Anda di halaman 1dari 10

Aruna dan Setangkai Bunga Edelweiss

Karya: Reisha Djati Renasta


Mulanya, manusia diciptakan seorang diri di dunia. Sendirian dengan
keheningan dan kekosongan. Awalnya, senyum menjadi pelukis hari Sang
Manusia Pertama. Namun seiring perasaannya tumbuh, dia merasa kesepian.
Sang Pencipta melihatnya. Maka, diambilnya tulang rusuk Sang Manusia
dengan tujuan memberi teman. Seorang Perempuan yang dimaksudkan menjadi
penolong dan pelengkap. Sejatinya, manusia hidup berdampingan dan saling
melengkapi. Menolong dan ditolong, mencintai dan dicintai.
Tapi tidak ada yang abadi. Bunga bisa layu, langit tidak selalu biru,
bahkan bahagia pun dapat diganti tangis. Kelak, salah satu akan meninggalkan
yang lain, mengukir kenangan pada yang terkasih tapi tidak bisa kembali. Sang
Pencipta memintanya kembali karena tugasnya usai.
Orang lalu lalang dalam hidup, mengukir kenangan, memberi pengalaman,
atau sekadar tatap mata. Tapi apa yang abadi? Tidak ada.
Layaknya seorang tamu yang singgah hanya sesaat, lalu pergi ketika
merasa tugasnya telah selesai. Pergi ketika dirinya sudah sembuh.
Aruna Mada Raspati, gadis muda yang tengah merasakan luka di atas luka.
Tersenyum ketika batin menangis, dan diam ketika hatinya bergejolak.
Semesta, mau sampai kapan mempermainkan lukaku?
Aku hanya ingin bersamanya. Si penenang hati, bak awan teduh. Arga
Ardebiantara.

Lembar pertama.

"Lo mau tau keinginan terbesar gue ga, Ze?"

"Makan eskrim di kutub utara?" tebak Zea asal. Membuat keduanya tertawa
selama beberapa saat. Aruna menepuk pelan lengan Zea-kebiasaan buruk yang
selalu mengiringi tawa.

“Gue pengen tau, seindah apa warna pelangi," tutur Aruna, suaranya
merendah, dia sedih.

“Gue paham, Na," terang Zea secara tiba-tiba. Aruna terhentak mendengar
ucapan Zea yang terdengar begitu yakin.

"Pelangi itu indah, kayak 'dia' kan?" ungkap Zea sambil tertawa kecil.
Membuat Aruna seketika tersipu malu.
"Lo tau darimana kalau gue mau bilang gitu?" tanyanya memastikan.

"Dari cara lo ngomong juga keliatan, Na." lagi-lagi Zea berkata dengan nada
percaya diri.

"Iya. Arga Ardebiantara, dia memang indah."

Lembar kedua – bagian depan.

Biasanya, aku tidak pernah membolos pelajaran. Tapi hari ini saja, aku ingin
sendiri. Menumpahkan lelah dan tangis karena semua terasa sia sia. Ujian sudah
berlalu lama, bahkan nilai sudah keluar. Memang benar kata pepatah untuk jangan
berekspetasi lebih, karena pasti akan berujung kekecewaan.

Aku manusia, dan aku berekspetasi pada diriku. Berakhir dengan kata kecewa
yang menakutkan. Aku bukannya menangisi nilaiku, tapi menangisi diriku dan
usahanya. Bukan membawa hasil yang diharapkan, malah sepertinya sangat
mengecewakan.

Tong sampah di belakang kantin yang sepi sekarang menjadi saksi


semenyedihkan apa diriku. Berusaha keras menahan isakan sementara air mata
tidak berhenti mengalir. Menyedihkan. Kantin sepi, jelas. Ini masih jam pelajaran.
Tidak akan ada yang menyadari aku menangis di sini. Setidaknya begitu
pemikiranku sedetik lalu, sebelum suara seseorang memecah hening.

"H-hei? Mau tisu?"

Aku terlonjak, serta merta mengangkat pandangan untuk melihat siapa yang
menyapa. Antara kaget dan malu. Rupanya, seorang pemuda familiar sedang
duduk tidak jauh dari tempatku menangis. Mungkin satu setengah meter jaraknya,
dia duduk dekat parkiran motor, punggungnya menyandar tembok sementara
tangannya terulur menyerahkan dua lembar tisu lipat.

"Maaf, gue nggak sengaja denger, tapi.. lo nggak apa apa?"

Aku meneguk ludah, mengangguk kecil untuk menjawab.

Dia Arga. Arga Ardebiantara, kapten futsal di sekolah ini. Dia yang
kukatakan indah seperti pelangi. Bahkan mungkin bisa lebih indah.

"Oh iya, makasih tisunya," aku beringsut mendekat, merangkak kecil untuk
memangkas jarak hingga menggapai tisu pemberiannya. Mengusap kasar wajah
sembabku dalam diam.
Sekarang kami seperti berbaris saat olahraga, dengan selisih dua lengan yang
direntangkan. Ingin tahu, aku perlahan mencuri pandang. Dia tidak lagi bertanya
dan fokus ke kakinya, juga siku tangan yang luka sekarang. Mungkin karna dia
terjatuh saat futsal? Aku tidak bertanya.

"Apa lukanya sakit?" tanyaku serak.

Dia menoleh, menatapku dengan senyum kecil, "sedikit."

"Sebentar ya, aku ambil obat di UKS. Tunggu disini."

Lembar kedua – bagian belakang.

"Sakit, pelan pelan dong..."

"Ini udah yang paling pelan. Tahan."

Siapa sangka dia pemuda yang mudah merengek ketika diberi obat merah
sedikit. Lagipula, lukanya tidak separah itu, hanya sedikit lecet.

"Masa kapten futsal menangis saat bertemu obat merah?" sindirku.

Bisa bisanya dia takut dengan setetes obat merah di atas luka yang dia buat
sendiri? Tidak kontras.

Dia mendengus, balik menyahut, "lo kenal gue?"

"Iya,"

"Lo ketua PMR kan?"

Aku mengangguk kecil, berpindah mengobati luka di lengan kanannya. Ck,


dia benar benar hobi terluka, ya?

"Lo beneran... nggak apa apa?"

Reflek, aku mendongak. Bersitatap dengan netra manis khawatirnya walau


masih berpura pura cuek karena kami sebelumnya tidak pernah berbicara sedekat
ini.

"Nggak apa apa," jawabku singkat.

"Waktu pertama kali gue liat lo, kayanya lo gak cuek gini."
"Pertama kali kita ketemu, aku juga liat kalau kamu gak setakut ini," balasku
tidak mau kalah. Karna dia takut dengan obat merah.

Dia mendengus lagi, masih punya argumen, "Sekarang, gue lihat lo lagi
nangis. Yakin nggak apa apa?"

"Sekarang," balasku, mendongak untuk menatapnya, "aku lihat kamu luka


luka."

Diam sejenak untuk mempertahankan argumen masing masing. Lambat laun


tatapannya luluh. Dia mengulas senyum tipis sambil menatapku.

"Arga," kata singkat terucap dari bibirnya setelah itu, mengundang tanya agak
lama sebelum dia melanjutkan, "lo?"

"Aruna,"

"Makasih ya udah diobatin, Na."

Lembar ketiga.

Nama Arga semakin sering terucap dari bibirku, dan sesering itu pula kami
bertemu dan akrab. Bahkan Zea sampai heran. Arga selalu muncul di depan pintu
kelasku setiap istirahat untuk menyeretku makan, tidak peduli meski aku kukuh
ingin belajar.

Katanya, "lo nggak gumoh rumus, tapi gue yang gedeg! Udah makan! Nih
gue beliin cilok depan sekolah."

Sempat membuatku mematung sejenak karena bingung. Bisa bisanya dia


membawa masuk makanan dari luar sekolah. Apalagi kita memakannya di
belakang kantin, alias parkiran.

"Arga, nggak makan?" tanyaku, sembari membuka ikatan bungkus plastik


cilok yang diberikannya. Baunya enak juga, menggoda perut.

"Udah tadi bareng temen," jawabnya.

Makan ditemani semilir angin lembut, tiba tiba suara Arga bergumam,
bersenandung nyaman di telinga. Wah, suasana yang berpotensi membuat kantuk.

Makananku habis dan Arga selesai bernyanyi. Aku berdiri, bermaksud


membuang sampah, namun suara Arga memanggil, "Na."

"Iya?"
"Sabtu besok, kosong gak?"

"Kenapa?"

"Jalan yuk, Na?"

Lembar ke-empat.

Jalan yang dimaksud Arga lebih seperti berpetualang. Diajak menyusuri kota
dengan bus dan jalan kaki.

"Kenapa nggak ajak temenmu, Arga?" dengusku, agaknya sudah lelah.

Arga terkekeh, "Mereka lagi pada pergi, gue ga ada temen hahaha. Temen
gue banyak, tapi jam jam segini pasti masih pada tidur."

Berputar putar di kota sampai menemukan tempat duduk yang nyaman di


dekat taman bunga, Arga tersenyum lebar seketika. Bahkan tanpa aba aba
menarikku ke sana untuk berlari. Katanya selagi sepi, sebelum ramai.

Katakan Arga dan taman kota adalah sepasang kekasih. Aku di sini hanya
sebagai kamera pengabadi momennya bahagia di taman dalam benak. Dari Arga
yang kesana kemari dengan senyum lebar.

Aku duduk, mengamati dalam diam, sesekali diselingi tawa. Arga begitu
menawan ketika bersangkutan dengan favoritnya. Tawanya, senyumnya, sorot
matanya. Aku cabut perkataanku soal tawa renyahnya yang aneh. Sejujurnya, aku
gengsi, karena suara tawanya itu selalu terselip di kepalaku dalam diam.

"Tampan," gumamku tanpa sadar.

Aku harap dia tidak mendengarnya. Tapi sepertinya itu hanya harapan
belaka. Karena sekarang, Arga berdiri dihadapanku dan melihatku, lengkap
dengan sekuntum bunga kecil-entah dia dapat darimana.

Pemuda itu menunduk dengan senyum lebar, "Makasih," katanya.

Rasanya jantungku turun ke perut untuk sekian detik. Bahkan saat Arga
menyodorkan bunga, meletakkannya di atas pangkuanku, aku masih bergeming.

"Gue boleh jujur nggak, Na?"

"Apa?"
"Ini." Dia menunjuk dada kirinya sendiri, masih dengan senyum menjelaskan,
"rasanya gue mau meledak setiap lihat elo. Kayaknya gue suka sama lo, deh."

"..."

Lembar kelima.

Lantas, entah bagaimana, berbekal cilok kesukaanku, Arga mengajak aku ke


dalam sebuah hubungan. Masih ingat jelas waktu ia menyodorkan cilok ke
arahku.

Katanya, “Kalau cilok ini ada isian ayamnya, kita pacaran.”

Lalu aku balas, "Kalau enggak?"

"Kalau enggak, kita juga pacaran, tapi besok. Atau, kita jadi orang biasa aja
yang saling suka dan sayang, terus berakhir jadian."

Aneh, kan? Apa bedanya kalau begitu? Semua berujung di garis akhir
romansa. Jadian, pacaran, sama saja.

Tapi pada akhirnya, cilok yang disodorkan Arga benar benar cilok isian
ayam. Aku tersedak, sementara Arga melompat kegirangan. Itu lanjutan cerita
kemarin. Sekarang, kami-sang pasangan baru-malah berakhir di kantin, tidak
seperti biasanya.

"Tumben?" tanyaku bingung.

"Sekali kali beliin pacar makanan yang halal, masa haram terus," jelas Arga,
meletakkan nasi goreng buatan ibu ibu kantin di depanku.

Aku melotot tentu saja, "selama ini kamu beliin aku makanan tuh haram?!"

"Eh, bukan! Ga gitu! Halal, kok! Uang gue halal, bukan hasil nyuri! Cuma,
beli makan di luar sekolah kan aslinya ga boleh, selama ini kita tuh ngelanggar
doang."

Aku melirik sinis, melihat Arga yang kelabakan. Lucu. Padahal aku sudah
paham bercandaannya. Arga merengut memakan nasi gorengnya di depanku.
Merajuk katanya. Jadi, mau tidak mau aku harus membujuk si bayi besar.
Lembar ke-enam.

Kami melewati banyak suka duka bersama selama ini. Terhitung setahun
lebih dan aku semakin menyayangi seorang Arga. Kalau ditanya karena apa? Aku
tidak bisa menjawab pasti. Karena kadang, ketika menyukai seseorang, kita
seringkali bukan menyukai salah satu aspek, melainkan seluruhnya.

Aku menyukai semua sisi Arga Ardebiantara.


Singkatnya, aku menyayangi seorang Arga.

Dan kini, karena aku menyayanginya, aku rela menghabiskan sebagian waktu
belajarku untuk mengajari Arga. Tentu agar kami berdua berhasil bersama,
bahagia bersama. Begitu kan konsepnya?

"Na, kamu tau bunga abadi?"

"Edelweiss ya?"

Arga hanya mengangguk, lalu ia berlari mengambil sebuah kotak di dekat


kursi. Seikat bunga edelweiss dia ambil dari dalam kotak itu.

"Aku gak tau kita bakalan abadi atau engga, Na. Tapi kalau aku kasih bunga
edelweiss ini ke kamu, semoga aja kamu bisa selalu inget aku walau kita udah ga
sama sama lagi."

"Arga? Kenapa tiba tiba bilang kaya gini? Aku jadi takut."

"Jangan takut, Aruna. Aku ga kenapa kenapa, cuman pengen kasih kenangan
aja ke kamu." ucap Arga meyakinkan.

"Makasih, Arga. Bunganya cantik."

"Bunganya masih kalah cantik sama kamu, Na.”


Lembar ke-tujuh.

Aku tidak tuli. Selama hampir setahun bersama, aku tahu banyak yang
membicarakan soal Aku dan Arga di belakang, sayup sayup dalam diam.
Singkatnya, mereka merasa aku dan Arga tidak cocok bersanding bersama.
Penilaian subjektif tanpa paham apa apa. Topiknya bukan tentang Arga denganku,
tapi aku dengan Arga. Konotasinya berbeda.

"Aruna kok bisa sih dapetin Arga?"

"Arga kapten futsal itu? Kok dia mau sama Aruna yang biasa biasa aja?"

"Kasihan Arga-nya sih kalo cuman sama Aruna anak PMR. Aruna biasa aja
gitu, mana cocok sama Arga yang keren, cakep, kapten futsal pula."

Emosiku naik ke ubun ubun ketika mendengar itu. Mereka tidak tahu apa
apa, kenapa banyak bicara?! Tidak lagi peduli citra, Arga lebih memilih
mengamankan hati seorang Aruna saat ini. Dia punya karakter yang masa bodoh
di luar, tapi di dalam, dia sangat peduli.

"Na."

"Hei."

"Aruna Mada Raspati."

Aku menatap Arga. Arga bergeming, diam sejenak sampai aku merasa
tenang.

"Na, mereka nggak tahu apa apa tentang kita. Kamu pantas, kamu cukup,
kamu orang baik. Tenang ya?"
Aku berusaha untuk tidak menangis. Karena kata kata mereka sangat
menyakitkan. Bagaimana mungkin aku bisa menutupi sakitnya?

"Arga." Aku menatapnya sedih. Arga beralih dengan dekapan sambil berbisik,
"Apapun yang mereka bilang, aku masih sayang kamu, Aruna."

Lembar ke-delapan.

Rintikan air hujan membasahi tubuh Aruna yang mengenakan seragam putih
abu-abu. Aruna terlihat berjalan menuju halte dengan air mata yang tidak henti-
hentinya membasahi pipi. Dadanya masih terasa sesak kala mengingat kejadian
tadi di sekolah.

Aruna menghentikkan langkahnya kala motor berwarna hitam tiba-tiba


berhenti menghalangi langkahnya. Cowok itu melepaskan helm terlebih dahulu
sebelum akhirnya menghampiri Aruna yang terlihat tidak baik-baik saja.

"Arga?"

"Aruna? Kamu bilang kalau dijemput papa, tapi kenapa sekarang ada disini?
Pulang bareng aku ya." Arga menarik Aruna agar gadis itu ikut dengannya. Secara
bersamaan, Aruna kembali mengingat hal yang menyayat hatinya. Aruna meremas
kuat-kuat rok abu-abunya. Perlahan air mata milik Aruna kembali turun.

"Sakit," lirihnya.

Arga memeluk Aruna erat. Dia gak kuat lihat gadis kesayangannya kembali
mengeluarkan air mata.

"Kalau dia milik lo, sejauh apapun dia pergi pasti dia bakal kembali lagi
sama lo," ucapan Zea terlintas dalam pikiran Aruna.

“Apa hubungan gue sama Arga bakal usai sampai di sini?” kata Aruna dalam
hati.

Lembar ke-sembilan.

"Arga."

"Kenapa, Na?"

"Aku berhenti ya? Maaf, Arga. Aku gak bisa, aku udah gak bisa."

"Aruna.. kamu ngomong apa sih? Aku bakalan jadi sayap pelindungmu. Aku
bakalan ngelindungin kamu dari semuanya. Tolong jangan bilang gini, Na."
"Maaf, Arga. Tapi, aku enggak bisa."

"But why, Na?" Everything seems so perfect. You and I, we're perfect,"

"Aku tau kita saling sayang, Arga. Tapi kali ini aku nyerah. Aku minta maaf,
dan aku rasa kita gak bisa lanjutin ini lagi. You don't belong to me. That's what I
feel," Aruna berujar dengan lirih.

Arga hanya terdiam terpaku, sebelum akhirnya memecahkan keheningan


dengan jawaban, "Aku paham apa yang kamu maksud, Na. Aku ikut keputusan
kamu. Makasih buat semuanya, Aruna."

"Edelweiss. Kamu selalu abadi dalam diriku, Aruna."

Lembar terakhir – Remember.

Aruna menatap kosong ke luar jendela. Memandangi air hujan yang turun
begitu deras di malam tepat pukul dua belas. Sembari tangannya senantiasa
menggenggam setangkai bunga edelweiss, tentu saja bunga itu dari dia yang
sudah lama tidak mengukir kenangan bersamanya.

Arga, terhitung sudah lima bulan setelah hubungan kita usai.

Aruna ingat sekali, laki-laki itu akan sangat cerewet bila hujan turun.
Menyuruhnya memakai kaos kaki, menyediakan selimut tebal, sampai tidak
diperbolehkan keluar dari rumah.

"Kalau kamu gak nurut, aku bakal datang lalu cubit pipimu!"

Mengingat itu, Aruna terkekeh sendiri. Wajah lucunya masih sangat jelas di
ingatan. Senyum manisnya pun selalu terbayang dan enggan untuk pudar.

"How can i live without you, Arga?"

"Jogja malam ini turut bersedih karena aku sangat merindukanmu."

Anda mungkin juga menyukai