Anda di halaman 1dari 3

HUJAN tidak pernah absen belakangan ini.

Aku membenci hujan, ah, tapi terkadang aku cukup


mensyukuri adanya hujan. Entahlah... diriku ini memang sulit ditebak, bahkan olehku sendiri.
Hujan kali ini menghalangiku untuk pulang. Dinginnya membawa langkahku untuk sekedar duduk
dan meminum kopi di sebuah gerai kopi ternama di Plaza Senayan. Kukeluarkan laptopku.
Berusaha melanjutkan proyekku untuk pembangunan sebuah sekolah singgah. Sesekali kusesap
latte-ku untuk mengusir rasa dingin di tubuh. Tiba–tiba ada seseorang yang mencoba mengalihkan
pandanganku dari layar laptopku.
“Sorry, keberatan nggak kalo gue duduk di kursi ini?” tanya seorang pria berkacamata di depanku,
“Yang lain udah pada penuh, tuh!” Ia tersenyum. Aku membalas senyumannya,
“Sure! Have your seat! Sofanya comfy banget kok.” Ia menyengir boyish yang cukup nyaman
untukku.
Laki – laki ini terlihat masih muda, ia menaruh secangkir espresso di meja. Penampilannya
sederhana saja. Menggunakan polo shirt, jeans, dan oh right... sendal jepit! Aku memperhatikannya
dibalik kacamataku yang menatap layar laptop.
“Hey..”
Sapaannya memancingku untuk ikutan mendongak,
“Hei juga...” Wah, dia kembali tersenyum, sambil menyodorkan tangannya.
“Gue Niki..”
Aku menyambut tangannya sambil tersenyum, “Ashlynn..”
“Tadi dari luar, gue nggak sengaja ngeliat laptop lo, kaya ada sesuatu yang bakal gue suka, deh. Do
you mind if I know?” Wah, dia memperhatikan layar laptopku sejak di luar tadi? Aku menggeser
laptopku agar bisa dilihat olehnya.
“Aku memang sedang merencanakan pembangunan sebuah sekolah. Tapi uniknya, sekolah ini
adalah sekolah khusus anak – anak jalanan. Jadi, free of charge, malahan anak – anak ini akan
dibimbing untuk mendapat pekerjaan yang jauh lebih baik dari pada sekedar menunggu rasa
kasihan dari orang.” Aku menjelaskan visi dan misiku kepadanya. Dan ia tampak menyimak setiap
penjelasanku.
“Jarang lho, ada orang yang ternyata isi otaknya mikirin nasib mirisnya anak-anak jalanan di
Jakarta ini..” komentarnya setelah aku selesai menerangkan proyekku ini. Aku benar–benar tidak
tahu harus menjawabnya dengan kalimat apa. Alhasil, aku cuma bisa diam sambil tersenyum aneh.
“Ashlynn.. Gue..”
“Ash.. just call me, Ash” koreksiku.
“Oh. Ok. Ash, gue ini sarjana manajemen Nirlaba. Manajemen yang urusannya buat
yayasan-yayasan sosial, yang tujuan utamanya bukan buat profit... dan gue akan sangat senang
sekali, kalo lo mengijinkan gue untuk boleh gabung sama lo merealisasikan proyek ini...” Niki
menatap mataku saat mengatakan hal ini. Aku terdiam.
Melihatku tak merespon, Niki jadi salah tingkah, “Tapi gue.. gue nggak maksa kok, Ash. Apalagi
kan, kita baru kenal..” Aku menggeleng cepat. Tentu aja aku mau dibantuin!
“Gue dapet kehormatan kalo seorang sarjana Manajemen Nirlaba mau jadi partner gue di proyek
ini!” jawabku excited sambil tersenyum. Hari itu, aku sangat amat mensyukuri turunnya hujan!
Hari – hari setelahnya, aku malahan semakin dekat dengan Niki. Ternyata selain membantuku
untuk proyek besar ini, Niki juga seorang pria yang luar biasa. Niki adalah seseorang yang peduli
sosial. Ia juga bisa jadi partner yang tepat untuk membicarakan soal politik, kemis- kinan, dan
kejamnya kehidupan. Caranya memandang kehidupan ini terkadang tampak seperti skeptis, yang
mana pasti akan selalu aku cela. Ah, tidak. Mungkin lebih tepatnya aku menyebutnya sangat
realistis.
Sore ini, aku ada janji bersama Niki untuk mengumpulkan satu kelompok anak–anak jalanan di
daerah Pasar Rebo. Aku sengaja tak membawa mobilku dan malah memilih untuk naik angkutan
umum. Niki memang tetap membawa mobilnya lalu memarkirkannya di rumah sakit dekat situ. Di
tangan kirinya, ia membawa kantong plastik hitam yang kuyakini adalah nasi padang bungkus
pesananku untuk anak–anak jalanan. Niki tadi memaksaku untuk membawakannya, mengingat aku
akan repot sekali jika harus membawa 50 bungkus nasi padang dengan bis umum.
Aku segera menghampirinya, lalu membantu Niki untuk membagikan nasi bungkus itu.
Sesambilnya anak – anak itu makan, aku menjelaskan bahwa mereka diminta untuk datang ke
sebuah rumah yang tidak jauh dari tempat itu, untuk belajar, lalu mendapat makan siang. Kita harus
‘mengumpani’ anak – anak jalanan dengan makanan agar mereka mau datang belajar ke sekolah
singgah itu. Begitulah ide Niki yang menurutku sangat brilian.
Seusai acara itu, aku dan Niki pergi ke rumah yang akan dijadikan sekolah singgah. Kami
memeriksa perlengkapan yang sekiranya akan dibutuhkan dalam pengajaran minggu depan. Guru
yang akan mengajar anak – anak jalanan itu adalah mahasiswa yang sukarela mengajar dan sudah
dibuatkan jadwalnya. Mekanisme ini pun lagi–lagi terkordinir dengan baik berkat Niki.
Baru saja, aku dan Niki mengunci pintu rumah tersebut, BRESSSHH, hujan seperti tumpah dari
langit mengguyur bumi. Aku menghela nafas. Lain hal dengan Niki. Ia tersenyum lebar melihat
hujan yang kelewat lebat. Bahagia sekali kelihatannya.
“Ash, yuk! Main ujan, yuk, temenin gue!” ajak Niki. Ia memegang jemariku-yang sebenarnya
membuat diriku seperti tersengat ribuan volt- tapi aku menggeleng.
“Gue nggak suka hujan, Nik..” jujurku.
“Kenapa? Main hujan itu asik, lho! Ya udah, gue main hujan sendiri..” Niki tersenyum padaku.
Aku senang melihat Niki terlihat begitu bahagia karena hujan. Ia terlihat begitu lepas, tanpa beban,
bebas.
Hujan mulai reda, Niki mengajakku segera pulang. Gantian, aku yang memaksa Niki untuk
menyetir mobilnya menuju apartemenku. Ia lagi kedinginan, tidak mungkin bisa konsentrasi nyetir
mobil.
Sampai di apartemenku, ia langsung merebahkan diri di sofa panjang kegemarannya. Aku
mengambil kaos yang mungkin muat untuknya lalu menyeduh teh hangat untuknya.
Niki tertidur di sofaku setelah menghabiskan tehnya dan berganti pakaian. Hari memang sudah
gelap, aku jadi tidak tega membangunkannya, apalagi di luar hujan kembali lebat.
Kubiarkan Niki tidur, lalu aku membalutinya dengan selimut. Sekali lagi hari ini aku mensyukuri
hujan lebat ini. Sangat!
Sebulan setelahnya...
Hari ini mendung. Niki mengajakku pergi ke Monumen Nasional. Katanya, ia sudah lama sekali
tidak pergi. Aku awalnya enggan, tapi melihat tatapan mautnya, aku luluh dan mengikuti
kemauannya. Ia memacu mobilnya dan kembali, hujan lebat turun! Niki keluar. Main hujan. Aku
memilih di dalam mobil, tidak mau mengikutinya.
Niki menghampiriku dalam mobil, menggenggam tanganku, dan memohon padaku untuk
menemaninya. Aku menolak. Tapi karena tatapan mautnya, aku akhirnya mengikuti kemauannya.
Dinginnya air langsung membuatku menggigil, Niki tertawa melihatku. Lalu ia menggenggam
kedua tanganku. Menatap mataku dalam–dalam. “Ash.. Gue nggak tau alasan lo benci hujan. Tapi
lo harus tau, awalnya gue juga benci banget sama hujan. Sama kayak lo. Sampai pada suatu hari,
hujan mengantar gue ke sesuatu yang sangat mengikat gue.” Niki menatapku semakin lekat, “Lo.
Gue jatuh hati sama lo sejak hari pertama kita ketemu. Sejak lo membeberkan proyek lo dan
ngizinin gue gabung. Hari itu adalah hari pertama gue cinta sama hujan..”
Aku terkesima mendengarnya. Lidahku mendadak kelu. Pada akhirnya aku hanya bisa tersenyum
lalu memeluk Niki dengan hangat.
Niki tertawa dan membalas pelukanku.
Hari ini, aku resmi mencintaimu, hujan...

Anda mungkin juga menyukai