Anda di halaman 1dari 6

Dasar Manusia!

Oleh: Dhurrotun Nasii’ah

Suara kicauan burung merdu nan sendu, memecahkan suasana pagi yang cerah Bagai alam
yang sunyi penuh kedamaian. Dedaunan yang masih terlelap oleh air embun yang segar. Mentari
mulai menampakkan sinarnya diujung cakrawala, membuat pagi hari semakin indah dipandang.

Dipenghujung musim ramai, seorang laki-laki berpenampilan unik terlihat menenteng


sebuah tas dan menunggu datangnya bus di halte. Ia berpenampilan layaknya seorang yang hendak
melayat. Busana yang serba hitam, mulai dari ujung kepala hingga ujung kaki. Tas yang ia bawapun
ktak luput dari warna hitam. Penampilan yang sangat bertolak belakang dengan pagi pagi kala itu. Ia
lamat-lamat menengadahkan pandangan pandangan ke atas memikirkan banyak hal. Betapa bejatnya
manusia yang menjalani hidupnya seperti bajingan mereka menggong bak suara hujan seakan
tuhan hanya memberikan ujian berat kepada mereka saja, Menyalahkan takdir yang menurutnya
terlalu kejam kepada mereka padahal tuhan memberikan ujian sesuai porsi kemampuannya.
Memenuhi segala ambisinya dengan dalih membenahi “mental health”-nya. Anehnya tidak semua
orang sependapat dengan “ si paling tertekan” ini, ada yang mengiyakan semua keluh kesahnya
terhadap kejamnya takdir dan tidak sedikit dari mereka yang malah menghakimi sepihak. Rulenya
Selalu saja begitu bertingkah seolah tau segalanya padahal peranya hanyalah sebatas penonton.

Lamunannya terhenti oleh datangnya bus yang ia tunggu. Dengan langakah tegap ia segera
memasuki bus dan bergegas menuju kursi bagian belakang. Beruntung kali ini bus yang sedang ia
tumpangi tidak terlalu penuh. Sebenarnya alasan ia suka duduk di bangku belakang itu sederhana ia
hanya suka mengamati tindak-tanduk manusia.

***

Jeddarrrr!!!

Suara petir menggelegar dengan diiringi hujan deras.

“huft… kapan ya hujan berhenti?” aku menoleh kepada kakakku yang sedang berbincang-bincang
dengan kedua orangtuaku. Suasana ruangan yang sedang kutempati seketika gelap sebab terjadi
pemadaman Listrik.

“kalo dilihat dari kondisi diluar, mungkin ini akan lama” sahut ayahku.

“ bentar ya, kakak ambil senter yang ada di Gudang” kakakku berdiri dari duduknya

“ gausah kak, biar aksa aja kan aksa cowok, kakak cewek jadi kakak duduk manis disini aja biar aksa
yang ambilin” terangku sambil berlari ke gudang.

“ck, mana sih” gerutuku sambil mencari senter yang kubutuhkan. Keterbatasan penerangan
membuatku kesulitan mencari senter. Dari ruangan yang ditempati keluargaku sayup-sayup
terdengar suara orang bertengkar dan jeritan.

“nahh!!” seruku saat menemukan senter

Apakah ayah dan ibu bertengkar lagi? Jika iya mengapa? Bukankah beberapa saat lalu hubungan
mereka baik-baik saja?, batinku saat mendengar sebuah benda pecah. Cepat-cepat aku melangkah
untuk melihat apa yang terjadi.

Sraaaakk….
Bunyi gesekan antara benda tajam dengan kulit manusia. Bau anyir menusuk indra penciumanku. Di
salah satu ruangan gelap samar-samar aku dapat melihat ayah, ibu dan kakakku terkapar dengan
bersimbah darah. Di samping mayat mereka tampak seseorang misterius dengan perawakan besar
dan sepertinya berbaju hitam sebab baju yang ia kenakan menyatu dengan kegelapan dengan
membawa sebilah golok berkarat yang kotor akibat darah.

“ayah, ibu… kakak”. Tak kuasa menahan air mataku, pikiranku kalut, tubuhku bergetar menahan
teriakan. Aku berjalan mundur mengendap-endap dan bersembunyi.

“ tenang saja djagat aku akan menjaganya “. Ucap seseorang di ruangan tempat mayat keluargaku
tergeletak yang susul dengan tawa menggema.

“sebentar , mengapa aku tidak melihat putramu? Ooh.. apakah dia sedang bersembunyi dariku?”

Suara derap langkah terdengar begitu jelas menuju tempat persembunyianku. Keringat membasahi
tubuhku.

“tuhan, tolong aku”. Aku tidak berhenti merapal doa sambil berusaha meyakinkan diri bahwa akan
ada keajaiban yang menolongku. Derap langkah itu semakin dekat, aku yang tidak tahu harus
berbuat apa hanya bisa pasrah dengan menutup mata. Beberapa menit kemudian.

“aksa!! Apakah kau disini?” suara seseorang yang begitu ku kenal

“aksa ini paman nak! Ayo keluarlah, tak perlu takut ada paman disini”. Tidak, aku takut, hatiku
semakin gundah.

“ semua sudah baik-baik saja aksa!”. Teriak paman, sepertinya paman benar-benar mencariku.

“ paman!!”. teriakku sambil keluar dari lemari tempatku bersembunyi. Aku berlari dan merengkuh
pamanku. Tangisku pecah seketika, kulihat rumahku sudah dipenuhi banyak orang. Paman
menggendongku yang sedang menagis tersedu.

“ sudah aksa, kamu sudah selamat”. Paman mencoba menenangkanku dengan memberikan segelas
air.

***

Laki-laki tersebut terkejut dengan bus yang tiba-tiba berhenti. Rupanya ia tertidur selama
perjalanannya. Lagi-lagi hal yang sama terjadi, seringkali ia bermimpi dan terbayang-bayang akan
masa lalunya. Helaan nafas keluar dari mulutnya. Ia menoleh ke samping, ternyata bangku
sebelahnya telah diisi penumpang lain.

“bung, apakah ini halte rute 209?”. Tanya-nya pada penumpang disampingnya.

“ ya, benar. Apakah kau hendak turun?”

“tentu, terimakasih telah memberi tahu” ujarnya.

Ia turun dari bus yang ia tumpangi, menghirup udara segar yang tak lama lagi akan berubah menjadi
polusi. Ia berjalan sendiri, menenteng tas hendak pergi ke pemakaman yang tak jauh dari halte
tempat pemberhentianya tadi, suasana pagi ini sedikit sibuk, banyak kendaraan yang hilir mudik
mengantarkan tuanya untuk berangkat bekerja. Tibalah ia didepan pintu masuk pemakaman. Ia
menyusuri rerumputan dengan embun pagi yang tersisa. Hening namun mendamaikan, susana yang
menyelimuti pemakaman pagi itu. Ia berjalan menuju makam keluarganya, duduk dan mengeluarkan
bunga dari tas hitamnya. Tatapanya sayu nan sendu, menuntunya mengingat masa-masa indah kala
itu.

***

Hari ini adalah hari duka dan luka bagiku. Kini, aku bersama keluarga pamanku. Masih disini,
didepan makam orang yang kusayangi. Memandangi nama pada nisan tersebut, berharap ini semua
hanya mimpi.

“ayo aksa kita pulang”. Ajak istri pamanku

“pulang? Kemana?” tanyaku linglung

“pulang ke rumah, aksa tinggal bersama kita ya?” ajak istri paman secara halus.

Sejak saat itulah aku tinggal bersama keluarga pamanku dan selama itulah aku menjernihkan
pikiran bahwa tidak mungkin pelaku pembunuh keluargaku adalah seseorang yang kukenali. Sebuah
tepukan di bahuku membuyarkan lamunanku.

“paman ada apa?” tanyaku heran

“tidak baik melamun apalagi di malam hari seperti ini”

“maaf, aku lupa, bolehkah aku bertanya?”

“tentu saja”

“mengapa keluargaku dibunuh? Mereka salah apa?”

“bukannya paman tidak ingin memberi tahu, tapi tunggulah hingga kau dewasa, maka kau akan
mengerti sendiri”.

***

Sudah 1 jam lelaki itu berdiam diri, sedang berpikir bagaimana ia bisa keluar dari kehidupan
suramnya ini.

“ayah, aku sedang mencari bukti yang kuat untuk kasus ini, walaupun kasus ini sudah ditutup, aku
tidak akan membirkan pembunuh itu begitu saja” ucapnya, ya lelaki itu adalah aksa. Aksa
meninggalkan pemakaman setelah banyak berbicara kepada mendiang keluarganya. Berharap
mereka bisa mendengarnya dari atas sana.

Panas matahari yang Terik menyengat kulit aksa. Ditambah dengan pakaian hitam yang ia
kenakan bersifat menyerap Cahaya. Ia berbelok ke arah cafe yang tak sengaja ia lihat. Sekedar untuk
mendinginkan tubuhnya yang terasa panas. Ia memesan segelas minuman dingin dan menyalakan
ponsel miliknya. Hari ini ia harus segera menuju kantor. Ia tak berniat beranjak dari cafe tersebut.

Ting ting ting

Sebuah dentingan notifikasi beruntun tertera pada layar ponsel miliknya. “pasti Helga”
kesalnya, Helga adlah sepupu aksa yang berarti anak dari pamannya. Ia segera melihat notifikasi pada
ponselnya. Namun dugaanya salah, bukan helga melainkan seorang wanita yang menurutnya
berharga. Wajah yang sedari tadi ditekuk hilang berubah menjadi wajah yang sumringah. Segera ia
menjawab panggilan telepon dari ponselnya.

“halo” sapanya memulai percakapan


“ aksa! kau tau tidak?!” teriak seorang Wanita dari panggilan telepon tersebut. Aksa menjauhkan
ponsel dari telinganya.

“ tidak, kau belum memberi tau run”

“ hehehe, aku baru saja menemukan sedikit bukti lainya!”. Tak dapat dipungkiri rasa senang
menyeruak dalam hati aksa, bibirnya berkedut menahan senyum.

“kau menemukanya lagi!?” kagetnya tak percaya

“tentu saja, kau lupa aku ini pintar mencari informasi loh”

“haha, iya aku lupa maaf. Tapi kenapa kau sangat bersemangat?”

“aku seperti ini karena kau aksa!” jawabnya menggebu-gebu semburat merah muncul dipipi aksa.

“eh… itu bukan… eh anu…. Maksutku kau pernah membantuku kan, jadi… mungkin aku bersemangat
karena itu” jawab aruna, ia gugup sebab tak ada jawaban dari lelaki yang ia hubungi.

“kenapa kau gugup aruna?” tanya aksa dengan intonasi setenang mungkin.

“bisakah kita bertemu? Aku akan memberikan laporanya” ujar aruna mengganti topik.

“baik, temui saja aku di café yang tak jauh dari pusat perbelanjaan”

“bukankah kau sekarang waktunya kau bekerja?”

“aku malas”

“oke tunggu, aku akan segera datang”. Sambungan telepon mereka pun terputus.

Tak lama kemudian datang seorang Wanita berambut pendek yang sedari tadi dinanti-nanti
kedatanganya oleh aksa.

“aksaa!!” teriak Wanita tersebut kepadanya

“aruna, jangan berteriak di tempat umum seperti ini” tegur aksa

“ hehe, kita sudah lama tidak bertemu karena kau terlalu sibuk bekerja. Apakah kau tidak rindu
padaku?” gerutu aruna. Aksa hanya terseyum mendengar perkataan Wanita itu.

“maaf, akhir-akhir ini aku sibuk mengurusi masalah Perusahaan yang membuatku pening sampai aku
lupa bahwa ada urusan lain yang harus kulakukan” terangnya, aruna hanya mengangguk-angguk
sebagai jawaban.

“jadi, bagaimana dengan buktinya?”

“oh ya, ini dia!” tunjuk Wanita itu pada tas yang ia bawa

“bukti bahwa dia pelakunya sangat kuat. Kau sudah menemukan tempat perencanaan dis bukan?
Dan kau juga tak sengaja mendengar percakapanya dengan seseorang saat ditelpon” terang aruna
sambil mengeluarkan map cokalat dari tasnya.

“dia juga menjadi pecandu narkoba dan melakukan perdagangan organ manusia di pasar gelap” aksa
membuka map coklat yang diberikan aruna. Ia terkejut dengn apa yang dinyatakan aruna baru saja
dan melihat beberapa foto yang aruna dapatkan.
“aku sudah menyewa pengacara dan mengajukan kasus ini pada pengadilan” aksa tersenyum dan
mengangguk, tidak salah ia mempercayai aruna sebagai patnernya.

“terimakasih, kau sudah banyak membantuku sekarang urusan dia serahkan padaku. Kau hanya perlu
menjaga bukti ini bila terjadi apa-apa padaku” ucap aksa

“maksut kau apa?” ada perasaan yang mengganjal di hati aruna

“jika aku yang membawa bisa saja dia mengambil dan menghilangkan bukti-buktinya kan?” jawab
aksa.

“ah iya! Tentu saja!” jawab lia dengan penuh semangat.

Aksa tiba dirumah setelah berjam-jam menghabiskan waktu bersama aruna. Keadaan rumah
sepi taka da orang sama sekali. Ia menyusuri lorong rumah yang ia tinggali. Ornamen rumah paman
di desain sama seperti rumah orangtuanya yang dijual pamanya 5 tahun lalu. Ia berjalan menuju
kamar sang paman, berniat akan mencari berkas Perusahaan yang harus ia kerjakan. saat ia mencari
tiba-tiba saja sebuah map usang terjatuh karena tersenggol olehnya. Lantas ia mengambil dan
membukanya karena rasa ingin tau yang tinggi. Betapa terkejutnya saat aksa mengetahui isi dari map
usang tersebut.

“bagaimana? Sudah tau jawaban dari semua pertanyaanmu?” ucap seseorang yang pasti aksa kenali
dari arah belakangnya.

“paman?”. aksa segera menghampiri sang paman dengan tangan terkepal.

“aku sudah tau semua tentang kau paman!, tapi aku tidak pernah menyangka kau akan melakukan
hal sekejam ini!?” geramnya, ia mengangkat tinggi-tinggi map ia bawa.

“kau membunuh dan menjual seluruh organ istrimu sendiri? Apa kau gila? oh… tentu saja! Tapi
dimana akal sehat kau sampai tega melakukan itu pada istri kau sendiri hah?!” cerca aksa yang tak
kuasa menahan emosinya.

Bug….

Satu pukulan mendarat di perut sang paman.

“kau membunuh keluargaku hanya karena harta dan sekarang kau membunuh dan memperjual
belikan organ tubuh istri kau! Parahnya kau menyatakan bahwa ia kabur bersama selingkuhanya?!
Dimana rasa kemanusiaan kau?!” wajah aksa memerah, ia mengeluarkan segala yang ia pendam
beberapa tahun belakangan.

“hahahahaha, kenapa? Terkejut?” ucap paman tanpa rasa bersalah. Ia menodongkan pistol kearah
aksa.

“rencana terakhirku, membunuh kau dan Helga sebentar lagi terwujud”

“gila” kecam aksa.

“tenang, aku sudah menyetorkan namamu ke pengadilan dan aku memiliki bukti yang kuat untuk
menjebloskan kau kedalam penjara” ucap aksa dengan senyum penuh kemenangan.

“haha, itu tidak akan pernah terjadi bila kau mati malam ini”

Ceklekk.. dorr! dorr! dorr!


Aksa kalah cepat dengan peluru yang melesat dari pistol milik pamannya. Darah keluar
begitu saja dari balik bajunya. Paman tertawa puas menyaksikan hal tersebut.

“setelah ini tidak ada yang bisa menggangguku dasar parasit!” hardiknya pada aksa yang sedang
menahan rasa sakit yang menjalar di tubuhnya.

“kenapa belum datang” gumam aksa

Braaakkk!!!

“angkat tangan! Anda ditahan atas tindak kejahatan yang anda perbuat”. Polisi datang dan segera
mengamankan paman. Paman sempat memberontak tak terima.

“dasar bajingan! Bisa-bisanya kau merencanakan hal busuk seperti ini” teriak paman. Aksa meringis
melihat tingkah paman.

“aksa, aksa.. kau tidak apa-apa?!” aruna datang dengan cepat berlari kearah aksa

“aku tidak apa-apa aruna” jawabnya halus sambil memegangi luka yang tak ada hentinya. Aruna
menangis melihat kondisi aksa.

“tidak, kau sedang tidak baik-baik saja aksa” sendu aruna

“kau tau run? Aku senang bisa membalaskan apa yang dulu dirasakan keluargaku. Aku merasa lega
bisa melakukan ini semua dengan baik” tangannya terangkat mengusap kepala kepala aruna.

“aku tak masalah dengan luka ini, aku merasa apa yang kulakukan sudah benar, tujuanku sudah
selesai”

“tunggu ambulans datang! Kau harus tetap bangun”. Air mata aruna mengalir deras tak ada hentinya

“mengenalmu adalah hal terindah di hidupku. Aku berharap suatu saat nanti kita dapat
dipertemukan Kembali. Terimakasih aruna”. Sudut bibir aksa terangkat membentuk senyuman
menenangkan yang tak pernah ia tunjukkan sebelumnya, bersamaan dengan hembusan nafas
terakhir, penutup hidup aksa yang terlalu menyakitkan baginya.

__TAMAT__

Anda mungkin juga menyukai