Anda di halaman 1dari 5

Di Ruang Tunggu.

Aku terdiam meskipun duduk bersebelahan dengan Ayah. Bukan karena aku tak
sayang, dan bukan karena aku durhaka. Namun.... Ah, entahlah.

"Kamu kenapa, Mas?"

Aku tersentak.

Iya, aku lupa! Ternyata aku datang ke rumah sakit bersama Nania istriku.

"Ah..., tidak, tidak ada apa-apa, Dik. Boleh kupinjam ponselmu?"

"Kehabisan pulsa lagi ya, Mas?" ujar Nania sambil memberikan ponsel kepadaku.

"Terima kasih."

"Mau nelpon siapa, Mas?" Nania coba menahanku saat aku akan beranjak pergi ke
luar dari ruang tunggu.

"Keluarga besar kita, Dik. Ayah, meninggal dunia."

Nania segera berlari ke ruang IGD, untuk memastikan apa yang baru saja
kukatakan.

Tegal 20/12/2018

Judul: Singgasana

Aku bahagia, punya orangtua yang sangat penyayang, punya adik perempuan lucu dan
menggemaskan.

Rumah yang kuhuni tak sebesar kepunyaan Andre, tak semegah milik Antony, namun
kudapatkan semua di rumah kecil milik kedua orangtuaku. Hari-hari serasa
menyenangkan, suara pecahan tawa adik, suara lembut Ibu, petuah-petuah Ayah,
begitu asik mewarnai.
Aku pernah bertengkar sama adik, mungkin itu tak akan kuulang lagi, seisi rumah tahu,
jika adik mempunyai kursi khusus, yang tidak boleh siapa pun duduk di situ, entahlah,
Angeli begitu memfavoritkan kursi kayu tersebut, padahal tidak bagus-bagus amat,
namun seakan kursi itu sudah menjadi singgasana tersendiri buat dia.

Dasar konyol kamu, Dik. Apa bagusnya coba? Di ruang tamu ada satu set kursi, lebih
empuk, lebih nyaman jika untuk duduk. Ah, dasar bandel. Sebelah kaki kursi itu juga
sudah ada paku yang kendur, kamu marah besar waktu Ayah akan membetulkannya,
kamu rela menangis sekuat tenaga, agar kursi itu tetap demikian adanya. Dasar bandel,
namun lucu juga, keunikanmu malah menjadi hiburan tersendiri buat kami, menjadi
bahan candaan di saat aku suntuk.

Kini aku berdiri tepat di depan singgasana milik Angeli, kuamati kursi yang terbuat dari
kayu jati itu. Aku penasaran saja, ada apanya sih? Lalu aku dudukki. Sekitar lima menit,
coba kurasakan sensasi apa yang membuat adikku begitu mengistimewakannya.

"Kakak! Jangan duduk di kursi adik!"

Jantungku nyaris copot, Angeli menatapku tajam. Aku bergeming.

"Dik, kamu kan sudah meninggal?!" pekikku.


Judul: Perjalanan
Aku bukan perantau yang sukses seperti sebagian temanku. Mereka cukup uang, cukup sandang, tentu
juga cukup makan. Meski sama-sama hidup di kontrakan.

Umurku sudah tidak muda lagi, saat ini menginjak tigapuluh tahun, seharusnya saat ini sudah ada anak
beserta istri. Namun dengan penghasilan yang pas-pasan, menikah menjadi suatu momok yang
mengerikan buatku, aku tak mampu membiayai itu semua, kedua orangtua juga cuma menjadi buruh tani.

Hidup tetap harus kujalani, walau seluruh tenaga yang telah kucurahkan belum mampu untuk membeli
kebahagiaanku, tapi rasa syukur mengalihkan letih ini.

Di kontrakan yang seadanya, di gang sempit, juga menjadi langganan banjir di saat hujan, aku sudah
terbiasa.

Kehidupan bukanlah untuk menyesali apa yang tengah di hadapi, kehidupan ialah bergerak. Tuhan
sangat mencintai ciptaan-Nya, yang selalu berusaha untuk maju, bukan cuma berpangku tangan
mengandalkan belas kasihan orang.

Teringat nasihat Ibu, jika manusia itu mesti pasrah kepada Tuhan, kita boleh berharap, tapi semua
penentu itu mutlak milik-Nya. Namun ihktiar dan doa tidak boleh lepas. Aku pegang erat-erat.

Sudah lebih dari lima tahun aku tidak pulang kampung, bukan karena lupa Bapak dan Ibu, tapi aku tidak
ada uang lebih untuk sekadar membeli tiket kereta maupun bus.

Mudik menjadi hal yang paling berharga untukku, dada ini bergetar hebat, ketika melihat teman - teman
seperantauan pulang kampung, tak jarang sudut mataku sembab oleh airmata, menahan rindu yang
teramat sangat. Aku kangen kalian, kangen orang-orang yang paling berarti dalam hidupku, kedua
orangtua, juga kedua adik-adikku.
"Sepertinya sebentar lagi kita sampai."

Aku terkesiap dari lamunan.

Betapa haru hati ini, deretan sawah-sawah menghijau tempatku bermain dulu, masih sama. Di sini Bapak
menggarap sawah milik tetangga desa, aku paling suka jika Bapak mengajakku, asik berlarian di
pematang sawah, hingga tak jarang harus tergelincir karena licin.

Adik-adikku paling suka, jika sudah kucarikan belut, bisa sampai sepuluh hingga duapuluh ekor
kudapatkan. Karena belut menjadi makanan paling mewah di keluarga kami.

"Nah itu rumahnya."

Bapak di sebelahku melihat peta lewat GPS, aku tahu itu juga dari Nano temanku, yang kebetulan
mampu membeli ponsel mahal, kalau aku cukup puas memakai ponsel jadul, itu pun dapat nyicil lewat
teman.

Ingin rasanya membelikan Bapak ponsel, jadi bisa nelpon kapan pun untuk mengetahui keadaan
keluarga di kampung. Namun apa daya, gaji sebagai kuli serabutan belum cukup untuk memenuhi
keinginanku. Biaya hidup di kota besar sangatlah mahal, kontrakan pun sering naik, dan aku tak kuasa.

Mobil berhenti tepat di depan rumahku.

Aku hanya bisa diam seribu bahasa, mulutku kelu. Orangtuaku pingsan, kedua adikku histeris, saat
tubuhku diturunkan dari mobil jenazah.

WARNA

Tiga gadis cantik dan juga seksi tengah berbincang seru, sementara Ray sungguh tak mau tahu.

"Lihat, Ray mulai mengambil pewarna! Ah, sungguh itu pewarna bibir yang indah untukku!" ucap Egiliana
girang.

"Apa? Kamu suka warna merah menyala? Erggg ... kampungan ih!" timpal Susi.

"Iya! Pemerah bibir itu yang gak norak dong, Egi! Digodain om-om genit loh nanti!" Endang ikutan
nimbrung.

Kring... Kring...!

Suara telepon kabel di rumah Ray berbunyi nyaring.

"Ray, jangan angkat panggilannya, selesaikan dulu kerjaanmu dong!" teriak Egiliana.

Terlambat, Ray beranjak dan meraih gagang telepon itu, perbincangan terlihat sangat serius sekali,
sesekali Ray meremas rambutnya yang keriting lebat itu.

Tak lama kemudian Ray bangkit dan menemui ketiga gadis itu, wajahnya memancarkan kekecewaan.

"Loh... loh, Ray!" ketiga gadis itu berteriak serentak.

Ray kesal, sketsa baju bergambar tiga gadis itu ia remas - remas sampai hancur, pesanan tiba-tiba
dibatalkan tanpa alasan yang jelas.

Anda mungkin juga menyukai