Anda di halaman 1dari 5

HURRY

Karya : Farah Najla Azhari Bako

Mengapa ini harus terjadi kepadaku? Aku merasa sepasang mata mengawasiku dari
kejauhan. Semua dimulai setelah hari itu, hari dimana aku melihat tubuh pria dengan
wajah tersenyum namun tidak dengan kondisi tubuhnya.

Malam itu, aku sedang berjalan pulang dari kuliah malamku.

Drrrt.... drrrt .....

Ponselku berbunyi, ternyata ibuku yang menelpon.

“Halo ibu, ini sedang jalan pulang.... 5 menit lagi tiba bu...udah dulu ya bu”

Pantas saja ibu menelpon, ternyata sudah pukul 11.27 WIB. Aku langsung saja
mempercepat langkahku, tiba-tiba terdengar jeritan dari sebelah kananku. Tubuhku
mematung, kucoba menghiraukan suara itu, namun entah mengapa rasa penasaran
menguasai tubuhku. Kakiku melangkah menuju sumber suara, aku mulai menyusuri
hutan lebat dengan cahaya minim yang berasal dari handphone-ku.

Langkahku berhenti, bau amis menyeruak membuat indra penciumanku meringis.


Pandanganku menangkap tubuh seseorang terbaring tepat di bawahku. Aku
memicingkan mata mencoba memperjelas pandanganku yang buram akibat malam yang
gelap. Jantungku berdetak cepat sekali, keringat bercucuran disisi wajahku.

“Sial, aku harus cepat pergi”, batinku.

Pikiranku kalut, kakiku mendadak lemas setelah melihat mayat terbaring


mengenaskan. Tepat saat aku hendak berlari, aku menangkap bayangan seseorang
dengan palu di tangan kirinya. Aku tidak dapat melihat wajahnya. Namun satu hal yang
pasti, dia pasti pelakunya.

Aku berlari menjauh, tanpa memandang ke belakang. Sebentar, aku tidak mendengar
langkah kaki selain diriku.

“Apa dia tidak mengejarku lagi?”, pikirku.

Aku menghentikan langkahku, menyadari di depanku terlihat banyak orang


beraktifitas. Tanpa kusadari rumahku sudah terlihat. Aku bergegas memasuki rumahku,
hingga membuat ibu terkejut.

“Kamu ini! Ibu kira maling tadi”

“Maaf bu”
“Lama banget pulangnya nak, jadi takut ibu”

“Ada praktek lapangan bu, ”

“Lain kali usahakan pulang cepat ya nak, banyak penjahat di luar sana bisa lakukan hal
buruk padamu. Tidur sana, ini sudah larut.”

“Iya bu, Dita tidur duluan ya bu”

“Iya nak”

Tok...tok....tok....

“Ayah pulang!” ucap ayah sambil membuka pintu rumah.

Aku yang baru saja duduk langsung berdiri dari kursi belajarku, dan berlari
menghampiri ayah.

“Jarang sekali ayah pulang setelat ini”, pikirku.

“Ayah tumben pulang lama?”

“Tadi ada rekan kerja meminta bertemu, malah keterusan mengobrol. Tidak sadar sudah
tengah malam."

“Oh begitu”

Malam itu, aku tidak dapat memejamkan mata. Ingatan tentang tubuh itu terus
berputar di kepalaku. Hingga akhirnya, aku terjaga sampai pagi dengan lampu menyala.
Mataku bengkak dengan lengkungan hitam dibawahnya. Aku menutupinya dengan
foundation, membuat mata pandaku tersamarkan. Aku sarapan dengan cepat dan segera
berangkat.

“Dita berangkat ya bu”

“Hati-hati nak”

Aku segera mencium tangan ibu, hingga tidak sadar ayah telah memperhatikanku
dengan senyumnya yang tidak biasa.

“Dita pergi ya, yah”

“Iya nak”

Ting....ting....

Handphone ayah berbunyi, walau aku tidak dapat melihat semua. Ada satu pesan
yang tertangkap olehku.
“Bagaimana kemarin malam, sangat seru bukan?”

Napasku tertahan, pikiranku mencerna pesan itu. Ayah menyadari aku telah
mengintip handphone-nya, dia segera mengambilnya.

“Berangkat sana nak, nanti kamu terlambat. Apa perlu ayah antar kamu?”

“Tidak perlu ayah, aku bisa sendiri, halte bus disini dekat banget dari rumah”

“Baiklah kalau begitu, hati-hati nak”

“Iya ayah”

Setibanya di kampus, aku segera memasuki kelasku. Mataku tertuju pada pacarku
yang sedang bercanda ria dengan teman sebangkunya. Aku segera menghampirinya,
tiba-tiba ingatan kejadian kemarin malam terlintas di kepalaku.

“Apa aku beritahu saja?”, pikirku.

Aku segera menggelengkan kepala, sebaiknya kuberitahu setelah ingatan itu tidak
menggangguku lagi. Saat aku hendak melangkah menuju pacarku, bahuku ditepuk oleh
seseorang. Aku segera menoleh kebelakang untuk mencari tahu siapa itu.

“Hai Dita”

Ternyata Chelsea, teman dekatku sejak aku duduk dibangku SMA.

“Aku terkejut tau, kalau mau menyapa pakai aba-aba dulu”

“Sorry sengaja”

“Euh, gak aku kasih contekan lagi kamu”

“Eh jangan dong, dirumahku ada kucing baru, mau lihat tidak?”

“Mauu, tapi aku ada janji kencan nanti sore”

“Pacaran mulu, iya deh yang lagi bucin”

“Maaf ya, besok saja aku kerumahmu ya chel”

“Iyaa”

Aku segera menghampiri Dion, pacarku.

“Pagi Dion”

“Pagi hun”

“Hari ini jadi kan?”

“Jadi sweetheart”
Sore ini aku dan Dion berkencan. Menghabiskan hari dengannya sungguh
menyenangkan. Aku dan Dion membeli ice cream cup, aku membeli rasa chocolate,
sedangkan Dion membeli rasa blueberry.

“Kamu mau rasa, by?

“Mauu”

Dion menyuapiku dengan tangan kirinya, saat aku hendak memberikan pendapatku,
aku melihat ayah dengan seorang wanita disampingnya.

“Mmm, en- ayah?”

“Ada apa, by?”

“Gak ada, aku mau pulang aja”

“Kamu sakit ya, muka kamu pucat, yaudah kita pulang aja”

Akhirnya aku paham arti dari pesan itu. Saat itu aku tidak sadar, Dion dari tadi telah
memperhatikan ayah dengan wanita yang terlihat berumur 20 tahun itu.

“Aku pulang sendiri aja”

“Aku bisa antar kamu”

“Gak apa-apa, lagian ini sudah malam, rumah aku juga jauh banget dari rumah kamu.
Nanti kamu sampai dirumah tengah malam lagi, aku pulang pakai bus saja”

“Maaf ya by, aku pulang dulu. Hati-hati, kalau sudah tiba kabari aku”

“Iya, kamu juga hati-hati”

Di dalam bus, aku terus saja mengingat kejadian sore tadi. Hingga tidak sadar, bus
sudah berhenti. Aku harus berjalan kaki sekitar 10 menit untuk tiba dirumah. Deja vu,
pikiranku mengingat kejadian kemarin malam. Terdengar suara berisik, tetapi aku terus
saja berjalan lurus menghiraukan suara yang tidak jelas itu.

“Sial, suara itu lagi”, gumamku.

Suara teriakan pria menggema di kananku, aku bersiaga mengambil ranting pohon
yang jatuh didekatku. Aku berjalan menuju hutan lebat ini, yang kedua kalinya.

“Ayo maju, itu dirimu lagi kan. Aku akan memanggil polisi, sekarang kau akan
tertangkap sialan”

Bodohnya diriku, aku menantang seorang pembunuh dengan kedua tangan kosong.
Tepat didepanku, aku melihat tubuh seseorang yang kukenal, terbaring tidak bernyawa.
Aku sangat berharap itu bukan yang kupikirkan. Aku coba mendekati mayat itu.
Jantungku berdetak kencang sekali, air mataku lolos begitu saja. Aku berteriak sekuat
mungkin, tanganku menepuk pelan wajah ayah, benar itu ayahku.

“SIAPA KAU? KENAPA KAU MEMBUNUH AYAHKU?! AYAHKU SALAH APA?”

Seorang pria dengan wajah tersenyum manis keluar dari persembunyian. Kakiku
lemas melihatnya.

“Hai sweetheart”

****

Aku menutup mulutku yang sedang terbuka lebar karena mengantuk. Aku segera
menyimpan ceritaku dan menutup laptop.

“Akhirnya selesai juga bab ini”

Anda mungkin juga menyukai