Anda di halaman 1dari 3

Tragedi Donat Dan Lemper

Sepi tak bersuara, yang terdengar hanya jarum jam di sudut kamar. Tumpukan
buku mata pelajaran sudah kusiapkan untuk dimasukkan ke dalam tas. Lampu belajar
telah ku matikan dan terdengar suara merdu Ibu memanggil namaku.

“Rio…” Nama pemberian dari Ayah dan Ibuku.

Aku adalah seorang pelajar yang masih duduk di bangku kelas delapan Sekolah
Menengah Pertama yang tak jauh dari rumah. Setiap hari aku berangkat sekolah
menggunakan sepeda kesayanganku, hadiah ulang tahun dari Ayah karena selalu
mendapat juara kelas.

“Iya bu, sebentar,” Aku pun membuka pintu dan menuju ke dapur. “Rio, sudah
makan?” Tanya Ibu sambil membungkus donat dan lemper. Ibu memang sangat
perhatian apalagi kalau masalah makan. “Sudah bu,” Ku jawab singkat sambil melirik ke
kanan dan kiri mencari Ayah yang sepertinya belum kunjung pulang. “Ayah belum pulang
bu?” tanyaku, “belum, tadi sore Ayah bilang akan pulang terlambat karena ada pekerjaan
tambahan.”

Tak terasa waktu sudah larut malam, mataku sudah tidak kuat lagi untuk melek.
Donat dan lemper sudah selesai ku bungkus, semuanya ada seratus bungkus. “Ayo tidur,
besok kamu harus berangkat pagi membawa dagangan ini,” Suruh Ibu sambil
membereskan sisa-sisa plastik yang tergeletak. “Baik bu.”

Malam ini begitu dingin telah berubah menjadi pagi yang sejuk mengawaliku untuk
menggowes pedal sepeda dengan semangat membawa donat dan lemper isi ayam suwir.
Mungkin terdengar aneh karena sekolah sambil jualan, tapi aku sangat bangga bisa
membantu Ayah dan Ibu.

Gerbang sekolah sudah terbuka lebar terlihat Pak Joko berjalan menuju meja
piket, "Selamat pagi Pak,” sapaku sambil membawa keranjang dagangan. "Pagi juga Rio,
kamu jualan apa hari ini?" Tanya Pak Joko yang sangat rapih dengan busana batiknya.
"Saya membawa lemper isi ayam suwir dan donat coklat, Bapak mau beli?"

"Boleh nih, untuk sarapan. Bapak mau donat dan lempernya tiga ya...”
“Baik Pak, semuanya jadi Rp12.000 ya Pak… " Pak Joko mengambil uang sepuluh ribu
dan dua ribu rupiah dari saku baju batiknya.

Aku melanjutkan langkah kaki menuju ruang kelas dan tiba-tiba…


“Bruuuuuuukkkkkkkkkkk…!!!!!” Tangan kananku terasa berat seperti ada yang menarik
dari belakang, keranjang dagangan yang ku genggam terlempar, donat dan lemper yang
ada di dalamnya terhempas berhamburan. Dika bergerak cepat menginjak-injak semua
daganganku kemudian lari tanpa rasa bersalah. Semua donat dan lemper yang ku buat
tadi malam sudah tak berbentuk makanan.

“Dika…!!!!!” Teriakku ingin mengejar, namun melihat dagangan yang berserakan


aku mengurungkan niat itu. “Kenapa kamu lakukan itu. Daganganku semuanya remuk
akibat ulahmu,” Aku kembali berteriak berharap Dika mendengarnya.

"Itu balasan untuk orang pelit seperti kamu," Kata Dika sambil berlari menjauh dari
hadapanku. Aku pun hanya bisa menahan rasa kesal yang sudah memuncak diubun-
ubun.

"Ya Allah semoga aku di beri kemudahan dan kesabaran atas semua ini. Aamiin..."
Donat dan lemper yang sudah ku buat tadi malam seketika menjadi sia-sia, teman-teman
yang melewatinya mencoba membantu mengumpulkan donat dan lemper yang sudah
tak tampak lagi wujudnya. “Dika memang keterlaluan, dia berbuat seenaknya tanpa
memikirkan perasaan orang lain. Bagaimana jika Ayah dan Ibu tahu tentang ini, pasti
akan sangat kecewa dan sedih melihatnya,” Aku hanya bisa menggerutu dalam hati.

"Rio, kenapa bisa hancur dan berantakan seperti ini?" kata Lula dan Jonathan
yang tadi ikut membantu membereskan kue daganganku, mereka adalah sahabat
terbaikku. "Pasti ulah Dika ya?" Tanya Jonathan dengan muka kesal. "Iya, Dika memang
keterlaluan, tadi dia meminta jatah premannya dan sudah ku kasih, namun dia tetap
memaksa untuk memberikan lima donat dan lemper lagi untuk teman-temannya."
Jawabku sambil menahan perasaan kesal yang beriringan dengan bel berdering.

“Rio, jawaban nomor 4, 6,dan 10, cepat kasih tahu saya!” suaranya yang lirih
terdengar dari belakang telingaku. Aku diam dan tak menanggapinya. “Rio, kamu jangan
pura-pura tidak mendengar suaraku atau nanti kamu akan tahu akibatnya,” Suara lirih itu
terdengar lagi dan sedikit mengancam. Dika yang sedari tadi berisik di belakangku telah
keluar lebih awal dan meminta izin untuk ke kamar mandi, namun tidak kembali lagi ke
kelas.

Hari ini berlalu begitu saja, harapan yang sudah ku bangun tadi malam seketika
menjadi musibah yang harus tetap di syukuri. Aku pun teringat kalimat dari guru ngajiku
“Sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan,” Semoga Allah swt sudah
menyiapkan rencana yang lebih baik setelah ini.

Langkah kaki yang tak begitu bersemangat membawaku sampai di parkiran


sepeda. Gowesan pedal pertamaku sangatlah pelan, mataku tertuju ke depan tapi
pikiranku masih membayangkan kejadian tadi pagi. “Aaahhh… sudahlah!, semua sudah
terjadi dan berlalu. Besok aku masih mempunyai harapan dan kesempatan untuk jualan
lagi,” Aku menambah tenaga untuk menggowes sepeda kesayanganku.

Di perjalanan arah pulang aku mencoba menarik rem depan dan belakang karena
hampir menambrak orang, ternyata rem tidak berfungsi. Seketika aku dibuat terkejut oleh
Dika yang tak sengaja sudah ku tabrak. Tanpa berpikir panjang, aku menjatuhkan diri
agar tidak ada korban selanjutnya. Kaki dan tangan Dika berdarah, begitupun dengan
beberapa anggota badanku yang sedikit lecet. “Pak, tolong bawa Dika ke rumah saya
yang tak jauh dari sini,” Bujukku kepada Bapak-Bapak yang mengerumuni kami.

“Rio maafkan aku atas kejadian tadi pagi dan kecelakaan ini karena aku yang
sudah membuat rem sepeda kamu blong.” Aku menatap Dika dengan serius, raut wajah
Dika terlihat menyesal sudah melakukan semua perbuatannya dan bagaimanapun juga
aku tidak mengecek kondisi sepedaku terlebih dahulu.

“Iya Dika, aku sudah memaafkanmu. Semoga kamu tidak akan mengulanginya
lagi,” Dika mengangguk dan berjanji akan mengubah perilakunya. Aku bersama Ibu
mengantar Dika pulang ke rumahnya dan meminta maaf kepada orang tua Dika atas
musibah yang terjadi, begitupun dengan Dika yang sudah menyesali perbuatannya.

(Tema yang dipilih: Menjadi Remaja yang Mandiri dan Bertanggung jawab)

Anda mungkin juga menyukai