Setiap orang memiliki cerita masa kecil yang menarik begitu pula dengan diriku.
Ceritaku ini diimulai pada siang hari yang cerah, sepulang sekolah aku melewati kedai
es krim di pinggir jalan. Temanku bilanh es krim disini enak. Aku memang sedikit bandel
karena tidak langsung pulang pada saat itu, terlebih lagi aku makan es krim di siang
bolong. Uang yang kupunya di saku tersisa sedikit, tapi kupikir masih cukup untuk satu
potong es krim rasa vanila. Mungkin boleh minta saus cokelatnya juga, pikirku
demikian. Setelah melewati gang kecil dan jalanan kampung yang tidak begitu pada
pada saat itu akhirnya aku sampai di sebuah kedai jajanan kecil milik sepasang kakek
nenek yang mungkin usianya pada saat itu sekitar 70an tahun.
“Kek, aku mau beli es krim rasa vanila” ucapku ketika aku baru saja sampai di
depan kedai. Karena aku masih pendek pada saat itu, aku tidak bisa melihat semua
barang yang ia jual di dalam kedainya. Yang aku tahu dia menjual es krim dan jajanan
enak lain.
“Mau beli berapa potong, Dik?” tanya kakek tersebut yang saat itu tengah
membaca koran.
“Satu saja kek, uangku 2000 perak” ucapku sembari merogoh uang di saku baju
seragamku. Celaka! Uangku hanya ada 1000 perak di saku celana. Aku yakin betul
bahwa seharusnya uangku ada 2000 perak.
“Satu es krim vanila sudah siap” saat itu aku tidak berani mengambil es krim
yang sudah dibuat sang kakek. Beberapa saat aku hanya berdiri terdiam dan
menunduk.
“Ada apa adik manis? Ayo ini diambil es krimnya nanti cair, lho” sang nenek
datang dari dalam dan menghampiriku yang masih terdiam.
“Sepertinya uangmu kurang ya?” tanya sang kakek yang kemudian berjongkok
untuk melihat raut mukaku. Pada saat itu aku sangat malu dan tidak mampu
menunjukkan mukaku. Persoalan uang 1000 perak itu sampai membuat gadis kecil ini
benar-benar malu.
“Iya, tadi uangku 2000 tapi sekarang tinggal 1000. Harga es krimya 2000 kan
Kek?” akhirnya aku berani bersuara namun tentu aku menahan rasa malu dan takut
hingga suara yang kukeluarkan terdengar bergetar.
“Kamu mau es krimnya kan? Ambil saja kalau kamu mau” tawar sang kakek
kepadaku.
Aku menatap singkat es krim yang sudah mulai akan mencair itu. Kalau aku
mengambilnya, pasti si kakek akan merugi, tapi aku begitu ingin merasakan manisnya
es krim vanila dengan saus cokelat di siang hari yang terik ini.
“Diambil saja, es krimnya sudah cair loh. Tidak usah takut, nenek tidak akan
datang ke rumahmu untuk menagih uangnya” bujuk sang nenek yang diikuti senyuman
ramah yang memperlihatkan gigi palsunya itu.
Setelah beberapa saat aku berpikir dan menimbang dengan akal polosku,
akhirnya aku memilih untuk mengambil es krim itu dari tangan sang kakek yang masih
menawarkan es krimnya dari sejak ia berjongkok tadi. Sang kakek dan nenek aku lihat
hanya tersenyum dan aku berusaha fokus makan es krimku di depan kedai itu karena
es krim yang sudah mulai mencair.
“Anu… kek, nek, terima kasih es krimnya. Besok aku kesini lagi bawa uang yang
banyak untuk membayar es krimnya” kataku di depan toko sebelum pamit pulang.
“Tidak usah di ganti, cuma seribu kok, Dik. Tapi kakek dan nenek tentu akan
senang kalau kamu sering kemari, akhir-akhir ini kedai sepi dan es krim sering tersisa”
terang sang nenek yang membuatku merasa iba. Aku akan kembali lagi besok.