DINAMIKA
PERUMUSAN DAN PERJALANAN HIDUP PANCASILA
1. Pendahuluan
Walaupun Pancasila sudah ditetapkan sebagai dasar negara sejak tahun 1945 namun
dimensi kesejarahan Pancasila itu sendiri tetap relevan untuk diperbincangkan. Sudah
barang tentu ada banyak persoalan yang dapat dibahas bila kita berbicara tentang sejarah
Pancasila. Sekedar menyebut beberapa contoh, pembahasan dapat kita lakukan mulai dari
persoalan (a) asal-usul nilai Pancasila, (b) penggali Pancasila, (c) bagaimana sila-sila
Pancasila digali dan dirumuskan, sampai ke persoalan (d) bagaimana dinamika perjalanan
hidup Pancasila selama ini.
Uraian berikut ini akan membatasi diri pada dua persoalan yang disebut terakhir
yaitu (a) proses perumusan Pancasila, dan (b) dinamika perjalanan hidup Pancasila dalam
sejarah ketatanegaraan Republik Indonesia.
Tentang asal-usul nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila cukup kiranya kalau
dikatakan bahwa Pancasila itu bersumber dari khasanah budaya Indonesia, yang diterangi
oleh ide-ide besar dunia. Pernyataan itu menunjukkan bahwa nilai-nilai yang terkandung
dalam sila-sila ada yang bersumber dari kultur bangsa Indonesia sendiri namun ada pula
yang berasal dari budaya luar Indonesia.
Sedang mengenai penggali Pancasila dasar negara dapatlah dikatakan bahwa dalam
proses penggalian dan perumusan Pancasila sebagai dasar negara itu, Ir. Soekarno
mengemukakan pandangan-pandangan yang cukup dominan pengaruhnya.
2. Dinamika Perumusan Dasar Negara
Proses perumusan dasar negara Pancasila berlangsung dalam sidang-sidang
Dokuritu Zyunbi Tyoosakai (Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan,
selanjutnya disebut BPUPK) yang dilanjutkan dalam sidang-sidang Panitia Persiapan
Kemerdekaan Indonesia, (selanjutnya disebut PPKI).
Walaupun BPUPK bukan lembaga perwakilan partai-partai politik, namun karena
pikiran-pikiran tentang berbagai persoalan dasar hidup bernegara yang kemudian
dijawab melalui Pancasila telah lama berkembang di kalangan partai politik yang ada di
masa penjajahan Belanda, maka untuk memahami dinamika perumusan dasar negara
Pancasila kita perlu memperhatikan aliran-aliran politik yang berkembang selama masa
pergerakan nasional, di mana persoalan prinsip-prinsip kehidupan bernegara di alam
Indonesia merdeka mulai diperbincangkan.
Secara ideologis dan corak aspirasi politik mereka (bukan atas dasar agama yang
dipeluk oleh anggotanya) berbagai partai politik yang berkembang di masa pergerakan
dapat dikelompokkan menjadi tiga yaitu (a) golongan Marxis/ Komunis, (b) golongan
Nasionalis, dan (c) golongan Islam. Dari puluhan partai politik yang hidup, berkembang
dan bahkan mati di masa pergerakan dapatlah kita sebut beberapa di antaranya sebagai
ilustrasi tentang pengelompokkan di atas (Pringgodigdo, 1980; Margono, 1971) sebagai
berikut ini.
a) Partai-partai beraliran Marxis/Sosialis Kiri
Termasuk dalam kategori ini adalah (a) Indische Sociaal Democratische Vereeniging
(ISDV) yang lahir tahun 1914, (b) Indische Sociaal Democratische Partij (ISDP) yang
lahir tahun 1917, dan (c) Perserikatan Komoenis di India (PKI) yang merupakan
perubahan bentuk dari ISDV pada tahun 1920.
b) Partai-partai beraliran Nasionalis/Kebangsaan
Termasuk dalam kelompok ini adalah (a) Indische Partij yang lahir tahun 1912, (b)
Perhimpoenan Indonesia (PI, 1924) yang merupakan hasil evolusi dari Indische
Vereeniging (1908) dan Indonesische Vereeniging (1922), (c) Partai Nasional
Indonesia (semula Perserikatan Nasional Indonesia) yang lahir tahun 1927, dan (d)
Parindra (1935) yang merupakan hasil fusi dari Boedi Oetomo (1908) dan Persatuan
Bangsa Indonesia (1924).
c) Partai-partai beraliran Islam
Termasuk di sini adalah (a) Sarekat Islam 1912 yang semula adalah Sarekat Dagang
Islam (1911), (b) Partai Sarikat Islam Indonesia (1930) dan Partai Islam Indonesia
(1931).
Golongan Marxis/Komunis memperjuangkan terwujudnya negara komunis,
golongan Islam ingin mewujudkan negara Islam, sedang golongan nasionalis/ kebangsaan
ingin mewujudkan negara kebangsaan.
Dalam proses pergumulan persoalan-persoalan dasar kehidupan menegara, partai-
partai Islam cenderung menonjolkan dimensi vertikal berdasarkan agama Islam,
sedangkan kaum kebangsaan mengajukan gagasan persatuan, kebangsaan, kekeluargaan,
kolektivisme dan gotong-royong. Di dalam tubuh golongan nasionalis ini terdapat pula
para penganut ideologi-ideologi modern, yang mulai berkembang di dunia Barat tetapi
cepat menyebar luas di seluruh Asia (Jepang, Tiongkok dan India pada waktu itu), dan
menyumbangkan gagasan kerakyatan, hak-hak dasar dan sosialisme.
Cita-cita untuk mewujudkan negara komunis secara formal padam pada tahun 1927
seiring diberangusnya PKI oleh pemerintah penjajah Belanda, setelah partai itu
melakukan pemberontakan. Oleh karena itu ketika BPUPK dibentuk pada tahun 1945
hanya kaum nasionalis dan Islamlah yang menduduki kursi keanggotaan badan yang
bertugas menyelidiki persiapan bangsa Indonesia untuk merdeka itu.
Pranarka (1985: 47) menyebutkan bahwa di dalam tubuh BPUPK terdapat tiga
kelompok ideologi yaitu Islam, kebangsaan dan Barat Modern Sekular. Dalam masalah
hubungan antara negara dan agama golongan kebangsaan berbeda pandang dengan
golongan Islam, sedang dalam hal jaminan hak-hak dasar manusia dan sistem
pemerintahan golongan kebangsaan berbeda pandang dengan golongan modern Barat
sekuler.
Secara lebih analitis Abdullah (1999) menyebutkan anggota BPUPK semula
berjumlah 63 orang (termasuk seorang Wakil Ketua bangsa Jepang) namun kemudian
menjadi 68 orang menjelang sidang tanggal 10 Juli 1945 (karena ditambah dengan enam
orang anggota baru dan dikurangi satu orang yaitu Wakil Ketua dari bangsa Jepang).
Secara sosiologis komposisi anggota BPUPK itu terdiri atas (a) 23 orang dari kalangan
birokrat fungsional, (b) 17 orang dari golongan pergerakan kebangsaan, (c) 11 orang dari
kalangan birokrat pemerintahan, (d) 10 orang dari golongan „independen‟ atau swasta,
dan (e) tujuh orang dari kalangan ulama (guru dan mubaligh).
Dari segi status sosialnya komposisi anggota BPUPK itu terdiri atas (a) 37 orang
bangsawan lokal (28 orang dari suku Jawa dan sembilan orang dari suku Sunda), (b)
delapan orang bangsawan keraton, (c) tujuh orang ulama (tiga orang dari
Muhammadiyah, dan dua orang dari Nahdlatul Ulama, serta seorang dari PUI
Majalengka dan seorang dari A Ittihadiyatul Islamiyah Sukabumi), (d) delapan orang dari
luar Jawa (tiga orang dari Sumatera Barat yaitu Hatta, Yamin dan HA Salim, satu dari
Tapanuli, yaitu wartawan terkemuka Parada Harahap, satu dari Maluku yaitu
Latuharhary, satu dari Kalimantan Selatan, Pangeran M Noor, satu dari Minahasa,
Maramis, dan satu dari Lampung, Dasaad), serta (e) enam orang keturunan asing (satu
Arab, satu Indo dan empat Tionghoa).
Uraian di bawah ini akan menggambarkan bagaimana proses perumusan sila-sila,
yang pada hakikatnya hendak menjawab lima persoalan dasar hidup bernegara. Kelima
masalah pokok itu adalah (a) bagaimana hubungan antara negara dan agama, (b)
bagaimana hubungan antar bangsa, (c) apakah hakikat negara yang hendak didirikan itu,
(d) siapakah pemilik kedaulatan dalam negara, dan (e) apakah tujuan negara yang hendak
didirikan itu.
Dalam sidang pertama, yang berlangsung pada tanggal 29 Mei sampai dengan 1
Juni 1945, BPUPK membahas soal dasar negara, yaitu suatu „philosophische grondslag
atau dasar falsafah, yaitu pikiran yang sedalam-dalamnya, untuk di atasnya didirikan
gedung Indonesia Merdeka yang kekal dan abadi‟ (Bahar, 1995). Dasar seperti itu
dipandang perlu karena negara sebagai suatu organisasi hanya akan berfungsi dengan
baik apabila terdapat suatu gambaran yang jelas tentang hakekat, dasar dan tujuannya.
Oleh sebab itu, para pendiri negara pertama-tama harus mempunyai gambaran yang
jelas tentang negara yang dimaksud dan tempat/peranan warga negara di dalamnya.
Berdasarkan agenda itu, beberapa anggota BPUPK mengemukakan pendapatnya
mengenai dasar negara. Mengenai hal itu, ada tiga anggota yang mengemukakan
pendapat, yaitu Muh. Yamin (tanggal 29 Mei 1945), Soepomo (tanggal 31 Mei 1945),
dan Soekarno yang berpidato pada hari terakhir masa sidang pertama BPUPK, 1 Juni
1945.
*****