Anda di halaman 1dari 3

Sepeda Tua Ayah

Oleh
SITI MAHARANI
15 Oktober 2022 04:05 WIB

Aku berjalan menyusuri ruang kecil rumahku yang memisahkan antara dapur dengan ruang televisi yang
tanpa meja, kursi, dan perabotan rumah lainnya. Aku melihat Ayah yang sedang asyik menonton televisi.

Tubuh tua nan renta Ayah membuatku berpikir keras dan membayangkan bagaimana hari-hariku tanpanya.
Ayah adalah keluarga satu-satunya yang aku miliki saat ini. Kami berdua ditinggalkan oleh Ibu dan kedua
kakakku 5 tahun lalu. Mereka meninggal dalam kecelakaan mini bus saat hendak pulang kampung
menghadiri pemakaman almarhumah Nenekku. Sejak saat itulah Ayah berusaha sebaik mungkin merawat
dan mendidikku dengan penuh kasih sayang.

Aku berjalan menyusuri ruang kecil rumahku yang memisahkan antara dapur dengan ruang televisi yang
tanpa meja, kursi dan perabotan rumah lainnya. Ruang itu menjadi ruang tamu sekaligus juga ruang
keluarga. Aku melihat Ayah yang sedang asyik menonton televisi.

”Eh, Gema,” seru Ayah yang menyadari kehadiranku.

”Sini nak,” ajaknya padaku.

”Nonton apa Ayah? Besok Ayah jualan apa tidak yah?” tanyaku pada Ayah sambil mendudukkan tubuhku di
sebelahnya.

”Inih tuh liat pelawak,” jawab Ayah. ”Hahaha, tuh tuh lucu tuh hahaha,” sambungnya lagi sambil tertawa
terbahak-bahak. ”Besok Ayah nggak jualan dulu deh, punggung Ayah sakit dari tadi pagi,” ucapnya lagi
sambil menunjuk punggungnya.

”Maaaana? Sini Gema pijitin, ya udah yah besok Gema aja yang jualan,” ucapku sembari memijit
punggungnya.

”Kamu nggak sekolah?” tanya Ayah.

”Ayah nih hahaha, besok kan Minggu ya libur lah,” jawabku sambil tertawa kecil.

”Ooo iya iya, lupa. Maklumlah Ayahmu ini sudah tua heheheh,” ucapnya sambil ikut tertawa juga.

Entah mengapa aku tidak suka Ayah ngomong seperti itu, ucapannya itu menyadarkan aku bahwa cepat atau
lambat dia akan meninggalkan aku entah itu sebab penyakit atau sebab usianya yang sudah tua.

Sejak Ibu dan kedua saudariku meninggal, Ayah meminjam uang untuk modal berjualan bakso. Ia berjualan
dengan menggunakan sepeda ontel miliknya yang walaupun sudah terkumpul uang dan berhasil membayar
hutang, sepeda itu tetap ia pakai berjualan hingga sekarang. Ayah biasa berjualan di depan SD dan SMP
dekat rumah kami. Dulu ia mampu berjualan lebih jauh lagi tapi sekarang tidak. Aku sudah menyuruhnya
berjualan dengan menggunakan sepeda motor yang sudah berhasil ia beli, tapi Ayah tidak mau dan sepeda
motor itu diserahkan padaku untuk transportasi menuju sekolahku.

Jika saat libur aku tidak sibuk, aku lebih memilih untuk menggantikannya berjualan seperti esok hari.

Sambil aku memijit punggung Ayah, aku iseng bertanya, ”Kenapa sih.. Ayah nggak mau jualan pakai motor
saja?”
”Nggak ah, kamu pakai saja buat ke sekolah,” jawabnya.

”Kalau Ayah pakai motorkan Ayah nggak akan terlalu lelah seperti mengayuh sepeda,” ucapku.

”Ayah nggak masalah, yang penting kamu lancar-lancar belajarnya, cepat lulus, nilainya bagus, nanti masuk
kampus yang kamu mau jadi gampang,” jelasnya lagi.

”Gema juga nggak masalah pakai sepeda Ayah, Gema bahkan lebih suka naik sepeda Ayah, sekalian
olahraga, anak muda itu harus sering-sering olahraga kata guru Gema,” ucapku lagi.

”....” Ayah terdiam cukup lama.

”Kenapa yah?” tanyaku yang merasa heran dengan kebisuan Ayah.

Ayah menggelengkan kepalanya, ”Nggak papa, Ayah cuma teringat sesuatu,” jawabnya.

”Ingat apa?” tanyaku lagi.

”Sebenarnya...” Ayah bercerita bahwa sepeda itu dulunya adalah hadiah dari almarhumah Ibu. Dulu saat
belum memiliki uang yang cukup untuk membeli motor, Ibu mengumpulkan uang untuk membeli sepeda.
Ibu kasihan lihat Ayah jualan gulali dengan dipikul. Setiap malam Ayah mengeluh punggungnya sakit, Ibu jadi
semakin sedih.

Jadi, Ibu membelikan sebuah sepeda secara diam-diam untuk memberikan Ayah surprise, dan itu cukup
berhasil membuat ayah terkejut dan bahagia sekali. Walaupun saat itu Ayah sempat menceramahi Ibu agar
uangnya seharusnya disimpan saja untuk biaya sekolah anak-anak mereka nanti. Tapi Ibu berkata dengan
sepeda ini Ayah bisa juga mencari lagi uang yang banyak.

Lalu esoknya Ayah berjualan dengan menggunakan sepeda. Terkadang sepeda itu juga sebagai transportasi
Ayah dan Ibu ke pasar dan berjalan-jalan di sore hari. Sampai lahir kakak pertamaku, kemudian sepeda itu
Ayah gunakan untuk menghibur kakakku, mengajak anak gadisnya itu mengitari kampung. Maka dari itu,
Ayah tidak mau mengganti sepeda tersebut, sebab sepeda tersebut memiliki banyak kenangan bersama
Almh. Ibu dan Almh. Kedua kakakku bahkan kenangan bersamaku juga. Sepeda ontel Ayah sudah
menemaninya melalui banyak momen, baik itu suka maupun duka. Tak khayal Ayah sangat menyayangi
sepedanya itu.

”Tapi tetap saja Ayah, lebih baik Ayah berjualan dengan motor, toh Ayah juga sudah mahir menggunakan
sepeda motor,” ucapku, mencoba membujuknya lagi agar ia mau menukar sepedanya.

”Nanti, Ayah pikir-pikir dulu. Ya udah Ayah mau tidur duluan, nanti jangan lupa matikan TV-nya,” ucapnya
lalu pergi menuju kamar.

”Iya yah,” balasku lalu aku lanjut menonton televisi.

Tidak lama menonton aku sudah merasa ngantuk, kulihat jam di dinding sudah menunjukkan pukul 11
malam. Aku langsung mematikan televisi dan beranjak ke kamarku lalu tidur.Kamar yang hanya memiliki
ukuran 4 × 4 meter inilah yang selalu jadi tempat ternyamanku untuk tidur dan belajar.

Esoknya aku bangun jam 4 subuh untuk membantu Ayah membuat adonan bakso, aku juga membereskan
kotak jualan yang akan diletakkan di bagian belakang sepeda.

”Letakkan di sepeda motor aja, biar kamu gampang jualannya,” seru Ayah.

Aku senang mendengarnya, ”Serius yah? Berarti Ayah nanti jualannya terus menggunakan motor kan?”
tanyaku kegirangan.
Ayah mengangguk.

”Alhamdulillah, semoga rezeki Ayah ngalir terus,” ucapku lagi penuh syukur dan doa.

”Aamiin,” sahut Ayah sembari tersenyum.

Kami kembali sibuk memindahkan bakso yang sudah jadi kedalam wadah jualan. Disela-sela kesibukan Ayah
bertanya, ”Sekarang umur kamu berapa Gema?”

”18 tahun yah, sebentar lagi Gema lulus SMA,” jawabku santai.

”Ooo iya, Ayahmu ini bahkan nggak ingat lagi umur anaknya, hahahah,” ucapnya lagi sambil tertawa.

”Yang penting Ayah sehat terus, bisa nemani Gema sampai Ayah punya cucu,” balasku.

”Aamiin, Aamiin..., Insya Allah napas Ayah masih panjang, sepanjang Sungai Nil,” ungkapnya penuh doa.

”Hehehe..., Iya Ayah, Aamiin,” ucapku juga penuh doa.

Setelah selesai mempersiapkan dagangan, aku dan Ayah bergantian untuk mandi dan merapikan diri.

Tepat pukul 7 lewat 30 menit, aku pamit pada ayah untuk pergi berjualan. Karena menggunakan sepeda
motor aku mampu berjualan hingga kampung sebelah. Tidak sampai setengah hari bakso yang aku jual
sudah habis. Lalu aku kembali ke rumah dan mengambil sisa bakso di rumah untuk kembali aku jual.

Sore itu panas sekali dan sekarang aku tengah memarkirkan motor di sebelah tukang sate. Tak lama ada
kakek-kakek penjual bubur melintasiku. Ia berjualan dengan sepeda, mengingatkanku pada Ayah. Aku
memanggilnya dan membeli 2 bungkus bubur yang kakek itu jual. Lalu aku melihat bak daganganku,
baksonya sudah sisa sedikit. Dan aku memutuskan untuk pulang saja.

Setibanya di rumah, aku langsung mengangkut kotak jualan masuk kedalam rumah. Kulihat Ayah di dalam
kamar sedang memijit kedua kakinya.

”Kaki Ayah sakit juga?” tanyaku.

”Eh, iya nih,” jawab Ayah dengan sedikit terkejut.

”Nih, yah, makan dulu,” aku serahkan bubur yang sudah ku tuangkan kedalam mangkuk kepadanya.

”Wahh kamu beli bubur, beli di mana?” tanyanya.

”Di pasar tadi yah, tukang buburnya mengingatkan Gema pada Ayah,” jawabku.

”Masa sih? Emang dia ngapain?” tanya Ayah lagi.

”Jualan pakai sepeda ontel juga, sama kayak Ayah kan,” jawabku lagi.

”Ohhh iya berarti, sama hahahah...”

Melihat tawa ayah, lelahku berjualan hilang. Entah pun sama halnya ketika ia melihatku senang dan sukses
pasti ia akan ikut bahagia juga. Layaknya sepeda ontel Ayah yang selalu menemaninya di kala suka dan duka,
aku pun berharap Ayah akan terus menemaniku dengan penuh suka. Semoga kelak akupun seperti Ayah,
menjadi suami sekaligus Ayah yang hebat, Aamiin.

***

Anda mungkin juga menyukai