Anda di halaman 1dari 8

Ayahku Matahariku

Oleh : Aulia Yahya,S.Pd. MM

Laki-laki ini harus menderita Paralisis yaitu lumpuh atau mati rasa pada tangan kiri dan
sebagian wajahnya, termasuk bibir bawahnya. Hal ini terjadi karena kecelakaan mobil
yang dialaminya bulan lalu. Dialah ayahku, orang yang mesti ku jemput setiap pulang
kerja dengan bersepeda. Walaupun begitu keluarga kami sangat damai dan tentram.
Ayah selalu menjunjung tinggi kerendahan hati. Setiap hari waktu ku masih berumur 5
tahunan, ayah sangat suka mendongeng. Biasanya ibu yang mendongeng tapi aku
lebih suka cerita-cerita ayah. Menarik, imajinatif dan yang pasti penuh dengan keajaiban
didalam katanya.

Ayah selalu mengajarkanku agar tetap berfikiran positif. Tak jarang dia mencontohkanya
dalam perbuatan sehari-hari. Menurut ibu, akulah anak kesayangan ayah. Yah. Karena
aku anak pertama. Aku harus mengangkat perekonomian keluarga agar lebih baik.
Bagaimana tidak? Ayahku hanya bekerja sebagai buruh pabrik. Gaji bulanan yang ia
terima sungguh tak cukup untuk menghidupi kami sekeluarga. Namun dia, Ayahku,
orang yang mempunyai hati bagai berliant. Dia tetap bekerja keras demi kami tanpa
mengeluh sedikitpun. Peluh dan keringat yang ia rasakan dalam bekerja tak pernah ia
bawa saat pulang kerumah.

Ayah selalu bilang "Apapun yang kau coba untuk mencapainya, semua hanya soal
disiplin." Begitulah ayah menuntun kami, aku dan adik laki-lakiku. Menjadi manusia
sosok yang berkredibilitas namun tetap bak tanaman padi.
Pendidikan kami adalah hal yang no. 1 dari kebutuhan lain. Dia pemimpin keluarga
yang bijaksana. Pantas saja ibuku jatuh cinta padanya. Ibu sangat beruntung bertemu
laki-laki seperti ayah tapi kami, aku dan adik laki-lakiku lebih beruntung lagi karena
memiliki orang tua yang luar biasa.

Sekarang aku sudah kelas 3 SMA. Tiga bulan lagi aku akan lulus dan membuka
gerbang kehidupan. Niatnya, setelah lulus aku mau membantu ayah mencari uang
dengan cara bekerja di pabrik. Tapi dia, ayahku, yang tetap menomor 1 kan pendidikan.
Apapun yang terjadi aku harus melanjutkan studyku.
Aku sungguh sangat beruntung memiliki orang tua seperti dia. Seorang ayah yang rela
memberikan sepeda ontel satu-satunya untuk kendaraan sang anak agar sampai di
jalan umum. Yah. Kami tinggal di pinggiran kota yang jauh dari metropolis.

Suatu hari, ayah memintaku untuk menjemputnya di pabrik jam 16.00 lebih cepat dari
biasanya. Dia ingin membuat kejutan untuk ibu. Hari itu ibu ulang tahun dan ayah sudah
menyiapkan semua rencana itu sebulan sebelumnya. Akupun sangat gembira dengan
rencana ini. Aku pergi kekota untuk membeli hadiah. Berkeling kota ku lakukan untuk
mencari hadiah terbaik bersama temanku sasha. Saat itu kami pergi ke mall dan
ternyata ada film bagus yang sedang di putar. Jadilah kami nonton di bioskop. Sesekali
kulakukan hal seperti ini karena aku juga remaja SMA yang masih suka hura-hura dan
labil. Kami benar-benar terpikat dengan film itu. Tak terasa cepat sekali film itu selesai.
Begitu melihat jam menunjukan pukul 17.20, aku langsung berlari keluar dari Mall. Tak
kuhiraukan Sasha yang memanggil-manggilku. Aku harus cepat menjemput Ayah yang
sudah menunggu sedari tadi di tempat biasa. Saat itu, sudah hampir pukul 18.00.
Dengan terburu-buru dan gelisah, aku mengayuh sepeda secepat mungkin. Pikiranpikiran buruk melintas di benakku.

Ayah pasti marah!


Ayah pasti marah!
Ayah pasti marah!

Hanya itulah yang kupikirkan dalam acara ngebut sepeda.

Sampailah aku disini, ditempat biasa aku menjemput ayah setelah pulang kerja.

"Kenapa kamu terlambat?" tanya ayah begitu melihatku yang masih ngosh-ngoshan.
Aku sangat malu untuk mengakui bahwa tadi aku pergi menonton film.
"Tadi aku pergi ke rumah Sasha untuk mengerjakan tugas sekolah dulu." ucapku
bohong. Entah kenapa kalimat itu terucap begitu saja untuk menutupi keegoisan ku.

Ayah hanya menghela nafas panjang.


"Sepertinya ada sesuatu yang salah dalam cara Ayah membesarkanmu sehingga kamu
tidak memiliki keberanian menceritakan kebenaran. Untuk menghukum kesalahan ayah
ini, Ayah akan pulang ke rumah dengan berjalan kaki dan memikirkan semua ini.
Pulanglah dulu, kau pasti lelah" ucap Ayah lirih.

Terlihat dia berjalan dengan wajah sendu.


Ada apa ini?
Kenapa ayah tahu aku berbohong?
Oh.. Tuhan! Salahkah aku ini.

Hari sudah gelap dan selam 3 jam lebih aku mengendarai sepeda pelan-pelan di
belakang ayah.
Sebeginikah penderitaan yang ayah alami oleh ku karena kebohongan yang kulakukan?

Tapi.. Aku masih belum punya keberanian untuk berkata yang sebenarnya. Ayah..
Maaf.. Maafkan aku..
Setibanya dirumah, wajah khawatir nampak jelas terukir oleh ibu karena mendapati
kami, aku dan ayah pulang tengah malam dalam keadaan lelah dan gontai. Ayah
langsung masuk begitu saja kekamar dan beristirahan. Dia pasti sangat lelah.
Sedangkan ibu menanyakan apa yang terjadi pada kami? Aku hanya diam. Aku tak mau
ibu nampak resah di hari ulang tahunnya. Aku sungguh sudah merusak semua acara
kejutan ayah.

Kukeluarkan sebuah kado berwarna merah muda dalam kantong plastik.


"Selamat Ulang tahun ibu" ujarku pelan dan mencoba tersenyum atas kejadian tadi.

Ibu memeluku hangat


"Ibu tidak tahu apa yang terjadi barusan. Tapi percayalah, besok kalian harus bicara
baik-baik" ucap ibu menasihati.

Yah! Besok aku harus bicara pada ayah! Dengan gontai ku masuk kekamar.

Saat di sekolah Sasha menghampiriku yang lagi duduk santai di kantin.


Dia bertanya bagaimana acara kejutannya. Ku ceritakan semuanya. Semua yang
berakhir buruk dan kekacauan.

"Maaf... Kata ibuku, kemarin ayah mu datang kerumahku. Dia tanya apa kamu ada?
Terus ibuku bilang kalo kita lagi jalan-jalan ke Mall. Dan kalau lama gini biasanya kita
nonton. Maaf... Aku... Benar-benar minta maaf" ujar Sasha menunduk bersalah.

Aku kaget! Jadi begitu? Ayah datang ke rumah Sasha mencariku? Dia pasti khawatir
tapi apa? Aku justru berbohong.
Aku yang justru merasa bersalah pada ayah, bukan Sasha.

Benar! Aku harus jujur!

Setelah pulang sekolah, aku langsung pergi mengayuh sepeda ketempat biasa
menjemput ayah.
Akhinya setelah menunggu lebih dari satu jam kulihat ayah keluar dari gerbang pabrik.
Mungkin penantianku ini tak selama penantian ayah menungguku hari itu.

Ayah memboncengku dengan sepeda sederhana kami. Dalam perjalanan kami hanya
diam. Aku harus jujur! Aku harus berfikiran positif!

"Ayah... Maaf..." lirihku.

Ayah hanya diam.

"Malam itu, aku tak bermaksud untuk membohongi ayah.. Aku sungguh..." tak
kulanjutkan ucapanku karena air mata meluncur deras di pipiku.

"Tidak! Ayahlah yang salah! Ayah belum mendidikmu menjadi anak yang baik. Ayahlah
yang bersalah." kulihat cairan bening itu menetes juga di pipi ayah.

"Ayah.."

"Arum, kau tahu apa yang membuat ayah merasa bersalah?" tanya ayah pelan. Cahaya
mentari senja melukis terangkan senyumnya.

"Iya aku tahu! Aku telah berbohong.." lirihku bersalah.

"Bukan cuma itu saja.. Ayah rasa kau harus belajar lagi 2 hal lainnya selain kejujuran"
ucapnya pelan namun pasti.

"Menepati janji dan berfikir positif"

aku terdiam. Benar!

"Dalam bermasyarakat, menepati janji adalah hal yang penting. Jika kau tak bisa maka
katakanlah yang sebenarnya. Berfikir positif adalah kunci agar kau tidak berbohong.
Hehe" tawanya renyah.

"Iya... Benar!" semua yang ayah katakan adalah petunjuk.

"Oia, sebentar lagi kau akan menghadapi UN kan?" tanyanya.

"Iya!"

"Kau sudah belajar, Arum?" tanyanya lagi.

"Iya! Sedang ku persiapkan!" jawabku pasti.

"Hehehe.. Biasanya kalau ada UN, para siswa lebih memilih jawaban berkelanakan?
Kau tahu maksud ayah?"

"Hehe.. Iya benar! Aku tahu maksud ayah!"

"Ayah rasa, jawaban hitam itu bisa kau gunakan sebagai pilihan terakhir" candanya.

"Hah? Hahaha.. Jadi ayah mengijinkanku berbohong dengan mencontek?" tanyaku


heran.

"Yah.. Itu terserah padamu. Ayah ingin tahu kau akan melakukannya atau tidak yah?"
canda ayah lagi.

"Hehehe.. Akan kupikirkan!"

Begitulah ayahku, orang yang selalu membawa kebahagiaan dan keharmonisan


didalam keluarga dan lingkungan sekitarnya. Baginya kejujuran diri adalah Integritas.

Anda mungkin juga menyukai