Hari tidak mengenal kata berhenti saat Tuhan masih memberi masa
aktifnya. Namun banyak yang menginginkan hari berakhir, karena
ketidakadilan yang mereka terima, kesusahan yang mereka alami,
kenistaan yang mereka alami. Hati mereka remuk redam lebih sakit
daripada ditusuk 1000 tombak pasukan yunani.
Aku salah satu orang yang ingin hari itu berhenti. Keadilan hanya
sebuah kata untuk mengelabui orang-orang awam yang sangat
berharap pada sebuah kebebasan.
Rumah kami beratapkan langit, berlantaikan tanah, dan tidak ada yang
peduli dengan kami. Terkadang ‘kepala suku’ kami datang tengah
malam dan membawakan makanan untuk para anak-anak sepertiku,
entah dia mendapatkannya dengan cara seperti apa, jika tidak mencuri
yah mengambil.
“Reno, kalau kau sudah besar, kau mau jadi apa?” Tanya salah satu
bocah yang seumuran denganku.
kami sedang menatap ‘atap’ kami “Aku ingin menjadi orang yang bisa
meretakkan langit” jawabku, “kenapa?” Tanyanya lagi “karena langit
selalu memberiku ketidak amanan, langit selalu memberi hujan yang
membuat kelompok kita kedinginan, langit yang membuat kelompok
kita menjadi kepanasan saat dia bersekongkol dengan matahari” dia
terdiam sejenak mendengar jawabanku yang cukup menyeramkan.
“Itu tanjakan menuju kota. Aku suka melihat kepala suku pergi lewat
situ dan pulang dengan membawa makanan” cerita salah satu
temanku. Dengan rasa penasaran ala anak kecil, aku mencoba
memanjat tanjakan itu, ingin melihat apa itu ‘kota’.
Dengan susah payah aku menaiki tanah-tanah bergerigi, tapi itu tidak
menyurutkan semangatku. Perjuanganku sudah mencapai garis finish,
aku melihat di depan mataku, ada lampu yang disangkutkan di tiang
yang tinggi dan berjejer rapih, ada berpuluh bahkan beratus ratus
bangunan yang tinggi dan besar berbentuk kotak, bundar, oval dengan
ribuan kunang-kunang yang menempel pada bangunan itu.
Berjam-jam aku memandangi tempat itu dan tidak ada habisnya orang
yang berlalu lalang, sampai mataku tertuju pada seorang anak
perempuan kecil didampingi oleh ibunya masuk ke bangunan itu,
beberapa jam aku masih memandangi bangunan yang terang
benderang, dan anak perempuan kecil itu keluar dari rumah sakit.
Tempat ini sangat indah, cahaya ada di mana-mana, tidak ada satu pun
sudut yang gelap, semua orang akan merasa aman di sini, biarpun ada
bau-bau menyengat yang tidak pernah kutemui sebelumnya, aku
mencoba berjalan lebih ke dalam. Di depan pintu yang berjejer
terdapat nama dan fotonya, aku berjalan dari alfabet A sampai aku
terhenti pada alfabet C, di mana terdapat nama “Cindy” dan foto gadis
kecil dengan kuncirannya.
Aku mendorong pintu yang dingin itu dengan bahuku, dan pintu itu
terbuka sedikit, aku tidak melewatkan celah kecil itu. Di dalam ruangan
yang aku masuki, aku melihat gadis itu sedang tenang melihat sesuatu
yang kotak dan di dalamnya terdapat gambar yang bergerak-gerak,
sekilas dia melihatku dan terus memandangiku, aku melihat wajahnya
yang ternyata sangat cantik dilihat dari dekat, rambutnya digerai tanpa
kunciran “kau siapa?” Dia bertanya, suaranya sangat indah sampai aku
bisa merasakan lewat kalbuku.
Aku canggung dan menjawab “aku.. Re.. Reno..” “mendekatlah”
ajaknya pada lelaki kumal sepertiku, aku mencoba mendekat “Kau
kenapa bisa ada disini dan begitu kotor?” Tanyanya lagi “aku selalu
memperhatikanmu dari atas” kataku.
“kau malaikat?”
“Apa itu?”
“lalu ada apa dengan doa tak terkabulmu?” Tanyaku lagi untuk yang
ketiga kalinya
Umurku kini 10 tahun, dan bekerja sebagai tukang sapu jalanan. Malam
ini begitu temaram, lampu taman yang biasa menyala terang kini mati
hidup mati hidup, sebuah gerombolan anak sebayaku dengan cepat
berlari di hadapanku sampai aku terjatuh, dari belakang terlihat
orangtua yang meneriaki gerombolan itu “berhenti, pencuri!!”
Tukasnya, aku mencoba berlari mengejar mereka, aku hampir
mendapati mereka di sebuah lorong kecil, tapi salah satu anak itu
berhenti dan memberiku barang curiannya yang berupa roti gandum
“kau lapar, kan?” Tanyanya, aku terdiam “ikut kami” ajaknya, aku
terdiam dan mengikuti gerombolan itu sampai di suatu gang sepi,
mereka membagi-bagikan makanan hasil curian dan memakannya
bersama-sama.
“aku mengikuti langkahmu yang lari dari rumah dan mencoba hidup
disini. Aku tidak menyangka bertemu denganmu” ceritanya “lalu kau
mencuri?” Tanyaku “iya. Sama seperti apa yang dilakukan kepala suku
untuk kita” jawabnya.
Kami memakai masker pencuri kami, sudah hampir setahun aku tidak
memakainya lagi. Kami mulai melakukan aksi kami, tapi sialnya, bank ini
merupakan bank yang sebelumnya prnah kami rampok, mereka sudah
berbenah, kami benar-benar dikepung oleh polisi. Aku menemukan
jalan keluar lain, dan di depan pintu aku menyuruh teman-temanku
untuk keluar lebih dulu dan aku yang terakhir, tapi aku yang tertangkap
oleh polisi, teman-temanku meninggalkanku, kedua tanganku dibekap
ke belakang, aku dibawa ke dalam mobil polisi dengan kamera
bertebaran dimana-mana, aku rasa aku masuk tv dan aku merasa Cindy
semakin menangis melihat tv yang sedang meliput perampokan.
Tiba-tiba aku ingin melihat album foto yang terdapat di lemari reot
yang sudah jarang di pakai. Kubuka album yang penuh debu itu,
halaman demi halaman tidak ada yang menarik perhatianku sampai ada
foto 2 anak bayi berumur 3 tahun, mereka seperti duplikat, tidak ada
perbedaan sama sekali, aku melihat sticker nama yang tertera di kedua
bayi itu “Adi” dan “Reno” aku baru menyadari saudara kembarku,
Reno.