Anda di halaman 1dari 3

Dari kecil aku sering mengalami peristiwa-peristiwa buruk, terutama yang berhubungan dengan

cerita mistis. Unsur unsur suatu hal yang sering membuat bulu kuduk berdiri. Nerasakan aura yang
bisa

diibaratkan seperti sebuah ujung magnet yang saling bertemu, maka yang terjadi adalah ada
semacam energi tak terlihat menimbulkan suatu reaksi. Aku harap bacaan ini tidak terlalu rumit bagi
siapa saja yang membacanya. Sebelum membaca, alangkah lebih baiknya mencari teman. Pastikan
juga teman yang sekarang ada di sampingmu saat ini adalah seorang manusia. Jangan sampai
seseorang disampingmu itu adalah makhluk kasat mata yang kamu sendiri tidak tahu apa dan dari
mana asalnya.

Akhirnya selesai juga acara pengajian keliling ini. Aku heran sekali mengapa tadi sewaktu datang
bersama teman-teman mata ini terbuka lebar. Tapi setelah sepuluh menit pengajian ini berlangsung
mulanya hanya sering menguap, mata semakin berat, terakhir Mbak Reni mencubit lenganku. Mata
ini langsung terbuka lebar, pas sekali Bu Tutik membaca salam terakhir. Untunglah, batinku.

Sepertinya bukan aku saja yang ingin bergegascepat pulang Kala pukul sembilan malam sudah
seharusnya para anak--khususnya anak gadis-sudah ada di dalam rumah. Tapi entah mengapa dan
siapa juga yang mengadakan pengajian keliling antarkanspung in Mengapa juga selesai selarut ini,
untung besok adalah hari minggu Anchnya, mengapa aku juga ikut dalam rombongan ini?

Mbak Hakni, Ninik, Lia, Mbak Siti dan Mbak Reni sudah lari entah ke mana. Sementara aku masih
mencari sandal. Hampir semua orang berebut sandal, sekitar 50 orang tadi Mbak Yati menyebut
daftar hadir. Itu pun kalau tidak salah dengar. Nah, ketemu juga sandalnya.

Lok, ke mana perginya mereka, teman-teman? Pojok kanan dan kiri sudah aku tengok tapi
keberadaan mereka tidak terlihat. Warna kerudung mereka juga tidak nampak. Nasib, mengapa aku
selalu dilupakan? Mungkin karena keburu larut, mereka langsung berlari. Jarak kampung itu dengan
tempat tinggal sekitar 500 meter, pun harus melewati bagian paling tergelap, tanah kosong milik
siapa aku tidak tahu namanya.

Aku terus berlari dari lokasi pengajian. Aku tidak berpikir apapun saat itu, hanya takut nanti dimarahi
ibu kalau tahu pulang terakhir. Walau bukan sepenuhnya salahku, seperti biasa ibu tidak mau tahu.
Langkah kaki, ayolah lebih cepat sedikit. Wajah marah ibu sudah ada di pelupuk mata. Apalagi
tangannya ketika mencubit lengan, sakitnya tuh di sini!

Ada yang memanggil namaku. Sentak aku menoleh dan kakiku berhenti begitu saja. Pasti sudah
dekat dengan gerombolan teman teman yang tega meninggalkanku. Akhirnya ketemu mereka juga.
Lega rasanya, aku tidak dimarahi ibu. Aman sudah lenganku dari cubitannya.

Kok nggak ada orang? Ah, sudah ditinggal. Masih saja mereka tega mengerjai. Aku berada di sudut
gelap jalan itu, tepatnya tanah kosong yang gelap. Udara dingin masuk ke sela-sela kain baju yang
tertutup. Tidak ada orang sama sekali. Lalu siapa yang memanggilku? Tunggu, tadi itu bukannya
suara seorang lelaki? Jangan-jangan begal? Tapi mau begal apanya, harta sama sekali tidak bawa.
Hanya uang Rp 2.000 saja tadi kembalian kas pengajian. Alquran aku peluk erat. Ya Allah, jauhkan
aku dari begal.

Postur tubuhnya sedikit kurus, bajunya kuning menyala, kali ini beneran menyala seperti
Cahaya muncul dari bilik pos ronda, ada orang. lampu. Rambutnya keriting kruwel seperti rambut
artis Edi Brokoli. wajahnya putih sekali. Dia berdiri di hadapanku. Jaraknya sekitar 50 meter lebih.
Aku tidak lihat jelas

wajahnya, hanya sebuah senyuman yang panjang, kali ini beneran panjang, bibirnya melebar hingga
ke telinga. Ih, aku merinding nulis ini.

Alquran kecil masih dalam pelukan. Kembali meneruskan perjalanan yang tadinya seperti orang yang
lagi kebelet. Aku membalikkan badan pundak belakang sebelah kiri seperti ada yang menyentuh,
sakit sekali. Kepala menoleh lagi, orang itu masih berjarak sama seperti pertama kali terlihat.
Seketika langkah kaki kembali bertenaga. Sekuatnya berlari seperti kesetanan, memang keseranan,
setelah sadar bahwa orang itu tidak berkaki.

"Titis!!" suara Mbak Siti

Aku berlari memeluknya, menangis sejadi-jadinya. Di samping nanti takut dimarahi ibu, aku tadi lihat
setan, hantu, atau memedi, atau apalah namanya. Dari jenis mana dan apa, entahlah. Yang jelas
rasanya menakutkan.

"Nopo nangis?" Mbak Reni mengelus kepalaku.

"Setaaann!"

Telunjukku mengarah pada seseorang tadi.

Sontak mata mereka saling beradu dan mereka berteriak kencang. Tangan Mbak Siti menarikku
kencang sekali. Roknya diangkat tinggi agar bisa lari lebih cepat. Aku berlari seperti tidak punya kaki,
lemas, kaget, takut, pokoknya semua itu diudek jadi satu.

Sejak saat itulah, pundak sebelah kiriku sering terasa sakit, apalagi kalau berbicara tentang hal mistis
seperti sekarang ini. Rasanya sama persis seperti waktu itu. Bahkan, saat menulis ini pun, masih
sama sakitnya.

Hari ini waktu bermain banyak tersita. Ibu memintaku mem bantu membuat kue untuk acara
pernikahan tetangga. Lokasi rumahnya tidak terlalu jauh. Karena di sana tidak ada tempat, maka
diputuskan pembuatan kue dilakukan di rumahku. Hal ini sangat merepotkan.

Sudah jam sepuluh malam. Bukannya disuruh tidur malah aku disuruh nganter roti ke tetangga.
Jalanan kampung sudah sangat sepi. Meski masih terdengar sayup-sayup suara Mas Bordin nyanyi
lagu "Kandas". Tapi hampir dipastikan tidak ada orang sama sekali, minimal sampai belokan
perempatan di depan sana.

"Bude, ini roti dari ibu," kataku polos sambil menyerahkan nampan berisi roti yang siap saji itu.

"Ya, Nduk. Makasih ya." Bude Wardi menerima nampan roti.

"Bude, aku pamit, njih."


Langsung saja aku berlari keluar. Ingin cepat-cepat makan pinggiran roti gosong yang masih panas.
Kata ibu boleh makan pinggiran roti. Rasanya krenyes di mulut, ditambah sedikit krim dan meises.
Mumpung masih panas, baru saja keluar dari oven.

"Titis."

Gerak refleks berjalan sangat cepat dan tanggapan terjadi secara otomatis terhadap rangsangan
tanpa memerlukan kontrol dan otak Kepalaku menoleh begitu saja tanpa disadari. Aku melihat ada
orang yang sedang berdiri di balik pagar tanainan teh tehan. Mataku terkunci pada sesosok putih itu

"Titis."

Pria itu memanggilku sekali lagi. Kali ini seluruh tubuhku terkunci. Aku tatap pria itu, wajahnya
tertutup semak tepat di pintu gerbang tetanggaku. bukan tetangga yang menikah. Dari atas hingga
bawah aku perhatikan secara seksama. Mungkin aku terdiam di situ selama beberapa menit.

"Titis."

"Apa?!"

Aku langsung bergegas lari setelah menyadari seluruh tubuh pria itu terbungkus kain putih dengan
empat ikatan. Pertama di atas kepala. bawal leher, bawah tangan yang bersedekay dan ujung
kakinya. Kain pada kakinya terlihat lusuh kotor terkena tanah liat khas, kuburan. Pocooonggggg!
Lagi-lagi kaki ini berlari secepat yang aku bisa.

Sampai di rumah ada Mas Angga dan Riska, mereka tetangga depan rumahku yang juga ikut
membatu membuat kue. Dadaku berdebar sangat keras. Mulutku bergetar. Ketika akan bercerita
tentang apa yang aku lihat beberapa menit lalu, mulut ini selalu salah berucap. Pikiranku saat itu
hanya dipenuhi rasa takut.

Konon, jika sedang ada hajatan, terutama pernikahan, ketika malam hari sebelum acara dimulai dan
ada seseorang yang lihat hantu, maka pernikahannya tidak akan langgeng. Awalnya aku pikir itu
hanyalah mitos belaka. Namun sejak pernikahan itu, tetanggaku tidak pernah bahagia. Wajahnya
yang dulu sangat cantik, sekarang berubah seperti orang tua. Untuk seumuran tetanggaku itu
wajahnya sudah seperti nenek tua. Buah hati hasil pernikahan tersebut pun juga tidak bahagia. Dari
kecil hingga sekarang dia sudah kenyang dengan kekerasan yang dilakukan oleh ayahnya. Bahkan,
sekarang ini tetanggaku itu sudah bercerai dan sulit sekali mendapatkan pendamping lagi.

Malah keesokan harinya setelah pertemuanku dengan makhluk itu, timbul fitnah dari Bude Wardi.
Beliau menfitnah ibuku yang sudah lelah dari pagi hingga malam membuat kue. Dia menyebarkan
gosip kepada seluruh warga bahwa ibu korupsi semua bahan adonan roti. Gegerlah seisi kampung.
Yang punya hajat sampai datang minta maaf ke rumah sambil nangis.

Anda mungkin juga menyukai