Aku mengerling malas, namun malas juga menegur. Tempat
dudukku memang enak karena berada di pojok dekat jendela. Mungkin
orang ini tidak mengerti membaca tiket.
Jadilah aku duduk di sebelahnya, tempat yang kuyakini
merupakan tempatnya. Kemudian aku mengeluarkan novel tipis yang
bercerita tentang mitos dewa-dewi. Baru beberapa paragraf, fokusku
kembali pecah dengan suara tangisan anak kecil. Uhhh. Makin kesal
rasanya. Aku kesal dengan anak kecil yang suka menangis. Mengganggu
saja.
Untung aku belum punya anak. Jika iya, tidak akan aku
membawanya ke mana-mana sampai dia mengerti agar tidak menangis
meraung-raung seperti itu. Kalau mau menangis, jangan sampai
mengganggu penumpang lain. Saat itu aku belum mengerti, kalau setiap
alasan pasti ada sebab. Pasti ada sebab mengapa ibu anak kecil itu
membawanya pergi jauh. Mungkin dulu ibuku juga pernah melakukan hal
yang sama. Sayangnya aku tidak peduli.
Maka aku mengalihkan pandanganku ke sebelah kanan. Kereta
sudah jalan beberapa menit yang lalu. Masih terlihat lalu lalang kendaraan
dengan polusi yang dihasilkan. Raungan anak kecil itu berhenti.
Digantikan dengan omongan tensi tinggi dari orang di depanku. Seorang
bapak paruh baya yang kutaksir merupakan seorang businessman.
“Saya disuruh ke Cirebon sekarang. Iya, sama orang sok tahu itu.
Saya tahu dia baru di perusahaan. Tapi dia mengobrak-abrik hampir
semua sistem yang saya bangun. Saya lebih lama di perusahaan itu. Gila
saja! Dia pikir dia siapa?”
Semakin aku tidak ingin mendengar, semakin keras suaranya.
“Apa?! Kamu menempatkanku satu kamar dengannya?! Bisa
tolong dipindah? Aku tidak mau satu kamar dengan orang itu! Lagi pula
dia bos. Tidak etis jika harus sekamar dengan anak buahnya.” Kemudian
bapak itu mematikan telepon.
Tidak beberapa lama, dia kembali menempelkan teleponnya di
telinga sebelah kanan, “Tidak bisa dipindah?! Ya sudah, saya pesan satu
kamar lagi. Yang penting saya terpisah darinya. Kalau perusahaan tidak
mampu bayar, biar saya bayar sendiri.”
Wahai Bapak Paruh Baya yang Habis Marah-Marah di Telepon.
Peduli benar dengan urusanmu. Urusanmu tidak kalah pelik dengan
urusanku. Kamu dengan kantor, aku dengan hati. Kamu enak bisa
melampiaskannya dengan marah-marah di telepon. Aku harus
memendamnya sendirian. Kecuali aku cukup gila dengan marah-marah
di telepon sendirian. Biarpun orang lain tidak tahu aku benar-benar
sedang menelepon atau tidak.
Sayangnya semburat senja yang biasanya menghiburku di waktu
sore tidak terlihat. Jelas saja aku semakin muram dibuatnya. Aku menanti
hingga langit berubah warna menjadi biru dongker, kemudian
sepenuhnya gelap. Beberapa orang yang terlihat olehku menangkat
tangannya sampai ke telinga, kemudian bersedekap. Mereka khusyuk
dalam doanya masing-masing meskipun duduk di tempat yang sama dan
tidak menghadap ke arah yang ditentukan.
“Nasi goreng nasi rames. Silakan nasi gorengnyaaaa ....”
“Bantal ..., bantal .... Lima ribu saja ....”
“Ada kopi, ada cokelat. Tehnya di belakang, Bu. Hei!! Ada yang
pesan teh. Kemari cepat!”
“Pop mie, pop mie .... Masih hangat, masih hangat ....”
“Air mineralnya, Neng. Boleh air mineraaall ....”
Satu demi satu penjanja makanan hingga bantal hilir mudik
melewati gerbong yang aku diami. Dari cara mereka menawarkan tidak
ada bedanya dengan pedagang asongan yang biasa aku temui di bus antar
kota. Bedanya mereka berseragam dan berpantofel.
Aku memilih bantal. Langsung kuletakkan tepat di leherku.
Lumayan. Meskipun rasa pegal tidak sepenuhnya pergi. Setidaknya aku
sedikit pamer kepada orang yang merebut kursiku karena dia tidak
menyewa bantal. Tidak beberapa lama setelahnya, aku terlelap.
***
Pukul tiga pagi. Sudah hampir dua belas jam aku duduk di
tempat yang sama. Merasa agak tepos, aku berdiri dan melangkah
menyusuri gerbong. Satu per satu aku melihat wajah-wajah kelelahan
yang sedang dirudung mimpi. Harusnya aku bisa tertawa. Rata-rata dari
mereka membuka mulut. Bahkan sudah ada air liur yang mengalir hingga
membasahi kerah. Sedangkan anak kecil yang meraung-raung tadi sore
tenggelam dalam pelukan ibunya. Tapi aku tidak berniat tertawa.
Perjalananku masih lama. Mungkin sekitar lima jam lagi akan
sampai. Peduli amat. Kalau tidak pernah sampai pun aku tidak peduli.
Aku telah tiba di ujung gerbong. Pintu masuk aku buka. Kontan saja
angin kencang menampar-nampar wajahku. Untungnya aku cukup cakap
sehingga langsung berpegangan di kanan-kiri pintu. Jika tidak aku sudah
terpelanting keluar.
Setelah keseimbangan kudapatkan, aku berjongkok di pintu
tersebut. Kemudian kukeluarkan bungkusan yang berisi batang-batang
kenikmatan. Hanya perlu satu dalam sekali pakai. Lalu aku apit di antara
kedua belah bibirku. Kurang dari satu menit, batang itu sudah
mengeluarkan asap tepat ketika api menyentuh ujungnya.
Kusesap perlahan. Membiarkan zat yang katanya bahaya itu
mengendap sebentar di paru-paruku. Lalu aku embuskan perlahan,
seolah tidak ingin zat itu keluar dari sana. Nikmat. Wajar jika aku kembali
menghisapnya dalam-dalam dan menghembuskanya perlahan-lahan.
Setidaknya ketenangan aku dapatkan sekarang. Ditambah nuansa hangat
yang menyebar ke seluruh tubuh.
Aku merasakan kesendirian. Kesepian, kesunyian, kesenyapan
merangkak semakin mendekatiku. Angin yang awalnya bersuara lewat
siulannya sekarang diam. Seolah waktu berhenti. Statis.
Sigaret yang menemaniku sebentar lagi habis terbakar. Ingin aku
menyalakan temannya. Tapi urung. Padahal jika sudah waktunya, satu
bungkus sekaligus bisa langsung habis. Kemarin dan hari ini aku bukan
seperti diriku. Sebagian diriku menyarankan untuk melompat saja. Cih.
Pengecut benar jika aku melompat. Semakin menghindar.
Jadi, aku berbenah. Kembali menutup pintu kereta, dan kembali
ke kursiku. Satu-dua orang sudah terjaga. Sesampainya di kursi, aku
mengecek telepon genggam. Niatnya ingin mengetahui sudah sampai
mana aku sekarang. Namun sistem navigasinya kacau. GPS-nya tidak
berfungsi normal. Mungkin aku sudah menembus dimensi ruang dan
waktu.
Karena merasa tidak penting, aku mencoba kembali terlelap.
Sengaja aku pepet orang di sebelahku agar dia sadar kalau aku kesal
dengannya. Suaraku terlalu mahal untuk dikeluarkan lantaran menegur
kelakuannya yang tidak sopan. Merebut kursi orang lain, enak saja! Lagi
pula ini waktu yang tepat untuk balas dendam. Pura-puranya aku sedang
tidak sadar karena terlelap. Jadi, dia tidak akan marah-marah.
Kalau dia marah-marah, mudah saja dihiraukan. Salah sendiri
marah-marah dengan orang tidak sadar. Padahal sebenarnya aku sadar.
Aku malah tidur betulan. Karena ketika sadar, kereta sedang
berhenti. Matahari malu-malu mulai menampakkan pancarannya.
Ternyata sudah pagi. Aku melihat businessman yang duduk di depanku
sudah raib. Sontak aku melihat ke atas. Ternyata dua tumpuk bingkai
yang dia letakkan di bagasi atas tertinggal. Aku masih malas untuk
melaporkan baranganya yang tertinggal itu.
Sedangkan orang yang duduk di sebelahku masih terpaku.
Mungkin dia tidak bisa bergerak lantaran aku apit. Ingin marah, tapi
terlalu penyabar. Hahaha. Senang rasanya.
Entah di mana aku harus turun. Nyatanya setelah aku terjaga,
orang di sebelahku pun turun. Tanpa kata tanpa suara, dia
meninggalkanku sendirian di deretan kursi yang sekarang tak bertuan.
Tidak lama setelah itu, kereta kembali melaju. Berarti bukan ini tujuanku.
Rintihan tertahan datang dari kursi yang ada di depanku.
Suaranya seorang ibu tua. Ingin aku mengecek, tapi tidak acuh. Akhirnya
keributan kecil muncul.
“Tadi saya taruh di sini. Isinya empat ratus ribu.”
Aku mendengar dari kursiku. Aku berusaha tidak ikut campur.
“Ibu lihat, kan, saya dari tadi berada di sini. Tidak bergerak
barang sesenti.” Ada suara lelaki menyahuti ibu itu.
“Tapi saya tadi tertidur. Ketika bangun sudah tidak ada
amplopnya. Ya Rabb. Isinya empat ratus ribu. Itu uang titipan.”
Kemudian terdengar lirih isak tangisnya.
“Jadi Ibu menuduh saya?” kata suara Lelaki.
“Tidak. Saya tidak menuduh kamu. Tapi siapa lagi? Mana
mungkin suami saya. Kamu yang berada di dekatku selain suami saya.”
Baru aku tahu ibu itu bersama suaminya setelah dia menyebut-
nyebutnya barusan.
“Kalau begitu namanya Ibu menuduh saya. Sudahlah, saya lapor
keamanan saja. Biarkan mereka mengecek tas saya. Lalu kita buktikan
apakah saya benar mengambil atau tidak,” kata suara lelaki itu.
Aku melihat lelaki itu pergi meninggalkan deretan kursinya.
Mencari keamanan. Tidak beberapa lama datang beberapa orang
berseragam biru tua menghampiri tempat duduk mereka. Bokongku
masih belum beranjak dari kursiku. Tidak ingin terlibat, itu alasanku.
Setelah sedikit cek-cok, entah bagaimana, amplop itu ketemu.
Terselip di resleting yang tertutup keranjang bawaan ibu itu sendiri.
Wajah ibu itu merona merah saking malunya. Kemudian gelak tawa
masih dari dirinya terdengar lantang. Amplop berisi empat ratus ribunya
sudah kembali.
Lelaki yang baru aku dengar suaranya menghampiriku. Dia
mohon izin untuk melaksanakan salat duha. Setelah itu terjadi
perbincangan di antara kami. Parasnya lumayan. Jika dia ikut casting
sinetron, kemungkinan akan lolos dan jadi idola baru para ABG.
Malah kami bertukar nomor telepon. Kesempatan sekali
memang. Baginya, mungkin. Bagiku, tidak, terima kasih.
Rentetan gerbong itu akhirnya berhenti, sekaligus menyudahi
obrolan kami. Semua orang berlalu lalang meninggalkan tempat duduk
mereka sambil memanggul tas. Semua orang. Artinya termasuk aku.
Sebelum pergi, aku sempatkan diri melaporkan perihal dua tangkup
bingkai yang tertinggal di bagasi atas milik si businessman. Setelah itu, aku
kembali tergopoh mendorong koper ukuran jumbo sendirian.
Meskipun di tengah-tengah lelaki bernama Akmal itu
menawarkan diri untuk membantuku membawakan kopernya, aku tetap
tidak peduli. Dia memaksa. Aku pasrah. Biarkan dia menunjukkan
kejantanannya lewat membawakan koper seorang perempuan muda.
Setelah ini, entah ke mana aku akan berlabuh. Kisahku belum
selesai.
(*) Pamulang, 25 Februari 2016.
Untuk Kamu ....
2036
Kertas semakin terlupakan. Benda putih bersih itu telah
tenggelam dalam zaman. Orang semakin sadar dengan sulitnya
mendapatkan kertas. Karena ketika ingin memakai kertas, puluhan
bahkan ratusan pohon harus direlakan. Sedangkan persediaan pohon
semakin menipis. Jika satu pohon ditebang, sinar ultraviolet tidak
pandang bulu membuat orang lain terkena kanker kulit karena
pancarannya.
Maka orang semakin mencari cara untuk tidak menggunakan
kertas. Masa itu telah berawal sejak lebih dari dua puluh tahun silam.
Orang-orang mulai mempercayai teknologi. Era kertas digantikan oleh
era digital. Proses itu tidak memerlukan waktu yang lama. Orang-orang
dapat beradaptasi dengan mudah oleh perkembangan zaman.
Bahkan sekarang, tidak ada lagi uang kertas atau logam.
Semuanya menggunakan e-money atau uang elektronik. Setiap orang hanya
memegang kartu debit atau kredit yang kemudian bisa diisi ulang.
***
“Ayo, cepat, Zee. Nanti kamu terlambat.” Winda kembali
mengingatkan anak semata wayangnya untuk menghampirinya. Ia telah
menunggu hampir lima belas menit di dalam mobil. Winda sampai harus
mengirimnya voice message agar anaknya bisa cepat bergegas. Padahal tadi
mereka selesai sarapan berbarengan.
Ada saja yang harus kembali dipersiapkan Zee. Entah barangnya
yang tertinggal atau apalah. Winda terkadang hanya dapat
menggelengkan kepala melihat tingkah anaknya yang menginjak remaja
itu. Namun ia juga mafhum karena dirinya dulu juga tidak jauh seperti
itu.
Kurang dari dua menit, Zee berlari ke arah mobil. Ia memakai
seragam kotak-kotak putih-oranye hari ini. Zee hanya membawa tas kecil
yang berisi kotak makanan, terlampir di bahu kirinya. Tidak ada buku.
Hanya sarung tablet yang ia genggam di tangan kanannya.
“Kotak bekalmu tidak tertinggal, kan?” tanya Winda kepada Zee.
“Beres, Ma,” sahut anaknya.
“Oke. Kita berangkat sekarang,” anak dan ibu itu pun
meninggalkan halaman rumah.
(*) Pamulang, 12 Februari 2015.
angit menatap keadaan di sekitarnya. Senja baru saja berganti
malam. Langit baru saja menerima kabar dari sang Malam lewat sepucuk
surat yang diantarkan Aurora. Katanya, ada satu orang gadis yang
menantikan sang Surya tenggelam. Tapi dia selalu gagal. Gadis itu selalu
terlambat. Tepat ketika gadis itu berlari menghampiri bibir pantai, Surya
sudah tenggelam ditelan kegelapan.
Tepat ketika itu juga, Langit menemukan sesosok gadis
mengenakan gaun putih bercorak merah polkadot. Rambutnya dikuncir
kuda. Jari-jari tangannya mengeruk pasir. Satu demi satu lelehan air mata
keluar menyapu lembut kedua pipinya yang putih.
Gadis itu cantik. Tidak salah jika Langit ingin memeluknya dan
menyuruhnya agar tinggal bersama. Karena dia memiliki segalanya. Jadi,
gadis ini yang diceritakan Malam. Pantas saja Aurora tersenyum tersipu
saat menyampaikannya. Rupanya Aurora juga memendam rasa kepada
gadis itu.
Tapi, Langit lebih luas dan kuat. Aurora pun sadar dia tidak bisa
berbuat banyak. Tugasnya mengantarkan pesan antara Pagi, Senja,
Malam, Langit, Matahari, Bulan, dan Pelangi sudah cukup baginya. Meski
tersimpan perasaan terpendam, namun Aurora memaksanya untuk
hilang. Seperti sebelum-sebelumnya. Aurora lebih memilih mengalah
kepada yang lebih luas dan kuat.
Langit ingin memiliki gadis itu. Tapi, gadis itu mencintai Senja.
Sedangkan Senja belum mengetahuinya. Karena yang selalu melihat gadis
itu adalah Malam. Gadis itu selalu terlambat untuk menyaksikan Senja
dari dekat dan melihat sang Surya terlelap bersama warna jingganya.
Padahal gadis itu ingin menyaksikan Surya yang tenggelam. Dia
hanya ingin menyaksikannya dari bibir pantai. Menatap gelombang yang
ikut menjadi jingga ketika Surya mulai pasrah ditelan air laut. Bersamaan
dengan burung-burung yang mengicau indah mengiringi kepergian Surya
dan menyambut kepekatan malam.
Seperti yang dia lihat di gambar buku ceritanya sewaktu kecil.
Atau seperti yang ada di film kesukaannya. Atau seperti di cerpen
favoritnya. Senja selalu indah. Terlebih ketika Matahari menenggelamkan
dirinya di ufuk barat sana. Gadis itu ingin melihat semua potongan
keindahan itu secara langsung.
Ia menyukai langit ketika senja. Warnanya bermacam-macam.
Lebih banyak jingga. Namun terkadang ada nila, merah muda, biru,
bersusun-susun menjadi satu. Sebuah kombinasi yang sangat
memanjakan mata. Tapi, dia ingin melihat matahari terbenam. Proses
perpindahan antara terang dan gelap. Perpindahan kehidupan siang dan
malam.
***
“Gadis itu tinggal di hutan yang tidak berisi pohon,” kata Malam
kepada Langit.
“Maksudmu di perkotaan?” tanya Langit.
“Seperti itulah. Dia tidak pernah bisa menyaksikan matahari
tenggelam. Padahal itu adalah cita-citanya sejak kecil. Maka dari itu, jika
ingin menyaksikannya dia harus pergi ke pantai. Sedangkan dia belum
mampu tinggal sendirian di pantai. Ke pantai pun hanya jika ketika dia
liburan.”
“Mengapa dia tidak pergi ke tempat paling tinggi di kotanya?
Menyaksikan matahari terbenam tidak harus lewat pantai,” ujar Langit.
“Dia takut ketinggian. Namun itulah keinginan terbesarnya.
Menyaksikan senja sekaligus matahari tenggelam,” jawab Malam.
“Bagaimana kau tahu?” Langit bingung Malam tahu begitu
banyak tentang gadis itu.
“Dia selalu mencintai senja. Dia menyukai spektrum warna yang
dihasilkan senja. Tidak seperti aku yang hanya memiliki hitam. Tapi dia
juga ingin menyaksikan matahari tenggelam. Dia pernah melihatnya di
film-film atau di buku-buku bergambar. Sayangnya dia belum pernah
menyaksikannya secara langsung. Gadis itu selalu gagal.” Malam tidak
langsung menjawab pertanyaan Langit.
“Selain karena terlambat, apa lagi yang membuatnya gagal?”
Langit benar-benar ingin mengetahui banyak tentang gadis itu. Dirinya
sedikit cemburu karena gadis itu lebih mencintai Senja ketimbang dirinya.
“Mendung. Saat beberapa kali dia ke pantai untuk menanti senja,
tiba-tiba saja awan menutupi matahari. Yang ada hanyalah kelabu hingga
aku datang. Selalu begitu. Kalau tidak terlambat, ya mendung,” jelas
Malam.
“Kau tahu terlalu banyak tentang gadis itu.”
“Tentu saja. Aku selalu menyaksikan dia menatap nanar ke
arahmu dan aku. Tapi kamu terlalu angkuh. Kamu terlalu sibuk
menyaksikan gadis-gadis lain yang bertebaran di belahan bumi mana pun.
Bahkan kau sempat mengintip gadis dari galaksi andromeda. Kukira
gadis-gadis di bumi yang terbaik.”
“Gurauanmu sangat lucu. Bukannya aku sibuk menyaksikan
gadis-gadis lain. Hanya saja manusia-manusia ini yang terlalu banyak
jumlahnya.” Langit mengelak. “Mengapa tak kamu sampaikan sendiri
kepada Senja tentang gadis itu?”
“Biarlah Senja mengetahui sendiri tentang gadis itu. Lagi pula
gadis itu bukan urusanku. Lebih baik aku menjalankan tugas dan tidak
mengutak-atik urusan orang lain,” jawab Malam sekenanya.
Langit termenung. Dia mudah menyukai siapa saja. Siapa saja
pun mudah menjadi miliknya. Setelah mereka berakhir di Bumi, maka
orang-orang itu akan diangkat ke Langit. Namun dia sangat
menginginkan gadis itu. Lagi pula, meski gadis itu tidak mencintai dirinya,
ketika Langit memilikinya, gadis itu tetap dapat menikmati Senja dan
Matahari.
Hingga malam berganti pagi, gadis itu belum beranjak. Dia
terlelap di hamparan pasir. Air laut membasahi tubuhnya. Beruntung dia
tidak terbawa ombak. Karena ketika malam hari ombak bisa menjadi tiga
kali lipat lebih tinggi.
Gadis itu bergeming. Semalam ia bermimpi Matahari
memanggilnya. Kemudian ia berjingkat-jingkat kesenangan. Ia menapaki
Pelangi yang merelakan dirinya menjadi jembatan antara gadis itu dan
Matahari.
Ketika gadis itu sampai, Matahari tersenyum dan berkata,
“Tetaplah bersamaku. Kita bisa melihat seluruh dunia dari sini. Bahkan
sekarang aku memiliki jadwal untuk bersinar di Kutub Utara.”
Gadis itu hanya mengangguk bahagia. Dia sangat senang karena
bersama Matahari sekarang. Apalagi dia menantikan datangnya senja.
Pasti dia akan menikmati ketika Matahari juga tenggelam dan digantikan
sang Malam. Ah, indah sekali rasanya.
Rasanya gadis itu memiliki segalanya sekarang. Karena dia sudah
bersama dengan Matahari. Matahari juga telah berada bersama Senja.
Kemudian perlahan-lahan turun, terlelap dan beristirahat untuk sejenak.
Gadis itu pun juga. Terlelap, dan enggan untuk membuka mata
selamanya.
Satu demi satu tetesan embun memudar. Digantikan cahaya
gemerlap yang terpantul dari lelehan malam yang kian meninggalkan
mega. Merekah menampakkan semburat keemasan.
Seperti senja. Malu tapi memancar. Melebarkan warna-warna
berserat jingga yang tak ingin dikalahkan hitam. Meski pada akhirnya dia
harus menyerah pada malam.
Seperti gadis itu. Terlampau terlena pada keindahan mimpi.
Menyerah bersama angan yang kian sulit untuk tergapai. Padahal dia
hanya tinggal menunggu kurang dari sehari. Hingga pada akhirnya, dia
dapat dimiliki Langit. Bahkan Senja masih belum mengetahui kebesaran
cinta gadis itu kepadanya.
(*) Pamulang, 3 Maret 2016.
-
epakan sayap dari sang ulat yang telah bermertamorfosis
terdengar sangat pelan. Telinga manusia tentu tidak bisa menjamah suara
nan lembut itu. Namun, jika sedikit demi sedikit manusia ingin
merasakan keindahan sang ulat, maka dia bisa melihatnya dari dekat.
Tidak perlu merasa takut. Cukup percaya bahwa ulat telah berubah
menjadi serangga baru bernama kupu-kupu yang tidak akan tega melukai.
Karena kupu-kupu hanya hidup singkat. Hidup kupu-kupu hanya
digunakan untuk menebar kebahagiaan dari keindahan yang terpancar di
kedua sayapnya.
“Ayo, aku buatkan kamu pita,” ungkap Vani menarik lengan
Fanya menuju kamarnya. Mereka berdua adalah sepasang sahabat.
“Nah, selesai. Kamu terlihat lebih cantik sekarang.” Vani
memutar tubuh Fanya hingga sahabatnya itu bisa melihat pantulan
dirinya di cermin. Fanya tersenyum melihat rambutnya dengan hiasan
pita mungil berwarna merah jambu. Pita itu tersemat manis di antara
helai-helai rambut keriting Fanya.
“Terima kasih, Vani. Sekarang aku terlihat cantik seperti
dirimu,” tukas Fanya.
Mereka berdua tertawa cekikikan di depan cermin. Kemudian
seekor kupu-kupu bermotif biru dengan lingkaran hijau di tengah
sayapnya hinggap di rambut Vani. “Sekarang kamu seperti memakai pita
juga,” kata Fanya. Mereka berdua kembali tertawa.
“Lihat! Kupu-kupunya banyak sekali!” Vani yang baru puas
mematut dirinya di depan cermin mendadak terpana melihat ratusan,
bahkan ribuan kupu-kupu terbang di padang ilalang samping rumahnya.
“Benar! Ayo kita ke sana. Aku ingin menangkap mereka
menggunakan jaring.” Tanpa menunggu persetujuan Vani, Fanya segera
keluar dari kamar sahabatnya itu. Ia mengambil jaring dari samping
rumah Vani dan kemudian langsung menuju keluar. Vani mengikuti di
belakangnya.
Mereka tertawa riang di tengah kupu-kupu yang terbang. Sekali-
kali Fanya akan menangkap beberapa ekor kupu-kupu, kemudian
langsung dilepaskannya. Setelah itu giliran Vani yang menangkap kupu-
kupu itu. Sekali mereka mencoba menangkap, tiga sampai lima kupu-
kupu akan tersangkut di jaring. Kemudian mereka akan tertawa senang.
Musim kupu-kupu sedang berlangsung. Dua sahabat itu tentu
saja sangat menikmati saat-saat seperti ini. Mereka bisa bermain dan
tertawa ditengah ribuan kupu-kupu yang terbang di atasnya. Tidak jarang
para kupu-kupu itu hinggap di tubuh mereka. Rasanya menggelitik dan
menggelikan.
Beruntung karena di daerah rumah Vani dan Fanya masih
banyak terdapat tanaman. Mereka memang belum sadar tentang itu.
Bahwa tanaman yang banyak sebenarnya dimanfaatkan ulat sebagai
makanan. Banyaknya tanaman di suatu daerah ternyata dapat
menentukan populasi kupu-kupu. Tentu saja melalui proses
metamorfosis dari ulat menjadi kepompong dan berubah menjadi kupu-
kupu.
Sedangkan kupu-kupu bertugas sebagai penyebar serbuk
tanaman. Itu akan membantu tanaman untuk berbuah maupun menikah.
Pun kupu-kupu menjadikan madu atau nektar dari bunga sebagai
makanan.
Vani dan Fanya belum mengerti tentang itu. Yang penting,
mereka dapat tersenyum senang karena keindahan yang diciptakan oleh
kupu-kupu. Mereka berdua juga belum tahu bahwa kupu-kupu paling
lama bertahan hanya satu tahun. Bahkan ada yang hidup hanya satu
minggu. Keindahannya hanya sebentar, namun sanggup memberikan
kebahagiaan bagi orang yang melihatnya.
Kedua sahabat itu saling memiliki dan melengkapi satu sama
lain. Vani merupakan anak yang cantik. Rambutnya panjang tergerai di
punggung dan selalu dirawatnya dengan benar. Sejak kecil ia selalu
menjadi bunga di antara teman-temannya yang lain.
Sedangkan Fanya memiliki kelebihan lain. Definisi cantik bagi
dirinya tidak terlalu berlaku jika disandingkan dengan perempuan
berwajah artis atau model. Namun dia memiliki kemampuan dalam
akademik yang sangat memuaskan. Orang lebih mengagumi dirinya
karena otaknya yang cemerlang. Lelaki mana pun belum tentu langsung
jatuh hati kepadanya ketika pertama kali melihat.
Beberapa tahun setelahnya, kupu-kupu memiliki arti penting
untuk Fanya. Fanya mengambil filososfi sendiri tentang kupu-kupu di
hidupnya. Dia tidak pernah menceritakan ini kepada siapa pun, termasuk
kepada Vani. Hanya dia yang tahu.
***
Hari kelulusan SMA memang saat-saat yang ditunggu oleh
sebagian besar orang. Beberapa orang mendefinisikan saat itu adalah
transformasi dari kempompong menjadi kupu-kupu. Masa-masa kuliah
di depan mata adalah ketika mereka akan lebih bebas dalam
bereksplorasi. Entah dalam urusan akademik, minat bakat, ataupun
penampilan.
Meskipun beberapa orang yang lain justru sebaliknya. Mereka
menganggap selepas dari kuliah baru orang tersebut ‘berubah’ menjadi
kupu-kupu. Namun itu bukan masalah besar. Bagi Fanya, ini adalah
saatnya untuk membuktikan kepada orang-orang bahwa dirinya sanggup
dikatakan sebagai kupu-kupu yang sebenarnya. Jauh melampaui Vani.
“Bagaimana? Semua barang sudah siap? Kamu yakin tidak ada
yang tertinggal?” Vani memastikan kepada Fanya sebelum sahabatnya
benar-benar meninggalkan kamar.
“Ya, aku yakin. Kita sejak semalam sudah re-packaging berulang-
ulang, Van. Hahaha. Rajin sekali ya. Tapi itulah fungsinya. Aku yakin
tidak ada barang yang tertinggal.” Fanya kembali meyakinkan Vani.
“Oke. Kita berangkat sekarang.” Vani berkata mantap.
Mereka meninggalkan kamar Fanya dan langsung bertolak ke
garasi mobil. Ini merupakan perjalanan besar untuk Fanya. Dia mendapat
beasiswa di Universitas Harvard selepas SMA. Sungguh kemungkinan
yang amat sangat kecil. Tapi bagi Fanya, itu semua mungkin.
Mungkin juga kalau dirinya akan lebih hebat dari Mark
Zuckeberg. Sudah banyak rencana yang Fanya persiapkan untuk
membuktikan kepada setiap orang. Dia belum akan membukanya
sekarang.
“Jangan lupakan aku,” kata Vani dengan nada merajuk kepada
Fanya.
“Tentu saja tidak, Vanili! Kamu kira aku apa, yang mudah sekali
melupakan orang setia sepertimu?”
“Bisa saja kamu terlalu sibuk atau apa. Jangan pernah berhenti
memanggilku Vanili. Hanya kamu yang aku izinkan memanggilku dengan
nama itu.”
“Aku akan selalu mengabarimu di waktu luang.” Fanya tidak
tahan untuk tidak memeluk Vani. “You are my best girl friend. Dan selalu
seperti itu,” bisik Fanya.
Setelah melepaskan pelukannya dari Vani, pandangan Fanya
beralih kepada Rivo. “Jaga Vani. Aku tidak ingin sesuatu yang buruk
terjadi kepada sahabatku,” pesan Fanya sangat padat dan jelas.
“Tidak usah khawatir. Tanpa kamu minta, aku sudah akan
menjaga Vani. Hati-hati ya, Fanya.”
Rivo memberikan pelukan perpisahan untuk Fanya. Dia
menyayangi Fanya sebagai sahabat dari perempuan yang dia cintai.
Setelah Rivo melepaskan pelukannya, Fanya mengambil satu
lembar plastik bening yang sudah direkatkan. Dia memberikannya
kepada Vani. “Jaga ini, Van. Plastiknya tidak perlu kamu buka.”
Vani sedikit terkejut dengan apa yang ia dapatkan. “Kamu dapat
ini dari mana?” tanyanya kepada Fanya.
“Lantai kamarku. Lihat, ini masih sempurna. Hanya tubuhnya
saja yang sudah tidak ada. Sayapnya masih tetap cantik. Jangan sampai
terkoyak sedikit pun. Aku menemukan ini dan mempersiapkannya
untukmu.” Fanya memberikan plastik bening itu kepada Vani.
Benda di dalamnya terlihat cantik. Seperti Vani. Seperti
persahabatan mereka berdua. Corak hijau toska berpadu dengan titik-titik
biru tua membuat siapa pun suka. Fanya menemukan sayap kupu-kupu
itu jatuh di lantai kamarnya. Yang dia temukan hanyalah sepasang sayap,
tanpa tubuh.
Fanya tahu, pada masanya kupu-kupu hanya akan tertinggal
sayapnya yang indah. Tubuhnya telah mati, namun keindahan sayapnya
akan tetap ada. Itu pun tidak akan bertahan lama. Tergantung bagaimana
sayap itu terjaga. Jika tidak, sayap itu pun juga akan terkoyak dan hilang.
***