Oleh :
1.Fenandra Akbar Saputra(19) XI MIPA 5
2.M.Mohtar Afandi(24) XI MIPA 5
3.Panca Febrian Purname(27) XI MIPA 5
4.Wisnu Arif Budiman(34) XI MIPA 5
“Iya, Jono, jangan menangis, ibu sudah sembuh!” kata ibu Jono.
“Baiklah, Bu!”
“Baik bu!”
“Ayo sini, kalian duduk sebentar saja saya traktir minum es cendol
ini,” kata Pak Tono memesankan es cendol untuk mereka.
“Begini. bapak mau mengajari kalian belajar jadi dalang. Biar budaya
wayang ini tidak punah. Kalian tahu kan, kalau kalian menjadi sangat
piawai, bahkan beberapa dalang bisa keliling dunia dan makmur
hidupnya. Bagaimana? Kalian bertiga kan anak cerdas dan sering
membanggakan, jadi kalau kalian bersedia, anak-anak lain juga akan
tertarik untuk ikut belajar?”Tino menunjukkan binar matanya. “Wah,
senengnya bisa ikut mendalang, pakai blankon dan baju jawa dan
menceritakan berbagai kisah pewayangan dengan nama-nama unik
dan kisah-kisah menarik!” Ia berdiri dan kedua tangannya menepuk
satu sama lain.
“Oh, kau tertarik untuk belajar Tino? Bagaimana dengan yang lain?”
“Iya. ayo masuk. Segeralah makan. Tapi maaf, ibu hanya memasak
apa adanya!”
“Iya, Bu!”
Sore itu, saat Jono tengah asyik menyapu, Jono tak menyangka akan
kedatangan Tino. “Ada apa Tino? Tumben sore sore begini kamu ke
rumahku?”
“Begini, tadi saat aku sampai di rumah Joglo, Pak Tono memberi
kabar bahwa akan diadakannya lomba menjadi Dalang!“
“Wah, itu kesempatan yang bagus. Kapan dilaksanakannya?”
“Oh, jadi begitu? Terus, berarti kita akan latihan lebih sering?”
“Iya, betul. Dua kali seminggu. Nanti malam ini kita latihan juga!”
Untung saja adik Jono juga adik yang bisa menerima impiannya
mendalami seni budaya tradisional yang sudah kian ditinggalkan
orang orang muda belakangan ini.
Tapi dari penjelasan Pak Tono yang kini ditirukannya dalam
penjelasannya pada kedua adiknya, keduanya ikut menaruh harapan
atas impian Jono. Bahkan juga dalam diri ibunya.Di saat Jono akan
menuju kamarnya Jono melihat ibunya yang sedang duduk di ruang
tengah. Ibu Jono terlihat sangat sedih. Jono menghampiri ibunya.
“Ibu tidak usah berfikir begitu. Pak Tono tidak meminta jasa apa pun
dari kami. Beliau orang kaya yang baik hati. Apalagi beliau hanya
memiliki harapan mengenai lestarinya dunia pewayangan saja. Nah,
jika salah satu dari kami menang, itu sudah membahagiakan beliau.
Saya akan berusaha, Bu.”Ibunya mengusap-usap pundak Jono
memberi semangat.
Pagi itu, persis pada hari Sumpah Pemuda, Sang Fajar telah bersinar
menampakkan kecerahannya. Seperti biasa, keluarga Jono bergegas
beraktivitas seperti biasa.Adik adiknya berangkat sekolah. Tetapi ada
yang beda bahwa hari ini ibunya mengantarkannya mengikuti lomba
mendalang di kabupaten.
“Iya, jika kamu mau berusaha pasti kamu akan lebih baik darinya!”
“Kemenangan ini aku persembahkan buat pak Tono dan buat kalian!”
muka Pulo bersemu merah, hendak menangis karena kebahagiaan itu.
Entah dari mana, Pak Tono tiba tiba sudah berada dekat dengan
ketiganya. Roman muka Pak Tono demikian bahagia. Ketulusan dari
kerja kerasnya menghasilkan buah kemenangan.
“Pak Tono, uang itu nanti saya akan berikan separuh buat ibu Jono
untuk membeli beras,” Pujo langsung saja menyatakan keinginannya.
“Iya, sama sama!” Pada ajang perlombaan itu, ternyata bukan saja
kemenangan yang berarti, tetapi sebuah nilai persahabatan dan
kepedulian sesama teman.