Anda di halaman 1dari 9

Kelompok 2

Anggota:
1. Ardelia Inez Maharani (2101422057)
2. Muhammad Farchan Muntaha (2101422060)
3. Sunaryo (2101422061)
4. Winna Widyadhana (2101422063)
5. Riska Setyowati Siwi (2101422064)
6. Wiwik Fitriyani (2101422071)
7. Rizqi Aji Wirastomo (2101422078)
8. Rizky Aprilia (2101422083)
9. Kholifatun Nisya (2101422085)
10. Rindiati Amellia Fatikha (2101422091)
Drama

DI BAWAH
LINDUNGAN
KA’BAH
Karya Buya Hamka
Tokoh Drama
1. Hamid Anak Ibu Hamid
2. Ibu Hamid Ibu Hamid
3. Zainab Anak Haji Ja’far dan Mak Asiah
4. Mak Asiah Ibu Zainab
5. Haji Ja’far Ayah Zainab
6. Saleh Teman Hamid/Suami Rosna

Tokoh Lataran
1. Rosna Teman Zainab/Istri Saleh
PANGGUNG MENGGAMBARKAN SEBUAH PEMUKIMAN WARGA DI SUMATERA
BARAT YANG MANA MERUPAKAN KAMPUNG HALAMAN HAMID. LATAR
TEMPAT YANG PERTAMA MERUPAKAN RUMAH HAMID. RUMAH KECIL DARI
KAYU BERBENTUK PANGGUNG NYANG DIDOMINASI OLEH KESEDERHANAAN.
LATAR KEDUA ADALAH RUMAH ZAINAB YANG JAUH BERBEDA DENGAN
RUMAH ZAINAB. BERBENTUK PANGGUNG, TERBUAT DARI KAYU JATI
MENGGAMBARKAN KEMEWAHAN RUMAH ZAMAN DAHULU.

SEMUA TOKOH YANG TERLIBAT TERLIHAT SUMRINGAH.


1) Hamid datang dari pondok dan ia mengabarkan kepulangannya kepada Haji
Ja’far
Setelah menyelesaikan pendidikannya, Hamid melanjutkan sekolah agama di Padang
Panjang. Dari hari berganti ke bulan, dan dari bulan berganti ke tahun, tepatnya saat
liburan puasa, Hamid datang pulang ke kampung halamannya. Sesampainya di sana,
Hamid bertemu dengan Haji Ja’far.
Hamid : “Assalamualaikum, Engku.” (mengetuk pintu)
Haji Ja’far : “Waalaikumsalam warahmatullahi wabarakatuh. Duduk, Mid.”
Mak Asiah : “Zainab! Bawakan teh ke sini, abangmu datang.”
Zainab : “Iya, Mak.” (menjawabnya dari kamar)
Haji Ja’far : “Sudah pulang kau, Hamid? Bagaimana sekolahmu di sana?”
Hamid : “Alhamdulillah baik, Engku. Sekolah saya juga berjalan dengan
lancar.”
Mak Asiah : “Wah, sudah lama tidak bertemu sekarang kau terlihat lebih
berwibawa.”
Hamid : “Tidaklah Mak. Saya masih seperti dulu, yang berwibawa kan Engku
Haji.”
Hamid : “Oh ya Engku. Saya juga mengucapkan terima kasih, berkat
kedermawanan Engku saya dapat melanjutkan sekolah.”
ZAINAB DATANG BAWA TEH
Haji Ja’far : “Kau tidak perlu berterima kasih, Hamid. Kau sudah kuanggap
seperti anakku sendiri.
ENGKU HAJI JA’FAR TERSENYUM MENDENGAR HAMID MENGUCAPKAN
TERIMA KASIH. ZAINAB DATANG DENGAN WAJAH SUMRINGAH.
Zainab : “Silakan diminum tehnya, Bang.”
Hamid : “Iya, abang sudah merindukan teh buatanmu. Sudah lama aku tidak
meminumnya.”
ZAINAB TERLIHAT SALAH TINGKAH.
Zainab : “Kapan Abang pulang?”
Hamid : “Tadi pagi Nab, sekitar pukul sepuluh.”
Zainab : “Apa kabar? Baik?”
Hamid : “Alhamdulillah…”
Mak Asiah : “Mau ke mana, Zainab?”
Mak Asiah : “Apakah kau tidak ingin mengobrol dengan abangmu dahulu?”
Zainab : “Zainab hendak ke dalam dahulu, Bang, Mak.”
Haji Ja’far
: “Apa rencanamu setelah ini?”
Hamid : “Masih belum terpikirkan, Engku. Untuk saat ini Hamid ingin
menemani Mak di rumah terlebih dahulu.
Mak Asiah : “Memangnya kenapa dengan Emakmu, Hamid?
Hamid : “Kebetulan Mak sedang sakit. Beliau juga sedang sendirian di rumah.
Kalau begitu saya izin pulang, Mak.”
Mak Asiah : “Baiklah, hati-hati, Hamid.”
HAMID BERPAMITAN

2) Hamid gelisah dan diketahui ibunya


IBU HAMID DENGAN MATANYA YANG TELAH KABUR MENCARI
KEBERADAAN HAMID, TANGANNYA YANG KERIPUT MENCARI-CARI KE
KIRI KANAN TANGAN HAMID. DENGAN SEGERA HAMID MERAIH
TANGAN IBUNYA, DI GENGGAMNYA TANGAN HAMID DENGAN ERAT.

Ibu Hamid : “Hamid! Mak hendak berbicara dengan kau, penting sekali, Nak.”
Hamid : “Lebih baik Mak beristirahat lebih dahulu.”
Ibu Hamid : “Tidak, Mid, Mak masih sanggup untuk menyampaikan pembicaraan
ini kepadamu.”
Hamid : “Apa yang ingin Mak sampaikan?”
Ibu Hamid : “Mak tahu kau sedang menyimpan rahasia.”
Hamid : “Rahasia apa Mak?”
Ibu Hamid : “Kau mencintai Zainab!”
Hamid : “Hah? Tidaklah, Mak.”
Ibu Hamid : “Jujurlah dengan perasaanmu, Nak.”
Hamid : “Mencintai dia ibaratkan mencurahkan semangkuk air tawar ke dalam
lautan yang sangat luas, Mak.”
Ibu Hamid : “Dari tingkah lakumu dapat membuktikan bahwa kau sedang jatuh
cinta. Di hadapan Emakmu ini, kau tidak dapat menyembunyikannya
lagi.”
Ibu Hamid : “Anakku, sekarang cintamu masih bersifat angan-angan. Sebelum
mendalam, hapuskanlah perasaan itu dari hatimu, kubur dalam-dalam
perasaan itu.
Hamid :“Kenapa Mak?
Ibu Hamid : “Kau tentu tahu bahwa emas tak setara dengan loyang, sutra tak
sebangsa dengan benang.”
Hamid : “Terima kasih, Mak. Nasihat Mak masuk ke dalam hatiku. Semuanya
benar belaka, sebenarnya Hamid sudah memikirkan hal itu dan Hamid
berjanji akan melupakannya.”

3) Narasi Ibu Hamid meninggal dan Mak Asiah meminta Hamid membujuk
Zaenab agar mau dijodohkan
Tidak beberapa malam setelah Ibu Hamid memberikan nasihat itu, masa yang
ditakutkan datang. Sementara itu, Hamid yang akan memberikan obat dengan sendok
di tangan kanan dan gelas di tangan kiri, ia melihat ibunya menghembuskan napas
terakhirnya. Sekarang barulah Hamid sadar, bahwa:

HAMID TERMENUNG, MENATAP KE ARAH DEPAN, KEMUDIAN


BERBICARA DALAM HATI.

Hamid : “Ini bukanlah perkara sendok dan gelas, bukan perkara obat dan
ramuan, tetapi perkara ajal sementara.”
Hamid : “Sekarang saya sudah tinggal sebatang kara di dunia ini.”

****
Semenjak kematian ibunya, Hamid kerap kali merenung memikirkan hidupnya yang
sebatang kara.

MAK ASIAH MELIHAT HAMID SEDANG BERJALAN SENDIRI SEPERTI


TANPA ARAH.

Mak Asiah : “Lho Hamid? Mengapa di sini?”


Hamid : “Jalan-jalan, Mak. Mak dari mana?”
Mak Asiah : “Ibu habis menziarahi kubur bapakmu, mengapa kau tidak datang ke
rumah sejak ibumu meninggal?”
Hamid : “Tidak Mak, karena kematian Emak itu agak mendukakan hatiku.
Sebab itu saya menjadi sungkan untuk keluar rumah.”
Mak Asiah : “Jangan begitu Hamid, kau harus mengikhlaskan kepergian ibumu.
Besok datanglah ke rumah, Mak tunggu.”
Hamid : “Baiklah, Mak!”
***

Keesokan harinya Hamid datang ke rumah Mak Asiah, pintu rumah itu terbuka
sedikit. Hamid mengetuk pintu rumah tersebut. Kemudian pintu itu dibuka oleh
Zainab.

Zainab : “Abang Hamid! Sudah lama Abang tidak ke sini, agaknya Abang lupa
pada kami.” (Zainab terkejut dan bahagia.)
Hamid : “Tidak, Zainab.” (dijawab dengan gugup)
“Tapi… bukankah kita masih sama-sama terluka.” (Hamid masih
cukup lesu.)
Hamid : “Zainab. Sepertinya bukan saya yang lupa untuk datang ke sini,
melainkan engkau yang lupa kepada saya.”
Zainab : “Itu Ibu datang.”
“Ibu, ini bang Hamid telah datang.”
Mak Asiah : “Sudah lama, Mid?”
Hamid : “Baru sebentar, Mak.”
Mak Asiah : “Hampir Mamak lupa dengan janji kita. Tadi Mamak pergi ke rumah
sebelah karena anaknya akan menikah. Zainab, buatkanlah teh untuk
abangmu.”
Mak Asiah : “Bagaimana pendapatmu tentang adikmu Zainab, Hamid?”
Hamid : “Apa yang Mamak maksudkan?”
Mak Asiah : “Mak ingin menikahkan Zainab dengan anak dari saudara almarhum
bapaknya. Semua kaum kerabat sudah setuju dengan rencana Mamak.”
“Lelaki itu kini sedang bersekolah di Jawa. Maksud dari perjodohan ini
agar harta benda almarhum bapaknya dapat dijaga oleh keluarganya
sendiri. Mak ingin meminta tolong kepadamu, dapatkah kau membujuk
Zainab untuk menerima perjodohan ini.”
Hamid : “Apa yang dapat saya tolong, Mak? Saya hanyalah seorang yang
lemah. Sedangkan Mamak sendiri tidak bisa membujuknya. Terlebih
saya yang hanya sebatas orang lain.”
Mak Asiah : “Jangan berbicara seperti itu, Hamid. Mamak tidak memandang kau
sebagai orang lain.”
Hamid : “Jika itu permintaan Mamak, saya tidak bisa menolak, saya akan
berusaha untuk mengabulkan perintah Mamak.”

MAK ASIAH TAMPAK GEMBIRA MENDENGAR JAWABAN HAMID TANPA


TAHU PERUBAHAN RAUT WAJAH HAMID YANG MURAM. ZAINAB
DATANG MEMBAWA TIGA CANGKIR KOPI DAN BEBERAPA PIRING KUE.

Mak Asiah : “Duduk, Nab. Hamid akan berbicara padamu.”


“Bicaralah, Hamid. Sudah banyak waktu yang terbuang.”
MAK ASIAH KELUAR PANGGUNG
Hamid : “Begini Zainab, menurut aturan hidup di dunia ini, seorang gadis
perlu mengikuti perintah dan kehendak orang tuanya, terutama orang
Timur ini. Untuk menunjukkan setia dan hormatnya kepada orang tua,
maka dari itu mamak ingin menjodohkan kau dengan saudara
almarhum bapak.”
“Bagaimana, Zainab?”
Zainab : “Maaf Abang, saya belum ingin menikah.”
Hamid : “Aku mohon, Zainab. Atas nama mamak, atas nama almarhum
bapakmu.”
Zainab : “Belum, abang!”
“Sampai hati abang memaksa aku untuk menikah dengan orang yang
tidak aku cintai? Kalaupun aku menikah, aku hanya akan menikah
dengan orang yang aku cintai.”
Hamid : “Abang tidak memaksa kau, Zainab. Ingatlah ibumu.”

ZAINAB HENDAK PERGI MENINGGALKAN HAMID DAN TIDAK INGIN


MELANJUTKAN PEMBICARAAN
Hamid : “Zainab tunggu dulu. Dengarkan penjelasan Abang.”
Zainab : “Sudah tidak ada yang perlu dijelaskan lagi, Bang. Keputusanku
sudah bulat.”

4) Hamid pergi merantau, narasi beberapa tahun kemudian


Kejadian beberapa hari lalu, cukuplah bagi Hamid untuk menentukan tujuan
hidupnya. Hamid berpikir bahwa ia hanya pantas menjadi saudara Zainab, menjadi
pembelanya. Ada satu hal yang masih tergantung, suatu jawaban yang ingin Hamid
dengar dari mulut Zainab tentang perasaannya. Akan tetapi satu hal yang Hamid
sadari bahwa tidaklah semua hal harus sesuai dengan harapannya. Membayangkan
Zainab menikah akan membuat hati Hamid sakit, maka ia memutuskan untuk pergi
dari kota Padang. Saat sampai di Medan, Hamid menuliskan surat untu Zainab, surat
pertama kali yang ia buat untuk Zainab.

5) Hamid bertemu dengan Saleh dan mengabarkan Zainab sakit


Setelah di Mekah selama satu tahun, dan waktu menunaikan haji telah datang. Hamid
bertemu dengan Saleh yang merupakan teman Hamid semasa mereka bersekolah
agama di Padang Panjang.

PANGGUNG MENGGAMBARKAN SUASANA SEKITAR KA’BAH.


SUNDTRACK TALBIAH. SALEH DATANG MENEPUK PUNDAK HAMID,
EKSPRESI PANIK.

Saleh : “Hamid! Kau masih ingat ceritaku beberapa waktu yang lalu? Bahwa
saya telah menikah. Saya menikah dengan Rosna, sahabat dari
Zainab.”
Hamid : “Oh, Rosna. Ya, saya ingat. Oh iya, bagaimana kabar Zainab saat
ini?” (senyum-senyum)
Saleh : “Oh, rupanya Zainab masih mengisi hatimu.” (Saleh tertawa pelan)
Saleh : “Maaf, mungkin saya akan mengatakan sesuatu yang tidak
mengenakan hatimu.” (Dengan raut wajah sedih dan helaan napas
yang terasa berat)
Hamid : “Ada apa, Saleh? Katakan saja.”
Saleh : “Begini Hamid, setelah kepergianmu dari Padang, Zainab mulai
sakit-sakitan.”
Hamid : “Apa? Apakah kau tidak bercanda, Saleh?” (Hamid terkejut, dengan
raut wajah yang sedih.)
Saleh : “Tidak, Hamid. Tidak mungkin saya bercanda soal itu. Oh iya ini ada
titipan surat dari Zainab untukmu.” Ucap Saleh seraya menyerahkan
surat. Surat tersebut berisi ungkapan perasaan Zainab untuk Hamid dan
kabar bahwa Zainab mulai sakit-sakitan.
Setelah membaca surat yang merupakan pengharapannya sejak lama, jawaban yang
ingin ia dengar akhirnya dapat terjawab. Antara senang dan sedih ketika Hamid
membaca surat tersebut. Malangnya, surat tersebut Hamid terima ketika ia telah jauh
dari Zainab.

6) Sholeh membaca surat dari Rosna dan terkejut mendapatkan kabar Zainab
meninggal, dilanjut Hamid wukuf lalu meninggal.
Pada hari yang kedelapan bulan Zu’lhijjah, datang perintah untuk berangkat ke Arafah
karena pada hari yang ke sembilan akan wukuf. Setelah Hamid menerima surat tempo
hari, ia menjadi sering termenung. Ketika ditanya mengenai keadaannya Hamid
mengatakan jika badannya terasa sakit. Tetapi karena wukuf adalah rukun yang tidak
dapat ditinggalkan, Hamid tetap pergi wukuf.
Sebelum mengerjakan tawaf besar, Hamid dan rombongannya singgah di rumah
Khadam Syekh karena penyakit Hamid semakin parah, sehingga ia harus ditandu.
Sebelum ditandu, Khadam Syekh datang membawa surat dari Sumatra. Ternyata surat
itu datang dari Rosna yang berisi “Zainab wafat, surat menyusul, Rosna.”

SALEH PANIK, HAMID BINGUNG. TERDENGAR TALBIAH VOLUME


RENDAH

Hamid : “Surat apakah yang tuan terima? Mengapa disembunyikan dariku?


Apakah membawa kabar suka atau duka?”
“Jika itu kabar mengenai saya, akan lebih baik segera disampaikan.
Jangan biarkan saya sakit menanggung perasaan yang ragu-ragu.”
Saleh : “Tenangkanlah hatimu, Hamid! Kehendak Allah telah berlaku, Ia
telah memanggil orang yang dicintaiNya ke hadiratNya.”

HAMID LEMAS

Hamid : “Jadi Zainab telah mendahului kita?”


Melihat Saleh menganggukkan kepala, Hamid menunduk seraya menarik nafas
panjang, dari pipinya meleleh dua titik air mata yang panas.
Beberapa saat kemudian, datanglah orang yang akan menandu Hamid menuju
Masjidil Haram, sesampainya di tempat yang bernama Multazam. Di sana Hamid
mengulurkan tangannya, dipegangnya kiswah kuat-kuat dengan tangannya yang telah
kurus. Hamid berdoa dengan khusyuk di depan sana.
“…. Ya Rabbi, Engkaulah Yang Maha Kuasa, kepada Engkaulah kami sekalian akan
Kembali….”
Setelah itu suaranya tidak kedengaran lagi, di mukanya terbayang cahaya yang jernih
dan damai, cahaya keredaan Illahi. Di bibirnya terbayang suatu senyuman dan
sampailah waktunya, Hamid telah wafat.

Anda mungkin juga menyukai