Anda di halaman 1dari 5

ALIE11NASI

BY SADARA A.N.S

Aku menepuk punggung Irene, perempuan berambut panjang sepunggung yang selama setahun
terakhir ini sudah berbaik hati merelakan dirinya untuk duduk di sebelahku. "Rene."

Irene berbalik. Sepasang matanya yang tajam menghujam ke dalam iris hitam milikku. "Kenapa,
Rose? Lo mau pergi?" tanyanya. Melihatku yang terdiam, Irene kembali berbicara, "Lo bisa
pulang sendiri, kan? Sorry gue nggak bisa bareng. Gue ada ekskul volly."

Aku meringis di dalam hati mendengarnya. Irene sudah menjadi sukarelawan untuk menemani
hari-hari sepiku di sekolah di saat teman-temanku yang lain memilih untuk membuang muka
setiap kali aku bertemu mereka. Irene adalah perempuan yang baik. Aku saja yang tidak pandai
menyelam di dalam dunianya yang penuh dengan terumbu karang indah beragam warna.

Aku mengangguk pelan. "Aku akan pulang.Terima kasih, Rene."

______________________________________________

Pukul empat sore kurang enam belas menit.

Deru angin menerbangkan anak-anak rambutku tanpa dapat kucegah. Aku menghela napas
panjang, lalu segera menyingkirkan helai demi helai rambut dari wajahku.

Kakiku lalu menapak maju, menyusuri jalan sempit di antara gundukan-gundukan tanah yang
ditutupi rumput-rumput halus berwarna hijau. Gerakanku baru berhenti setelah retinaku berhasil
menangkap satu bidang kecil tanah yang lebih tinggi dari dataran di sekelilingnya. Mengingat
fakta bahwa indra penglihatanku telah begitu akrab dengan pemandangan yang tersaji sejak
setahun yang lalu ini, aku berusaha menjaga air mukaku agar tidak berubah seperti perasan
lemon hijau yang baru saja dipetik.

Namun, ketika membaca satu nama yang terukir di atas sebongkah abu-abu pudar di atasnya,
bibirku refleks melengkung ke bawah.

Alvaro Anggara, Lahir 21 Februari 1998, Meninggal 18 Juni 2020.

Memoriku ditarik mundur.

Sontak, aku merasa sesak, seperti ada batu besar yang menghimpit dada tanpa ampun. Sebuah
isakan kecil juga lolos dari bibirku tanpa dapat kucegah, terus melafalkan satu nama yang bagiku
berarti dunia. Bahkan seribu kenangan yang ada tidak akan dapat mengobati rinduku pada sosok
berkulit sawo matang itu, yang tubuhnya telah lama terbaring kaku ditimbun tanah merah dan
kerikil-kerikil halus di dalam bumi.

Kuakui, aku ini bodoh dengan terus merasa dikhianati seperti ini. Aku tahu jikalau aku juga
manusia fana yang wajar merasa sakit. Namun, nyeri di dadaku kini sudah melewati garis yang
kutetapkan sendiri. Lantak. Aku kalah.

"Selamat ulang tahun Bang Angga," aku berucap sambil menghapus aliran anak sungai di
wajahku. "Hari ini Roseanne akan pulang. Sampai jumpa."

______________________________________________

"Ma?" suara serakku memantul ke empat sisi dinding kokoh ruang tamu yang didominasi dengan
cat berwarna merah manggis. Namun, layaknya cita-cita yang kandas di tengah jalan, seruanku
hanya disambut oleh dengung listrik bertegangan tinggi bersumber dari apartemen yang telah
menjadi tempatku bernaung selama 18 tahun aku hidup. Aku tertawa getir. Sebenarnya, apa yang
kuharapkan? Bukankah ini sudah lumrah terjadi? Realitaku selalu bersinggungan dengan
ekspektasi yang membumbung tinggi ke atas langit, hingga pada akhirnya, aku jatuh. Dan aku
selalu berakhir di dalam lubang gelap nan gulita. Sendirian. Tidak ada seorang pun yang berniat
menemani- bahkan Mama, sosok yang selalu kurindukan kehadirannya.

Aku melepas alas kaki lalu menyimpannya di rak sepatu yang terletak di samping dapur.
Setelahnya, aku berjalan menuju kamarku. Pintu kayu di depanku berderit pelan, menghadiahi
netraku dengan bilik berdinding abu abu yang penuh tempelan kertas warna-warni.

Kenapa sekarang semuanya tampak sangat lucu?

Hidupku, orang-orang yang pernah singgah di dalamnya, dan semua kenangan yang mereka
tinggalkan, kenapa malah membuat derai tawaku ingin keluar?

Rasanya aku ingin tergelak kencang, namun tawaku berhasil kutahan saat tubuhku sudah berdiri
di depan satu kertas yang ukurannya paling besar di antara lembaran-lembaran lain di dinding,
dengan tiga nama yang ditulis tidak beraturan di atasnya khas tulisan anak sekolah dasar.
Melafalkan sebaris kalimat di atasnya yang ditulis dengan spidol biru itu sontak membangkitkan
sebuah memori tua yang ingin kukubur dalam-dalam. Pintu kenangan itu tidak baik jika
dibiarkan terbuka. Aku harus menutupnya.

Aku lantas berbalik menuju nakas di samping tempat tidur. Tanganku terjulur mengambil sebuah
benda tipis berbentuk persegi panjang dari dalam laci. Dalam kolom pencarian alat komunikasi
itu, ibu jariku terus bergulir hingga akhirnya berhenti pada satu nama. Aku menekan nama
tersebut, dan seketika nada sambung berhasil memenuhi indra pendengaranku.

"Halo?"

Ritme jantungku menjadi dua kali lebih cepat saat mendengar suara halusnya yang khas. Entah
berapa purnama yang kulewatkan tanpa bersua dengannya. Aku tidak tahu tepatnya, aku takut
untuk tahu.

"Hallo, Kei," balasku sambil tersenyum walaupun aku tahu dia tidak dapat melihatnya. "Apa
kabar?"

Rasa canggung menyulut keheningan yang begitu nyata. Sembari menunggu jawaban darinya,
aku bergerak ke balkon yang berhadapan langsung dengan taman belakang apartemen yang
lumayan luas. Langit sudah berubah menjadi jingga, tetapi aku masih betah berlama-lama
memandang bebatuan taman tepat di bawah balkon lantai tujuh tempatku berdiri. Bayangan
semu akan tiga orang anak kecil-satu laki-laki dan dua perempuan yang duduk di sana seraya
berbagi tawa perlahan berkamuflase menjadi dua dara muda. Mereka berdiri berhadapan. Raut
wajah keduanya menyiratkan bahwa mereka tengah bersilangan.

Sepasang kelopak mataku menutup. Aku ingin, ingin sekali, menghapus semua bayangan semu
yang baru saja kusaksikan.

"Lo tau, Kei," aku membuka mata, lalu kembali berbicara tanpa menunggu Keisha bereaksi,
"tulisan lo tentang persahabatan kita dulu waktu kecil masih gue pajang di dinding kamar.
Sekarang gue lagi liatin taman apartemen tempat kita main bareng waktu kecil. Dan anehnya,
gue juga ngeliat Bang Angga. Tapi itu cuma memori yang udah lama pudar, kan, Kei?" suaraku
berubah lirih. "Waktu adalah sesuatu yang jahat. Dia udah ngebuat semua yang gue genggam
terlepas tanpa sempat gue ikat."

"Rose," ada jeda sejenak saat Keisha menghela napasnya, "maafin gue."

Mataku sontak memanas. Perih, sesak, dan nyeri. Semua rasa tidak mengenakkan saling
berikatan di dadaku. Keisha mengatakan semuanya dengan mudah. Dengan sangat dan terlalu
mudah. Dia tidak tahu berapa banyak luka yang dia torehkan sebelum mengungkapkan satu kata
itu.

Aku lantas tertawa pelan. "Maaf nggak mengubah apa yang udah terjadi, Keisha. Gue capek
kayak gini terus. Gue capek punya Mama sama Papa yang hampir nggak pernah ada di rumah.
Gue capek nggak punya teman di sekolah kecuali teman sebangku gue itupun karena dia
terpaksa. Nggak ada yang mau ngomong sama gue, baik di sekolah ataupun di rumah. Mereka
benci gue. Gue capek, Kei. Capek.

"Dulu, gue pikir semua lelah gue nggak berarti apa-apa karena gue punya lo sama Bang Angga.
Tapi, Bang Angga berkhianat." aku berusaha menjaga agar isakanku tidak lolos untuk kedua
kalinya di hari yang sama. "Dia pergi tanpa sempat pamit sama gue. Rumah tempat gue
berpulang tiba-tiba pergi, Kei. Gue hancur. Satu-satunya tempat gue berpijak tinggal lo aja."

"Rose-"

"Tapi, lo jahat," potongku pelan. Kali ini, aku melanggar janjiku sendiri. Tangisku pecah.

"Pada akhirnya, lo juga milih pergi. Lo pergi dengan kata-kata yang bikin gue takut buat tidur
tiap malam, seolah-olah kalau sekali aja gue nutup mata, gue nggak bisa lagi nerima diri gue
yang sekarang. Seorang Roseanne yang naif, lebay, dan menyedihkan dalam kesepiannya, itu
kan, yang lo bilang ke gue waktu kita di taman bawah? Gue salah apa, Kei, sampai lo bisa
beranggapan kayak gitu tentang gue? Kenapa lo bisa bilang kalau Bang Angga pergi karena dia
malu punya adek jelek dan nggak tau diri kayak gue? Emang bener, ya, gue jelek dan nggak tau
diri? Iya, Kei?"

Tangisku semakin menjadi-jadi saat Keisha tidak kunjung bersuara. Aku pikir, aku bisa
menghadapi badai kencang yang menerpa hidupku. Aku pikir, aku bisa bertahan tanpa sosok
Alvaro Anggara dan Keisha Amara. Tapi, nyatanya aku salah. aku tidak bisa. Aku tidak sekuat
itu.

"Lo nggak salah apa-apa, Rose," kata Keisha setelah dia terdiam cukup lama.

"Gue yang salah karena udah ngomong gitu. Lo nggak jelek kok. Lo bukan cewek yang tau diri.
Gue nggak tau kalau kata-kata gue bisa bikin kita berjauhan kayak sekarang. Gue bener-bener
nggak tau. Ini semua salah gue."

"Tapi kayaknya lo bener, kan?" aku tertawa parau. "Buktinya gue di sekolah selalu sendirian,
dikucilkan, dan nggak dianggap ada. Iya, kan?"

"Roseanne, bukan gitu."

"Terus apa?!" aku menjerit. Seluruh pasokan udara tiba-tiba terasa ditarik paksa dari rongga
dadaku. Aku sulit bernapas. Rasa ini begitu menyesakkan juga memuakkan. "Lo mau bilang itu
bukan salah gue?" Mendengarnya, aku menyeka bulir bening di pipiku dalam satu gerakan cepat.
Tubuhku menegang sebagai reaksi penolakan terhadap pembelaan yang dia berikan setelah
sekian lama pintu kesempatan kubuka untuknya.
Dia terlambat. "Semua itu nggak penting lagi,"tukasku. "Gue capek hidup kayak gini. Gue mau
pergi."

Seruan panik kontan terdengar dari seberang sana. Keisha meneriakkan namaku berkali-kali,
namun telingaku mendadak tuli. Sungguh, hatiku lelah bertahan dan mempertahankan. Pergi kini
menjadi pilihan dari sekian banyak pertanyaan yang bercokol di kepalaku tentang eksistensi
seoranng Roseanne perempuan menyedihkan yang keberadaannya tidak pernah dianggap nyata.
Bila orang-orang dapat dengan mudahnya beranjak dari sisiku, mengapa aku tidak bisa?

Maka, dengan keputusan yang sudah kupikirkan matang-matang, jari-jari tangan kiriku kini
bertumpu pada rangkaian besi setinggi paha pembatas antara lantai dengan udara bebas.
Genggamanku pada benda elektronik di tangan satunya semakin erat. Aku akan pergi. Aku ingin
bebas dari segala harapan yang selama ini mengungkungku untuk tetap tinggal.

"Rose lo jangan macem-macem!" teriak Keisha. Dia terdengar aneh dengan kekhawatiran yang
terselip di nada suaranya. "Bilang gue lo lagi di mana sekarang. Gue bakal nyusul lo, oke? Rose,
lo denger gue, nggak?"

"Lo nggak perlu ngelakuin itu, Kei." aku menggeleng. Jarakku dengan ujung balkon hanya
kurang dari lima senti. Kupandangi langit yang mulai kehilangan jingganya, digantikan dengan
gelap yang menentramkan. Ini waktu yang tepat. Sebagai ucapan penghargaan karena Keisha
sudah menemaniku sampai detik ini, aku berkata lirih, "Makasih, Keisha. Makasih buat
semuanya. Gue pulang."

Pergi dan pulang adalah dua kata yang tidak dapat dipisahkan. Seseorang pergi, untuk berpulang.
Dan malam ini, dengan ditemani kesunyian, tubuhku jatuh bebas bertabrakan dengan angin senja
penjemput malam.

Bang Angga, Roseanne pulang.

Anda mungkin juga menyukai