Anda di halaman 1dari 8

01.

The Reason

Sevit International High School adalah salah satu


SMA elit yang cukup terkenal di Korea, buktinya murid disini
berasal dari keluarga kaya. Sehingga motor gedhe dan mobil
mewah adalah hal biasa. Misalnya saja pagi ini, saat
berangkat sekolah selalu ada barisan mobil dari berbagai
merek ternama yang berjejer mulai dari depan gerbang sampai
beberapa meter kebelakang, deretan mobil mewah itu berasal
dari para wali murid yang mengantarkan anak masing-masing.
Namun ada salah satu siswa yang datang ke sekolah dengan
menyetir mobil sendiri. Dari kejauhan suara mobil itu sudah
terdengar, saat mobil itu melewati barisan mobil di depan
gerbang semua tatapan wali murid mengikuti mobil tersebut
memasuki gerbang sekolah dengan diikuti empat siswa naik
motor yang tak kalah keren.
Sesampainya di tempat parkir, seorang siswa keluar
dari mobil tersebut, celana yang menempel di kaki
jenjangnya, seragam rapi dengan jaket hitam menempel di
badan tegapnya, tas yang tergantung di lengan kanannya,
rambut yang tersisir rapi kedepan dengan belahan dipinggir,
tatapan mata dingin, hidung mancung, mulut
menggoda−uwuuu sekali❤−dia adalah salah satu siwa
idaman SMA ini, Lee Gi Hoon.
***
Di Negara yang berbeda….
Seorang gadis SMA berdiri di depan pagar rumahnya
sambil mengotak-atik ponsel, ia menunggu temanya untuk
berangkat sekolah bersama. Gadis manis berhijab dengan
tinggi 160 cm itu bernama Meriana Putri Anton. Keseharian
Ana layaknya siswi SMA biasanya, berangkat sekolah pagi,
belajar, pergi les, dan baru pulang ke rumah sore harinya.
“Assalamualaikum.” Dibukalah pintu putih
rumahnya, dilangkahkan kakinya dengan mengerahkan sisa
tenaga untuk menggerakkan -bahkan tenaganya saja tak
mampu untuk menggendong tas-, diseretlah tas sekolah itu
mulai dari teras sampai masuk rumah.
“Waalaikumusalam, capek banget kak? Sampek
tasnya diseret” kalimat itu membuat Ana terkaget karena
sejak dia masuk rumah ia tak sadar ada orang sedang duduk
disofa, yang tak lain adalah papanya.
“Eh ada papa, iya ni tadi di tempat les doubel jamnya,
ditambah perut keroncongan, lapeeerrr.” Jawab Ana persis
seperti anak umur 5 tahun yang lagi ngadu ke papa soal
sekolahnya. Ana memang sudah berumur 18 tahun, tetapi
sifatnya tidak menggambarkan hal yang sama. “Kalo papa
udah dirumah pasti mamah juga pulang, mama mana pa?”
“Itu di dapur, lagi masak. Udah kamu bersih-bersih
dulu baru makan, laper kan?” Ejek papanya
“Siap boss.” Ana mengangkat tangan ke dahi, Energi
Ana kembali, dia langsung berlari kekamarnya dilantai dua.
Hanya butuh waktu 15 menit Ana sudah turun ke meja makan
dengan piyama bergambar we bear bears full plus jilbab bergo
hitam. Gadis itu sudah mendekat ke mamanya sambil
membawa piring kosong agar diisi oleh makanan yang
mamanya buat. Memang kalo masalah makanan dia nggak
bisa kalah sedetik-pun.
Semua anggota keluarga duduk di kursi masing-
masing. Sepuluh menit suasana dipenuhi suara dentingan
sendok garpu diatas piring sampai menit selanjutnya ekspresi
wajah Anton−papa Ana−seperti ingin menyampaikan sesuatu
tapi ragu.
“Kak, papa mama mau ngomong sesuatu, tapi kakak
janji dulu kakak ngga boleh marah.” Kata-kata Anton yang
memecah keheningan dan membuat Ana penasaran karena
sepertinya berhubungan dengannya.
“Apasih pah, kenapa kalo ngomong selalu bikin orang
penasaran sii?” Sahut Ana dengan posisi sedang menggit
ayam goreng ditangannya. Tatapan mata dan ekspresi Anton
lebih serius dan membuat Ana meletakkan ayam dari
genggaman tangannya ke piring, Widya−mama Ana−dan
Andre−adik Ana− ikut berhenti makan. “Apa sih pa?” tanya
adik Ana yang juga penasaran.
“Em kakak masih ingat adik papa yang tinggal di
Korea?”
“Masih, Bibi Nana kan?”
Anton mengangguk, “Kakak tau kan kalau Bibi mu
itu baru dikaruniai anak setelah 10 tahun menikah?” Ana
mengangguk. “Dan ternyata anaknya laki-laki. Nah Bibi mu
itu kepingin banget punya anak perempuan, tetapi takdir Allah
berkata lain. Waktu itu bibimu meminta izin ke papa. Izin
untuk merawat kamu setelah usia mu 18 tahun. Dan tahun ini
umur kakak kan sudah 18 tahun”
Pejelasan Anton membuat Ana dan Andre melongo
kaget. Sekarang Ana sudah tidak napsu untuk melanjutkan
makannya lagi.
“Bentar-bentar, jadi maksud papa, Ana harus tinggal
sama Bibi Nana di Korea? Sampai kapan? Terus sekolah Ana
gimana pa?”
“Iya, tinggal di Korea, kakak kan pernah ngomong ke
mama kalau mau banget tinggal di Korea, sekolah di
Korea..ya kann?” tanya Widya.
“Ihh mamaaa… ya maksudnya itu, Ana mau
kuliahnya di Korea gitu. Seenggak e Ana lulus SMA duluu”
rengek Ana
“Lha gimana to kak? Toh kakak juga deket sama Bibi
Nana, masalah sekolah sudah diurus bibi mu disana. Kakak
tinggal berangkat, keperluan yang lain juga sudah disiapkan
bibimu. Kenapa, kakak ngga mau?” Kata Widya sembari
membersihkan meja makan.
“Ya Allah…Oke masalah tinggal di Korea Ana ngga
masalah. Tapi pertanyaannya, kenapa harus Ana? Kan ada
saudara yang lain, bibi Nana juga deket sama mereka. Terus
ini, mama papa kok ngga ada sedih sedihnya sii…anak
gadisnya mau tinggal jauh loo…Ya Allah gitu amat jadi orang
tuaa” cemberut Ana.
“Hayoo tadi sudah janji ngga akan marah” tukas
Anton.
“Ana ngga marah pa…serius deh.”
“Ngga marah tapi cemberut” jawab Anton.
“Udah kakak ngga perlu khawatir masalah sekolah,
nanti di Korea kakak ngga akan ngulang kelas kok, kakak
tetap kelas 3. Kan mama tadi udah bilang.” Sekarang Widya
sudah duduk di dekat Ana dan memeluk putrinya, “Kalau
masalah sedih, mama papa pasti sedih lah, orang tua mana
yang ga sedih kalau ditinggal jauh putrinya, apalagi putrinya
manis dan manja kayak kakak.”
“Jadi kakak mau yaa?” tanya Anton.
“Iya papa, Ana kan gadis penurut” Ana mengangkat
tangannya membentuk tanda peace, “By the way Ana kapan
berangkatnya?”
Anton dan Widya menjawab berbarengan “Minggu
depan” dan dengan santainyaa. Hanya satu ekspresi Ana
sekarang, yaitu kaget dengan mulut bersuara “HAAA..!”
***
Hari H, semua koper sudah dinaikkan ke trolley yang
ada di bandara, terlihat diatas trolley ada tiga buah koper
berukuran sedang dan satu tas ransel dipunggung Ana. Ana
yang melihat tumpukan koper beralih melihat mamanya kesal,
“Mama, kenapa banyak banget? Nanti gimana bawanya
coba?” nadanya sama persis dengan anak-anak yang lagi asik
mainan tapi disuruh ibunya beli micin diwarung. Jujur
memang semua koper itu mama dan papanya yang
menyiapkan, tanpa campurtangan Ana tentunya.
“Ya mama kan nggak tau kamu nanti disana perlu apa
aja, jadi mama masukin aja semua dari lemarimu.” Bela
Widya. Kini pandangan Ana beralih ke dua sahabatnya yang
sudah menyodorkan sebuah paper bag, Ana pun meraihnya,
“Ini apa?”
“Kamera pollaroid.” Jawab Oci polos
“Untuk?” Sahut Ana
“Ya, untuk fotolah.” Kini giliran Ifa yang menjawab.
Ana memikirkan arti tersembunyi dari kalimat
sahabatnya, “Oo, kalian mau kita bertiga foto terus fotonya
buat kenang-kenangan..ouu so sweet.”
Tapi kedua sahabatnya malah tersnyum samar,
“Bukan Anaa, kamera ini kamu bawa…di Korea pasti banyak
oppa-oppa, sapa tau kamu dijalan ketemu sama oppa-oppa
ganteng atau kalo kamu beruntung kamu bisa ketemu member
EXO terus kamu fotodeh dengan kamera ini. Terus itu hasil
fotonya bisa buat hadiah ke kita pas kamu balik ke Surabaya.”
Jelas Oci yang disahut anggukan dari Ifa.
Emang dasar sahabat Luchnut, entah apa rencana
tuhan sampai Ana harus dipertemukan dengan dua sahabat
macam Oci dan Ifa. But, on the other side, Ana senang
memiliki sahabat yang berisik, sebab hari-hari Ana jadi lebih
bewarna dan menyenangkan.
Perjalanan ini akan memakan waktu kurang lebih 9
jam, waktu yang panjang dan akan tambah panjang bila pergi
sendiri, dan perkiraan tiba di Korea saat malam. Ana sudah
duduk di dalam pesawat, tepatnya di kursi paling belakang
dekat jendela sebelah kanan, ia juga sudah mengenakan safety
belt karena barusan ada pengumuman dari pilot kalo pesawat
akan lepas landas. Perlahan-lahan pesawat meninggalkan
daratan dan mulai mengambang di udara.
***
Di Korea…
Wanita separuh baya turun dari lantai dua dengan
gaun biru se-lutut, dengan hils putih yang senada dengan tas
kecil ditangan kirinya, “Gi-Hoon, Eomma sama Appa pergi
dulu, kamu jangan…” Kalimat Choi MinAh-Ibu Jono-
terpotong.
“Yeobo kita sudah terlambat” teriak Lee Min-
Goo−ayah Gi-Hoon−dari luar.
“Ya sebentar…Adeul pokoknya kamu jangan
kemana-mana, ingat nanti malem kita berencana makan
malam Bersama kan…. nanti kamu langsung saja ke
restorannya ya.”
“Ya Eomma, Appa hati-hati menyetirnya” teriak Gi-
Hoon dari depan pintu.
Rumah Lee MinGoo bergaya static house dengan
angka 23 di tembok depan adalah rumah milik Le Min-Goo,
seorang pengacara sekaligus pemilik firma M&G, firma
hukum no. 1 di Seoul.
Malam ini weekend, karena itu kedua orang tu Jono
dapat menyempatkan waktu untuk makan malam Bersama.
Karena itu juga malam ini Gi-Hoon tidak keluar dengan
teman-temannya, karena ia sudah janji makan malam
Bersama orang tuanya.
Memang dari luar Gi-Hoon terlihat seperti orang yang
dingin dan cuek dengan sekitar, tapi kalau dengan orang
tuanya ia berubah menjadi anak yang penurut, bisa dibilang
dia sangat patuh dengan apapun yang keluar dari mulut orang
tuanya-uwaa idaman bangett😍-. Orang tuanya sama sekali
tidak mengekang Gi-Hoon.
Sambil menunggu malam, Gi-Hoon memilih bermain
game yang ada di komputer, tapi sebelum itu ia sudah
mengatur alarm pukul 19.30. Baru setelahnya ia bermain
salah satu game dengan headphone hitam yang sudah
menempel di kedua telinganya, “Sialan, skill lawanku bagus-
bagus” pekik Gi-Hoon sembari menatap layar computer dan
tangan kanan memegang mouse.
Layar ponsel Jono menyala dan tak lama setelahnya
muncul suara alarm. Ternyata jam sudah menunjukkan pukul
19.30 dan Jono keasikan main game di komputernya, karena
waktu sudah mepet, ia tak sempat berganti baju, ia hanya
menambahkan auter jas hitam agar terlihat lebih formal-
sedikit. Jono langsung menuju ke parkiran dan mengendarai
mobilnya menuju alamat restoran guksu yang telah
dikirimkan oleh orang tuanya lewat pesan singkat.
Sesampainya di tempat guksu terkenal, Jono langsung
masuk dan benar saja orang tuanya sudah sampai duluan.
“Eomma!” panggil Gi-Hoon sembari menuju meja.
Melambaikan tangan, “Adeul, disini” menunjuk kursi
didepannya.
Jono meraba saku jasnya berniat mengeluarkan kunci
mobil dan ponselnya. Namun, ternyata yang ada hanyalah
kunci mobilnya, ia meninggalkan ponselnya di mobil dan
Jono harus keluar mengambil ponselnya.
Saat Jono ingin kembali masuk ke dalam restoran, ia
melihat seorang gadis menjatuhkan gatungan tas percis di
depan pintu resto dan sepertinya gadis itu tidak menyadarinya.
Dilihat dari gantungan tersebut gadis tadi merupakan fans dari
salah satu boyband yang terkenal di Korea tapi Jono lupa
Namanya. Selain itu ada satu gantungan huruf ‘A’ terbuat dari
resin dan juga hiasan bunga kering.
Jono ingin memanggil gadis pemilik gantungan ini,
tapi sayangnya gadis itu sudah tidak terlihat batang
hidungnya.
***

Anda mungkin juga menyukai