Anda di halaman 1dari 14

Broken Life

Bahagia…

Kapan kata sederhana itu berpihak padaku?

Kenapa tuhan membenciku?

Untuk apa aku diciptakan?

Hanya untuk dibenci?

12/12/12. Kejadian dihari itu takkan pernah kulupa. Peristiwa terbesar yang pernah
menimpaku selama 14 tahun ini. Saat itu, kami berkumpul. Mama, Papa, dan aku. Tak ada
yang bisa mengutarakan perasaanku. Rasanya lebih bahagia dibanding memiliki seribu
batang emas. Kalian tak tahu seberapa mahalnya kebersamaan kami, karena kesibukkan
orang tuaku. Kami makan bersama, bercanda bersama, bersenda gurau bersama-sama.
Rasanya aku baru dilahirkan kembali. Hingga suatu hari, orang tuaku bertengkar hebat.
Mereka berteriak, saling membentak satu sama lain. Aku hanya meringkuk dibalik selimut,
sambil terisak. Terdengar keributan dari luar kamar. Suara barang-barang pecah atau benda
keras yang jatuh ke lantai. Aku sama sekali tidak tahu masalah apa yang membuat mereka
bertengkar. Aku tak habis pikir, padahal tadi baru saja mereka membuatku tertawa. Kenapa
tuhan? Kenapa semua ini harus berakhir begitu buruk?

Kukerjap-kerjapkan mataku, sebelum akhirnya benar-bernar terbangun. Seketika aku


terduduk diranjangku. Ah, rupanya aku tertidur semalam. Bagaimana dengan Mama dan
Papa? Semoga mereka sudah akur lagi, atau mungkin Papa akan tidur di sofa, seperti dulu.
Perlahan, aku turun dari tempat tidur dan menuju ruang keluarga.

Ruangan ini sangat berantakan, kursi-kursi yang terbalik, tirai jendela yang lepas, dan
barang-barang lain dilantai. Namun tiba-tiba mataku tertuju pada sesuatu. Sesuatu yang kau
takkan percaya apa yang kusaksikan. Mataku terbelalak, keringat dingin bercucuran dari
tubuhku, kakiku lemas.

“MAMA!” aku berlari menghampiri wanita cantik yang kini terbaring tak berdaya
dengan darah mengucur dari seluruh tubuhnya. Ketika aku baru mengangkat pundak Mama,
tiba-tiba kepala Mama terlepas dari lehernya. “KYAA!” aku menjerit sejadi-jadinya. Dengan
tubuh dipenuhi darah dan air mata yang mengucur deras, aku berlari keluar rumah mencari
pertolongan.

Suara ambulans yang memekikan telinga terdengar disepanjang jalan saat aku dan
beberapa tetanggaku yang membawa Mama ke rumah sakit. Aku tahu Mama tidak akan
tertolong dengan kondisi seperti ini. Itu artinya, aku telah kehilangan seorang perempuan
yang paling aku cintai didunia ini. Dan Papa? Entah dimana dia sekarang.

Setelah proses pemakaman Mama selesai, aku menjadi saksi di kantor polisi. Aku
mengutarakan kejadian semalam sebisaku. Sama sekali tidak peduli dengan rambutku yang
kusut, bajuku yang masih penuh darah, bahkan bibirku yang memutih, pucat. Menurut polisi,
kepala Mama dipenggal dengan samurai yang tergeletak disamping mayat. Itu samurai dari
Jepang yang Papa bawa dulu. Dikepala Mama juga ditemukan bekas pecahan vas bunga. Dan
kemungkinan besar, Papa adalah pelakunya, dan sekarang menjadi buronan polisi.

Kubuka mataku perlahan, kudapati diriku terbaring di sebuah ranjang. Dari suasana
ini, ini pasti rumah sakit.

“Syukurlah kau sudah bangun,” kata seorang remaja sambil tersenyum lembut, yang
berhasil membuatku menoleh kearahnya. “Kemarin, setelah diinterogasi polisi, kau tiba-tiba
pingsan,” ujarnya lagi. Aku hanya diam seribu bahasa. Aku bahkan tak pernah melihatnya.

Rasanya aku baru diangkat ke lapisan langit tertinggi, lalu dihempaskan lagi ke
samudera terdalam. Oh tuhan, kenapa? Baru beberapa detik kau berikanku senyuman, namun
semua kejadian mengerikan ini tiba-tiba terjadi.

Beberapa hari setelah kejadian itu, aku tetap di rumah sakit, bersama seorang laki-laki
yang entah siapa, darimana, dan aku juga tidak ingin tahu. Aku masih shock. Benar-benar
shock. Ia dengan telaten mengurusku, menyuapiku, juga membersihkan barang-barangku.
Hingga suatu hari aku mendengar kabar bahwa Papa ditemukan tewas gantung diri di sebuah
apartemen. Polisi menduga Papa stress karena menjadi buronan polisi dan masih shock
setelah membunuh Mama. Menurut polisi, pembunuhan Mama dilakukan tanpa rencana. Aku
tidak diizinkan menghadiri pemakaman Papa, karena kondisiku masih drop, dan mungkin
dengan melihat keadaan Papa aku bisa semakin drop.
Sekarang aku benar-benar seperti orang gila. Aku masih berumur 14 tahun dan
kehilangan orang tua dengan cara mengenaskan. Entah ingin tinggal dimana, dengan siapa.
Rasanya aku sudah mati, dan lupa caranya bersyukur.

Setelah satu minggu lebih di rawat di rumah sakit, akhirnya aku diizinkan pulang.
Entah pulang kemana. Aku dibawa oleh laki-laki itu ke sebuah apartemen. Aku menurut saja.
Dia menunjukkan kamarku, dan aku hanya mengangguk, tanpa sepatah kata pun.

“Bersiaplah, kita makan di luar, aku ingin bicara penting denganmu,” katanya
sebelum kemudian keluar dari kamarku. Aku tak ambil pusing, langsung saja aku mandi dan
mengenakan baju yang ada di tasku, kemudian keluar kamar. Nampaknya dia sudah
menungguku. Begitu menyadari kehadiranku, ia langsung bangkit dari duduknya, dan keluar
apatemen. Aku mengekor dibelakangnya.

Dia membawaku ke sebuah restoran Jepang. Hm, aku pernah ke restoran ini, restoran
besar yang cukup terkenal. Kami memesan makanan, kemudian dia membuka percakapan.

“Bagaimana kondisimu? Sudah lebih baikkah?” tanyanya.

“Langsung ke topik pembicaraan,” kataku, tidak ingin basa-basi.

Ia tertawa renyah, “ Kau tahu siapa aku?”

“Remaja aneh dengan gigi dipagar dan rambut landak yang ditutupi pomade,”
jawabku asal.

“Hei, hei. Bagaimana kau tahu aku dijuluki rambut landak?” aku diam. “Ok, langsung
saja, aku, laki-laki yang kau bilang aneh dan rambut landak ini, adalah ‘kakak kandung’mu,”
ia menekan kalimat ‘kakak kandung’.

DEG! Hei, hei, apalagi ini? Entah ini kabar baik atau buruk. Mama dan Papa pernah
bilang kalau ia telah meninggal karena kecelakaan mobil.

“Ok, jadi begini. Mungkin sedikit terdengar dramatis tapi ini benar-benar terjadi. Saat
itu aku dan om Damrick sedang pergi jalan-jalan untuk membeli sesuatu, lalu tiba-tiba mobil
kami tergelincir ke jurang. Saat itu om Damrick ditemukan tewas, namun aku hilang.
Sebenarnya aku hanyut terbawa air sungai, hingga ada orang desa yang menemukan dan
menolongku. Setelah itu aku hidup bersamanya hingga suatu saat aku memutuskan untuk
merantau ke kota. Aku ingin mencari Mama dan Papa. Namun saat aku menemukan mereka,
mereka tidak percaya aku adalah anak mereka sendiri. Memang terakhir kali kita bertemu
saat aku kecil sekali dan sekarang wajahku jauh berbeda. Aku benar-benar diusir, hingga
akhirnya suatu hari tante Karen mengabariku kondisi keluarga kita saat ini,”

Dia sukses membuatku terpaku diam. Antara percaya dan tidak percaya. Semua
kejadian ini terlalu cepat. Mama dibunuh, Papa bunuh diri, dan aku menemukan lagi kakak
kandungku yang hilang. Entah kenapa, rasanya tubuhku bergerak sendiri. Aku berdiri dan
memeluknya, kemudian menangis.

“Calm down cupcake, I’m here,” katanya sambil mengusap lembut rambutku.
Cupcake? Sudah lama sekali aku tidak mendengar panggilan kesayanganku saat kecil. Aku
semakin yakin ia kakak kandungku.

Hari ini, aku bangun pagi untuk sekolah. Ke sekolah baruku, untuk mencari teman
baru, dan suasana baru agar aku tidak terus menangis di kamar. Dick, kakakku telah memilih
sekolah terbaik untukku didekat rumah. Setiap pagi aku akan berangkat diantar oleh supir.
Aku sangat berterima kasih kepadanya.

“Good morning, princess.” Suara itu membuatku menoleh. Dick tersenyum di


ambang pintu kamarku.

“Morning too, prince,” kataku berusaha mengimbangi kalimatnya.

“Ayo sarapan, lalu aku akan mengantarmu ke sekolah,”

“Kau?”

“Of course. Hari ini aku masih cuti, aku akan mengantar tuan putri ke sekolah,”

Dick, dia sungguh baik hati. Bahkan dia membuatkan sarapan kesukaanku. Lasagna
buatannya sungguh lebih nikmat dari restoran manapun. Setelah sarapan, ia mengantarku
dengan mobilnya, sampai ke depan gerbang sekolah.

“Have a nice day, honey,” Dick membuatku tersenyum, ia selalu memanggilku


dengan kata-kata kesayangan, dan aku suka itu.

Aku memulai hariku di sekolah baru dengan ceria. Teman-teman sekelasku sungguh
ramah. Bahkan aku mulai dekat dengan beberapa teman, seperti Safaa, Malik, dan Niall.
Safaa dan Malik adalah kakak adik muslim. Tapi mereka tetap bisa bergaul dengan kami.
Seminggu ini, kami selalu bersama.

Sabtu ini, ada latihan basket dilapangan sekolah. Setelah pulang sekolah, kami
istirahat sebentar lalu langsung latihan.

“Hai,” tiba-tiba seseorang mengulurkan tangan padaku. Laki –laki berpostur tinggi,
dengan wajah yang berpeluh keringat, dan rambut yang acak-acakan, ah cool. Hei hei, apa
yang kupikirkan?

Aku menyambutnya, “Hai,”

“Murid baru?” aku mengangguk. “Siapa namamu?”

“Cassandra Annisa Olivia, panggil saja Cassandra,” jawabku sedikit gugup. Sebelum
aku sempat menanyakan namanya, ia dipanggil oleh guru basket, lalu pergi begitu saja.

Latihan selesai. Kami berganti baju kemudian pulang. Tapi, karena aku dan Niall ada
sedikit urusan di kelas, kami pulang sedikit terlambat. Ketika kami ingin pulang, hujan turun
dengan cukup deras. Aku segera berlari memasuki mobil, supir pribadiku sudah menunggu
sejak tadi.

“Hei, Niall! Sebaiknya kau ikut denganku! Aku akan mengantarmu sampai rumah,
kalau tidak kau bisa sakit,” kataku ketika Niall lewat dengan sepedanya.

“Tidak terima kasih. Mau dikemanakan sepedaku nanti?”

“Kau bisa simpan di sekolah dan menguncinya. Ayolah,” kataku. Setelah menimang-
nimang lagi, akhirnya ia mengikuti saranku. Setelah mengunci sepedanya, ia nenaiki
mobilku, dan kami pulang bersama.

“Hujannya cukup deras. Uu cuacanya dingin sekali,” kataku sambil mengusap kedua
telapak tanganku, berusaha menghangatkan tubuh. Tiba-tiba, sepasang jaket menyelimutiku.
Aku menatap Niall. Ia melepas jaketnya untukku.

“Hei..hei,” kataku melepas jaketnya.

“Ssstt, jangan dilepas! Dasar bodoh, kan sudah kubilang, jangan lupa membawa jaket
ke sekolah! Kalau sudah begini bagaimana? Anggap saja ini ucapan terima kasiku,” kata
Niall. Ah, betapa beruntungnya aku memiliki sahabat sebaik dia. Sebenarnya dia sangat baik,
hanya agak kasar.

“Huh, yasudah terima kasih,” kataku.

Senin pagi, aku datang lebih awal. Pagi ini, Dick mengantarku lagi. Entahlah dia
bilang ingin menghabiskan waktu lebih banyak denganku. Padahal seharusnya dia pergi
bekerja. Pagi ini, orang pertama yang kutemui disekolah Malik dan Safaa.

“Morning Cassandra,” sapa Malik, yang diikuti senyuman Safaa.

“Morning too Malik, Safaa,” sahutku.

Kemudian aku dan Malik berpisah dengan Safaa, menuju kelas masing-masing. Di
kelas, aku duduk sebangku dengan Malik.

“By the way, ada salam dari Mac,” kata Malik ketika kami mengobrol sebelum
menunggu bel masuk.

“Mac?”

“Ya, Mac. Kau lupa? Kurasa kalian pernah berkenalan saat ekskul basket. Ia ketua tim
basket dan anak ter famous di angkatan kita. Tapi dia berbeda kelas dengan kita,” jelasnya.

Aku terdiam sebentar, “Tolong sampaikan salam balik padanya,”

Bel pulang sekolah terdengar begitu syahdu di telinga kami. Saat yang kami tunggu-
tunggu. Sejak tadi kepalaku terasa sangat pusing. Aku ingin cepat-cepat merebahkan tubuhku
di tempat tidur. Ketika aku sedang berjalan menuju tempat parkir, seseorang menggenggam
tanganku dari belakang. Spontan, aku menoleh.

“Hai lagi,” senyumnya.

“Mm..Mac?” tanyaku meyakinkan. Ya, dia anak basket yang kemarin menyapaku.

“Hei, kau tahu namaku? Boleh aku minta nomor teleponmu?”


“Tentu,” Mac menyerahkan sebuah pulpen, dan ia memintaku untuk menulis nomor
teleponku ditangannya.

“Thanks. Pulang bersamaku?”

“Tidak, terima kasih. Supirku menunggu,”

“Ok, bye,” Mac pun berlalu.

Ah, kepalaku pusing sekali. Langsung saja aku masuk ke dalam mobil, kemudian
pulang.

Di rumah, aku langsung berganti baju, kemudian mencoba untuk tidur. Kepalaku amat
sangat pusing, badanku lemas. Beberapa menit kemudian, aku sudah hanyut di alam mimpi.

“Bangun princess, saatnya makan malam,” suara itu menyadarkanku. Aku langsung
terduduk dan mengusap-ngusap mataku. Kulihat kearah jam dinding dibelakang Dick. Jam
setengah tujuh malam. Aku tertidur selama itu?

“Cepatlah turun untuk makan, aku sudah membuat makanan kesukaanmu,” kata Dick,
kemudian berlalu.

Sebelum aku keluar, aku mengambil handphone ku. Ada 6 missed call dan 11 pesan
masuk. Cepat-cepat aku membukanya, ternyata dari nomor yang tidak dikenal. Isi pesannya
seperti “Hei, Cass, ini Mac. Simpan nomorku ya!” atau “Cass, sedang apa kau? Bahkan tidak
satu pun pesanku kau balas,” tapi sebagian besar seperti “Cass ini nomormu kan? Atau kau
salah menuliskan nomormu?” Cepat kilat aku membalasnya “Sorry Mac, aku baru bangun,”
hanya itu. Kemudian aku segera turun menemui Dick. Kami makan malam bersama,
kemudian aku cepat-cepat kembali ke atas.

“Sedikit sekali makanmu?” tegur Dick.

“Aku sedang tidak selera,” jawabku seadanya, kemudian kembali ke kamar. Aku
langsung membuka handphone ku, dan ternyata Mac sudah membalas lagi pesanku.

“Kalau begitu, sekarang kau sedang apa?” aku membalasnya. Kami mengobrol
sampai aku lupa waktu. Dia terlihat sangat perhatian padaku, dan ingin tahu lebih dalam
tentang diriku. Tidak terasa sudah pukul delapan malam. Mac mengajakku untuk bertemu di
sebuah tempat hiburan. Aku mengiyakan saja. Dihatiku ada sedikit rasa aneh padanya. Tapi
aku tidak begitu mempedulikan perasaan itu. Aku benar-benar tidak sabar hari esok.

Hari ini aku benar-benar bertemu dengannya. Ia mengenakan kaos bergambar manga
dan blue jeans, juga topi dan gelang. Tidak biasanya aku begitu memperhatikan pakaian
orang lain. Bahkan pakaianku sendiri aku tidak pernah peduli. Aku merasakan sesuatu yang
berbeda dari Mac. Ah sudahlah.

Mac mengajakku naik roller coaster. Wahana favoritku! Kami segera mengantri,
hingga akhirnya tiba giliran kami. Aku dan Mac duduk paling depan. Entah mengapa, Mac
tidak mau menitipkan tasnya kepada petugas. Ia berjanji akan bertanggung jawab jika terjadi
sesuatu. Karena tasnya kecil, petugas pun setuju. Perlahan, roller coaster mulai berjalan. Baru
pertama kali aku merasakan yang secepat ini, tapi aku menikmatinya. Saat tiba dipuncak,
roller coaster melambat. Ketika kami siap untuk terjun di turunan yang cukup curam, tiba-
tiba Mac mengeluarkan sesuatu dari tasnya, kemudian menyerahkan mawar merah padaku.
Ketika roller coaster turun, semua orang berteriak histeris, begitu juga Mac, tetapi yang ia
teriakan bukan seperti kebanyakan orang.

“I love you Cassandra!” satu, dua, tiga, empat. Empat kata yang sukses membuat
jantungku berdegup kencang, wajahku memerah, dan pikiranku tidak menentu. Apa yang ia
katakan barusan?

Roller coaster berhenti. Kami turun perlahan dengan diam. Aku tak sanggup
menatapnya. Kami saling diam hingga akhirnya keluar arena roller coaster dan menuju
sebuah kedai es krim. Tiba-tiba, Mac berlutut didepanku.

“Jadi pacarku ya?” katanya sambil menatapku. Binar matanya menandakan bahwa ia
sedang serius.

“Apa? Aku … tidak … “ gugup. Sangat gugup. Rasanya aku lupa caranya bernafas.

“Will you be my girl?” ulangnya lagi. Akhirnya aku mengangguk. Terukir senyum
diwajah tampannya. Beribu kali ia mengutarakan perasaan bahagianya, dan rasa terima kasih
padaku. Aku hanya bisa tersenyum sambil menggenggam erat mawar pemberiannya.

Aku tersenyum. Bahkan aku tidak terlalu yakin dengan perasaanku padanya. Aku
merasa aku mengambil keputusan terlalu cepat. Tapi itu bukan berarti aku menyesal telah
menerimanya. Setelah semua kejadian buruk yang menimpaku, ternyata tuhan membiarkanku
merasakan yang namanya cinta. Aku rasa ini sisi baik dari hidupku.

Mac memesan es krim berporsi besar untuk dimakan berdua. Mac terus
memperhatikanku. Menatapku sambil senyum mencurigakan.

“Berhenti menatapku seperti itu, Mac,”

“Siapa suruh kau cantik,” dasar Mac, dia paling tahu caranya membuatku tersipu.
Tiba-tiba tangannya mendekati wajahku, menyelipkan rambutku ke belakang telinga.

“Jangan pernah tinggalkan aku ya?” katanya. Aku hanya tertawa pelan, dan
mengacak-acak rambutnya.

Setelah itu kami bicara banyak. Ternyata kami mempunyai hobi dan kegemaran yang
sama. Seperti komik kesukaan, penyanyi, atau olahraga yang kami sukai sama. Bahkan
ternyata, tempat tanggal lahir kita juga sama. Tadinya aku tidak percaya, kebetulan sekali
kami dipertemukan seperti ini.

Hingga akhirnya hari mulai sore.

“Sepertinya aku harus pulang,” kataku seraya bangkit dari duduk.

“Aku masih ingin bersamamu,” kata Mac dengan wajah memelas.

“Dick bisa khawatir,”

“Kalau begitu, kuantar ya?”

“Tidak, terima kasih. Aku bisa pulang sendiri,”

“Please…”

“Tidak Mac, apa kata Dick nanti?”

“Ayolah,”

“Bye Mac!”

“Huh, ok, bye beautiful,” sekali lagi, aku mengacak-ngacak rambutnya. Ia memajukan
bibirnya, wajahnya terlihat sangat lucu. Kucubit pipinya keras, sampai ia meringis kesakitan.
Setelah itu kami pulang.
“Hai Dick,” sapaku sesampainya di rumah.

“Have a nice day princess?” tanyanya yang sedang asik dengan handphone nya.

“Its my best day, ever!” jawabku kegirangan.

“That’s good,”

Pagi ini, aku datang ke sekolah sedikit terlambat. Sekolah sudah mulai penuh. Aku
sedikit berlari menuju kelas. Tapi aku merasakan tatapan aneh. Tatapan anak-anak yang
melihatku dengan tatapan tidak suka. Apa salahku?

“Cass!” suara itu. Malik! “Cass, kau harus tahu sesuatu,”

“Apa?”

“Apa benar kau dan Mac jadian?” aku terdiam. “Jawab aku Cassandra!”

“Ya, lalu?”

“Dengar Cass, aku sama sekali tidak mempermasalahkan hubungan kalian. Tapi ada
banyak siswi yang tidak setuju dengan hubungan kalian. Kau kan tahu, Mac itu banyak sekali
fans nya,” jelas Malik.

“Lalu, aku harus bagaimana?” tanyaku ikut panik.

“Entahlah, semua terserah padamu. Aku hanya bisa memberi tahu,”

“Terima kasih, Malik,”

Saat istirahat, aku benar-benar dibenci oleh siswi satu angkatan. Mereka
mencemoohku, menatap sinis, dan banyak lagi. Semua ini benar-benar membuatku tidak
nyaman. Lebih lagi, hari ini Mac tidak masuk karena ada urusan keluarga.

“Kau itu tidak cocok dengan Mac,”

“Jauhi Mac, atau lihat akibatnya!”

Masih banyak lagi kata-kata mereka. Aku hanya bisa diam. Aku tidak mau melawan,
karena hanya akan memperburuk keadaan. Untungnya aku masih punya Malik dan Niall.
Mereka selalu menenangkanku.
Esoknya …

“Maafkan aku Mac, sepertinya kita tidak bisa melanjutkan hubungan kita,” kataku.
Aku tidak pernah mengambil keputusan dengan matang. Tapi kata-kata itu keluar begitu saja.

“Tapi kenapa? Ini baru sebentar, Cass. Apa yang membuatmu seperti ini?”

“Kau itu ketua tim basket yang diminati banyak siswi. Kenapa kau mau denganku?
Padahal banyak yang lebih cantik daripada aku. Sekarang banyak yang membenciku Mac!”

“Kau pasti bisa Cass. Acuhkan saja mereka. Jika mereka mulai macam-macam
denganmu, kau bilang saja padaku. Aku tidak mau kehilanganmu,” Mac menggenggam erat
kedua tanganku. Tatapannya menghangatkan. Perlahan, aku mulai mengangguk. “Itu baru
Cassandraku,” ia mengacak-acak rambutku.

Hari sabtu pagi, aku, Mac, Safaa, Malik dan Niall makan ke sebuah restoran. Mereka
meminta kami untuk ditraktir, perihal hari jadian kami. Tadinya aku meminta Mac untuk
patungan, tetapi dia menolak. Akhirnya, semuanya benar-benar Mac yang bayar.

Kini aku benar-benar yakin dengan perasaanku. Ya, aku mencintai Mac. Sangat
mencintainya. Ia sangat baik kepadaku, tidak berlebihan, dan ia juga baik terhadap Dick.
Mereka sudah saling akrab, dan sering main game bersama. Aku juga tidak pernah
melupakan sahabat-sahabatku.

Tapi lama kelamaan rasanya ada yang berubah dari Mac. Ia yang awalnya selalu
menghubungiku sejak bangun tidur, bahkan ketika baru pulang sekolah, kini jarang memberi
kabar. Dengan beribu alasan pula, ia selalu membatalkan janji-janjinya. Seperti “nanti malam
kutelepon lagi” atau “besok aku ke rumahmu,”

Hingga akhirnya suatu malam, aku yang sudah berpuluh-puluh kali mencoba untuk
meneleponnya, akhirnya tersambung juga.

“Maaf, aku baru bangun tidur,” katanya dengan nada tanpa dosa. Kedengarannya juga
dia sama sekali tidak menyesal atau merasa bermasalah.

“Apa yang membuatmu berubah Mac? Dulu kau tidak pernah seperti ini. Kau selalu
menghubungiku. Sekarang aku yang selalu bersusah payah menghubungimu. Terkadang
butuh 24 jam lebih untuk menunggu balasanmu. Kenapa kau tidak pernah mengerti
perasaanku?!” kataku sedikit dengan nada emosi.
“Kau ingin dimengerti huh? Apa kau pernah mengerti aku? Aku ketua tim basket!
Kegiatanku banyak! Aku juga butuh istirahat. Di kehidupanku bukan hanya ada kamu, Cass!”
kali ini Mac benar-benar membentakku. Aku tercengang. Ia tidak pernah semarah ini
sebelumnya.

“ Kau ketua tim basket dari sebelum kita kenal, kan? Tapi kau tetap punya banyak
waktu untukku. Tapi sekarang apa? Kau hanya bosan Mac, kau bosan! Kenapa semua laki-
laki sama saja? Memperjuangkan perempuan diawal, lalu ketika bosan dibuang, dilupakan!”
setelah mengutarakan semua perasaanku, aku langsung menutup telepon. Tanpa sadar pipiku
sudah dibanjiri air mata. Bagaimana tidak? Ini pertama kalinya aku benar-benar jatuh cinta,
dan benar-benar dikecewakan.

Tiba-tiba handphoneku berdering, tanda sms masuk. Ketika kubuka, ternyata dari
Niall. Isi sms nya benar-benar membuatku tersenyum lebar. Sangat lebar.

Esoknya disekolah, Mac menarik tanganku ke belakang sekolah. Berkali-kali aku


coba melepaskan diri, namun tidak berhasil.

“Cas, kita harus selesaikan masalah kita sekarang. Aku akan membuat jadwal kapan
saja kita bisa teleponan, kita bisa bertemu … “

“Kenapa tidak teleponan dengan Chelsea saja?” kalimatku membuat matanya terbuka
lebar. Ia terlihat kaget dan panik, sedangkan aku berusaha tetap tenang.

“Sepertinya asyik duduk ditaman berdua, berjalan-jalan, bahkan sambil bergandengan


tangan ya? hm,”

“Apa-apaan ini? Bagaimana kau bisa tahu? Cass, kau harus mengerti, dia hanya
mantanku, dan ia ingin membicarakan sesuatu makanya kami bertemu, tidak lebih dari itu,”
jelasnya panik, sangat panik. “Ia yang menggandeng tanganku duluan Cas! Tapi itu hanya
sebentar, setelah itu aku yang menarik tanganku duluan. Sungguh!”

“Kau bilang tidak punya waktu untukku karena sibuk basket, tapi kau punya waktu
berduaan dengannya?” aku langsung pergi meninggalkannya yang kehabisan kata-kata. Ya,
aku tahu semua ini Niall. Aku harus berterima kasih padanya.

Satu minggu sudah aku dan Mac tidak komunikasi. Sudah terkumpul 101 missed call
dan banyak sms lainnya. Ia meminta maaf yang sebesar-besarnya. Jika di sekolah kami
bertatapan, aku selalu membuang muka. Ia juga tidak berani untuk menyapaku duluan. Aku
sangat kecewa padanya. Benar-benar kecewa. Tetapi terasa sulit untuk melepaskannya. Aku
memang marah kepadanya, tapi jika untuk pisah, aku sudah terlanjur sayang padanya.

Setelah satu minggu itu, akhirnya aku memaafkannya. Kami bertemu di sebuah
restoran kemudian membicarakannya baik-baik. Mac mengatakan bahwa ia menyesal atas
semua yang pernah terjadi, dan berjanji tidak akan mengulanginya lagi. Walau sebetulnya
aku benci janji … yang tidak pernah ditepati.

“I will always love you Cas. One and only,” katanya sambil memelukku erat.

Beberapa tahun kemudian …

Aku, Mac, Niall dan Malik lulus dari sebuah universitas ternama di kota kami. Kami
berbeda SMA, namun bertemu lagi saat kuliah. Aku dan Mac tetap komunikasi selama SMA.
Walau jarang bertemu, kami tetap kontak melalui telepon atau sms.

12-09-23. Hari yang sangat bahagia bagiku. Mac sudah melamarku, dan kami akan
melangsungkan pernikahan besok. Hari ini kami merayakannya di sebuah restoran. Kami
mengundang kerabat terdekat untuk makan malam bersama. Besok pagi sekali kami akan
berangkat ke Paris untuk melangsungkan pernikahan disana. Ah, terima kasih tuhan. Ternyata
tuhan sangat menyayangiku. Ia telah memberikan kebahagiaan yang sangat besar padaku.

“Mac, aku ingin ambil barang ke mobil dulu ya,” kataku di tengah pesta.

“Cepat kembali honey,” katanya. Aku hanya mengangguk, kemudian berlari menuju
mobil. Aku ingin mengambil jaketku yang tertinggal. Tiba-tiba teleponku berdering.

“Halo, Cassandra?”

“Ya, dengan saya sendiri. Ini dengan siapa ya?”

Rupanya itu tante Karen. Tante Karen yang telah menghancurkan malamku. Ia
memberikanku kabar terburuk sepanjang masa. Ternyata tuhan memang hanya
mempermainkanku. Ia membuatku terpuruk, kemudian memberikanku sedikit kebahagiaan,
yang akhirnya berujung kekecewaan juga.

Saat aku kecil, apartemen tempatku tinggal kebakaran, dan orang tuaku meninggal.
Kemudian, aku dititipkan dipanti asuhan. Aku diadopsi oleh orang tuaku yang kini telah
meninggal. Ternyata, Dick, adalah anak pertama orang tua tiriku. Ketika Dick hilang, mereka
frustasi. Karena tidak bisa memiliki anak lagi, akhirnya mengadopsiku. Kenyataan
terburuknya adalah. Aku memiliki kembaran. Ia laki-laki. Laki-laki yang kini bertunangan
denganku. Ya, dia adalah Mac. Laki-laki yang sangat aku cintai, laki-laki yang besok akan
menikah denganku. Mimpiku membangun rumah tangga dengannya pupus sudah. Semua
persiapan di Paris akan dibatalkan. Tante Karen cepat-cepat memberitahuku karena baru tahu
aku akan menikah. Dick yang memberitahu, dan mengirim fotoku berdua dengan Mac.
Begitu melihatnya, tante Karen langsung sadar bahwa ia adalah kembaranku. Wajah kami
memang tidak mirip, karena kami bukan kembar identik.

Aku mencakar wajahku hingga kukuku terlepas. Tak peduli wajahku yang kini sudah
berdarah-darah, bercampur air mata. Kenyataan ini terlalu pahit. Tuhan tidak pernah sayang
padaku. Tuhan hanya mempermainkanku. Aku menendang mobilku dengan kesal, mengacak-
ngacak rambutku. Mascara yang kukenakan sudah memenuhi wajahku.

“WHY LORD, WHY?! WHY DO YOU HATE ME? WHAT IS MY FAULT?! TELL ME
GOD! TELL ME!” teriakku sekeras-kerasnya. Tak peduli jika ada yang mendengar. Rasanya
hidupku sangat hancur. Lebih baik aku mati. Ya, aku tertawa seperti orang gila, kemudian
mengambil korek api dari dalam mobil. Kunyalakan api, kemudian kumasukan ke tangki
mobil. Setelah itu aku masuk kedalam mobil, dan BUM! Ledakan besar terdengar, kemudian
aku tidak sadarkan diri … untuk selamanya.

Anda mungkin juga menyukai