Anda di halaman 1dari 8

1.

Santi
2. Joko
3. Asep
4. Sarep
5. Tatang
6. Karin
7. Santi kw
8. Ranti
9. Ibu Ranti
Santi dan Joko adalah sepasang remaja yang menjalin kasih sejak kelas 10 SMA. Sudah
banyak suka duka yang mereka lalui bersama hingga kini. Termasuk saat ini, Santi yang
berhasil masuk ke salah satu perguruan tinggi ternama dan Joko yang berulang kali gagal
dalam melamar pekerjaan, dan lebih memilih have fun dengan teman setongkrongannya yang
juga seorang pengangguran.
(musik, scane)
[Sarep, Asep, Tatang duduk berjejer saling memijit bahu satu sama lain.]
"Hek.”
"Heek."
"HEEEK!" [Kusuk brutal]
"Aelah, gantian napa. Gue juga mau kali."
Menuruti permintaan Asep, mereka pun memutar balik susunan duduknya. Yang mana
sebelumnya Asep di belakang dan Tatang di depan, kini berganti menjadi Asep di depan dan
Tatang di belakang.
[Mulai memijit.] "Hek."
"Heek."
"HEE--"
"WOY!"
"Ayam jantan bertelur tikus," latah Asep.
"--EEK. Ya Gustiiii, mau terap aja kudu delay dulu. Nasib-nasib."
"Kenapa sih, Jok? Datang-datang ngerusuh bae."
"Itu loh, Ayang E'beb gue, dichat gak dibalas-balas. Pasti di sana dia ada apa-apa lagi
sama cowok kampus. Pasti dia udah lupa sama gue."
"Pusing pala barbie," lanjut Joko setelah tidak ada yang merespon selama beberapa
saat.
(musik)
"Yaelah Jok, gitu doang lo gedek. Wajar kali, dia kan kuliah, pasti sibuk lah," ujar
Sarep.
“Masalahnya dia udah dari pagi gak balas chat gue.”
[Asep, Sarep, dan Tatang hanya geleng-geleng kepala saja.]
(Musik/ new scane)
Santi berjalan sendiri menuju kantin fakultas. Semenjak kuliah, banyak perubahan yang
dirasakan olehnya. Perbedaan antara kuliah dan masa sekolah sungguh terasa jelas baginya.
Walau dulu saat sekolah ia hampir seharian sekolah, lanjut ekskul, dan malamnya masih
lanjut nugas juga, tapi entah mengapa di kuliah ini terasa lebih melelahkan baginya. Satu lagi
perbedaan yang terasa signifikan baginya adalah pertemanan. Dulu ia bisa bebas berteman
dengan siapa aja. Di sekolah juga ada yang namanya circle, tetapi tidak seperti ini, terlalu
rancau untuk dijelaskan dengan kata-kata.
“Air mineralnya satu ya, Bu.”
Santi membuka HP yang hampir dari pagi belum ada ia buka. Santi masih butuh waktu
untuk dapat beradaptasi dengan kehidupan diperkuliahan, termasuk dengan tugas-tugasnnya.
Seperti dugaannya, akan banyak pesan dari Joko, pacar yang sejak kelas 10 sudah
bersama. Pesan terakhir ia terima 30 menit yang lalu. Handphone-nya emang sengaja di
mode silent, agar tidak mengganggu proses belajar mengajar.
“San! Sendirian aja?” Karin, teman Santi sejak masa PPKMB kemarin datang dengan
tumpukan kertas tugas di tangnnya. Mereka beda kelas, bahkan juga beda jurusan. Namun,
mereka cukup dekat.
“Iya, botol minumku ketinggalan.” [Santi mengangkat botol mineral di genggamanya.]
[Karin mengangguk]
Lama terdiam, Santi memutuskan untuk cerita kegundahannya selama ini pada Karin.
“Rin, sebenarnya gue gak enak sama Joko. Lo tau sendiri kan, tugas kita itu kadang suka gak
ngotak banyaknya, gue masih bingung bagi waktunya. Tapi di satu sisi Joko juga terus nuntut
setiap saat gue harus bisa stay balas pesan dia terus, parahnya lagi, dia juga pernah nuduh gue
macam-macam sama cowok lain. Padahal boro-boro mau nyeleneh, bisa tidur teratur aja
syukur.”
(Musik)
“Cowok kaya gitu mah gak perlu di pikirin kali San. Belum merrid aja lo uda di kekang
gini, gimana kalau jadi merrid nanti? Terlebih dia udah gak ada percaya-percayanya juga
sama lo, tinggalin aja udah San, lo cantik, pintar, pasti ada yang lebih baik lagi buat lo.”
[Santi diam]
[Karin melihat jam di pergelangan tangan kirinya.] “Gue deluan ye, udah mau masuk
kelas.”
“Iya.”
Setelah kepergian Karin, Santi kembali terkenang masa SMA dahulu. Dimana mereka
gila-gilaan bersama dengan teman sekelas. Ngamen di kantin, ketawa bersama, ngelakuin hal
random bersama, hingga sesaat sebelum keputusan kuliah ia ambil, sebelum kepergiannya ke
universitas tiba, dirinya dan Joko sempat berbicara.
Santi melihat bagaimana dirinya yang dulu. Terutama tentang kebucinannya pada Joko.
Jujur ia merindukan itu semua.
(flashback masa SMA)

“SAYANG AKUUUUU!!!!”

Joko melihat Santi berlari slowmotion menghampirinya yang saat ini


tengah berdiri dikelilingi cewek-cewek cantik yang menatap dengan
penuh minat kearahnya. Bergaya bak model Korea, lengkap dengan kaca
mata hitam yang bertengger manis di tempatnya. Namun sayang, itu
semua hanya khayalan semata.

“Ada apa, San?” sahut Joko yang sudah melihat Santi benjalan
normal.

“Kau lulus lanjut mana?” tanya Santi. Saat ini mereka sedang duduk
di bangku taman yang sudah terlihat usang termakan usia.

“Ya kerja lah, apa lagi? Ko tengok sendiri lah aku kayak mana di
kelas. Mau cari pengalaman baru dulu ekan?” [Joko menaik urunkan
alisnya menatap Santi.]

“Kita pisah, dong. Aku bakal lanjut kuliah. Bapak sama Mamak juga
maunya aku lanjut ngejar pendidikan.” Santi terliat lemas, tak kebayang
bagaimana kehidupannya nanti tanpa pacar yang selama ini
mendampinginya, tapi mau bagaimana lagi, dia punya prinsip, bahwa
pendidikan di atas segala-galanya.

“Ya bagus. Kau emang harus pintar, biar anak-anak kita nanti
beruntung punya Ibu yang pintar. Jadi pas ada PR, gak ada drama kaya
aku dulu, harus nyariin anak tetangga buat minta ajarin, mana galak
lagi,” tutur Joko jujur dan lirih di akhir kalimat.

(Ada google kalee. Masih zaman nyari anak tetangga?)

(Yaahh, gak pro, kasian deh lo

“Sirik aja titisan pokemon!”


[Di kantin]

“Ais, bokek kali aku hari ini. Gak ada niat kelen buang duit lembaran
merah sama biru we, biarku pungut dulu. Kering kali kantongku, bah.”
[Tata duduk dengan kaki diangkat satu, serta berkipas menggunakan
koyakan kotak yang ia colong dari ibu kantin, mirip ala-ala preman
pasar.]

[Zila menjitak kepala Tata.] “ Eee kambeng! Gue juga mau kalau
itu.”

[Ranti mengusak kepelanya kasar.] “Bising kali muncong kelen loh.


Macam kelen aja yang punya tempat ini.”

Tatang menjawab, “Ya santai la, Ti. Lagian gak ada yang lain itu
keganggu. Kau ajanya yang bermasalah di sini.”

“Ya teros kenapa? Gak sor kau? Maju sini kalo berani.”

[Tatang meledek]. “Bah, kok kau pulak yang ngatur aku? Sini lah
kua yang datang. Kan kau yang butuh. Masa pisang datangi monyet,
monyetlah datangi pisang.”

“Kau kok jadi nyama-nyamain aku sama monyet?! Aku diam loh
dari tadi,” protes Zila, saat Tantang dengan santainya menujuk dirinya
monyet tanpa sebab.

“Diam kau. Aku gak ngomong sama kau di sini.”

“Kau—”

“Wiiih, ada apaan nih?” Joko datang saat teman sekelasnya terlihat
bertengkar. Pemuda itu menarik kursi kosong di sebelah Ranti,
mengisyaratkan pada Santi yang ikut dengannya untuk duduk di sana.
“Inilah si Tatang anak Wak Mamat, bisa-bisanya aku disamakan
sama monyet.”

“udah?”

“Bukaan—”

“Bising!!” Suara Ranti kembali terdengar, [seperti bentakan]

“Udah ikut aja. Lagi PMS dia.”

“PANTESSS!!”

“Diam!”

“Siap kanjeng ratu.” [Semuanya teriak]

(Flashback off)
Ringg ringg (ringtone HP)
“Halo,” tutur Santi setelah sebelumnya menepi ke tempat yang lebih kondusif.
“-“
“Aku baru selesai kelas, Ko. Ini juga keuar untuk beli minum.”
“-“
“Aku pasang mode silent, Ko. Aku gak tau kau krim pesan. Lagipun aku di sini belajar
Ko, bukan yang lain!”
“-“
“Enggak, Ko, enggak.”
“-“
“Kok kau jadi nuduh aku? Aku di sini belajar loh!”
“-“
“Udah lah Ko. Cukup. Capek aku lama-lama sama sikap kau yang kaya gini. Nuduh-
nuduh gak jelas! Sok paling tau kondisiku di sini, padahal gak ada yang betol. Kalo kau
masih mau kaya gini juga terserah kau. Aku capek, orang tuaku baar UKT mahal-mahal
bukan berharap anaknya mikirin hal yang gak jelas, tepi BELAJAR!!!”
[Telepon mati.]
Santi kesal. Semenjak ia kuliah, Joko selalu saja seperti ini. Semaunya sendiri.
Menuduhnya selingkuh dengan pemuda di kampus ini karena dianggap lebih terjamin masa
depannya, berpendidikan—meski ini tidak ada yang salah—dan lebih-lebih lainnya.
“Bosan juga kaya gini.” Santi menghela napas.
(New scane, pov Joko)
Sedangkan di sisi lain, Joko sama kesalnya. Bedanya Joko mulai merasa kalau Santi
sudah mulai tertarik dengan cowok-cowok keren di kampusnya. Jangan slahkan Joko berkata
demikian, dirinya sering melihat anak kuliahan dengan outfit yang mirip oppa Korea.
Sedangkan dirinya, hanya pemuda desa yang berulang kali CV nya ditolak. Jadi jangankan
uang, pekerjaan pun enggan berpihak padanya. Curhat pada trio curut itu pun tak ada
gunanya, selalu saja dia yang di pojokkan. Tak ada yang bisa mengerti perasaannya sebagai
cowokyang ditinggal pacaranya untuk kuliah.
“Kayanya gue bisa curhat sama Ranti. Dia kan cewek, pasti paham maunya cewek itu
apa. Biar hubungan gue sama Santi gak kaya gini terus.”
Sesuai perkataannya, Joko pergi ke tempat Ranti jualan. Menceritakan problema yang
ia alami, berharap kali ini perempuan muda tersebut dapat memahami perasaannya.
“Ran!”
“Oiy! Mau beli apa,Jok?”
“Eh, emm, Aqua aja satu.”
[Ranti memberikan pesanan Joko] “Ada lagi?”
“Gak usah, ini aja.”
“Rp. 4.000.” Setelah diam cukup lama namun tak ada pergerakan dari Joko untuk
membayar ataupun beranjak dari tempatnya. Ranti yang awalnya tidak terlalu memperhatikan
Joko kini memusatkan atensinya sepenuhnya kepada Joko.
“Jok, haloo!” Tak ada pergerakan. Ranti melambaikan tanganya di depan wajah Joko.
“JOKO!”
“Eh-iya?”
“Itu empat ribu,” tunjuk Ranti dengan dagunya.
Begitu sadar Joko langsung membayar sesuai nominal yang disebutkan oleh Ranti.
“Ada lagi yang dibutuhkan, Jok?”
Joko terlihat ragu untuk mengungkapkan tujuan sebenarnya ia datang ke tempat ini.
Namun, dia kan lakik, jadi harus berani. Apalagi tinggal sselangkah maka tujuannya akan
terealisasikan.
“Gue mau cerita sebenarnya sama lo, Ran.”
Merasa ini akan menjadi hal yang penting, Ranti memilih mencari tempat yang lebih
nyaman dari berdiri seperti ini. Menitipkan toko pada sang Ibu, Ranti membawa Joko untuk
duduk di bangku yang berada di samping toko.
Di rasa nyaman, baru mengalirlah kegelisahan Joko yang selama ini ia rasakan. Unek-
unek yang selama beberapa bulan ini ia tahan, akhirnya bisa tersalurkan secara menyeluruh.
Dan respon yang diberikan oleh Ranti pun sesuai dengan harapan Joko. Ranti merespon
dengan tanpa sedikitpun menyudutkannya. Joko nyaman bercerita dengan Ranti, teman
dekatnya sejak SMA.
Hari terus berganti, kedekatan Joko dan Ranti semakin intens, perasaan Joko kepada
Santi mulai terlupakan dan tergantikan oleh Ranti yang ada setiap Joko membutukan tempat
untuk cerita.
Begitupun dengan Santi yang sudah masa bodo dengan sifat Joko yang sudah tidak
sama lagi. Santi lebih memilih untuk fokus pada pendidikannya dan menikmati masa kuliah
bersama teman-teman barunya tanpa harus terbebani dengan pikiran bersalah pada sosok
Joko yang tidak jelas.
Sejak pertengkaran terakhir mereka, Santi sudah bertekad, jika dalam waktu tiga hari
Joko tidak ada menghubunginya lagi, maka hubungan mereka selesai. Dan yang tejadi adalah
sudah dua bulan lamanya tidak ada kabar dari Joko. Itu artinya semua telah selesai.
Ini lah sosok Santi yang sesungguhnya, yang tidak akan mempertahankan sesuatu yang
dapat mengusik tujuannya dalam mengemban pendidikan setingg langit, meski sesuatu itu
adalah orang yang sangat ia sayangi. Namun kembali lagi, pendidikan adalah prioritas
utamanya selama itu masih memungkinkan untuk ia dapatkan.

TAMAT

Anda mungkin juga menyukai