Anda di halaman 1dari 5

Dalang, Sebuah Impian

Malam ini adalah malam yang indah, langit bertabur bintang. Di bawah bulan yang
bersinar terang tepatnya di lapangan desa warga berkumpul untuk menyaksikan pertunjukan
wayang kulit.
Penonton merasa senang dan terhibur, tetapi tidak untuk anak yang sedang duduk di
pinggir jalan samping lapangan. Anak itu menunduk, butiran air mata mulai menetes
membasahi pipi kanan dan kirinya yang kini terlihat merah menyala. Nampaknya anak itu
terlihat sedih karena dua hari yang lalu dia telah kehilangan sesosok ayah yang sangat dia
cintai.
Panggil saja anak itu Jono. Ia lahir dari keluarga yang sangat sederhana. Jono
mempunyai dua adik yang bernana Eva dan Nia. Eva saat ini baru menginjak kelas 2 SD dan
Nia baru memasuki TK. Saat itu Jono bingung caranya menyelesaikan masalah ini, tetapi
Jono masih tetap kuat dan bersemangat.
Jono memang anak yang sabar. Saat ia akan berdiri untuk menyaksikan Wayang, Jono
dipanggil oleh seseorang. Ternyata itu adalah Pak Tono. Ia terlihat sangat tergesa-gesa.
“Pak ada apa?” tanya Jono.
“Itu, ibu kamu!” jawab Pak Tono gugup.
“Kenapa? Ibu saya kenapa?” tanya Jono lagi.
“Ibu kamu pingsan, Jono!” kata Pak Tono lagi.
“Ibu saya pingsan, pak?”
“Iya, ayo cepat pulang!”
Jono pun berlari menuju rumahnya. Ia sangat kaget dengan perkataan Pak Tono tadi
dan takut jika terjadi sesuatu dengan ibunya. Di sepanjang jalan, ia hanya memikirkan
ibunya. Setelah berjalan cukup jauh, Jono sampai di rumahnya dan Pak Tono menyusulnya.
Ia bergegas pergi ke kamar untuk melihat keadaan ibunya. Jono membelai rambut ibunya. Di
kamar ibu, ternyata telah ada ibu Tias. Sambil melihat keadaan ibunya tak terasa air mata tak
dapat dibendung lagi.
“Sudah Jono, jangan menangis lagi!” hibur bu Tias.
“Iya, Jono. Jangan menangis, ibu sudah sembuh!” kata ibu Jono.
“Iya bu, Jono tidak akan menangis lagi!”
“Ya sudah, lebih baik kamu istirahat dulu!” ucap ibu.
Tak terasa hari telah pagi dan waktu telah menunjukkan pukul 05.00. Jono bergegas
mandi dan segera berangkat ke sekolah. Namun, sebelum berangkat, Jono berpamitan kepada
ibunya.
“Bu, Jono berangkat ke sekolah dulu!” kata Jono sambil menyodorkan secangkir teh hangat
untuk ibunya.
“Iya, kamu hati hati di jalan ya!” balas ibu.
“Baik, bu.”
Jono bergegas berangkat ke sekolah bersama kedua sahabatnya Tino dan Paijo.
Mereka berangkat selayaknya sahabat yang tak akan pernah terpisahkan. Setelah mereka
sampai di sekolah, mereka masuk ke kelas masing masing. Mereka menyelesaikan pelajaran
pada hari ini.
Pada akhirnya. bel pulang sekolah berbunyi dan para siswa pulang menuju rumah
masing masing begitu juga dengan Jono, Tino, dan Paijo. Saat mereka sampai di tengah
perjalanan, Pak Tono, tetangga Jono menghampiri mereka bertiga.
“Jono, Pujo, Tino!” teriak Pak Tono.
“Iya, ada apa, pak?”
“Ayo sini, kalian duduk sebentar saja saya traktir minum es cendol ini,” kata Pak Tono
memesankan es cendol untuk mereka.
“Begini. bapak mau mengajari kalian belajar jadi dalang. Biar budaya wayang ini tidak
punah. Kalian tahu kan, kalau kalian menjadi sangat piawai, bahkan beberapa dalang bisa
keliling dunia dan makmur hidupnya. Bagaimana? Kalian bertiga kan anak cerdas dan sering
membanggakan, jadi kalau kalian bersedia, anak-anak lain juga akan tertarik untuk ikut
belajar?”
Tino menunjukkan binar matanya.
“Wah, senengnya bisa ikut mendalang, pakai blankon dan baju jawa dan menceritakan
berbagai kisah pewayangan dengan nama-nama unik dan kisah-kisah menarik!”
Tino berdiri dan kedua tangannya menepuk satu sama lain.
“Oh, kau tertarik untuk belajar Tino? Bagaimana dengan yang lain?”
“Mau, mau!” Jono meyakinkan.
“Kalau begitu, kita mulai Jumat sore, bagaimana? Di rumah bapak.”
“Iya, pak! Baik, Pak Tono!” Pujo kali ini menyahut.
Sehabis mereka meminum es cendol traktiran Pak Tono, mereka berpamitan untuk
pulang dengan perasaan yang sangat senang. Mereka tak sabar jumat depan belajar menjadi
dalang. Mereka boleh menyentuh seperangkat wayang milik Pak Tono dan juga mungkin
memainkan beberapa alat musik Jawa di rumah joglo besar tersebut. Pak Tono selalu baik
sama siapa saja, tetapi rasanya menyentuh semua benda benda di rumah joglo Pak Tono
merupakan kesempatan emas. Tak sembarang orang boleh melakukannya. Pada saat
kebahagiaan melanda dua temannya, terlihat Jono masih menyimpan kemurungan.
“Kamu kenapa Jono, kamu masih sedih?” tanya Pak Tono.
“Saya memikirkan keadaan ibu saya” jawab Jono.
“Jono, kamu harus sabar!” ungkap Pak Tono.
“Iya Pak, saya akan berusaha!” balas Jono.
Setelah sampai di rumah, Jono demikian tak sabar untuk bertemu ibunya.
“Bu, maaf Jono pulang terlambat”
“Ayo masuk dan segeralah makan. Maaf ya, ibu hanya memasak apa adanya.”
“Iya, bu.”
Sore itu, saat Jono tengah asyik menyapu, Jono tak menyangka akan kedatangan Tino.
“Ada apa, Tino? Tumben sore sore begini kamu ke rumahku?”
“Begini, tadi saat aku sampai di rumah Joglo, Pak Tono memberi kabar bahwa akan ada
lomba menjadi Dalang!“
“Wah, itu kesempatan yang bagus. Kapan rencananya?”
“Tiga bulan lagi!”
“Oh, jadi begitu? Terus, berarti kita akan latihan lebih sering?”
“Iya, betul. Dua kali seminggu. Nanti malam ini kita latihan juga!”
“Baiklah, aku siap.”
Jono bisa merasakan semangat Tino demikian besar dari gerak tubuhnya saat ia
meninggalkan kebun rumahnya. Penglihatannya mengikut kepergiannya di atas sadel sepeda.
Demikian pula di relung hatinya, ia berharap dan berandai andai, mungkin ini adalah jalan
Jono mencapai cita-citanya menjadi seorang dalang yang terampil dan dibutuhkan banyak
orang untuk pentas.
Ia menjelaskan pada ibu dan kedua adiknya mengenai lomba mendalang dan kebaikan
hati Pak Tono yag akan melatih mereka dua kali seminggunya. Dengan sangat sabar Jono
menjelaskan semua kepada adiknya mengenai kemungkinan jalan prestasi untuknya. Untung
saja adik Jono juga adik yang bisa menerima impiannya mendalami seni budaya tradisional
yang sudah kian ditinggalkan orang orang muda belakangan ini.
Di saat Jono akan menuju kamarnya Jono melihat ibunya yang sedang duduk di ruang
tengah. Ibu Jono terlihat sangat sedih. Jono menghampiri ibunya. Ibunya memulai berbicara.
“Kau boleh memiliki cita-cita yang bagaimana pun tingginya, tapi sungguh ibu minta maaf
tidak bisa memberi dukungan sebaik baiknya.”
“Ibu tidak usah berfikir begitu. Pak Tono tidak meminta jasa apa pun dari kami. Beliau orang
kaya yang baik hati. Apalagi beliau hanya memiliki harapan mengenai lestarinya dunia
pewayangan saja. Nah, jika salah satu dari kami menang, itu sudah membahagiakan beliau.
Saya akan berusaha, bu.”
Ibu mengusap pundak Jono memberi semangat.
Pagi itu, persis pada hari Sumpah Pemuda, seperti biasa keluarga Jono bergegas
beraktivitas seperti biasa. Adik-adiknya berangkat sekolah. Namun, ada yang beda bahwa
hari ini ibunya mengantarkannya mengikuti lomba dalang di kabupaten. Mereka berangkat,
wajah ibu masih terlihat pucat.
Meski begitu, ia berusaha memberikan kekuatan semangat untuk anaknya. Hampir
tengah hari, nomor undian Jono membawanya melangkahkan kaki menuju panggung
tempatnya berpentas. Pujo dan Tino sudah melewati gilirannya di awal.
“Bu, Pujo hebat sekali, ya!” celetuk Jono usai temannya itu pentas tadi.
“Iya, jika kamu mau berusaha pasti kamu akan lebih baik darinya!”
“Iya, bu, Jono pasti akan berusaha membanggakan ibu!”
Sekarang saatnya Jono membuktikan kemampuannya. Ia mencoba memainkan sebuah
bagian perang Baratayudha antara Pandhawa dan Kurawa. Di hitungan sepertiga pentas Jono
memainkan pertunjukan, ibu Jono pingsan. Bergegas Jono meninggalkan pertunjukan itu. Ia
tak lagi peduli dengan sebuah iming-iming kemenangan.
Beberapa orang mengantarkan keduanya ke rumah sakit dengan mobil panitia.
Untunglah, hasil pemeriksaan dokter menyebutkan bahwa Ibu Jono boleh rawat jalan sembari
menunggu rujukan yang dapat digunakannya ke rumah sakit di kota.
Bahkan, ibunya membujuknya untuk kembali ke tempat lomba tersebut demi
mengetahui dan menyemangati teman-temannya. Tiba di sana, sudah sangat sore. Jono
demikian perhatian terhadap suara dewan juri yang mengumumkan peraih juaranya.
“Yang menjadi juara pertama adalah…”
Sang Juri memberi jeda untuk memberikan efek rasa penasaran dan kejutan.“Ia
bernama Pujo Satriyo!” Seketika Pujo melonjak dan Jono memeluknya erat dari belakang
hingga keduanya hampir jatuh bersamaan.
“Pujo, selamat, ya!”
“Iya, Jono aku berhasil! Ini semua berkat Pak Tono.”
“Kau memang layak mendapatkannya, Pujo!” Tino menepuk nepuk pipi Pujo.
“Kemenangan ini aku persembahkan buat pak Tono dan buat kalian!” muka Pujo bersemu
merah, hendak menangis karena kebahagiaan itu.
Entah dari mana, Pak Tono tiba tiba sudah berada dekat dengan ketiganya. Roman
muka Pak Tono demikian bahagia. Ketulusan dari kerja kerasnya menghasilkan buah
kemenangan.
“Pak Tono, uang itu nanti saya akan berikan separuh buat ibu Jono untuk membeli beras,”
Pujo langsung saja menyatakan keinginannya.
Memang di antara ketiga sahabat tersebut, Jono lah yang hidupnya sering
berkekurangan.
“Kamu memang berhati mulia, Pujo. Kalian semua memang anak-anak yang bersedia untuk
belajar. Bapak membanggakan kalian.”
Jono terkejut mendengar perkataan Pujo. “Terima kasih Pujo!” Sekali lagi ia memberi
pelukan pada temannya tersebut.
“Iya, sama-sama!”
Pada ajang perlombaan itu, ternyata bukan saja kemenangan yang berarti, tetapi nilai
persahabatan dan kepedulian sesama teman.

Anda mungkin juga menyukai