Anda di halaman 1dari 6

Kambing Hitam

Karya: Fransisca Dara A


“Ayah, Ibu mengapa aku berbeda?”
“Apa benar kebahagiaan tidak pantas aku perolehkan! Apa salahku?”
“Aku memang kambing hitam!.”
Sudah tidak ada lagi yang mau bermain denganku, Toni telah membenciku, begitu
juga dengan Nana, Ibu Nanik, dan Pak Bagio. Terlebih keluargaku sendiri tidak
suka denganku. ibuku yang melahirkanku pun lebih membedakan aku dengan
saudaraku yang lainnya. Ingin sekali aku katakana pada Toni bahwa bukan aku
yang melakukan itu semua. Tapi aku tidak bisa berbuat apa-apa selain mencoba
bertahan dikandang ini dengan semua caci maki keluargaku, perlakuan tidak adil
ibu bapakku, kenakalan-kenakalan para saudaraku.
Memang aku hanya seekor kambing yang terlahir berbeda dari rahim yang
sama. Pada waktu ibu melahirkanku, kakak-kakaku langsung mengembik setelah
keluar dari rahim ibuku. Mereka berdua memiliki bulu berwarna putih, seperti
bulu yang dimiliki ayah dan ibuku. Ayah dan ibuku menyambut mereka dengan
gembira, terlebih ayahku, dengan segera menjilati kotoran yang menempel
dibadan kedua kakakku itu. Mungkin dibenak ayah, inilah anak-anak yang akan
menjadi gagah dan menjadi penggantinya kelak. Berbeda denganku, aku yang
terlahir belakangan, tidak mengembik bahkan lemas tak berdaya keluar dari rahim
ibuku. Ayah dan ibuku sangat kaget melihatku. Aku bagaikan kutukan yang
mereka dapatkan. Warna buluku hitam pekat, mengembik saja aku tak bisa.
Ayahku saja tak sudi memandangku, dia lebih asyik menjilati bulu-bulu kedua
kakakku tanpa memperdulikan aku.
Beberapa bulan kemudian, aku dan kedua saudaraku beranjak besar. Aneh
yang kurasakan, dan tidak aku saja yang merasakan keanehan pada diriku ini.
Keluargaku dan kedua kakakku pun merasakan hal yang benar-benar aneh
menurut mereka. Jika semua keluargaku suka berkumpul bersama, bermain
bersama, makan rumput pemberian Pak Bagio bersama, tapi aku tidak menyukai
semua itu. Aku lebih suka berdiam diri di pojokan kandang yang sekaligus tempat
tidurku selama ini, memandangi langit, melamunkan kebahagiaan akan datang
kepadaku. Selalu ku pikirkan kenapa aku terlahir berbeda dengan saudarku yang
lainnya sehingga membuat ibu bapakku lebih memilih menjauhiku, ibuku
memberikan susunya sangat sedikit kepadaku, ayahku lebih suka menggendong
kedua kakakku dibandingkan bermain denganku. mereka lebih suka
mengambilkan makanan untuk kedua kakakku dibandingkan mengambilkannya
untukku. Padahal aku ini anak mereka, hasil kawin mereka berdua.
Pernah suatu ketika aku berniat untuk bermain dengan kedua saudaraku
yang sedang memainkan bola pemberian Toni. Toni adalah anak berusia kurang
lebih 8 tahun, anak Pak Bagio dan Ibu Nanik pemilik rumah didepanku beserta
pemilik kandang kambing berserta isinya. Meraka sangat baik terhadap
keluargaku. Terlebih Toni, yang menurutku ia suka denganku. karena setiap
ayahnya memberikan makan untuk keluargaku, ia mengikutinya dan selalu
membelai buluku yng hitam ini. Tidak pernah ia berprilaku seprti itu kepada
keluargaku yang lainnya.
“Mbeeekk, aku mau ikut main.” Kataku.
Kakak pertamaku menoleh dan menjawab; “Mbeekk, memang kamu bisa main
bola.”
Namun kakak keduaku berbisik-bisik kepada kakak pertamaku, sepertinya mereka
berdua sedang memikirkan sebuah rencana.
“Baiklah, kamu aku ijinkan ikut bermain”kata kakak pertamaku lagi.
Denagn senang hati aku mendatangi mereka, tapi tiba-tiba tanpa kuduga kakak
pertamaku menendang bola sekeras mungkin dan tepat mengenai wajahku hingga
aku terpental ke belakang menubruk kandang tempatku biasa berbaring.
Gubraakkk..aku pun mengerang kesakitan. Tiba-tiba terdengar suara tangis kakak
kaeduaku, entah kenapa dia tiba-tiba menangis. Seraya ayah dan ibuku
mendatanginya dan menanyakan apa yang terjadi. Kakak keduaku melaporkanku
kepada ayah ibuku bahwa aku telah membuang bola mereka keluar kandang. Aku
pun sangat kaget, inikah yang telah direncanakan kedua saudaraku tadi. Padahal
bola yang keluar kandang itu bukan aku buang. Bola itu terpantul keluar kandang
setelah menghantamku. Ayah dan iuku yang tidak tahu apa-apa langsung
memarahiku dan membentakku. Ayahku sangat marah melihat sikapku yang
seperti itu. Ku hanya tertunduk mendengar tuduhan ayahku itu, ku liirik kedua
kakakku, dia tersenyum hebat disana. Merasa berhasil atas rencananya.
Tidak hanya itu kenakalan kedu saudaraku itu. Saat itu Toni, dan Nana
menggantikan Pak Bagio untuk memberikan makanan kekandangku. Nana yang
bertubuh agak besar dari Toni membawa rumput yang banyak, sedangkan Toni
hanya menenteng ember berisi air ditangan kanannya dan buah apel ditangan
kirinya. Setelah itu Nana menaruh rumput itu di tempat makan keluargaku, air
yang dibawa Toni disusupkan diantara rongga kandang kami tempat menaruh air
minum kami. Secara tiba-tiba Toni menghampiriku, memberiku sebuah buah apel
yang dibawanya tadi dan mengelus bulu halusku. Aku pun menerimanya dengan
senang hati dan mengembik untuk mengucapkan terimakasih kepada Toni.
Setelah itu aku memakan apel yang diberika Toni, rasanya sangat lezat berbeda
dengan rumput yang biasa aku makan. Dan mulai sejak itu Toni sering
memberiku buah-buahan dan terkadang membawakanku susu. Melihat keadaan
itu keluargaku yng lainnya merasa iri atas perlakuan Toni terhadapku. Seperti
biasa sekarang Nana dan Toni yang lebih sering mengunjungi kandang kami,
karena ku dengar Pak Bagio sedang sibuk dengan pekerjaannya di kelurahan.
Seperti biasa Nana yang membawa rumput, dan Toni yang membaakan air untuk
kami. Seperti biasanya juga Toni membawakanku Buah dan Susu, serta mengelus
bulu hitamku kemudian pergi. Kemudian entah karena rasa iri keluargaku
terhadapku telah memuncak, tanpa kusadari kakak keduaku menendang wadah
susu pemberian Toni itu, secara langsung air susu itu tumpah kewajahku yang saat
itu tidak siap menghindar. Melihat kejadian itu seluruh keluargaku malah
menertawakan dan mengejekku, tanpa terkecuali ayah dan ibuku. Aku merasa
sangat sedih berada dalam lingkungan keluargaku sendiri. Ini yang membuatku
tidak ingin dekat-dekat dengan mereka dan merasa senang dalam kesendirian.
Satu tahun telah kulewati dengan penuh siksaan dan cemoohan dari
keluargaku sendiri. Tapi sekarang aku berbeda dengan aku yang dulu. Aku yang
dulu adalah aku yang lemah tak berdaya, aku yang diam saja saat dianiaya oleh
kedua kakakku, aku yang selalu tertunduk jika dimarahi ayahku pdahal aku tidak
mengerti apa salahku, aku yang dulu adalah aku yang bertubuh kecil dan ringkik
karena jatah asi dari ibuku yang terbatas, dan makanan serta minuman yang
terbatas pula jika dibandingkan dengan kudua saudaraku yang diperlakukan
berbeda oleh kedua orang tuanku. Tapi aku yang sekarang adalah aku yang berani
menatap wajah ayahku dan membalas umpatan ayahku saat aku dimarahi, aku
yang sekarang adalah aku yang berani membalas kejahilan yang dilakukan kedua
saudaraku, dan aku yang sekarang adalah aku yang bertubuh lebih besar dari
kedua saudaraku berkat makanan yang diberikan Toni kepadaku selama ini.
Tonilah yang telah membuatku kuat seperti ini. Hanya dialah yang mengti aku
dan sayang padaku. Walau tidak semua yang ada pada diriku sepenuhnya berubah.
Aku tetap suka menyendiri dipojokan kandangku, aku tetap menyukai
memandang langit diatasku. Namun kini yang aku lamunkan telah berbeda, tidak
lagi ku lamunkan kenapa aku terlahir berbeda dan keluargaku tidak pernah
menyayangiku. Lamunanku yang sekarang adalah lamunan pergi dari kandang
tempatku tinggal selama ini, dan aku ingin bermain bersama Toni setiap hari,
walau itu hanya sebuah lamunan aku merasa bahagia. Aku pun berharap semoga
lamunanku kali ini bisa menjadi kenyataan untuk segera pergi dari kandangku dan
selalu bersama Toni.
Pagi itu pagi yang cerah, seperti biasa aku sedang bersantai dipojokan
kandang. Ayah ibuku sedang asyik bercengkrama berdua, sepertinya mereka
berdua berencana memiliki anak lagi. Kedua kakakku asyik bermain di sudut yang
berlawanan denganku. dari kejauhan ku dengar suara Toni dengan Pak Bagio
mengarah mendekati kandang kami. Aku pun angkit dari tidurku dan berdiri tegak
persisi didepan tempat iasanya aku dan Toni bertemu. Ku longokan kepalaku
untuk melihat Toni, ia pun mendekatiku dan mengelus buluku seprti biasa.
“Yah, boleh ya aku memeliharanya di dalam rumah. Biar Toni punya teman
bermain, Yah”. Kata Toni kepada ayahnya.
“Apakah kamu, siap dengan segala resikonya seperti yang telah ayah jelaskan
padamu, Nak?”
“Sudah siap ayahku sayang. Aku pasti menjalankan semua yang telah ayah
sampaikan kepadaku” sahut Toni.
Mendengar percakapan itu aku tidak tahu apa yang sebenarnya mereka inginkan.
Tapi menurutku ini akan berujung bahagia untukku. Kulihat Pak Bagio membuka
kandang kami. Seluruh keluargaku pun berdiri melihat Pak Bagio dan Toni
memasuki kandang. Mereka mengarah mendekatiku. Kemudian Toni pun
mengelusku seprti biasa dan menggendongku pergi dari kandang.
“Mulai sekarang kamu akan menjadi teman bermainku.” Kata Toni sambil
menggendongku.
Keluargaku melongo tanpa henti melihatku dibawa keluar kandang. Mereka
mungkin tidak percaya dengan apa yang dilihatnya. Aku pun sangat senang
mendengar kata-kata itu dan melihat kejadian ini. Ku tatap semua keluargaku dan
ku bilang dengan nada kemenangan “Selamat tinggal”.
Impianku telah terwujud. Sekarang aku tinggal dirumah keluarga Pak
Bagio dan Bu Nanik, aku tidur dikandang kecilku yang lucu. Kandang tersebut ti
tempatkan di kamar Toni supaya aku bisa setiap waktu bersamanya. Makanan
yang diberikan kepadaku Buah-buahan dan Susu, namun terkadang juga rumput
dan air biasa. Ini yang membuat selera makanku berubah. Aku lebih menyukai
memakan buah-buahan dan minum susu. Alangkah bahagianya aku sekarang,
hampir tidak pernah ku bayangkan aku akan sebahagia ini. Semua ini sangat
berbeda dengan kehidupanku setahun silam. Setiap hari aku bermain dengan Toni,
ia menjagaku dengan tulus dan kasih sayang. Aku sering diajaknya pergi keluar
rumah. Berkeliling kompleks dan berjalan ke pasar yang tidak terlalu jauh dari
rumah Toni untuk membelikanku makanan dan susu. Setiap tiga minggu sekali
aku dimandikan agar tetap bersih dan tidak bau. Gigi-gigiku dibersihkan,
kandangku selalu bersih, terkadang Toni membawaku ke dokter hewan untuk
memeriksakanku. Ia juga membelikanku mainan khusus hanya untukku. Hari
demi-hari yang kulewati sungguh membahagiakan.
Keadaan dikandangku sekarang telah berbeda. Yang dulu kedua kakaku
suka bersenang-senang dan main bersama, kini maereka berdua sering berkelahi
mempermasalahkan perbedaan-perbedaan kecil diantara mereka. Ayah dan ibuku
juga lebih sering bertengkar dan salah paham. Aat itu kulihat dari pintu belakang
rumah kandangku sangat ramai. Bukan ramai kebahagiaan atas kepergianku
melainkan ramai pertengkaran yang tidak satu pun ku ketahui alasannya.
Ku dengar Pak Bagio dan Bu Nanik akan pergi menghadiri undangan
pembukaan rumah makan milik salah seorang temannya. Sehingga ku perkirakan
rumah itu akan sepi hingga menjelang Sore hari. Nana pergi kesekolah, dan
setelah itu dia harus mengikuti les bimbingan ujian nasional disekolahnya, karena
ia akan menempuh ujian nasional tingkat SD bulan depat. Sementara itu Toni
sepulang sekolah harus mengikuti pertandinagan sepak bola antar sekolah dasar,
dan tidaklah mungkin aku ikut dibawanya. Dengan terpaksa sehari itu aku hanya
diam sendirian di kandang kecilku dan menahan rasa lapar yang mulai
merongrong perut kecilku sampai menunggu Toni pulang dari pertandingannya.
“Astaga.! Apa-apaan ini?” jerit Bu Nanik.
Pak Bagio pun berlari menuju arah teriakan itu.
“Kurang ajar. Siapa yang meelakukan semua ini?”
Nana dan Toni yang baru datang pun berlarian menuju kegaduhan dirumahnya itu.
Aku pun terkaget-kaget mendengar suara teriakan Bu Nanik dan Pak Bagio itu.
Ku buka mataku yang tadinya terlelap tidur, segera ku keluar kandang dan berlari
kearah teriakan tersebut. Tapi apa yang terjadi. Aku tercengang melihat dapur
rumah yang berantakan. Bahan makanan yang berserakan, segala alat daput yang
berterbaran dimana-mana, piring dan mangkok yang pecah dimana-mana, bumbu
dapur tumpah ruah menjadi satu. Apa yang telah trjadi dirumah ini, jika ada
gempa saat aku tertidur tadi, kenapa hanya dapur yang keadaanya mirip kapal
pecah ini? Dilubuk hatiku yang terdalam aku merasa tidak berguna untuk menjaga
rumah ini. Tidak bisa membalas apa yang telah keluarga Pak Bagio berikan
kepadaku dan keluargaku.
Semua orang rumah sibuk membersihkan ruangan itu. Aku hanya bisa
berdiri terdiam sembari melihat mereka membersihkan dapur. Setelah semuanya
bersih, walau tidak seprti sedia kala. Bu Nanik pun menatapku yang berada di
dekat meja makan.
“Kambing itu yang telah mengacak-ngaak rumah ini, pasti kambing itu.!” Sambil
menuding ke arahku.
Semua mata tertuju kepadaku termasuk Toni.
“Bukan bu, pasti bukan dia.” Jawab Toni.
Pak Bagio pun pergi kea rah kamar Toni, dan kembali lagi kedapur dengan
membawa tempat makanku yang kosong tanpa makanan.
“Toni, lihat ini.! Apa kamu tadi member kambing itu makanan?” kata Pak Bagio.
Toni pun tertunduk, “Belum ayah” Katanya pelan.
Memang Toni seharian ini belum memberiku makanan apapun, tapi bukan aku
pelakunya. Aku tidak mungkin segila ini melakukan ini semua untuk orang-orang
yang telah mau menerimaku tinggal bersamanya.
“Kembalikan dia kekandangnya. Jangan sekali-kali memungutnya kembali. Sekali
hewan tetaplah hewan.!” Umpat Bu Nanik.
Dengan terpaksaa, dan saat itu juga aku dibopong Pak Bagio dan Toni
mengikutiku dari belakang. Aku sangat sedih, kebahagiaan yang selama ini aku
rasakan akan sirna hanya karna sesuatu yang tidak pernah ku lakukan. Toni juga
terlihat sangat sedih bercampur kecewa melihatku. Kambing yang selama ini ia
rawat, malah mengecewakannya. Dunia ini memang tidak diadakan untuk hewan
sepertiku. Aku memang membawa kesialan seperti kata ayah dan ibuku dulu.
Pantas aku ini dijuluki kambing hitam pembawa kesialan.
Namun sampainya di depan kandangku, saat Pak Bagio akan membuka
kandang kambing yang biasanya dikunci dengan menggunakan ganjal bambu, dia
merasakan keanehan. Kandang dalam keadaan tidak terkunci. Aku diletakkannya
kembali kedalam kandang lamaku dan aku berjumpa kembali dengan semua
keluarga lamku itu. Pandangan mereka terhadapku seperti mengejekku. Mereka
pun melompat-lompat kegirangan menyaksikanku kembali berada dalam satu
kandang dengan mereka. Tapi pada saat Pak Bagio akan menutup kembali
kandang tersebut, dilihatnya berbagai makanan yang tadinya ada dirumahnya kok
sekarang beralih ke kandang kambing miliknya. Dilihatnya pula kaki-kaki
kambingnya itu penuh dengan saus, kecap, dan bumbu dapur lainnya.
“Ibu, Nana. Cepat kesini.!” Teriak Pak Bagio.
Secara cepatpun Ibu Nanik dan Nana berlari menuju kandang kambing.
“Lihat itu!” ujar Pak Bagio dan Toni bersamaan.
Alangkah kagetnya Ibu Nanik, Nana serta Aku saat melihat kejadian ini, ternyata
bukan aku yang mengacak-acak dapur, melainkan keluargaku. Dengan
terbuktinya kasus ini, bukan aku yang melakukanya aku dibolehkan kembali
tinggal di dalam rumah bersama Toni. Dengan begini memang telah aku sadari
bahwa, kebahagiaan ada di pihak Kambing Hitam yang telah dikambing
hitamkan.
T A M A T

Anda mungkin juga menyukai