“Ayah, Ibu mengapa aku berbeda?” “Apa benar kebahagiaan tidak pantas aku perolehkan! Apa salahku?” “Aku memang kambing hitam!.” Sudah tidak ada lagi yang mau bermain denganku, Toni telah membenciku, begitu juga dengan Nana, Ibu Nanik, dan Pak Bagio. Terlebih keluargaku sendiri tidak suka denganku. ibuku yang melahirkanku pun lebih membedakan aku dengan saudaraku yang lainnya. Ingin sekali aku katakana pada Toni bahwa bukan aku yang melakukan itu semua. Tapi aku tidak bisa berbuat apa-apa selain mencoba bertahan dikandang ini dengan semua caci maki keluargaku, perlakuan tidak adil ibu bapakku, kenakalan-kenakalan para saudaraku. Memang aku hanya seekor kambing yang terlahir berbeda dari rahim yang sama. Pada waktu ibu melahirkanku, kakak-kakaku langsung mengembik setelah keluar dari rahim ibuku. Mereka berdua memiliki bulu berwarna putih, seperti bulu yang dimiliki ayah dan ibuku. Ayah dan ibuku menyambut mereka dengan gembira, terlebih ayahku, dengan segera menjilati kotoran yang menempel dibadan kedua kakakku itu. Mungkin dibenak ayah, inilah anak-anak yang akan menjadi gagah dan menjadi penggantinya kelak. Berbeda denganku, aku yang terlahir belakangan, tidak mengembik bahkan lemas tak berdaya keluar dari rahim ibuku. Ayah dan ibuku sangat kaget melihatku. Aku bagaikan kutukan yang mereka dapatkan. Warna buluku hitam pekat, mengembik saja aku tak bisa. Ayahku saja tak sudi memandangku, dia lebih asyik menjilati bulu-bulu kedua kakakku tanpa memperdulikan aku. Beberapa bulan kemudian, aku dan kedua saudaraku beranjak besar. Aneh yang kurasakan, dan tidak aku saja yang merasakan keanehan pada diriku ini. Keluargaku dan kedua kakakku pun merasakan hal yang benar-benar aneh menurut mereka. Jika semua keluargaku suka berkumpul bersama, bermain bersama, makan rumput pemberian Pak Bagio bersama, tapi aku tidak menyukai semua itu. Aku lebih suka berdiam diri di pojokan kandang yang sekaligus tempat tidurku selama ini, memandangi langit, melamunkan kebahagiaan akan datang kepadaku. Selalu ku pikirkan kenapa aku terlahir berbeda dengan saudarku yang lainnya sehingga membuat ibu bapakku lebih memilih menjauhiku, ibuku memberikan susunya sangat sedikit kepadaku, ayahku lebih suka menggendong kedua kakakku dibandingkan bermain denganku. mereka lebih suka mengambilkan makanan untuk kedua kakakku dibandingkan mengambilkannya untukku. Padahal aku ini anak mereka, hasil kawin mereka berdua. Pernah suatu ketika aku berniat untuk bermain dengan kedua saudaraku yang sedang memainkan bola pemberian Toni. Toni adalah anak berusia kurang lebih 8 tahun, anak Pak Bagio dan Ibu Nanik pemilik rumah didepanku beserta pemilik kandang kambing berserta isinya. Meraka sangat baik terhadap keluargaku. Terlebih Toni, yang menurutku ia suka denganku. karena setiap ayahnya memberikan makan untuk keluargaku, ia mengikutinya dan selalu membelai buluku yng hitam ini. Tidak pernah ia berprilaku seprti itu kepada keluargaku yang lainnya. “Mbeeekk, aku mau ikut main.” Kataku. Kakak pertamaku menoleh dan menjawab; “Mbeekk, memang kamu bisa main bola.” Namun kakak keduaku berbisik-bisik kepada kakak pertamaku, sepertinya mereka berdua sedang memikirkan sebuah rencana. “Baiklah, kamu aku ijinkan ikut bermain”kata kakak pertamaku lagi. Denagn senang hati aku mendatangi mereka, tapi tiba-tiba tanpa kuduga kakak pertamaku menendang bola sekeras mungkin dan tepat mengenai wajahku hingga aku terpental ke belakang menubruk kandang tempatku biasa berbaring. Gubraakkk..aku pun mengerang kesakitan. Tiba-tiba terdengar suara tangis kakak kaeduaku, entah kenapa dia tiba-tiba menangis. Seraya ayah dan ibuku mendatanginya dan menanyakan apa yang terjadi. Kakak keduaku melaporkanku kepada ayah ibuku bahwa aku telah membuang bola mereka keluar kandang. Aku pun sangat kaget, inikah yang telah direncanakan kedua saudaraku tadi. Padahal bola yang keluar kandang itu bukan aku buang. Bola itu terpantul keluar kandang setelah menghantamku. Ayah dan iuku yang tidak tahu apa-apa langsung memarahiku dan membentakku. Ayahku sangat marah melihat sikapku yang seperti itu. Ku hanya tertunduk mendengar tuduhan ayahku itu, ku liirik kedua kakakku, dia tersenyum hebat disana. Merasa berhasil atas rencananya. Tidak hanya itu kenakalan kedu saudaraku itu. Saat itu Toni, dan Nana menggantikan Pak Bagio untuk memberikan makanan kekandangku. Nana yang bertubuh agak besar dari Toni membawa rumput yang banyak, sedangkan Toni hanya menenteng ember berisi air ditangan kanannya dan buah apel ditangan kirinya. Setelah itu Nana menaruh rumput itu di tempat makan keluargaku, air yang dibawa Toni disusupkan diantara rongga kandang kami tempat menaruh air minum kami. Secara tiba-tiba Toni menghampiriku, memberiku sebuah buah apel yang dibawanya tadi dan mengelus bulu halusku. Aku pun menerimanya dengan senang hati dan mengembik untuk mengucapkan terimakasih kepada Toni. Setelah itu aku memakan apel yang diberika Toni, rasanya sangat lezat berbeda dengan rumput yang biasa aku makan. Dan mulai sejak itu Toni sering memberiku buah-buahan dan terkadang membawakanku susu. Melihat keadaan itu keluargaku yng lainnya merasa iri atas perlakuan Toni terhadapku. Seperti biasa sekarang Nana dan Toni yang lebih sering mengunjungi kandang kami, karena ku dengar Pak Bagio sedang sibuk dengan pekerjaannya di kelurahan. Seperti biasa Nana yang membawa rumput, dan Toni yang membaakan air untuk kami. Seperti biasanya juga Toni membawakanku Buah dan Susu, serta mengelus bulu hitamku kemudian pergi. Kemudian entah karena rasa iri keluargaku terhadapku telah memuncak, tanpa kusadari kakak keduaku menendang wadah susu pemberian Toni itu, secara langsung air susu itu tumpah kewajahku yang saat itu tidak siap menghindar. Melihat kejadian itu seluruh keluargaku malah menertawakan dan mengejekku, tanpa terkecuali ayah dan ibuku. Aku merasa sangat sedih berada dalam lingkungan keluargaku sendiri. Ini yang membuatku tidak ingin dekat-dekat dengan mereka dan merasa senang dalam kesendirian. Satu tahun telah kulewati dengan penuh siksaan dan cemoohan dari keluargaku sendiri. Tapi sekarang aku berbeda dengan aku yang dulu. Aku yang dulu adalah aku yang lemah tak berdaya, aku yang diam saja saat dianiaya oleh kedua kakakku, aku yang selalu tertunduk jika dimarahi ayahku pdahal aku tidak mengerti apa salahku, aku yang dulu adalah aku yang bertubuh kecil dan ringkik karena jatah asi dari ibuku yang terbatas, dan makanan serta minuman yang terbatas pula jika dibandingkan dengan kudua saudaraku yang diperlakukan berbeda oleh kedua orang tuanku. Tapi aku yang sekarang adalah aku yang berani menatap wajah ayahku dan membalas umpatan ayahku saat aku dimarahi, aku yang sekarang adalah aku yang berani membalas kejahilan yang dilakukan kedua saudaraku, dan aku yang sekarang adalah aku yang bertubuh lebih besar dari kedua saudaraku berkat makanan yang diberikan Toni kepadaku selama ini. Tonilah yang telah membuatku kuat seperti ini. Hanya dialah yang mengti aku dan sayang padaku. Walau tidak semua yang ada pada diriku sepenuhnya berubah. Aku tetap suka menyendiri dipojokan kandangku, aku tetap menyukai memandang langit diatasku. Namun kini yang aku lamunkan telah berbeda, tidak lagi ku lamunkan kenapa aku terlahir berbeda dan keluargaku tidak pernah menyayangiku. Lamunanku yang sekarang adalah lamunan pergi dari kandang tempatku tinggal selama ini, dan aku ingin bermain bersama Toni setiap hari, walau itu hanya sebuah lamunan aku merasa bahagia. Aku pun berharap semoga lamunanku kali ini bisa menjadi kenyataan untuk segera pergi dari kandangku dan selalu bersama Toni. Pagi itu pagi yang cerah, seperti biasa aku sedang bersantai dipojokan kandang. Ayah ibuku sedang asyik bercengkrama berdua, sepertinya mereka berdua berencana memiliki anak lagi. Kedua kakakku asyik bermain di sudut yang berlawanan denganku. dari kejauhan ku dengar suara Toni dengan Pak Bagio mengarah mendekati kandang kami. Aku pun angkit dari tidurku dan berdiri tegak persisi didepan tempat iasanya aku dan Toni bertemu. Ku longokan kepalaku untuk melihat Toni, ia pun mendekatiku dan mengelus buluku seprti biasa. “Yah, boleh ya aku memeliharanya di dalam rumah. Biar Toni punya teman bermain, Yah”. Kata Toni kepada ayahnya. “Apakah kamu, siap dengan segala resikonya seperti yang telah ayah jelaskan padamu, Nak?” “Sudah siap ayahku sayang. Aku pasti menjalankan semua yang telah ayah sampaikan kepadaku” sahut Toni. Mendengar percakapan itu aku tidak tahu apa yang sebenarnya mereka inginkan. Tapi menurutku ini akan berujung bahagia untukku. Kulihat Pak Bagio membuka kandang kami. Seluruh keluargaku pun berdiri melihat Pak Bagio dan Toni memasuki kandang. Mereka mengarah mendekatiku. Kemudian Toni pun mengelusku seprti biasa dan menggendongku pergi dari kandang. “Mulai sekarang kamu akan menjadi teman bermainku.” Kata Toni sambil menggendongku. Keluargaku melongo tanpa henti melihatku dibawa keluar kandang. Mereka mungkin tidak percaya dengan apa yang dilihatnya. Aku pun sangat senang mendengar kata-kata itu dan melihat kejadian ini. Ku tatap semua keluargaku dan ku bilang dengan nada kemenangan “Selamat tinggal”. Impianku telah terwujud. Sekarang aku tinggal dirumah keluarga Pak Bagio dan Bu Nanik, aku tidur dikandang kecilku yang lucu. Kandang tersebut ti tempatkan di kamar Toni supaya aku bisa setiap waktu bersamanya. Makanan yang diberikan kepadaku Buah-buahan dan Susu, namun terkadang juga rumput dan air biasa. Ini yang membuat selera makanku berubah. Aku lebih menyukai memakan buah-buahan dan minum susu. Alangkah bahagianya aku sekarang, hampir tidak pernah ku bayangkan aku akan sebahagia ini. Semua ini sangat berbeda dengan kehidupanku setahun silam. Setiap hari aku bermain dengan Toni, ia menjagaku dengan tulus dan kasih sayang. Aku sering diajaknya pergi keluar rumah. Berkeliling kompleks dan berjalan ke pasar yang tidak terlalu jauh dari rumah Toni untuk membelikanku makanan dan susu. Setiap tiga minggu sekali aku dimandikan agar tetap bersih dan tidak bau. Gigi-gigiku dibersihkan, kandangku selalu bersih, terkadang Toni membawaku ke dokter hewan untuk memeriksakanku. Ia juga membelikanku mainan khusus hanya untukku. Hari demi-hari yang kulewati sungguh membahagiakan. Keadaan dikandangku sekarang telah berbeda. Yang dulu kedua kakaku suka bersenang-senang dan main bersama, kini maereka berdua sering berkelahi mempermasalahkan perbedaan-perbedaan kecil diantara mereka. Ayah dan ibuku juga lebih sering bertengkar dan salah paham. Aat itu kulihat dari pintu belakang rumah kandangku sangat ramai. Bukan ramai kebahagiaan atas kepergianku melainkan ramai pertengkaran yang tidak satu pun ku ketahui alasannya. Ku dengar Pak Bagio dan Bu Nanik akan pergi menghadiri undangan pembukaan rumah makan milik salah seorang temannya. Sehingga ku perkirakan rumah itu akan sepi hingga menjelang Sore hari. Nana pergi kesekolah, dan setelah itu dia harus mengikuti les bimbingan ujian nasional disekolahnya, karena ia akan menempuh ujian nasional tingkat SD bulan depat. Sementara itu Toni sepulang sekolah harus mengikuti pertandinagan sepak bola antar sekolah dasar, dan tidaklah mungkin aku ikut dibawanya. Dengan terpaksa sehari itu aku hanya diam sendirian di kandang kecilku dan menahan rasa lapar yang mulai merongrong perut kecilku sampai menunggu Toni pulang dari pertandingannya. “Astaga.! Apa-apaan ini?” jerit Bu Nanik. Pak Bagio pun berlari menuju arah teriakan itu. “Kurang ajar. Siapa yang meelakukan semua ini?” Nana dan Toni yang baru datang pun berlarian menuju kegaduhan dirumahnya itu. Aku pun terkaget-kaget mendengar suara teriakan Bu Nanik dan Pak Bagio itu. Ku buka mataku yang tadinya terlelap tidur, segera ku keluar kandang dan berlari kearah teriakan tersebut. Tapi apa yang terjadi. Aku tercengang melihat dapur rumah yang berantakan. Bahan makanan yang berserakan, segala alat daput yang berterbaran dimana-mana, piring dan mangkok yang pecah dimana-mana, bumbu dapur tumpah ruah menjadi satu. Apa yang telah trjadi dirumah ini, jika ada gempa saat aku tertidur tadi, kenapa hanya dapur yang keadaanya mirip kapal pecah ini? Dilubuk hatiku yang terdalam aku merasa tidak berguna untuk menjaga rumah ini. Tidak bisa membalas apa yang telah keluarga Pak Bagio berikan kepadaku dan keluargaku. Semua orang rumah sibuk membersihkan ruangan itu. Aku hanya bisa berdiri terdiam sembari melihat mereka membersihkan dapur. Setelah semuanya bersih, walau tidak seprti sedia kala. Bu Nanik pun menatapku yang berada di dekat meja makan. “Kambing itu yang telah mengacak-ngaak rumah ini, pasti kambing itu.!” Sambil menuding ke arahku. Semua mata tertuju kepadaku termasuk Toni. “Bukan bu, pasti bukan dia.” Jawab Toni. Pak Bagio pun pergi kea rah kamar Toni, dan kembali lagi kedapur dengan membawa tempat makanku yang kosong tanpa makanan. “Toni, lihat ini.! Apa kamu tadi member kambing itu makanan?” kata Pak Bagio. Toni pun tertunduk, “Belum ayah” Katanya pelan. Memang Toni seharian ini belum memberiku makanan apapun, tapi bukan aku pelakunya. Aku tidak mungkin segila ini melakukan ini semua untuk orang-orang yang telah mau menerimaku tinggal bersamanya. “Kembalikan dia kekandangnya. Jangan sekali-kali memungutnya kembali. Sekali hewan tetaplah hewan.!” Umpat Bu Nanik. Dengan terpaksaa, dan saat itu juga aku dibopong Pak Bagio dan Toni mengikutiku dari belakang. Aku sangat sedih, kebahagiaan yang selama ini aku rasakan akan sirna hanya karna sesuatu yang tidak pernah ku lakukan. Toni juga terlihat sangat sedih bercampur kecewa melihatku. Kambing yang selama ini ia rawat, malah mengecewakannya. Dunia ini memang tidak diadakan untuk hewan sepertiku. Aku memang membawa kesialan seperti kata ayah dan ibuku dulu. Pantas aku ini dijuluki kambing hitam pembawa kesialan. Namun sampainya di depan kandangku, saat Pak Bagio akan membuka kandang kambing yang biasanya dikunci dengan menggunakan ganjal bambu, dia merasakan keanehan. Kandang dalam keadaan tidak terkunci. Aku diletakkannya kembali kedalam kandang lamaku dan aku berjumpa kembali dengan semua keluarga lamku itu. Pandangan mereka terhadapku seperti mengejekku. Mereka pun melompat-lompat kegirangan menyaksikanku kembali berada dalam satu kandang dengan mereka. Tapi pada saat Pak Bagio akan menutup kembali kandang tersebut, dilihatnya berbagai makanan yang tadinya ada dirumahnya kok sekarang beralih ke kandang kambing miliknya. Dilihatnya pula kaki-kaki kambingnya itu penuh dengan saus, kecap, dan bumbu dapur lainnya. “Ibu, Nana. Cepat kesini.!” Teriak Pak Bagio. Secara cepatpun Ibu Nanik dan Nana berlari menuju kandang kambing. “Lihat itu!” ujar Pak Bagio dan Toni bersamaan. Alangkah kagetnya Ibu Nanik, Nana serta Aku saat melihat kejadian ini, ternyata bukan aku yang mengacak-acak dapur, melainkan keluargaku. Dengan terbuktinya kasus ini, bukan aku yang melakukanya aku dibolehkan kembali tinggal di dalam rumah bersama Toni. Dengan begini memang telah aku sadari bahwa, kebahagiaan ada di pihak Kambing Hitam yang telah dikambing hitamkan. T A M A T