SMA elit yang cukup terkenal di Korea, buktinya murid disini berasal dari keluarga kaya. Sehingga motor gedhe dan mobil mewah adalah hal biasa. Misalnya saja pagi ini, saat berangkat sekolah selalu ada barisan mobil dari berbagai merek ternama yang berjejer mulai dari depan gerbang sampai beberapa meter kebelakang, deretan mobil mewah itu berasal dari para wali murid yang mengantarkan anak masing-masing. Namun ada salah satu siswa yang datang ke sekolah dengan menyetir mobil sendiri. Dari kejauhan suara mobil itu sudah terdengar, saat mobil itu melewati barisan mobil di depan gerbang semua tatapan wali murid mengikuti mobil tersebut memasuki gerbang sekolah dengan diikuti empat siswa naik motor yang tak kalah keren. Sesampainya di tempat parkir, seorang siswa keluar dari mobil tersebut, celana yang menempel di kaki jenjangnya, seragam rapi dengan jaket hitam menempel di badan tegapnya, tas yang tergantung di lengan kanannya, rambut yang tersisir rapi kedepan dengan belahan dipinggir, tatapan mata dingin, hidung mancung, mulut menggoda−uwuuu sekali❤−dia adalah salah satu siwa idaman SMA ini, Lee Gi Hoon. *** Di Negara yang berbeda…. Seorang gadis SMA berdiri di depan pagar rumahnya sambil mengotak-atik ponsel, ia menunggu temanya untuk berangkat sekolah bersama. Gadis manis berhijab dengan tinggi 160 cm itu bernama Meriana Putri Anton. Keseharian Ana layaknya siswi SMA biasanya, berangkat sekolah pagi, belajar, pergi les, dan baru pulang ke rumah sore harinya. “Assalamualaikum.” Dibukalah pintu putih rumahnya, dilangkahkan kakinya dengan mengerahkan sisa tenaga untuk menggerakkan -bahkan tenaganya saja tak mampu untuk menggendong tas-, diseretlah tas sekolah itu mulai dari teras sampai masuk rumah. “Waalaikumusalam, capek banget kak? Sampek tasnya diseret” kalimat itu membuat Ana terkaget karena sejak dia masuk rumah ia tak sadar ada orang sedang duduk disofa, yang tak lain adalah papanya. “Eh ada papa, iya ni tadi di tempat les doubel jamnya, ditambah perut keroncongan, lapeeerrr.” Jawab Ana persis seperti anak umur 5 tahun yang lagi ngadu ke papa soal sekolahnya. Ana memang sudah berumur 18 tahun, tetapi sifatnya tidak menggambarkan hal yang sama. “Kalo papa udah dirumah pasti mamah juga pulang, mama mana pa?” “Itu di dapur, lagi masak. Udah kamu bersih-bersih dulu baru makan, laper kan?” Ejek papanya “Siap boss.” Ana mengangkat tangan ke dahi, Energi Ana kembali, dia langsung berlari kekamarnya dilantai dua. Hanya butuh waktu 15 menit Ana sudah turun ke meja makan dengan piyama bergambar we bear bears full plus jilbab bergo hitam. Gadis itu sudah mendekat ke mamanya sambil membawa piring kosong agar diisi oleh makanan yang mamanya buat. Memang kalo masalah makanan dia nggak bisa kalah sedetik-pun. Semua anggota keluarga duduk di kursi masing- masing. Sepuluh menit suasana dipenuhi suara dentingan sendok garpu diatas piring sampai menit selanjutnya ekspresi wajah Anton−papa Ana−seperti ingin menyampaikan sesuatu tapi ragu. “Kak, papa mama mau ngomong sesuatu, tapi kakak janji dulu kakak ngga boleh marah.” Kata-kata Anton yang memecah keheningan dan membuat Ana penasaran karena sepertinya berhubungan dengannya. “Apasih pah, kenapa kalo ngomong selalu bikin orang penasaran sii?” Sahut Ana dengan posisi sedang menggit ayam goreng ditangannya. Tatapan mata dan ekspresi Anton lebih serius dan membuat Ana meletakkan ayam dari genggaman tangannya ke piring, Widya−mama Ana−dan Andre−adik Ana− ikut berhenti makan. “Apa sih pa?” tanya adik Ana yang juga penasaran. “Em kakak masih ingat adik papa yang tinggal di Korea?” “Masih, Bibi Nana kan?” Anton mengangguk, “Kakak tau kan kalau Bibi mu itu baru dikaruniai anak setelah 10 tahun menikah?” Ana mengangguk. “Dan ternyata anaknya laki-laki. Nah Bibi mu itu kepingin banget punya anak perempuan, tetapi takdir Allah berkata lain. Waktu itu bibimu meminta izin ke papa. Izin untuk merawat kamu setelah usia mu 18 tahun. Dan tahun ini umur kakak kan sudah 18 tahun” Pejelasan Anton membuat Ana dan Andre melongo kaget. Sekarang Ana sudah tidak napsu untuk melanjutkan makannya lagi. “Bentar-bentar, jadi maksud papa, Ana harus tinggal sama Bibi Nana di Korea? Sampai kapan? Terus sekolah Ana gimana pa?” “Iya, tinggal di Korea, kakak kan pernah ngomong ke mama kalau mau banget tinggal di Korea, sekolah di Korea..ya kann?” tanya Widya. “Ihh mamaaa… ya maksudnya itu, Ana mau kuliahnya di Korea gitu. Seenggak e Ana lulus SMA duluu” rengek Ana “Lha gimana to kak? Toh kakak juga deket sama Bibi Nana, masalah sekolah sudah diurus bibi mu disana. Kakak tinggal berangkat, keperluan yang lain juga sudah disiapkan bibimu. Kenapa, kakak ngga mau?” Kata Widya sembari membersihkan meja makan. “Ya Allah…Oke masalah tinggal di Korea Ana ngga masalah. Tapi pertanyaannya, kenapa harus Ana? Kan ada saudara yang lain, bibi Nana juga deket sama mereka. Terus ini, mama papa kok ngga ada sedih sedihnya sii…anak gadisnya mau tinggal jauh loo…Ya Allah gitu amat jadi orang tuaa” cemberut Ana. “Hayoo tadi sudah janji ngga akan marah” tukas Anton. “Ana ngga marah pa…serius deh.” “Ngga marah tapi cemberut” jawab Anton. “Udah kakak ngga perlu khawatir masalah sekolah, nanti di Korea kakak ngga akan ngulang kelas kok, kakak tetap kelas 3. Kan mama tadi udah bilang.” Sekarang Widya sudah duduk di dekat Ana dan memeluk putrinya, “Kalau masalah sedih, mama papa pasti sedih lah, orang tua mana yang ga sedih kalau ditinggal jauh putrinya, apalagi putrinya manis dan manja kayak kakak.” “Jadi kakak mau yaa?” tanya Anton. “Iya papa, Ana kan gadis penurut” Ana mengangkat tangannya membentuk tanda peace, “By the way Ana kapan berangkatnya?” Anton dan Widya menjawab berbarengan “Minggu depan” dan dengan santainyaa. Hanya satu ekspresi Ana sekarang, yaitu kaget dengan mulut bersuara “HAAA..!” *** Hari H, semua koper sudah dinaikkan ke trolley yang ada di bandara, terlihat diatas trolley ada tiga buah koper berukuran sedang dan satu tas ransel dipunggung Ana. Ana yang melihat tumpukan koper beralih melihat mamanya kesal, “Mama, kenapa banyak banget? Nanti gimana bawanya coba?” nadanya sama persis dengan anak-anak yang lagi asik mainan tapi disuruh ibunya beli micin diwarung. Jujur memang semua koper itu mama dan papanya yang menyiapkan, tanpa campurtangan Ana tentunya. “Ya mama kan nggak tau kamu nanti disana perlu apa aja, jadi mama masukin aja semua dari lemarimu.” Bela Widya. Kini pandangan Ana beralih ke dua sahabatnya yang sudah menyodorkan sebuah paper bag, Ana pun meraihnya, “Ini apa?” “Kamera pollaroid.” Jawab Oci polos “Untuk?” Sahut Ana “Ya, untuk fotolah.” Kini giliran Ifa yang menjawab. Ana memikirkan arti tersembunyi dari kalimat sahabatnya, “Oo, kalian mau kita bertiga foto terus fotonya buat kenang-kenangan..ouu so sweet.” Tapi kedua sahabatnya malah tersnyum samar, “Bukan Anaa, kamera ini kamu bawa…di Korea pasti banyak oppa-oppa, sapa tau kamu dijalan ketemu sama oppa-oppa ganteng atau kalo kamu beruntung kamu bisa ketemu member EXO terus kamu fotodeh dengan kamera ini. Terus itu hasil fotonya bisa buat hadiah ke kita pas kamu balik ke Surabaya.” Jelas Oci yang disahut anggukan dari Ifa. Emang dasar sahabat Luchnut, entah apa rencana tuhan sampai Ana harus dipertemukan dengan dua sahabat macam Oci dan Ifa. But, on the other side, Ana senang memiliki sahabat yang berisik, sebab hari-hari Ana jadi lebih bewarna dan menyenangkan. Perjalanan ini akan memakan waktu kurang lebih 9 jam, waktu yang panjang dan akan tambah panjang bila pergi sendiri, dan perkiraan tiba di Korea saat malam. Ana sudah duduk di dalam pesawat, tepatnya di kursi paling belakang dekat jendela sebelah kanan, ia juga sudah mengenakan safety belt karena barusan ada pengumuman dari pilot kalo pesawat akan lepas landas. Perlahan-lahan pesawat meninggalkan daratan dan mulai mengambang di udara. *** Di Korea… Wanita separuh baya turun dari lantai dua dengan gaun biru se-lutut, dengan hils putih yang senada dengan tas kecil ditangan kirinya, “Gi-Hoon, Eomma sama Appa pergi dulu, kamu jangan…” Kalimat Choi MinAh-Ibu Jono- terpotong. “Yeobo kita sudah terlambat” teriak Lee Min- Goo−ayah Gi-Hoon−dari luar. “Ya sebentar…Adeul pokoknya kamu jangan kemana-mana, ingat nanti malem kita berencana makan malam Bersama kan…. nanti kamu langsung saja ke restorannya ya.” “Ya Eomma, Appa hati-hati menyetirnya” teriak Gi- Hoon dari depan pintu. Rumah Lee MinGoo bergaya static house dengan angka 23 di tembok depan adalah rumah milik Le Min-Goo, seorang pengacara sekaligus pemilik firma M&G, firma hukum no. 1 di Seoul. Malam ini weekend, karena itu kedua orang tu Jono dapat menyempatkan waktu untuk makan malam Bersama. Karena itu juga malam ini Gi-Hoon tidak keluar dengan teman-temannya, karena ia sudah janji makan malam Bersama orang tuanya. Memang dari luar Gi-Hoon terlihat seperti orang yang dingin dan cuek dengan sekitar, tapi kalau dengan orang tuanya ia berubah menjadi anak yang penurut, bisa dibilang dia sangat patuh dengan apapun yang keluar dari mulut orang tuanya-uwaa idaman bangett😍-. Orang tuanya sama sekali tidak mengekang Gi-Hoon. Sambil menunggu malam, Gi-Hoon memilih bermain game yang ada di komputer, tapi sebelum itu ia sudah mengatur alarm pukul 19.30. Baru setelahnya ia bermain salah satu game dengan headphone hitam yang sudah menempel di kedua telinganya, “Sialan, skill lawanku bagus- bagus” pekik Gi-Hoon sembari menatap layar computer dan tangan kanan memegang mouse. Layar ponsel Jono menyala dan tak lama setelahnya muncul suara alarm. Ternyata jam sudah menunjukkan pukul 19.30 dan Jono keasikan main game di komputernya, karena waktu sudah mepet, ia tak sempat berganti baju, ia hanya menambahkan auter jas hitam agar terlihat lebih formal- sedikit. Jono langsung menuju ke parkiran dan mengendarai mobilnya menuju alamat restoran guksu yang telah dikirimkan oleh orang tuanya lewat pesan singkat. Sesampainya di tempat guksu terkenal, Jono langsung masuk dan benar saja orang tuanya sudah sampai duluan. “Eomma!” panggil Gi-Hoon sembari menuju meja. Melambaikan tangan, “Adeul, disini” menunjuk kursi didepannya. Jono meraba saku jasnya berniat mengeluarkan kunci mobil dan ponselnya. Namun, ternyata yang ada hanyalah kunci mobilnya, ia meninggalkan ponselnya di mobil dan Jono harus keluar mengambil ponselnya. Saat Jono ingin kembali masuk ke dalam restoran, ia melihat seorang gadis menjatuhkan gatungan tas percis di depan pintu resto dan sepertinya gadis itu tidak menyadarinya. Dilihat dari gantungan tersebut gadis tadi merupakan fans dari salah satu boyband yang terkenal di Korea tapi Jono lupa Namanya. Selain itu ada satu gantungan huruf ‘A’ terbuat dari resin dan juga hiasan bunga kering. Jono ingin memanggil gadis pemilik gantungan ini, tapi sayangnya gadis itu sudah tidak terlihat batang hidungnya. ***