Anda di halaman 1dari 2

Sekilas Arti Keluarga

Perkenalkan, namaku Rizki. Lengkapnya Muhammad Rizki Oktavian. Tapi keluargaku kerap
memanggilku Kiki. Kini aku duduk di bangku kelas VII SMP Negeri 1 Sewon. Aku tinggal bersama kedua
orangtuaku dan adik kecilku. Merekalah sumber hidupku dan sebab aku sekarang masih berdiri. Bak aku
ini adalah tembok dan mereka pondasinya. Sungguh berarti adanya mereka dalam hidupku.

Sekarang, aku ingin bercerita, tentang kehidupanku akhir-akhir ini. Beberapa hari yang lalu, nilaiku
turun dan prestasiku turun drastis. Aku tak mampu untuk memertahankan juara pertamaku. Sangat sulit
rasanya. Aku tak habis pikir nilaiku akan seperti ini. Padahal, aku selalu belajar. Tapi, itu tak berbuah
hasil yang memuaskan. Begitu sedih diriku saat mendengar dan melihat bahwa nilaiku turun. Rasanya
seperti tertusuk duri yang tajam saat itu. Memang duri itu kecil, tapi tusukannya itu berasa sangatlah
sakit.

Sepulang sekolah setelah momen pilu itu, aku pulang dengan isak tangis. Air mataku terus menerus
bercucuran. Diriku langsung mengurungkan diri di kamar. Aku tidur-tiduran sambil meratapi
kesedihanku dengan melihat ke arah atap genteng. Lalu adikku tiba-tiba membuka pintu kamar karena
tak kukunci.

" Kak Kiki, udah pulang. Tapi kenapa kok keliatan sedih e? " tanya adikku dengan rasa iba melihat
mataku berkaca-kaca

Aku hanya terdiam dan tak merespon. Aku hanya terus sedih berlinang air mata. Sulit rasanya
menyampaikan isi pilu hatiku. Lalu adikku segera keluar kamar tanpa kujawab pertanyaannya. Ku dengar
dari kamar, adikku menceritakan perilakuku pada ibuku. Tapi aku membiarkannya. Kini aku tengah fokus
pada kejadian kurang menyenangkan di sekolah tadi. Tiba-tiba ibuku datang bersama adikku tadi.

"Kiki kok nangis kenapa? Ada temen yang nakal? Ayo cerita dong!" kata ibu memerhatikan diriku.

"Bukan, Bu. Tapi...nilaiku turun. Sekarang aku jadi rangking 31..." balas diriku dengan menangis.

"Kiki...Kiki...cuma gitu aja nangis. Naik turun peringkat itu biasa. Mungkin kamu masih kurang
belajarnya. Lagipula, Ibu, tidak menuntut kamu untuk terus jadi yang pertama dan tidak akan marah
kalau kamu tidak rangking satu lagi, "kata ibu seraya memegang pundakku .

Sebenarnya memang benar perkataan ibuku. Tapi rasanya sulit dan pedih untuk melepaskan
sesuatu yang biasanya menjadi milikku dan harus direnggut oleh orang lain.

" Ta...ta...tapi... aku tak bisa, Ibu," kataku sedih.


Ayah yang tak sengaja mendengar pembicaraan dengan ibu pun menyahut, " Alah, yang penting
usahamu itu jujur. Buat apa punya peringkat bagus tapi itu curang, "

" Kak Kiki, udah ya nangisnya, " ucap adikku. Ia lalu mencubit kedua pipiku memaksa senyum.

Perlahan hatiku mulai luluh melihat ibu, ayah, dan adikku tersenyum. Aku sadar bahwa semua itu
tak akan terus menjadi milik kita dan bisa saja menjadi milik orang lain. Harapanku terbit lagi. Masih ada
kesempatan untuk mendapatkannya kembali. Terima kasih ibu, ayah, dan adikku tersayang. Selama ini
merekalah yang selalu menyemangatiku. Menjadi sandaran saat diriku tengah roboh. Dan di hari
hadapan aku akan memberikan kalian hadiah yang teramat istimewa. Seistimewa intan yang gemerlap
melebihi kilauan cahaya.

Anda mungkin juga menyukai