Anda di halaman 1dari 30

Materi 3.

DINAMIKA
PERUMUSAN DAN PERJALANAN HIDUP PANCASILA

1. Pendahuluan
Walaupun Pancasila sudah ditetapkan sebagai dasar negara sejak tahun 1945 namun
dimensi kesejarahan Pancasila itu sendiri tetap relevan untuk diperbincangkan. Sudah
barang tentu ada banyak persoalan yang dapat dibahas bila kita berbicara tentang sejarah
Pancasila. Sekedar menyebut beberapa contoh, pembahasan dapat kita lakukan mulai dari
persoalan (a) asal-usul nilai Pancasila, (b) penggali Pancasila, (c) bagaimana sila-sila
Pancasila digali dan dirumuskan, sampai ke persoalan (d) bagaimana dinamika perjalanan
hidup Pancasila selama ini.
Uraian berikut ini akan membatasi diri pada dua persoalan yang disebut terakhir
yaitu (a) proses perumusan Pancasila, dan (b) dinamika perjalanan hidup Pancasila dalam
sejarah ketatanegaraan Republik Indonesia.
Tentang asal-usul nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila cukup kiranya kalau
dikatakan bahwa Pancasila itu bersumber dari khasanah budaya Indonesia, yang diterangi
oleh ide-ide besar dunia. Pernyataan itu menunjukkan bahwa nilai-nilai yang terkandung
dalam sila-sila ada yang bersumber dari kultur bangsa Indonesia sendiri namun ada pula
yang berasal dari budaya luar Indonesia.
Sedang mengenai penggali Pancasila dasar negara dapatlah dikatakan bahwa dalam
proses penggalian dan perumusan Pancasila sebagai dasar negara itu, Ir. Soekarno
mengemukakan pandangan-pandangan yang cukup dominan pengaruhnya.
2. Dinamika Perumusan Dasar Negara
Proses perumusan dasar negara Pancasila berlangsung dalam sidang-sidang
Dokuritu Zyunbi Tyoosakai (Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan,
selanjutnya disebut BPUPK) yang dilanjutkan dalam sidang-sidang Panitia Persiapan
Kemerdekaan Indonesia, (selanjutnya disebut PPKI).
Walaupun BPUPK bukan lembaga perwakilan partai-partai politik, namun karena
pikiran-pikiran tentang berbagai persoalan dasar hidup bernegara yang kemudian
dijawab melalui Pancasila telah lama berkembang di kalangan partai politik yang ada di
masa penjajahan Belanda, maka untuk memahami dinamika perumusan dasar negara
Pancasila kita perlu memperhatikan aliran-aliran politik yang berkembang selama masa
pergerakan nasional, di mana persoalan prinsip-prinsip kehidupan bernegara di alam
Indonesia merdeka mulai diperbincangkan.
Secara ideologis dan corak aspirasi politik mereka (bukan atas dasar agama yang
dipeluk oleh anggotanya) berbagai partai politik yang berkembang di masa pergerakan
dapat dikelompokkan menjadi tiga yaitu (a) golongan Marxis/ Komunis, (b) golongan
Nasionalis, dan (c) golongan Islam. Dari puluhan partai politik yang hidup, berkembang
dan bahkan mati di masa pergerakan dapatlah kita sebut beberapa di antaranya sebagai
ilustrasi tentang pengelompokkan di atas (Pringgodigdo, 1980; Margono, 1971) sebagai
berikut ini.
a) Partai-partai beraliran Marxis/Sosialis Kiri
Termasuk dalam kategori ini adalah (a) Indische Sociaal Democratische Vereeniging
(ISDV) yang lahir tahun 1914, (b) Indische Sociaal Democratische Partij (ISDP) yang
lahir tahun 1917, dan (c) Perserikatan Komoenis di India (PKI) yang merupakan
perubahan bentuk dari ISDV pada tahun 1920.
b) Partai-partai beraliran Nasionalis/Kebangsaan
Termasuk dalam kelompok ini adalah (a) Indische Partij yang lahir tahun 1912, (b)
Perhimpoenan Indonesia (PI, 1924) yang merupakan hasil evolusi dari Indische
Vereeniging (1908) dan Indonesische Vereeniging (1922), (c) Partai Nasional
Indonesia (semula Perserikatan Nasional Indonesia) yang lahir tahun 1927, dan (d)
Parindra (1935) yang merupakan hasil fusi dari Boedi Oetomo (1908) dan Persatuan
Bangsa Indonesia (1924).
c) Partai-partai beraliran Islam
Termasuk di sini adalah (a) Sarekat Islam 1912 yang semula adalah Sarekat Dagang
Islam (1911), (b) Partai Sarikat Islam Indonesia (1930) dan Partai Islam Indonesia
(1931).
Golongan Marxis/Komunis memperjuangkan terwujudnya negara komunis,
golongan Islam ingin mewujudkan negara Islam, sedang golongan nasionalis/ kebangsaan
ingin mewujudkan negara kebangsaan.
Dalam proses pergumulan persoalan-persoalan dasar kehidupan menegara, partai-
partai Islam cenderung menonjolkan dimensi vertikal berdasarkan agama Islam,
sedangkan kaum kebangsaan mengajukan gagasan persatuan, kebangsaan, kekeluargaan,
kolektivisme dan gotong-royong. Di dalam tubuh golongan nasionalis ini terdapat pula
para penganut ideologi-ideologi modern, yang mulai berkembang di dunia Barat tetapi
cepat menyebar luas di seluruh Asia (Jepang, Tiongkok dan India pada waktu itu), dan
menyumbangkan gagasan kerakyatan, hak-hak dasar dan sosialisme.
Cita-cita untuk mewujudkan negara komunis secara formal padam pada tahun 1927
seiring diberangusnya PKI oleh pemerintah penjajah Belanda, setelah partai itu
melakukan pemberontakan. Oleh karena itu ketika BPUPK dibentuk pada tahun 1945
hanya kaum nasionalis dan Islamlah yang menduduki kursi keanggotaan badan yang
bertugas menyelidiki persiapan bangsa Indonesia untuk merdeka itu.
Pranarka (1985: 47) menyebutkan bahwa di dalam tubuh BPUPK terdapat tiga
kelompok ideologi yaitu Islam, kebangsaan dan Barat Modern Sekular. Dalam masalah
hubungan antara negara dan agama golongan kebangsaan berbeda pandang dengan
golongan Islam, sedang dalam hal jaminan hak-hak dasar manusia dan sistem
pemerintahan golongan kebangsaan berbeda pandang dengan golongan modern Barat
sekuler.
Secara lebih analitis Abdullah (1999) menyebutkan anggota BPUPK semula
berjumlah 63 orang (termasuk seorang Wakil Ketua bangsa Jepang) namun kemudian
menjadi 68 orang menjelang sidang tanggal 10 Juli 1945 (karena ditambah dengan enam
orang anggota baru dan dikurangi satu orang yaitu Wakil Ketua dari bangsa Jepang).
Secara sosiologis komposisi anggota BPUPK itu terdiri atas (a) 23 orang dari kalangan
birokrat fungsional, (b) 17 orang dari golongan pergerakan kebangsaan, (c) 11 orang dari
kalangan birokrat pemerintahan, (d) 10 orang dari golongan „independen‟ atau swasta,
dan (e) tujuh orang dari kalangan ulama (guru dan mubaligh).
Dari segi status sosialnya komposisi anggota BPUPK itu terdiri atas (a) 37 orang
bangsawan lokal (28 orang dari suku Jawa dan sembilan orang dari suku Sunda), (b)
delapan orang bangsawan keraton, (c) tujuh orang ulama (tiga orang dari
Muhammadiyah, dan dua orang dari Nahdlatul Ulama, serta seorang dari PUI
Majalengka dan seorang dari A Ittihadiyatul Islamiyah Sukabumi), (d) delapan orang dari
luar Jawa (tiga orang dari Sumatera Barat yaitu Hatta, Yamin dan HA Salim, satu dari
Tapanuli, yaitu wartawan terkemuka Parada Harahap, satu dari Maluku yaitu
Latuharhary, satu dari Kalimantan Selatan, Pangeran M Noor, satu dari Minahasa,
Maramis, dan satu dari Lampung, Dasaad), serta (e) enam orang keturunan asing (satu
Arab, satu Indo dan empat Tionghoa).
Uraian di bawah ini akan menggambarkan bagaimana proses perumusan sila-sila,
yang pada hakikatnya hendak menjawab lima persoalan dasar hidup bernegara. Kelima
masalah pokok itu adalah (a) bagaimana hubungan antara negara dan agama, (b)
bagaimana hubungan antar bangsa, (c) apakah hakikat negara yang hendak didirikan itu,
(d) siapakah pemilik kedaulatan dalam negara, dan (e) apakah tujuan negara yang hendak
didirikan itu.
Dalam sidang pertama, yang berlangsung pada tanggal 29 Mei sampai dengan 1
Juni 1945, BPUPK membahas soal dasar negara, yaitu suatu „philosophische grondslag
atau dasar falsafah, yaitu pikiran yang sedalam-dalamnya, untuk di atasnya didirikan
gedung Indonesia Merdeka yang kekal dan abadi‟ (Bahar, 1995). Dasar seperti itu
dipandang perlu karena negara sebagai suatu organisasi hanya akan berfungsi dengan
baik apabila terdapat suatu gambaran yang jelas tentang hakekat, dasar dan tujuannya.
Oleh sebab itu, para pendiri negara pertama-tama harus mempunyai gambaran yang
jelas tentang negara yang dimaksud dan tempat/peranan warga negara di dalamnya.
Berdasarkan agenda itu, beberapa anggota BPUPK mengemukakan pendapatnya
mengenai dasar negara. Mengenai hal itu, ada tiga anggota yang mengemukakan
pendapat, yaitu Muh. Yamin (tanggal 29 Mei 1945), Soepomo (tanggal 31 Mei 1945),
dan Soekarno yang berpidato pada hari terakhir masa sidang pertama BPUPK, 1 Juni
1945.

2.1. Masalah Hubungan Negara dan Agama.


Dalam sejarah kenegaraan Indonesia, hubungan antara negara dengan agama baru
dipersoalkan ketika bangsa kita memasuki masa pergerakan nasional. Sebelum itu, baik
pada masa Hindu maupun kerajaan-kerajaan Islam sesudahnya, persatuan antara negara-
agama bukan merupakan hal yang dipersoalkan. Raja-raja pada masa lampau dipandang
sebagai penjelmaan, penitisan atau inkarnasi dari Dewa Wisnu dan Sywa. Raja Airlangga
dari Kediri misalnya, disamakan dengan dewa Wisnu, sedang Hayam Wuruk disebut
oleh Prapanca sebagai Dewa segala Dewa (Noer, 1982). Ken Arok pun setelah berhasil
merebut mahkota kerajaan Singosari dari raja Tunggul Ametung dianggap sebagai
penjelmaan Bethara Guru. Meskipun ia sebenarnya memiliki latar belakang kehidupan
pribadi yang buram, tetapi keburaman latar belakang itu justru diyakini sebagai ekspresi
kekuatan gaibnya yang tidak memperoleh penyaluran yang tepat. Kalau kemudian di
tanah air ini tumbuh negara-negara Islam, maka raja-raja mereka juga akan bergelar
Khalifatullah, Panotogomo atau pelindung agama Islam yang merupakan agama rakyat.
Penyatuan antara negara dan agama memang tidak dipersoalkan pada waktu itu.
Masalahnya menjadi lain ketika pada masa pergerakan kaum terpelajar (kebanyakan
belajar di atau dari dunia Barat), mulai memikirkan rencana mendirikan negara merdeka
lepas dari penjajah Belanda. Hubungan antara negara dan agama pun kemudian menjadi
persoalan yang hangat untuk dibicarakan.
Hal itu dipicu oleh peristiwa "Jawi Hisworo" tahun 1916, ketika surat kabar milik
Boedi Oetomo ini memuat tulisan yang menyatakan antara lain bahwa „nabi Muhammad
soeka minum gin dan arak‟. Tulisan itu barang tentu menimbulkan kemarahan dari
kalangan Islam. Kecaman yang diarahkan kepada pihak yang dianggap bertanggung-
jawab dan polemik yang mengikutinya menyiratkan perbedaan pandang antara kaum
priyayi nasionalis dan kalangan Islam. Sejak itu polemik tentang hubungan negara/politik
dengan agama berlangsung, baik antara golongan Islam dengan golongan Komunis
maupun antara golongan Islam dengan golongan Nasionalis.
Dari polemik itu tampak bahwa kelompok Islam menghendaki adanya persatuan
antara negara dan agama (Islam) seperti tersirat dari ungkapan-ungkapan yang
dikemukakan para tokohnya antara lain: ,‟.... hanya kemerdekaan yang berazaskan
keIslamanlah yang sesungguhnya melepaskan segala rakyat daripada perhambaan
macam apapun juga‟ atau, „Ideologi kaum Muslimin dipadatkan oleh Qur‟an‟. Di
samping itu sering dikutipkan pula ayat suci Al Qur‟an seperti „Dan tidak Kujadikan jin
dan manusia, kecuali untuk mengabdikan diri kepadaku. Kesemua itu berarti bahwa
pengabdian untuk memperoleh kemenangan di dunia ini adalah untuk memperoleh
kebahagiaan di akhirat. Kehidupan dunia tidak dapat dipisahkan dengan kehidupan
batin (agama) dalam ideologi seorang Muslim‟ (Noer, 1982). Di lain pihak, golongan
komunis menghendaki adanya pemisahan antara agama dan organisasi. Mereka mengan-
jurkan agar jangan mencampurkan agama dengan perserikatan. Sementara itu kaum
nasionalis menghendaki agar negara tidak disatukan dengan agama tertentu (negara
dipisahkan dari agama)
Menurut Soekarno (dari kubu nasionalis) rencana Undang-Undang Dasar yang
memuat persatuan agama dan negara tentu akan ditolak oleh badan perwakilan, atau
apabila dipaksakan juga persatuan itu, berarti demokrasi ditinggalkan. Bagi Soekarno
hanya ada dua alternatif dalam hubungan ini yaitu "Persatuan staat-agama tetapi
zonder democratie, atau democratie tetapi staat dipisahkan dari agama?"
Sejak itulah persoalan hubungan antara negara dan agama menjadi bahan wacana
antara golongan nasionalis dan Islam. Dari sisi kelompok Islam wacana tersebut
mengarahkan mereka kepada cita-cita mendirikan negara Islam. Pada akhir 1920-an
pemimpin Sarekat Islam seperti Surjopranoto dan Sukiman Wirjosandjojo mulai
berbicara tentang “een Islamietische Regeering” (suatu pemerintahan Islam) atau “een
eigen Islamietische bestuur onder een eigen vlag” (suatu kekuasaan Islam di bawah
benderanya sendiri). Sukiman kemudian dikenal sebagai tokoh Masyumi dengan
kalimatnya yang khas: “menciptakan negara Islam di Indonesia adalah tujuan
kemerdekaan”.
Polemik mengenai hal di atas menghangat lagi di paroh kedua 1930-an serta awal
1940-an. Kala itu Natsir, tokoh Sarekat Islam, berupaya menghidupkan lagi gagasan
tentang keharusan memperjuangkan Islam sebagai dasar bagi Indonesia di masa depan.
Natsir menentang gagasan Soekarno mengenai pemisahan antara urusan agama dan
urusan negara.
Ada dua alasan Natsir dalam memperjuangkan Islam sebagai ideologi negara.
Pertama, karena Islam mengatur tidak saja soal hubungan manusia dengan Tuhan
melainkan juga mengatur kehidupan sosial, politik atau bahkan ekonomi. Adalah tugas
kaum Muslim untuk menjalankan amru bil ma‟ruf wannahyu „anil mungkar (lakukan
kebaikan dan hindari kejahatan). Semua aspek kehidupan haruslah dijalankan atas dasar
prinsip tersebut, dengan Al Qur‟an dan Hadist Nabi sebagai ukurannya. Kedua, karena
mayoritas penduduk Indonesia beragama Islam, sehingga ada kewajiban bagi mereka
untuk menjadikan Islam sebagai ideologi negara. Pengangkatan ideologi non Islam di
Indonesia berarti memberi rakyat Indonesia ideologi asing.
Di lain pihak Soekarno, seperti sudah disebut di atas, tetap pada pandangannya
bahwa agama haruslah dipisahkan dari negara karena di masyarakat terdapat sejumlah
ideologi seperti nasionalisme, Islam dan komunisme. Di samping itu terdapat pula
sejumlah agama yang dianut warga masyarakat. Soekarno juga menekankan pentingnya
persatuan bangsa Indonesia dalam mengusir penjajah Belanda. Dalam rangka persatuan
bangsa itu maka negara tidak boleh didasarkan pada agama tertentu. Soekarno tidak
menghendaki Islam sebagai dasar negara karena hal itu akan membahayakan persatuan
bangsa.
Pada persidangan I BPUPK (29 Mei – 1 Juni) hanya gagasan kaum kebangsaanlah
yang muncul ke permukaan. Pada tanggal 31 Mei 1945 Prof Soepomo mengemukakan
usulan tentang dasar negara yang antara lain menegaskan bahwa urusan negara harus
dipisahkan dari urusan agama. Alasannya (a) secara geografis Indonesia tidak terletak di
lingkungan negara keIslaman (corpus Islamicus); (b) kita tidak perlu mewarisi pertikaian
yang masih timbul di kalangan negara-negara Islam sendiri; dan (c) jika kita mendirikan
negara Islam maka berarti kita tidak mendirikan negara persatuan (Bahar, 1995).
Pada tanggal 1 Juni Ir. Soekarno juga mengemukakan usulan dasar negara yang
salah satu silanya adalah Ketuhanan. Mengenai hal ini Soekarno antara lain berkata “
Prinsip Indonesia Merdeka dengan bertaqwa kepada Tuhan yang Maha Esa. Prinsip
Ketuhanan!. Bukan saja bangsa Indonesia ber-Tuhan tetapi masing-masing orang
Indonesia hendaknya ber-Tuhan. Tuhannya sendiri. .......... marilah kita semuanya ber-
Tuhan. Hendaknya negara ialah negara yang tiap-tiap orangnya dapat menyembah Tu-
hannya dengan cara yang leluasa. Segenap rakyat hendaknya berTuhan secara
kebudayaan, yakni dengan tiada „Egoisme agama‟. Dan hendaknya Negara Indonesia
satu negara yang ber-Tuhan”.
Dari usulan-usulan dasar negara di atas, tampak bahwa aspirasi golongan Islam
belum dikemukakan oleh para pendukungnya. Oleh karena itu seusai persidangan I
golongan Islam (yang merupakan minoritas, hanya 15 orang dari 62 anggota BPUPK)
berupaya memperjuangkan aspirasi mereka di luar persidangan. Hasil upaya tersebut
adalah diadakannya pertemuan antara Panitia Delapan (yang dibentuk pada akhir Sidang
BPUPK tanggal 1 Juni 1945) dengan beberapa anggota BPUPK yang tinggal di Jakarta
pada tanggal 22 Juni 1945.
Dalam pertemuan itu diupayakan kompromi antara pihak kebangsaan dan Islam
mengenai rumusan dasar negara. Pada kesempatan itu sebuah panitia yang kemudian
dikenal dengan sebutan Panitia Sembilan, dibentuk untuk merumuskan kesepakatan
antara kedua belah pihak. Panitia itu beranggotakan Drs. Moh. Hatta, Mr. Muh. Yamin,
Mr. Ahmad Subardjo, Mr. A.A. Maramis, Ir. Soekarno (dari golongan nasionalis), K.H.
Abdul Kahar Moezakhir, K.H. Wahid Hasyim (dari golongan ulama) dan, Abikusno
Tjokrosuyoso dan H. Agus Salim (dari golongan „nasionalis Islam‟).
Panitia itu berhasil menetapkan Rancangan Pembukaan UUD yang kemudian
dikenal sebagai Piagam Jakarta. Di dalam rancangan itu termuat rumusan kompromi
antara pihak Islam dan pihak Kebangsaan tentang hubungan antara negara dan agama.
Rumusan itu berbunyi “ Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syari‟ at Islam bagi
pemeluk-pemeluknya”. Di samping itu dimuat pula rumusan sila sila Pancasila yang lain.
Kompromi dalam Piagam Jakarta itu ternyata tidak dengan sendirinya mengakhiri
pertentangan ideologis antara golongan kebangsaan dan Islam. Ketika Piagam Jakarta
dibawa ke sidang II BPUPK tanggal 10 Juli s/d 17 Juli 1945 persaingan itu justru tambah
memuncak. Pada waktu itu timbul usul-usul yang hakikatnya mementahkan kembali
kompromi melalui Piagam Jakarta.
Sudah sejak pembahasan Rancangan Pembukaan UUD, Ki Bagoes Hadikoesoemo
mempersoalkan rumusan kompromis Piagam Jakarta. Ia mengusulkan agar kata-kata
“bagi pemeluk-pemeluknya” dalam rumusan Piagam Jakarta dihapus. Agumentasinya
karena hal itu akan menyulitkan pelaksanaan prinsip kewajiban menjalankan syariat
Islam itu sendiri. Usulan itu ditolak sidang dengan alasan bahwa Piagam Jakarta sudah
merupakan kompromi maksimal di antara dua belah pihak.
Persoalan muncul kembali saat sidang BPUPK tanggal 15 Juli 1945 melanjutkan
pembahasan tentang pasal-pasal Rancangan UUD. Seorang anggota BPUPK,
Pratalikrama, mengusulkan agar dalam UUD dirumuskan pula syarat Presiden yang harus
“berusia minimal 40 tahun, bangsa Indonesia asli dan beragama Islam”. Usulan ini
menggugah semangat Ki Bagoes Hadikoesoemo untuk mempersoalkan lagi apa
sesungguhnya maksud dari rumusan “Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat
Islam bagi pemeluk-pemeluknya”.
Persoalan itu dipertajam dengan usulan KH Masykur untuk mensinkronkan
rumusan syarat tentang Presiden dengan bunyi pasal 28 ayat 1 (29 ayat 1 sekarang). Bagi
Masykur sulit diharapkan bahwa seorang Presiden non Muslim (yang dimungkinkan
adanya oleh ketentuan pasal 6 ayat 1 tentang syarat Presiden) dapat menjalankan syariat
Islam sebagaimana ditentukan pasal 28 ayat 1. Oleh karena itu Masykur mengusulkan
agar rumusan pasal 28 ayat 1 diganti menjadi “Agama resmi bagi Republik Indonesia
adalah agama Islam”.
Pihak kebangsaan bersikukuh pada rumusan Piagam Jakarta sebagai rumusan
maksimal yang tak dapat diganggu gugat. Soekardjo bahkan menolak usulan syarat
Presiden di atas dengan alasan bahwa hal itu bertentangan dengan prinsip persamaan hak
di depan hukum dan pemerintahan. Terhadap berbagai usulan perubahan Piagam Jakarta
dan pasal-pasal yang berkaitan, pihak kebangsaan bahkan mendesak diadakannya
pemungutan suara (voting) untuk mengambil keputusan. Namun demikian pihak Islam
menentang upaya pengambilan keputusan melalui voting itu.
Ketika pembicaraan menjadi berlarut-larut, karena jengkel KH Moezakir, yang
kemudian didukung oleh Ki Bagoes Hadikoesoemo menantang (sambil menggebrak
meja) agar sidang bersikap tegas, mendasarkan negara pada agama Islam atau
menghapuskan sama sekali hal-hal yang berbau Islam. Ketika sidang memanas maka
Ketuapun menskors sidang sampai keesokan harinya. Malam itu tampaknya terjadi loby-
loby antara anggota BPUPK sehingga ketika persidangan dibuka kembali esok harinya,
Soekarno justru meminta golongan kebangsaan untuk mengalah dan menerima usulan
kelompok Islam.
Pada akhirnya Sidang BPUPK tanggal 16 Juli 1945 bersepakat bahwa: (a) rumusan
sila I dasar negara yang terdapat dalam Piagam Jakarta tetap dipertahankan. (b) rumusan
syarat Presiden menjadi berbunyi “Presiden Indonesia haruslah orang Indonesia asli
yang beragama Islam”, (c) rumusan pasal 28 ayat 1 (kini pasal 29 ayat 1) tetap berbunyi
“Negara berdasar atas ke-Tuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi
pemeluk-pemeluknya”
Kesepakatan di atas menunjukkan bahwa sampai akhir persidangan BPUPK II
pihak Islam mendapat kemajuan besar dalam memperjuangkan aspirasi mereka. Namun,
keberhasilan pihak Islam tersebut hanya bersifat sementara. Sebab ketika kemudian
bangsa Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya pada tanggal 17 Agustus 1945,
kesepakatan kesepakatan di atas di ubah lagi sesuai dengan perkembangan keadaan
waktu itu.
Sesuai kesepakatan antara Moh Hatta dengan empat tokoh Islam anggota PPKI
pada pagi hari menjelang Sidang PPKI tanggal 18 Agustus 1945, maka (1) rumusan sila
I Pancasila dikembalikan menjadi “Ketuhanan Yang Maha Esa” (2) syarat Presiden
cukup “ ...haruslah orang Indonesia asli”, sedang (3) rumusan pasal 28 ayat 1 (kini pasal
29 ayat 1) diubah menjadi “Negara berdasar atas ke-Tuhanan Yang Maha Esa”.

2.2. Masalah Hubungan Antar Bangsa


Berbeda dengan masalah hubungan antara negara dan agama, perbincangan tentang
hubungan antar bangsa tidak begitu kontroversial dalam wacana politik di masa
pergerakan. Aspirasi mengenai hubungan antar bangsa ini hanya secara implisit muncul
pada saat terjadi polemik antara Soekarno (dari kelompok kebangsaan) dan Salim (dari
kelompok Islam) tentang kebangsaan.
Dalam hubungan ini Noer (1982) mencatat bahwa kebangsaan dalam pengertian
Soekarno tidaklah sama dengan kebangsaan yang terdapat di negeri-negeri Barat
melainkan kebangsaan yang toleran, yang berperi-kemanusiaan, yang tidak membenci
pada bangsa-bangsa lain. Soekarno dikutip sebagai mengatakan:
“H.A.Salim lupa mengatakan, bahwa beliau tahu bahwa rasa kebangsaan yang
dimaksudkan oleh Ir. Soekarno ialah rasa kebangsaan yang tidak agressief, tidak
menyerang-nyerang, tidak timbul daripada keinginan akan meraja-lela di atas dunia, ..
nationalisme kita .... bukanlah nationalisme yang timbul dari kesombongan bangsa belaka;
ia adalah nationalisme yang lebar ........., ia bukanlah “jinggo nationalisme” atau
chauvinisme, dan bukanlah copie atau tiruan dari pada nationalisme Barat. Nationalisme
kita adalah suatu nationalisme yang menerima rasa hidupnya sebagai suatu wahyu, dan
menjalankan rasa hidupnya itu sebagai suatu bakti ........... nationalisme yang di dalam lain-
lain bangsa, sebagai lebar dan luasnya udara, yang mengasih tempat pada segenap sesuatu
yang perlu untuk hidupnya segala hal yang hidup ........... nationalisme yang membuat kita
menjadi “perkakasnya Tuhan” dan membuat kita menjadi “hidup dalam Roh” (Fajar
Asia18 dan 20 Agustus 1928)
Kutipan di atas menunjukkan bahwa hubungan antar bangsa yang dikehendaki oleh
Soekarno adalah hubungan yang sama derajat, tidak saling meniadakan atau saling
menyerang, dan tidak dilandasi oleh chauvinisme.
Dalam Sidang I BPUPK, tanggal 29 Mei s/d 1 Juni 1945, prinsip hubungan antar
bangsa juga dikemukakan sebagai salah satu unsur dasar negara. Walaupun diberi catatan
kaki bahwa “Naskah Pidato Mr. M Yamin tidak ditemukan dalam „Koleksi Mr. M Yamin‟
maupun „Koleksi Pringgodigdo‟ yang tersimpan di Arsip Nasional”, Saafroedin Bahar
dkk (1995) tetap mencantumkan naskah Pidato M Yamin, yang disebut-sebut diucapkan
tanggal 29 Mei 1945 ke dalam buku karya mereka. Satu kalimat menarik dalam naskah
pidato Yamin itu berbunyi “Kedaulatan rakyat Indonesia dan Indonesia Merdeka adalah
berdasar perikemanusiaan yang universieel berisi humanisme dan internasionalisme
bagi segala bangsa” (Bahar, 1995)
Sementara itu dalam pidato tanggal 1 Juni 1945, Soekarno antara lain menyatakan
prinsip perhubungan antara bangsa itu sebagai berikut:
"Tetapi ..... tetapi memang prinsip kebangsaan ini ada bahayanya. Bahayanya mungkin
orang meruncingkan nasionalisme menjadi chauvinisme, sehingga berpaham 'Indonesia
uber Alles'. Inilah bahayanya. Kita cinta tanah air yang satu, merasa berbangsa yang satu,
mempunyai bahasa yang satu. Tetapi tanah air kita Indonesia hanya satu bahagian kecil
saja dari dunia. Ingatlah akan hal ini!.
"..... Kebangsaan yang kita anjurkan bukan kebangsaan yang menyendiri, bukan
chauvinisme, sebagai dikobar-kobarkan orang di Eropa, yang mengatakan „Deutschland
uber Alles‟, tidak ada yang setinggi Jermania, yang katanya bangsa yang minulyo,
berambut jagung, dan bermata biru, „bangsa Aria‟, yang dianggapnya tertinggi di atas
dunia, sedang bangsa lain-lain tidak ada harganya. Jangan kita berdiri di atas asas
demikian, Tuan-tuan jangan berkata, bahwa bangsa Indonesialah yang terbagoes dan
termulia, serta meremehkan bangsa lain. Kita harus menuju pula persatuan dunia,
persaudaraan dunia. Kita bukan saja harus mendirikan negara Indonesia merdeka, tetapi
kita harus menuju kepada kekeluargaan bangsa bangsa.'
“Justru inilah prinsip saya kedua. Inilah filosofisch principe yang nomor dua, yang saya
usulkan kepada tuan-tuan, yang boleh saya namakan 'Internasionalisme'. Tetapi jikalau
saya katakan internasionalisme, bukanlah saya bermaksud kosmopolitanisme, yang tidak
mau adanya kebangsaan, yang mengatakan tidak ada Indonesia, tidak ada Nippon .......
dan seterusnya.
“Internasionalisme tidak dapat hidup subur, kalau tidak berakar di dalam buminya
nasionalisme. Nasionalisme tidak dapat hidup subur, kalau tidak hidup dalam taman
sarinya internasionalisme. Jadi dua hal ini saudara-saudara, prinsip 1 dan prinsip 2", yang
pertama-tama saya usulkan kepada Tuan-tuan sekalian, adalah bergandengan erat satu
sama lain (Bahar, 1995)
Tampak bahwa dalam konsepsi Soekarno, sila internasionalisme ia kemukakan
setelah dasar nasionalisme. Hal itu mengandung maksud agar nasionalisme tidak jatuh
ke paham chauvinisme dan internasionalisme, juga tidak jatuh ke paham kosmopolitisme
yaitu ajaran yang beranggapan bahwa seluruh kosmos (dunia) adalah satu. Penganut
kosmopolitisme cenderung mengabaikan batas-batas negara dan yang ekstrim cenderung
mengabaikan tanggung jawabnya sebagai warga negara.
Harus diakui bahwa uraian Soekarno tentang prinsip Internasionalisme adalah
uraian terpendek dibanding uraiannya tentang sila-sila yang lain. Namun demikian
secara nalar kita pahami bahwa pola hubungan antar negara yang dikehendaki oleh
Soekarno adalah yang didasari oleh sikap hormat-menghormati sesama bangsa. Sehingga
tidak ada kesombongan antar bangsa di dunia ini. Secara lebih dalam dapat kita pahami
pula bahwa sikap hormat-menghormati akan tumbuh kalau ada keyakinan yang sama
bahwa bangsa-bangsa yang ada di dunia ini pada hakikatnya adalah sama sederajat,
sama merdeka dan hanya karena perkembangan kebudayaan mereka sajalah maka
mereka terpisah ke dalam satuan-satuan kebangsaan tersebut.
Keyakinan tersebut secara implisit mencerminkan pula keyakinan tentang harkat
martabat manusia sebagai mahluk yang sama derajat dan sama merdeka, karena yang
hidup membangsa atau yang disebut bangsa itu tidak lebih dari manusia-manusia yang
oleh karena ikatan tertentu kemudian disebut sebagai satu bangsa.
Ketika Piagam Jakarta disusun tanggal 22 Juni 1945 ternyata rumusan sila kedua
tidak berbunyi internasionalisme atau perikemanusiaan, tetapi "Kemanusiaan yang
adil dan beradab". Sampai sejauh ini tidak ada petunjuk yang jelas tentang mengapa
sila peri-kemanusiaan atau internasionalisme berubah menjadi kemanusiaan yang adil
dan beradab.
Satu-satunya komentar Soekarno sewaktu melaporkan Piagam Jakarta kepada
sidang II BPUPK adalah sebagai berikut:
" di dalam Preambule itu ternyatalah seperti saya katakan tempo hari (tanggal 1 Juni
1945-pen.) segenap pokok-pokok pikiran yang mengisi dada sebagian besar daripada
anggota-anggota Dokuritsu Zyunbi Tyoosakai.... dan seterusnya .... masuk di dalamnya
kemanusiaan atau Indonesia merdeka di dalam susunan peraturan kemanusiaan dunia
....... dan seterusnya " (Bahar 1995)
Sumber lain mengatakan bahwa perubahan itu disebabkan oleh karena:
"... setelah tercapai kata sepakat tentang penegasan mengenai pemeluk-pemeluk agama
Islam, maka perumusannya (Piagam Jakarta) diserahkan Ir. Soekarno. Kemudian Ir.
Soekarno minta bantuan kepada sahabat karibnya sejak adanya Partai Nasional
Indonesia (1927) yaitu Mr. Muhammad Yamin. Kiranya sudah wajar bahwa untuk
mudahnya Mr. Muh Yamin mengambil perumusannya yang berisi 5 dasar negara ..... dan
,
seterusnya." (Darmodihardjo 1979)
Rumusan sila kedua itu tidak mengalami perubahan ketika sila sila Pancasila
dibahas dan ditetapkan dalam sidang PPKI tang 18 Agustus 1945.

2.3. Masalah Kebangsaan/Hakikat Negara Bangsa


Kesadaran tentang kebangsaan Indonesia sesungguhnya sudah tersirat dari lahirnya
berbagai organisasi pergerakan sejak tahun 1908. Organisasi-organisasi itu lahir atas
kesadaran bahwa perjuangan yang bersifat kedaerahan, kesuku-bangsaan atau golongan
saja tidaklah mencukupi untuk mengusir penjajah. Oleh karena itu muncul kemudian
organisasi-organisasi yang berjuang secara nasional dan mencakup berbagai suku bangsa
yang ada di Indonesia. Sudah barang tentu kesadaran itu tidak terbentuk secara tiba-tiba
dan langsung jadi, melainkan tumbuh dan berkembang setahap demi setahap.
Kita catat misalnya bahwa pada mulanya Boedi Oetomo organisasi yang lahir pada
awal tahun 1900-an merumuskan tujuan mereka masih sebatas pada “ hendak memajukan
„Jawa Raya‟, bukan Indonesia. Pada awalnya kaum muda juga mengorganisasikan diri
dalam organisasi-organisasi kepulauan, semacam Jong Sumatranen Bond, Jong Java,
Jong Celebes, dan lain sebagainya, bukan bersifat nasional, Indonesia. Dengan demikian
kesadaran tentang kebangsaan Indonesia itu tumbuh di kalangan bangsa Indonesia sejalan
dengan pertumbuhan gerakan-gerakan perjuangan yang semula bersifat
kepulauan/kesukuan.
Di samping itu konsep bangsa dan kebangsaan itu memang juga masih digumuli
oleh berbagai pihak di tubuh kaum pergerakan. Noer (1982) mencatat bahwa polemik
antara kelompok kebangsaan dan kelompok Islam mengenai persoalan tersebut sudah
berkembang sejak tahun 1920an dan bahkan berlangsung lagi menjelang akhir tahun
1930an. Perbedaan pandang di antara kedua kelompok mengenai soal bangsa dan
kebangsaan itu terkait erat dengan masalah perbedaan faham mengenai hubungan antara
negara agama, seperti yang sudah dibahas di muka.
Kesadaran kebangsaan, kesadaran bahwa suku-suku yang berbeda beda itu adalah
satu bangsa, kemudian terkristal dalam Sumpah Pemuda tahun 1928. Melalui Sumpah
Pemuda generasi muda Indonesia mengakui bahwa mereka adalah bagian satu bangsa
yang satu yaitu bangsa Indonesia, yang menggunakan satu bahasa persatuan, bahasa
Indonesia, dan hidup di wilayah yang satu yaitu tanah air Indonesia.
Walaupun kesadaran sebagai kesatuan bangsa sudah diikrarkan namun bukan
berarti kesatuan bangsa itu sudah dengan sendirinya terwujud. Polemik antar dua
kelompok di atas, yang masih berlangsung pada tahun-tahun menjelang kita merdeka
menunjukkan bahwa masalah kesatuan bangsa memang tetap menjadi tantangan yang
harus dijawab oleh bangsa Indonesia secara tepat. Oleh karena itulah persoalan tersebut
juga mengemuka kembali ketika sidang BPUPK berlangsung.
Di dalam sidang I BPUPK gagasan negara kebangsaan muncul lagi melalui usulan
dasar negara dari Ir. Soekarno. Dalam pidato tanggal 1 Juni 1945 Soekarno antara lain
menyatakan:
“Pertama-tama, saudara-saudara, saya bertanya apakah kita hendak mendirikan Negara
Indonesia Merdeka untuk sesuatu orang, untuk sesuatu golongan,? Mendirikan Negara
Indonesia Merdeka yang namanya saja Indonesia Merdeka, tetapi sebenarnya hanya
untuk mengagungkan satu orang, untuk memberi kekuasaan kepada satu golongan yang
kaya, untuk memberi kekuasaan pada satu golongan bangsawan?.
Apakah maksud kita begitu?, Sudah tentu tidak! Baik saudara-saudara yang bernama
kaum kebangsaan yang di sini, maupun saudara-saudara yang dinamakan kaum Islam,
semuanya telah mufakat, bahwa bukan negara yang demikian itulah kita punya tujuan.
Kita hendak mendirikan suatu negara “semua buat semua”. Bukan buat satu orang, bukan
buat satu golongan, baik golongan bangsawan maupun golongan yang kaya, tetapi
“semua buat semua”. Inilah salah satu dasar pikiran yang nanti akan saya kupas lagi.
Maka, yang selalu mendengung di dalam saya punya jiwa, bukan saja di dalam beberapa
hari di dalam sidang Dokuritzu Zyunbi Tyoosakai ini, akan tetapi sejak tahun 1918 25
tahun lebih, ialah: Dasar pertama, yang baik dijadikan dasar buat Negara Indonesia,
ialah dasar kebangsaan. Kita mendirikan suatu Negara Kebangsaan Indonesia .(Bahar,
1995)
Dalam perkembangan kemudian ternyata bahwa di dalam Piagam Jakarta sila
kebangsaan itu berubah menjadi sila Persatuan Indonesia. Mengenai perubahan rumusan
itu Yayasan Idayu (1987) mencatat bahwa perubahan itu terjadi dalam rapat Panitia
Sembilan tanggal 22-Juni-1945, tepatnya ketika Piagam Jakarta disusun. Pada saat itu
muncul kekhawatiran terhadap niat dari beberapa aliran di kalangan pemerintah Jepang
yang hendak memecah Indonesia menjadi tiga atau empat negara merdeka. Kekhawatiran
itu dapat dipahami mengingat pada masa penjajahan Jepang wilayah nusantara di bagi
menjadi tiga bagian, yang masing-masing dibawah penguasa yang berlainan. Daerah
Indonesia bagian Timur misalnya dikuasai oleh Angkatan Laut Jepang.
Penggunaan rumusan sila Persatuan Indonesia sebagai pengganti sila kebangsaan,
dimaksudkan untuk menegaskan bahwa Indonesia itu satu, tidak terbagi-bagi.

2.4. Masalah Pemilik Kedaulatan Dalam Negara


Cita-cita kehidupan bernegara di mana rakyat menjadi pemilik kedaulatan dalam
negara, cita cita demokrasi, sudah mulai berkembang di kalangan pemimpin bangsa kita,
ketika mereka berjuang mengusir penjajah melalui organisasi sosial politik. Dalam
catatan Haris (1995) perkembangan aspirasi mengenai kehidupan demokrasi di masa
pergerakan ditandai oleh tiga hal pokok yaitu (a) kebangkitan kesadaran akan hak
kebebasan untuk menyatakan pendapat, (b) berkembangnya aspirasi mengenai sistem
kepartaian, dan (c) berkembangnya aspirasi mengenai sistem pemerintahan.
Gejala kebangkitan kesadaran akan hak kebebasan untuk menyatakan pendapat
tampak dari begitu banyaknya penerbitan pers pada masa pergerakan. Hampir semua
organisasi pergerakan mempunyai surat kabar sendiri sebagai corong aspirasi politik
mereka. Beberapa organisasi pergerakan bahkan mempunyai lebih dari satu penerbitan
pers. Seperti tampak dalam uraian-uraian terdahulu polemik di surat-kabarpun menjadi
hal yang wajar pada saat itu.
Mengenai aspirasi tentang sistem kepartaian Haris (1995) mencatat bahwa “
polarisasi organisasi dan kepartaian yang tumbuh itu menggambarkan dengan jelas ke
arah mana cita-cita tentang partai, yaitu kecenderungan untuk (1) menciptakan suatu
sistem banyak partai; dan (2) mempertahankan basis dan struktur partai yang bersifat
primordial” Oleh karena itu ia menyimpulkan bahwa “kecuali Soekarno dan secara
longgar juga Soepomo serta Sutatmo Suriokusumo, tak seorangpun menghendaki
pembatasan kebebasan berserikat. Arus utama gagasan mengenai partai pada waktu itu
menghendaki pola banyak partai katimbang pengelompokkan atasnya, apalagi partai
tunggal”.
Masalah sistem pemerintahan (parlementer atau presidensiel) sebenarnya telah
menjadi pergumulan organisasi-organisasi pergerakan di masa pergerakan nasional. Sejak
Volksraad didirikan aspirasi bangsa Indonesia tentang pemerintahan negara menjadi
semakin jelas terumuskan. Pada mulanya tuntutan kaum pergerakan lebih terpusat pada
bagaimana caranya membuat Volksraad agar dapat benar-benar menjadi parlemen atau
DPR yang sesungguhnya.
Dalam perkembangan aspirasi itu berkembang menjadi aspirasi tentang sistem
pemerintahan yang cocok bagi Indonesia Merdeka. Haris (1995) mencatat pula bahwa
aspirasi tentang sistem pemerintahan itu dapat digolongkan menjadi dua yaitu (1) yang
menginginkan sistem pemerintahan parlementer, dan (2) yang menginginkan sistem
pemerintahan presidensiel. Kecuali Soekarno, Soepomo dan Sutatmo yang menginginkan
sistem pemerintahan presidensiel, mayoritas pemimpin pergerakan waktu itu dan juga
beberapa organisasi pergerakan (GAPI, misalnya) menginginkan sistem pemerintahan
parlementer.
Hal-hal di atas menunjukkan bahwa cita-cita atau keinginan untuk mendirikan
negara yang demokratis sudah cukup berkembang di kalangan kaum pergerakan. Lebih
dari itu di dalam kehidupan partai politik dewasa itu sudah dijalankan pula cara-cara
berorganisasi yang demokratis.
Dalam persidangan I BPUPK, gagasan dasar tentang hidup bernegara secara
demokratis pertama kali disampaikan oleh Soekarno dalam pidato tanggal 1 Juni 1945.
Sesudah itu masalah demokrasi dibicarakan pula dalam sidang -sidang BPUPK terutama
pada saat membicarakan isi/pasal-pasal Rancangan UUD yang disusun oleh Panita
Hukum Dasar.
Sila kerakyatan dalam usulan Soekarno dinyatakan sebagai mufakat, perwakilan,
permusyawaratan. Mengenai sila ini Soekarno berkata :
"Kemudian apakah dasar yang ketiga ? Dasar itu yalah dasar mufakat, dasar perwakilan,
dasar permusyawaratan. Negara Indonesia bukan negara untuk satu orang, bukan satu
negara untuk satu golongan, walaupun golongan kaya, tetapi kita mendirikan negara
„semua buat semua', satu buat semua, semua buat satu. Saya yakin bahwa syarat yang
mutlak untuk kuatnya negara Indonesia ialah permusyawaratan perwakilan.
.... Dengan cara mufakat kita perbaiki segala hal, juga keselamatan agama, yaitu dengan
jalan pembicaraan atau permusyawaratan di dalam Badan Perwakilan Rakyat. Apa-apa
yang belum memuaskan kita bicarakan di dalam permusyawaratan. Badan Perwakilan
inilah tempat mengemukakan tuntutan Islam. Di sinilah kita usulkan kepada
pemimpin-pemimpin rakyat apa-apa yang kita rasakan perlu perbaikan.
„Jikalau memang kita rakyat Islam, marilah kita bekerja sehebat-hebatnya, agar supaya
sebagaian yang terbesar daripada kursi-kursi badan perwakilan rakyat yang kita adakan
diduduki oleh utusan-utusan Islam." .... Kalau misalnya orang Kristen ingin bahwa tiap-
tiap letter di dalam peraturan-peraturan negara Indonesia harus menurut Injil, bekerjalah
mati-matian agar supaya sebagaian besar daripada utusan-utusan yang masuk badan
perwakilan Indonesia ialah orang Kristen. Itu adil-fair play!"(Bahar, 1995)
Uraian Soekarno di atas menunjukkan bahwa dalam negara Indonesia merdeka
semestinya (1) dianut prinsip kedaulatan rakyat, (2) dianut sistem perwakilan dalam
pelaksanaan kedaulatan rakyat, dan (3) dianut prinsip musyawarah untuk mufakat dalam
lembaga perwakilan rakyat.
Pada saat Piagam Jakarta terbentuk ternyata sila mufakat atau demokrasi itu
diberi rumusan Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam
permusyawaratan-perwakilan. Rumusan tersebut menurut hemat penulis tidak membawa
perubahan prinsipiil terhadap makna sila demokrasi seperti yang dikemukakan oleh
Soekarno di atas.
Prinsip kedaulatan rakyat, permusyawaratan dan perwakilan justru semakin
mendapat penjabaran melalui pembahasan pasal-pasal Rancangan Undang-Undang Dasar
dalam sidang II BPUPK. Salah satu masalah yang muncul adalah persoalan lama yaitu
apakah negara Indonesia akan menganut sistem pemerintahan presidensil atau
parlementer. Dalam sidang II BPUPK persoalan tersebut muncul kembali, walau tidak
menyita waktu panjang. Pembahasan persoalan tersebut secara garis besar adalah sebagai
berikut ini.
a) Pada tanggal 15 Juli 1945, ketika menanggapi Rancangan UUD Muh. Yamin
mengusulkan agar negara Indonesia menggunakan “sistem Menteri yang
bertanggung-jawab”. Usulan semacam itu juga datang dari Moh. Hatta yang
secara tegas mengajukan pentingnya pemerintahan yang bertanggung-jawab
kepada rakyat/wakil rakyat.
b) Atas usulan itu Prof. Soepomo menjelaskan bahwa :
(a) UUD yang disusun mempunyai sistem tersendiri yaitu Presiden bertanggung-
jawab kepada MPR, bukan kepada DPR, dan para Menteri bertanggung-jawab
kepada Presiden bukan kepada DPR.
(b) jika Menteri bersalah apakah Menteri itu harus mundur ataukah tidak sangat
bergantung pada kebijaksanaan (political feeling) Kepala Negara dan juga
kebijaksanaan Menteri yang bersangkutan.
c) Akhirnya sidang menyetujui bahwa sistem pertanggung-jawaban para
menteri/sistem parlementer tidak dianut dalam Rancangan UUD 1945.
Demikianlah aspirasi dalam sidang BPUPK yang menyangkut penyelenggaraan
demokrasi di negara Indonesia merdeka. Ketika prinsip kerakyatan yang dipimpin oleh
hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan-perwakilan diajukan ke sidang PPKI,
ternyata prinsip ini langsung disetujui oleh para anggota sidang tanpa pembahasan
terlebih dulu.
2.5. Masalah Tujuan Negara
Berbeda dengan persoalan hubungan antara negara dan agama yang menimbulkan
kontroversi, masalah tujuan negara justru tidak menyita banyak perdebatan selama proses
perumusan dasar negara Pancasila. Hal itu dapat kita pahami karena cita-cita tentang
kesejahteraan hidup bersama sebenarnya merupakan hal yang selalu berkembang dalam
kehidupan manusia di segala jaman.
Banyak prasasti yang menunjukkan bahwa kerajaan-kerajaan Hindu, Budha
maupun Islam di Nusantara masa lampau juga mencita-citakan adanya kemakmuran
hidup dalam negara. Mitos tentang Ratu Adilpun selalu berkembang dari masa ke masa,
hidup di hati sanubari rakyat yang pada hakikatnya mengungkapkan harapan tentang
kehidupan yang adil dan sejahtera. Dalam suasana penindasan, mitos Ratu Adil bahkan
sering menjadi penggerak utama gerakan-gerakan rakyat melawan penguasa yang
menindas.
Lahirnya organisasi–organisasi yang ingin memerdekakan bangsa Indonesia pada
masa pergerakan nasional secara implisit sudah menyiratkan aspirasi tentang
kesejahteraan rakyat. Cita-cita kemerdekaan sebagai antithesa penjajahan menyiratkan
aspirasi kesejahteraan sebagai antithesa kemiskinan yang diciptakan kaum penjajah.
Tak mengherankan jika aspirasi tentang kesejahteraan bersama waktu itu
berkembang seiring dengan aspirasi tentang pengelolaan kekuasaan sendiri dan sekaligus
diwarnai kuat oleh sentimen-sentimen terhadap segala sesuatu yang melekat pada diri
penjajah (kapitalisme, liberalisme, demokrasi Barat, dsb). Soekarno dan Hatta, misalnya
berbicara tentang kesejahteraan dalam bingkai demokrasi ekonomi yang merupakan
pasangan dari demokrasi politik.
Menurut catatan Noer (1982), bagi Soekarno, juga bagi Hatta, demokrasi dalam
urusan ekonomi itu akan dapat direalisasikan dengan menempatkan “semua perusahaan-
perusahaan besar menjadi miliknya staat (negara) ..... semua hasil-hasil perusahaan itu
digunakan bagi keperluan Rakyat, semua pembagian hasil itu di bawah pengawasan
Rakyat”.
Masalah kesejahteraan bersama, kesejahteraan sosial, kembali mengumandang
dalam sidang I BPUPK, saat usulan dasar negara sedang dikemukakan. Dalam pidato
tanggal 1 Juni 1945, Ir Soekarno antara lain menyatakan: “Prinsip No. 4 sekarang saya
usulkan. Saya di dalam tiga hari ini belum mendengarkan prinsip itu, yaitu prinsip
kesejahteraan, prinsip tidak akan ada kemiskinan di dalam Indonesia Merdeka” Lebih
lanjut Soekarno menyatakan:
“ Apakah kita mau Indonesia Merdeka yang kaum kapitalnya meraja-lela, ataukah yang
semua rakyatnya sejahtera, yang semua orang cukup makan, cukup pakaian, hidup
dalam kesejahteraan, merasa dipangku oleh Ibu Pertiwi yang cukup memberi sandang-
pangan kepadanya? Mana yang kita pilih saudara-saudara? Jangan saudara kira kalau
Badan Perwakilan Rakyat sudah ada, kita dengan sendirinya sudah mencapai
kesejahteraan ini. Kita sudah lihat, di negara-negara Eropa adalah Badan Perwakilan,
adalah parlementaire-democratie. Tetapi tidakkah di Eropa justru kaum kapitalis
meraja-lela?”
“Saudara-saudara, saya usulkan: Kalau kita mencari demokrasi, hendaknya bukan
demokrasi Barat, tetapi permusyawaratan yang memberi hidup, yakni politike
economische democratie yang mampu mendatangkan kesejahteraan sosial. Rakyat
Indonesia sudah lama bicara tentang hal ini. Apakah yang dimaksud dengan faham
Ratu-Adil, ialah sociale rechvaardigheid, rakyat ingin sejahtera. Rakyat yang tadinya
merasa dirinya kurang makan kurang pakaian, menciptakan dunia baru yang
didalamnya ada keadilan, di bawah pimpinan Ratu-Adil. Maka oleh karena itu jikalau
kita memang betul-betul mengerti, mengingat, mencinta rakyat Indonesia, marilah kita
terima prinsip hal sociale rechtvaardigheid ini, yaitu bukan persamaan politiek,
saudara-saudara, tetapipun di atas lapangan ekonomi kita harus mengadakan
persamaan, artinya kesejahteraan bersama yang sebaik-baiknya‟ (Bahar, 1995)
Dari kutipan pidato Soekarno di atas dapat kita simpulkan bahwa :
a) Menurut Soekarno demokrasi yang dijalankan di negara-negara Eropa dan Amerika
hanya demokrasi di bidang politik saja dan tidak mencakup demokrasi di bidang
ekonomi. Oleh karena itu di dalamnya tidak ada sociale rechtsvaardigheid, tidak ada
keadilan sosial.
b) Prinsip kesejahteraan sebagai prinsip dasar keempat dalam Indonesia merdeka yang
diusulkan Soekarno merupakan prinsip demokrasi di bidang ekonomi yang
menghendaki serta menuju tercapainya kesejahteraan bersama melalui persamaan di
bidang ekonomi.
c) Apabila prinsip demokrasi dikaitkan dengan prinsip keadilan sosial, maka selain
menghendaki persamaan politik demokrasi Indonesia juga menghendaki persamaan
ekonomi. Inilah ciri khas demokrasi di Indonesia merdeka yang diusulkan Soekarno.
Dalam Piagam Jakarta sila kesejahteraan dari Soekarno itu dirumuskan menjadi
“Keadilan Sosial bagi seluruh Rakyat Indonesia” Dalam sidang PPKI tidak terdapat
pembahasan secara khusus mengenai sila Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia.
Demikianlah secara ringkas kita telah melihat bagaimana dinamika perumusan sila-
sila Pancasila. Berikut akan kita bahas proses finalisasi rumusan dasar negara Pancasila.
2.6. Rumusan Definitif Dasar Negara Pancasila
Rumusan definitif dasar negara Pancasila baru terbentuk dalam sidang PPKI
tanggal 18 Agustus 1945. Namun demikian proses pematangan Pancasila sesungguhnya
sudah dimulai sehari sebelumnya, tepatnya sore hari tanggal 17 Agustus 1945 sesudah
Proklamasi Kemerdekaan Indonesia dikumandangkan.
Dengan mengutip Hatta, Heuken SJ, dkk (1988) melukiskan kejadian itu sebagai
berikut ini.
Menurut keterangan M Hatta, seorang opsir kaigun (A.L. Jepang) mengunjungi beliau dan
memberitahukan “ bahwa wakil-wakil Protestan dan Katholik dalam daerah yang
dikuasai oleh Angkatan Laut Jepang berkeberatan sangat terhadap bagian kalimat
Pembukaan Undang Undang Dasar yang berbunyi „Ketuhanan dengan kewajiban
menjalankan syari‟at Islam bagi pemeluk-pemeluknya‟. Mereka mengakui bahwa bagian
kalimat itu tidak mengikat mereka, hanya mengenai rakyat yang beragama Islam. Tetapi
tercantumnya ketetapan seperti itu di dalam suatu dasar yang menjadi pokok Undang
Undang Dasar berarti mengadakan diskriminasi terhadap mereka golongan minoritas.
Jika „diskriminasi‟ itu ditetapkan juga, mereka lebih suka berdiri di luar Republik
Indonesia”
“Karena begitu serius rupanya, esok paginya tanggal 18 Agustus 1945, sebelum sidang
Panitia Persiapan bermula, saya ajak Ki Bagoes Hadikusumo, Wahid Hasjim, Mr.
Kasman Singodimedjo, dan Mr. Teuku Hasan dari Sumatera mengadakan suatu rapat
pendahuluan untuk membicarakan masalah itu. Supaya kita jangan pecah sebagai bangsa,
kami mufakat untuk menghilangkan kalimat yang menusuk hati kaum Kristen itu dan
mengganti dengan Ketuhanan Yang Maha Esa”
Dalam sidang PPKI tanggal 18 Agustus 1945, ketika menyampaikan perubahan
rumusan sila pertama dari Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syari‟at Islam bagi
pemeluk-pemeluknya menjadi Ketuhanan Yang Maha Esa, Moh. Hatta antara lain
menyatakan:
“Oleh karena hasrat kita semua ialah menyatakan bangsa Indonesia seluruhnya, supaya
dalam masa yang genting ini kita mewujudkan persatuan yang bulat maka pasal-pasal
yang bertentangan dikeluarkan dari Undang Undang Dasar. Oleh karena itu maka dapat
disetujui, misalnya pasal 6 alinea 1 menjadi „Presiden ialah orang Indonesia asli‟.
„Yang beragama Islam‟ dicoret, oleh karena penetapan yang kedua: Presiden Republik
Indonesia orang Islam, agak menyinggung perasaan dan pun tidak berguna, oleh karena
mungkin dengan adanya orang Islam 95% jumlah di Indonesia ini dengan sendirinya
barangkali orang Islam yang akan menjadi Presiden, sedangkan dengan membuang ini
maka seluruh Hukum Undang Undang Dasar dapat diterima oleh daerah-daerah
Indonesia yang tidak beragama Islam umpamanya yang pada waktu sekarang diperintah
oleh kaigun. Persetujuan dalam hal ini juga sudah didapat antar berbagai golongan,
sehingga memudahkan pekerjaan kita pada waktu sekarang ini”
“Berhubung dengan itu juga berubah pasal 29, ini bersangkutan pula dengan preambule.
Pasal 29 ayat 1 menjadi begini: „Negara berdasar atas ke-Tuhanan Yang Maha Esa‟.
Kalimat yang dibelakang itu yang berbunyi: „dengan keajiban‟ dan lain-lain dicoret
saja”. “Inilah perubahan maha penting menyatukan segara bangsa” (Bahar, 1995)
Kutipan di atas menunjukkan bahwa semua perubahan rumusan dalam rancangan
pembukaan maupun pasal-pasal UUD dilakukan demi menjaga persatuan kesatuan
bangsa Indonesia. Dengan demikian selain menyangkut soal sila Ketuhanan yang Maha
Esa, sesungguhnya perubahan itu juga menekankan pentingnya sila Persatuan Indonesia.
Sejauh menyangkut sila II Pancasila, sidang PPKI hanya membahas teknis
perumusan sila itu dalam kaitannya dengan sila Ketuhanan Yang Maha Esa. Dalam alinea
IV draft Pembukaan UUD yang dikemukakan oleh Soekarno-Hatta, antara lain
disebutkan bahwa
“maka disusunlah kemerdekaan kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Undang Undang
Dasar Negara Indonesia, yang terbentuk dalam suatu susunan Negara Republik Indonesia
yang berkedaulatan rakyat, dengan berdasar kepada ke-Tuhanan Yang Maha Esa,
menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indonesia, ..dst”
Kata sambung “menurut dasar” itulah yang diusulkan oleh Ki Bagoes
Hadikoesoemo untuk dicoret karena dianggap kurang baik. Usulan tersebut disetujui oleh
sidang sehingga kalimat dalam alinea IV Pembukaan itu berbunyi “.....dengan berdasar
kepada ke-Tuhanan Yang Maha Esa, kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan
Indonesia, ..dst”
Dalam sidang PPKI persoalan demokrasi sebagai dasar hidup bernegara tidaklah
terlalu diperdebatkan. Hal ini dapat kita pahami karena masalah ini sudah menjadi
bahan perbincangan bahkan sejak masa pergerakan nasional. Demikian juga beberapa
persoalan yang menyangkut operasionalisasi ide itu sudah terbahas dalam sidang-sidang
BPUPK II tanggal 10 s/d 16 Juli 1945.
Ketika prinsip kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam
permusyawaratan-perwakilan (sebagai bagian dari Pembukaan UUD 1945) diajukan ke
sidang PPKI, tanpa pembahasan lebih lanjut prinsip ini langsung disetujui oleh para
anggota sidang. Lebih dari itu ketika Rancangan UUD disahkan menjadi UUD 1945
melalui sidang PPKI tanggal 18 Agustus 1945, persoalan sistem pemerintahan juga tidak
muncul kembali.
Hal yang sama juga terjadi pada sila kelima Pancasila. Dalam sidang PPKI tidak
terdapat pembahasan secara khusus mengenai sila Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat
Indonesia. Pasal-pasal yang menyangkut kesejahteraanpun (pasal 33 dan 34) langsung
disetujui oleh anggota sidang tanpa adanya pembahasan.
Dapat dikatakan bahwa berdasarkan kesepakatan-kesepakatan yang telah dicapai
baik dalam sidang-sidang BPUPK maupun sebelum sidang PPKI, maka pembahasan
dasar negara maupun UUD negara dalam sidang PPKI tanggal 18 Agustus 1945 menjadi
lancar.
Pada hari itu selain berhasil memilih Presiden dan Wakil Presiden PPKI juga
berhasil menetapkan Pancasila sebagai dasar negara sebagaimana termuat dalam
Pembukaan UUD 1945 dan menetapkan UUD 1945 itu sendiri. Rumusan Pancasila dasar
negara yang termuat dalam Pembukaan UUD 1945 adalah:
1. Ketuhanan Yang Maha Esa
2. Kemanusiaan yang Adil dan Beradab
3. Persatuan Indonesia
4. Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam
Permusyawaratan/ Perwakilan
5. Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia
Dengan ditetapkannya Pancasila sebagai dasar negara oleh PPKI tanggal 18
Agustus 1945 itu, maka selesailah sudah satu babakan sejarah perjuangan bangsa
Indonesia untuk merumuskan dasar bagi penyelenggaraan negara merdeka yang sudah
lama dicita-citakannya.
Silahkan buru Rini masuk disini!!!!!

3. Dinamika Implementasi Pancasila


Setelah resmi ditetapkan sebagai dasar negara pada tanggal 18 Agustus 1945
Pancasila dicoba dilaksanakan oleh bangsa Indonesia. Upaya mengimplementasi-kan
Pancasila dalam kehidupan bernegara ternyata tidak mudah. Sejarah ketatanegaraan
Indonesia menunjukkan bahwa Pancasila selalu diperhadapkan kepada tantangan-
tantangan dari ideologi alternatif.
Uraian berikut akan menggambarkan bagaimana keberadaan Pancasila di dalam
sejarah ketata-negaraan Republik Indonesia.

3.1. Masa berlakunya UUD 1945 I (18-8-1945  27 - 12 - 1949)


Implementasi Pancasila dalam kehidupan bernegara di awal kemerdekaan ternyata
tidak lancar. Gagasan dasar tentang hidup bernegara itu mendapat „tantangan‟ baik dari
penggagasnya sendiri maupun dari ideologi pesaing.
Belum genap dua bulan usia Pancasila, Presiden Soekarno justru melontarkan
gagasan untuk membentuk satu partai tunggal (sistem mono party), yang notabene
bertentangan dengan prinsip sila ke empat Pancasila. Walau keinginan itu bisa dipahami
dari sudut kebutuhan praktis dalam rangka menggalang persatuan bangsa menghadapi
Belanda, namun hal itu tidak dapat dibenarkan oleh dasar negara Pancasila. Beruntunglah
bahwa yang kemudian lahir justru Maklumat Pemerintah tanggal 1 Nopember 1945 yang
berisi anjuran agar rakyat membentuk partai-partai politik.
Salah satu partai politik yang kemudian muncul adalah partai Komunis Indonesia
(PKI). Kelahiran partai pendukung idelogi komunisme ini memandai telah
terkonsolidasikannya kekuatan pendukung ideologi pesaing Pancasila itu. Namun pada
tahun 1948 PKI mengadakan pemberontakan, dikenal dengan Pemberontakan PKI
Madiun, sehingga partai ini dibubarkan oleh pemerintah.
Selain harus bersaing dengan komunisme, Pancasila ternyata juga masih harus
bersaing dengan ideologi Islam. Walaupun pembatalan rumusan sila I dalam Piagam
Jakarta dilakukan atas persetujuan beberapa tokoh Islam, namun sejarah menunjukkan
bahwa upaya untuk mendirikan negara Islam masih terus berlangsung. Effendi (1998)
bahkan menyebutkan bahwa pada tanggal 14 Agustus 1945 Kartosuwiryo telah
memproklamirkan berdirinya Negara Islam Indonesia.
Tampak bahwa tidak semua pihak dapat menerima perubahan Piagam Jakarta itu
sepenuhnya. Dengan perkataan lain cita-cita untuk mendirikan negara Islam tidak padam
begitu saja sesuai perumusan dasar negara Pancasila. Anggaran Dasar Partai Masyumi
yang dikeluarkan pada bulan Nopember 1945 misalnya, secara tegas menyatakan tujuan
partai itu sebagai “mempertahankan kedaulatan Republik Indonesia dan agama Islam
dan mewujudkan cita-cita Islam dalam urusan-urusan negara”. Selanjutnya dalam
program partai Masyumi yang dikeluarkan tanggal 17 Desember 1945 dinyatakan
program untuk “menerapkan cita-cita Islam dalam urusan-urusan negara, sampai dapat
mewujudkan struktur negara yang berdasar pada kedaulatan rakyat, dan masyarakat
yang adil sesuai ajaran Islam” (Karim, 1982). Di samping itu diprogramkan pula untuk
“memperkuat dan melengkapi aturan-aturan dasar dalam Undang Undang Dasar
sampai dapat membentuk negara dan masyarakat Islam”. Rumusan-rumusan di atas
menunjukkan bahwa sebagian dari bangsa Indonesia masih mencita-citakan terbentuknya
negara Islam.
Namun demikian Partai Masyumi bukanlah satu-satunya pihak yang
memperjuangkan cita-cita semacam itu. Tidak lama setelah Indonesia merdeka gerakan
yang ingin mendirikan negara Islam mulai aktif kembali.
Untuk meredam propaganda gerakan Darul Islam, dan untuk memperoleh
dukungan lebih luas dari pihak kaum Islam dalam menghadapi penjajah Belanda, maka
pada tanggal 3 Januari 1946 pemerintah membentuk Kementrian/ Departemen Agama.
Kehendak agar ada satu departemen agama dalam struktur pemerintahan Indonesia
sebenarnya sudah dua kali dinyatakan. Pertama, dalam rapat PPKI tanggal 19 Agustus
1945 muncul usul agar dibentuk Departemen Agama, namun usulan tersebut ditolak dan
urusan agama diserahkan kepada Departemen Pendidikan. Kedua, usulan serupa muncul
lagi pada rapat-rapat KNIP bulan November 1945, dan wakil Presiden Moh. Hatta pada
waktu itu menyatakan bahwa “Pemerintah menaruh perhatian penuh tentang persoalan
ini.”
Dengan berdirinya Departemen Agama (Depag) maka sebuah kompromi baru
antara golongan nasionalis dan Islam telah tercapai. Bagi pihak-pihak kebangsaan hal itu
merupakan konsesi kepada pihak yang menginginkan negara Islam, sedang bagi
kelompok Islam hal itu merupakan hasil optimal yang dapat dicapai pada waktu itu.
Pada mulanya Depag hanya mengurusi agama Islam. Depag mengambil alih: (a)
urusan pengajaran agama dari Departemen Pendidikan, (b) urusan perkawinan,
perceraian, pengangkatan modin dan urusan haji dari Bupati, dan (c) pengadilan agama
dari Mahkamah Agung. Umat beragama lain pada mulanya tidak menaruh perhatian
kepada Depag, sebab dalam pandangan mereka urusan agama seharusnya jangan menjadi
urusan negara, negara tidak perlu mencampuri urusan intern agama.
Untuk sementara tampaknya persaingan ideologis antara kelompok nasionalis dan
kelompok Islam mereda. Alasan utamanya boleh jadi adalah adanya satu musuh bersama
yang mempersatukan bangsa Indonesia yaitu Belanda. Namun demikian berbagai
persoalan yang timbul baik dalam upaya mempertahankan kemerdekaan maupun dalam
melaksanakan kegiatan pemerintahan dalam negeri telah melahirkan gerakan-gerakan
bersenjata yang semula tidak bernuansa keagamaan menjadi gerakan yang kental nuansa
keagamaannya.
Gerakan-gerakan itu memperjuangkan cita-cita mendirikan Negara Islam Indonesia
melalui penggunaan kekuatan bersenjata. Kelompok-kelompok bersenjata itu terdiri atas :
1. DI/TII S.M. Kartosuwiryo di Jawa Barat (1949-1962)
2. DI/TII Ibnu Hadjar di Kalimantan (1950; 1959)
3. DI/TII Batalyon 426 dan gerombolan lain di Jawa Tengah (1951-1954)
4. DI/TII Kahar Muzakar di Sulawesi Selatan (1951-1965)
5. DI/TII Daud Beureuh di Aceh (1953-1962)
Menurut Effendy (1998) Kartosuwirjo sangat kecewa terhadap strategi para
pemimpin pusat dalam mempertahankan diri dari upaya pendudukan kembali kepulauan
Nusantara oleh Belanda. Karenanya, ia kemudian menarik diri dari berbagai aktivitas
arus utama politik negara. Ia berkonsentrasi kepada penambahan unit-unit pasukan
Hizbullah di bawah kontrolnya, dan berhasil menentang upaya penggabungan unit-unit
pasukan itu ke dalam kesatuan tentara nasional Indonesia.
Ketika kontrol terhadap seluruh wilayah Indonesia merosot, Kartosuwirjo
menyerukan jihad (perang suci) melawan pasukan Belanda. Ia menolak Perjanjian
Renville tahun 1948 yang ditanda tangani Republik Indonesia dan Belanda., di bawah
mana „Jawa Barat dilepaskan, dan diperkirakan sekitar 30.000 tentara Republik
Indonesia menarik diri ke wilayah Republik Indonesia yang telah dibebaskan di Jawa
Tengah‟. Kartosuwirjo bahkan mundur ke daerah-daerah pegunungan di Jawa Barat,
sambil terus menyerukan jihad melawan Belanda. Dan sebagai respons terhadap
dibentuknya negara boneka Pasundan, yang didirikan di Jawa Barat dan dikontrol
Belanda (1948) ia memproklamasikan berdirinya Negara Islam Indonesia (NII)
Kartosuwiryo memproklamasikan berdirinya Negara Islam Indonesia pada tanggal
7 Agustus 1949 di Tasikmalaya, Jawa Barat. Dalam catatan Heuken SJ, dkk (1988),
tujuan gerakan DI/TII adalah sebagai berikut:
a) Negara Islam Indonesia berdiri dengan sentausa dengan tegak teguhnya, ke luar
dan ke dalam, 100% de facto dan de jure, di seluruh Indonesia;
b) Lenyapnya segala macam penjajahan dan perbudakan;
c) Terusirnya segala musuh Allah, musuh Agama dan musuh Negara, dari
Indonesia; dan
d) Hukum-hukum Islam berlaku dengan sempurnanya di seluruh Negara Islam
Indonesia.
Dibutuhkan waktu lebih dari 14 tahun (1949-1963) untuk mematahkan gerakan
Darul Islam yang ingin mendirikan negara agama dengan jalan kekerasan.
Demikianlah kita mencatat bahwa sejak awal penerapannya, Pancasila memang
terus harus berdahapan dengan ideologi pesaing baik dalam bentuk komunisme maupun
Islam radikal.
3.2. Masa Berlakunya Konstitusi RIS (27-12-1949  17-8-1950)
Sejak tanggal 27 Desember 1949 negara Republik Indonesia yang berbentuk
Kesatuan berubah menjadi negara Serikat. Negara Republik Indonesia Serikat terdiri atas
beberapa negara bagian, seperti negara bagian Republik Indonesia, Negara Indonesia
Timur, negara Sumatera Timur, negara Pasundan, Negara Jawa Timur dan lain
sebagainya.
Sebagaimana lazimnya sebuah negara bagian, maka setiap negara bagian dalam
RIS itupun masing-masing memiliki Undang Undang Dasarnya sendiri. UUD 1945 (yang
di dalamnya terdapat Pancasila dasar negara) dinyatakan hanya berlaku di negara bagian
Republik Indonesia. Sedang untuk negara Republik Indonesia Serikat di berlakukan
Konstitusi Republik Indonesia Serikat 1949. Di dalam alinea ketiga Mukadimah
Konstitusi RIS dinyatakan sbb.:
“Maka demi ini kami menyusun kemerdekaan kami itu dalam suatu Piagam Negara yang
berbentuk republik-federasi, berdasarkan pengakuan Ketuhanan Yang Maha Esa, Peri
Kemanusiaan, kebangsaan, kerakyatan dan keadilan sosial”.
Alinea tersebut menunjukkan bahwa dengan rumusan yang berbeda, negara RIS
juga menganut lima dasar negara yang sama dengan Pancasila. Pada waktu itu tidak
dipersoalkan tentang berlakunya “dua Pancasila” tersebut. Satu hal yang jelas adalah
bahwa dalam situasi pergantian konstitusional seperti itupun, Pancasila tetap
dipertahankan sebagai dasar negara.

3.3. Masa berlakunya UUD Sementara 1950 (17-8-1950  5-7-1959)


Negara Republik Indonesia Serikat hanya berusia kurang dari 8 bulan. Melalui
serangkaian proses politik dalam negeri bangsa Indonesia akhirnya kembali ke bentuk
negara kesatuan. Namun demikian mereka sepakat untuk tidak menggunakan UUD 1945
dan menggunakan UUD Sementara 1950 sebagai dasar penyelenggaraan negara. Hanya
saja perlu dicatat bahwa UUD 1950 itu sendiri sebenarnya menampung hal-hal yang baik
dan atau penting dari UUD 1945 maupun Konstitusi RIS 1949.
Walaupun UUD 1945 tidak berlaku lagi sejak UUDS 1950 dinyatakan berlaku di
negara Kesatuan RI, namun Pancasila tetap dipertahankan sebagai dasar negara. Alinea
keempat Mukadimah UUDS 1950 berbunyi “maka dengan ini kami menyusun
kemerdekaan kami itu dalam suatu piagam negara yang berbentuk republik, kesatuan,
berdasarkan pengakuan Ketuhanan Yang Maha Esa, perikemanusiaan, kebangsaan,
kerakyatan dan keadilan sosial, untuk mewujudkan kebahagiaan kesejahteraan,
perdamaian dan kemerdekaan dalam masyarakat dan negara hukum Indonesia merdeka
yang berdaulat sempurna.” Tampak bahwa dengan rumusan yang berbeda Pancasila
tetap menjadi dasar negara RI walau Undang Undang Dasar yang dipergunakan sudah
berubah.
Seperti sudah disebut di atas gerakan-gerakan bersenjata yang bertujuan mendirikan
negara Islam Indonesia justru tengah berlangsung di beberapa wilayah negara Republik
Indonesia ketika UUD S 1950 dinyatakan berlaku. Dengan perkataan lain pada saat itu
dasar negara Pancasila juga tetap mendapat tantangan dari pendukung idelogi lain
melalui kekerasan bersenjata.
Dalam perkembangannya tantangan itu bukan hanya terwujud dalam gerakan
bersenjata namun juga dalam bentuk polemik ideologis. Persaingan ideologis antara
kelompok Islam dan kelompok kebangsaan mengenai hubungan antara negara dan agama
muncul lagi ke permukaan di awal tahun 1950-an.
Polemik mengenai persoalan hubungan negara dan agama yang diiringi gelombang
demo dari pihak-pihak yang saling bertentangan muncul karena dipicu oleh pernyataan
Presiden Soekarno di Amuntai, Kalimantan awal tahun 1953.
Dalam sebuah pidatonya, Presiden antara lain menyatakan bahwa: “ negara yang kita
inginkan adalah negara nasional yang mencakup seluruh bangsa Indonesia. Jika kita mendirikan
negara berdasar Islam, beberapa wilayah yang penduduknya bukan Islam, seperti Maluku, Bali,
Flores, Kepulauan Kai dan Sulawesi akan memisahkan diri. Dan Irian Barat yang belum
menjadi bagian wilayah Indonesia, tidak akan bersedia menjadi bagian Republik ”(Feith, 1963).
Pidato itu langsung mengundang reaksi keras dari pemimpin-pemimpin Islam.
Pemimpin Masyumi, Isa Anshary mengecam pidato itu sebagai tidak demokratik, tidak
konstitusional, dan bertentangan dengan ideologi Islam yang dianut oleh mayoritas warga
negara Indonesia. Banyak organisasi dan partai Islam juga menyatakan ketidak-setujuan
mereka pada pidato Presiden itu, dengan mengajukan argumen bahwa “ Presiden
Soekarno … tampil sebagai juru bicara satu kelompok yang tengah mencari dukungan,
dan tidak memposisikan diri sebagai kepala negara yang tidak beripihak” (Effendy,
1998)
Di lain pihak sejumlah pemimpin PNI membela tindakan Presiden, sambil
menekankan kekhawatiran kelompok minoritas apabila negara Indonesia didasarkan pada
agama Islam. Mereka menyerang Isa Anshary dan menyebutnya sebagai agitator jahat
dan fanatik. Mangunsarkoro bahkan menuduh Anshary sebagai teman baru bagi Darul
Islam yang tengah melakukan perjuangan bersenjata melawan RI sejak tahun 1949.
Tampak bahwa perbedaan pandang antara golongan Islam dan golongan Nasionalis
mengenai dasar negara masih berlanjut.
Bagaimanapun juga peristiwa di atas dapat kita maklumi karena pada waktu itu
UUDS 1950 masih bersifat sementara, belum tetap dan oleh karenanya masih akan
dibentuk satu lembaga pembuat UUD, Konstituante, melalui pemilu. Dengan demikian
sesungguhnya terbuka peluang bagi siapapun untuk memperjuangkan cita-cita politik
mereka (baik menyangkut dasar negara maupun aturan-aturan dasar kenegaraan) agar
tertampung dalam UUD karya Konstituante. Dalam konteks semacam itu maka baik
kehendak untuk menjadikan Islam sebagai dasar negara maupun Pancasila sebagai dasar
negara, yang adalah sama-sama merupakan cita-cita politik, layak untuk diperjuangkan
oleh para pendukungnya.
Perjuangan semacam itu semakin mendapat lahan ketika sejak tahun 1953 s/d 1955
bangsa Indonesia mengalami tahapan kampanye untuk mempersiapkan pemilihan umum
1955. Selama masa kampanye perbedaan pandang tentang dasar negara yang paling tepat
bagi bangsa Indonesia disebar-luaskan ke massa pemilih, sehingga ketegangan sosial
semakin berkembang di tengah masyarakat.
Pemilu tahun 1955 menghasilkan 4 partai besar pemenang pemilu yaitu (1) PNI, (2)
Masyumi, (3) Nahdatul Ulama (NU), dan (4) PKI. Melalui pemilu itu selain terbentuk
DPR RI juga terbentuk Konstituante, yang anggotanya berjumlah 514 orang.
Konstituante sendiri menurut Nasution (1992) terpecah ke dalam 3 kelompok yaitu (a)
kelompok Pancasila, (b) kelompok Islam, dan (c) kelompok Sosial Ekonomi. Kekuatan
masing-masing kelompok itu adalah (a) kelompok Pancasila 274 orang, (b) kelompok
Islam 230 orang dan (c) kelompok Sosial Ekonomi 10 orang.
Sejauh menyangkut dasar negara kelompok Pancasila memperjuangkan Pancasila
sebagai dasar negara, kelompok Islam memperjuangkan Islam sebagai dasar negara dan
kelompok sosial ekonomi memperjuangkan demokrasi dan ekonomi sosialis sesuai pasal
33 UUD 1945 sebagai dasar negara. Oleh karena itu dapat dipahami apabila perdebatan
tajam di antara anggota Konstituante berlangsung selama persidangan.
Tentang perdebatan ini Nasution (1992) menyimpulkan bahwa perdebatan
mengenai dasar negara itu pada hakikatnya merupakan konfrontasi antar ideologi, atau
konfrontasi di antara pandangan-pandangan yang didasarkan pada premise-premise yang
oleh para pendukungnya dipandang sebagai kebenaran yang tak dapat disangkal lagi.
Bagi kelompok Islam premise yang terpenting adalah sabda Allah yang termuat dalam Al
Qur‟an, maupun Hadist Nabi. Bagi kelompok Pancasila, premise terpenting adalah
persatuan bangsa Indonesia berdasarkan kesepakatan yang telah dituangkan dalam
rumusan Pancasila. Sedang premise kelompok sosial ekonomi adalah semangat
revolusioner dari Proklamasi 1945. Masing-masing faksi mengklaim bahwa premise
mereka mencakup poin-poin baik dan sekaligus tidak mencakup poin-poin buruk dari
premise kelompok lain.
Kubu Islam (Effendy 1998) menolak Pancasila sebagai dasar negara karena
menganggap Pancasila sebagai ideologi sekular (ladiniyah) tanpa sumber keagamaan
yang pasti. Lagi pula walaupun sila pertamanya mengakui pentingnya kepercayaan
kepada satu Tuhan, perumusannya pada dasarnya lebih didasarkan kepada keharusan
sosiologis dan bukan keilahian Tuhan.
Mohammad Natsir, seorang tokoh Islam, oleh Effendy (1998) bahkan dikutip
sebagai menyatakan:
“Pancasila sebagai filsafat negara itu bagi kami adalah kabur dan tak bisa berkata apa-
apa kepada jiwa Umat Islam yang sudah mempunyai dan sudah memiliki satu ideologi
yang tegas, terang dan lengkap, dan hidup dalam kalbu rakyat Indonesia sebagai tuntutan
hidup dan sumber kekuatan lahir dan batin, yakni Islam. Dari ideologi Islam ke Pancasila
bagi Umat Islam adalah ibarat melompat dari bumi tempat berpijak, ke ruang hampa,
vacuum, tak berhawa”
Di lain pihak kubu kebangsaan menolak Islam sebagai dasar negara dengan alasan
bahwa Pancasila merupakan sebuah sintesis yang memadai bagi berbagai kelompok
agama yang berbeda. Jika Islam harus dijadikan dasar negara hal itu akan menimbulkan
diskriminasi secara konstitusional. Di samping itu mengingat kenyataan bahwa
masyarakat Indonesia heterogen secara sosial-keagamaan maka diragukan apakah Islam
dapat berperan sebagai pandangan dunia ideologis-politis bagi seluruh masyarakat.
Menanggapi Natsir, Arnold Mononutu dikutip oleh Effendy (1998) sebagai
menyatakan:
“Dari ideologi Pancasila ke Negara Indonesia berdasar agama Islam, bagi umat Kristen
adalah ibarat melompat dari bumi yang tenang dan sentosa untuk menjalankan agamanya
sebagai manusia Indonesia yang volwaardig, ke ruang kosong, vacuum, tak berhawa” .
Walaupun kekuatan pendukung ide Islam sebagai dasar negara bersatu dalam satu
front melawan kelompok pendukung Pancasila sebagai dasar negara namun kekuatan
mereka bukanlah kekuatan mayoritas. Oleh karena itu perbincangan di Konstituante
mengalami kebuntuan.
Tawaran pemerintah agar Kontituante kembali menggunakan UUD 1945 tanpa
perubahan mendapat tanggapan berbeda dari masing-masing kelompok. Kubu Pancasila
setuju terhadap tawaran itu, sementara kubu Islam menolaknya karena mereka ingin agar
sila I dalam Pembukaan UUD 1945 dikembalikan terlebih dulu ke rumusan Piagam
Jakarta.
Oleh karena itu setiap dilakukan pemungutan suara tidak ada satu pihakpun yang
bisa mengumpulkan suara mayoritas sebagaimana dipersyaratkan bagi sahnya
pengambilan keputusan Pasal 137 ayat (2) UUD Sementara 1950 menentukan „Undang
Undang Dasar baru berlaku jika rancangannya telah diterima dengan sekurang-
kurangnya dua-pertiganya dari jumlah suara anggota yang hadir dan kemudian
disahkan oleh Pemerintah‟ Berdasar ketentuan ini maka setiap keputusan tentang UUD
memerlukan dukungan sekurang-kurangnya 342 suara anggota Konstituante
Pemungutan suara (voting) itu dilakukan selama tiga kali yaitu tanggal 30 Mei,
tanggal 1 dan tanggal 2 Juni 1959. Pada pemungutan suara pertama hadir 474 anggota,
269 suara setuju kembali ke UUD 1945, 199 suara tidak setuju. Pada pemungutan suara
kedua, hadir 468 anggota, 264 setuju, 204 tidak setuju. Pada pemungutan suara ketiga,
hadir 468 anggota, 262 setuju, 203 tidak setuju. Tampak bahwa sebenarnya suara
pendukung Pancasila lebih besar dibanding pihak lain, namun karena belum memenuhi
syarat maka Konstituante gagal mengambil keputusan.
Ketika keadaan menjadi berlarut-larut karena sebagian anggota Konstituante
menyatakan tidak bersedia lagi hadir di persidangan Pemerintah mengeluarkan Dekrit
Presiden yang menyatakan (a) pembubaran Konstituante, (b) pencabutan berlakunya
UUD S 1950, dan (c) pemberlakuan kembali UUD 1945. Dengan berlakunya UUD 1945
maka otomatis Pancasila juga berlaku sebagai dasar negara Republik Indonesia.

3.4. Masa Demokrasi Terpimpin (5-7-1959 – 11-3-1966)


Selama masa pemerintahan terakhir Soekarno ini, kekuatan politik Islam menurun
drastis. Dua pilar kekuatan politik Islam mengambil langkah dan sikap yang berbeda
terhadap rejim yang ada. Dalam catatan Effendy (1998) NU mengambil sikap kompromis
dengan menata kembali orientasi politiknya serta menerima Manipol-Usdeknya
Soekarno. Sementara itu Masyumi justru terus mengambil sikap oposisi sehinga banyak
pemimpin mereka yang dipenjarakan. Pada tahun 1960 Masyumi dibubarkan oleh
pemerintah setelah para pemimpinnya diduga terlibat dalam pemberontakan PRRI.
Dapat dikatakan bahwa posisi formal Pancasila sebagai dasar negara tak
tergoyahkan selama masa demokrasi terpimpin. Namun demikian implementasi dasar
negara itu justru tidak terwujud. Pelaksanaan pemerintahan waktu itu justru menyimpang
dari UUD 1945 dan dasar negara Pancasila.

3.5. Masa Orde Baru (11-1-1966 s/d 21-5-1998)


Masa Orde Baru tercatat sebagai masa di mana (a) Pancasila telah dimanipulasi
secara over-loaded oleh rejim, sementara di lain pihak telah berlangsung pula (b)
transformasi pemikiran dan praktik politik Islam di Indonesia. Hasil akhir dari proses
transformasi itu adalah meredanya ketegangan antara kelompok kebangsaan dan Islam
dalam percaturan politik di negeri ini..
(1) Manipulasi Rejim terhadap Pancasila
Pancasila sudah disepakati oleh bangsa ini sebagai landasan hidup bernegara,
oleh karena itu siapapun yang berkuasa di negeri ini harus "dekat" dengan Pancasila.
Menjadi mudah dipahami mengapa pada masa pra Orde Baru Pancasila begitu lekat
dengan figur Soekarno. Penafsiran Pancasila kala itu bahkan identik dengan pidato-
pidato Bung Karno baik yang disampaikan tanggal 1 Juni 1945 maupun pada masa-
masa sesudah itu. Tanggal dan bulan yang berkaitan dengan Pancasilapun kemudian
masuk ke dalam agenda ritual nasional. Tanggal 1 Juni selalu diperingati sebagai hari
lahir Pancasila.
Sadar akan arti penting Pancasila sebagai alat legitimasi simbolis maka Presiden
Soeharto menempuh sejumlah langkah guna mendekatkan dirinya dengan dasar negara
itu. Pertama-tama dilakukan upaya "membebaskan/ menetralkan" Pancasila dari
pengaruh Soekarno. Hal itu dilakukan melalui proses "pelurusan sejarah". Pada awal
Orde Baru oleh Nugroho Notosusanto (alm) dkk, tanggal 1 Juni ditempatkan ke
posisinya yang "wajar", yaitu sebagai tanggal di mana salah satu usul dasar negara
dikemukakan semata. Di luar tanggal itu, demikian ditulis dalam buku-buku pelajaran
sejarah dan Pendidikan Moral Pancasila, ada dua tanggal lain yang dicatat sebagai
tanggal diusulkannya dasar negara versi lain, yaitu tanggal 29 (Yamin) dan 3 Mei 1945
(Soepomo).
Secara cermat kemudian dibedakan pula antara hari lahirnya istilah/nama Pancasila
dengan hari lahirnya Pancasila dasar negara. Hari lahir istilah Pancasila adalah tanggal 1
Juni 1945, sedang hari lahir Pancasila dasar negara adalah tanggal 18 Agustus 1945, saat
di mana Pancasila secara resmi masuk ke dalam dokumen kenegaraan, Undang-Undang
Dasar 1945.
Walaupun peristiwa tanggal 18 Agustus 1945 itu masih dekat dengan Soekarno,
(sebagai Ketua PPKI yang kemudian ditetapkan sebagai Presiden pertama RI), toh proses
di atas telah berhasil menetralkan kelekatan Pancasila dari figur Soekarno.
Ritual kenegaraan yang berkaitan dengan Pancasila pun kemudian dialihkan dari
tanggal 1 Juni ke tanggal 1 Oktober tiap tahunnya. Tanggal 1 Juni tidak diperingati lagi
sebagai hari lahir Pancasila. Tanggal 1 Oktober lah yang dipilih sebagai hari yang harus
diperingati sebagai hari Kesaktian Pancasila, untuk mengingat keberhasilan bangsa
Indonesia, di bawah pimpinan LetJend. Soeharto (yang kemudian menjadi Presiden RI
II), dalam menumpas pemberontakan G 30 S/PKI. Perjuangan yang sukses itu dimulai
tanggal 1 Oktober 1965, sehingga dipandang patut jika kita memperingati tanggal itu
sebagai hari kesaktian Pancasila.
Dalam kerangka pikir yang telah diajukan di muka tentu saja perpindahan hari
peringatan di atas dapat dipahami sebagai salah satu cara pemerintah untuk mengukuhkan
legitimasi kekuasaan yang ada. Sebab dengan cara itu Pancasila menjadi lebih lekat
dengan pemerintah Orde Baru katimbang dengan figur Soekarno.
Lebih dari itu Soeharto kemudian mencoba mengelaborasi nilai-nilai yang
terkandung dalam Pancasila dan kemudian menjadikannya etika hidup bermasyarakat,
berbangsa dan bernegara. Dalam konteks persaingan ideologi Islam dan Pancasila, maka
posisi Pancasila sebagai lawan ideologi Islam semakin kuat. Selama dua dekade pertama
Orde Baru wacana mengenai hubungan antara negara dan agama didominasi oleh wacana
Pancasila. Rezim Suharto tidak memberi peluang bagi berkembangnya wacana di luar
Pancasila.
Selain memperkuat kedudukan Pancasila melalui Ketetapan MPRS No.
XX/MPRS/1966, pemerintah juga gencar mengindok-trinasikan Pancasila melalui
Penataran P4. Proses penetapan Ketetapan MPR No. II/MPR/1978 tentang P4 itu juga
mendapat tentangan dari pihak Islam (FPP), sehingga keputusan diambil secara voting,
karena para anggota MPR dari FPP “walk out”.
Lebih jauh dari itu pada tahun 1985 Presiden Soeharto melalui rekayasa politiknya
berhasil menjadikan Pancasila sebagai satu satunya azas kehidupan berbangsa dan
bernegara, yang sekaligus berarti menolak adanya ideologi lain di luar Pancasila.
Apakah kesemua hal di atas benar-benar mencerminkan komitmen rejim Soeharto
untuk melaksanakan dasar negara Pancasila. Tampaknya tidaklah demikian halnya,
karena yang sesungguhnya terjadi adalah bahwa Soeharto memanfaatkan Pancasila untuk
melanggengkan kekuasaannya. Pada masanya Soeharto bahkan memanfaatkan Pancasila
sebagai tameng/perisai terhadap berbagai kritik terhadap perilaku kekuasaannya. Kritik-
kritik yang sesungguhnya ditujukan kepada perilaku kekuasaan Soeharto selalu ditepis
dengan argumentasi bahwa yang ia lakukan adalah demi Pancasila sementara para
pengeritik dituduh sebagai orang-orang /kelompok yang anti Pancasila, sebagaimana
tampak dalam kasus Petisi 50, misalnya.
Sejalan dengan itu maka sejumlah kredo politik yang diklaim sebagai bersumber
dari Pancasila dan UUD 1945 ditanamkan kepada masyarakat. Beberapa kredo politik itu
adalah (a) konsensus nasional, (b) sakralisasi UUD1945, (c) dwi fungsi ABRI, (d) fusi
parpol, (e) massa mengambang (floating mass), (f) mono loyalitas Pegawai Negeri Sipil
(g) normalisasi kehidupan kampus, (h) tidak ada oposisi, (i) anti voting, (j) wadah
tunggal/ monisme (k) tidak ada mayoritas dan minoritas, dan lain sejenisnya.
Oleh karena itu bisa dipahami apabila rejim Suharto selalu mendapat perlawanan
dari berbagai kelompok. Namun secara cerdik Suharto selalu berhasil memanipulasi
keyakinan-keyakinan politik rakyat agar tidak berkembang menjadi kekuatan penentang
kekuasaannya. Salah satu cara yang dilakukan adalah dengan memanipulasi gagasan atau
paham integralistik.
Begitu gencarnya upaya manipulasi itu sehingga wacana kenegaraan yang
berkembang selama rejim Orde Baru sering menyiratkan kesan bahwa gagasan
integralistik lebih penting atau bahkan lebih tinggi kedudukannya katimbang
Pancasila. Sering kita mendengar bahwa bangsa ini tidak mengenal pemikiran
dikotomis seperti konsep majoritas-minoritas, pusat-pinggiran, buruh-majikan,
militer-sipil. dan sebagainya karena dianggap bertentangan dengan paham
integralistik. Sering juga dikatakan bahwa kepentingan individu harus dikalahkan
dari kepentingan umum karena demikianlah tuntutan paham integralistik.
Langkah-langkah pengembangan Golkar sebagai mayoritas tunggal,
penyederhanaan partai politik, maupun konsep Dwi fungsi ABRI sering dinyatakan
sebagai sejalan dengan gagasan integralistik. Dalam kesemua kasus itu segala persoalan
dikembalikan kepada gagasan integralistik, sementara upaya untuk menguji kesejajaran
gagasan integralistik dengan dasar negara Pancasila belum atau jarang dilakukan.
Soal eksistensi oposisi misalnya, selalu dikatakan bahwa lembaga itu tidak dikenal
di Indonesia karena bertentangan dengan paham integralistik, padahal adanya oposisi itu
tidak bertentangan dengan Pancasila dan UUD 45. Dari Pidato Soekarno tanggal 1 Juni
1945 jelas bahwa DPR itu diibaratkan seolah kawah Candradimuka yang penuh dinamika
perjuangan kelompok-kelompok kepentingan. Sidang-sidang BPUPK maupun PPKI pun
(yang mencerminkan suasana kebatinan pada saat mana Pancasila dan UUD 45 dibentuk)
penuh dengan nuansa toleransi atas adanya oposisi.
Selama masa Orde Baru sebenarnya telah berkembang dua kubu penafsiran
yang mencerminkan sikap pro dan kontra terhadap gagasan integralistik itu sendiri.
Pihak yang kontra terhadap gagasan intergralisitik mengemukakan sejumlah alasan
keberatan mereka. Dalam catatan Bourchrier (1993) terdapat tiga keberatan pokok
terhadap gagasan integralistik yang berkembang selama ini.
Pertama, keberatan terhadap kebenaran basis sosial ajaran tentang integralistik.
Pandangan ini menyatakan bahwa gagasan integralisitik Soepomo didasarkan pada
asumsi yang keliru tentang budaya asli Indonesia. Soepomo berpendapat bahwa gagasan
integralistik yang dikemukakannya sesuai benar dengan budaya asli yang berkembang di
pedesaan Indonesia. Padahal komunitas desa yang ada di tanah air ini sebenarnya
berbeda-beda baik dalam budaya maupun kadar demokrasinya. Struktur kekuasaan di
pedesaan Jawa misalnya dipandang sangat sentralistik, sementara struktur kekuasaan di
masyarakat "desa" Minang lebih egalitarian karakternya. Oleh karena itu pernyataan
Soepomo bahwa gagasan integralistiknya bersesuaian dengan budaya asli Indonesia patut
dipertanyakan.
Kedua, keberatan terhadap pendapat yang menyatakan bahwa pandangan Soepomo
tentang gagasan integralistik menjiwai isi UUD 45. Keberatan ini bertolak dari fakta
adanya penolakan keras Soepomo - dan juga Soekarno - terhadap masuknya ketentuan-
ketentuan tentang hak asasi manusia dalam struktur UUD 45 yang diiringi fakta bahwa
pada akhirnya toh ketentuan tentang jaminan hak asasi manusia itu termuat pula dalam
UUD 45. Fakta terakhir ini dianggap menggugurkan anggapan bahwa pandangan
Soepomo masih berpengaruh terhadap isi UUD 45. Apalagi kalau diingat fakta bahwa
sejak kemerdekaan hingga awal tahun 80an, gagasan integralistik itu tak pernah
mendapat perhatian yang serius baik dari pemerintah maupun dari Prof. Soepomo sendiri.
Ketiga, keberatan terhadap relevansi gagasan integralistik Soepomo dengan
kehidupan kenegaraan dewasa ini. Para pendukung keberatan ini berpendapat bahwa
terlepas dari seberapa besar pengaruh gagasan integralistik Soepomo terhadap isi UUD
45, yang jelas gagasan itu sudah tidak relevan lagi bagi Indonesia dewasa ini. Gagasan
integralistik Soepomo dianggap sebagai konsep patrimonial yang anti terhadap
perlindungan hak-hak asasi manusia dan oleh karena itu tidak cocok bagi pemerintahan/
negara modern.
Di lain pihak, mereka yang pro terhadap gagasan integralistik tentu berpendapat
sebaliknya. Misalnya saja mereka berpendapat bahwa gagasan integralistik memang
sangat relevan bagi Indonesia saat itu maupun di masa datang. Merekapun berpendapat
bahwa gagasan integralistik memang berasal dari budaya asli Indonesia sendiri.
Tampaknya paham integralistik memang dapat menopang kekuasaan yang
otoriter/totaliter, sehingga walau terdapat tantangan keras dari berbagai pihak, rejim Orde
Baru justru mengukuhkan kedudukan paham tersebut. Setelah lama menjadi bahan
"pergunjingan tanpa kata akhir" akhirnya Sidang Umum MPR 1993 lalu menetapkan
sikap politik resmi lembaga tertinggi negara tersebut terhadap gagasan integralistik.
Melalui Ketetapan MPR No. II/MPR/1993 tentang Garis-garis Besar Haluan Negara,
gagasan integralistik dikukuhkan sebagai "Kaidah Penuntun" yang kelima bagi
pelaksanaan pembangunan di Indonesia.
Kini ketetapan MPR di atas sudah tidak berlaku lagi sehingga gagasan integralistik
pun surut ke belakang, menghilang dari wacana kenegaraan kita. Tetapi pada masanya
gagasan integralistik benar benar telah dijadikan sarana membungkam aspirasi politik
rakyat. Sedang Pancasila sendiri dijadikan jargon jargon pembungkus praktik politik
totaliter/otoriter.
(2) Pembaharuan Pemikiran dan Praktik Politik Islam
Umat Islam merupakan bagian dari kekuatan militan anti komunis, yang terlibat
penuh dalam usaha penumpasan G 30 S/PKI pada tahun 1965 - 1966. Oleh karena itu
wajar apabila mereka berharap akan mendapatkan kekuasaan politik dan pemerintahan
sesudah tumbangnya Soekarno.
Namun realitas menunjukkan bahwa secara politis kekuatan politik Islam justru
dipinggirkan secara perlahan seiring kian mantapnya bangunan politik Orde Baru. Dalam
beberapa kesempatan harapan-harapan kekuatan politik Islam tidak dipenuhi pemerintah
Orde Baru. Kecuali menolak usulan untuk menghidupkan kembali rumusan Piagam
Jakarta dalam Sidang MPRS 1966, pemerintah juga menolak usulan untuk merehabilitasi
atau menghidupkan kembali partai Islam Masyumi.
Mengenai persoalan tersebut Effendy (1998) mencatat bahwa :
“Implikasi-implikasi dari berbagai perkembangan awal ini amat jauh. Pertama, harapan
kelompok Islam untuk memainkan peran lebih besar di bawah pemerintahan Orde Baru
segera menyusut. Yang lebih serius, perkembangan-perkembangan itu menumbuhkan sikap
saling curiga dan memusuhi yang jauh lebih dalam antara para pemimpin serta aktivis
Islam dan elite pemerintah Orde Baru.Dalam hal ini cukuplah jika dikatakan bahwa,
sementara pihak yang pertama memandang pihak yang kedua perlahan-lahan bergerak ke
arah sekularisasi dan bersimpati kepada kepentingan-kepentingan kelompok Kristen, pihak
yang kedua memandang dukungan pihak yang pertama terhadap Pancasila hanya bersifat
taktis dan sekedar untuk bermanis muka”
Dalam situasi hubungan yang tidak harmonis itu maka akses para pemeran politik
Islam ke kekuasan praktis menyusut. Posisi politik mereka selama dua dekade pertama
Orde baru sangat merosot. Posisi politik Islam yang terpinggirkan itu tampak selain dari
hal-hal yang sudah disebut di atas, juga tampak dari (a) dibatasinya jumlah partai-partai
politik Islam melalui fusi tahun 1973, (b) dilarangnya penggunaan Islam sebagai
ideologi partai, dan (c) berkurangnya jumlah wakil-wakil Islam dalam parlemen dan
kabinet.
Reaksi kekuatan Islam terhadap sikap dan tindakan pemerintah Orde Baru
bermacam-macam. Dalam analisa Adnan (Budiman 1990) kekuatan Islam pada masa
Orde Baru dapat dikategorikan menjadi tiga kelompok yaitu (a) kelompok Akomodatif,
(b) kelompok Idealis Moderat, dan (c) kelompok Idealis Radikal.
Termasuk dalam kelompok akomodatif adalah Nurcholis Madjid yang pada tahun
1970 mengagetkan banyak pihak dengan kritiknya terhadap mereka yang
memperjuangkan negara Islam di Indonesia. Menurut Madjid, Islam tidak pernah
memerintahkan pembentukan negara Islam, karena negara semacam itu tidak pernah ada
dalam sejarah Islam. Sejalan dengan Madjid, Abdurrahman Wahid (Gus Dur) juga
berpendapat bahwa Indonesia tidak siap untuk menjadi negara Islam. Oleh karena itu
kaum muslim tidak perlu berjuang mewujudkan negara Islam. Sebab menurut Wahid
Islam mengubah masyarakat secara budaya, Islam berkembang bukan karena ideologinya
melainkan karena budayanya. Jadi untuk mengubah masyarakat, kaum muslim lebih tepat
menggunakan pendekatan budaya ketimbang pendekatan ideologis, yang memerlukan
kekuasaan. Kelompok akomodatif menerima Pancasila sebagai asas tunggal.
Kelompok Idealis Modernis juga menerima Pancasila, namun menolak penafsiran
Nurcholis mengenai Islam. Jalaludin Rahmat misalnya, lebih memperjuangkan
bersatunya pemikiran Islam katimbang sekularisasi Islam sebagaimana dilakukan
Nurcholis. Mereka berpandangan bahwa selain agama, Islam adalah juga ideologi.
Kelompok ini memang mengakomodasi kemauan politik penguasa saat itu, walaupun
pandangan ideologisnya berbeda. Mereka berupaya memperluas kesadaran kaum
Muslim agar memahami bahwa Islam bukanlah sekedar agama melainkan juga
ideologi. Jika kelompok akomodatif lebih suka berjuang untuk keuntungan umat di
dalam negara, maka kelompok Idealis Moderat lebih suka berjuang di luar
pemerintah, yaitu di masyarakat melalui berbagai lembaga swadaya masyarakat
(LSM).
Kelompok Idealis Radikal berjuang dengan pendekatan yang lebih progresif,
menggunakan kata-kata keras menentang negara melalui dakwah-dakwah yang
menggugah emosi massa. Bagi mereka Islam adalah ideologi yang mengatasi semua
ideologi lain. Mereka menolak penetapan Pancasila sebagai satu-satunya asas, dan tidak
percaya kepada pernyataan penguasa yang menjamin bahwa Pancasila tidak akan
menggusur peran agama. Tindakan kaum idealis radikal akhirnya terwujud dalam
berbagai kekerasan politik, seperti pembajakan pesawat Woyla, kasus GPK Warsidi
Lampung, dll.
Jika kelompok idealis radikal harus berhadap-hadapan dengan pemerintah dan
akhirnya tidak membuahkan hasil, maka dua kelompok yang lain justru mampu
memecahkan kebuntuan hubungan antara Islam dan pemerintah. Di dalam kelompok
Akomodatif maupun Idealis Moderat tampaknya terdapat kaum pembaru yang sama-
sama bergerak memajukan posisi Islam dalam kehidupan bernegara. Menurut Effendy
(1998) mereka menempuh tiga jalur aktivitas yang meliputi (a) pembaruan
teologis/keagamaan, (b) reformasi politik/birokrasi dan (c) transformasi sosial.
a) Pembaruan Teologis
Seperti sudah disebutkan dimuka, landasan teologis kelompok yang
memperjuangkan negara Islam adalah keyakinan bahwa Islam menyediakan ajaran yang
lengkap mengenai semua aspek kehidupan, dan Islam tidak mengakui pemisahan antara
agama dan negara.
Pemikir dan aktivis Islam generasi baru walau meyakini bahwa memuat ajaran
yang menyeluruh (holistik), namun berpendapat bahwa hal itu tidak serta merta
mengharuskan pencampuran antara nilai-nilai Islam dan negara. Islam tidak mengatur
semua segi kehidupan. Islam hanya memberi nilai-nilai moral sebagai pedoman dasar dan
umum bagi kehidupan manusia.
Generasi baru intelektual Muslim ini berpendapat bahwa Islam tidak mewajibkan
para pemeluknya untuk membentuk sebuah negara Islam, melainkan lebih menekankan
pembentukkan masyarakat yang baik, yaitu masyarakat yang mencerminkan substansi
peran universal Islam.
Dengan pertimbangan-pertimbangan teologis semacam itu maka mereka dapat
menerima negara Indonesia dengan Pancasila sebagai dasar negaranya. Mereka
sepenuhnya percaya bahwa bentuk negara bangsa Indonesia dengan Pancasila sebagai
dasar ideologinya cukup memadai untuk mengakomodasi penerapan ajaran-ajaran
sosial politik Islam. Dalam pandangan kelompok ini, Pancasila bahkan disejajarkan
dengan Piagam Madinah.
Beberapa intelektual Muslim bahkan menyatakan bahwa “Pancasila pada
kenyataannya dapat disebandingkan meski tidak persis sama dengan Piagam Madinah.
Pandangan itu didasarkan pada dua premis utama yaitu bahwa (1) secara substansif, baik
piagam Madinah maupun Pancasila mengakui kaitan antara nilai-nilai agama dan
masalah-masalah kenegaraan, dan (2) secara fungsional, kedua rumusan politik itu
mencerminkan titik-titik temu (common platform, kalimah sawa), yang berfungsi sebagai
prinsip-prinsip pengatur masyarakat politik dengan latar belakang sosial keagamaan yang
beragam. Mengenai Pancasila dan UUD 1945 mereka berpandangan bahwa ideologi dan
konstitusi negara itu sejalan dengan ajaran Islam. Lebih khusus lagi setiap sila dari
Pancasila, terutama sila Ketuhanan Yang Maha Esa, musyawarah dan keadilan mereka
nilai sebagai mencerminkan substansi ajaran Islam.
Atas dasar pemahaman itu maka terjadi pula perubahan dalam aspirasi politik
Islam. Mereka tidak mengupayakan lagi berdirinya negara Islam, namun lebih
menekankan pada (1) pengembangan tatanan-tatanan politik yang egalitarian dan
demokratis, dan (2) pengembangan proses-proses ke arah pemerataan ekonomi.
b) Reformasi Birokrasi/Politik
Dengan pandangan yang inklusif seperti itu maka kecurigaan negara terhadap
kekuatan politik Islam melemah, dan di lain pihak akses kekuatan politik Islam ke pusat-
pusat kekuasaan dan birokrasi pemerintahan terbuka lebar. Generasi baru intelektual
muslim mengembangkan hubungan yang inklusif dengan semua partai politik yang ada
(PPP, PDI dan terutama Golkar). Langkah ini sejalan dengan upaya Golkar memperoleh
dukungan umat Islam. Pada waktu itu Golkar (1) menarik sejumlah pemimpin dan aktivis
Muslim terkemuka ke dalam Golkar, dan (2) mengalirkan dana ke berbagai institusi
Islam (masjid, dll) dan organisasi Islam.
Hasil akhir dari kegiatan di atas adalah semakin banyaknya pemikir dan aktivis
politik muslim yang mampu berpartisipasi dalam pembuatan kebijakan baik di lembaga
eksekutif maupun legislatif, serta meningkatnya jumlah wakil-wakil Islam di lembaga
legislatif.
c) Transformasi Sosial
Di samping melakukan pembaruan teologis dan masuk ke jajaran birokrasi
pemerintahan, kaum pembaru juga mengupayakan transformasi sosial. Melalui lembaga-
lembaga swadaya masyarakat ( LP3ES dan lain sebagainya) diupayakan pengembangan
kemampuan dan kesadaran masyarakat guna membangun suatu kelas menengah yang
otonom.
Hasil yang diperoleh dari ketiga kegiatan di atas adalah memudarnya hubungan
antagonistik antara Islam dan negara /pemerintah Orde Baru, diganti dengan hubungan
yang harmonis antara negara dengan kekuatan politik Islam. Hal itu antara lain
ditunjukkan oleh sejumlah kebijakan yang bersifat akomodatif dari negara terhadap
Islam.
Dalam catatan Effendy (1998) politik akomodasi itu mencakup empat bidang yaitu
(1) akomodasi struktural, (2) akomodasi legislatif, (3) akomodasi infra-struktural dan (4)
akomodasi kultural.
Akomodasi struktural tampak dari direkrutnya para pemikir dan aktivis Islam
politik generasi baru ke dalam lembaga-lembaga eksekutif (birokrasi) dan legislatif
negara, terutama sejak sesudah pemilu 1992, serta pembentukkan ICMI.
Akomodasi legislatif negara terhadap Islam tampak dalam bentuk (1) disahkannya
Undang Undang No. 2 tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional, (2)
diberlakukannya Undang Undang Peradilan Agama tahun 1989 dan Kompilasi Hukum
Islam tahun 1991, (3) diubahnya kebijakan tentang jilbab pada tahun 1991, (4)
dikeluarkannya SKB tentang Badan Amil Zakat, Infak dan Shadaqah tahun 1991, dan (5)
dihapuskannya SDSB pada tahun 1993
Akomodasi infra-struktural tampak dari kebijakan yang menopang umat Islam
dalam melaksanakan kewajiban-kewajiban agama mereka. Wujud utama dari kebijakan
itu adalah pembangunan masjid-masjid yang disponsori negara. Dalam APBN selalu
terdapat pos untuk membiayai proyek-proyek keagamaan. Pada Repelita Pertama negara
telah mengalokasikan dana sebesar 475 juta rupiah untuk membiayai pembangunan
masjid-masjid. Dalam Repelita Keempat, jumlah anggaran itu telah mencapai 29 milyar
rupiah. Di samping itu negara juga mengijinkan serta membantu berdirinya bank Islam,
Bank Muamalat Indonesia, pada tahun 1991.
Akomodasi kultural antara lain ditunjukkan oleh kehadiran idiom-idiom Islam
dalam ideologi dan konstitusi Indonesia, peraturan pemerintah serta lembaga-lembaga
politik. Salam “al-salam-u‟ alaykum” juga sudah menjadi salam nasional yang selalu
diucapkan oleh pejabat negara maupun pimpinan bangsa dalam membuka pembicaraan
mereka.

3.6. Masa Pemerintahan Transisi (21-5-1998 s/d sekarang)


Ketika reformasi kehidupan politik mulai bergulir dengan mundurnya Soeharto dari
jabatan presiden tanggal 20 Mei 1998, upaya kearah “pemurnian” kedudukan dan
peran Pancasila juga dilaksanakan. Dalam Sidang Istimewa tahun 1998 MPR
mengeluarkan ketetapan yang (a) mencabut berlakunya Ketetapan MPR No.
II/MPR/1978 tentang P4, dan (b) mencabut ketentuan Pancasila sebagai azas tunggal.
Lebih lanjut di dalam Undang Undang No. 1 tahun 1999 tentang Partai Politik
ditentukan pula bahwa partai-partai politik boleh mempunyai azas lain di luar Pancasila,
asal tidak bertentangan dengan Pancasila dasar negara. Oleh karena itu dalam Pemilu
Juni 1999 lalu muncul paling sedikit 22 partai politik yang dapat dikategorikan sebagai
partai Islam, entah itu karena secara tegas menyebut Islam/Alqur‟an dan Hadist/Dienul
Islam sebagai asas partai, atau karena partai yang bersangkutan mengandalkan mayoritas
dukungan pemilih (konstituen)nya dari kaum Islam. Di lain pihak terdapat beberapa
partai kebangsaan, seperti PDI Perjuangan.
Hasil pemilu 1999 menunjukkan bahwa PDI-P sebagai pilar utama kekuatan
kebangsaan, memperoleh dukungan terbanyak dari para pemilih. Di lain pihak, kecuali
PPP, partai-partai Islam lain justru kurang mendapat banyak dukungan pemilih. Boleh
jadi hal itu berkaitan dengan fakta begitu banyaknya parpol Islam sehingga suara pemilih
Islam pun terpecah-belah.
Walaupun demikian sesudah pemilu tahun 1999 berlangsung, polarisasi aliran
polirik Islam v.s. kebangsaan kembali mewarnai percaturan politik negeri ini. Perbedaan
pandang itu tidak hanya sebatas pada persoalan (a) siapa calon Presiden RI ke 4, namun
juga menyangkut (b) wajarkah orang-orang Kristen mendominasi daftar nama Caleg PDI
Perjuangan. Pada aras lokal juga berkembang persoalan (c) pantaskah Caleg PDI P yang
non muslim menjadi Ketua DPRD walau PDIP memang menguasai kursi terbanyak di
DPRD setempat.
Gejala di atas menunjukkan bahwa persoalan mengenai hubungan antara negara
dan agama dalam wadah negara Pancasila memang belum sepenuhnya terselesaikan.
Minimal kita mencatat bahwa cita cita untuk mengubah sila I Pancasila kembali ke
rumusan Piagam Jakarta masih berkembang di benak sebagian warga bangsa ini. Hal itu
tampak dari perjuangan FPP dan FBB untuk mengubah rumusan pasal 29 ayat 1 UUD
1945 dalam proses amandemen UUD 1945 melalui Sidang MPR-RI beberapa waktu yang
lalu.
Walaupun upaya untuk mengubah dasar negara Pancasila melalui pengubahan pasal
29 ayat 1 tidak berhasil selama empat kali amandemen UUD 1945 yang lalu, bukan
berarti aspirasi untuk mengganti Pancasila dengan ideologi lain telah padam. Salah
seorang pimpinan DPR sendiri mengakui bahwa sampai saat ini masih ada sebagian
anggota DPR yang menginginkan penggantian Pancasila dengan ideologi lain (Jawa Pos,
9 Juli 2006). Kesemua hal di atas menunjukkan bahwa persaingan ideologis antara
Pancasila dengan beragam ideologi lain masih terus akan berlangsung.

*****

Anda mungkin juga menyukai