***
Setengah jam lebih berlalu, sebuah ketukan terdengar
dari luar pintu. Aku membukakan pintu, pengantar pizza itu
terlihat kuyup.
"Maaf," ucapku.
"Maaf kenapa, Mas?"
"Maaf karena memesan pizza di malam yang hujan
lebat begini."
"Ah, tidak apa-apa, Mas. Sudah biasa. Kan ini sudah
pekerjaan saya. Lagipula saya juga kan pakai mobil."
"Tapi jarak dari jalan menuju rumah saya sedikit jauh.
Masnya jadi basah."
"Iya, Mas. Tidak apa-apa. Saya sudah biasa." Pria yang
sekiranya duapuluh lima tahunan itu menyerahkan dua kotak
pizza yang dipegangnya. Kemudian aku menyerahkan uang yang
memang sudah selayaknya dia dapatkan.
"Terima kasih." Kami berdua mengucapkan kata yang
sama. Aku tertawa, dia juga.
“Terima kasih," ucapku sekali lagi.
"Iya, Mas. Saya balik dulu. Selamat menikmati,"
sahutnya. "Ngomong-ngomong, itu di kepala Mas kayaknya ada
sesuatu," dia menambahkan.
Aku menggosok-gosok kepalaku. Ah, sisa es krim yang dilempar
perempuan itu.
"O, ini," jawabku, malu.
Pengantar pizza itu pun melangkah pergi sambil tersenyum kecil.
***
***
***
***
***
Ibu mungkin tidak akan pernah kembali meski aku menunggunya seratus
tahun atau lebih, menjadi tua, atau bahkan hingga aku mati berdiri. Dan, terus
terang, hal itu sudah tidak terlalu penting lagi. Entah nanti ia akan kembali
atau tidak. Aku sudah cukup lama tanpa dirinya, aku sudah cukup cakap
melakukan banyak hal tanpa dirinya. Aku sudah tumbuh lebih tua, tinggi dan
mandiri untuk terbiasa tanpa kehadirannya. Tapi andai ia tahu, rindu bukanlah
perihal menjadi tua dan bertumbuh tinggi, atau bisa melakukan banyak hal
sendiri.
Sepuluh tahun nyatanya bukan waktu yang singkat. Kadang aku masih
berpikir, seandainya ia masih hidup, bagaimana rupa ibuku sekarang. Apakah
rambutnya masih hitam dan panjang? Apakah bibirnya masih merona?
Apakah jari-jarinya masih lentik dan kuku-kukunya berkilau? Lekuk
tubuhnya, dan hal-hal lain yang membuat ia kerap menjadi perbincangan
hangat orang-orang yang tinggal di sekitar dermaga. Dan, seandainya ia sudah
meninggal, aku ingin tahu di mana ia bermakam sekarang. Sungguh,
meskipun kebencian ini menjalar tumbuh dari hari ke hari memenuhi dadaku,
tapi jika suatu saat ia memilih untuk kembali, tentu aku masih akan
memaafkannya.
Mengunjungi dermaga ini tidak kurang dari lima kali dalam setahun adalah
sebuah bukti bahwa aku tidak pernah betul-betul mengingkari keberadaan ibu
di dalam hatiku. Meskipun rasa kecewa itu selalu menyertai setiap jengkal
langkah kakiku yang mendekati dermaga ini, karena memang tidak pernah
kunjung ada sesuatu pun yang tiba dari dirinya kepadaku; wujud, suara,
aroma, atau bahkan selintas kabar.
Bulan Desember adalah waktu favoritku untuk menghampiri dermaga ini.
Ibuku pernah berkata, Desember adalah bulan yang baik untuk menunggu dan
bersembunyi. Desember membuat pagi di dermaga ini menjadi lebih berkabut,
sementara ketika petang tiba, segalanya akan terasa jadi lebih sejuk.
Aku tidak terlalu mengerti apa yang dimaksud oleh ibu saat itu. Dan, menurut
Nyonya Clara, teman lama ibu yang juga adalah satu dari sedikit tetangga
yang peduli dan baik kepada kami, sebelum tinggiku segagang pintu dan ibu
pergi meninggalkanku, aku dan ibu pernah tiga kali berpindah tempat tinggal.
Ingatan Nyonya Clara masih hangat ketika ibu datang kepadanya dengan
wajah gelisah, meminta bantuan untuk dicarikan sebuah rumah.
Sejak saat itu, sepertinya ibu memang belum pernah mengatakan kepada siapa
pun—termasuk aku—apa yang sebenarnya sedang ia tunggu, atau dari apa ia
bersembunyi.
Namun sekarang, aku jadi sedikit lebih mengerti kenapa ibu menyukai
suasana dermaga di bulan Desember; kabut pagi adalah rahasia dari siapa dan
apa yang akan datang dan tidak akan pernah datang, sementara petang yang
sejuk adalah pelukan untuk menenangkan segala hal yang mengecewakan.
Pukul lima lebih sore ini, aku memandang ke arah laut lepas. Kutemukan
kapal-kapal berlabuh dan seakan-akan aku sedang mencatat ulang kepingan
ingatan itu; sore hari ketika ibu berkata ia akan pergi ke pasar sebentar, lalu
aku dengan polosnya mengangguk. Kalau saja aku tahu itu berarti selamanya,
aku tidak akan pernah berkata iya.
Setelah ibu pergi, berjam-jam aku menunggunya pulang. Sore luruh dan
menjelma malam. Hingga Nyonya Clara datang dan aku menangis karena
perlahan menyadari bahwa aku adalah anak gadis yang ditinggalkan oleh
ibunya pergi ke pasar, namun tidak kunjung kembali.
Sebagai seorang anak kecil, pada awalnya aku tidak benar-benar memahami
alasan mata ibu memerah sebelum ia menaiki kapal yang membawanya pergi
di hari itu. Meski aku sudah tahu bahwa sejak beberapa hari sebelumnya, ibu
berubah menjadi lebih pemurung, sering melamun, dan terkadang ia malah
tetiba menangis.
Aku pikir semua itu bermula setelah ibu menerima beberapa orang tamu di
depan rumah. Aku juga sempat mendengar ibu membentak mereka dengan
suara yang cukup keras hingga mengagetkan kucing kami. Aku bahkan masih
ingat ada seorang wanita yang mencoba memaksa masuk ke dalam rumah
kami sebelum ibu menahan pintu dan menghalanginya masuk, sampai seorang
lelaki berbadan besar dari mereka mendobrak pintu. Ibu terjatuh sesaat,
memberi isyarat dengan tangannya agar aku masuk ke dalam kamar,
sementara ia berbicara dengan beberapa orang itu di luar.
Berselang tidak begitu lama, ibu masuk ke kamar menyusulku. Ia peluk aku.
Aku tidak memiliki banyak waktu untuk memandangi wajahnya kala itu, tapi
yang kuingat, sepertinya itu adalah pelukan terakhir dari ibu yang aku tubuhi.
Beberapa tahun selepas kepergian ibu, tanda tanya itu masih belum terjawab
seiring bertambahnya usiaku. Ke mana ia pergi, atau alasan apa yang
membuat ia tidak pernah kembali. Aku pernah meminta bantuan Nyonya
Clara untuk menyusul ibu ke pasar, atau ke kota, atau ke tempat di mana pun
sekiranya ia berada, tapi ia menolak dengan alasan yang kurang bisa kuterima.
Nyonya Clara berdalih bahwa ia trauma dengan dunia luar, terlebih untuk
bepergian ke kota. Sejak aku dan ibu tiba di perkampungan dekat dermaga ini,
aku memang tidak pernah mendapati Nyonya Clara pergi meninggalkan desa
hingga akhir hayatnya tiba.
Nyonya Clara mengembuskan napas terakhirnya ketika aku berusia lima belas
tahun. Dengan pesan pendek yang ia bisikkan pelan di telinga kananku.
Katanya, aku tidak boleh menyusul ibu ke mana pun sebelum usiaku
mencapai tiga puluh lima. Dunia luar sangat tidak terduga dan berbahaya,
tambahnya. Sekarang, dua tahun berlalu sejak kematiannya. Walau
bagaimanapun, aku sudah berjanji pada Nyonya Clara untuk menuruti pesan
darinya itu.
Kini aku benar-benar sendirian, diserang lebih sering oleh kebencian bertubi-
tubi kepada ibu, tapi di sisi lain aku juga memiliki keinginan untuk berjumpa
dengannya, atau setidaknya mengetahui sedikit kabar tentangnya. Dan, tanpa
memasang ekspektasi berlebih, barangkali pilihan paling tepat bagiku saat ini
adalah datang ke dermaga, semata-mata untuk mengingat wajahnya, aroma
tubuhnya, juga suaranya yang dulu menenangkan masa kecilku.
Sesekali aku mencatat tanggal di dalam kepalaku. Sebentar lagi bulan
Desember akan memenuhi nama-nama di dinding dan ibu akan terasa jauh
lebih dekat denganku ketimbang di bulan-bulan yang lain.
Tepat di bulan Juli kemarin, usiaku genap tujuh belas tahun. Kata orang, tujuh
belas adalah perpindahan masa remaja menuju jenjang yang lebih matang.
Seperti yang Nyonya Clara pernah bilang, semakin usiaku bertambah, aku jadi
semakin mirip dengan ibu. Aku mengamininya setiap kali menemukan diriku
sedang becermin; mata sayuku, rambut hitamku, bentuk bibir juga jari-jariku
yang lentik. Bedanya, ibu selalu tampak cantik, sedangkan aku sungguh tidak
pandai bersolek. Ibu akan selalu ada dan hidup di dalam diriku, kata Nyonya
Clara lagi.
Matahari sedikit demi sedikit menenggelamkan dirinya. Dari dermaga ini, ia
nampak akan bersembunyi ke dasar air. Di kejauhan, kapal-kapal perlahan
membentuk siluet. Burung-burung yang aku tak tahu jenisnya beterbangan.
Mataku menangkap seekor burung yang terpisah cukup jauh dari
rombongannya. Aku membayangkan burung itu adalah aku. Bedanya, ia
mampu dan tahu ke mana harus menuju, sementara aku tidak.
Aku memutuskan untuk kembali ke rumah setelah lebih dari tiga jam duduk di
kursi yang memuat selonjoran kaki di atas dermaga ini. Menikmati embusan
angin yang semakin sejuk seiring cahaya di langit berubah jadi lebih merah
dan sendu. Segala yang terasa, terdengar, terlihat dan tercium oleh indraku
menciptakan kedamaian sekaligus kesepian.
Aku tahu hari ini ibu masih tidak akan pulang. Andai pun pulang, kecil
kemungkinan ia memilih petang sebagai waktu kepulangannya. Sebab,
setahuku ibu lebih menyukai pagi, awal dari sesuatu yang baru, sekaligus
waktu yang menyimpan rahasia dari siapa dan apa yang datang dan tidak akan
pernah datang.
Sekitar satu jam setelah aku tiba di rumah, aku mendengar suara ketukan di
balik pintu. Aku cukup kaget dan agak semringah. Barangkali itu Tuan
Charles, tetangga dekat yang bekerja sebagai nelayan. Ia sering pergi ke kota
dan memberiku ikan hasil tangkapannya. Mungkin hari ini, selain memberiku
beberapa ekor ikan, ia juga mendapatkan sedikit informasi mengenai ibu
untuk ia bagikan kepadaku.
Perlahan aku mendekati pintu, mengintip tamu itu dari celah lubang kunci.
Namun, aku tahu pasti itu bukan Tuan Charles. Aku melihat ada seorang
wanita di luar. Dan, mataku bisa menangkap kalau ia tidak sendiri. Setidaknya
ada dua orang pria berpakaian hitam dan bertubuh cukup besar yang masing-
masing berdiri di sisi kiri dan kanannya.
Sedikit demi sedikit pintu kubuka. Cahaya redup dari lampu-lampu di ruang
tamuku perlahan sampai ke wajah wanita itu. Kulitnya agak keriput. Ia
mengenakan pakaian bekerlipan yang agak mencolok jika digunakan di
malam hari, serta topi model fedora berwarna ungu yang menutupi sebagian
besar kepalanya.
Kupadangi lekat-lekat rupanya yang secara samar-samar, sepertinya aku
pernah melihatnya. Ia tersenyum ke arahku dengan sangat lebar. Sayup-sayup
kudengar wanita itu berkata sambil melihat ke arah dua pria di sebelahnya
dengan masih mengumbar senyuman.
"Lihat, ia sudah besar dan semakin mirip dengan ibunya. Tentu. Ia adalah
pengganti yang sepadan. Ia jauh lebih muda dan segar. Mereka pasti tidak
akan merasa kehilangan perempuan itu lagi kalau gadis ini ikut dengan kita."
Mencintai Martin
***
***
***
Hari ini dia sudah menunggu saya, berdiri di dekat
jembatan sambil memetiki bunga-bunga yang hingga sekarang
saya tidak tahu milik siapa.
"Selamat siang," katanya. "Cuacanya sedang panas."
Saya mengangguk.
"Kamu tidak malu punya kekasih seperti saya?" tanya
saya di sebuah siang yang terik, saya memang sering mengajaknya
bertemu di jembatan ujung kampung ini. Hampir setiap sebulan
sekali. Saya benar-benar tidak romantis. Lebih parah, saya jarang
ada untuknya.
"Kenapa harus merasa malu?"
"Karena saya orang susah."
"Bagi saya hartamu tidak penting. Selama kamu selalu
berada di sisi saya, itu lebih dari cukup," dia membalas dengan
jari-jarinya memegangi kelopak-kelopak bunga. Seolah-olah ingin
melakukan perhitungan rahasia dengan alam, apakah saya cukup
layak untuk dicintai atau tidak.
"Sudah sepuluh tahun. Kamu tidak bosan dengan saya?
Saya benar-benar tidak memiliki sisi romantis seperti laki-laki
lain."
"Apa ada sesuatu yang membuatmu ragu pada saya?"
Pertanyaannya membuat saya bungkam sejenak. Saya pandangi
aliran air sungai yang ada di bawah kami. Tapi saya tak
menemukan kalimat yang tepat untuk pergi tanpa menyakiti
perasaannya.
"Tidak. Tidak ada yang salah dengan air yang mengalir,"
jawab saya.
"Apa maksud kamu?" dia bingung.
"Bukan apa-apa. Saya cinta kamu. Tapi saya harus pergi
ke warung untuk membeli rokok."
"Sekarang?"
"Iya."
"Saya ikut kamu."
"Jangan. Kamu di sini saja. Saya cuma sebentar," terang
saya.
Sejak siang hari di jembatan itu saya sudah tidak pernah
berjumpa dia lagi. Sehabis membeli rokok saya langsung
berangkat ke tempat yang jauh di bagian utara, meninggalkan
perempuan itu, meninggalkan kampung.
Berbekal pakaian yang kumal dan persedian
berbungkus-bungkus mi instan yang siap saya santap kapan pun
saya lapar. Saya meninggalkannya di sana. Dengan perasaan
sedikit bersalah. Tapi saya pikir, jika tanpa uang saya tidak
mungkin bisa membahagiakannya. Saya akan mencari uang yang
banyak. Membelikannya kalung. Membelikannya cincin.
Membelikannya masa depan.
Saya tinggalkan sepucuk surat untuknya yang saya
serahkan kepada ibu saya yang merangkak pikun. Saya tidak
banyak permohonan. Saya hanya berharap dia mengerti.
***
***
***
***
Sore luruh, matahari perlahan beringsut membentuk
jingga yang tidak asing. Saya pulang ke rumah. Ibu menunggu di
teras.
"Dari mana saja? Sudah dapat kerja lagi?" Tatapannya
masih sedikit berkobar.
"Tidak," jawab saya.
"Apa yang kau bawa?"
"Anak ikan cupang."
"Untuk apa?"
"Untuk saya rawat."
"Masuk. Lekas mandi. Belikan beras dan telur di
warung."
Saya mengangguk.
Dua minggu kemudian, saya masih harus menelan
pahitnya kenyataan. Ikan cupang saya mati karena saya lupa
mengganti air di dalam toples plastik tersebut. Dan lebih parah
lagi, orang yang saya tunggu belum juga kembali.
Ternyata semuanya memang lebih sering berakhir
seperti ini, saya tidak pandai dalam menjaga apa yang saya miliki:
kekasih, kaktus, pekerjaan, ikan cupang, dan hal-hal lain yang
sebaiknya memang tidak usah saya ceritakan.
Perdebatan dengan Diri Sendiri
"Brakk."
***
***
***
***
Tak perlu waktu lama, dalam waktu 12 jam, penadah
yang sempat menyimpan Harga Diri keluarga Pak RW
ditangkap dan di bawa ke kantor polisi.
"Heh, babi, di mana kau simpan Harga Diri saya?" tanya
Pak RW dengan emosi sambil mengepalkan tangan dan
membentak meja.
"Bapak RW tenang dulu," ucap seorang polisi
menenangkan.
"Lho, bagaimana saya bisa tenang, Pak. Harga Diri
keluarga saya diambil!"
"Saya mengerti, Pak. Tapi kita harus menginterogasi dia
sesuai prosedur. Yaitu dengan santai dulu. Kalau dia tidak
menjawab baru nanti kita pukul."
"Saya setuju," sahut Pak RW.
"Di mana Harga Diri saya," tanya Pak RW lagi pada
penadah itu.
"Sedang di bawa anak buah saya ke pusat kota," jawabnya
"Brengsek betul kau ini! Mau kau apakan Harga Diri
saya!?"
"Mau saya jual setengah ke Calon Presiden, sisanya saya
bagi dan jual kepada beberapa Calon Pemimpin Daerah."
"Kurang ajar!" bentak Pak RW sambil melayangkan
genggamannya ke rahang orang itu. Mata Pak RW memerah.
"Cukup Pak RW," kata polisi mencoba menenangkan.
"Bapak tidak usah menangis. Ya, saya mengerti benar betapa
berartinya Harga Diri itu bagi Bapak. Tapi percayalah, kami
akan berusaha menghentikan anak buah penadah ini. Bapak
tenang saja."
"Tidak," kata Pak RW, matanya masih memerah,
"tangan saya sakit. Rahang dia keras juga rupanya."
"Mas Penadah, dari mana atau dari siapa Anda
mendapatkan Harga Diri itu?"
"Dari anak dia sendiri, Pak," jawab penadah itu sambil
menunjuk Pak RW.
"Apa!? Anak saya!? Kurang ajar betul dia. Pantas dia
tidak mau saya melapor polisi. Saya kurung dia di kandang
kambing nanti," ketus Pak RW
***