Anda di halaman 1dari 10

Tugas Bahasa Indonesia

“DALANG SEBUAH IMPIAN”

Cerpen karangan Yunanda Martina

Oleh :
1.Fenandra Akbar Saputra(19) XI MIPA 5
2.M.Mohtar Afandi(24) XI MIPA 5
3.Panca Febrian Purname(27) XI MIPA 5
4.Wisnu Arif Budiman(34) XI MIPA 5

SMA NEGERI KALISAT


TAHUN AJARAN 2021/2022
DALANG, SEBUAH IMPIAN
Oleh: Yunanda Martina
Malam ini adalah malam yang indah, langit bertabur bintang. Di
bawah bulan yang bersinar terang tepatnya di lapangan desa warga
berkumpul untuk menyaksikan pertunjukan wayang kulit.Penonton
merasa senang dan terhibur, tetapi tidak untuk anak yang sedang
duduk di pinggir jalan samping lapangan. Anak itu menunduk, butiran
air mata mulai menetes membasahi pipi kanan dan kirinya yang kini
terlihat merah menyala.Nampaknya anak itu terlihat sedih karena dua
hari yang lalu dia telah kehilangan sesosok ayah yang sangat dia
cintai. Panggil saja anak itu Jono.Dia lahir dari keluarga yang sangat
sederhana. Jono mempunyai dua adik yang bernana Eva dan Nia. Eva
saat ini baru menginjak kelas 2 SD dan Nia baru memasuki TK. Saat
itu Jono bingung, bagaimana cara dia untuk menyelesaikan masalah
ini, tetapi Jono masih tetap kuat dan bersemangat.Jono memang anak
yang sabar, di saat Jono akan berdiri untuk menyaksikan Wayang,
Jono dipanggil oleh seseorang.Ternyata itu adalah Pak Tono, dia
terlihat sangat tergesa-gesa.

“Pak ada apa?” tanya Jono.

“Itu, ibu kamu!” jawab Pak Tono gugup.

“Kenapa , ibu saya kenapa?” tanya Jono lagi.

“Ibu kamu pingsan, Jono!” kata Pak Tono lagi.

“Ibu saya pingsan pak?”

“Iya, ayo cepat pulang!”


Lalu Jono berlari menuju rumahnya. Jono sangat kaget dengan
perkataan Pak Tono tadi, dia takut jika terjadi sesuatu dengan ibunya,
di sepanjang jalan Jono hanya memikirkan ibunya. Setelah berjalan
cukup jauh Jono sampai di rumahnya dan disusul oleh Pak Tono.

“Eva, Nia, ibu kenapa?” tanya Jono

“Tadi ibu pingsan, Mas!” jawab Eva

Jono bergegas pergi ke kamar ibunya untuk melihat keadaan ibunya.


Jono membelai rambut ibunya. Di kamar ibu ternyata telah ada ibu
Tias. Sambil melihat keadaan ibunya tak terasa air mata tak dapat
dibendung lagi .

“Sudah Jono, jangan menangis lagi!” hibur bu Tias.

“Iya, Jono, jangan menangis, ibu sudah sembuh!” kata ibu Jono.

“Iya Bu, Jono tidak akan menangis lagi !”

“Ya sudah, lebih baik kamu istirahat dulu !”suruh ibu.

“Baiklah, Bu!”

Jono bergegas ke kamar, lalu dia merebahkan tubuhnya di ranjang


kusam miliknya. Di saat dia akan memejamkan matanya dia teringat
pada ibunya lagi. Jono terbangun, lalu duduk di pinggir
tempattidur. .Jono sangat ingin memeriksakan keadaan ibunya ke
dokter tapi bagaimana caranya? Saat Jono melihat jam ternyata waktu
telah menunjukkan pukul 10.00. Jono bergegas tidur mengistirahatkan
lelah.Tak terasa hari telah pagi dan waktu telah menunjukkan pukul
05.00. Jono bergegas mandi lalu segera berangkat ke sekolah. Tetapi
sebelum berangkat, Jono berpamitan kepada ibunya. “Bu, Jono
berangkat ke sekolah dulu!” kata Jono sambil menyodorkan secangkir
teh hangat untuk ibunya

“Iya, kamu hati hati di jalan ya!” balas ibu.

“Baik bu!”

Jono bergegas berangkat ke sekolah bersama kedua sahabatnya Tino


dan Paijo. Mereka berangkat selayaknya sahabat yang tak akan pernah
terpisahkan. Setelah mereka sampai di sekolah, mereka masuk ke
kelas masing masing. Mereka menyelesaikan pelajaran pada hari ini.
Pada akhirnya bel pulang sekolah berbunyi dan para siswa pulang
menuju rumah masing masing begitu juga dengan Jono, Tino, dan
Paijo.

Saat mereka sampai di tengah perjalanan, Pak Tono, tetangga Jono


menghampiri mereka bertiga .

“Jono, Pujo, Tino!” teriak Pak Tono

“Iya, ada apa pak ”

“Ayo sini, kalian duduk sebentar saja saya traktir minum es cendol
ini,” kata Pak Tono memesankan es cendol untuk mereka.
“Begini. bapak mau mengajari kalian belajar jadi dalang. Biar budaya
wayang ini tidak punah. Kalian tahu kan, kalau kalian menjadi sangat
piawai, bahkan beberapa dalang bisa keliling dunia dan makmur
hidupnya. Bagaimana? Kalian bertiga kan anak cerdas dan sering
membanggakan, jadi kalau kalian bersedia, anak-anak lain juga akan
tertarik untuk ikut belajar?”Tino menunjukkan binar matanya. “Wah,
senengnya bisa ikut mendalang, pakai blankon dan baju jawa dan
menceritakan berbagai kisah pewayangan dengan nama-nama unik
dan kisah-kisah menarik!” Ia berdiri dan kedua tangannya menepuk
satu sama lain.

“Oh, kau tertarik untuk belajar Tino? Bagaimana dengan yang lain?”

“Mau..mau!” Jono meyakinkan.

“Kalau begitu. kita mulai Jumay sore bagaimana? Di rumah bapak!”

“Iya, Pak! Baik Pak Tono!” Pujo kali ini menyahut.

Sehabis mereka meminum es cendol traktiran Pak Tono, mereka


berpamitan untuk pulang dengan perasaan yang sangat senang.
Mereka tak sabar jumat depan belajar menjadi dalang. Mereka boleh
menyentuh seperangkat wayang milik Pak Tono dan juga mungkin
memainkan beberapa alat musik Jawa di rumah joglo besar
tersebut.Pak Tono selalu baik sama siapa saja, tetapi rasanya
menyentuh semua benda benda di rumah joglo Pak Tono merupakan
kesempatan emas. Tak sembarang orang diperbolehkan
melakukannya.Pada saat kebahagiaan melanda dua temannya, terlihat
Jono masih menyimpan kemurungan.

“Kamu kenapa Jono, kamu masih sedih ?” tanya Pak Tono


“Saya memikirkan keadaan ibu saya!” jawab Jono

“Jono, kamu harus sabar!”

“Iya Pak, saya akan berusaha!”

Setelah sampai di rumah, Jono demikian tak sabar untuk ketemu


ibunya.“Bu, maaf Jono pulang terlambat!”

“Iya. ayo masuk. Segeralah makan. Tapi maaf, ibu hanya memasak
apa adanya!”

“Iya, Bu!”

Setelah makan, Jono membantu adiknya menyapu halaman. Jono


melakukan tugasnya itu dengan senang hati, dan tetap bersabar, lalu
Jono meminta untuk adiknya agar istirahat saja, karena Jono tidak
mau adiknya kecapekan. Tetapi adik Jono menolaknya karena adik
Jono; Eva dan Nia juga adik yang baik.

Sore itu, saat Jono tengah asyik menyapu, Jono tak menyangka akan
kedatangan Tino. “Ada apa Tino? Tumben sore sore begini kamu ke
rumahku?”

“Begini, tadi saat aku sampai di rumah Joglo, Pak Tono memberi
kabar bahwa akan diadakannya lomba menjadi Dalang!“
“Wah, itu kesempatan yang bagus. Kapan dilaksanakannya?”

“Tiga bulan lagi!”

“Oh, jadi begitu? Terus, berarti kita akan latihan lebih sering?”

“Iya, betul. Dua kali seminggu. Nanti malam ini kita latihan juga!”

“Baiklah, aku siap.”

Joko bisa merasakan semangat Tino demikian besar dari gerak


tubuhnya saat ia meninggalkan kebun rumahnya. Penglihatannya
mengikut kepergiannya di atas sadel sepeda.

Demikian pula di relung hatinya, ia berharap dan berandai andai,


mungkin ini adalah jalan Jono mencapai cita-citanya menjadi seorang
dalang yang trampil dan dibutuhkan banyak orang untuk
pentas.Setelah Jono selesai menyapu karena hari juga sudah petang
Jono memutuskan untuk masuk ke dalam rumah untuk segera mandi .

Ia menjelaskan pada ibu dan kedua adiknya mengenai lomba


mendalang dan kebaikan hati Pak Tono yag akan melatih mereka dua
kali seminggunya. Dengan sangat sabar Jono menjelaskan semua
kepada adiknya mengenai kemungkinan jalan prestasi untuknya.

Untung saja adik Jono juga adik yang bisa menerima impiannya
mendalami seni budaya tradisional yang sudah kian ditinggalkan
orang orang muda belakangan ini.
Tapi dari penjelasan Pak Tono yang kini ditirukannya dalam
penjelasannya pada kedua adiknya, keduanya ikut menaruh harapan
atas impian Jono. Bahkan juga dalam diri ibunya.Di saat Jono akan
menuju kamarnya Jono melihat ibunya yang sedang duduk di ruang
tengah. Ibu Jono terlihat sangat sedih. Jono menghampiri ibunya.

Ibunya memulai berbicara.“Kau boleh memiliki cita-cita yang


bagaimana pun tingginya, tapi sungguh ibu minta maaf tidak bisa
memberi dukungan sebaik baiknya.”

“Ibu tidak usah berfikir begitu. Pak Tono tidak meminta jasa apa pun
dari kami. Beliau orang kaya yang baik hati. Apalagi beliau hanya
memiliki harapan mengenai lestarinya dunia pewayangan saja. Nah,
jika salah satu dari kami menang, itu sudah membahagiakan beliau.
Saya akan berusaha, Bu.”Ibunya mengusap-usap pundak Jono
memberi semangat.

Pagi itu, persis pada hari Sumpah Pemuda, Sang Fajar telah bersinar
menampakkan kecerahannya. Seperti biasa, keluarga Jono bergegas
beraktivitas seperti biasa.Adik adiknya berangkat sekolah. Tetapi ada
yang beda bahwa hari ini ibunya mengantarkannya mengikuti lomba
mendalang di kabupaten.

“Jono, jangan lupa, nanti sebelum kamu main, kamu


baca basmalah dahulu!”
“Baik, Bu!”

Mereka berangkat,wajah ibu masih terlihat pucat. Meski begitu ia


berusaha memberikan kekuatan semangat untuk anak mbarepnya
yang selalu berperangai menyenangkan.
Hampir tengah hari, nomorundian Jono membawanya melangkahkan
kaki menuju panggung tempatnya berpentas. Pujo dan Tino sudah
melewati gilirannya agakawal.“Bu Pujo hebat sekali ya!” celetuk Jono
usai temannya itu pentas tadi.

“Iya, jika kamu mau berusaha pasti kamu akan lebih baik darinya!”

“Iya, Bu, Jono pasti akan berusaha membanggakan ibu!”

Sekarang saatnya Jono membuktikan kemampuannya. Ia mencoba


memainkan sebuah bagian perang Baratayudha antara Pandhawa dan
Kurawa. Di hitungan sepertiga pentas Jono memainkan pertunjukan,
ibu Jono pingsan.Bergegas Jono meninggalkan pertunjukan itu. Ia tak
lagi peduli dengan sebuah iming-iming kemenangan. Beberapa orang
mengantarkan keduanya ke rumah sakit dengan mobil panitia.

Untunglah, hasil pemeriksaan dokter menyebutkan bahwa Ibu Jono


boleh rawat jalan sembari menunggu rujukan yang dapat
digunakannya ke rumah sakit di kota. Bahkan ibunya membujuknya
untuk kembali ke tempat lomba tersebut demi mengetahui dan
menyemangati teman-temannya.

Tiba di sana, sudah sangat sore. Jono demikian perhatian terhadap


suara dewan juri yang mengumumkan peraih juaranya. “Yang
menjadi juara pertama adalah …!”Seperti biasa, Sang Juri memberi
jeda untuk memberikan efek rasa penasaran dan kejutan.“Ia bernama
Pujo Satriyo!” Seketika Pujo melonjak dan Jono memeluknya erat
dari belakang hingga keduanya hampir jatuh bersamaan
.“Pujo, selamat ya!”

“Iya, Jono aku berhasil! Ini semua berkat Pak Tono.”

“Kau memang layak mendapatkannya, Pujo!” Tino menepuk nepuk


pipi Pujo.

“Kemenangan ini aku persembahkan buat pak Tono dan buat kalian!”
muka Pulo bersemu merah, hendak menangis karena kebahagiaan itu.

Entah dari mana, Pak Tono tiba tiba sudah berada dekat dengan
ketiganya. Roman muka Pak Tono demikian bahagia. Ketulusan dari
kerja kerasnya menghasilkan buah kemenangan.

“Pak Tono, uang itu nanti saya akan berikan separuh buat ibu Jono
untuk membeli beras,” Pujo langsung saja menyatakan keinginannya.

Memang di antara ketiga sahabat tersebut, Jono lah yang hidupnya


sering berkekurangan.

“Kamu memang berhati mulia, Pujo. Kalian semua memang anak-


anak yang bersedia untuk belajar. Bapak membanggakan kalian.“Jono
terkejut mendengar perkataan Pujo.“Terima kasih Pujo!” Sekali lagi
ia memberi pelukan pada temannya tersebut.

“Iya, sama sama!” Pada ajang perlombaan itu, ternyata bukan saja
kemenangan yang berarti, tetapi sebuah nilai persahabatan dan
kepedulian sesama teman.

Anda mungkin juga menyukai