Anda di halaman 1dari 3

Anak-anak kecil itu menerobos hujan deras sambil mengikuti para pengguna jasa payung

mereka. Bolak balik berkali-kali, tak sedikitpun gusar dengan badan yang telah basah kuyup.
Sedangkan aku, masih duduk manis menunggu hujan reda. Tak berani jika harus
mengendarai motor dalam keadaan hujan deras begini.

Hujan mulai reda, tak ada lagi yang menyewa payung anak-anak tadi. Mereka berlari ke
arah masjid yang letaknya tak jauh dari sekolah ini. Menghitung uang yang mereka dapat,
lalu salah seorang dari mereka memasukkan beberapa lembar uang ke dalam kotak infaq.

Setelah memastikan hujan berhenti, barulah aku beranjak dari tempat duduk. Mereka juga
pun sudah hilang dari pandanganku. Masih berusaha mencari-cari keberadaan mereka, tapi
sialnya, aku kehilangan jejak.

Muncul sebuah pertanyaan,yang terus mengganjal di hati. Aku yakin, uang menyewakan
payung tadi tidaklah banyak. Tapi, kenapa masih menginfakkan sebagian uangnya? Malam
semakin larut, tapi logikaku masih terheran-heran dan tak bisa menyimpulkan jawaban tadi.

Sebelum ke sekolah, pagi ini kuputuskan untuk mampir di sebuah warung dekat
persimpangan jalan. Niatnya untuk makan nasi kuning, karena tadi mama tak sempat
membuat sarapan. Suapanku terhenti saat melihat salah satu anak penyewa payung tadi
malam. Kali ini, anak itu menjunjung sebuah nampan yang berisi gorengan. Menjajakannya
pada orang-orang.

Tak ingin kehilangan jejak mereka lagi, segera kudekati anak itu. Ada tersisa lima belas
gorengan di nampannya.

“Dek, saya beli semua gorengannya ya,” ucapku sambil memandangi anak itu.

“Baik, Kak.” Dia memasukkan semua gorengan ke dalam kantong plastik.

“Jadi, berapa semuanya?”

“Lima belas ribu, Kak,” jawabnya seraya mengulurkan kantong itu padaku.

“Kamu, yang kemarin malam menyewakan payung, ‘kan?”

“Iya, Kak. Benar, kenapa?”

Baru saja aku ingin kembali bertanya, beberapa orang anak lainnya datang. Mengajak anak
itu buru-buru pergi. Sebelum benar-benar pergi, sempat kulihat mereka menghitung uang.
Lalu memberikan beberapa lembar pada seorang pengepul sampah yakni kakek tua yang
sedang asyik memasukkan sampah plastik ke gerobaknya.

Sekali lagi, aku dibuat bingung akan sikap anak-anak itu. Aku kembali ke warung dan
membayar nasi kuning tadi. Lalu bergegas menuju sekolah. Ada yang berbeda saat
memasuki kelas pagi ini. Semua temanku terlihat gusar. Aku kebingungan dan mulai
menanyakan keadaan ini.

“Ada apa ini?” tanyaku memecah keheningan.

“Hem itu, Pal. Adam kecelakaan dan sekarang lagi masa kritis,” jawab Andika sambil
menunduk.

“Kecelakaan?”

“Iya,Tadi pas mau berangkat sekolah gw lihat adam tabrakan sama angkot dan posisinya
tadi kakinya kejepit sama motornya dan kepalanya banyak ngeluarin darah.”
“Beneran lo? Dia sekarang dirawat di rumah sakit mana” Wajahku sangat panik kala itu.

“Kata Pak Taufik tadi dia dibawa ke Rumah Sakit Bunda Pengharapan” ujar Nahrul

Setelah mendengar dimana tempat dimana Adam dirawat aku langsung menuju rumah sakit
tadi. Adam adalah sahabatku dari kecil,ia lah yang selalu menemaniku saat aku tidak punya
teman. Padahal hari ini dia akan bertanding final lomba bulu tangkis yang diikutinya.

Kulajukan Motorku dengan kecepatan di atas rata-rata, berharap bisa cepat sampai di
rumah sakit. Pikiran pun melayang ke mana-mana. Tiba-tiba tepat di depanku ada
seseorang yang melintas. Aku membelokan motor dan melihat seorang wanita paruh baya
terjatuh di jalan.

Untungnya hanya menyerempet wanita tadi, karena tak konsentrasi, sampai-sampai aku tak
melihat. Orang-orang membantu membopong nya ke klinik terdekat. Dan, wanita itu hanya
lecet dan tak ada luka yang terlalu berarti.

Setelah menebus obat, aku mengantarkan wanita itu ke rumahnya. Mengejutkan, karena
kami disambut oleh lima orang anak yang wajahnya kukenal. Ya, mereka adalah anak kecil
yang menyewakan payung dan menjual gorengan tadi pagi.

Rumah ini sangat sederhana, hanya terdapat dua kamar. Mereka tinggal berenam di sini.
Tak ada orang dewasa lain, selain wanita tua.

“Maaf, Bu. Mereka semua ini, anakmu?” Aku memberanikan diri untuk bertanya.

“Tidak. Aku tak memiliki anak. Mereka adalah anak-anak jalanan yang kubawa pulang.”

“Maksudmu? Kemana perginya orang tua mereka?”

“Entahlah. Waktu itu aku bertemu mereka di pinggir jalan, sedang kehujanan. Awalnya
mereka memang tinggal bersama orangtuanya, tapi tiba-tiba saja orangtua anak-anak ini
pergi dan tak kembali.”

“Lalu Ibu yang menanggung biaya mereka?”

Wanita itu menarik napas dalam-dalam lalu menghembuskannya perlahan. Menatapku


beberapa detik, kemudian memalingkan pandangannya ke arah pintu yang terbuka.

“Aku kesepian semenjak suamiku meninggal. Punya anak, tapi juga sudah tidak ada.
Akhirnya kuputuskan untuk merawat anak-anak itu agar tak kesepian lagi.”

Pandangannya mengitari ruangan rumah, tampak genangan air di pelupuk mata sayunya.
Dia terlihat mencoba menahan agar tak jatuh ke pipi.

“Memang hidupku ini sangat sederhana, tapi setidaknya aku bisa memberikan tempat
tinggal yang layak untuk mereka. Ini adalah bentuk sedekahku.”

“Apa gak keberatan Bu? Maksudku, mereka kan berlima, pasti biaya mereka cukup besar?”

“Setiap anak yang lahir, membawa rezekinya masing-masing. Lalu kenapa mesti khawatir
akan kekurangan? Mereka juga punya rezeki masing-masing, buktinya saja mereka bisa
sekolah. Meskipun mereka harus ikut bersusah payah untuk membantuku berdagang.”

Aku melongo mendengar jawaban wanita tua itu. Seakan tak percaya dengan apa yang
telah dia lakukan. Tanpa terasa sudah satu jam aku berbincang dengan wanita itu. Malam
semakin larut, dan akhirnya kuputuskan untuk pulang.
Sesampainya di rumah, aku duduk di sofa. Mencoba mencerna kembali setiap jawaban yang
dilontarkan wanita tua itu. Kuedarkan pandangan ke semua ruangan rumah. Rumah ini
besar, terdapat tiga kamar di lantai bawah dan dua kamar di lantai atas. Namun tak
sedikitpun terpikir olehku, untuk melakukan hal yang dilakukan wanita itu.

Betapa mulia hatinya, dan aku merasa malu pada diri sendiri. Teringat kembali percakapan
tadi, perihal uang yang selalu disedekahkan anak-anak itu setiap usai bekerja.

“Aku sudah beberapa kali melihat, anak-anak ini selalu menyumbangkan uang setelah
bekerja. Kenapa begitu?”

“Mereka itu memang ku ajarkan untuk bersedekah. Itu adalah uang sedekah anak-anak itu.”

“Maksud, Ibu?”

“Selama ini anak-anak memang begitu. Mereka akan mengeluarkan seratus rupiah dari
seribu rupiah pendapatannya, untuk mereka sumbangkan.”

Aku mengernyitkan kening, mencoba memahami maksud wanita itu. Dia tersenyum,
sepertinya paham akan kebingunganku.

“Simpelnya begini, jika satu orang anak mendapatkan penghasilan dua puluh ribu, maka dia
akan mengeluarkan dua ribu untuk sedekah. Begitu juga dengan yang lainnya, nanti uang
tiap-tiap mereka digabungkan. Jadinya kan lumayan juga.”

“Memangnya uang yang mereka dapat, cukup untuk biaya mereka?”

Dia menatapku sambil tersenyum. Mengelus-elus pelan pundakku.

“Nak, sedekah itu tak mesti menunggu cukup. Lah, kehidupan kami cuma seperti ini. Jadi,
kapan bakal cukupnya? Intinya, sedekah itu harus dibiasakan, tanpa perlu menunggu
berlebih. Kalau kita ikhlas, Allah akan membalasnya berkali-kali lipat. Sedekah juga gak
mesti banyak-banyak ‘kan?”

Aku merasa tertampar sekaligus malu pada diri sendiri. Selama ini, sudah begitu banyak
nikmat yang diberikan juga orang tua yang sangat berkecukupan, bisa memberikan semua
fasilitas yang ku butuhkan. Mungkin inilah kenapa aku tak pernah bersyukur dan selalu
merasa kurang atas apa yang diberikan tuhan kepadaku .

Sangat jarang aku bersedekah bahkan aku hanya bersedekah ketika merasa uangku banyak
namun tetap bersedekah dengan nominal yang kecil. Aku bersyukur bisa bertemu dengan
mereka, yang membuatku mengerti betapa pentingnya bersedekah. Ampuni hamba ya
Allah.

The End

Anda mungkin juga menyukai