Anda di halaman 1dari 5

DRAMA B.

SUNDA : “PAMALI”

 Lutfi sebagai Upi


 Arro sebagai Arro (teman Upi)
 Rigel sebagai Mbah Dukun
 Kintan sebagai Dewi Air dan narator
 Alya sebagai pencetus mitos dan ibu-ibu rempong
 Fadhillah sebagai pencetus mitos dan ibu-ibu rempong
 Dheti sebagai ibu-ibu kalem

Upi merupakan warga baru di Desa … Sore itu, ia diajak oleh Arro, tetangga barunya, untuk nongkrong di
bawah pohon nangka, minum kopi sambil melihat senja, seperti anak indie kekinian.

Upi : “Eh, kok di sini suasananya agak ga enak ya? Serem-serem gimana gitu.”
Arro : “Ya gimana ga serem, orang kita nongkrongnya deket sumur keramat.”
Upi : “Hah, sumur? Di mana?”
Arro : “Tuh, di sebelah lu!”
Upi : (kaget) “Lah iya ada sumur! Buset, ngapa lu kaga bilang dari tadi?!” (Agak ketakutan)
Arro : “Ya lu kaga nanya.”
Upi : “Serem juga ya ini sumur.”
Arro : “Lah, lu ga tau? Di sumur ini kan ada cerita mistis.”
Upi : “Cerita mistis apaan? Ga pernah denger tuh”
Arro : “Katanya, kita ga boleh kentut di deket sumur ini. Pamali!”
Upi : “Apaan dah. Ngarang lu ya?
Arro : “Serius. Jadi tuh dulu …”

(FLASHBACK)

Pada zaman dahulu kala, ada 2 orang perempuan yang bersahabat.

(Alya dan Fadhillah jalan santai dekat sumur sambil sesekali bercanda)

Suatu hari, mereka sedang berjalan-jalan santai menikmati pemandangan, sampai tiba-tiba …

*Duuuut* (ini suara kentut)

Alya : “Siapa nih yang kentut? Lu ya?!”


Dila : “Enak aja lu nuduh. Lu kali!”
Alya : “Alah ngaku aja lu! Mana baunya Jahannam banget lagi!”
Dila : “Bukan gua! Bau ban kebakar gini tuh persis kentut lu banget.”
Alya : “Lu jujur aja apa susahnya, sih?!”
Dila : “Ya emang bukan gua kok!” (ngegas)
Alya : “Ya santai dong, ga usah ngegas!” (ngedorong bahu Dila)
Dila : “Apaan sih lu? Ga usah dorong-dorong!” (Bales ngedorong Alya)
Alya : “Ngajak berantem ya lu!”

(Alya dan Dila saling dorong-dorongan)

Mereka bedua pun saling dorong-mendorong. Hingga tanpa sadar, keduanya terpeleset dan jatuh ke
dalam sumur.

Alya-Dila : “AAAAAAAAA!!” (Jatoh slow motion)

(Kembali ke masa sekarang)

Arro : “Nah, gitu ceritanya.”


Upi : “ HAHAHA ngaco ah lu! Ga percaya gua.”
Arro : “Terserah lu dah.”

***

Keesokan harinya, Upi berniat untuk berkeliling desa. Dia ingin lebih mengenal seluk-beluk jalanan desa,
sekalian tebar pesona ke gadis-gadis desa, begitu pikirnya. Namun, saat sedang asyik berjalan, Upi
merasa mulas, efek terlalu banyak makan sambal tadi pagi.

Upi : “Aduh mules banget. Pengen kentut, tapi kalau di sini nanti ketauan sama orang.”

Upi pun mencari tempat yang agak tersembunyi. Kebetulan, dia melihat sumur yang kemarin Arro
ceritakan. Tempatnya agak tertutup oleh dahan-dahan pohon. Pas sekali untuk tempat persembunyian.

Upi : “Eh, ini kan sumur yang kemarin.” (Jalan mendekati sumur, celingukan liat dalem sumurnya)
Upi : “Gua kentut di sini aja kali ya? Sekalian ngebuktiin mitos yang Arro bilang tuh ga bener.”

Karena sudah tidak kuat, Upi akhirnya buang angin di dekat sumur itu, sekaligus bermaksud untuk
membuktikan mitos itu sendiri.

*Duuuut* (ini suara kentut)

Upi : “Naah, lega.” (Sambil ngelus perut)


“Buset, bau pete.”

Setelah kentut, Upi menunggu di dekat sumur itu, menunggu reaksi yang akan terjadi. Namun setelah 15
menit menunggu, tetap tidak terjadi apapun pada dirinya.

Upi : “Tuh kan, kata gua juga ga mungkin mitos itu nyata! Udah lah, gua pulang aja.” (Jalan pulang)

Upi pun pulang ke rumah dengan perasaan bangga dan lega. Ia merasa senang karena berhasil
membuktikan bahwa mitos tersebut hanya cerita bohong.
***

Di hari berikutnya, Upi merasa ada yang aneh dengan sikap orang-orang di sekitarnya. Setiap kali ia
menyapa, mereka akan mengernyit tidak suka sambil menutup hidung dan buru-buru meninggalkannya.
Ia tidak tahu apa masalahnya. Upi pun pergi menemui Arro.

Upi : “Woy, Ro! Sini!” (Manggil Arro dari jauh)


Arro : “Eh, Upi. Ada apa?” (Menghampiri Upi)
Upi : “Ro, gua mau nanya. Kenapa ya—“
Arro : “Eh buset, lu abis makan apa dah? Bau busuk banget mulut lu.” (Nutup hidung)
Upi : (Nyium bau mulutnya sendiri) “Apaan sih? Wangi kok.”
Arro : “Wangi apanya! Bau kayak pete gosong gitu!”
Upi : “Aneh deh. Kenapa semua orang nutup hidung ya kalau di dekat gua?”
Arro : “Mana gua tau. Udah ah, sikat gigi sana!” (Pergi ninggalin Upi)

Setelah bertemu dengan Arro, Upi malah semakin bingung. Padahal tadi pagi ia sudah sikat gigi dan
bahkan menyemprotkan banyak parfum ke badannya. Tapi, kenapa semua orang seperti tidak tahan
berada di dekatnya?

Upi : “Ah, norak banget sih orang desa. Gua pake parfum mahal gini dibilang bau!”

Dengan hati kesal, Upi memutuskan untuk kembali ke rumahnya.

***

Hari-hari berikutnya terasa semakin aneh bagi Upi. Setelah kejadian bau mulut itu, dia selalu sikat gigi
lebih lama dari biasanya. Tapi, anehnya, warga desa tetap saja menjauhinya.

(Upi lagi jalan, ketemu Alya, Dila, Dheti)

Upi : “Eh, ibu-ibu. Pada mau kemana?”


Alya : (lirik-lirikan sama Dila-Dheti) “Ke pasar. Hmm, duluan ya Bang Upi.” (narik Dila pergi)
Dheti : “Eh, anu, saya duluan ya Bang. Lagi buru-buru. Assalamu’alaikum.” (buru-buru pergi)
Upi : (heran) “Wa’alaikumsalam.”

Semakin hari, bau tidak sedap itu semakin tercium, tidak hanya dari mulut Upi, namun sduah menyebar
ke seluruh tubuhnya. Upi sudah berusaha mandi berjam-jam. Namun, bau busuk itu tidak kunjung
hilang. Sekarang warga desa sudah tidak mau betegur sapa dengannya. Bahkan, dari jarak 5 meter saja
mereka sudah kabur saat melihat Upi.

***

Sementara itu, warga desa mulai resah dengan kehadiran Upi di sekitar mereka. Mereka pun berkumpul
untuk membahas permasalahan ini.
Dila : “Saya ga mau tau, pokoknya Upi harus diusir dari desa ini!”
Alya : “Setuju! Baunya tuh mengganggu banget! Saya ga tahan!”
Dheti : “Sabar dulu, ibu-ibu… jangan asal usir gitu, kasihan…”
Arro : “Iya, bu. Kasihan temen saya.”
Dila : “Biarin aja! Dia itu udah ngerugiin kita semua!”
Alya : “Ayo kita demo aja ke rumahnya! Kita usir dia!”
Dila : “Ayo!!”
Arro : “Yaudah ayo! Saya suka keributan!”

Warga desa pun sepakat untuk berdemo ke rumah Upi. Mereka ingin Upi segera meninggalkan Desa …

***

Upi akhirnya terusir dari desa. Karena sudah sangat putus asa dengan keadaannya, ia oun menemui Arro
untuk memohon bantuan.

Arro : “Pi, gimana kalo kita ke Mbah Dukun? Mungkin dia bisa bantu nyembuhin penyakit aneh lu
itu.”
Upi : “Terserah lu deh kita mau ke mana. Asalkan gua bisa sembuh.”

Upi dan Arro pun segera melakukan perjalanan untuk mendatangi kediaman Mbah Dukun.

Arro : “Permisi, Mbah.”


Mbah : “Ya, silakan duduk.”
Arro : “Jadi gini, Mbah. Teman saya—“
Mbah : “Ya, ya, saya sudah tau. HAHAHA (ketawa sombong)”
“Kamu mau sembuh, kan?” (nunjuk Upi)
Upi : “Mau, Mbah!”
Mbah : “Hanya ada satu cara untuk menghilangkan kutukan itu. Kamu harus pergi ke kaki gunung di
desa seberang. Di sana ada sumber mata air yang dijaga oleh Dewi Air. Katakan maksud kedatanganmu
dan ikuti perintahnya.”
Upi : “Baik, Mbah.”
Mbah : “Tapi, ada syaratnya. Kamu harus pergi sendirian.”
Upi : “Siap, Mbah. Terima kasih banyak Mbah.”

Upi mengikuti perintah Mbah Dukun untuk menemui Dewi Air di kaki gunung. Perjalanan menuju
tempat itu tentu tidak mudah. Tapi Upi tetap tidak menyerah. Setelah perjalanan yang cukup panjang,
Upi akhirnya sampai di sumber mata air yang dimaksud.

Upi : “Hei, Dewi Air! Aku ke sini untuk meminta air darimu!”
“Dewi Air! Tunjukkan lah wujudmu!”

(Dewi Air muncul)


Dewi : “Kamu pasti ingin meminta air suci dariku, ya?”
Upi : “Benar! Tolong sembuhkan penyakitku ini!”
Dewi : “Mudah saja. Kamu hanya perlu minum air ini selama 10 hari berturut-turut. Tapi, syaratnya,
kamu hanya boleh meminum 1 gelas dalam 1 hari.”
Upi : “Baik, Dewi Air. Terima kasih banyak.”

(Dewi Air menghilang lagi)

Upi senang sekali. Akhirnya ia akan terbebas dari kutukan ini. Tapi, Upi masih harus menunggu 10 hari
lagi. Baginya, itu waktu yang lama sekali. Ia tidak bisa menunggu selama itu.

Upi : “Ah, lama banget sih harus nunggu 10 hari. Udah lah, langsung gua minum semuanya aja biar
cepat sembuh.”

Upi meminum semua air yang diberika oleh Dewi Air tanpa mempedulikan larangannya. Upi pun
kembali ke desa dengan perasaan bahagia.

***

Keesokan harinya, Upi menyapa seluruh warga desa dengan senyuman lebar. Ia yakin, warga desa pasti
mau menerimanya kembali di desa, karena ia sudah sembuh. Namun, ternyata warga desa masih saja
menghindarinya, aneh sekali. Upi memutuskan untuk bertanya pada Arro yang tahu segalanya.

Arro : “Sumpah, Pi. Lu kayaknya harus terbiasa hidup kayak gini deh.”
Upi : “Hah? Emang gua kenapa lagi sih?”
Arro : “Emang sih, bau badan lu ilang. Tapi sekarang lu terlalu wangi, sumpah. Kayak bau menyan,
nusuk banget gila. Udah ya, gua ga tahan sama bau lu.” (pergi)
Upi : “SALAH MULU GUA TUH, GUSTI NU AGUUUUUNG!!!”

THE END WOY GILA CAPEK.

Anda mungkin juga menyukai