Anda di halaman 1dari 122

Kalani

Kalani, sebuah nama yang cantik dan pernah kubaca di


beberapa cerita pendek bergenre roman yang ditulis oleh
seseorang, juga pada film berseri yang kutonton di situs video.
Bagiku, tokoh perempuan yang menempel dengan nama ini
adalah dara kelahiran Medan, Echa Oemry yang selalu menawan
dengan wajah mungilnya yang oval. Aku ingat, pada film yang
dibintangi olehnya itu, Kalani datang ke sebuah barbershop dan
meminta dicukur hingga botak. Dia sedang patah hati karena
lelakinya buaya.
Sejujurnya aku berencana akan memberikan anakku
nama Kalani jika kelak ia terlahir, atau setidaknya sampai aku
menemukan seorang perempuan yang cocok untuk kujadikan
sebagai ibunya. Yang mungil, berambut panjang, dengan wajah
yang mirip Echa Oemry, barangkali. Ah sial!
Tapi hal tersebut urung kulakukan, sebab aku telah
bertemu dengan seorang perempuan bernama Kalani, tepat
ketika suara hujan yang riuh dan membuatku mengantuk, namun
tetap memaksaku untuk terus terjaga akibat deadline naskah
cerita yang sudah harus selesai serta kukirim seminggu lagi.
Aku menemukannya. Seseorang perempuan yang tiba-
tiba jatuh seperti meteor, menembus atap dan langit-langit
rumahku, dan tanpa rasa bersalah —karena sudah merusak atap
serta langit-langit rumahku— dia malah memakan es krim rasa
cokelat yang sengaja kusimpan di kulkas untuk keponakanku.
Aku menjerit saat melihat sekilas dia yang telanjang.
Karena saking kagetnya, aku sampai lupa mengintip bagian
vitalnya. Sial! Hanya sampai pada bagian buah dadanya yang
mungkin kenyal dan agak menonjol. Aku menutup mataku, tapi
aku juga mendengar dia berteriak.
Tiba-tiba sesuatu yang dingin terasa menimpal
kepalaku. Meleleh sampai ke dahi. Perempuan itu melempar es
krim yang dia makan.
"Siapa kamu!?" teriaknya.
"Kamu yang siapa!?" timpalku sembari perlahan
melangkah mundur dari lubang persegi panjang pada sekat yang
memisah dapur dengan ruang tamu, dengan punggung tangan
yang masih menutupi jarak pandangku darinya. Aku segera
berlari ke kamar, mengambil baju dan celanaku dari dalam
lemari pakaian.
Beberapa saat kemudian, aku kembali.
"Pakai ini," ucapku, sambil melempar baju dan celana
yang entah cocok untuk ukuran tubuhnya atau tidak. Aku
bersembunyi.
"Sudah?" tanyaku.
"Sudah apanya?"
"Baju dan celana itu sudah kamu pakai?"
"Sudah."
Aku keluar dari balik dinding penyekat, menyibak tirai hijau
toska yang agak transparan. Aku memerhatikannya dari ujung
kepala hingga ujung kaki. Tapi kakinya tidak terlihat. Bajunya
pas, celananya mungkin kebesaran, ujung kainnya menyentuh
lantai.
"Kamu ini apa? Hantu?" aku bertanya dengan
pandangan yang waspada. "Mana kakimu?" Aku menambahkan.
Dia mengangkat kain celana yang menyembunyikan kakinya
sembari menjilati sisa es krim yang belepotan di bibirnya yang
ranum.
"Entah," jawabnya enteng.
Rambutnya sepunggung, matanya agak besar, hidungnya
mancung dengan wajah yang oval. "Sial! Dia lebih cantik dari
Echa Oemry," pikirku dalam hati.
"Siapa nama kamu?" aku kembali bertanya, dengan
nada interogatif dan dagu yang sedikit naik.
Dia cuma mengangkat bahu tanda tidak tahu. Atau mungkin
malah amnesia akibat benturan keras kepalanya dengan keramik
westafel. Tapi anehnya dia tidak terluka sama sekali!
"Dari mana asalmu?"
Dia kembali mengangkat bahu. Membuatku jadi semakin
bingung.
Dia alihkan pandangannya dariku, melihat sekeliling dapurku
yang berantakan dan agak kotor. Matanya berhenti di satu titik:
dua potong pizza yang tidak kuhabiskan karena kekenyangan.
"Apa kamu mau ini?"
Dia mengangguk.
"Ambilah."
Dengan sigap dia mengambil potongan pizza itu dari tanganku,
memakannya dengan lahap seperti seorang gelandangan yang
sudah berhari-hari tidak makan.
"Duduklah."
Kami berdua duduk berseberangan di atas kursi yang mengitari
meja makan. Kuperhatikan lahapnya ia menyantap pizza yang
sudah dingin itu.
"Jadi kamu ini semacam alien atau apa?"
Dia menggeleng.
"Lalu?" Aku menyasarnya dengan banyak pertanyaan.
Dia hanya terdiam, sebelum kembali melahap pizza yang
menyisakan satu gigitan.
"Kamu mau lagi?"
Dia mengangguk.
"Aku bisa saja mengajakmu keluar dan kamu bisa
makan adonan tepung semacam itu sebanyak yang kamu mau.
Tapi hari sedang hujan dan aku tidak punya mobil." Aku
mengambil telepon genggam dari saku celanaku, kemudian
memesan dua kotak pizza untuknya,"tunggulah setengah jam lagi.
Mereka akan datang."
Perempuan asing itu tersenyum polos.

***
Setengah jam lebih berlalu, sebuah ketukan terdengar
dari luar pintu. Aku membukakan pintu, pengantar pizza itu
terlihat kuyup.
"Maaf," ucapku.
"Maaf kenapa, Mas?"
"Maaf karena memesan pizza di malam yang hujan
lebat begini."
"Ah, tidak apa-apa, Mas. Sudah biasa. Kan ini sudah
pekerjaan saya. Lagipula saya juga kan pakai mobil."
"Tapi jarak dari jalan menuju rumah saya sedikit jauh.
Masnya jadi basah."
"Iya, Mas. Tidak apa-apa. Saya sudah biasa." Pria yang
sekiranya duapuluh lima tahunan itu menyerahkan dua kotak
pizza yang dipegangnya. Kemudian aku menyerahkan uang yang
memang sudah selayaknya dia dapatkan.
"Terima kasih." Kami berdua mengucapkan kata yang
sama. Aku tertawa, dia juga.
“Terima kasih," ucapku sekali lagi.
"Iya, Mas. Saya balik dulu. Selamat menikmati,"
sahutnya. "Ngomong-ngomong, itu di kepala Mas kayaknya ada
sesuatu," dia menambahkan.
Aku menggosok-gosok kepalaku. Ah, sisa es krim yang dilempar
perempuan itu.
"O, ini," jawabku, malu.
Pengantar pizza itu pun melangkah pergi sambil tersenyum kecil.
***

Aku kembali ke dalam untuk menemui perempuan itu.


"Ini. Makanlah sepuasmu."
Aku hadapkan dua lingkar utuh pizza di depannya, sambil
membersihkan kepalaku dengan selembar tisu. Dia mengambil
pizza itu dan kembali menyantap dengan lahap.
"Jadi kamu benar-benar tidak tahu namamu?"
Dia mengangguk.
"Baik, aku akan memberimu sebuah nama."
Aku berpikir sejenak. Tak menemukan nama yang lain selain
nama Kalani. Hanya itu. Cuma itu yang terpikirkan olehku.
"Bagaimana kalau Kalani?" tanyaku memberi pilihan
Dia kembali mengangguk sambil tersenyum. Menurut.
"Baik, Kalani. Habiskan pizza-pizza itu." Aku tertawa.
Itu adalah malam pertama di mana aku menemukan Kalaniku.
Sebuah nama, atau sepenggal cerita yang pada akhirnya harus
kulepaskan, menyerahkannya untuk dimiliki orang lain.

***

Aku dan Kalani semakin akrab. Kami tinggal serumah.


Dia cukup banyak bercerita dengan bahasa anehnya yang
kadang-kadang sulit kumengerti. Dia tidak ingat namanya, tapi
dia ingat sebuah dimensi atau tempat yang baginya sangat gelap
sebelum akhirnya dia seperti terhisap oleh sesuatu dan tetiba
mendarat di dapur rumahku.
Aku mengajarinya banyak hal, seperti memasak,
mencuci pakaian, dan membersihkan rumah. Dua percobaannya
menanak nasi dan menggoreng telur berujung gosong. Sebelum
akhirnya sukses menggoreng telur pertamanya yang bisa dimakan
meskipun keasinan. Dia sudah pandai mencuci baju, tapi kadang
lupa menaburkan deterjen. Dan untuk pertama kali setelah
berbulan-bulan, rumahku jadi terlihat lebih bersih dan menjadi
lebih layak untuk disebut hunian.
Selama berhari-hari aku sering mengajaknya keluar,
membelikannya pizza, makan mi ayam di kedai Mang Ujang,
atau menyantap nasi goreng di pertigaan ketika larut malam.
Kalani menyukai apa yang aku sukai, dan yang lebih penting, dia
membenci apa yang kubenci.
Di hari kelima aku mengajaknya ke toko buku, kami
melewati sebuah toko buah terbesar di pusat kota. Aku menutup
hidungku. Dia bertanya, "Ada apa?"
"Aku benci aroma durian," jawabku.
Lalu dia juga ikut menutup hidung dengan tangannya yang halus.
"Kamu kenapa?"
"Aku juga benci aroma durian."
Kami berdua sama-sama tertawa lepas di atas sebuah jok motor
yang basah dan berlubang, ketika langit sedikit hujan.
Perasaan hangat dan nyaman ketika aku berada di dekatnya, atau
pun saat aku memikirkannya. Kalani memahamiku, mengerti
aku melebihi apa pun.
Hari keenam, Kalani duduk di sebelahku ketika aku
menulis beberapa bait puisi.
"Kedengarannya seperti pengalaman pribadi,"
ungkapnya.
"Sejak kapan kamu jadi sok tahu?"
"Aku mengerti. Aku juga membenci patah hati."
"Kamu pernah patah hati?" tanyaku berbalik sambil
menatap kedua bolamatanya yang hitam pekat.
"Tidak. Tapi kamu sudah membuatku merasakannya."
Aku tertegun. Malam itu hujan kembali turun.

***

Jelang hari ke tujuh, malam minggu yang gelisah, Kalani


duduk di sebelahku. Menemaniku menyelesaikan naskah yang
besok pagi sudah harus kuserahkan. Semakin larut, hujan masih
bergemuruh di atas genteng rumahku. Lubang di atap dapur
bekas Kalani mendarat masih kubiarkan menganga.
Pukul dua belas malam, tulisanku sudah hampir selesai.
"Naskah ini sudah hampir rampung, kamu boleh
beristirahat lebih dulu," kataku.
"Aku akan menemani kamu," jawabnya.
"Sampai kapan?"
"Sampai selesai. Sepanjang waktu yang kamu perlukan."
Sesuatu yang hangat jatuh di permukaan pipiku yang sedikit
basah karena keringat.
"Pada arti yang sama, setelah semua ini selesai, kamu
akan pergi meninggalkanku, kan?"
Kalani tersenyum, bergerak pelan, semakin mendekatkan dirinya
ke arahku dan menampakkan wajahnya yang oval tepat di depan
wajahku.
"Aku akan selalu hidup di dalam kepalamu."
Dia menyentuh dahiku dengan ujung telunjuknya, turun
beberapa senti dan meraba pipiku.
"Aku tepat berada di sebelah kamu untuk beberapa
waktu. Selesaikan tulisanmu," pintanya.
Aku menulis, dengan tangis. Pukul tiga dinihari ia masih sabar
menemani. Tersisa satu kata, aku berhenti.
"Kenapa?" tanyanya penasaran.
"Aku belum mau kamu hilang."
Simpul kecil di bibirnya yang manis membuatku merasa berat
apabila harus melepaskannya.
"Setelah apa yang terjadi, kamu mengajariku banyak hal.
Dan tujuh hari yang indah, membuatku mengerti tujuanku
dikirim ke sini."
"Begitukah? Ternyata aku memang harus menyesaikan
semua ini, ya?" Mataku membasah, Kalani tersenyum,
memandangiku dengan tatapan yang tidak banyak berubah dari
saat pertama kali kami bertemu.
Kutulis perlahan huruf demi huruf dari kata terakhir:
b e r p i s a h. Sesuatu yang harus aku lakukan untuk melengkapi
kerumpangan pada bagian penutup sebuah kisah.
"Terimakasih, Kalani." Suara terakhir yang kuucap
untuknya sebelum dia menghilang.

***

Hujan sudah reda, ceritaku sudah selesai, Kalani telah


pergi. Kukirim naskahku pada pukul tujuh pagi. Dan begitulah
cerita bagaimana aku menemukan Kalani di dalam kepalaku
sendiri. Kalaniku yang manis, berbibir ranum, berambut
sepunggug, berwajah oval dan tidak bisa memasak. Aku
menciptakannya; jatuh dari langit dan mendarat di dapur.
Aku sempat bersamanya beberapa hari, membelikannya
pizza, mengajaknya makan mi ayam dan nasi goreng, serta
membuatnya tidak menyukai aroma durian dan mengajarinya
untuk membenci patah hati. Bagaimana pun aku harus
melepaskannya, menyerahkannya pada siapa saja yang membaca,
dan membuat mereka semua memahami eksistensi Kalani. Dan
alasan kenapa dia dan aku berpisah.
“Homme”

Sejak awal musim semi lalu rutin melakukan jogging


sore di pinggiran Tolouse, saya sering melihat lelaki itu duduk
di sebuah kursi sepanjang satu meter di atas jalanan yang
menyisir sungai Garonne, tak jauh dari jembatan Neuf.
Wajahnya yang hampa menghadap ke sungai, matanya tajam
namun menatap ketiadaan. Kata orang, ia memang hampir
selalu di sana saban sore, dan hanya akan pulang ketika
matahari tenggelam.
Tidak ada yang berani bertanya apa yang sedang ia
lakukan, atau hanya sekadar untuk menyapanya karena dulunya
orang itu dikenal sebagai anggota mafia Marseille yang mudah
naik darah dan berlaku kasar serta pernah terlibat berbagai
tindak kriminal. Ia diketahui agak berubah lebih baik semenjak
menikahi seorang wanita, yang kata orang adalah bekas korban
perkosaan yang ia lakukan sendiri.
Sayangnya, sekitar dua bulan lalu istrinya itu ditemukan
tewas tenggelam di sungai Garonne. Tetangga dan orang-orang
di sekitar apartemennya beranggapan bahwa pria itulah yang
bertanggung jawab atas kematian istrinya. Lebih lanjut,
sebagian besar orang meyakini kalau istrinya tidak tenggelam
karena bunuh diri, melainkan sengaja dibunuh oleh lelaki itu
dengan diceburkan ke sungai mengingat istrinya yang memang
tak bisa berenang. Terlebih lagi karena tetangganya mengaku
sempat mendengar cekcok antara ia dan istrinya tepat dua hari
sebelum istrinya meninggal. Namun, hasil autopsi tidak
menunjukkan adanya bekas tanda-tanda paksaan atau
kekerasan, juga tak ditemukan adanya bukti yang mengarah
pada lelaki itu sehingga ia pun lolos dari jerat hukum.
Entah benar atau tidaknya kabar-kabar itu, saya sendiri
tetap merasa kasihan kepadanya. Raut dan pandangannya yang
benar-benar menggambarkan kesepian serta kesedihan yang
mengekal. Setiap kali melintas sekitar dua atau tiga meter di
depannya, di dekat pohon berangan itu, saya selalu memelankan
lari saya, mencuri pandang ke arahnya, menyaksikan wajahnya
yang nampak menderita. Semacam menyimpan perasaan
bersalah.
Saya lakukan itu selama lebih dari dua minggu
kebelakang. Seingat saya, pernah di hari kedelapan belas, ketika
saya memerhatikannya, ia terlihat berbalik memandang ke arah
saya dengan sorot tajam seolah ingin menikam. Saya pun reflek
segera memalingkan wajah dari hadapannya dan segera
mempercepat lari saya. Saya takut sekali waktu itu. Bahkan
sempat dua hari saya memilih untuk mengambil jalan
mememutar ketimbang lewat di hadapan lelaki itu.
Saya kembali melewati jalan itu dan melintas di
depannya lagi dua hari kemudian, terlihat ia juga sedang
memandang ke arah saya. Namun kali itu saya mencoba untuk
tetap tenang dan bersikap biasa karena tatapannya memang
tidak sebengis yang pertama. Beberapa hari berlalu, saya
melontarkan seutas senyum pada lelaki itu. Ia mengangguk.
Selang sehari saya beranikan diri untuk menyapa dan
mengucapkan selamat sore. Ia tersenyum. Itu kali pertama saya
melihat ia tersenyum. Lalu kami mulai bertegur sapa. Sekali,
dua kali, tiga kali. Hingga pada akhirnya, ia meminta saya untuk
singgah dan duduk. Sukar untuk saya percaya bahwa orang itu
berbicara kepada saya.
"Kau pasti sudah mendengar apa yang orang lain katakan
tentang aku," kata lelaki itu, membuat saya agak gugup.
"Ya, tapi saya tidak bisa menyimpulkan secepat mereka,"
sahut saya.
"Benarkah?" tanya lelaki itu.
Saya melihat ada simpul senyum kecil di wajahnya.
"Apa yang Anda lakukan di sini setiap hari?"
"Kau penasaran? Persis seperti apa yang kau lihat dariku
setiap hari."
"Maaf. Saya tak mengerti."
"Apa yang kau lihat dariku setiap hari?"
Ia balik bertanya. Saya bingung. Semacam takut
bersuara. Malu, karena ia tahu saya selalu memerhatikannya.
Saya mencoba untuk tetap tenang.
"Saya tidak tahu. Mungkin Anda sedang menunggu
seseorang."
"Lalu?"
"Lalu apa?"
"Bukan seseorang."
"Lantas?"
"Aku menunggu jodohku menjemput."
"Bukankah jodoh itu berbentuk orang?"
"Mungkin. Tapi ia berbeda. Ia jodohku yang
sebenarnya."
"Bukankah istri Anda itu jodoh Anda?"
"Mungkin. Tapi aku belum menemukan persamaan
antara istri dan jodoh. Karena istriku telah pergi. Tapi mungkin
jodohku akan membawa istriku kembali kepadaku."
Saya semakin tak mengerti apa yang dikatakan oleh pria
itu dan sempat berpikiran kalau ia memiliki gangguan jiwa.
"Istriku telah pergi meninggalkanku, tepat di bawah
sana," sambungnya sambil menunjuk ke arah aliran sungai
Garonne, dari bawah jembatan Neuf. "Bukan aku yang
membuatnya pergi. Kau percaya itu?"
"Iya," jawab saya.
"Kau berbohong. Kau seperti kebanyakan orang.
Berpura-pura ikut berduka, tapi meneriaki aku pembunuh di
belakang. Bukan begitu?"
"Tidak. Saya tidak seperti itu."
"Benarkah?"
Saya mengangguk. "Anda mencintai istri Anda?"
"Tidak."
Saya melihat ia menahan airmatanya untuk tidak keluar.
"Kenapa demikian?"
"Karena orang lain tak akan mengerti meski aku berkata
iya."
Saya tertegun.
"Seorang pembunuh pada akhirnya tidak mungkin
mencintai istri yang dibunuh olehnya, bukan?"
"Tapi bukankah Anda bilang anda tidak membunuhnya?"
"Ya, persis sepertimu. Orang-orang meragukanku.
Lagipula aku tidak mengenalmu, sebaliknya, kau juga
mengenalku hanya melalui omongan orang lain."
"Tidak, maksud saya bukan begitu."
"Kau tak perlu berpura-pura peduli padaku."
"Saya tak berpura-pura."
"Pergilah. Lanjutkan larimu."
Saya kembali berdiri dan mulai berjalan
meninggalkannya. Tetapi setelah beberapa langkah ia memanggil
saya.
"Tunggu!"
Saya menoleh.
"Siapa namamu?"
"Nama saya Eustache. Ada apa?"
"Bukan apa-apa."
Saya masih kebingungan dengan percakapan yang baru
saja terjadi, percakapan saya bersama lelaki kesepian itu, yang
sepertinya dipenuhi penyesalan, serta bahasanya yang berbelit
dan sulit saya pahami. Dari jauh saya melihat ia masih
memerhatikan saya tanpa memedulikan orang lain yang berlalu-
lalang di hadapannya.
Semenjak percakapan itu, kami jadi sedikit lebih akrab.
Ia mulai sedikit lebih mau terbuka dan sedikit banyak bercerita
tentang kehidupannya, tentang dirinya yang dijauhi oleh orang
sekitar setelah kematian istrinya. Orang-orang beranggapan
bahwa ia tidak mencintai istrinya dan menikahinya karena
terpaksa.
"Orang-orang tidak mengetahui kalau perempuan itu
adalah kekasihku. Sejak awal ia adalah kekasihku. Ia sama sekali
tidak melawan ketika aku melakukan itu. Kami melakukannya
atas dasar suka sama suka. Tidak ada paksaan. Tetapi memang
tidak banyak yang bisa kuingat. Aku sedang mabuk waktu itu.
Tapi aku yakin aku tidak memperkosanya selagi hubungan itu
kami laksanakan atas dasar kemauan."
Aku paham. Memang, jika kupikir-pikir, sulit untuk
menerima kenyataan bahwa perempuan itu mau dinikahi oleh
pemerkosanya. Agak tidak masuk akal.
Sehari setelah kami bertemu dan berbicara untuk terakhir
kali, lelaki itu tidak pernah terlihat duduk di kursi itu lagi.
Bahkan hingga tiga hari setelahnya.
Saya jadi penasaran dan agak khawatir perihal apa yang
terjadi padanya.
Kemudian di hari kelima, di sebuah sore, orang-orang
pesisir Daurade dikagetkan oleh seorang warga yang menemukan
tubuh mengapung di sungai Garonne, berjarak sekitar delapan
ratus meter dari jembatan buah karya Jacques Le Mercier itu.
Banyak orang berkerumun. Berselang satu jam polisi datang, dan
tak berselang lama mereka dan warga sekitar bisa mengenali
bahwa jasad tersebut adalah lelaki yang sering saya lihat duduk
sendiri hingga petang di kursi dekat pohon berangan.
Lelaki yang saya bahkan lupa untuk menanyakan
namanya. Terus terang saya terpukul dan masih tidak percaya.
Perkiraan sementara dari kepolisian, ia bunuh diri dengan
menceburkan dirinya sendiri ke sungai. Beberapa orang telanjur
melihat saya pernah berbicara dengan lelaki itu. Dan setelah
berminggu-minggu, saya merupakan satu-satunya orang yang
berbicara kepadanya. Saya pun ditunjuk sebagai salah seorang
saksi atas kematiannya.
Dua hari setelah penemuan mayat lelaki itu, saya
kembali melakukan lari-lari kecil. Menyusuri jalan setapak yang
sama. Melewati kursi di dekat pohon berangan itu. Saya menatap
ke arah kursi itu. Berhenti di sana. Lalu memutuskan untuk
duduk sebentar.
Saya menemukan sebuah amplop di bawah kursi itu,
dengan lebih dari setengah bagiannya ditindih batu. Saya
membuka dan membaca isinya:
Ya Tuhan, aku tak yakin apakah kau akan menemukan
surat ini. Tapi tentu saja aku berharap kau akan menemukan dan
membacanya. Karena hanya kau yang datang ke sini untuk
berbicara kepadaku.
Pertama-tama aku ucapkan terima kasih karena sudah
mau menjadi teman bicaraku selama beberapa hari. Sebagian
besar apa yang aku sampaikan padamu adalah kebenaran.
Kecuali tentang istriku.
Aku memang tidak memperkosanya. Aku hanya dijebak
oleh dua orang temanku. Mereka yang memperkosanya dan
mereka berpura-pura seolah-olah aku yang melakukannya. Aku
sedang mabuk dan tidak banyak yang kuingat. Di hari-hari
istriku menceritakan kebenaran ini, ia menangis dan menyesal
karena telah menyimpan semuanya. Katanya aku tidak
seharusnya menikahinya. Ia bilang ia sangat menyesal. Tapi aku
tidak marah. Kami sempat berdebat sebelum akhirnya ia
meminta izin keluar untuk menenangkan diri. Ia merasa sangat
dihantui oleh perasaan bersalah dan mungkin karena itu
akhirnya ia memutuskan untuk mengakhiri hidup. Aku tidak
mengatakan hal ini kepada siapa pun selain kepadamu, bahkan
kedua orangtuanya tidak mengetahui kebenaran ini. Aku hanya
ingin menjaga kehormatannya.
Cukup kau yang tahu karena aku memercayaimu,
terlebih karena aku tak sanggup menanggung semua kenyataan
ini sendirian. Sebagaimana kau percaya bahwa aku
mencintainya. Sebagaimana namamu yang berarti 'laki-laki
yang baik, jujur, dan bisa dipercaya.'
Mungkin kau akan dianggap terlibat atas kepergianku,
aku sungguh minta maaf. Namun cukup katakan kepada para
polisi itu hal-hal yang aku ceritakan kepadamu di awal, serta
kenyataan bahwa aku mencintai istriku. Aku pikir itu saja sudah
cukup. Aku akan segera bertemu kembali dengannya.

Terima kasih, Eustache.


Hilmaz.

***

Hari ketika saya dimintai keterangan pun tiba. Saya


hanya mengatakan apa yang pernah lelaki itu katakan kepada
saya. Saya menyimpan rapat-rapat kebenaran tentang istrinya.
"Ada tambahan," tanya polisi.
"Ada," jawab saya.
Polisi itu kembali menyiapkan buku catatan dan voice
recorder miliknya.
"Bisa saudara jabarkan?"
"Ia sangat mencintai istrinya."
Polisi itu terdiam.
Kepingan Ingatan tentang Ibu, Dermaga, dan Rahasia yang Dibawanya

Ibu mungkin tidak akan pernah kembali meski aku menunggunya seratus
tahun atau lebih, menjadi tua, atau bahkan hingga aku mati berdiri. Dan, terus
terang, hal itu sudah tidak terlalu penting lagi. Entah nanti ia akan kembali
atau tidak. Aku sudah cukup lama tanpa dirinya, aku sudah cukup cakap
melakukan banyak hal tanpa dirinya. Aku sudah tumbuh lebih tua, tinggi dan
mandiri untuk terbiasa tanpa kehadirannya. Tapi andai ia tahu, rindu bukanlah
perihal menjadi tua dan bertumbuh tinggi, atau bisa melakukan banyak hal
sendiri.
Sepuluh tahun nyatanya bukan waktu yang singkat. Kadang aku masih
berpikir, seandainya ia masih hidup, bagaimana rupa ibuku sekarang. Apakah
rambutnya masih hitam dan panjang? Apakah bibirnya masih merona?
Apakah jari-jarinya masih lentik dan kuku-kukunya berkilau? Lekuk
tubuhnya, dan hal-hal lain yang membuat ia kerap menjadi perbincangan
hangat orang-orang yang tinggal di sekitar dermaga. Dan, seandainya ia sudah
meninggal, aku ingin tahu di mana ia bermakam sekarang. Sungguh,
meskipun kebencian ini menjalar tumbuh dari hari ke hari memenuhi dadaku,
tapi jika suatu saat ia memilih untuk kembali, tentu aku masih akan
memaafkannya.
Mengunjungi dermaga ini tidak kurang dari lima kali dalam setahun adalah
sebuah bukti bahwa aku tidak pernah betul-betul mengingkari keberadaan ibu
di dalam hatiku. Meskipun rasa kecewa itu selalu menyertai setiap jengkal
langkah kakiku yang mendekati dermaga ini, karena memang tidak pernah
kunjung ada sesuatu pun yang tiba dari dirinya kepadaku; wujud, suara,
aroma, atau bahkan selintas kabar.
Bulan Desember adalah waktu favoritku untuk menghampiri dermaga ini.
Ibuku pernah berkata, Desember adalah bulan yang baik untuk menunggu dan
bersembunyi. Desember membuat pagi di dermaga ini menjadi lebih berkabut,
sementara ketika petang tiba, segalanya akan terasa jadi lebih sejuk.
Aku tidak terlalu mengerti apa yang dimaksud oleh ibu saat itu. Dan, menurut
Nyonya Clara, teman lama ibu yang juga adalah satu dari sedikit tetangga
yang peduli dan baik kepada kami, sebelum tinggiku segagang pintu dan ibu
pergi meninggalkanku, aku dan ibu pernah tiga kali berpindah tempat tinggal.
Ingatan Nyonya Clara masih hangat ketika ibu datang kepadanya dengan
wajah gelisah, meminta bantuan untuk dicarikan sebuah rumah.
Sejak saat itu, sepertinya ibu memang belum pernah mengatakan kepada siapa
pun—termasuk aku—apa yang sebenarnya sedang ia tunggu, atau dari apa ia
bersembunyi.
Namun sekarang, aku jadi sedikit lebih mengerti kenapa ibu menyukai
suasana dermaga di bulan Desember; kabut pagi adalah rahasia dari siapa dan
apa yang akan datang dan tidak akan pernah datang, sementara petang yang
sejuk adalah pelukan untuk menenangkan segala hal yang mengecewakan.
Pukul lima lebih sore ini, aku memandang ke arah laut lepas. Kutemukan
kapal-kapal berlabuh dan seakan-akan aku sedang mencatat ulang kepingan
ingatan itu; sore hari ketika ibu berkata ia akan pergi ke pasar sebentar, lalu
aku dengan polosnya mengangguk. Kalau saja aku tahu itu berarti selamanya,
aku tidak akan pernah berkata iya.
Setelah ibu pergi, berjam-jam aku menunggunya pulang. Sore luruh dan
menjelma malam. Hingga Nyonya Clara datang dan aku menangis karena
perlahan menyadari bahwa aku adalah anak gadis yang ditinggalkan oleh
ibunya pergi ke pasar, namun tidak kunjung kembali.
Sebagai seorang anak kecil, pada awalnya aku tidak benar-benar memahami
alasan mata ibu memerah sebelum ia menaiki kapal yang membawanya pergi
di hari itu. Meski aku sudah tahu bahwa sejak beberapa hari sebelumnya, ibu
berubah menjadi lebih pemurung, sering melamun, dan terkadang ia malah
tetiba menangis.
Aku pikir semua itu bermula setelah ibu menerima beberapa orang tamu di
depan rumah. Aku juga sempat mendengar ibu membentak mereka dengan
suara yang cukup keras hingga mengagetkan kucing kami. Aku bahkan masih
ingat ada seorang wanita yang mencoba memaksa masuk ke dalam rumah
kami sebelum ibu menahan pintu dan menghalanginya masuk, sampai seorang
lelaki berbadan besar dari mereka mendobrak pintu. Ibu terjatuh sesaat,
memberi isyarat dengan tangannya agar aku masuk ke dalam kamar,
sementara ia berbicara dengan beberapa orang itu di luar.
Berselang tidak begitu lama, ibu masuk ke kamar menyusulku. Ia peluk aku.
Aku tidak memiliki banyak waktu untuk memandangi wajahnya kala itu, tapi
yang kuingat, sepertinya itu adalah pelukan terakhir dari ibu yang aku tubuhi.
Beberapa tahun selepas kepergian ibu, tanda tanya itu masih belum terjawab
seiring bertambahnya usiaku. Ke mana ia pergi, atau alasan apa yang
membuat ia tidak pernah kembali. Aku pernah meminta bantuan Nyonya
Clara untuk menyusul ibu ke pasar, atau ke kota, atau ke tempat di mana pun
sekiranya ia berada, tapi ia menolak dengan alasan yang kurang bisa kuterima.
Nyonya Clara berdalih bahwa ia trauma dengan dunia luar, terlebih untuk
bepergian ke kota. Sejak aku dan ibu tiba di perkampungan dekat dermaga ini,
aku memang tidak pernah mendapati Nyonya Clara pergi meninggalkan desa
hingga akhir hayatnya tiba.
Nyonya Clara mengembuskan napas terakhirnya ketika aku berusia lima belas
tahun. Dengan pesan pendek yang ia bisikkan pelan di telinga kananku.
Katanya, aku tidak boleh menyusul ibu ke mana pun sebelum usiaku
mencapai tiga puluh lima. Dunia luar sangat tidak terduga dan berbahaya,
tambahnya. Sekarang, dua tahun berlalu sejak kematiannya. Walau
bagaimanapun, aku sudah berjanji pada Nyonya Clara untuk menuruti pesan
darinya itu.
Kini aku benar-benar sendirian, diserang lebih sering oleh kebencian bertubi-
tubi kepada ibu, tapi di sisi lain aku juga memiliki keinginan untuk berjumpa
dengannya, atau setidaknya mengetahui sedikit kabar tentangnya. Dan, tanpa
memasang ekspektasi berlebih, barangkali pilihan paling tepat bagiku saat ini
adalah datang ke dermaga, semata-mata untuk mengingat wajahnya, aroma
tubuhnya, juga suaranya yang dulu menenangkan masa kecilku.
Sesekali aku mencatat tanggal di dalam kepalaku. Sebentar lagi bulan
Desember akan memenuhi nama-nama di dinding dan ibu akan terasa jauh
lebih dekat denganku ketimbang di bulan-bulan yang lain.
Tepat di bulan Juli kemarin, usiaku genap tujuh belas tahun. Kata orang, tujuh
belas adalah perpindahan masa remaja menuju jenjang yang lebih matang.
Seperti yang Nyonya Clara pernah bilang, semakin usiaku bertambah, aku jadi
semakin mirip dengan ibu. Aku mengamininya setiap kali menemukan diriku
sedang becermin; mata sayuku, rambut hitamku, bentuk bibir juga jari-jariku
yang lentik. Bedanya, ibu selalu tampak cantik, sedangkan aku sungguh tidak
pandai bersolek. Ibu akan selalu ada dan hidup di dalam diriku, kata Nyonya
Clara lagi.
Matahari sedikit demi sedikit menenggelamkan dirinya. Dari dermaga ini, ia
nampak akan bersembunyi ke dasar air. Di kejauhan, kapal-kapal perlahan
membentuk siluet. Burung-burung yang aku tak tahu jenisnya beterbangan.
Mataku menangkap seekor burung yang terpisah cukup jauh dari
rombongannya. Aku membayangkan burung itu adalah aku. Bedanya, ia
mampu dan tahu ke mana harus menuju, sementara aku tidak.
Aku memutuskan untuk kembali ke rumah setelah lebih dari tiga jam duduk di
kursi yang memuat selonjoran kaki di atas dermaga ini. Menikmati embusan
angin yang semakin sejuk seiring cahaya di langit berubah jadi lebih merah
dan sendu. Segala yang terasa, terdengar, terlihat dan tercium oleh indraku
menciptakan kedamaian sekaligus kesepian.
Aku tahu hari ini ibu masih tidak akan pulang. Andai pun pulang, kecil
kemungkinan ia memilih petang sebagai waktu kepulangannya. Sebab,
setahuku ibu lebih menyukai pagi, awal dari sesuatu yang baru, sekaligus
waktu yang menyimpan rahasia dari siapa dan apa yang datang dan tidak akan
pernah datang.
Sekitar satu jam setelah aku tiba di rumah, aku mendengar suara ketukan di
balik pintu. Aku cukup kaget dan agak semringah. Barangkali itu Tuan
Charles, tetangga dekat yang bekerja sebagai nelayan. Ia sering pergi ke kota
dan memberiku ikan hasil tangkapannya. Mungkin hari ini, selain memberiku
beberapa ekor ikan, ia juga mendapatkan sedikit informasi mengenai ibu
untuk ia bagikan kepadaku.
Perlahan aku mendekati pintu, mengintip tamu itu dari celah lubang kunci.
Namun, aku tahu pasti itu bukan Tuan Charles. Aku melihat ada seorang
wanita di luar. Dan, mataku bisa menangkap kalau ia tidak sendiri. Setidaknya
ada dua orang pria berpakaian hitam dan bertubuh cukup besar yang masing-
masing berdiri di sisi kiri dan kanannya.
Sedikit demi sedikit pintu kubuka. Cahaya redup dari lampu-lampu di ruang
tamuku perlahan sampai ke wajah wanita itu. Kulitnya agak keriput. Ia
mengenakan pakaian bekerlipan yang agak mencolok jika digunakan di
malam hari, serta topi model fedora berwarna ungu yang menutupi sebagian
besar kepalanya.
Kupadangi lekat-lekat rupanya yang secara samar-samar, sepertinya aku
pernah melihatnya. Ia tersenyum ke arahku dengan sangat lebar. Sayup-sayup
kudengar wanita itu berkata sambil melihat ke arah dua pria di sebelahnya
dengan masih mengumbar senyuman.
"Lihat, ia sudah besar dan semakin mirip dengan ibunya. Tentu. Ia adalah
pengganti yang sepadan. Ia jauh lebih muda dan segar. Mereka pasti tidak
akan merasa kehilangan perempuan itu lagi kalau gadis ini ikut dengan kita."
Mencintai Martin

Dia hanya menyukai nama Martin, dan hanya ingin


dipanggil dengan nama itu. Dia akan kesal apabila ada orang
yang memanggilnya dengan nama lengkap. Terkadang dia juga
menjadi seseorang yang membenci Tuhan, mengutuk takdir dan
keadaannya sendiri, menyesali kelahiran, serta kekosongan yang
memenuhi kehidupannya.
Bukan tanpa percobaan untuk berubah. Sesekali dia
pun ingin menjadi orang lain kebanyakan. Yang berdiri menahan
laju angin, tersenyum dan sadar bahwa masih ada sesuatu yang
menyenangkan untuk ditertawakan. Tapi kemudian dia
menyadari bahwa dia tidak menemukan kebahagiaan dan
ketenangan saat mencoba untuk menjadi seseorang yang bukan
dirinya.
Proses pencarian jati diri yang dilalui olehnya memang
terbilang rumit. Orangtuanya bercerai saat dia masih berusia
delapan tahun, dia tinggal bersama ayahnya yang seorang montir.
Namun ketika usianya menginjak tiga belas tahun, ayahnya mulai
sering bertindak kasar dan tidak segan untuk mendaratkan
pukulan di wajahnya.
Terlebih ketika dia pulang larut malam, atau saat dia
kedapatan tengah menyimpan dan menghisap batangan rokok.
Dia juga beberapa kali tidak diakui sebagai anak hingga
membuatnya selalu berpikir bahwa kehidupannya mungkin akan
jauh lebih baik andai ibunya masih ada di sisinya.
Usianya sekarang hampir dua puluh tahun dan semakin
sering mendengar cerita-cerita tentang cinta dari teman
nongkrongnya di sebuah kedai kopi langganan mereka. Teman-
temannya akan saling beradu foto pasangan masing-masing, siapa
yang lebih cantik, serta obrolan tentang rencana menghabiskan
malam tahun baru yang sebentar lagi tiba. Ini bagian yang paling
dibenci olehnya. Mereka akan mulai memintanya untuk
menemukan pasangan. Tapi dia tahu, itu tak akan semudah
membalikkan telapak tangan.
Dia tidak mengerti di bagian mana harus menempatkan
diri. Karena suara keraguan itu selalu keluar atas dasar ketakutan
yang mengisi seluruh isi kepalanya.
Dia ragu akan kembali gagal. Beberapa bulan lalu dia
pernah mencobanya dua kali pada dua orang yang berbeda.
Pertama, percobaan langsung untuk menyatakan perasaan pada
seorang teman perempuannya. Kedua perkenalan di dunia maya
yang membawanya pada sebuah pertemuan di pertengahan April
yang menggugurkan hati dan harga dirinya. Dia ditolak oleh dua
orang perempuan dengan sangat telak.
Bahkan kalimat seorang perempuan yang pernah dia
coba untuk dekati itu masih terasa berdengung di gendang
telinganya. Keras sekali.
Bujukan demi bujukan terus dia dapatkan. Untuk segera
memulai lembaran baru, untuk fokus pada apa yang ingin dia
ubah, apa yang ingin dia capai dan mengaburkan apa yang telah
berlalu. Tetapi dirinya sadar, itu tak akan berjalan mudah.
Apalagi jika ayahnya tahu bahwa dia sedang berusaha untuk
memiliki seorang kekasih.

***

Tiga hari berlalu. Dia berkenalan dengan seorang


perempuan di salah satu grup Facebook cari jodoh, dia
berkenalan dengan seseorang yang memiliki akun profil bernama
Mirna Purnama. Mulai dari saling bertukar ekspresi pada status
masing-masing, bertukar isi komentar, hingga merambah ke
kolom pesan personal.
Hari demi hari mereka semakin akrab, Mirna bahkan
mengungkapkan keinginan untuk mengajaknya bertemu di
taman dekat batas kota yang memisahkan dua kota kecil mereka.
"Aku belum siap," ketiknya dalam isi sebuah pesan
singkat.
Sudah lebih dari seminggu mereka rutin bertukar kabar,
atau hanya sekadar menanyakan hal-hal sepele semacam sedang
apa, di mana dan sudah makan atau belum. Perhatian-perhatian
kecil, pemahaman pada pribadi masing-masing, serta kehangatan
yang ditunjukan oleh keduanya, rupanya menyisakan pertanyaan-
pertanyaan mendasar atas perasaan yang abstrak; apakah tanpa
bertemu, mereka bisa jatuh cinta?
Terlebih di dalam benak Mirna. Meski pun dia belum pernah
menemui seseorang yang mengaku bernama Martin itu, dia
merasa amat terkesan dengan perhatian dan kehangatan-
kehangatan lewat pertukaran pesan yang sering mereka lakukan.
Karena memang, Martin tidak pernah mengunggah atau pun
mengirimkan foto pribadi kepadanya. Dia mengaku terlalu
pemalu, bahkan hanya untuk sekadar melakukan hal itu.
Sementara di sisi lain, Martin tengah merawat
kecemasan yang tumbuh dari perasaan takut kehilangan. Atau
barangkali ia akan dijauhi oleh Mirna saat mereka berdua
bertemu, saat Mirna tahu tentang dirinya.
Mungkin begini saja sudah cukup, pikirnya.
Dia takut apabila Mirna menjauhinya. Dia takut Mirna
merasa jijik bila berada di dekatnya.
Di dalam kamarnya, dia sedang bercermin, menatap
dirinya dalam-dalam. Mulai bergumam pada dirinya sendiri,
bahwa hal paling buruk yang pernah dia lakukan adalah
bersembunyi karena takut akan merasa patah dan dipermalukan
sekali lagi. Persisnya, mungkin seperti saat ini.
Kemudian dia mengambil ponselnya, memutuskan
untuk segera membuat panggilan ke nomor Mirna. Dia gugup
sekali. Karena lebih dari seminggu berkenalan, dia belum pernah
sekali pun menghubungi Mirna dengan suara.
Dia sedang merencanakan sesuatu, membuat sebuah
keputusan untuk mengajak Mirna bertemu, bahwa dia akan
menemui Mirna sebagai dirinya sendiri.
Telepon diangkat. Tapi terlebih dahulu dia berdehem
untuk memastikan bahwa suaranya cukup keras dan tegas.
"Iya, halo." Terdengar suara Mirna yang halus dari balik
telepon. Menggugurkan kebulatan niat yang sempat
dikumpulkan olehnya. Kemudian keberadaannya yang sedang
menggenggam telepon menjadi hening tanpa suara. Dengan lekas
dia menutup teleponnya. Dia merasakan sesuatu berupa
keraguan sedang tersangkut di lehernya yang datar.
"Suaraku tidak bagus. Di SMS saja, ya."
Dia memulai percakapan lewat sebuah pesan.
"Haha! Bisa aja, Kak. Iya ada apa?" Mirna merespon.
"Kita bisa ketemu nanti sore?"
"Hah? Serius, Kak?"
"Iya, di taman. Aku orang dengan helm hitam dan
kemeja merah kotak-kotak."
"Kayak gaya Presiden dong, Kak. Hehe. Okedeh Kak."
"Haha! Jam setengah lima, ya, Mir."
Pesan ditutup dengan sebuah emoji berbentuk kecupan dari
Mirna.
Dia menghela napas. Meyakinkan dirinya bahwa
semuanya akan baik-baik saja. Konsekuensi terburuknya, dia
akan dijauhi. Cuma itu saja. Toh, dia masih bisa bernapas dan
hidup. Sebab dijauhi atau merasa kehilangan bukanlah sesuatu
yang asing untuk dipertanyakan. Setiap hari, bukankah orang-
orang di dunia kehilangan?

***

Pukul setengah lima, dia sudah menunggu di taman


batas kota, dengan baju kemeja merah kotak-kotak dan helm
yang masih terpasang di kepalanya. Seperti yang sudah
dijanjikannya.
"Di mana, Kak?"
Pesan dari Mirna masuk. Dia merogoh saku celananya dan
segera membalas.
"Di kursi kembar. Dekat ayunan besi."
"Aku tidak lihat."
"Kamu di mana?"
"Aku di dekat tugu patung penyu."
"Aku ke sana."
Dia kembali menghela napas.
"Tak apa. Tak apa. Tak apa," yakinnya pada dirinya
sendiri.
Sepuluh menit berlalu. Mirna masih mencari-cari sosok
misterius yang belakangan menemaninya memecah kesunyian.
Dia sedikit kehabisan kesabaran. Dia berdiri dan memutuskan
untuk kembali mengirimkan sebuah pesan.
"Kakak di mana?"
Lima menit berlalu. Namun masih belum ada jawaban.
Dia kembali terduduk anggun. Rambutnya lurus sedada, dengan
frame kacamata berwarna merah muda seperti hati dan baju yang
hari ini dikenakannya.
Teleponnya menerima sebuah panggilan masuk atas
nama Martin. Dia bergegas mengangkatnya.
"Halo, Kak.."
"Di belakangmu."
Suara di balik telepon itu terdengar lebih halus ketimbang suara
laki-laki kebanyakan.
Mirna menoleh, dan seseorang dengan tubuh ramping, berbalut
kemeja merah kotak-kotak melepas helm yang dipakainya,
rambutnya agak pendek dengan gaya terangkat, juga dengan
sebuah tindik yang terletak di dagunya.
"Siapa, ya?" tanya Mirna.
"Aku Martin. Martina Puteri Sonya," jawabnya
sembari mengulurkan tangan.
Dengan perasaan ragu serta tak percaya, Mirna
menyambut tangan Martin, seorang perempuan yang nyaris
menyerupai laki-laki. Mirna memandanginya, terheran-heran.
Ingatan yang Berpendar di Sela-Sela Ranting Damar

Lis, aku menulis ini untukmu sewaktu sedang


mengunyah kerupuk pedas yang kuminta dari anak kita. Mataku
berair ketika kerupuk itu menyentuh bibir bagian atas kiriku yang
sariawan.
Aku membenci sariawan. Sangat. Kurasa kau pun tahu
itu ketika kita beristirahat di bawah pohon damar yang hingga
kini sering kupandangi di seberang jalan sana. Tapi bila kupikir
lagi, bukankah memang tidak ada manusia yang menyukai
sariawan? Sakitnya membuat orang sulit mengunyah makanan.
Aku tahu ini pengenalan cerita yang buruk, Lis. Tapi aku harap
kau tetap mau membacanya.
Tidak, tidak. Ini bukan tentang aku. Bukan tentang pria
empat puluhan bodoh yang rutin mengamati kepergian senja
hanya untuk merawat sebuah nostalgia. Yang keliru saat
mengatakan padamu bahwa senja hari ini tidak akan
membunuhku, atau membuatku merasa kosong saat menatapnya
dari atas bangku sepanjang dua meter itu sendirian.
Tapi, ya… baiklah. Ini memang tentang aku, tapi tidak
banyak. Karena pada dasarnya aku hanya ingin kau tahu apa
yang kurasakan saat melihat seorang perempuan tewas di depan
mataku, sedangkan aku tak bisa melakukan apa-apa untuk
menyelamatkannya.
Empat hari yang lalu, saat senja perlahan gugur di
belakang punggung sebuah pohon damar setinggi lima puluh
meter, dengan batangnya yang silindris abu-abu kecokelatan, saat
satu-satunya yang kupikirkan adalah bisa duduk berdua
denganmu di atas kursi itu sambil memandang ke arah jalanan
yang ia naungi, dan menemukan diri kita masing-masing sedang
berteduh dari terik mentari yang dulu pernah mengancam kulit
putihmu, juga rambut lurusmu yang sebahu. Aku masih bisa
melihatmu, bahkan saat matahari telah redup dan hanya
menyisakan cahaya jingga yang berpendar di sela-sela ranting
pohon damar.
Bila kuputar memoriku sebentar, seingatku, sekitar dua
puluh tahun yang lalu, jalanan itu masih berdebu dan berlubang,
belum beraspal dan semulus sekarang. Kafe dan minimarket di
seberang jalan itu juga belum di bangun. Hanya ada Warung
Soto Mbok Jum dan Toko Kelontong Bang Jon, di mana aku
pernah membelikanmu obat merah karena luka di lutut akibat
jatuh dari motorku yang butut. Matamu sedikit basah waktu itu,
aku tak ingin kau menangis. Lantas aku berpura-pura memarahi
motorku, mengumpatnya dengan kata-kata kasar untuk
menghiburmu.
Dan kita tahu bagaimana akhirnya. Motorku mungkin
merajuk. Mogok. Membuat kita berjalan beberapa langkah
sebelum merasa lelah dan singgah di bawah naungan pohon
damar yang dulu masih belum sebesar sekarang. Pohon damar
yang hari itu kupandang. Tapi setidaknya aku berhasil, kau tak
jadi menangis. Kau pukul pundakku. Malu. Kemudian kita
bercerita banyak tentang sesuatu yang kausukai dan kaubenci di
pertengahan hari yang terik. Aku juga. Termasuk tentang
sariawan yang di atas tadi kutuliskan.
Lis, aku melihat sepasang muda-mudi keluar dari
sebuah kafe, sekilas orang-orang di balik pintu kaca tempat itu
juga memandangi mereka berdua dengan heran. Keduanya
mengalihkan cukup banyak perhatian. Sementara di jalanan,
suara mobil dan motor saling bersahutan. Roda-roda besi
berlapis karet itu sedang berlalu lalang di bawah langit sore pukul
lima lewat tiga puluh delapan. Aku pikir mereka sedang berada
dalam sebuah pertengkaran.
Mereka saling memandang dengan raut yang
menyimpan kekesalan. Gerak bibir keduanya gagal kubaca.
Hanya terdengar gumaman yang menyela detik-detik tanpa
klakson kendaraan. Aku berasumsi lelaki yang —aku akui—
cukup tampan tersebut merupakan kekasih dari perempuan itu.
Perkiraan kedua, lelaki itu adalah saudara dari sang perempuan.
Aku abaikan dugaan terakhir, bahwa lelaki itu merupakan ayah
dari perempuan yang panjang rambutnya nyaris sepinggang.
Karena mereka berdua memang terlihat masih sepantaran.
Sepuluh meter adalah jarak dari tempat dudukku
dengan titik pertengkaran mereka. Dan, Lis, kau mungkin mulai
bertanya-tanya di mana letak permasalahan yang ingin
kusampaikan. Karena omong kosong yang kutuliskan sudah
terlalu panjang.
Memang di usiaku yang sudah tak lagi muda, aku masih
seperti dulu; berbelit, mudah putus asa, dan sering dihantui oleh
perasaan-perasaan bersalah.
Keduanya masih beradu pandangan dengan wajah yang
tegang. Sebelum akhirnya tangisan dari perempuan itu memecah
suasana pinggiran kota yang ramai menjelang senja. Bukannya
menenangkan, lelaki itu malah bergegas meninggalkan. Dia
berjalan santai dengan tangan yang melambai-lambai. Sebuah
taksi berwarna kuning singgah menghampirinya, membawanya
pergi dan hilang tak terlihat lagi.
Perempuan itu menangis semakin kencang. Sebuah truk
pengangkut lewat dan menyamarkan rintihannya dengan
raungan. Aku masih memerhatikannya, sembari berpikir apa
yang bisa dilakukan oleh lelaki yang hampir separuh baya
sepertiku untuk meredakan tangisannya. Aku tidak mungkin
memaki sebuah motor untuk membuatnya berhenti menangis,
kan Lis? Karena dia bukan dirimu, dan memang tidak akan ada
orang lain yang sepertimu.
Hampir sepuluh menit berlalu, dia masih menangis.
Sementara orang-orang yang lewat di sekitarnya hanya melihatnya
dengan tatapan yang bingung dan ragu. Aku mulai ingin beranjak
dan menemuinya di seberang jalan. Berpikir keras untuk bisa
menghiburnya. Mungkin dengan mengatakan bahwa kehilangan
bukanlah akhir dari segalanya. Meskipun ini bukan kalimat
milikku. Aku sering mendengar dan membaca kalimat itu saat
menonton film dan membaca buku.
Namun aku terlambat. Seperti kebiasaan-kebiasaan
burukku yang kaubenci, Lis. Aku masih sering terlambat.
Aku terlambat. Aku melihat perempuan itu lebih dulu
bergerak perlahan menuju ke tengah jalanan yang dipenuhi oleh
kendaraan, dengan airmata yang masih belum sempat diseka
pada permukaan pipinya.
Dan kau pasti tahu betul apa yang terjadi selanjutnya.
Dia ditabrak oleh salah satu dari rombongan truk pengangkut.
Kepalanya pecah. Darah berhamburan di mana-mana, di
moncong mobil, di dressnya yang berwarna merah muda, di
bahu jalanan.
Dia tewas seketika. Sang pengemudi truk histeris dan
bingung harus bagaimana, aku terkesiap dengan mulut menganga
dan perasaan tak percaya. Lalu lalang kendaraan terhenti
sejenak. Beberapa orang yang sibuk dengan kepulangan dan
sikap acuh perlahan memperlihatkan kepedulian.
Selang tak berapa lama suara sirine mobil polisi dan
ambulan datang bersahut-sahutan. Lalu lintas macet karena jalur
perjalanan dipersempit.
Senja telah gugur dan pendar-pendar cahaya di balik
pohon damar yang masih ada telah hilang sepenuhnya. Aku
masih terduduk dan tak berani mendekati tempat kejadian
perkara.
Lis, ini bukan bagian terburuknya. Kau tahu, ini kedua
kalinya aku menyaksikan seseorang tewas tepat di depan mataku,
sementara aku selalu terlambat, tanpa bisa melakukan sesuatu.
Aku selalu berharap bisa memutar waktu dan kembali ke
beberapa menit sebelum kejadian itu. Sampai-sampai kecemasan
dan perasaan bersalah tersebut menyasar ke dalam mimpiku.
Dalam mimpiku dua malam yang lalu, aku melihat
perempuan itu. Lengkap dengan rambut lurus panjangnya yang
hampir sepinggang, dengan dress merah mudanya yang masih
bersih, dan tentu saja dengan lelakinya yang brengsek.
Kejadiannya sama persis dengan yang pernah terjadi sebelumnya.
Tetapi, dalam mimpi itu aku segera beranjak dari kursi dan
memukul lelaki itu hingga mimisan dan pingsan.
"Kau selamat," kataku, sambil menarik tangan kanannya.
Dia bingung, melepaskan genggaman tanganku, lari ke
tengah jalan raya dan kembali ditabrak oleh sebuah mobil hingga
tewas. Aku langsung terbangun dengan napas yang terengah-
engah.
Dan ini tak cuma terjadi satu kali. Tadi malam, aku
kembali memimpikan perempuan itu, masih dengan rambut
lurus panjangnya yang sepinggang, dress merah mudanya,
bersama kekasihnya yang tentu saja juga masih brengsek.
Pada mimpi kedua, aku kembali memukul kekasihnya
hingga pingsan.
Aku menggenggam tangannya erat-erat sembari berkata,
"Kau selamat."
Dia masih bingung dan berusaha untuk melepaskan
genggaman tanganku. Tapi kali itu berbeda. Aku memegang
tangannya sekuat tenaga. Kami berjalan beberapa langkah,
melewati pohon damar yang tua, namun dia diam tanpa suara.
Aku ajak dia berhenti sejenak, cukup jauh dari jalanan,
untuk memulai pembicaraan dan menjelaskan apa yang terjadi
andai aku tak memukul kekasihnya. Tetapi tiba-tiba sebuah truk
pengangkut oleng, menabrak bahu jalan, menabrak kami berdua.
Aku langsung terbangun dan menyadari bahwa itu hanyalah
kelanjutan dari mimpi buruk yang malam sebelumnya juga
kualami.
Dan, Lis. Hari ini, aku jadi semakin mengerti bagaimana
kematian telah ditentukan oleh Tuhan, dan aku tidak mungkin
bisa mengubahnya. Aku juga tak bisa memutar waktu untuk
memperbaiki segalanya. Aku hanyalah manusia yang terlalu
banyak kekurangan, yang kemampuan terakhirnya cuma sebatas
merawat ingatan.
Dan betapa aku yang kurang ini seharusnya merasa
sangat beruntung karena pernah kau lengkapi. Atas dasar
ketidakberdayaanku, keterlambatanku, dan betapa mudah putus
asanya aku. Di samping semua kelemahan itu, aku ingin selalu
merasa bahagia karena pernah ditemukan olehmu.
Aku menangis, Lis. Bukan karena sariawan. Tapi karena
aku terlalu merindukanmu.
Sepuluh Tahun Setelah Pergi ke Warung

Sebagai seorang laki-laki yang miskin saya tidak punya


pilihan lain selain meninggalkannya. Sejak kecil dia dan
keluarganya sudah terlalu baik dengan saya dan ibu saya. Pikiran-
pikiran semacam balas budi selalu berenang di kepala saya.
Meski pada dasarnya saya juga mencintainya, tapi apa yang dapat
saya tawarkan untuk membahagiakannya? Jawabannya: tidak ada.
Saya sering merasa bersalah tiap kali saya menatap
matanya yang layu ketika ia memandang kepada sepasang
kekasih yang sedang menikmati waktu berdua, tertawa gembira,
hingga bertukar hadiah dalam merayakan ulang tahun hubungan.
Mungkin. Entah pacaran atau perkawinan. Saya lupa bertanya
dan saya memang tidak ingin tahu urusan orang. Yang jelas
mereka pasti dua orang yang menjadi pasangan.
Dia orang yang baik bagi saya. Malah terlalu baik.
Bahkan sejak kecil, sejak kami masih duduk di sekolah dasar
ketika dia membantu saya untuk membayar uang sekolah karena
uang saya habis di toko mainan Bang Jawir yang cakap merayu
bocah-bocah tolol macam saya. Gara-gara dia, uang sekolah saya
habis buat dibelikan mobil-mobilan tamiya. Bang Jawir yang
bangsat itu.

***
Hari ini dia sudah menunggu saya, berdiri di dekat
jembatan sambil memetiki bunga-bunga yang hingga sekarang
saya tidak tahu milik siapa.
"Selamat siang," katanya. "Cuacanya sedang panas."
Saya mengangguk.
"Kamu tidak malu punya kekasih seperti saya?" tanya
saya di sebuah siang yang terik, saya memang sering mengajaknya
bertemu di jembatan ujung kampung ini. Hampir setiap sebulan
sekali. Saya benar-benar tidak romantis. Lebih parah, saya jarang
ada untuknya.
"Kenapa harus merasa malu?"
"Karena saya orang susah."
"Bagi saya hartamu tidak penting. Selama kamu selalu
berada di sisi saya, itu lebih dari cukup," dia membalas dengan
jari-jarinya memegangi kelopak-kelopak bunga. Seolah-olah ingin
melakukan perhitungan rahasia dengan alam, apakah saya cukup
layak untuk dicintai atau tidak.
"Sudah sepuluh tahun. Kamu tidak bosan dengan saya?
Saya benar-benar tidak memiliki sisi romantis seperti laki-laki
lain."
"Apa ada sesuatu yang membuatmu ragu pada saya?"
Pertanyaannya membuat saya bungkam sejenak. Saya pandangi
aliran air sungai yang ada di bawah kami. Tapi saya tak
menemukan kalimat yang tepat untuk pergi tanpa menyakiti
perasaannya.
"Tidak. Tidak ada yang salah dengan air yang mengalir,"
jawab saya.
"Apa maksud kamu?" dia bingung.
"Bukan apa-apa. Saya cinta kamu. Tapi saya harus pergi
ke warung untuk membeli rokok."
"Sekarang?"
"Iya."
"Saya ikut kamu."
"Jangan. Kamu di sini saja. Saya cuma sebentar," terang
saya.
Sejak siang hari di jembatan itu saya sudah tidak pernah
berjumpa dia lagi. Sehabis membeli rokok saya langsung
berangkat ke tempat yang jauh di bagian utara, meninggalkan
perempuan itu, meninggalkan kampung.
Berbekal pakaian yang kumal dan persedian
berbungkus-bungkus mi instan yang siap saya santap kapan pun
saya lapar. Saya meninggalkannya di sana. Dengan perasaan
sedikit bersalah. Tapi saya pikir, jika tanpa uang saya tidak
mungkin bisa membahagiakannya. Saya akan mencari uang yang
banyak. Membelikannya kalung. Membelikannya cincin.
Membelikannya masa depan.
Saya tinggalkan sepucuk surat untuknya yang saya
serahkan kepada ibu saya yang merangkak pikun. Saya tidak
banyak permohonan. Saya hanya berharap dia mengerti.
***

Sepuluh tahun kemudian saya kembali sebagai orang


kaya. Di pusat kota saya menemukan pekerjaan yang cocok
untuk dilakukan oleh orang miskin. Setelah perjalanan yang
panjang akhirnya saya bisa memiliki segalanya. Uang untuk
membelikan dia apa saja. Hanya saja saya harus kehilangan satu
ginjal saya. Di sisi lain saya merasa seperti sudah kehilangan
semuanya. Ibu saya semakin tua, pikun dan ubanan.
Saya habiskan waktu dua hari untuk meluruskan kaki.
Perjalanan yang panjang membuat kaki saya kesemutan. Sesudah
itu saya kembali ke jembatan untuk menemuinya setelah sekian
lama.
"Selamat sore," katanya. "Cuacanya gerimis."
Saya tersenyum sedikit.
"Kamu tentu sudah tidak malu punya kekasih macam
saya, kan?" tanya saya di suatu sore yang mendung.
"Kenapa saya harus merasa tidak malu?"
"Karena saya bukan lagi orang susah."
"Sebenarnya bagi saya hartamu tidak penting. Selama
kamu selalu berada di sisi saya, itu sudah lebih dari cukup,"
balasnya. Jari-jarinya bergerak mengelupas kelopak-kelopak
bunga. Melakukan perhitungan rahasia dengan alam, apakah
saya masih layak untuk dicintai atau tidak.
"Sudah dua puluh tahun. Kamu tidak bosan dengan
saya, kan?"
"Dasar apa yang membuatmu berpikir demikian?"
tanyanya.
Pertanyaannya membuat saya kembali bungkam sejenak. Saya
pandangi lagi aliran air sungai yang ada di bawah kami.
"Karena air di sungai ini tidak pernah surut," jawab saya.
"Apa maksud kamu?" Dia masih bingung.
"Bukan apa-apa. Saya masih cinta kamu. Tapi saya harus
pergi ke warung lagi untuk membeli rokok."
"Sekarang?"
"Iya. Kamu mau ikut saya?"
"Tidak. Saya akan di sini saja."
"Kenapa?"
"Saya sedang menunggu calon suami saya. Dia pergi ke
warung untuk membeli rokok."
Sejak mengetahui dia sudah punya calon suami pada
sore hari yang mendung di jembatan itu, saya tidak pernah
berjumpa dia lagi. Sehabis membeli rokok di warung, saya
kembali berangkat meninggalkan kampung. Saya tinggalkan
sepucuk surat untuknya yang saya serahkan pada ibu saya yang
sudah pikun. Saya tidak banyak permohonan. Harapan saya
masih sama; saya hanya berharap dia mengerti. Mungkin saya
tidak akan kembali
***

Namun setelah sepuluh tahun berlalu. Saya kembali lagi


ke kampung sebagai manusia miskin yang sudah ditumbuhi uban
dan sangat kesepian. Ibu saya sudah tiada. Saya merasa benar-
benar sudah kehilangan semuanya.
Saya habiskan waktu dua hari untuk menangis.
Perjalanan yang panjang membuat mata saya kelilipan. Sesudah
itu saya kembali ke jembatan itu lagi untuk menemuinya setelah
sekian lama.
"Selamat senja," katanya. "Cuacanya bagus."
Saya menggeleng.
"Kamu tidak malu punya seorang kenalan seperti saya?"
tanya saya ketika hari telah beringsut senja.
"Kenapa malu?"
"Karena saya benar-benar orang susah."
"Sejak awal bagi saya hartamu tidak penting. Selama
kamu selalu berada di sisi saya, sebenarnya itu jauh lebih dari
cukup," balas dia. Jari-jarinya sudah tidak lagi memegang dan
mengelupas kelopak-kelopak bunga.
"Sudah berpuluh-puluh tahun. Kamu tidak bosan
mengenal orang seperti saya?"
"Kalau diingat-ingat, apakah saya pernah membuatmu
ragu?"
Pertanyaannya membuat saya terdiam. Kembali saya pandangi
aliran air sungai yang ada di bawah kami. Yang tidak pernah
surut. Namun saya sadar, saya tidak pernah mampu menemukan
kalimat yang tepat untuk menyatakan perasaan saya kepadanya.
"Tidak. Kamu tidak pernah membuat saya ragu.
Keraguan itu datang dari dalam diri saya sendiri."
Dia memandangi saya sambil sedikit tertawa. Kerutan di
sekitaran wajahnya nampak semakin jelas. Namun bagi saya, dia
masih cantik.
"Kenapa?" tanya saya.
"Bukan apa-apa," jawabnya.
"Lalu?"
"Saya masih mencintaimu. Tapi saya harus ke warung
untuk membelikan suami saya rokok," jelasnya. "Kamu mau
ikut?"
Saya menggeleng sambil tersenyum. Meski pada
dasarnya saya juga masih mencintainya, tapi apa yang dapat saya
tawarkan kepadanya selain kekecewaan? Jawabannya: tidak ada.
Sebagai seorang laki-laki yang selalu merasa miskin, saya tidak
pernah nemiliki pilihan selain melepaskannya.
Penyesalan dalam Sebuah Botol

Kamu tahu, saya tidak mengerti banyak tentang


penyesalan. Atau jika kamu bertanya pada saya siapa manusia
yang paling menyesal di bumi ini, tentu saya tidak tahu.
Setidaknya sampai sebuah surat botol dari seseorang di masa
yang cukup lampau itu saya temukan di dekat pohon mahoni
yang hampir mati.
Hari ini, setelah kegiatan-kegiatan dan rutinitas saya yang
kurang penting, ketika saya sedang duduk berdua dengan
bayangan saya sendiri di sebuah kedai dengan model lesehan,
gambaran yang juga sama tidak pentingnya ikut muncul;
bagaimana jika setelah keluar dari kedai ini tanpa sengaja saya
menginjak ekor ular, kemudian hewan melata itu reflek
menggigit saya dan menyuntikan bisanya ke dalam pembuluh
darah saya, atau bagaimana jika di persimpangan nanti saya
diberhentikan oleh seorang polisi karena saya tidak mengenakan
helm, dan spion saya yang cuma satu.
Bahkan, saya lebih takut pada kejadian-kejadian yang
absurd. Misalkan polisi itu menilang saya hanya karena saya tidak
memiliki seorang kekasih. Aneh dan benar-benar tidak penting.
Tapi mungkin kamu perlu tahu, kalau saya ini memang
mudah sekali diserang oleh kekhawatiran yang berlebih akan
hal-hal yang sebenarnya tidak perlu saya khawatirkan.
Sejak kecil saya selalu takut bila sepatu baru saya akan diinjak
teman. Lalu setelah dewasa, kekhawatiran itu tumbuh menjadi
kegelisahan jika adik saya lebih dulu naik ke pelaminan.
Sementara saya bertambah tua, kaku, dengan perut buncit dan
wajah yang jerawatan. Saya takut masih membujang sedang dia
sudah beranak pinak. Lalu saya akan menjadi seorang Om yang
kelak hanya mampu mengajari anaknya cara untuk mengatasi
rasa kesepian.
Saya menghabiskan dua cangkir kapucino saset yang
saya pesan di kedai itu. Dengan lima tusuk pentol bakar dan
seporsi nasi goreng biasa. Karena seseorang dari dalam diri saya
bilang bahwa saya tidak lagi layak untuk mendapatkan sesuatu
yang spesial. Jadi, barangkali nasi goreng masuk ke dalam
kategori ini.
Setelah kenyang saya melanjutkan perjalanan ke arah
tujuan yang sebenarnya tidak ada. Saya cukup kaya untuk
menghambur-hamburkan uang dan membeli bahan bakar demi
pergi ke banyak tempat tanpa maksud dan tujuan yang jelas.
Hanya saja saya merasa terlalu kedinginan untuk melewati udara
malam ini sendirian. Jadi, saya memutuskan behenti di taman
kota.
Di tengah-tengah taman, ada sebuah gerbang masuk
sempit menuju sebuah panggung kecil yang bernama
Mingguraya. Orang sekitar menyebutnya sebuah titik kumpul
sesama seniman dan penyair lokal, di mana biasanya mereka
mengadakan acara baca puisi dan penampilan band akustik
sebulan tiga kali. Kebetulan, malam ini adalah malam baca puisi
yang saya maksud.
Jika saja umur hubungan kita panjang, saya ingin
menceritakan hal ini padamu, mengenai sejarah dan makna
tempat ini. Beberapa ceritanya mungkin agak ngasal dan tidak
masuk akal. Terus terang saya hanya ingin berbasa-basi agar bisa
membuatmu tertawa.
Kemudian saya juga ingin membandingkan kilauan
matamu dengan warna lampu air mancurnya yang ternyata
sedikit kalah indah. Saya mencintai tempat ini, kata saya. Tapi
kemudian akan saya bilang bahwa saya lebih mencintaimu.
Saya mencari tempat yang remang-remang untuk duduk.
Lebih tepatnya untuk bersembunyi dari polisi aneh yang ada di
dalam khayalan saya. Untuk jaga-jaga, siapa tahu dia juga berada
di tempat ini dan tiba-tiba bernafsu untuk menangkap saya
karena saya datang ke tempat ini seorang diri. Seolah-olah di
kepalanya —atau di kepala saya— menjadi seorang jomlo adalah
suatu tindakan kriminal.
Seorang perempuan yang tidak terlalu cantik naik ke
atas panggung. Namanya terdengar samar-samar karena riuh
tepuk tangan juga suara lelaki empat puluhan yang sedang
merayu gadis —atau mungkin janda— penunggu warung kopi yang
jaraknya hanya berkisar sebelas meter dari tempat duduk saya.
Perempuan di atas panggung itu mulai meraba larik
demi larik dengan penghayatan yang seadanya dan mimik yang
datar. Persis seperti saya ketika kamu meminta saya untuk
membacakan sebuah puisi yang saya dapat dari internet.
Dia membacakan sebuah puisi tentang luka di perut
bumi yang disebabkan oleh manusia hingga menyisakan
penyesalan terhadap banyak bencana yang muncul sesudahnya.
Jadi, saya pun mulai mengira-ngira kalau penyesalan
mungkin semacam menyerahkan uang dua ribuan kepada tukang
parkir yang menghina motor saya. Lebih parah, penyesalan bisa
berupa bayang-bayang seorang perempuan yang berdiri
menunggu saya di sepanjang trotoar sambil membuka lengan,
namun saya malah menangis karena tidak memiliki tubuh untuk
dipeluk.
Semua orang bertepuk tangan. Saya terdiam. Hening
sejenak sebelum hati saya kembali mengajak untuk beranjak.
Saya berada di sana tidak lebih dari tiga puluh menit. Saya
kembali ke tempat parkiran motor dan memandang sinis pada
tukang parkir yang pernah mencibir motor saya.
Setelah uang dua ribu saya berikan, saya
meninggalkannya pulang tanpa sepatah kata. Membuat saya
mengingat langkah paling gegabah saat mimilih untuk pamit dari
hadapanmu. Hujan yang jatuh dari bawah keningmu, airmata
yang seharusnya saya jumputi dan kembalikan. Sekarang saya
menangis dan seharusnya kamu melihat semua ini.
"Kita impas!" Barangkali begitu kata-katamu.
Di atas jok motor selagi dalam perjalanan pulang, saya
kembali menelurkan persepsi-persepsi baru setelah melihat dua
buah tiang listrik yang dihubungkan oleh banyak kabel, tetapi
saling acuh, tidak saling bicara. Serta sebuah pohon yang saya
tidak tahu jenisnya. Yang sedang kesepian di bawah sorot redup
lampu jalanan.
Jadi, ini tentang bentuk penyesalan yang barangkali
bermacam-macam. Mungkin mirip ketika saya memilih untuk
meninggalkanmu, tapi tidak tahu harus bagaimana setelahnya.
Lalu hari-hari saya hanya diisi oleh video motivasi seorang
berkepala botak dari sebuah kanal Youtube. Juga ketika saya
menengok ke arah ban belakang motor, dan bertanya-tanya
kenapa bentuk ban tidak dibikin segitiga atau kotak. Saya
membenci lingkaran atau bulat. Karena itu akan mengingatkan
saya pada wajahmu yang juga bulat.
Setelah pulang saya langsung berbaring di atas sebuah
kasur yang menyiksa punggung saya karena kerasnya mirip
jalanan yang barusan saya lalui. Kemudian saya baca lagi isi surat
itu. Bertanggal 21 Desember dengan tahun yang saya rahasiakan.
Ditulis untuk mengenang kita, dan dikubur di dekat pohon
mahoni untuk melupakanmu. Tapi dibongkar kembali sebulan
yang lalu, saat saya kebetulan membawa cangkul untuk mencari
cacing.
Isi dari surat itu tidak penting. Hanya omong kosong
saya, dari bagaimana bisa bertemu, satu tahun yang bahagia,
hingga kenapa saya menyerah dan memilih untuk berpisah
denganmu.
Keangkuhan saya di akhir kalimat penutup surat dan
bagaimana penyesalan selalu pandai datang terlambat. Jadi, pada
akhirnya saya pikir beginilah penyesalan; ketika saya sadar,
ternyata saya sudah kehilanganmu.
Kaktus, Ikan Cupang dan Hal-Hal Lain untuk Diceritakan

Pagi saya belakangan kerap dibangunkan oleh suara


omelan ibu saya, ketimbang kemauan saya untuk bangun sendiri.
Ini berkaitan dengan berbagai peristiwa buruk yang saya alami
beberapa bulan lalu, kemalangan saya, serta hal-hal lain yang di
mata beliau adalah kesalahan. Tentu semua ini membuat saya
tidak pernah bisa tertidur nyenyak lagi.
Kehampaan dalam hidup ini, saat saya membuka mata,
ketika saya sarapan dengan sepiring nasi dan telur dadar, atau
sewaktu saya mengingat bahwa mungkin saya akan menghabiskan
waktu untuk hal yang sia-sia lagi. Mungkin saya masih akan
menunggunya.
Seusai dipecat dari toko sepatu itu, saya memang sudah
tidak bekerja lagi. Waktu saya banyak di tempat tidur meskipun
saya tidak mengantuk sama sekali. Saya juga mulai terbiasa
menyaksikan acara-acara televisi yang sering menayangkan film-
film romantis murahan yang sebenarnya tidak pernah ingin saya
tonton. Namun akhirnya tetap saya tonton juga. Setiap hari.
Saya sudah mulai hafal dengan semua jadwal keresahan
ini; ibu saya akan muncul, marah-marah. Sebulan belakangan ini,
setelah puas memarahi saya yang sedang menonton film televisi
romantis murahan, ibu saya rutin memberi wejangan. Saya tahu,
pada dasarnya ibu saya adalah orang baik. Buktinya beliau selalu
memasakkan saya telur dadar. Juga kadang-kadang membantu
saya untuk mencari pekerjaan baru.

***

Setelah bangun pagi hari ini, saya tidak bergegas mandi.


Saya melamun cukup lama di depan jendela, menatap ke arah
luar, ke arah gunung yang jauh, ke arah pepohonan atau
tumbuhan lain.
Hal ini terkadang membuat saya sedikit teringat pada
anak kaktus yang pernah perempuan itu berikan kepada saya.
Sudah hampir enam bulan yang lalu. Masih segar dalam ingatan.
Dua menit sebelum dia berangkat dan lenyap di jalur rel kereta
yang berkarat.
Itu terjadi setelah kami bertengkar cukup hebat, hingga
kemudian dia mengajukan permohonan untuk mengundurkan
diri dari pekerjaan menjaga toko sepatu yang sama dengan saya.
Kata temannya, dia pulang ke kampung halaman karena
kakeknya sedang sakit parah. Namun saya jadi ragu. Apalagi
ketika dia tidak menjawab saat saya bertanya apakah dia akan
kembali.
Sesaat setelah saya bertanya, sebelum dia masuk ke
dalam kereta dan pergi, dia hanya mengeluarkan anak kaktus
dari dalam tasnya, kemudian menyerahkannya kepada saya.

"Saya akan kembali, dan saya akan belajar untuk menerimamu


lagi apabila kaktus ini dapat tumbuh dan hidup lama."
Saya ingat betul dengan kalimat terakhir yang dia
ucapkan itu. Sedang saya hanya mengangguk. Tidak dapat
berbuat banyak.
Selepas kepergiannya, saya benar-benar merawat kaktus
itu dengan sepenuh hati. Saya jaga dan besarkan dia seperti anak
sendiri. Tentu saya tidak ingin kaktus itu mati.
Satu minggu, satu bulan, saya hidup dengan kaktus itu.
Memberinya pupuk, menyiramnya dengan air. Kadang saya
membawanya ke dalam kamar tidur, kadang saya bersamanya di
dalam kamar mandi. Saya juga pernah beberapa kali
membawanya ke tempat kerja hingga membuat pemilik toko
sepatu tempat saya bekerja, yang juga punya kumis model
pyramidal itu menjadi bingung.
Begitu juga dengan ibu saya yang geleng-geleng kepala
sewaktu melihat saya begitu terobsesi dengan kaktus itu.
Memasuki bulan kedua, anak kaktus itu tumbuh lebih
besar. Duri-durinya juga semakin banyak. Saya sempat
bersemangat. Namun tidak lama. Karena di bulan ketiga —entah
kenapa— kaktus itu perlahan layu. Dan beberapa hari setelahnya
kaktus itu akhirnya mati.
Hari-hari berikutnya saya merasa sangat kehilangan
kaktus itu. Atau mungkin, sebenarnya saya hanya takut apabila
perempuan itu tidak akan pernah kembali dan mau mencintai
saya lagi.
Saya tidak masuk bekerja selama tiga hari tanpa alasan.
Hingga akhirnya saya dipecat.
Semuanya lebih sering berakhir seperti ini, saya pandai
membiarkan pergi apa-apa yang saya miliki: kekasih, kaktus,
pekerjaan, dan hal-hal lain yang tak bisa saya ceritakan.
"Kamu kenapa?" tanya ibu saya ketika melihat saya yang
jadi sering murung sejak kematian kaktus itu.
"Tak apa," jawab saya.
Ibu bahkan saya pernah membelikan saya anak kaktus
yang baru di pasar. Menentengnya dengan kantung plastik di
tangan. Sebagai pengganti kaktus saya yang mati, begitu kata
beliau.
"Ini," ucap ibu menyerahkan kantung plastik berisi anak
kaktus itu saat saya sedang duduk di kursi sambil menonton film
televisi romantis murahan.
"Bu, ini bukan sekadar masalah kaktus..." perkataan saya
terhenti.
Ibu saya menunggu kalimat berikutnya, namun saya
urung untuk meneruskan.
Saya menghela napas.
"Terima kasih," ucap saya lagi.
Ibu saya nampak terlihat lega. Mengangguk.
"Sekarang carilah kerjaan baru," kata beliau sesudahnya.
Rautnya berubah, suaranya naik dua oktaf.
Kaktus yang dibeli ibu saya letakkan di teras. Tidak
pernah saya beri pupuk. Tidak pernah saya siram.

***

Di hari-hari berikutnya, saat saya masih juga murung.


Saat saya masih juga belum bekerja. Saat saya masih juga belum
menghirup udara segar di luar rumah, kemarahan ibu saya
memuncak. Suaranya nyaring betul. Matanya merah dan melotot
penuh ke arah saya. Sementara saya hanya menunduk saja.
Selesainya beliau marah, barulah saya dengan terpaksa
menuruti kemauannya. Ya, saya keluar rumah pada akhirnya.
Setelah berbulan-bulan.
Saya turun dari beranda menuju jalan setapak di depan
teras. Ibu saya berdiri di dekat pintu dengan wajah merah marah.
"Cari kerja sana! Cari kehidupan!" teriaknya sambil
menendang kaktus yang beberapa hari lalu dibelinya.
Saya tahu, kemarahan ibu tidak akan bertahan lama. Namun saya
belum pernah melihat beliau semurka itu kepada saya.
Dengan berbekal selembar baju kaos di badan, celana
bola berlogo klub kesayangan, serta uang dua puluh ribuan, saya
berjalan tanpa tujuan. Saya tidak tahu akan melangkah ke mana.
Sempat ada di pikiran saya untuk singgah makan di
warung bakso langganan di pertigaan, kemudian bertanya jika
barangkali ada lowongan. Entahlah. Tapi saya tidak lapar.
Ditambah, hanya itu uang yang saya miliki.
Kemudian sewaktu berjalan terus agaknya bermaksud
menuju kedai bakso di pertigaan itu, saya dipanggil oleh penjual
ikan hias di pinggir jalan.
"Ikannya, Pak."
Saya menoleh.
"Saya belum menikah. Apalagi punya anak," jawab saya
ketus.
"O, maaf, Pak."
Saya mengernyitkan dahi saya sambil mengeluarkan tatapan
membunuh kepada penjual ikan itu.
Sejenak otak saya memutar ingatan tentang sebuah artikel di
internet yang pernah saya baca. Mengenai manfaat memelihara
ikan hias bagi kesehatan. Pada artikel itu, dikatakan bahwa
memelihara ikan hias dapat mengurangi tingkat stres, serta dapat
juga dijadikan sebagai terapi untuk menyehatkan jantung.
Sebenarnya saya tidak terlalu yakin pada hal tersebut.
Tapi waktu itu, saya kira tidak ada salahnya untuk mencoba.
Toh, saya benar-benar sedang merasa stres. Atau tanpa saya
sadari, saya mungkin saja memiliki penyakit jantung.
Saya memalingkan penuh wajah dan tubuh menghadap
penjual ikan itu, berjalan mendekati barang dagangan yang
berjejer sepanjang sekurang-kurangnya lima buah akuarium kalau
saya tidak salah ingat.
"Ini berapa?" tanya saya menunjuk sebuah akuarium
yang di dalamnya terdapat ikan berjidat jenong.
"Itu louhan. Harganya empat ratus lima puluh ribu."
"Mahal betul."
Saya beralih menunjuk akuarium yang lain.
"Kalau yang kecil ini?"
"Ini anakan arwana. Tujuh puluh lima ribu saja," jelas
dia. "Kalau ini yang sudah besar. Lima ratus ribu," terang dia lagi
sembari memonyongkan serta mengarahkan bibirnya ke arah
akuarium yang lain.
Saya berdecak-decak.
"Tidak ada yang murah?"
"Uang Bapak berapa?"
"Dua puluh ribu."
Penjual ikan itu mengeluarkan toples kaca yang terbilang besar
beserta ikan-ikan kecil yang berenang di dalamnya.
"Ini satunya hanya lima belas ribu."
"Itu ikan apa?"
"Anakan cupang."
"Saya beli yang itu."
"Bapak ada kantong plastik?"
"Tidak ada. Kenapa?"
"Saya juga tidak ada. Kebetulan habis karena ikan-ikan
saya sejam lalu diborong anak-anak."
"Lalu?"
"Saya hanya ada toples plastik. Tapi Bapak harus
tambah lima ribu. Jadi totalnya dua puluh ribu."
Saya merogoh saku yang menempel di celana klub bola
kesayangan saya. Hanya ada selembar uang kertas berwarna
hijau.
"Ini," kata saya menyerahkan uang tersebut.
"Nah, seharusnya ada uang tambahan untuk harga air di
dalam toples ini—"
"Lho—" saya memotong.
"Tapi..." ucap penjual ikan itu menyela dengan suara
yang lebih nyaring, "berhubung hari ini saya bahagia, jadi air ini
saya berikan pada Bapak secara gratis.
Saya hanya menatap dia heran.
"Ini, Pak. Silakan dibawa pulang."
Saya mengambil toples ikan dari tangannya dengan sigap.
Berjalan beberapa meter sebelum berhenti dan memilih
beristirahat di bawah pohon damar.
Saya pandangi lekat-lekat ikan itu. Dan sedikitnya
perasaan saya yang semula berkecamuk jadi agak berkurang.
Semuanya terasa mengalir. Perasaan saya jadi lebih tenang saat
melihat anak ikan cupang itu berenang.
Saya pikir saya mulai bisa menyayangi ikan cupang itu.
Setidaknya saya bisa merawatnya sampai besar. Sampai seseorang
yang sudah meninggalkan saya kembali. Agar saya tidak merasa
kesepian lagi.

***
Sore luruh, matahari perlahan beringsut membentuk
jingga yang tidak asing. Saya pulang ke rumah. Ibu menunggu di
teras.
"Dari mana saja? Sudah dapat kerja lagi?" Tatapannya
masih sedikit berkobar.
"Tidak," jawab saya.
"Apa yang kau bawa?"
"Anak ikan cupang."
"Untuk apa?"
"Untuk saya rawat."
"Masuk. Lekas mandi. Belikan beras dan telur di
warung."
Saya mengangguk.
Dua minggu kemudian, saya masih harus menelan
pahitnya kenyataan. Ikan cupang saya mati karena saya lupa
mengganti air di dalam toples plastik tersebut. Dan lebih parah
lagi, orang yang saya tunggu belum juga kembali.
Ternyata semuanya memang lebih sering berakhir
seperti ini, saya tidak pandai dalam menjaga apa yang saya miliki:
kekasih, kaktus, pekerjaan, ikan cupang, dan hal-hal lain yang
sebaiknya memang tidak usah saya ceritakan.
Perdebatan dengan Diri Sendiri

Hujan malam ini turun seperti tangisan orang tolol yang


menyesali sebuah kepergian. Sementara di dalam kamar, saya
sedang membaca doa anti patah hati dan bersiap-siap untuk
melakukan ritual penyamaran rasa sakit dengan meringkuk
tubuh di atas kasur yang sekeras aspal kering.
Di luar, hujan ricuh, berisik sekali. Saya tidak bisa tidur.
Ini tidak seperti saya yang biasanya. Saya menengok jam di
dinding. Ternyata masih pukul delapan lewat sembilan malam.
Rupanya patah hati bisa membuat seseorang jadi ingin lekas
tidur, melupakan hari ini dan berharap besok akan segera
sembuh.
Selang beberapa menit, saya memasang headset yang
bagian sebelah kanannya sudah tak lagi mengeluarkan suara.
Tapi bagaimana saya bisa tahu kalau ini sebelah kanan!? Bukan
sebelah kiri? Ah, sudahlah.. Anggap saja sebelah kanan.
Setelahnya, saya memutar sebuah lagu berbahasa Inggris yang
liriknya saya hapal dari Google. Sampai detik di mana saya
merasa bahwa apa yang saya lakukan hanyalah menuangkan urin
di bagian kulit yang terkelupas dan terluka. Sungguh, itu sama
perihnya dengan menaburkan garam. Pedih sekali.
Richard Marx dengan dentingan melankolis pianonya,
lagu Right Here Waiting seperti sedang mengiringi upacara
pemakaman kisah kasih yang tak sampai.
Saya renungkan lagi apa yang membuat saya menyesal
karena tidak dipilih olehmu. Kamu tidak terlalu manis, apalagi
cantik. Hidungmu juga tidak mancung. Malah nampak
menggembung dan agak besar. Pipimu chubby, tidak tirus.
Kenapa saya begitu menyesal. Padahal saya ini tidak terlalu jelek
dan pasti ada cukup banyak di luar sana perempuan yang mau
menjadi kekasih saya.

"Brakk."

Saya melempar kipas angin dinding dengan sebuah


bantal karena dia mengolok saya dengan menggeleng. Kalau saja
bukan benda mati, mungkin saya sudah mengajaknya berkelahi.
Lagi pula, apa gunanya kipas angin di musim hujan begini. Cuaca
sedang dingin sekali. Temperatur yang ditunjukkan oleh layar
ponsel saya yang sepi tanpa notifikasi adalah 20 derajat celsius.
Cukup dingin untuk ukuran negara tropis.
Kembali ke pertanyaan tadi. Kenapa saya merasa
menyesal karena tidak bisa memilikimu. Entahlah. Rasanya aneh
dan berat sekali. Mungkin karena pertama kali melihat
senyumanmu, saya sudah telanjur membayangkan kita akan
menikah dengan adat apa, akan punya anak berapa atau akan
tinggal di rumah orangtua siapa. Konyol sekali memang.
Saya sering jatuh cinta. Tapi saya bukan playboy. Saya
bisa jatuh cinta pada banyak hal. Seperti jatuh cinta pada suara
mangkuk penjual bakso yang sering singgah di depan tempat
kerja saya meski saya jarang membeli dagangannya, kucing yang
menggosok-gosokan bulunya yang rontok di kaki saya, aroma
jagung bakar, atau film romantis yang membuat saya menangis
semalam. Saya ini memang agak sentimen kalau urusan
perasaan. Bahkan saat kamu acuhkan, saya hampir dua hari tidak
makan. Saya mudah jatuh cinta. Tapi saya belum pernah sejatuh
ini pada sesuatu sebelum kamu.
Saya sedang kesal sekali. Saya berusaha untuk
menghabiskan kebencian saya dengan menatap langit-langit
kamar yang dihiasi beberapa buah sarang laba-laba. Saya
bayangkan kalau diri saya adalah laba-laba, sedangkan kamu
cuma nyamuk atau serangga kecil yang terperangkap di dalam
jebakan saya. Tidak bisa keluar. Satu-satunya pilihanmu ialah
pasrah dan menuruti apa yang saya minta. Saya mau kamu jadi
milik saya.
Atau dengan mengambil sebuah pulpen di dalam laci
lalu mencoret-coret tembok yang catnya sudah pudar. Menulis
namamu di sana dan menusuk-nusuknya semacam kutukan
boneka voodoo dan jarum yang dilumasi darah. Hanya saja, saya
mengutukmu lewat tembok, melalui nama yang saya tusuk-tusuk
dengan ujung runcing pulpen berlumur tinta yang bocor hingga
mengenai celana boxer saya.
Tangan saya meraih earphone yang sedari tadi
menyumbat telinga. Ternyata memang benar, bagian sebelah
kanan dari headset ini sudah rusak dan tidak mengeluarkan suara
lagi. Kenapa saya bisa tahu ini bagian kanan? Karena saya sedang
memakainya di sebelah kanan. Wah, ternyata jawabannya
sederhana sekali.
Hujan belum reda dan tak terasa sudah hampir satu jam
saya melakukan ritual yang tak berguna ini. Dan berakhir sudah
perdebatan antara saya dengan diri sendiri tentang kenapa saya
menyesal karena tidak bisa memilikimu, atau argumen tidak
penting mengenai headset yang rusak.
Saya nyaris tak ada bedanya dengan hujan, yang serupa
orang tolol ketika menangisi sebuah kepergian. Bedanya, saya
lebih gila.
Tiga Buah Pertanyaan dan Obat Sakit Kepala

Kemarin —malam minggu— atau sabtu malam bagi


orang-orang kesepian.
Setelah semua yang saya katakana padamu, dan setelah
apa yang kamu dengar dari kalimat-kalimat rancu atau debar
jantung saya yang tak menentu. Saya ingin jujur sekaligus
meminta beberapa hal sederhana kepadamu, sebelum saya
menjadi tua dan bertambah jelek, dan hati ini jadi terlalu lelah
untuk menunggumu.
Saya adalah laki-laki yang kesepian. Malam minggu saya
rutin duduk di warung kelontong langganan sekitar setengah jam
sambil memandangi bocah-bocah yang lalu lalang dan saya akan
pulang membawa obat sakit kepala.
Saya dibentuk sebagai salah satu pribadi yang rapuh,
yang bisa dipatahkan oleh hal-hal sepele, seperti earphone yang
tiba-tiba rusak, kehabisan kouta internet, atau dipanggil Bapak
oleh salah seorang bocah yang tadi saya pandangi saat sedang
duduk di warung.
Maukah kamu mencintai saya?
Jumlah rambut di kepala saya semakin sedikit. Saya
mengalami kebotakan. Bentuk kepala saya jadi semakin tidak
simetris. Jika saya bertanya padamu lain waktu, mungkin kamu
akan menemukan lebih banyak alasan untuk mematahkan hati
saya.
Mumpung saya masih muda dan punya banyak waktu
untuk dihabiskan bersama seseorang. Saya ingin membuat
kesepakatan denganmu, untuk menemani saya bernapas dari
Senin hingga Minggu. Menemani saya makan. Menemani saya
tidur bersama kucing. Menemani saya menangis di bioskop
karena lupa menaruh karcis parkir.
Menemani saya berteriak di atas motor saat jalanan
sedang lengang. Menemani saya berdansa di bawah hujan sambil
memutari sebuah pohon seperti yang ada di film-film India yang
ditonton oleh ibu saya. Menemani saya menjalani sesuatu yang
disebut hidup agar saya tidak menyesal karena pernah dilahirkan
oleh seorang wanita yang menyukai film India.
Maukah kamu menemani saya?
Malam semakin larut dan sunyi. Kamu menemukan
cara agar kerapuhan saya mencapai tingkat tertinggi: dengan
diam. Sementara saya sedang menunggu jawaban di bawah titik
dari sebuah tanda tanya yang bisa saja jatuh menimpa kepala saya
dan membuat saya hilang kesadaran atau bahkan amnesia.
Lalu saat saya mulai melihat sekeliling, kamu sudah tak
ada. Mungkin memang lebih baik begini. Kadang pilihan terbaik
untuk sembuh dari kegilaan ialah dengan melupakan sumber
rasa sakit. Tapi saya tak pernah tahu caranya melupakanmu. Saya
cakap dalam mengingat banyak hal selain materi kuliah yang
pernah dijejal oleh seorang dosen. Saya pandai mengingatmu dan
bunga kamboja yang sengaja menyangkut di telingamu saat
pentas tari malam itu.
Sebagai permintaan terakhir, maukah kamu melakukan
keduanya tanpa bertanya kenapa?
Karena kamu orang pertama yang saya pikirkan saat
bangun tidur, saat saya sedang bercermin dan mulai berasumsi
sendiri bahwa saya tidak layak untuk memilikimu, saat saya
menyantap semangkuk mi instan dan menutup pintu rumah.
Derit kesunyian yang meminta untuk segera kau ketuk.
Saya ingin mengajakmu pulang agar kamu memahami
apa yang benar-benar tidak pernah saya miliki; seseorang yang
menunggu saya di balik pintu dan memerhatikan saya lekat-lekat
saat saya bertanya, "Kenapa kamu menunggu saya sampai selarut
ini?"
Lantas dia bilang, "Karena rindu."
Atau seseorang yang sebelum saya tidur, dia bertanya,
"Menurutmu bahagia itu bagaimana?"
Lalu saya menunjuknya dan dia tersenyum. Sederhana sekali.
Hari ini hari Minggu, atau hari-hari yang dipenuhi oleh
berbagai macam pertanyaan yang mencekik leher bagi orang-
orang kesepian. Kondangan dengan siapa? Jalan-jalan ke mana?
Ingin menanyakan kabar siapa?
Pukul sembilan pagi, ibu saya menyiramkan secangkir
air ke wajah saya. Kepala saya sempoyongan. Saya tertidur di sofa
ruang tamu. Di atas meja, sekotak obat sakit kepala yang saya beli
sudah habis diminum.
Jalang

Istri saya yang lacur itu semakin sering pulang larut.


Setelah dua bulan lalu kami menikah, saya kira DNA-nya sebagai
wanita murahan bisa menghilang. Tapi ternyata saya salah. Jalang
tetaplah jalang.
Entah itu kemarin malam, atau dua malam yang lalu,
atau bahkan sudah seminggu. Dia selalu mengingkari janjinya.
Dan ternyata 'milik' saya tidak pernah cukup untuk memuaskan
birahinya yang binal. Dia masih sering datang ke warung kopi
terselubung tempat kami pertama bertemu itu. Setiap kali saya
bertanya padanya habis dari mana, dengan ringannya dia
menjawab, "Ketemu teman."
Suatu tempo, sekitar pukul setengah satu malam, saya
menunggunya di teras. Kembali menanyakan pertanyaan seperti
yang sudah-sudah, "Habis dari mana?"
Dia pun masih menjawab dengan jawaban yang sama,
"Ketemu teman."
"Bisakah kamu berhenti menjadi seorang jalang?" tanya
saya, dia berdiam sejenak, menghentikan langkah gontainya yang
memakai sepatu berhak tinggi.
Dia tatap dalam-dalam mata saya dan berkata, "Kamu
pikir aku tidak tahu apa yang sudah kamu lakukan?" sambil
mengunyah permen karet.
Pagi harinya sebelum saya berangkat bekerja, kami
selalu duduk berdua di sebuah meja makan yang beku dan
hening. Dia membuatkan saya sarapan dan secangkir kopi. Itu
rutinitasnya. Dan harus saya akui, kopi buatannya memang
sangat enak. Mungkin sekelas kopi-kopi di kafe yang
dihidangkan para peracik asli.
Sementara pagi-pagi setelah mandi, saya membikinkan
dia jus apel yang dia suka. Itu rutinitas saya. Dia bilang dia suka
sekali jus apel buatan saya. Rasanya sangat segar dan begitu
istimewa. Begitulah kehangatan dan keceriaan yang terpancar di
awal-awal kami menikah.
Rekan-rekan kerja saya bertanya kenapa saya mau
menikahi pelacur bertubuh semok dengan wajah oriental itu.
Tapi saya kira, alasannya sangat sederhana. Dia sangat
memuaskan saya; gerakan eksotisnya, permainan bibir seksinya,
tangannya yang halus, ditambah payudara dan bokongnya yang
sintal membuat saya terlalu bernafsu untuk menenggelamkan
kepala saya pada kenyal keduanya.
Apalagi jika saya melihat lekuk tubuhnya yang dibalut
baju kaos polos lengan panjang berwarna merah muda. Rasanya
saya ingin langsung membaringkannya di lantai dan
menggagahinya dengan penuh nafsu.
Terus terang saja saya cemburu apabila dia masih
berkawan dengan mucikari tempatnya bekerja dulu. Sudah sering
saya melarangnya untuk tidak usah ke sana. Tapi dia mempunyai
kepala yang kerasnya sama dengan saya.
Puncaknya, seorang teman wanitanya —yang juga jalang—
pernah mengabari saya bahwa istri saya bersama pria hidung
belang sedang duduk mesra di sebuah sofa panjang. Hanya
mereka berdua, sebelum tirai ditutup dan dia tidak tahu
bagaimana kelanjutannya.
Saya pun langsung datang menyatroni tempat itu. Pukul
dua belas malam lebih sedikit, saya melihat istri saya keluar
dengan seorang laki-laki empat puluhan. Mereka berpisah di
parkiran. Istri saya pulang lebih dulu dengan mobilnya, lelaki itu
melambai melepas kepergiannya.
Di pertengahan jalan ketika laki-laki itu pulang, saya
langsung mencegatnya dengan menghalangi jalurnya
menggunakan motor saya. Tanpa ragu, saya menariknya keluar
dari dalam mobil dan menikamkan sebilah pisau sebanyak dua
puluh tusukan yang kesuluruhan mendarat di sekitaran dadanya
yang berbulu. Mobilnya saya buang ke jurang. Tubuhnya saya
lempar ke danau yang dikenal sebagai sarang buaya.
Saya tidak cuma melakukan hal semacam itu sekali.
Setidaknya sudah tidak kurang dari tujuh kali saya membunuh
karena saya tidak ingin ada pria lain yang masih hidup usai
menikmati tubuh istri saya. Saya tahu dia akan ketagihan,
sebagaimana saya kepadanya. Istri saya adalah candu termahal di
warung kopi yang gemerlap itu.
Malam ini, sepulang kerja saya kembali menunggunya di
teras. Pukul satu dia pulang.
"Habis dari mana?" tanya saya
"Ketemu teman," jawabnya.
"Kapan kamu bisa berhenti menjadi jalang?"
"Sampai kamu bisa berhenti menganggapku sebagai
wanita pemuas nafsu, dan kamu tidak lagi pulang larut malam."
Dia berbisik dengan suara yang membuat saya bergidik ingin.
Saya telan ludah saya.
"Kapan semua ini akan berakhir?" tanya saya lagi.
"Ketika kamu bisa berhenti egois dan hanya memikirkan
nafsu serta keinginanmu." Dia membuka kunci pada pintu rumah
yang menahan saya untuk masuk.
Keesokan paginya saya sudah menyiapkan sesuatu untuk
mengakhiri semua ini. Membuatnya berhenti menjadi wanita
jalang.
Pagi-pagi selesai menggosok gigi dan mandi, saya
memblender dua buah apel merah, membikinkan dia jus seperti
hari yang sudah-sudah. Hanya saja, saya menambahkan racun
pada gelas beningnya yang langsing. Jika dia tidak bisa
menjadikan saya satu-satunya, maka akan terdengar jauh lebih
romantis apabila hanya saya yang bisa memiliki dan menikmati
tubuhnya, benak saya. Saya berencana untuk membunuhnya dan
menyimpan serta mengawetkan jasadnya.
Di meja makan, kami lebih banyak berdiam. Hanya
obrolan ringan tentang persediaan hidup di dalam kulkas dan
makanan anjing yang akan habis.
Dia sodorkan sarapan berupa roti berlapis daging seperti
biasa, dan juga kopi hitam bikinannya yang sudah menjadi favorit
saya. Lalu saya juga meletakkan jus apel yang sudah saya racuni
di atas meja.
Saya makan roti itu sampai habis, sementara dia
meminum jus itu sambil memandangi saya. Saya tersenyum.
Tak lama kemudian dia mengeluarkan kemeja biru
langit yang saya pakai tadi malam. Kemeja dengan noda bibir
berlipstik dan bercak merah bekas darah.
"Kamu bertanya padaku kapan semua ini akan berakhir,
sementara kamu juga masih sering pulang larut dan bermain-
main dengan perempuan lain. Dan, o, kamu kembali
membunuh teman kencanku tadi malam, kan?" Dia menatap
saya dengan tajam.
Belum sempat saya menjawab, dia malah kembali
berucap, "Aku akan mengakhiri semua ini seperti yang kamu
mau. Nanti malam aku akan pindah ke luar kota."
Saya hanya terdiam. Beberapa saat kemudian saya
tersenyum ketika dia mulai kesulitan bernapas dan hanya bisa
terududuk di atas kursi tanpa mampu mengucap sepatah kata.
Dia memegang dada dengan payudaranya yang besar itu sampai
benar-benar terjatuh dan tidak bisa bangkit dari lantai. Saya
tertawa kecil sambil menyesap kopi buatannya yang masih terasa
panasnya.
"Apa sudah berakhir?" bisik saya pada telinganya.
Tubuhnya sudah tidak bisa bergerak, dan matanya hanya mampu
melirik liar.
Kemudian saya pergi ke kamar mandi untuk membilas
wajah dan mencuci tangan. Tapi saya kaget ketika menemukan
kemeja kotor berwarna merah muda milik istri saya yang
tergantung, masih lengkap dengan aroma parfumnya, juga saya
temukan cukup banyak noda darah di bagian depannya. Saya
tidak terlalu paham dari mana dia mendapatkan noda-noda
darah itu.
Saya sapu wajah saya yang basah dengan kemeja itu.
Kenangan tentangnya akan selalu tersimpan di dalam hati saya.
Saat saya berjalan beberapa langkah keluar dari kamar
mandi, saya merasakan dada saya sesak sekali. Saya kesulitan
bernapas. Mendadak penglihatan saya menjadi buram. Dan
setelah itu semuanya menjadi hitam.
Ziarah

Di sebuah metropolis yang penuh dengan keganasan


kotor di hadapan pemilihan pemimpin negeri, pertengkaran dari
beberapa pihak, isu dan berita bohong tentang aib dan lain-lain
hanyalah sebagian kecil yang lumrah. Ada juga yang mengupah
pembunuh profesional untuk memusnahkan orang yang
dianggap sebagai penghalang tujuan pihak tertentu.
Pada petang itu, dia pergi ke kubur istrinya yang belum
genap seminggu. Tanah kuburnya masih basah. Bunga di kubur
itu hanya sebagiannya yang layu. Masih lebih banyak yang segar.
Seperti segar ingatannya pada malam kematian istrinya. Sejak itu,
dia kerap datang ke kubur istrinya. Kemudian dia menangis
sejadi-jadinya.
Seperti kejadian klise dalam cerita lain atau dalam film,
cuaca ketika dia datang juga lebih sering dituruni hujan. Dia
menangis keras sekali. Sekiranya jasad yang membusuk atau yang
tinggal kerangka di tanah pekuburan bisa mendengar, mungkin
mereka akan bangun dan memarahi lelaki itu.
Esok dan esok dia akan mengulangi lagi. Datang sekali
lagi. Menangis lagi. Hingga penjaga kubur di sana hafal betul
dengan kesedihan dan jadwal kunjungannya.
Sedang polisi dan detektif masih sibuk mencari akar
tragedi pembunuhan aktivis dan pejabat. Mereka belum juga
menemukan pembunuh istrinya yang juga merupakan salah satu
pejabat tinggi negeri. Bahkan alat yang digunakan untuk
membunuhnya saja belum didapat. Yang mereka tahu:
pembunuhnya mestilah pro yang sangat berpengalaman, yang
juga menjalankan pembunuhan berantai pada tokoh ternama
negeri, yang tidak dapat dilacak, apalagi ditangkap. Dia cakap
menyamar dan menyembunyikan diri. Kerjaan dia kejam dan
rapi.
Dalam koran, insiden ini ditulis sebagai tragedi berdarah
yang mengingatkan orang-orang pada kasus serupa beberapa
dekade sebelumnya, yang juga berlaku sebelum pemilihan
presiden. Pejabat negeri atau orang berpengaruh dibunuh satu
demi satu dengan tangan dingin. Mulai diracun hingga digantung.
Lima hari yang lalu, penghuni bilik sebelah dari hotel di
mana istrinya sedang rehat dikatakan telah mendengar istrinya
menangis sebelum hari berikutnya ditemui mati aneh. Istrinya
tidak mendapatkan luka apa-apa. Dan tidak juga ada tanda-tanda
bekas paksaan.
"Tidak ada jeritan, saya hanya dengar dia menangis," kata
lelaki lemak yang memakai kacamata.
"Seperti tidak ada tanda kejahatan, bilik dia masih rapi.
Ketika polisi tiba, bilik itu masih terkunci," kata saksi lain.
Tidak ada yang tahu bagaimana istrinya terbunuh.
Terutamanya pelakunya. Satu-satunya perkara yang jelas;
pembunuhan istrinya mestilah melibatkan isu politik yang
semakin meluas dan menjadi lambang tersendiri di negara itu.
***

Suatu petang, penjaga kubur kembali melihatnya datang


ke kubur istrinya untuk ke sekian kalinya. Dia memakai mantel
hitam yang sama, dengan keranjang yang tidak penuh bunga
kenanga. Penjaga kubur masih seperti biasa, memberikannya
senyuman yang seolah-olah menguatkan. Bagaimana tidak, dia
telah melawat ke kubur istrinya selama dua tahun. Menangis
begitu banyak, menangis keras sekali.
Penjaga kubur rutin memperhatikannya tetapi tidak
terlalu sering mengajak orang yang pendiam itu untuk bercakap.
Tetapi hari itu, dia melakukannya.
"Masih dengan perasaan cinta yang sama?" Penjaga
kubur memanggilnya dari belakang, agak sedikit menyamping ke
kanan.
Dia hapus air matanya. "Lebih dari cinta, Tuan,"
jawabnya.
"Istri Anda mesti sangat bangga karena mempunyai
suami yang baik macam Anda."
"Saya pikir malah sebaliknya."
"Saya tidak pernah menemui orang lain yang melawat ke
makam seorang suami, istri atau keluarganya lebih dari Anda.
Dalam dua tahun, setiap hari, itu membuktikan jumlah cinta dan
kehilangan Anda."
Lelaki itu tersenyum sedikit, tetapi masih berduka.
Airmatanya membasah di atas kubur istrinya.
"Saya rasa perasaan bersalah saya untuknya tentulah
lebih besar," katanya lembut.
Penjaga kubur sebentar menyentuh bahunya.
"Saya paham. Istri saya juga meninggalkan saya terlebih
dahulu."
Lelaki itu menggelengkan kepalanya sedikit. Kemudian
senyap. "Dia mesti tenang di sana."
"Anda tahu? Makam istri Anda adalah yang saya
bersihkan paling kerap pada waktu pagi," kata penjaga kubur itu
lagi, menunjukkan senyuman yang bangga.
"Terima kasih," sahut lelaki itu, dengan sedikit senyuman
dan mata masih bengkak.

***

Esok dan keesokan harinya lagi, lelaki itu masih kembali


ke kubur istrinya. Dia beri senyuman kepada penjaga kubur.
Dan air mata di tanah gundukan yang menyembunyikan
kerangka istrinya.
Tetapi suatu hari, dia datang pada masa yang berlainan.
Dia tiba awal pagi. Masih dengan mantel hitam yang sama.
Penjaga kubur baru selesai membersihkan kubur istrinya.
"Masih agak pagi," kata penjaga kubur itu dengan suara
cukup keras.
Lelaki itu memandangnya dengan senyuman kecil untuk
membalasnya.
Penjaga kubur mendekati lelaki itu.
"Bagaimana keadaanmu hari ini?" dia bertanya.
"Masih seperti biasa, buruk." Lelaki itu menjawab
dengan mukanya yang senantiasa datar hampir tanpa ekspresi,
selain senyuman kecil yang kadang-kadang dia lemparkan.
"Anda biasanya tidak datang sepagi ini," kata penjaga
kubur itu, "tidak pergi bekerja?" tambahnya.
"Tidak. Saya telah rehat untuk masa yang lama. Lebih
tepat selepas istri saya mati."
Selepas menunaikan ziarah ke kubur istrinya, setelah
menunaikan ritual menangis, penjaga kubur mengajak lelaki itu
pergi berkeliling komplek pekuburan.
"Kematian itu adalah cantik bagi mereka yang sudah
siap," katanya, memberi isyarat kepada lelaki itu untuk
memandang sekeliling makam hijau, yang baginya cantik.
"Tetapi kehilangan tidak pernah demikian."
"Mungkin Anda betul, tetapi kematian mengajar kita arti
cinta yang lebih besar, seperti cinta Anda kepada istri Anda." Dia
melihat kepada lelaki yang diam itu. "Selain daripada cinta,
adakah sebab lain yang membuat Anda secara rutin melawat ke
kuburnya?"
Lelaki itu berhenti dari jejaknya. Dia menelan ludahnya.
Dia menghembuskan napas pada pagi-pagi dengan wangi
bunga kenanga yang merupakan ciri khas pekuburan itu.
"Karena rasa bersalah," katanya dengan sedikit teragak-
agak.
"Ya?"
"Untuk menebus kesilapan saya dan membuat polisi dan
detektif bodoh segera mendapatkan dan menangkap pembunuh
istri saya yang masih bebas berkeliaran."
Penjaga kubur kelihatan kebingungan dengan
perubahan emosi lelaki itu.
"Saya tak tahu," katanya, "pembunuh istri saya masih
bebas dari sana, mungkin berhenti di jalan untuk membeli
bunga, pergi ke kedai dobi untuk mencuci mantel, menyimpan
suntikan yang paling dahsyat di bawah lantai, dan menangis.
Menangis di ranjang dia yang sepi, menyesali perbuatan tangan
kotornya."
Lelaki itu kembali menangis, meninggalkan penjaga
kubur yang masih terkejut. Selepas itu, dia tidak pernah terlihat
lagi.
Dia ditemui mati di bilik hotel yang sama dengan
istrinya tiga hari kemudian, dengan suntikan tersangkut di
lehernya, dengan sebotol racun yang tidak pernah dikenal pasti,
dengan sepuluh jenis senjata api, dengan banyak jenis senjata
tajam yang sengaja dia tunjukkan.
Lelaki itu meninggal dengan cara yang sama seperti istrinya,
kecuali sebab dan status yang berlainan. Istrinya adalah seorang
aktivis, pejabat, dan seorang pahlawan yang mengabdi kepada
negara itu, sementara dia seorang pembunuh berdarah dingin
dari salah seorang pembangkang yang adalah bapaknya sendiri.
Cinta Gila

Saya mengenal wanita ini sejak masih di sekolah


menengah atas. Dia teman sekelas saya saat di kelas sebelas.
Boleh dibilang wanita ini adalah cinta pertama saya. Dan saya
juga berharap kelak dia akan menjadi yang terakhir. Saya sudah
telanjur cinta dia. Sangat. Meski kadang-kadang dia agak lain dari
kebanyakan orang. Kadang-kadang dia jadi sangat posesif. Dan
kadang-kadang pula dia bisa marah hanya karena hal-hal yang
sepele.

Misalnya saja, pernah suatu kali wanita ini memarahi


saya sebab saya memotong kuku pada hari Sabtu. Dia bilang hal
itu tidak baik. Karena memotong kuku di hari Sabtu akan
membuat saya nanti mati dan menjadi hantu, kata dia lagi.
Sampai-sampai dia marah besar, sampai-sampai dia membuang
pemotong kuku saya ke sungai. Dia bilang almarhumah ibunya
yang mengatakan hal yang demikian itu kepadanya.
Atau apabila saya memakai parfum, dia pasti akan
marah betul pada saya. Saya tidak tahu jelas apa penyebabnya.
Tapi kata dia, orang-orang yang memakai parfum adalah
termasuk orang yang tidak percaya diri. Dan dia sangat benci
apabila saya tidak percaya diri.
Wanita ini, saya akui, tidak terlalu cantik. Wajahnya
biasa saja. Agak bulat. Tidak putih juga. Hidungnya tidak
mancung. Hanya saja perangai dia memang elok dan dia
termasuk orang yang sangat disiplin.
Sudah lima tahun sejak kami lulus sekolah menengah
atas itu, dan terhitung hampir tujuh tahun kami menjalin
hubungan. Pasang-surut, pasti. Tapi saya dan dia berkomitmen
untuk memperjuangkan cinta kami ini sampai ke pelaminan.
Selepasnya saya lulus sekolah, saya langsung mencari
kerja dan mengumpulkan uang untuk meminang wanita ini.
Sedang dia di rumah saja, dengan ayahya.
Meski nyaris tujuh tahun sudah, tapi belum sekali pun
saya dipertemukan wanita ini dengan ayahnya yang katanya bekas
dokter itu. Kata dia, ayahnya teramat pemarah. Kata dia lagi,
ayahnya tidak suka apabila anaknya pacaran hanya untuk
dipermainkan.
Jawaban dia selalu begitu apabila saya menyinggung
masalah orangtuanya, lebih tepatnya ayahnya. Sebab ibunya telah
cukup lama tiada. Jadilah saya merasa ciut untuk menemui
ayahnya tanpa bekal berupa jawaban kesiapan untuk menjadi
suami anaknya.
Hari ini saya bermaksud mengajak wanita ini berjumpa
di tempat kami biasa bertemu, di kursi panjang dekat taman
kota, untuk membicarakan pertemuan dengan ayahnya tersebut.
Saya berniat untuk bertemu dengan ayahnya. Untuk menyatakan
keseriusan saya. Bahwa saya ingin mempersunting anaknya.
Saya berjanji akan datang pukul tiga sore tepat. Tapi
sudah sepuluh menit berlalu, dia belum datang juga. Sependek
yang saya tahu, biasanya dia tidak begini. Atau barangkali dia
sedang ada kesibukan.
"Sudah menunggu lama?" Suara seseorang dari belakang
punggung saya terdengar, sambil dia menutup mata saya dengan
kedua tangannya. Agak keras sampai saya merasa sedikit
kesakitan.
Saya tahu persis suara itu.
"Tidak juga," jawab saya.
"Saya terlambat karena harus menunggu ayah saya
lengah. Ada apa?" tanya dia penasaran sambil perlahan duduk di
sebelah saya.
"Saya sudah siap," jawab saya tegas.
"Kamu yakin?"
"Tentu."
Saya menatap wajah dia lekat-lekat,
"Uang saya sudah terkumpul dan tekad saya sudah
bulat," kata saya selanjutnya.
"Oya," kata dia tersenyum, "kapan?"
"Bagaimana kalau malam ini?" kata saya memberi pilihan. Dia
terdiam sebentar.
Akhirnya, setelah berbincang sedikit, saya dan wanita ini
sepakat untuk menghadap ayahnya pada keesokan malamnya.
Berhubung kata dia, ayahnya akan ada kesibukan malam ini.
Jadi dia menawarkan malam berikutnya. Saya pun mengiyakan.
***

Tibalah malam tersebut. Malam di mana saya akan


bertemu ayah dari wanita ini untuk pertama kali. Jujur saja saya
agak cemas dan takut.
Saya langsung memikirkan, mestilah ayah dari wanita ini
tegas, dan orang tegas itu pada umumnya memiliki tampang yang
ngeri. Tampang yang membuat saya ingin kabur saja. Saya
membayangkan wajah dari ayahnya adalah memiliki kumis tebal,
memiliki mata yang besar semacam hendak terlepas dari
tempatnya, serta memiliki codet di pipinya yang berjerawat.
Tapi setelah saya pikir-pikir lagi, apabila dia seorang
bekas dokter, tentu penampilannya tidak seperti yang ada di
bayangan saya itu. Dia tegas, namun rapi. Mungkin begitu. Tapi
entahlah. Saya harus membuang bayang-bayang ini untuk
sementara waktu agar perasaan saya membaik. Agar saya lebih
berani.
Saya akhirnya tiba di rumahnya. Sekitar satu jam jika di
hitung dari jarak sekolah kami dulu. Rumahnya agak berjauhan
dari rumah orang-orang. Terpisah sekiranya 50 meter dari
tetangga sekitar.
Saya melihat wanita ini sedang duduk di kursi depan,
dekat pot-pot yang berisi bunga yang saya tidak tahu jenis-
jenisnya. Saya melihat dia seperti sedang ragu. Tatapan matanya
kosong. Namun ekspresinya berubah saat dia melihat saya
datang. Dia langsung tersenyum dan menyambut saya dengan
hangat. Sedikit kalimat penyemangat sebelum dia bersegera
mengajak saya masuk dan bertemu ayahnya.
Di ruang tamu, dalam rumah yang tidak terlalu luas itu,
saya melihat ayahnya telah duduk menunggu saya. Dan rupanya
tidak semengerikan yang saya pikir. Tampang dia tidak jauh beda
dari rupa-rupa dokter yang ada di film; putih, bersih, bergigi rata
dan berpakaian rapi.
Ayahnya mempersilakan saya duduk dengan isyarat
tangan. Sementara wanita ini, saya perhatikan sedari masuk tadi,
dia tidak berbicara. Hanya diam saja. Bahkan menunduk saja.
Tak lama setelah saya duduk, ayahnya langsung
menanyai saya sewaktu saya masih celingak-celinguk.
"Siapa nama engkau, anak muda?"
Agaknya saya terkejut dan berdiam sesaat. Setelah saya
menyebutkan nama, dia terus mencecar saya dengan berbagai
macam hal yang ingin dia ketahui tentang awal perkenalan saya
dengan anaknya, hingga bagaimana saya bisa menjalin hubungan
dengan dia. Serta tentunya lama hubungan kami yang kini nyaris
menginjak angka tujuh.
Setelah bercakap berbagai hal yang mendasar itu, dia
meminta anaknya yang sejak awal tadi duduk tertunduk di
sebelah saya untuk pergi masuk ke kamarnya.
"Ini pembicaraan yang hanya boleh didengarkan laki-
laki," kata dia.
Tanpa melawan atau berbicara sepatah kata pun, wanita
ini langsung menuruti perintah ayahnya itu. Dia memandang saya
sebentar. Namun tidak juga berbicara. Hanya matanya yang
mengisyaratkan sesuatu yang tidak pernah sampai untuk
diutarakan. Saya mengangguk dan tersenyum. Berpura-pura
mengerti maksud tatapannya itu.
Ayahnya yang kiranya sepantaran orang empat puluhan
ini menggandeng dia hingga benar-benar sampai ke dalam
kamar. Setelah itu dia kunci. Setelah itu barulah dia kembali dan
duduk di hadapan saya lagi.
"Seberapa serius anak muda ini mencintai puteri semata
wayang saya?" suaranya memecah ketegangan di dalam batin
saya.
"Sangat serius," terang saya. "Dia cinta pertama yang
sekaligus ingin saya jadikan sebagai yang terakhir dalam hidup
saya."
Dia tersenyum.
"Seberapa jauh anak muda mengenal puteri saya?"
Saya berdiam diri. Berpikir beberapa saat, tapi masih saja
bingung akan menjawab apa.
"Selama hampir tujuh tahun, tentulah saya mengenal dia sudah
sangat jauh. Saya kenal betul dengan dia. Dia orang yang
berperilaku baik dan disiplin."
Dia tersenyum lagi.
"Saya percaya, anak muda, bahwa engkau adalah orang
baik. Untuk itu..." dia memberi jeda sebentar, menengok ke arah
kamar anak semata wayangnya yang adalah kekasih saya. "Untuk
itu, saya akan terbuka padamu sebelum engkau benar-benar
membulatkan tekad menikahi anak saya."
Saya menelan ludah. Terasa sekali ada hal yang sangat
penting yang hendak disampaikan oleh orang ini. Saya
mengangguk saja.
"Anak saya ini memiliki garis keturunan penyakit
mental."
"Lantas?"
"Jadi, secara langsung atau pun tidak, anak saya ini
adalah calon orang yang mengidap penyakit mental juga."
Saya semakin kebingungan.
"Anak muda pernah dengar kalau penyakit mental, atau
sebut saja penyakit gila ini, merupakan penyakit turunan?"
"Tidak," jawab saya singkat.
Saya hanya terperangah. Dada saya berdebar-debar
sekali. Ada lebih dari setengah sekiranya batin saya ini tidak
percaya.
"Saya, terus terang saja, tidak ingin menikahkan puteri
saya dengan siapa pun juga. Karena yang saya tahu, sudah dari
lima turunan sampai ke anak saya ini, mereka mengidap penyakit
mental semua. Jadi, saya kira, hendaklah saya putuskan garis
keturunan dia sampai di sini saja supaya ke depannya tidak ada
lagi orang-orang yang menderita penyakit mental semacam ini.
Cukuplah dia sendiri yang membusuk dalam kesepian.
Cukuplah istri saya saja yang meninggal akibat penyakit ini. Saya
tidak sanggup melihat keturunan saya menjadi orang-orang yang
menderita akibat gangguan mental ini. Tapi, saya tidak pernah
menduga kalau dia bisa memiliki seorang kekasih juga."
Saya tersenyum hampa.
"Anda bercanda?" tanya saya memastikan. Mata saya
tidak lepas sedikit pun dari orang ini.
"Terserah pada engkau, anak muda, apabila tidak
percaya." Wajahnya datar tanpa ekspresi. Dan saya merasa kalau
memang orang ini tidak sedang bercanda.
"Semua keputusan ada di tanganmu. Saya sangat
menghargaimu karena engkau sudah mampu mencintai puteri
saya sampai sejauh ini. Tapi perlu engkau tahu, anak muda,
bahwasanya gejala penyakit ini sudah ada pada dia. Dan mungkin
engkau tidak mampu menyadarinya."
"Maaf..." kata saya. Tapi tidak bisa meneruskan.
Setelahnya, saya memilih berpamitan dengan alasan
untuk menenangkan pikiran. Sementara wanita ini tidak juga
terlihat sesaat saya hendak pulang.
Semuanya berlangsung berat, saya masih sulit membuka
hati untuk percaya. Selama lebih dari seminggu sejak malam itu,
saya tidak lagi bertemu kekasih saya ini. Tidak juga saya berusaha
untuk menghubungi apalagi menemuinya.
Kemudian sekitar tiga minggu berlalu, saya memperoleh
kabar dari koran dan orang-orang sekitar, bahwasanya wanita ini
sudah mati akibat dibunuh oleh ayahnya sendiri. Kata orang juga,
sebab utamanya adalah penyakit mental dan depresi yang
diderita ayahnya.
Kupu-Kupu Peramal

Ketika saya kecil, saya pernah beberapa kali dititipkan


oleh orangtua saya untuk menginap di rumah kakek sewaktu
liburan. Di sana, kakek rutin mengajak saya ke halaman belakang
rumahnya untuk menyiram bunga-bunga. Ada banyak jenis
bunga. Tapi yang paling saya ingat adalah Bunga Mata Kucing,
begitulah kakek menyebutnya.
Waktu itu terakhir kali saya menginap di rumahnya.
Seperti biasa, sebelum menyiram bunga-bunga, kakek
menghidupkan tape-recorder, memasukkan kaset pita dan
memutar lagu barat kesukaannya, yang saya tidak pernah tahu
judulnya. Dia menyiram bunga-bunga itu sambil bernyanyi pelan
karena tak tahu liriknya, dan bergerak-gerak menyerupai tarian
yang menakutkan.
Cinta kepada nenek bisa awet karena mendengarkan
lagu ini, katanya. Waktu itu nenek memang sudah mati.
Ketimbang mendengarkan kakek bernyanyi dan
melihatnya menari, tentulah saya lebih suka menangkap kupu-
kupu. Tapi mereka selalu terbang ketika saya mendekat. Saya
pun mengambil batu dan melempari mereka, atau memukul
mereka dengan sebatang kayu, hingga beberapa ada yang mati
dan sayapnya lepas.
"Kupu-kupu itu hewan baik. Mereka tidak akan
menyakitimu," kata kakek sambil memegang tangan saya.
"Tapi mereka tidak menyukai saya," jawab saya.
"Mereka hewan yang menyukai bunga dan kebebasan.
Tidak suka ditangkap."
"Oh," kata saya.
"Bukankah lebih menyenangkan kalau menyaksikan
mereka saja?"
Saya mengangguk, tapi tidak terlalu paham dan tidak
betul-betul setuju.
Setelahnya kakek mengajak saya minum cokelat panas
di teras sambil memandangi taman bunganya. Saat seekor kupu-
kupu melintas, saya sempat mengambil sandal dan berkeinginan
untuk memukul hewan itu. Tapi sejenak saya teringat ucapan
kakek, jadi saya urungkan niat dan meletakkan kembali sandal
saya. Sementara itu kakek menertawakan saya.
"Kupu-kupu itu hewan yang membawa pertanda baik.
Dan tentulah mereka tidak akan menyakitimu, buyung," kata dia
sambil mengusap kepala saya.
Saya mengangguk. Tapi masih memandang kupu-kupu
yang perlahan masuk ke dalam rumah itu.
"Akan ada tamu," ucap kakek sedikit tersenyum.
Saya bingung.
Dua hari kemudian, ternyata betul ada tamu. Paman
saya yang tinggal di luar kota datang bersama istrinya. Tidak
menginap. Hanya berkunjung. Kebetulan tempat pertemuan
bisnisnya melewati rumah kakek. Begitulah seingat saya.
Seminggu saya di rumah kakek, kami selalu melakukan
kegiatan yang sama. Dia mengajak saya untuk mengulangi hal-hal
sama yang membosankan. Lebih-lebih untuk bocah macam saya.
Menyiram bunga, memandang taman dan menyaksikan kupu-
kupu yang tidak bisa saya tangkap hidup-hidup.
Hari itu, selesai menyiram bunga, memutar lagu dan
bernyanyi, kakek mengajak saya untuk minum cokelat panas lagi
di teras sambil memandang taman bunganya. Seekor kupu-kupu
melintas lagi. Saya sempat berpikir untuk memukulnya dengan
sendok. Tapi sejenak saya kembali teringat ucapan Kakek. Jadi
saya urungkan niat itu. Di belakang, kakek memandang saya dan
tertawa.
"Kamu masih ingat kata-kata saya, buyung? Kupu-kupu
itu hewan yang membawa pertanda baik. Jangan sakiti mereka,"
kata dia.
Saya mengangguk.
Kupu-kupu itu kembali masuk ke dalam rumah.
"Akan ada tamu," kata kakek lagi.
Dan betul saja, tiga hari setelahnya bibi saya datang ke
rumah kakek untuk mengambil surat-surat tanah yang memang
diberikan kepadanya. Sampai di sini saya sempat mengira kalau
kakek memiliki kemampuan untuk meramal.
Hari-hari lainnya, setelah melakukan kegiatan-kegiatan
yang sama dengan kakek, minum cokelat panas di teras dan
menunggu kupu-kupu masuk adalah bagian kesukaan saya.
Ketika itu ada lagi satu kupu-kupu yang masuk ke rumah. Saya
memandang kakek.
"Ada tamu?" tanya saya.
Kakek menganguguk.
Sehari setelahnya dia benar lagi. Seorang dengan mobil,
berjas putih dan membawa tas kecil datang. Dia berbicara berdua
saja dengan kakek. Saya baru tahu setelah beranjak remaja kalau
orang itu rupanya dokter.
Sejak berjumpa orang itu kakek tidak menyiram bunga
beberapa hari. Tapi kembali lagi dia mengajak saya melakukan
kegiatan-kegiatan itu setelahnya. Dan selesainya, kami kembali
duduk minum cokelat panas di teras. Saya kegirangan apabila
melihat seekor kupu-kupu masuk ke dalam rumah.
"Ada tamu?" Tanya saya kemudian sambil memandangi
kakek.
Kakek mengangguk dan tersenyum ke arah saya.
Besoknya, benar saja rumah kakek kedatangan banyak tamu.
Mereka berbondong-bondong mendatangi kakek setelah saya
mengatakan pada tetangga sekitar bahwa kakek tidak bangun dan
belum membuatkan saya sarapan.
Ayah, paman, dan bibi juga datang. Mereka menangis,
tapi tidak lama. Ayah bilang pada saya kalau kakek sudah mati.
Saya pun ikut menangis, tapi tidak lama juga.
Sejak saat itu saya baru sadar kalau kakek bukan
peramal. Tapi kupu-kupulah yang meramalkan untuk dia. Dan
saya pikir kupu-kupu tidak selalu membawa kabar baik seperti
yang dikatakannya kepada saya. Buktinya, hari itu orang-orang
datang karena kematiannya sendiri.
Ketika Dia Bertanya tentang Hidup

"Apa itu hidup?" tanya dia pada dirinya sendiri sambil


mengunyah kuaci seribuan yang dibelinya di warung. Namun dia
tidak menemukan jawaban apa pun. Sebelumnya, pada pemilik
warung dia juga bertanya hal yang serupa, "Apa itu hidup?"
Pemilik warung menggeleng, lalu menjulurkan
tangannya, meminta uang seribu.
Dia kembali bertanya, "Apa itu hidup?"
Mulutnya menganga, matanya memandangi pemilik
warung, tangannya memegang bungkusan kuaci seribuan.
Pemilik warung menunjukkan sekeping uang logam seribuan di
depan wajah tololnya.
"Hidup adalah uang," katanya dengan gerakan tangan
yang seolah meminta dia untuk segera enyah.
Apa itu hidup? Mungkinkah dia pernah hidup?
Dia bukan seorang filsuf, tampangnya juga tidak
menunjukkan bahwa dia ahli filsafat atau orang yang sedang
belajar ilmu filsafat. Dia lebih mirip fisikawan gagal yang
menciptakan suatu rumus untuk membuat jalan pintas demi
mengakhiri keberadaannya sendiri, dan bahkan dia tidak bisa
memecahkan hitungan sederhana dengan rumusnya itu.
Tapi dia sangat penasaran tentang apa itu hidup. Dia berjalan
terus bersama sebungkus kuaci seribuan yang menyembul di
antara saku bajunya yang lusuh itu.
"Apa itu hidup?" tanya dia pada sebuah pohon mangga
di depan rumah orang. Tapi pohon mangga tidak mau
menjawab. Dia hanya mendengar suara gonggongan anjing di
balik pagar rumah orang yang berusaha menggigit bokongnya.
Lalu dia ludahi anjing itu dengan kulit kuacinya. Anjing itu
tambah menyalak.
"Apa itu hidup?" tanya dia lagi pada anjing itu.
Dia masukkan tangannya di sela-sela lubang pagar untuk
menggosok-gosok bulu anjing itu. Tapi anjing itu malah
menggigitnya. Lalu dia lari sambil menangis.

***

Jauh sudah dia berjalan sejak digigit anjing galak itu.


Luka bekas gigitannya masih terlihat merah. Tapi kulit telapak
kakinya tentulah masih cukup tebal. Kebal dari panas aspal.
Orang-orang memandangi dia semacam melihat pada teroris
yang membawa bom bunuh diri di tengah keramaian. Padahal
dia cuma mau bertanya tentang hidup.
Dia datangi penjual koran yang duduk manis sambil
membaca kabar berita sidang pemilu, pesugihan, korupsi, atau
keluhan guru honorer tentang gajih yang tak kunung naik pada
lembar barang dagangannya. Penjual koran itu menatap sebentar
ke arah dia dengan agak sinis.
"Koran Radar 4000, Koran B-Post 5000, Majalah
Dewasa 10.000. Lumayan buat ngocok," katanya, "Ada duit kan?"
"Apa itu hidup?" tanya dia pada penjual koran sambil
mengeluarkan sebiji kuaci di dalam sakunya. Lalu dia makan
kuaci itu dengan kulit-kulitnya.
Penjual koran menutupi wajahnya dengan majalah
dewasa yang menampilkan gambar seorang wanita dengan
sepasang payudara.
"Coba tanya di lapak sebelah," ucap dia sambil
menunjuk penjual gorengan yang sedang menuangkan minyak ke
dalam wajan.
"Apa itu hidup?" laki-laki itu bertanya lagi. Kali ini pada
penjual gorengan.
"Saya tidak tahu," jawabnya, "saya cuma penjual tahu isi
sama bakwan biasa."
Tukang gorengan itu memerhatikan orang itu dari ujung
rambutnya yang berantakan hingga kakinya yang nyeker.
"Coba tanya mas yang itu," kata dia menyuruh laki-laki
itu dengan mengarahkan tangannya yang dipenuhi tepung kepada
preman penjaga pasar.
Laki-laki itu tertawa sambil mengunyah kuaci terus.
Berjalan dia ke arah preman yang berambut seperti jengger ayam
itu.
"Apa itu hidup?" dia memandang kepada preman itu
dengan matanya yang polos, mengharap sebuah jawaban.
Preman itu meletakkan gelas kopinya agak keras hingga
membuat suara benturan yang terdengar sekitar beberapa meter.
Berdiri menatap orang itu dari rambutnya yang tidak pernah
menggunakan shampoo bertahun-tahun hingga kuku kakinya
yang panjang dan bau.
Dia kepalkan tangannya, lalu dia angkat lengan bajunya
sampai kelihatan tato bergambar naga. Dengan bergaya seolah
sedang mengangkat barbel dia bilang, "Hidup adalah rasa sakit."
Laki-laki itu melihat otot dan tato sang preman, dan tertawa
sambil memicingkan matanya dan agak memamerkan giginya
yang sudah tidak digosok sejak lama.
"Ulat?" tanya dia sambil mengunyah kuaci dan
menunjuk gambar naga pada lengan preman itu.
Kemudian dia ditendang preman itu sampai terbirit-birit
dan menangis. Laki-laki itu sedih sekali karena tidak ada yang
mau memberitahu pada dia tentang hidup. Apa itu hidup atau di
mana dia bisa menemukan hidup.

***

"Apa itu hidup?" tanya dia pada jajaran pohon, gedung,


dan sebidang langit luas sambil menangis di sepanjang trotoar
yang di pijaknya setelah dia berjalan terlalu jauh tapi dia merasa
tidak pernah pergi ke mana-mana selain kepada ingatan akan
kematian istrinya.
Hingga beberapa saat kemudian dia akan tertawa lagi
dan kembali bertanya di dalam kepalanya sendiri, sambil
mengunyah kuaci seribuan yang dia beli di warung tadi. "Apa itu
hidup?
Tuan Norton

Tuan Norton, saya bisa saja membunuhmu sekarang


juga berhubung lehermu sudah di tangan saya. Saya bisa
mencekikmu keras-keras sampai kau kehabisan napas. Minta
ampunlah pada saya sekarang.
Apakah kau baru menyadari kesalahan terbesarmu,
Tuan Norton? Sepatutnya kau tidak usah datang ke kota ini, dan
juga tidak usah kau tinggal di sebelah apartemen saya. Tahukah,
Tuan Norton, bahwa kau ini sangat mengganggu?
Jangan menatap saya dengan polos begitu, Tuan Norton
yang bangsat. Kau banyak dosa dengan saya. Beruntung jauh-jauh
hari kau masih saya biarkan hidup. Padahal bisa saja saya
menembak kepalamu sewaktu kau menengok gadis pujaan saya
di jendela.
Saya sudah ada firasat kalau kau orang yang
menjengkelkan sejak awal saya melihat kau datang menyeret
koper besar. Muka angkuhmu, meski memang saya akui kalau
kau cukup tampan. Selain itu, kau dokter ahli bedah dan kau
juga kaya raya. Kau bisa dapatkan gadis mana saja, tapi kenapa
kau malah menaksir gadis pujaan saya? Dasar, kau, Tuan Norton
bedebah.
Memang kau sempat dengan telak menumbangkan saya
saat kita berkelahi karena saya memukul kucing kesayanganmu
dengan sapu sampai dia terkencing-kencing. Tapi, Tuan Norton,
itu sebab salah kau juga yang tidak bisa mengatakan pada dia
untuk jangan dekat-dekat apalagi masuk ruangan saya. Saya
benci segala tentang kau, Tuan Norton, dan termasuk juga
kucingmu yang gemuk dan suka membuang taik sembarangan
itu.
Dan ingatkah kau saat kedatangan banyak rekan-rekan
doktermu, dan kau berpesta semalaman suntuk, Tuan Norton?
Kau dan kawan-kawanmu benar-benar berisik. Macam bocah
yang baru sekali berpesta. Kau membuat saya tidak tidur
semalaman. Ujung-ujungnya saya terpaksa harus menonton acara
lomba catur saat tengah malam di televisi. Sampai-sampai saya
menderita sakit karena masuk angin. Itu semua karena kau,
Tuan Norton yang bangsat.
Meminta ampunlah pada saya sekarang juga. Atau
cekikan tangan kiri saya akan semakin keras. Atau pistol di
tangan kanan saya akan menarik pelatuk sampai kepala kau
pecah. Katakan, Tuan Norton, kalau kau menyesal. Katakan juga
bahwa kau akan segera pindah dan pergi jauh-jauh dari gadis
pujaan saya.
Tuan Norton yang berengsek. Ini semua demi
keberlangsungan nyawamu juga. Sebelum saya benar-benar
menggila jika ingat lebih jauh semua kesalahanmu pada saya.
Saya pernah dengar dari tetangga lain kalau kau sudah
bersetubuh dengan gadis pujaan saya. Saya harus meyakinkan
diri saya sendiri cukup lama kalau kabar itu tidak benar. Atau
saya akan terpanggang oleh api cemburu yang membesar dan
semakin berkobar.
Saya ingin jujur bahwasanya saya hendak memukul
wajah kau seketika itu juga, Tuan Norton. Saya sempat berpikir
untuk mengambil pisau atau batu runcing di jalanan depan lalu
menikamkannya ke jantungmu. Tapi saya sadar, saya takkan
mampu.
Sejak kau pindah ke apartemen ini, hari-hari saya
menjadi sangat buruk. Lebih menyedihkan dari mimpi buruk
yang biasanya menggentayangi saya apabila terlupa membaca doa
tidur.
Kebencian saya padamu, Tuan Norton, semakin
bertambah sewaktu kau memaksa masuk mobilmu ke dalam
garasi umum untuk penghuni apartemen yang sudah penuh.
Tepat di sana ada mobil saya dan mobil Tuan Anton. Kau
mencoba masuk di sela-selanya hingga mobil saya lecet dan
penyok. Kau bingung dari mana saya tahu, kan, Tuan Norton
yang malang? Tentulah saya tahu dari kamera pengawas. Kau
lupa kalau sekeliling apartamen ini dipenuhi kamera semacam
itu? Dasar kau orang bodoh yang malang.
Kasihan betul kau, Tuan Norton. Kau harus
memasrahkan nasibmu di tangan saya. Napasmu bisa saja saya
hentikan sekarang juga jika saya mencekik lehermu lebih keras.
Tapi saya ingin membuatmu menderita lebih lama dulu sebelum
kau mati. Sebagaimana yang sudah kau perbuat kepada saya.
Mintalah pengampunan selagi sempat, Tuan Norton
yang malang. Sebelum saya mencekikmu lebih keras. Sebelum
saya menarik pelatuk pistol. Sebelum saya..
Seketika lamunan saya di atas balkon terhenti saat tuan
Norton berpaling dan kemudian memandang balik kepada saya
yang terus berdiri sedari tadi untuk menatap serta mengutuknya.
Saya lihat dari bawah tempat parkir sana dia menatap
saya dengan penuh benci pula. Beruntung betul kau, Norton,
karena lamunan saya ini tidak nyata. Tapi suatu saat, tentulah
saya akan membunuhmu juga. Saya akan memotong
kemaluanmu karena sudah berani bersetubuh dengan gadis
pujaan saya. Lalu saya juga akan menguliti tubuhmu seperti yang
saya lakukan kepada kucingmu tiga hari lalu.
Pencuri Harga Diri

Di malam yang cukup gigil itu sebuah kampung geger


sewaktu seorang warga yang bertugas ronda memukul kentongan
sepuluh kali dengan memberi jeda pada tiap dua pukulan.
Nyaris semua warga yang mendengar suara tersebut
berhamburan keluar rumah, menuju pos ronda setempat. Ada
yang hanya memakai baju, ada yang hanya memakai celana
dalam, bahkan ada yang bertelanjang.
Berduyun-duyun mereka berkumpul di sebuah pos ronda yang
terletak di pertengahan kampung yang agak kumuh dan muram
itu.
"Siapa yang kemalingan?" tanya seorang warga yang
telanjang.
"Entah," jawab yang bertugas ronda.
"Lalu kenapa kau memukul kentongan?" tanya ibu-ibu
yang mengenakan daster.
"Tadi saya melihat ada seseorang yang lari terbirit-birit
membawa Harga Diri," terangnya, "makanya saya pukul."
"Astaga. Kejam betul dia," ucap seorang warga yang
hanya memakai celana, "ke mana dia lari?"
"Dia lari ke semak-semak. Hilang dalam gelap."
"Siapa jualah yang kehilangan Harga Diri di saat-saat
begini. Kasihan benar dia."
"Harga Diri siapakah kira-kira?" tanya salah seorang
warga pada kerumunan mereka.
"Entah," jawab seorang lagi, "cuma keluarga Haji Amat,
Ustad Gofur, dan Pak RW yang punya Harga Diri di kampung
ini."
Sekejap kemudian munculah Pak RW sambil
mengucek-ucek matanya. Dia baru bangun tidur.
"Siapa yang kemalingan?" tanya Pak RW.
"Entah," jawab warga yang meronda sambil mengupil.
"Tadi katanya, dia melihat ada orang asing lari ke semak-
semak, Pak. Sambil membawa Harga Diri," terang seorang warga.
"Lalu? Adakah dari kalian yang merasa kehilangan
Harga Diri?"
"Tidak, Pak. Harga Diri kami sudah tiada sejak cukup
lama," jawab beberapa warga yang ada di pos.
"Kau," tunjuk Pak RW pada satu warga yang tidak
memakai baju dan celana, "Harga Diri kamu masih ada?"
"Tidak ada, Pak."
"Siapa jualah kiranya yang malang betul nasibnya
kehilangan Harga Diri di saat-saat begini,"
Pak RW bingung sambil menggaruk-garuk kepala.
"Kasihan benar dia tidak bisa menjual Harga Diri dengan mahal
pada Calon Pemimpin nanti."
Tak lama setelah itu Ibu RW datang, terbirit-birit dia lari
menyusul suaminya ke pos ronda.
"Bapak.. Bapak.. Bapak..." panggil dia.
"Iya, Bu. Ada apa?" tanya Pak RW pada istrinya yang
mirip ikan buntal itu.
"Anu... anu..." Istrinya ngos-ngosan.
"Tarik napas dulu, Bu."
"Anu, Pak. Harga Diri kita hilang!"
Semua warga kaget. Tak terkecuali Pak RW yang
membelalak matanya.
"Hah!? Kok bisa!?"
Pak RW kaget masih tak percaya. "Aduh Gusti! Malang
betul nasibku!"
Atas perintah Pak RW seluruh warga berpencar untuk
mencari Harga Diri keluarganya yang dibawa lari oleh seorang
yang asing itu.
Berbondong-bondong mereka mencari Harga Diri
keluarga Pak RW, ke semak-semak, ke selokan, ke jamban,
hingga ke kandang kambing.
"Ketemu?" tanya Pak RW
"Belum, Pak," jawab warga yang telanjang.
"Kalau kau? Ketemu?" tanya Pak RW pada warga yang
tadi meronda.
"Tidak juga, Pak."
Beberapa saat kemudian datanglah anak laki-laki Pak
RW sambil menguap dan mengucek-ucek matanya.
"Siapa yang kemalingan?" tanya dia
"Entah," jawab warga yang meronda tadi.
"Lho, kau ini! Kan saya yang kemalingan!" sahut Pak
RW sambil memukul kepala orang itu.
"Bapak kehilangan apa?"
"Harga Diri kita, Nak."
"Memang Bapak menaruhnya di mana?"
"Hah! Kau ini malah bertanya. Toh, seharusnya kau
sudah tahu kalau bapak kau biasanya menaruhnya di bawah
kasur," terang Pak RW. "Kau tidak lihat ada orang asing masuk
ke rumah kita, Nak?"
"Tidak, Pak."
"Aneh benar. Dia bisa tahu letak Harga Diri kita di
bawah kasur. Padahal cuma Bapak, Ibu, sama kau yang tahu."
Beberapa warga meminta kepada Pak RW untuk segera
melaporkan kejadian ini kepada polisi.
"Kita lapor polisi saja, Pak," usul salah seorang warga.
"Betul," timpal orang yang telanjang.
"Jangan, Pak," cegat anak Pak RW.
"Lho, kau ini mau Harga Diri kita hilang!?"
"Anu, maksud saya tunggu 24 jam dulu."
"Tidak. Bapak mau lapor sekarang. Kalau 24 jam lagi
bisa habis dia bagi-bagi Harga Diri Kita."

***
Tak perlu waktu lama, dalam waktu 12 jam, penadah
yang sempat menyimpan Harga Diri keluarga Pak RW
ditangkap dan di bawa ke kantor polisi.
"Heh, babi, di mana kau simpan Harga Diri saya?" tanya
Pak RW dengan emosi sambil mengepalkan tangan dan
membentak meja.
"Bapak RW tenang dulu," ucap seorang polisi
menenangkan.
"Lho, bagaimana saya bisa tenang, Pak. Harga Diri
keluarga saya diambil!"
"Saya mengerti, Pak. Tapi kita harus menginterogasi dia
sesuai prosedur. Yaitu dengan santai dulu. Kalau dia tidak
menjawab baru nanti kita pukul."
"Saya setuju," sahut Pak RW.
"Di mana Harga Diri saya," tanya Pak RW lagi pada
penadah itu.
"Sedang di bawa anak buah saya ke pusat kota," jawabnya
"Brengsek betul kau ini! Mau kau apakan Harga Diri
saya!?"
"Mau saya jual setengah ke Calon Presiden, sisanya saya
bagi dan jual kepada beberapa Calon Pemimpin Daerah."
"Kurang ajar!" bentak Pak RW sambil melayangkan
genggamannya ke rahang orang itu. Mata Pak RW memerah.
"Cukup Pak RW," kata polisi mencoba menenangkan.
"Bapak tidak usah menangis. Ya, saya mengerti benar betapa
berartinya Harga Diri itu bagi Bapak. Tapi percayalah, kami
akan berusaha menghentikan anak buah penadah ini. Bapak
tenang saja."
"Tidak," kata Pak RW, matanya masih memerah,
"tangan saya sakit. Rahang dia keras juga rupanya."
"Mas Penadah, dari mana atau dari siapa Anda
mendapatkan Harga Diri itu?"
"Dari anak dia sendiri, Pak," jawab penadah itu sambil
menunjuk Pak RW.
"Apa!? Anak saya!? Kurang ajar betul dia. Pantas dia
tidak mau saya melapor polisi. Saya kurung dia di kandang
kambing nanti," ketus Pak RW

***

Pada perjalanan hendak menuju ke kota, polisi juga


sudah berhasil meringkus beberapa anak buah dari penadah itu.
Ada yang melewati rawa, ada yang menyeberang sungai dan
berenang di antara tai-tai.
"Ampun, Pak. Ampuun!"
"Mana Harga Diri Pak RW!?" tanya salah satu polisi
dengan suara tinggi.
"Ampun, Pak. Saya cuma bawa bagian yang kecil. Tidak
sampai seperempat. Bagian yang setengahnya ada pada teman
saya. Dia sedang akan ketemuan sama tim sukses Calon
Pesiden."
Dari berbagai informasi yang didapat akhirnya anak
buah penadah yang membawa setengah Harga Diri keluarga Pak
RW itu berhasil dilumpuhkan juga di dekat kota.
Rupanya warga yang semalam merondalah yang menjadi salah
satu anak buah penadah itu.
"Oh! Kau rupanya!?" ucap Pak RW marah-marah sambil
memukul kepala orang itu.
Sementara suasana kota terlihat muram sekali. Warga
kota yang mendengar keributan berduyun-duyun keluar dari
tempat tinggalnya. Ada yang hanya memakai baju, ada yang
hanya memakai celana dalam, bahkan banyak juga yang
telanjang. Mereka terlalu heboh dengan kabar pencurian Harga
Diri. Karena memang kebanyakan dari mereka sudah tidak lagi
memiliki Harga Diri. Di kota, Harga Diri sekarang sedang langka
dan banyak dicari.
Lelaki Tua dalam Upacara Bendera

Di pagi hari yang cerah itu, di halaman kantor camat,


ada banyak orang berkumpul untuk melaksanakan upacara
bendera tujuh belas Agustus. Terlihat sosok-sosok mereka, dari
yang berdiri hingga yang duduk: Camat, Sekretaris Camat, guru-
guru serta murid-murid SD sampai SMA, hingga para Kepala
Desa, dan Ibu-ibu PKK.
Di sudut lain juga terdapat anggota koramil yang
memantau kirab penaikan Sang Saka yang akan dilakukan oleh
siswa SMA. Semuanya nampak sangat bersemangat.
Siswa-siswa yang bertugas sebagai paskibra dalam
upacara penaikan bendera itu memang terlihat agak gugup.
Sementara Camat yang baru beberapa bulan dipindahtugaskan
ke tempat itu memerhatikan mereka satu demi satu dengan agak
tersenyum. Meski begitu, masih ada cukup banyak peserta
upacara yang malah berbicara satu sama lain.
Sesudahnya, pembaca acara upacara mulai berkomat-
kamit sendiri —barangkali merapal doa-doa anti gugup atau
lemah hati— sebelum mendekatkan bibirnya ke permukaan
mikrofon. Namun belum sempat dia membuka acara, terlihat
ada seorang lelaki tua di tengah jalanan yang lengang sedang
berlarian sambil berteriak-teriak kencang. Tidak ada yang tahu
dari mana lelaki tua itu datang.
Ia berlari terus sambil berteriak-teriak, "Merdeka! Merdeka!"
beberapa kali.
Peserta upacara yang hadir di halaman kantor camat itu
ada yang tertawa terbahak-bahak, tapi ada juga yang terlihat takut.
Bentuk kepala lelaki tua itu agak aneh. Seperti tidak
rata, atau semacam memiliki lubang dan benjolan. Ia memakai
baju berwarna abu-abu dengan model prajurit zaman penjajahan
dulu, serta topi yang menyerupai peci, yang dimasukkannya ke
dalam saku. Ia masih saja berlari. Berputar-putar beberapa lama
di depan sebuah kios buah yang terletak di pertigaan, sekitar
tujuh puluh meter dari halaman kantor camat itu.
Pemilik kios buah itu mengusirnya dengan
menyiramkan air kepadanya. Sementara ia masih saja berlari
sambil berteriak "Merdeka! Merdeka!".
Sebagian banyak peserta upacara nampak masih terdiam
memandangi kelakuan absurd orang tua itu. Komandan upacara
melirik ke arah pembaca acara, bermaksud mengingatkan dia
bahwa jam upacara seharusnya sudah dimulai. Tetapi fokus
mereka yang ada di halaman terbagi dengan lelaki tua yang
berlari-larian itu.
Bahkan Camat juga terlihat memandangi orang tua yang
rambutnya putih semua dan tersisa sedikit itu dari jauh. Sambil ia
menggeleng-gelengkan kepalanya, tertawa kecil.
Tak lama kemudian, lelaki tua itu berlari ke arah
halaman kantor camat. Ia semakin mendekat sampai-sampai
membuat peserta upacara —yang khususnya adalah anak-anak
sekolahan— berlari berhamburan karena terlihat juga lelaki tua
itu tengah memegang sebuah pistol kokang sambil
menodongkannya ke muka siapa-siapa saja yang dilihatnya.
"Merdeka! Merdeka!" masih teriak lelaki tua itu.
Peserta upacara yang lainnya juga kocar-kacir berusaha
menyelamatkan diri mereka masing-masing. Komandan Upacara
yang awalnya nampak tegas berjalan perlahan mundur ke
belakang. Dua anggota koramil mendekati Camat, bermaksud
memberikan perlindungan. Sementara beberapa polisi dan
tentara ada juga yang nampak waspada.
Namun tetiba Camat yang sedari tadi berdiri di teras
kantor camat itu turun menuju halaman, ke arah lelaki tua itu. Ia
memberikan isyarat dengan gerakan tangan untuk meminta
semuanya bersikap tenang. Ia berjalan gontai mendekati lelaki
tua yang masih memegang pistol kokang itu.
Tak lama setelahnya, datang berlarian dua orang lelaki
tegap dengan pakaian serba biru gelap. Menembus kerumunan
di mana orang-orang yang tadi sempat berhamburan, kini
kembali berkumpul. Mereka berlari menuju lelaki tua itu ketika
Camat juga berada di sana. Mereka senyum hormat kepada
Camat. Kedua orang itu, bersama-sama Camat memegangi dan
membangunkan lelaki tua yang sempat terjatuh. Matanya masih
terlihat kalap. Pistol kokang masih betah di tangannya. Tapi
mereka bertiga sama sekali tidak kelihatan takut.
Camat nampak mengucapkan beberapa patah kata,
kemudian disusul kedua orang itu pergi sambil menggandeng si
lelaki tua. "Merdeka! Merdeka!" terdengar ia masih sempat
berteriak saat dirinya digiring keluar dari halaman.
Setelah kejadian itu, situasi yang sempat mencekam
kembali tenang. Tidak berselang lama, upacara pengibaran
bendera tujuh belas Agustus itu dimulai dan berlangsung damai
seperti biasa. Seperti kebanyakan upacara yang berlangsung
normal.
Lalu ketika tiba Camat memberikan pidato, ia
membukanya dengan biasa juga. Seperti kebanyakan pidato
Camat lain, yang terlebih dahulu mengomentari persiapan
upacara, serta suasana saat upacara berlangsung dan tentunya
tentang semangat kemerdekaan yang harus tetap dijaga serta
pertahankan. Namun di seperempat bagian akhir pidatonya, ia
menyampaikan sesuatu yang agaknya membuat orang-orang yang
berhadir di sana —yang semula-mulanya masih saling berbicara—
jadi semakin tertuju pada apa yang disampaikan olehnya.
"Lelaki tua yang tadi adalah kakek saya," kata Camat.
"Saya atas nama pribadi dan keluarga ingin meminta maaf apabila
dari kalian yang berhadir di tempat ini, ada yang merasa takut
atau terganggu," kata dia lagi.
Kebanyakan dari peserta upacara di halaman itu
menunjukkan ekspresi terkejut, meragu, atau tak percaya.
Kemudian Camat kembali meneruskan pidatonya seusai melihat
sepintas ekspresi dari mereka.
"Hal terpenting yang perlu kalian tahu, pistol yang
dibawa beliau tadi adalah pistol mainan," kata Camat sambil
tersenyum. Keringat mulai nampak menyucur dari pori-pori
dahinya. Matahari juga sudah semakin terik dan meninggi.
Peserta upacara yang terdiri dari banyak golongan orang
itu jadi berdiam penuh. Masih agak terkaget dengan ucapan
Camat barusan.
"Kakek saya memang selalu begitu apabila memasuki
bulan Agustus. Apalagi kalau sudah tanggal tujuh belas. Beliau
selalu merengek-rengek untuk di bawa ke tempat orang-orang
melakukan upacara. Kalau tidak dituruti, beliau bisa menangis
dan mengamuk," jelasnya lagi.
"Sudah bertahun-tahun saya mengajak beliau melihat
prosesi upacara bendera di tempat-tempat saya dahulu
ditugaskan. Tapi hanya dari balik kaca dalam mobil saja. Dan
rupanya, hari ini, kebetulan sopir dan pengawal kakek saya agak
lengah hingga beliau bisa kabur dan menjajah keberlagsungan
upacara kita ini."
Beberapa orang yang mendengar ucapan Camat tersebut
ikut tersenyum bahkan ada juga yang ketawa.
"Adakah dari kalian yang mengenal atau tahu
tentang kakek saya?" tanya camat kepada seluruh peserta
upacara.
Membuat sebagian besar dari mereka semakin berdiam.
Semakin hening. Hanya saling memandang.
Ada beberapa anggota polisi atau pun tentara yang
nampaknya tahu, namun mereka memilih tetap diam saja sambil
menyimpan jawaban dalam senyuman yang menyimpulkan tanda
tanya di mata orang-orang.
Kebanyakan dari peserta upacara menggeleng. Camat
nampak masih menunjukkan senyum sambil menunjuk kepada
seorang peserta wanita yang sedang membetulkan posisi
jilbabnya. Wanita itu kelabakan.
“Saya?” Barangkali begitu yang ingin diperjelas oleh
wanita itu. Namun ia tidak mampu bersuara hingga yang ada
hanya isyarat jari telunjuknya yang dihadapkannya ke arah dirinya
sendiri. Membuat Camat serta beberapa orang di sana tertawa.
“Ada yang mau angkat tangan? Ada yang bisa
menjawab?” Camat memberikan tantangan.
Beberapa peserta upacara masih menggeleng. Beberapa
yang lain ada yang tersenyum, tertawa, bahkan tersipu malu
akibat didorong oleh teman atau rekan mereka untuk menjawab
pertanyaan tersebut.
“Kamu saja.” Suara yang pelan dan samar sedikit
terdengar di antara kerumunan orang banyak yang kelimpungan.
"Kakek saya adalah salah seorang pejuang kemerdekaan," terang
Camat ketika tidak ada seorang pun yang berani menjawab.
"Nama beliau mungkin memang tidak setenar pahlawan-
pahlawan nasional. Juga tidak tercetak dalam buku-buku
pelajaran sekolah kalian. Namun itu tidak dapat dijadikan
sebagai alasan untuk melupakan jasanya, bukan?
Tidak sepatutnya juga beliau dilupakan oleh orang-orang yang
diperjuangkannya, meski hanya sebatas wilayah daerah. Apalagi
hingga dilupakan negaranya sendiri yang seolah menutup mata
usai timah panas yang dulu didapatnya di medan pertempuran,
membuat kepalanya benar-benar tidak bisa diajak berpikir lagi."
Mata Camat terlihat berkaca-kaca sewaktu mengenang cerita
kakeknya.
"Bahkan sekali pun tidak ada orang yang percaya, atau
mungkin bagi orang lain, beliau hanyalah orang gila biasa," kata
Camat itu lagi, "untuk saya, kakek saya tetaplah seorang pejuang
negara yang hingga hari ini, semangat kemerdekaannya masih
mengalir dan mendidih di dalam darah saya."
Sementara para peserta upacara atau pun tokoh-tokoh
penting yang ada di dalam upacara itu masih hening tanpa suara.
Mereka semua hanya saling memandang pada diri masing-
masing. Tanpa bicara sepatah kata.
Selesainya pidato itu, selepas pembacaan doa, dan
sehabisnya upacara, seluruh orang yang berada di halaman itu
bertepuk tangan untuk Pak Camat, dan tentunya untuk sang
lelaki tua, yang adalah kakeknya

Anda mungkin juga menyukai