Anda di halaman 1dari 4

DALANG,SEBUAH IMPIAN

Malam ini adalah malam yang indah, langit bertabur bintang. Di bawah bulan yang bersinar terang
tepatnya di lapangan desa warga berkumpul untuk menyaksikan pertunjukan wayang kulit. Penonton merasa
senang dan terhibur, tetapi tidak untuk anak yang sedang duduk di pinggir jalan samping lapangan. Anak itu
menunduk, butiran air mata mulai menetes membasahi pipi kanan dan kirinya yang kini terlihat merah menyala.
Nampaknya anak itu terlihat sedih karena dua hari yang lalu dia telah kehilangan sesosok ayah yang sangat dia
cintai. Panggil saja anak itu Shinta. Dia lahir dari keluarga yang sangat sederhana. Shinta mempunyai dua adik
yang bernana Eva dan Nino. Eva saat ini baru menginjak kelas 4 SD dan Nia baru memasuki TK. Saat itu Shinta
bingung, bagaimana cara dia untuk menyelesaikan masalah ini, tetapi Shinta masih tetap kuat dan
bersemangat. Shinta memang anak yang sabar, di saat Shinta akan berdiri untuk menyaksikan Wayang, Shinta
dipanggil oleh seseorang.Ternyata itu adalah Pak Tono, dia terlihat sangat tergesa-gesa. “Pak ada apa?” tanya
Shinta. “Itu, ibu kamu!” jawab Pak Tono gugup. “Kenapa , ibu saya kenapa?” tanya Shinta lagi. “Ibu kamu
pingsan, Shinta!” kata Pak Tono lagi. “Ibu saya pingsan pak?”. “Iya, ayo cepat pulang!”. Lalu Shinta berlari
menuju rumahnya. Shinta sangat kaget dengan perkataan Pak Tono tadi, dia takut jika terjadi sesuatu dengan
ibunya, di sepanjang jalan Shinta hanya memikirkan ibunya. Setelah berjalan cukup jauh Shinta sampai di
rumahnya dan disusul oleh Pak Tono. “Eva, Nino, ibu kenapa?” tanya Shinta. “Tadi ibu pingsan, kak!” jawab
Eva. Shinta bergegas pergi ke kamar ibunya untuk melihat keadaan ibunya. Shinta membelai rambut ibunya. Di
kamar ibu ternyata telah ada ibu Tias. Sambil melihat keadaan ibunya tak terasa air mata tak dapat dibendung
lagi . “Sudah Shinta, jangan menangis lagi!” hibur bu Tias. “Iya, Shinta, jangan menangis, ibu sudah sembuh!”
kata ibu Shinta. “Iya Bu, Shinta tidak akan menangis lagi !”. “Ya sudah, lebih baik kamu istirahat dulu !”suruh ibu.
“Baiklah, Bu!”. Shinta bergegas ke kamar, lalu dia merebahkan tubuhnya di ranjang kusam miliknya. Di saat dia
akan memejamkan matanya dia teringat pada ibunya lagi. Shinta terbangun, lalu duduk di pinggir tempat
tidurnya. Shinta sangat ingin memeriksakan keadaan ibunya ke dokter tapi bagaimana caranya? Saat Shinta
melihat jam ternyata waktu telah menunjukkan pukul 10.00. Shinta bergegas tidur mengistirahatkan lelah. Tak
terasa hari telah pagi dan waktu telah menunjukkan pukul 05.00. shinta bergegas mandi lalu segera berangkat
ke sekolah. Tetapi sebelum berangkat, Shinta berpamitan kepada ibunya. “Bu, Shinta berangkat ke sekolah
dulu!” kata Shinta sambil menyodorkan secangkir teh hangat untuk ibunya. “Iya, kamu hati hati di jalan ya!”
balas ibu. “Baik bu!”. Shinta bergegas berangkat ke sekolah bersama kedua sahabatnya Salsa dan Rina.
Mereka berangkat selayaknya sahabat yang tak akan pernah terpisahkan. Setelah mereka sampai di sekolah,
mereka masuk ke kelas masing masing. Mereka menyelesaikan pelajaran pada hari ini. Pada akhirnya bel
pulang sekolah berbunyi dan para siswa pulang menuju rumah masing masing begitu juga dengan Jono, Salsa,
dan Rina. Saat mereka sampai di tengah perjalanan, Pak Tono, tetangga Shinta menghampiri mereka bertiga.
“Shinta, Rina, Salsa!” teriak Pak Tono.“Iya, ada apa pak ”.“Ayo sini, kalian duduk sebentar saja saya traktir
minum es cendol ini,” kata Pak Tono memesankan es cendol untuk mereka.

“Begini. bapak mau mengajari kalian belajar jadi dalang. Biar budaya wayang ini tidak punah. Kalian
tahu kan, kalau kalian menjadi sangat piawai, bahkan beberapa dalang bisa keliling dunia dan makmur
hidupnya. Bagaimana? Kalian bertiga kan anak cerdas dan sering membanggakan, jadi kalau kalian bersedia,
anak-anak lain juga akan tertarik untuk ikut belajar?”. Rina menunjukkan binar matanya. “Wah, senengnya bisa
ikut mendalang, pakai blankon dan baju jawa dan menceritakan berbagai kisah pewayangan dengan nama-
nama unik dan kisah-kisah menarik!” Ia berdiri dan kedua tangannya menepuk satu sama lain. “Oh, kau tertarik
untuk belajar Rina? Bagaimana dengan yang lain?”. “Mau..mau!” Shinta meyakinkan. “Kalau begitu. kita mulai
Jum’at sore bagaimana? Di rumah bapak!”. “Iya, Pak! Baik Pak Tono!” salsa kali ini menyahut. Sehabis mereka
meminum es cendol traktiran Pak Tono, mereka berpamitan untuk pulang dengan perasaan yang sangat
senang. Mereka tak sabar jumat depan belajar menjadi dalang. Mereka boleh menyentuh seperangkat wayang
milik Pak Tono dan juga mungkin memainkan beberapa alat musik Jawa di rumah joglo besar tersebut.

Pak Tono selalu baik sama siapa saja, tetapi rasanya menyentuh semua benda benda di rumah joglo Pak Tono
merupakan kesempatan emas. Tak sembarang orang diperbolehkan melakukannya. Pada saat kebahagiaan
melanda dua temannya, terlihat Shinta masih menyimpan kemurungan. “Kamu kenapa Shinta, kamu masih
sedih ?” tanya Pak Tono. “Saya memikirkan keadaan ibu saya!” jawab Shinta.
“Shinta, kamu harus sabar!”.“Iya Pak, saya akan berusaha!”. Setelah sampai di rumah, Jono demikian tak sabar
untuk ketemu ibunya.“Bu, maaf Shinta pulang terlambat!”. “Iya. ayo masuk. Segeralah makan. Tapi maaf, ibu
hanya memasak apa adanya!”. “Iya, Bu!”. Setelah makan, Shinta membantu adiknya menyapu halaman. Shinta
melakukan tugasnya itu dengan senang hati, dan tetap bersabar, lalu Shinta meminta untuk adiknya agar
istirahat saja, karena Jono tidak mau adiknya kecapekan. Tetapi adik Shinta menolaknya karena adik
Shinta:Eva dan Nia juga adik yang baik. Sore itu, saat Shinta tengah asyik menyapu, Jono tak menyangka akan
kedatangan Nino. “Ada apa Nino? Tumben sore sore begini kamu ke rumahku?”. “Begini, tadi saat aku sampai
di rumah Joglo, Pak Tono memberi kabar bahwa akan diadakannya lomba menjadi Dalang!“.“Wah, itu
kesempatan yang bagus. Kapan dilaksanakannya?”.“Tiga bulan lagi!”. “Oh, jadi begitu? Terus, berarti kita akan
latihan lebih sering?”. “Iya, betul. Dua kali seminggu. Nanti malam ini kita latihan juga!”. “Baiklah, aku siap.”.
Shinta bisa merasakan semangat Nino demikian besar dari gerak tubuhnya saat ia meninggalkan kebun
rumahnya. Penglihatannya mengikut kepergiannya di atas sadel sepeda.

Demikian pula di relung hatinya, ia berharap dan berandai andai, mungkin ini adalah jalan Shinta mencapai cita-
citanya menjadi seorang dalang yang trampil dan dibutuhkan banyak orang untuk pentas.

Setelah Shinta selesai menyapu karena hari juga sudah petang Shinta memutuskan untuk masuk ke dalam
rumah untuk segera mandi .

Ia menjelaskan pada ibu dan kedua adiknya mengenai lomba mendalang dan
kebaikan hati Pak Tono yag akan melatih mereka dua kali seminggunya. Dengan
sangat sabar Jono menjelaskan semua kepada adiknya mengenai kemungkinan jalan
prestasi untuknya.

Untung saja adik Jono juga adik yang bisa menerima impiannya mendalami seni
budaya tradisional yang sudah kian ditinggalkan orang orang muda belakangan ini.
Tapi dari penjelasan Pak Tono yang kini ditirukannya dalam penjelasannya pada
kedua adiknya, keduanya ikut menaruh harapan atas impian Jono. Bahkan juga dalam
diri ibunya.

Di saat Jono akan menuju kamarnya Jono melihat ibunya yang sedang duduk di
ruang tengah. Ibu Jono terlihat sangat sedih. Jono menghampiri ibunya.

Ibunya memulai berbicara.“Kau boleh memiliki cita-cita yang bagaimana pun


tingginya, tapi sungguh ibu minta maaf tidak bisa memberi dukungan sebaik
baiknya.”

“Ibu tidak usah berfikir begitu. Pak Tono tidak meminta jasa apa pun dari kami. Beliau
orang kaya yang baik hati. Apalagi beliau hanya memiliki harapan mengenai
lestarinya dunia pewayangan saja. Nah, jika salah satu dari kami menang, itu sudah
membahagiakan beliau. Saya akan berusaha, Bu.”

Ibunya mengusap-usap pundak Jono memberi semangat. *

Pagi itu, persis pada hari Sumpah Pemuda, Sang Fajar telah bersinar menampakkan
kecerahannya. Seperti biasa, keluarga Jono bergegas beraktivitas seperti biasa.Adik
adiknya berangkat sekolah. Tetapi ada yang beda bahwa hari ini ibunya
mengantarkannya mengikuti lomba mendalang di kabupaten.

“Jono, jangan lupa, nanti sebelum kamu main, kamu baca basmalah dahulu!”

“Baik, Bu!”

Mereka berangkat,wajah ibu masih terlihat pucat. Meski begitu ia berusaha


memberikan kekuatan semangat untuk anak mbarepnya yang selalu berperangai
menyenangkan.

Hampir tengah hari, nomor undian Jono membawanya melangkahkan kaki menuju
panggung tempatnya berpentas. Pujo dan Tino sudah melewati gilirannya
agakawal.“Bu Pujo hebat sekali ya!” celetuk Jono usai temannya itu pentas tadi.

“Iya, jika kamu mau berusaha pasti kamu akan lebih baik darinya!”

“Iya, Bu, Jono pasti akan berusaha membanggakan ibu!”

Sekarang saatnya Jono membuktikan kemampuannya. Ia mencoba memainkan


sebuah bagian perang Baratayudha antara Pandhawa dan Kurawa. Di hitungan
sepertiga pentas Jono memainkan pertunjukan, ibu Jono pingsan.

Bergegas Jono meninggalkan pertunjukan itu. Ia tak lagi peduli dengan sebuah
iming-iming kemenangan. Beberapa orang mengantarkan keduanya ke rumah sakit
dengan mobil panitia.

Untunglah, hasil pemeriksaan dokter menyebutkan bahwa Ibu Jono boleh rawat jalan
sembari menunggu rujukan yang dapat digunakannya ke rumah sakit di kota. Bahkan
ibunya membujuknya untuk kembali ke tempat lomba tersebut demi mengetahui
dan menyemangati teman-temannya.

Tiba di sana, sudah sangat sore. Jono demikian perhatian terhadap suara dewan juri
yang mengumumkan peraih juaranya. “Yang menjadi juara pertama adalah …!”

Seperti biasa, Sang Juri memberi jeda untuk memberikan efek rasa penasaran dan
kejutan.“Ia bernama Pujo Satriyo!” Seketika Pujo melonjak dan Jono memeluknya erat
dari belakang hingga keduanya hampir jatuh bersamaan.“Pujo, selamat ya!”

“Iya, Jono aku berhasil! Ini semua berkat Pak Tono.”

“Kau memang layak mendapatkannya, Pujo!” Tino menepuk nepuk pipi Pujo.
“Kemenangan ini aku persembahkan buat pak Tono dan buat kalian!” muka Pulo
bersemu merah, hendak menangis karena kebahagiaan itu.

Entah dari mana, Pak Tono tiba tiba sudah berada dekat dengan ketiganya. Roman
muka Pak Tono demikian bahagia. Ketulusan dari kerja kerasnya menghasilkan buah
kemenangan.

“Pak Tono, uang itu nanti saya akan berikan separuh buat ibu Jono untuk membeli
beras,” Pujo langsung saja menyatakan keinginannya.

Memang di antara ketiga sahabat tersebut, Jono lah yang hidupnya sering
berkekurangan.

“Kamu memang berhati mulia, Pujo. Kalian semua memang anak-anak yang bersedia
untuk belajar. Bapak membanggakan kalian.“

Jono terkejut mendengar perkataan Pujo.“Terima kasih Pujo!” Sekali lagi ia memberi
pelukan pada temannya tersebut.

“Iya, sama sama!” Pada ajang perlombaan itu, ternyata bukan saja kemenangan yang
berarti, tetapi sebuah nilai persahabatan dan kepedulian sesama teman.

Anda mungkin juga menyukai