Anda di halaman 1dari 4

Nama : Daffa Husni Robbani

Kelas : XI TKR 3
Absen : 7

AKU BERBEDA

Mataku memandang lepas lewat jendela kamar. Di luar masih sunyi, hanya sesekali
terdengar cicit burung gereja. Tanganku masih terasa dingin, kakiku masih bergetar,
perasaan cemas itu belum hilang sejak penagih hutang bertubuh besar itu memaksa masuk
ke rumah, menagih hutang ayah dan ibu. Mengobrak-abrik rumahku yang mungil,
mengangkut semua barang-barang berharga yang kumiliki. Menyisakan tetesan air mata
ibu. Aku hanya termenung, sampai tak terasa kedua pipiku mulai basah oleh tetesan air
mata.

Aku menengadahkan kepala ke atas, menatap langit yang mulai tersapu bersih oleh
cahaya matahari yang lembut "Tuhan dengarkan doa hamba, tak tau harus berbuat apa lagi
bisik dalam hatiku penuh pengharapan.

"Tok... tok... tok..." terdengar suara ketuk pintu kamarku "Fi ayo makan terdengar
suara ibu memanggil. "Iya bu" kataku seraya menghampiri ibu di ruang keluarga yang
beralas tikar usang. "Maafkan ibu nak, hari ini Cuma ada singkong yang bisa kita nikmati
kata ibu dengan suara lirih. "Tak apa kok bu, yang penting bisa makan dan halal" sambar
Mas Zaki, kakakku. Sementara aku hanya tersenyum, tak tega melihat wajah Bapak yang
meratapi nasib keluarganya" Bapak ayuk makan, ini lezat looohhh pak, lebih lezat dari
biasanya" godaku pada ayah. Kemudian kami melahap semua makanan yang ada, walaupun
hanya singkong rebus.

Aku bergegas menuju teras depan menghampiri Mas Zaki yang sudah tak sabar
menungguku dari tadi. Dengan menggunakan sepeda usang aku dan Mas Zaki pergi ke
sekolah. Kami tiba di sekolah. "intonasi adalah..... bla bla bla penjelasan pak guru berlalu
begitu saja di telingaku, pikiranku sendiri sedang gelisah. Terlihat semua mata mengarah
padaku, pakaian yang lusuh, penuh jahitan. Tiba-tiba salah seorang temanku maju dan
berbicara serius dengan pak guru "Mohon perhatiannya sebentar" kata pak guru. "Teman
kalian telah kehilangan uang sebesar 50 ribu, barang siapa yang menemukannya atau
mengambilnya, tolong segera kembalikan" kata pak guru sambil menatap satu persatu siswa
yang ada di kelas.

Seketika semua mata menatapku dengan tatapan tajam apa yang mereka pikirkan?
menuduhku yang mengambil uang itu? apa karena aku anak seorang buruh tani?" tanyaku
dalam hati. "Siapa lagi kalau bukan Alfi, dia pasti yang mengambilnya" terdengar suara dari
belakangku Aku tidak mengambil uang itu" tukasku. "Diakan anak miskin pasti dia yang
mengambilnya” terdengar lagi suara dari belakangku. “Sungguh aku tidak melakukan hal
itu” ujarku dengan cemas.

“Sudah! Sudah! Semuanya diam!” kata pak guru dengan suara tinggi. “Letakan tas
kalian semua di atas meja” kata pak guru dengan cepat. Semuanya meletakan tas di atas
meja, dengan bantuan salah seorang murid pak guru menggeledah satu per satu tas yang
ada di atas meja. Sekarang giliran tasku yang digeledah, seketika semua mata kembali
menatapku, aku hanya tertunduk. Sesaat kemudian pak guru tak menemukan apapun di
tasku. Betapa leganya hatiku.

Tiba-tiba pak guru menemukan uang itu di dalam tas tepat depanku, semua kaget
melihat uang itu ada di tas Baim salah satu teman akrabku. “Baim kamu jangan pulang dulu
ikut bapak ke kantor dan untuk hari ini cukup sekian terima kasih” pak guru mengakhiri
mata pelajarannya. Teman-teman segera berhamburan meninggalkan kelas.

“Aku tau kamu tidak mungkin berbuat seperti itu” ujar Riko sahabatku sambil menuju
pintu gerbang sekolah. “Makasih yah kamu sudah percaya padaku” kataku bersemangat.
Tiba-tiba datang sebuah mobil sedan berwarna merah, berhenti tepat di sampingku. Terlihat
seorang wanita paruh baya keluar menghampiriku berdiri *Sayang ayukk kita pulang”
ujarnya memandang Riko.

Aku pun ikut menyapanya, tapi hanya dibalas dengan tatapan aneh dan jijik. Dengan
kasar wanita paruh baya itu menarik tangan Riko. "Rikoo kenapa berteman dengan Alfi?
kembali menatapku. "Dia anak baik kok mah" terlihat Riko membelaku. "Sudahlah, mama
tidak mau melihat kamu berteman dengan Alfi. Lihat saja penampilannya, apa kamu pantas
berteman dengannya? kita berbeda!" ujarnya agak kesal sambil menggandeng tangan Riko
masuk ke mobil. "Rikoo..." panggilku sebelum Riko meluncur pergi. Aku merasa segalanya
berubah, dengan setengah berlari aku pergi. Hatiku sakit mendengar kata-kata wanita paruh
baya itu.

Sesampainya di halaman rumahku yang mungil, aku bergegas masuk tanpa


menghiraukan kehadiran ibu dan bapak di teras depan. Tak lama kemudian ibu menyusul ke
dalam. Ibu melihatku sedang menyekat air mata. "Kamu kenapa Fi?" tanya ibu. "Nggak apa-
apa kok bu, Alfi lagi kurang enak badan aja" jawabku seraya tertunduk tak berani menatap
mata ibu. "ya sudah, kamu istirahat saja dulu", ujar ibu meninggalkanku di kamar. Tak lama
kemudian kakakku datang. "Kamu kenapa Fi?" tanyanya meletakan tas di atas meja. "Tak
apa kok" jawabku lemas. "Ayolah katakan, apa ada yang mengganggumu di sekolah?" tanya
kakak mendesak sambil duduk di sampingku. "oh iya kak, apa kakak pernah menyesal
dilahirkan sebagai anak keluarga yang serba kekurangan?" tanyaku mengalihkan
pembicaraan. "Emm kakak malah bersyukur, lahirkan di tengah- tengah keluarga yang
sederhana, hidup di lingkungan masyarakat biasa "jawabnya sambil tersenyum. "Kenapa?"
Tanyaku penasaran. "Karena..." jawabnya pendek. "Karena apa?" kembali aku mendesak.
"Karena..." lagi-lagi kakakku hanya menjawab karena. "Iya karena apa kak????" tanyaku
agak kesal. "Karena kakak dapat merasakan bagaimana perjuangan hidup di lingkungan
serba kekurangan, orang-orang miskin nan lugu, selalu dipusingkan dengan perut. Semua
itu pelajaran hidup yang tak mungkin di dapat dari buku apapun ataupun di sekolah
manapun" ujar kakakku. "Tapi apakah kakak tahan dengan fitnah keji? sedangkan kita tidak
pernah melakukannya. Apa kakak tak pernah merasa sedih? mereka menjauhi kita, kita
dianggap sebagai penyakit yang menular, siapapun yang mendekat akan tertular" tanyaku
sambil berlinang air mata membasahi pipi "Kata siapa kakak tahan dengan fitnah keji, kata
siapa kakak tak sedih, semua orang akan berpikir dua kali untuk mendekat dengan kita.
Semua ini hanya kerikil yang harus kita lalui. Jalan kita masih panjang, kita harus kembali
berdiri dan terus berjalan" ujarnya menghiburku.

"Sayang ayo kita makan dulu" terdengar suara ibu memanggilku dan kakak yang
akhirnya menyudahi pembicaraaan. Terlihat hanya ibu seorang yang ada diruang keluarga
“Bapak mana bu?” Tanya kakakku “Bapak lagi di kamar sedang tak enak badan” jawab ibu
dengan memelas.

Beberapa hari ini kesehatan bapak semakin memburuk, terlihat ibu kualahan
menggantikan bapak sebagai tulang punggung keluarga. “Ibu biar Alfi bantu yah bu” kataku
seraya membantu ibu “Tak usah, tugasmu sekarang hanya menuntut ilmu. Itu kakakmu
udah nunggu di depan” ujar ibu seraya menatap ke arah pintu “Ya bu, Alfi berangkat
sekolah dulu yah” pamitku pada ibu.

Aku bergegas menuju teras depan menghampiri kakakku yang sudah tadi menunggu,
kami berangkat sekolah seperti biasanya. Di sekolah aku langsung masuk kelas. Sudah
beberapa hari ini aku tak bertegur sapa dengan sahabatku Riko. Dia selalu menghindar
ketika bertemu denganku.

“Teng... teng... teng...” tanda bunyi bel istirahat. Aku bergegas menuju kantin yang
biasanya penuh sesak tapi beberapa hari ini terlihat sepi, karena kelas XII sudah libur. Aku
duduk di dekat pintu, terlihat Riko dan teman-temanya menuju kantin kemudian duduk di
depanku. Tak lama aku menghampiri Riko yang sedang asyik berbincang- bincang. Sesaat
mereka berdiam diri, Riko sendiri memalingkan wajah dan menatap keluar jendela. Suasana
yang kaku itu membuat kedua teman Riko saling senggol.

“Ko... kami pindah ke pojok ya...” serentak kedua teman Riko itu berdiri. “Hey! Kenapa
Baim?” ujar Riko menatap kedua temanya. “Mungkin Alfi mau bicara serius denganmu,
makanya kita pindah” seraya meninggalkan aku dan Riko. “Ko...” panggilku lirih, Riko tak
menjawab hanya menatapku dan memalingkan wajahnya ke jendela. “Ko kenapa kamu
selalu menghindar dariku? Apa ada yang salah denganku?” tanyaku mengklarifikasi. “Tak
ada yang salah darimu, kalo tak ada yang mau dibicarakan lagi, aku mau masuk kelas dulu”
jawab Riko ketus. “Ko...” panggilku. “Fi kamu taukan, kalo aku nggak boleh berteman
denganmu dan kamu taukan kita itu beda?” ujar Riko sambil berdiri, “ini bukan Riko yang
kukenal, Riko yang kukenal itu tak pernah memandang status dari mana berasal, apa
pekerjaan orang tuanya. Dia selalu berteman dengan siapapun” kataku dengan suara tinggi,
seketika semua mata menatap kearah ku. “Maafin aku yah Fi” Riko berlari memelukku. Aku
hanya terdiam dan berlinangan air mata.

“Teng... teng... teng...” terdengar suara bel pulang berbunyi. Aku dan Riko bergegas
pulang. Tapi ibu guru mencegahku di jalan. “Fi ikut ibu sebentar” seraya berjalan melewati
lorong-lorong sempit yang kukenal. “Apa ibu mau ke rumahku?” tanyaku “Ibu ingin ke
rumahmu” kata bu guru memandangku.

Sesampainya di rumah, terlihat banyak orang sedang duduk di teras rumahku. Aku
lihat ada bendera kuning menancap di depan rumahku. “Ada apa ini? Siapa yang meninggal?
Ibu... bapak... kakak...” teriakku dengan kencang. “Sabar Fi, sabar. Semuanya pasti akan
kembali pada-Nya” ujar ibu guru menenangkanku. ” bapak, ibu, kakak” kembali aku
berteriak seraya berlari masuk rumah. Terlihat seorang terbaring di atas tikar usang tertutup
kain putih. Ada ibu dan kakak sedang menangis di samping jenazah yang sudah terbujur
kaku. “Bapakkk...” aku menangis seketika, berlari menghampiri ibu dan kakak. Ibu
memelukku dengan erat. “Alfi sayang bapak, bapak jangan pergi...” teriakku di pelukkan ibu.
Semua orang mencoba menenangkanku, tapi aku tak tau apa yang terjadi. Aku hanya bisa
menangis dan menangis. Ternyata aku memang anak yang berbeda, jauh dari semua yang
kuimpikan.
UNSUR INTRINSIK CERITA:
1. TEMA : Kemiskinan, Prasangka, dan Perjuangan hidup
2. TOKOH : Alfi, Ayah, Ibu, Kakak Zaki, Riko, Baim, Teman Teman, Guru,
dan Mamah Riko
3. PENOKOHAN :
a) Alfi : Protagonis
b) Ayah : Protagonis
c) Ibu : Protagonis
d) Kakak/Mas Zaki : Protagonis
e) Riko : Campuran
f) Baim : Antagonis
g) Teman Teman : Antagonis
h) Guru : Protagonis
i) Mamah Riko : Antagonis
4. ALUR : Alur Maju
5. SUDUT PANDANG : Cerita ini diceritakan dari sudut pandang orang pertama, yaitu
Alfi.
6. LATAR :
a) Tempat : Di rumah Alfi dan Sekolahnya.
b) Waktu : Pagi hari
c) Suasana : Berubah Ubah diawal suasana Tenang dan damai Lalu berubah
menjadi Kecemasan dan suasana Disekolah penuh Tekanan
AMANAT : Dengan demikian, amanat dari cerita ini adalah tentang
kekuatan dalam menghadapi perbedaan, menjaga persahabatan sejati, dan
menghargai nilai-nilai yang sebenarnya. Kita diajarkan untuk tidak terpengaruh oleh
perbedaan latar belakang atau status sosial, tetapi tetap memprioritaskan hubungan
yang bermakna dan menghargai nilai-nilai yang benar-benar penting dalam hidup.

Anda mungkin juga menyukai