Anda di halaman 1dari 4

Nama : Triya Safarina A.

Kelas :X-IPS2

Kuota Seharga Ginjal

Keadaan keluargaku ditahun 2020 ini sangat menyedihkan. Bagaimana tidak,


Ayahku yang hanya seorang penjual mainan anak dengan satu kaki dan sedikit
gangguan mental sejak kecelakaan dua tahun silam. Sedangkan Ibuku hanya
buruh cuci baju keliling sejak di PHK dan harus menerima paitnya keadaan
ekonomi yang semakin menurun. Sejak covid-19 melanda indonesia semua
keadaan berubah 180°. Ayah tidak lagi mendapat penghasilan dan ibu hanya
mendapat separuh dari biasanya. Kami hidup dalam bayang-bayang kematian.
Tak ada lagi beras dan lauk yang akan memenuhi perutku dan kedua adik
perempuanku yang masih kecil.

Kala itu ibu memanggilku untuk memberikan pekerjaan padaku. "Fitri, cepat
bersiap untuk berangkat kerumah pak ulin. Disana banyak sekali cucian kotor".
Kata ibu. "Baik bu". Tak lama suara ayah terdengar minta makan diluar, aku
menatap ibu dengan lekat berharap dia akan memberikan ayah makan. Ibu
keluar daaann... Brak!. Kini suara ibu menggelegar memaki-maki ayah yang
hanya bisa makan dan tidur tanpa berpenghasilan. Kedua adikku menangis,
lalu kutenangkan mereka. Aku berlari kedapur mengambil secentong nasi
dengan sedikit garam dan kecap. Memang hanya ini makanan kita sehari-hari
sejak pandemi.

Tak tega rasanya melihat ayah dimarahi ibu seperti tadi. Padahal ayah adalah
kepala keluarga yang harusnya dihormati dan dijadikan panutan. Aku
memberikan sepiring nasi itu kepada ayah dan dengan lahapnya dia memakan
habis semuanya. Ibu yang beraut muka sedih sekaligus kesal kini kuajak pergi
melanjutkan perjalanan untuk mencari rezeki.

Suatu hari saat pulang dari mencuci baju, aku bertemu dengan donatur yang
membagikan sembako dijalan raya. Aku mendekat berharap aku juga diberi.
"Kamu ngak sekolah nak?" Tanya salah satu bapak donatur. Aku menggeleng.
Lalu dia mengeluarkan sebuah kotak didalam bagasinya dan mengalihkan
kotak itu ketanganku. "Ini handphone untukmu sekolah, kamu bisa
menggunakannya ini sudah lengkap". Seperti sedang dijatuhi bintang aku
mendapat sebuah handphone mahal bermerek. Setelah berterima kasih aku
bergegas pulang dan mengabarkan kabar gembira ini. Ayah dan kedua adikku
tampak senang berbeda dengan ibu, terlihat sangat tidak bahagia dan biasa
saja. "Kenapa ibu tidak bahagia?". Ibu menjawab "apa kamu tidak butuh kuota
untuk bisa ngeaktifkan media sosial?". Dan perkataan Ibu memang benar.

Handphone itu masih tergelatak diatas meja dan belum kupergunakan sama
sekali. Sehari setelahnya guruku datang dan dengan baik memberikan kuota
padaku. Kuota itu hanya berlaku satu minggu. Lalu bagaimana minggu-minggu
setelahnya?

Suatu hari saat kuotaku telah habis aku sangat kebingungan untuk membeli
kuota lagi. Lalu aku mencoba minta ke ibu “bu, kuotanya sudah habis.. apakah
aku boleh minta uang untuk beli kuota?” Ibu menoleh dan melotot. “apa kau
sudah gila hingga meminta uang untuk hal tidak berguna?! Kenapa tidak minta
pada ayahmu?! Pergi sana!!”. Aku menangis keluar dari kamar ibu. Aku
mencari-cari ayah tapi tidak ada. “Kakak mencari ayah? Akhir-akhir ini ayah
sering keluar tanpa alasan dan berkeliling kak”. Aku sedikit mengumpat hati
karena tidak ada yang bisa menolongku.

Sudah dua minggu ini aku tidak mengikuti pelajaran daring. Alasannya terletak
pada kuota. Sebenarnya aku merasa gelisah tapi bagaimana lagi, biaya tidak
ada. Sedangkan aku dituntut untuk dewasa sebelum waktunya.

Pagi-pagi ku hanya diisi dengan pekerjaan hang seharusnya belum waktunya


bagiku. Pagi ini sebelum berangkat bekerja ibu menghampiriku dikamar. "Fitri,
sebaiknya handphone itu dijual. Ngak ada gunanya lagi kan?" Aku terkejut
dengan penuturan ibu. "Maaf bu, tapi aku akan tetap berusaha untuk mengikuti
pembelajaran" Tuturku lembut. "Kamu ini yaa keras kepala sama kayak
ayahmu yang idiot!!!". Air mataku luruh saat ibu mengatakan itu padaku, dan
yang paling sakit adalah ketika ibu menyebut ayah idiot.

Akhir-akhir ini ayah menjadi sangat sering keluar rumah. Entah kemana
perginya aku tidak tahu. Kini kehidupan kami hanya bergantung pada upah
yang kuperoleh dari bekerja sebagai cuci gosok. Tak ada lagi yang bisa
kuandalkan. Usiaku baru 12 tahun tapi harus dengan siap menghadapi sulitnya
hidup ditengah himpitan ekonomi. Tiba-tiba ayah datang dengan membawa
uang banyak, ibu dan adik-adik senang melihat ayah pulang dan mendapatkan
uang sebanyak itu. Lalu menyuruhku untuk membeli kuota. “ayah mendapatkan
uang sebanyak ini dari mana?” tanyaku dengan wajah gembira dan
kebingungan. Ayah menjawabnya dengan gagap “a...ayah mendapatkan uang
dari bos baru ayah”. Aku pun pergi untuk beli kuota. Sejak saat itu aku sekolah
daring dengan rajin dan tepat waktu mengumpulkan tugas.

Pada suatu hari saat aku mengerjakan tugas tiba-tiba seorang tetangga
berteriak memanggilku dari luar. "Ada apa mas?". Wajahnya begitu tegang dan
sangat terburu-buru. "Anuu... ayahmu pingsan di jalan dalam kondisi lemas”.
“apa? Ayah pingsan?” lalu aku masuk kedalam untuk memberi tahu ibu. Kami
bergegas pergi kerumah sakit, ternyata ayah selama ini sudah menjual
ginjalnya demi membeli kuota untuk sekolah daring dan demi menghidupi kami.

Ibu sangat menyesal mendengar kabar ini. Ibu juga sangat sedih dan menagis
ketika melihat ayah yang sedang berbaring dengan wajah pucat yang selalu
dimaki ibu itu sedang tersenyum untuk berjuang menghapi penyakitnya.
Memang semenjak ginjal ayah dijual, kini hidup kami tercukupi. Sejak itulah ibu
menutup dirinya dengan berhijab berubah menjadi lebih baik. Setelah ayah
keluar dari rumah sakit, ayah dan ibu membuka usaha warung kopi dari sisa
uang penjualan ginjal ayah. Usaha yang dibangun ayah dan ibu berhasil.
Semua ini tak luput dari pengorbanan sang malaikatku yaitu ayah. Ayah
memang malaikat baik yang pernah aku temui.

Anda mungkin juga menyukai