Anda di halaman 1dari 6

Selamat Pagi, Kinan

Ada sebuah rutinitas yang sudah jadi tradisi di keluargaku. Semuanya berkumpul di
teras atas sewaktu malam. Berkawan dengan teh, pisang goreng, dan sisipan obrolan pengusir
bosan. Tak luput gelak tawa semakin terasa hangat hidup di sela-sela perbincangan.

“Dokter! Impianku menyembuhkan luka yang ada di tubuh manusia, agar bumi ini diisi
oleh orang-orang yang bahagia. Yang senantiasa tersenyum dan bernapas lega. Melepas gulana,
bukan berpura-pura. Seperti kata Ayah, ada garis yang membentang panjang di langit. Di sana
ada ratusan Malaikat datang dan pergi, membawa doa-doa sembah dari makhluk yang hidup di
semesta. Garis takdir bagi umat manusia, dan doa dari harapan impian kita semua. Itu alasan
kenapa aku ingin jadi dokter, agar rantai kehidupan ini bisa terus berjalan tanpa ada lara.”
Begitu jawabku atas pertanyaan ayah dengan kilauan mata yang nampak berseri. Sayangnya,
aku lupa bagaimana kelanjutannya. Bagaimana cara ayah tersenyum atau dingin angin menusuk
tulang. Yang aku ingat sebatas sorot lampu mobil menyilaukan, dobrakan pintu, dan jeritan
adikku yang mengerang. Ingatanku hanya bermuara pada ayah yang ditangkap polisi karena
tindak korupsi.

Ada banyak varian yang menggambarkan perasaan. Sedih, kacau, bingung, kecewa.
Ayah yang kami banggakan, pada akhirnya menyayat kehidupan. Satu-satunya tonggak pondasi
yang aku punya, setelah perceraian dengan ibu yang mendua, sekarang runtuh. Konstruksi
kepercayaan yang dibangun bertahun-tahun terpaksa dirobohkan. Malam itu, luruh semua
mimpi yang telah ku rangkai. Hilang tersapu kenyataan.

Dengan sedikit kekuatan, kami menuntun langkah ke rumah nenek. Satu-satunya tempat
pergi bagi aku yang tak lagi kenal pulang, karena tak ada yang mau menampung dua nyawa
dari ruh yang melakukan kejahatan. Telingaku hanya menangkap tangis, mataku hanya bisa
mengalirkan air. Tak lagi peduli pada berita televisi yang berbicara, tak lagi acuh pada dunia
yang memercikkan luka. Terpaksa putus kuliah karena nenek hanya mengandalkan uang
pensiunan yang tak seberapa. Sedang dengan asa yang tersisa, aku menelusuri jalanan Jakarta,
mencari kerja.

Hingga aku berhenti di sebuah tempat diskotek. Terdengar riuh sorak manusia
bergembira, dilantuni musik keras bernada. Pikiranku bekerja, jikalau tubuh ini kubawa ke
sana, apa aku bisa merasa bahagia? Memutuskan masuk, aku langsung disuguhi pandang tubuh
meliuk bak ular dan bau khas alkohol. Satu teguk kupinta, ini kali pertama untukku. Sial!
Kepalaku pusing, pandanganku mengabur. Datang pria bersetelan jas. Mencolek dagu, meraba
paha. Tenagaku sudah tak bersisa. Tubuhku melayang digendongannya. Dimasukkan aku ke
dalam kamar yang entah milik siapa. Ini salah! Aku tidak mau jadi begini! Tolong aku! Tapi
kalian semua tahu, tak ada lagi kekuatan itu. Aku hanya bisa pasrah, tak berdaya. Siangnya,
terdiam lama aku memandang segepok uang di depan. Hibah pria itu tadi malam. Tubuhku
remuk redam, merasa hina. Tapi, dengan uang sebesar ini, aku bisa melanjut belajar kedokteran.
Aku bisa beli apa saja. Hanya perlu bersolek diri, memasang wajah.

“Tapi ini uang haram, Kak! Aku tidak sudi mengisi perut dengan benda kotor!” Bunga,
adikku, memandang nyalang. Emosiku menancap di ubun-ubun. “Dari dulu kita sudah makan
uang haram, Bunga! Uang korupsi! Pekerjaanku jauh lebih mulia, sekadar menyenangkan laki-
laki di atas ranjang!” Sekelibat itu, aku pergi, menepis tangan senja nenek. Menetralkan amarah
di hamparan pasir. Menatap gelombang laut, anak kecil berlarian, dan kebahagiaan orang di
sekitar. Ah! Ingin jua aku merasakan hal yang sama. Tapi, alih-alih tumbuh di keluarga yang
utuh, aku justru besar melihat perpisahan orang tua. Ditambah lagi penangkapan ayah. Garis
takdir macam apa ini, Tuhan? Apa benar tidak tertukar?

Sewaktu pulang, aku melihat Bunga dipojokkan oleh teman sebayanya di jalan gang. Ia
hanya menunduk sementara yang lain sibuk melempar cacian. Saat kuhampiri mereka,
semuanya panik berlari. “Lawan, Bunga! Jangan diam saja! Jangan terlihat lemah di hadapan
orang-orang jahat!” Ia menatap manik mataku. Sedang netraku menangkap sebongkah luka
bersemayam di balik sana. “Aku tahu, tapi yang mereka bilang suatu kebenaran. Bisa apa aku
selain diam? Lagipula, siapa yang jahat di sini, mereka atau ayah? Dan satu, jangan
menasehatiku kalau Kakak saja tidak bisa menasehati diri sendiri!” Alih-alih menjawabnya,
bibirku terbungkam. Seperti ada lem perekat yang membuatku kelu untuk bicara.

Ucapan Bunga masih mematri di ingatan sampai beberapa hari kemudian. Selama itu
pula tiap senja datang, aku akan merenung diri di rumah lama kami yang sudah penuh garis
polisi. Memikirkan semua yang telah terlewati di rumah ini. Hal bahagia itu menjelma sebuah
memori sedih ketika diingat kembali. Lalu, semuanya terhenti saat terdengar bunyi debukan di
sebelah utara. Aku terpekik kaget ketika melihat lelaki dengan pakaian acak-acakan. Ia menarik
lenganku mendekat, sama terkejutnya. “Diam! Aku lagi sembunyi dari polisi.” Aku kaku
mengangguk. Tangannya terjulur, “Sam. Samudra Laut, kamu?”
Kujawab jujur seadanya. Sembari menepuk celana sobeknya yang kotor, Sam
menatapku dengan senyum. Jangan tanya bagaimana keadaanku. Sedikit gugup, sedikit takut,
sedikit cemas. “Kinan, mau jadi temanku, tidak?” Sontak aku mendongak, balas menatapnya.
Hah? Apa tadi katanya? Laki-laki ini tidak salah bicara, kan?

Malamnya, aku kembali ke bar. Mengais rupiah dari lelaki kaya. Tapi, lelaki yang
berdiri di sana sudah berhasil membuat tubuhku panas dingin, lumpuh seketika. Ia
menelanjangiku lewat sorot mata. Lalu, detik berikutnya manautkan jemarinya padaku. Entah
dengan alasan apa ia malah membawaku ke laut. Dan entah dengan alasan apa pula kenapa aku
mau diajaknya pergi. Telunjuk Sam mengarah ke salah sudut kota, dimana sebuah gedung
tinggi, gagah berdiri. Sebelum sempat kutanya apa maksudnya, ia sudah lebih dulu bercerita.
Kehidupannya yang mewah, berubah semenjak ibunya yang hilang, hangut di laut. Ayahnya
yang menikah lagi, ia yang pergi dari rumah, dan berakhir di jalanan.

“Aku benci karena uang membutakan hati ayah terhadap kasih sayang. Aku benci
karena laut, yang juga nama terakhirku, tempat kesukaanku, justru membuatku berpisah dengan
ibu.” Diam agak lama, ia lalu bertanya, “Impianmu sejak kecil jadi pelacur, Kinan?” Tersentak
hebat saat kudengar ia pilih pertanyaan itu. Mataku mendidih mengingat betapa ambisiusnya
aku mengejar cita, lalu tersuruk tak lagi punya apa-apa. Kujelaskan pada Sam apa impianku,
penjelasan yang sama dengan malam itu. “Aku tidak punya pilihan. Lagipula, tak ada yang
benar-benar bisa dipilih dalam hidup. Semua sudah terencana. Aku hanya berjalan di atas takdir
Tuhan.”

“Kamu tidak berjalan sesuai takdir, Ki. Jadi pelacur adalah pilihanmu sendiri, tanpa
kamu sadari. Memang ayahmu mengizinkan anak gadisnya jadi rusak?” Saat ia tanya begitu,
aku menjeda sebentar. Menghapus senyum yang tadi melekat di bibir. Menghela napas panjang.
“Dengar berita politikus korupsi awal bulan ini? Itu ayahku. Aku kehilangan semuanya dalam
satu waktu, lalu kupilih jalan ini dalam satu keyakinan, agar aku bisa menghidupi adikku. Kamu
benar, aku memilih jadi pelacur, karena untuk memilih pekerjaan lain, aku merasa tidak pantas.
Tidak pantas punya mimpi besar bagi aku yang bapaknya korupsi. Apalagi sekarang statusku
hanya sebatas, pelacur.” Kemudian semuanya berakhir. Saat entah dari mana segerombolan
orang datang menarik Sam masuk ke mobil. Mereka mendorongku sampai terjatuh. Lelaki tua
maju menghampiriku. Ia memperkenalkan diri sebagai ayah Sam. Memintaku menjauh dari
anaknya. “Pelacur dengan aliran darah koruptor, tidak sebanding dengan keluarga kami!”
Dengan isak yang mulai merangsek, aku coba menjawab, “Keluarga? Apa pernah Bapak tanya
ke Sam, apa dia mau jadi bagian dari keluarga yang hanya memikirkan harta? Setidaknya di
mata Sam, saya masih punya harga, harga diri. Sedang Bapak, sebagai ayah kandungnya, tidak
sama sekali!” Kuhiraukan teriakan Sam, memilih pergi.

Bersimpuh tangis aku pulang. Tapi, rumah nenek semakin membuatku frustasi. Bunga
terbakar amarah saat ia tahu aku masih jadi pelacur. “Bagaimana bisa Kakak jadi dokter yang
mengobati luka orang lain, kalau luka sendiri saja tidak bisa Kakak obati? Terima! Terima
semuanya, Kak. Berhenti menelangsarakan diri sendiri. Aku cuma punya Kak Kinan. Tapi
kalau Kakak masih seperti ini, aku malu. Aku malu punya Kakak seorang pelacur!” Tanpa sadar
tanganku bergerak menampar. Kuhiraukan air mata yang sudah banjir di pipinya yang
kemerahan. “Hargai pekerjaanku, Bunga! Sebagai pelacur yang kamu lihat rendahan ini, aku
tetap Kakakmu! Hargai aku sedikit saja, Bunga! Mimpiku jadi dokter memang sudah musnah,
tapi aku masih punya mimpi lain. Itu kamu! Mimpiku adalah membahagiakan adikku, membuat
hidupmu jangan jadi seperti aku! Membuat mimpimu yang ingin jadi guru itu terwujud. Aku
rela mempertaruhkan semuanya, termasuk kesucianku, hanya untuk kamu!”

“Aku tidak butuh uang, Kak! Aku hanya ingin kita bersama, merelakan apa yang sudah
terjadi. Kakak tidak pernah mau dengar apa yang aku minta, kan? Sederhana, hanya ingin
keluarga utuh. Hanya ingin Kak Kinan ada di sampingku, selalu. Hanya itu mimpiku sekarang.”

Perselisihan itu membuatku jadi kalut sendiri. Lebih sering murung, terdiam lama
sembari memandang laut, tempat berlari ketika aku sedang ingin sendiri. Tidak merasa sedih,
tidak juga merasa senang. Hanya merasa kosong. Merasa ada sepenggal bagian yang hilang.
Merasa tidak ada lagi yang bisa kuharapkan dari apa itu kehidupan. Tapi semesta selalu punya
rencana. Aku pribadi tidak pernah percaya akan apa itu kebetulan, tidak sampai akhirnya aku
kembali menatap matanya dan kuyakin ia adalah sebagian keinginan dari permohonan yang
dikabulkan. Dia, lelaki itu, Samudra Laut.

Saat melihatku, berulang kali bibirnya mengucap maaf, juga ucapan terimakasih karena
ayahnya sudah mulai berubah berkat ucapanku malam itu. Lalu jadilah sepanjang siang ini,
kami saling lempar kisah. Aku bercerita bahwa aku mulai benci dengan malam. Seluruh
kejadian buruk menimpaku di langit gelap. Ingin rasanya menghabiskan waktu hanya untuk
pagi, yang hangat layaknya mentari. Lepas itu, Sam mengajakku menemui ayahnya. Gelanyar
hangat melingkupi saat ayah Sam memelukku erat. Menghujaniku dengan permintaan maaf.
“Sejak kapan kamu mulai menyukaiku, Ki?” Aku jelas merona, “Sejak kamu bilang
namamu Samudra Laut.” Sam tersenyum, “Jadi aku yang lebih dulu menyukaimu, karena
sebelum aku tahu siapa namamu, aku sudah jatuh cinta.” Lalu, ia menjeda sebentar. “Tapi, aku
tidak bisa menyukai perempuan yang lemah. Hidup ini keras, kita harus tahan banting kalau
mau bertahan di dalamnya. Aku tidak tahu kapan lagi kita bisa bertemu. Tapi, kuharap saat
waktu itu tiba, yang aku lihat adalah Kinan yang berbeda, yang lebih kuat.” Itu percakapan
terakhir kami berdua sebelum ia pergi, entah kemana, entah kapan kembalinya. Ucapannya
terus memenuhi rongga kepalaku. Baru menghilang saat melihat Bunga yang masih
berseragam, membantu nenek menyiapkan makan. Kubuka pintu, menatap mereka berdua.

Bunga yang menyadari ada aku, segera tersenyum. “Kak Kinan mau makan?” Aku
menelan ludah kasar, berusaha membalas tatapannya. “Pipi, itu pipi kamu, masih sakit?”
Sekelibat itu, Bunga tersenyum menggeleng, segera berlari ke arahku. Kami saling memeluk,
tanpa suara, tanpa aba-aba. Isak haru jadi saksi, di dekapan itu, aku menyadari satu hal. Betapa
lancangnya aku, sebagai makhluk bumi, sudah membenci Tuhan yang mengambil semua
kebahagiaan. Aku hanya bisa mengujar kelu, “Maaf, Bunga. Maaf.”

Aku mengunjungi ayah di penjara esok harinya. Tubuhnya terlihat lebih kurus, tidak
terurus. Aku menangis tersedu, kecewa pada diriku sendiri. “Jangan sedih. Terus bermimpi.
Jadi pribadi yang baik. Ayah tahu kalau Kinan sosok kakak yang bisa dipercaya. Jaga adikmu,
ya?” Rasa bersalah menyelimuti perasaanku. Bagaimana mungkin selama ini aku bisa begitu
lepas kendali? Aku sungguh tidak bisa dipercaya. Aku gagal jadi kakak yang baik untuk Bunga.

Semuanya berubah jadi lebih baik terhitung semenjak ucapan Sam. Aku berhenti jadi
pelacur, kembali membangun asa. Meraih mimpi, mengejar cita. Menjadikanku sebagai orang
tua bagi Bunga. Tradisi keluarga itu juga kembali kulakukan. Mengingat puing kenangan dari
masa lalu, atau mengawang jauh bagaimana masa depan. Hingga telepon malam itu membuatku
cukup termenung. “Selamat pagi, Dokter Kinan.” Tak perlu bertanya siapa ia. Karena hanya
ada satu orang yang menyapaku seperti itu di malam hari. Seseorang yang tahu, bahwa aku
benci malam. “Aku sedang di dekat rumahmu, Ki. Mau bertemu?”

Aku tertawa. “Selamat pagi juga, Sam. Aku tunggu di laut, ya? Sepuluh menit tidak
datang, kamu kehilangan aku.”
Nama lengkap : Rizkia Ramadhani

Alamat : Jl. Genie Tentara, Mudal. RT 03/ RW 06, dsn. Sempon, Mudal,
Temanggung.

Email : rizkiar25@gmail.com

No.telp aktif : 085649473183

No. Whatsapp : 085649473183

Instagram : @rizkiaow

Anda mungkin juga menyukai