Anda di halaman 1dari 11

Gelap Namun Bercahaya

Terbawa arus kehidupan yang tidak pernah brhenti. Terbawa gelap


malam pekat yang selalu memberi rasa tidak aman. Apa bulan
merupakan simbol kegelapan? Apa matahari simbol cahaya? Tidak ada
jawabannya, mereka berdua bercahaya di tempat yang berbeda.

Hari tidak mengenal kata berhenti saat Tuhan masih memberi masa
aktifnya. Namun banyak yang menginginkan hari berakhir, karena
ketidakadilan yang mereka terima, kesusahan yang mereka alami,
kenistaan yang mereka alami. Hati mereka remuk redam lebih sakit
daripada ditusuk 1000 tombak pasukan yunani.

Aku salah satu orang yang ingin hari itu berhenti. Keadilan hanya
sebuah kata untuk mengelabui orang-orang awam yang sangat
berharap pada sebuah kebebasan.

Di pinggiran kota, di samping bantaran sungai yang baunya lebih buruk


dari kotoran manusia, di bawah pohon-pohon tanpa buah yang besar
bagai di hutan rimba, di sinilah aku tinggal, bersama orang-orang yang
mengharapkan “hari” akan berakhir.

Rumah kami beratapkan langit, berlantaikan tanah, dan tidak ada yang
peduli dengan kami. Terkadang ‘kepala suku’ kami datang tengah
malam dan membawakan makanan untuk para anak-anak sepertiku,
entah dia mendapatkannya dengan cara seperti apa, jika tidak mencuri
yah mengambil.
“Reno, kalau kau sudah besar, kau mau jadi apa?” Tanya salah satu
bocah yang seumuran denganku.

kami sedang menatap ‘atap’ kami “Aku ingin menjadi orang yang bisa
meretakkan langit” jawabku, “kenapa?” Tanyanya lagi “karena langit
selalu memberiku ketidak amanan, langit selalu memberi hujan yang
membuat kelompok kita kedinginan, langit yang membuat kelompok
kita menjadi kepanasan saat dia bersekongkol dengan matahari” dia
terdiam sejenak mendengar jawabanku yang cukup menyeramkan.

“Kalau begitu aku akan membantumu” kata bocah yang bernama


andrew itu, posisi rebahannya kini menyamping, sambil membuat
bantal dari tangan kurusnya, dia tidur dengan berselimutkan angin.

Hari-hari berlalu, masih dengan cambukkan rasa ketidak adillan. Suatu


malam aku bermain dengan anak-anak bocah yang lainnya, tidak tahu
memainkan apa yang penting kita senang dan tertawa bersama, tiba-
tiba pandanganku terarah pada satu tanjakan yang tinggi namun tidak
kelihatan apa yang ada di seberang tanjakan itu “apa kau tahu tanjakan
itu akan membawa kita kemana?” Tanyaku, yang penasaran dengan
tanjakan bak gunung di mataku.

“Itu tanjakan menuju kota. Aku suka melihat kepala suku pergi lewat
situ dan pulang dengan membawa makanan” cerita salah satu
temanku. Dengan rasa penasaran ala anak kecil, aku mencoba
memanjat tanjakan itu, ingin melihat apa itu ‘kota’.

Dengan susah payah aku menaiki tanah-tanah bergerigi, tapi itu tidak
menyurutkan semangatku. Perjuanganku sudah mencapai garis finish,
aku melihat di depan mataku, ada lampu yang disangkutkan di tiang
yang tinggi dan berjejer rapih, ada berpuluh bahkan beratus ratus
bangunan yang tinggi dan besar berbentuk kotak, bundar, oval dengan
ribuan kunang-kunang yang menempel pada bangunan itu.

Tapi ada 1 tempat yang mengambil perhatianku, sebuah bangunan


dengan tulisan ‘hospital’, tepat di turunan tempat aku mengintip. Dari
atas aku bisa melihat banyak orang yang berlalu lalang dengan panik
masuk dan keluar dari bangunan itu, ada orang yang diletakkan di
tempat tidur yang bisa berjalan, dan ada orang yang duduk di kursi
yang bisa berjalan juga, wajah mereka murung dan tidak semangat, aku
lebih sering mendengar jeritan dan tangisan dari dalam situ.

Berjam-jam aku memandangi tempat itu dan tidak ada habisnya orang
yang berlalu lalang, sampai mataku tertuju pada seorang anak
perempuan kecil didampingi oleh ibunya masuk ke bangunan itu,
beberapa jam aku masih memandangi bangunan yang terang
benderang, dan anak perempuan kecil itu keluar dari rumah sakit.

Mataku sudah mulai terkatup, aku memutuskan turun dari puncak


menyenangkan itu dan kembali tidur dengan berselimutkan angin.
Beberapa hari sampai beberapa minggu, setiap malam aku selalu
memandangi rumah sakit itu dan selalu melihat anak kecil perempuan
yang di hari pertama menarik perhatianku.

Hari ke 20, aku tidak bosan-bosan memandangi pemandangan ini, tidak


menghiraukan ajakan teman temanku untuk bermain di kubangan
lumpur.

Seperti biasa aku melihat gadis kecil dengan kuncir 2 mungil di


rambutnya memasuki rumah sakit itu, tapi kali ini ada yang aneh, saat
keluar dari rumah sakit hanya ibunya yang terlihat, tidak ada gadis
kecilnya. Aku menunggu sampai besok dan yang datang hanya ibunya
lagi dan saat keluar hanya ibunya lagi. Entah ada bisikkan darimana, aku
ingin menuruni puncak ini dan mencoba bertemu dengan gadis itu,
walaupun kepala suku suka menakuti nakuti kami dengan cerita
harimau bertaring dan beruang hitam yang berkeliaran di sebrang
puncak ini, tapi kali ini aku tau dia berbohong.

Aku memberanikan diri, melompati pembatas yang terbuat dari besi


yang sudah lapuk. Kakiku yang tanpa alas terseret rerumputan tajam
saat mencoba turun, tapi akhirnya aku berhasil menuju sampai bawah.
Rasanya sangat berbeda saat memandang dari atas, aku sedikit bingung
mencari pintu masuk ke dalam bangunan ini. Aku menunggu ada orang
dan mencoba mengikutinya, aku berhasil masuk ke dalam, dan mataku
terbelalak.

Tempat ini sangat indah, cahaya ada di mana-mana, tidak ada satu pun
sudut yang gelap, semua orang akan merasa aman di sini, biarpun ada
bau-bau menyengat yang tidak pernah kutemui sebelumnya, aku
mencoba berjalan lebih ke dalam. Di depan pintu yang berjejer
terdapat nama dan fotonya, aku berjalan dari alfabet A sampai aku
terhenti pada alfabet C, di mana terdapat nama “Cindy” dan foto gadis
kecil dengan kuncirannya.

Aku mendorong pintu yang dingin itu dengan bahuku, dan pintu itu
terbuka sedikit, aku tidak melewatkan celah kecil itu. Di dalam ruangan
yang aku masuki, aku melihat gadis itu sedang tenang melihat sesuatu
yang kotak dan di dalamnya terdapat gambar yang bergerak-gerak,
sekilas dia melihatku dan terus memandangiku, aku melihat wajahnya
yang ternyata sangat cantik dilihat dari dekat, rambutnya digerai tanpa
kunciran “kau siapa?” Dia bertanya, suaranya sangat indah sampai aku
bisa merasakan lewat kalbuku.
Aku canggung dan menjawab “aku.. Re.. Reno..” “mendekatlah”
ajaknya pada lelaki kumal sepertiku, aku mencoba mendekat “Kau
kenapa bisa ada disini dan begitu kotor?” Tanyanya lagi “aku selalu
memperhatikanmu dari atas” kataku.

“kau malaikat?”

“Apa itu?”

“Hhmm.. titisan Tuhan yang bersifat baik” jawabnya “oh.. Tuhan..


hubunganku tidak baik dengannya, aku membencinya” kata ku.

“aku juga” ucapnya yang membuat aku bertanya “apa alasanmu


membencinya?”

“Kesehatanku, keluargaku, dan pengabaian doaku padanya”

“memangnya ada apa dengan kesehatanmu?” Tanya ku penasaran

“aku lemah sejak lahir, penyakit apapun kerap mendatangiku dan


membuat aku sangat tidak nyaman”

“lalu ada apa dengan keluargamu?” Tanyaku lagi “keluargaku tidak


terlalu memperhatikanku, aku tidak pernah dirawat di rumah. Aku
dibilang menyusahkan mereka, jadi aku ditaruh di tempat ini, agar tidak
merepotkan mereka”

“lalu ada apa dengan doa tak terkabulmu?” Tanyaku lagi untuk yang
ketiga kalinya

“aku selalu berdoa pada Tuhan, agar kesehatanku membaik dan


keluargaku memperhatikanku. Tapi tidak terkabul.. aku berharap ‘hari’
akan berakhir” tersentak aku kaget mendengar kata-katanya yang
persis dengan keinginanku “Ti.. tidak boleh” ucapku terbata-bata
“kenapa?” Tanyanya “hari.. tidak boleh berakhir.. karena aku yakin..
doamu akan terkabul” bicara apa aku ini, mungkin di dunia ini aku yang
paling ingin hari akan berakhir, tapi saat ada orang yang sepemikiran
denganku, aku malah melarangnya.

Dia tersenyum kecil, lekukan bibirnya sangat mungil “baiklah.. mungkin


aku bisa menunggu beberapa hari lagi supaya doaku terkabul”
senyumnya lagi. Aku melihat jendela yang menuju pekarangan tempat
aku mendarat, aku pamit dengannya lewat jendela itu dan kembali ke
rumahku.

Berhari-hari aku menemuinya melompati pagar pembatas itu, sampai


aku ingin mencoba kehidupan yang ada di kota. Aku mengenal apa itu
Tv, mobil, motor, pesawat terbang dan hal lainnya yang tidak aku
dapati saat berada di kelompokku.

Bertahun-tahun aku meninggalkan kelompokku dan mencoba di


lingkungan yang baru dan terlebih lagi aku bisa bertemu dengan Cindy.
Aku baru mengenal apa itu uang, aku mencoba mencari cara untuk
mendapatkan uang, dari menjadi tukang parkir, membantu kuli
bangunan, menjaga peternakan, sampai menjadi pembersih taman.

Umurku kini 10 tahun, dan bekerja sebagai tukang sapu jalanan. Malam
ini begitu temaram, lampu taman yang biasa menyala terang kini mati
hidup mati hidup, sebuah gerombolan anak sebayaku dengan cepat
berlari di hadapanku sampai aku terjatuh, dari belakang terlihat
orangtua yang meneriaki gerombolan itu “berhenti, pencuri!!”
Tukasnya, aku mencoba berlari mengejar mereka, aku hampir
mendapati mereka di sebuah lorong kecil, tapi salah satu anak itu
berhenti dan memberiku barang curiannya yang berupa roti gandum
“kau lapar, kan?” Tanyanya, aku terdiam “ikut kami” ajaknya, aku
terdiam dan mengikuti gerombolan itu sampai di suatu gang sepi,
mereka membagi-bagikan makanan hasil curian dan memakannya
bersama-sama.

“Re.. Reno?!” Ucap salah satu anak dalam gerombolan itu.

“ya .? Siapa kau?” Tanyaku bingung “aku Andrew!” Tenggorokanku


seperti tersedak mendengar pengenalannya.

“aku mengikuti langkahmu yang lari dari rumah dan mencoba hidup
disini. Aku tidak menyangka bertemu denganmu” ceritanya “lalu kau
mencuri?” Tanyaku “iya. Sama seperti apa yang dilakukan kepala suku
untuk kita” jawabnya.

“bergabunglah dengan kami.” Ajaknya, aku menerima ajakan itu, kami


mencuri makanan kecil dari supermarket dan kebutuhan lainnya seperti
selimut dan bantal kecil agar bisa tidur dengan nyaman. Seiring
bertambahnya umur, kami mencuri yang lebih besar, dari mencuri
motor, mobil, sampai senjata, dan kami bisa mendapat banyak uang
dari bank dengan merampoknya.

Doa Cindy mulai terkabul, aku tetap menjaga hubunganku dengannya


sejak kecil, dia berhasil menyelesaikan kuliahnya di universitas ternama,
dan aku berhasil merampok dari bank ternama, serupa tapi tak sama.
Sampai umur ku 22 tahun. kami berdua menyatakan cinta yang mulai
tumbuh sejak pertemuan di rumah sakit, aku menjelaskan profesiku
dan dia mengerti dan tidak merubah perasaannya.

Keluarganya sama sekali tidak menerimaku, namun Cindy bersedia


dibawa lari olehku kalau aku mengubah profesiku itu, aku bersedia.
kami kawin lari, menikah dengan didoakan oleh 1 orang pastur di
sebuah gereja, angin yang berhembuslah yang menjadi saksi 2 insan
yang sedang dilumpuhkan keagungan cinta saat ini.

Aku membeli sebuah apartemen dari hasil merampok dan mencoba


menjauh dari kelompok perampokku. Pagi itu aku sedang merekam
Cindy dengan perut yang sudah 7 bulan mengandung anakku, aku
merekamnya dengan riang, ciuman demi ciuman di layangkannya
untukku, aku mencium perut yang mengembung itu.

“Ting tong” bunyi bel pintu memecahkan kemesraan kami berdua,


kubuka pintu itu dan terlihat teman-temanku atau kelompok
perampokku, kami berpelukan 1 sama lain, mengobrol sedikit dan
mereka mengajakku untuk merampok bank untuk yang terakhir kalinya,
saat itu keuanganku sudah mulai menipis, aku menerima ajakannya,
walaupun Cindy melarangku sampai air matanya meleleh, meneriaki
“Renooo!!” Saat aku di ambang pintu keluar, tapi bagaimanapun aku
harus mendapat uang untuk biaya persalinan Cindy.

Kami memakai masker pencuri kami, sudah hampir setahun aku tidak
memakainya lagi. Kami mulai melakukan aksi kami, tapi sialnya, bank ini
merupakan bank yang sebelumnya prnah kami rampok, mereka sudah
berbenah, kami benar-benar dikepung oleh polisi. Aku menemukan
jalan keluar lain, dan di depan pintu aku menyuruh teman-temanku
untuk keluar lebih dulu dan aku yang terakhir, tapi aku yang tertangkap
oleh polisi, teman-temanku meninggalkanku, kedua tanganku dibekap
ke belakang, aku dibawa ke dalam mobil polisi dengan kamera
bertebaran dimana-mana, aku rasa aku masuk tv dan aku merasa Cindy
semakin menangis melihat tv yang sedang meliput perampokan.

Aku dibawa ke dalam penjara Alcatraz, San Fransisco. Di dalam penjara


yang sangat dingin dan terkekang itu membuat aku mensyukuri
rumahku pada waktu kecil. Cindy datang menemuiku, perutnya yang
sudah membesar harusnya tidak diperbolehkan untuk berjalan-jalan.

Kami berkomunikasi lewat telepon dengan kaca pembatas, kami sedikit


bertengkar di situ dan dia pergi. Beberapa hari temanku datang,
Andrew. Dia minta maaf karena saat itu dia kabur, membuat aku
terjebak di sini, tapi selanjutnya andrew bicara dengan kalimat yang
membuat sanubariku pecah dan menghitam “Cindy.. telah meninggal..
akibat kecelakan setelah menjengukmu beberapa hari yang lalu”.

Telepon yang aku genggam terlepas dari genggamanku, aku berteriak


seperti harimau yang kelaparan, “Tidak mungkin!! Kau jangan
berbohong!” raungku.

Beberapa hari kemudian aku diperbolehkan untuk berziarah ke makam


Cindy, istriku. Aku tidak kuasa menahan tangis, tenggorokanku tercekik
sejadi-jadinya, kepalaku kutempelkan pada batu nisannya. Waktuku
tidak lama, aku kembali ke dalam sel. Cambuk Ketidak adilan kembali
menghampiriku, aku menyesali saat pertama kali aku penasaran
dengan tanjakan itu, harusnya aku tidak kesana, harusnya aku terus
berharap agar ‘hari’ akan berakhir, harusnya aku tidak bertemu dengan
Cindy. Aku sempat menginginkan hari terus berlanjut, tapi kali ini.. aku
benar benar berharap hari akan berakhir.. dan..

“PIIP PIIP PIIP!!!” Bunyi alarm membangunkanku dari mimpi yang


seolah berjalan 22 tahun itu, mataku berair seperti ingin menangis, aku
melihat di sampingku, istriku Vella, masih tertidur pulas, kucium
keningnya dengan sedikit ketakutan yang masih menyelimutiku.
“Aku Adi.. kenapa di dalam mimpi aku menyebut diriku Reno..?” Aku
masih bingung setengah mati dengan jalan mimpi yang tadi kualami,
mimpi itu begitu nyata.

Tiba-tiba aku ingin melihat album foto yang terdapat di lemari reot
yang sudah jarang di pakai. Kubuka album yang penuh debu itu,
halaman demi halaman tidak ada yang menarik perhatianku sampai ada
foto 2 anak bayi berumur 3 tahun, mereka seperti duplikat, tidak ada
perbedaan sama sekali, aku melihat sticker nama yang tertera di kedua
bayi itu “Adi” dan “Reno” aku baru menyadari saudara kembarku,
Reno.

Saat umur kami 3 tahun, keluarga kami akan melakukan penerbangan


dari Manchester menuju Amerika, tapi penerbangan kami mengalami
kecelakaan. Keluarga kami semua selamat kecuali Reno, dia hilang,
semua keluarga menganggapnya telah meninggal, tapi aku ragu. Saat
aku mulai dewasa, aku mencoba untuk menerima kematiannya, tapi
kini aku ragu kembali.

Aku melaksanakan penerbangan menuju San Francisco, Amerika. Aku


menghampiri penjara Alcatraz dan menanyakan tentang narapidana
yang bernama “Reno” dan ternyata memang ada!! Tapi dia telah
meninggal 1 tahun yang lalu akibat bunuh diri di dalam sel. Aku
mencoba mencari pemakaman yang persis seperti di dalam mimpiku,
dan ternyata ada, aku melihat makam Reno dan Cindy bersebelahan.
Kini aku yakin, Reno saat itu tidak meninggal, dia hanya hilang. Adikku,
mencoba memperlihatkan kisahnya hidupnya yang pilu kepadaku. Aku
menangis di depan makamnya, caranya memperlihatkan kisah
hidupnya sangat terasa olehku. Keinginannya untuk menghancurkan
langit.. hari yang berakhir.. Aku tidak sanggup menahan kehidupan
seperti adikku. Hidupnya Gelap.. dan sempat bercahaya.. namun
kembali gelap.

Anda mungkin juga menyukai