Anda di halaman 1dari 10

Di Tengah Keluarga

Sinopsis
AKU ANAK AYAHKU yang sulung. Aku anak ibuku yang sulung. Ya,
aku lelaki. Ini penting ku jelaskan, karena pernah aku dirumah sakit
disangka wanita, karena namaku. Aneh sebenarnya, karena nama itu
sendiri sedikit pun tak mirip dengan nama wanita, bangsa apapun.
Tapi memang aku pernah disangka wanita. Baiklah, sepertinya itu tak
begitu penting. Yang harus kukatakan lagi adalah bahwa sejak bisa
berfikir panjang, aku mendapati ayah telah bercerai dengan ibuku. Ini
patut dan penting kujelaskan, karena kemudian seumur hidupku
selalu dirundung soal ini saja: perceraian mereka. Banyak benar
pengaruh perceraian itu padaku.

Selain aku, dengan ayahku ibu mendapat anak pula. Itu adikku.
Adik kandung. Lelaki yang bertubuh seperti cacing lemah selalu
kelihatannya. Dan sejak itu, ibu tak punya anak lagi. Ketika saja
beberapa bulan adikku dilahirkan, ibu bercerai dengan ayah. Dan
dengan suami-suaminya yang kemudian, ibu tak pernah lagi
mendapat anak. Berlainan dengan ayah. Ayah kawin lagi dua kali
sejak bercerai dengan ibu—sedang ibu tiga kali. Dari kedua
perkawinan itu, ayah senantiasa dikaruniai anak. Tapi ibu tidak. Dari
ketiga perkawinannya itu, tak seorang pun ia mendapat anak.

Ah, aku masih ingat betapa lucu ayah mengatakan hal itu; malu-
malu seperti pemuda meminang kekasihnya. Perkawinan akan
dilangsungkan minggu mendatang. Dan minggu itulah aku mendapat
lagi seorang ibu tiri. Seorang janda alit yang walaupun tubuhnya kecil
tapi telah punya dua orang anak. Dan kini kembali berserilah rumah
ayah, ada seorang isteri, ada tiga orang anak. Kedua anak ibu tiriku itu
dibawa semua kerumah ayah dan seorang lagi adikku: adikku—anak
ayah dengan ibu tiriku yang pertama. Sedang kami—aku dan adik
kandungku—tak mau tinggal bersama ayah, tak mau tinggal bersama
ibu tiri. Dan kami memang selalu tinggal bersama ibu, sejak kecil.

Mungkin karena sekarang aku sudah berfikir lebih banyak


daripada dulu, kini aku mempunyai sikap lain terhadap ibu tiri yang
baru ini. Tumbuh saja benciku padanya. Tak tahu benar aku mengapa,
cuma ... mungkin karena telah banyak buku kubaca dan banyak
dongeng ku dengar tentang perilaku seorang ibu tiri. Ibu tiri selalu
diceritakan suka menggodok anak tirinya, selalu berbuat tak adil
terhadap anak tirinya, jika suaminya tiada, ia membentak anak
tirinya, dengan sebuah cameti ditangan. Dan dengan sendirinya
karena pengaruh cerita-cerita itu, aku pun menganggap bahwa ibu tiri
kami ini akan kejam, sama kejam dengan pelaku-pelaku cerita yang
kubaca atau kudengar itu.

Gaji ayah walaupun dia sedang ditahan masih juga diterima, oleh
ibu tiriku tentu, karena ia sebagai isterinya berhak menerima gaji
penuh selama tiga bulan yang pertama. Kamipun menganggap itu
adalah sewajarnya saja, bukan hal yang mesti menimbulkan benci.
Tapi yang tak kami sukai ialah karena gaji ayah itu tak pernah sedikit
pun diberikan kepada nenek yang sudah tua—orang tua ayah sendiri.
Dan karena itu nenek terpaksa bekerja pada orang lain agar bisa
menyambung hidupnya. Dan kakek yang sudah bermata lamur itu
mesti pula tiap hari ke kebun jatinya, bekerja keras. Ya, bekerja keras,
walau keduanya telah begitu tua, telah terlalu tua untuk bekerja
sekeras itu.

Dan karena melihat keadaan kakek dan nenek yang menyedihkan


itu, aku pun sering mencuri beras dari ibu dan kuberikan kepada
nenek. Ya, karena nenek sering tak bisa makan tiap hari, karena tak
ada beras. Kadang-kadang dua hari nenek hanya bisa makan jagung
saja, atau kalau nasib lagi baik bubur. Dan melihat ini mengucurlah air
mataku.

Aku tahu, gaji ayahku besar juga, malah sangat besar jika
dibandingkan dengan kehidupan di kota kami yang kecil dan serba
murah itu. Dan tentu gaji ayahku akan berlebihan, lebih dari
mencukupi untuk hidup berdua ditambah empat orang anak kecil.
Dan tentu jika ada keikhlasan, ayah akan bisa menyisakan sebagian
dari gajinya untukku. Tapi rupanya justru keikhlasan itu yang tiada!

Dan sekarang ayah sudah punya gedong. Tapi heran, ia makan


tetap seperti dulu, seperti dulu zaman Jepang (hanya sekarang ada
nasi, benar-benar nasi), seperti dulu ketika zaman perang, seperti
dulu ketika masa-masa permulaan ayah baru keluar dari tawanan.
Sedikit. Tak banyak lauk. Kenapa ayah bercerai dengan ibuku, hingga
kini tanda tanyalah bagiku. Dan lagi, ketika mereka bercerai aku baru
berumur tiga tahun. Mana bisa ingat!

Dan kini ayahku telah mempunyai anak lagi. Dari isteri yang baru.
Dan ibukku punya anak pungut, karena dengan suaminya yang
sekarang, ibu tak pernah melahirkan lagi.

Ayah tiriku memang kepengen benar punya anak. Tapi, tentu saja
bukan anak kecil yang berumur setahun dan sejijik itu! Ya, jijik benar!
Badannya penuh borok. Telinganya bernanah. Baunya bukan main.
Tapi ibuku menerima anak itu juga. Dan anak kecil yang lemah, tak
ada harapan untuk hidup setahun lagi itu, dimasukkan kedalam
sebuah kandang yang sengaja dibikinkan oleh ayah tiriku. Dan
seharian, jika tidak menangis minta makan, atau mempermainkan
rusuk-rusuk kandangnya, ia tidur nyenyak-nyenyak sekali.

Tapi kini, anak kecil penuh borok itu tiada lagi. Yang ada kini,
seorang gadis kecil yang gemuk sehat. Nakal. Tertawa keras sekali.
Dan ... manja.

Kakekku lain lagi. (Yang ku maksud dengan kakekku itu, ialah


kakek tiriku, ayah tiri ibuku, suami nenek sekarang. Karena kakek
kandungku telah brcerai dengan nenekku, lama sebelum aku lahir.
Lama sebelum ayah dan ibuku kawin. Dan aku sendiri tak begitu
mengenal kakek kandungku ini, selama paling banyak aku tiga kali
pernah ketemu dia). Dia mempunyai gigi palsu yang sering
kusembunyikan. Ini jika lupa kakek memakainya kembali waktu
mandi, marah-marahlah dia. Dan jika uang itu sudah kuterima, baru
gigi palsu itu kukembalikan.

Dulu kakek bisa dibilang kaya, karena punya sawah luas, punya
kebun luas. Kini kekayaannya tiada lagi. Yang tinggal padanya
sekarang hanya beberapa bidang sawah. Yang lainnya dijual. Untuk
ongkos ayah sekolah dulu—lama sebelum aku lahir. Waktu itu sedikit
sekali yang berani menyekolahkan anaknya demikian rupa. Tapi
kakekku berani menjual sawah dan kebunnya untuk kepentingan
sekolah ayah. Dia berani mengutang di Bank desa yang karena itu dia
pernah dipangil ke balai desa karena tak bisa melunaskan utangnya.
Sejak itu mesti kerja lebih berat lagi, karena sawahnya sebagian besar
disita.

Sudah sejak dulu, jika aku sekali datang berkunjung ke rumah


kakek, mesti saja mendengar laporan berupa keluhan atas kekejaman
ibu tiriku, menantunya. Jika pada musim paceklik, di rumah ayahku
orang masih makan nasi biasa, di rumah orang tuanya—cuma
diantarai oleh sebuah rumah sebesar gondok—kakek dan nenek dan
bibi makan nasi campur jagung sekali sehari, dan kalau lagi nasib baik,
paginya makan bubur. Dan jika pun beras dan makanan berlimpahan
di rumah yang jaraknya begitu dekat, tak pernahlah tumpah ke rumah
kakek. Tapi herannya, bisa datang dari rumah orang tua ibu tiriku
yang jauhnya hampir setengah kilometer dan terletak di lain desa
pula.

Kecuali teman, dia juga pelindungku. Dialah selalu yang


mempertahankan aku dari serangan teman yang galak. Sekali dia
pernah hingga benjol-benjol kepalanya karena mempertahankan aku.
Dan aku jadi terharu oleh keikhlasannya berteman. Oleh kerelaannya
berkurban untuk aku. Sejak itulah aku menganggapnya sebagai
temanku benar-benar, walau bau rokoknya tak berkurang, malah
bertambah.

Beberapa hari kemudian, dia tak pula datang menjemputku. Aku


menunggu, tak juga datang. Dan aku berangkat ke sekolah, sendirian.
Hawatirku timbul selama aku berjalan. Ketika aku kembali dari
sekolah, mendapat kabar, ayah temanku, kakek penganyam bakul itu,
meninggal dengan tiada mendapat sakit yang keras lebih dulu.
Temanku sedih benar. Tapi menggembira-gembirakan hatinya waktu
menyambut para tamu.

Dan ibu yang sudah tua itu berkatalah pada ayah, lama setelah
sepi, dan hari telah berganti oleh malam, dan tinggal beberapa orang
saja tamu yang hadir. Dia bilang, sekarang anaknya terpaksa
menghentikan sekolahnya, karena tak ada orang lain yang bisa
bekerja untuk mereka. Terpaksa temanku yang masih begitu muda itu
bekerja keras untuk menghidupi keluarganya; ibu, kakak, adik, dan
kemenakannya.

Dan muka temanku makin sedih mendengar omongan ibunya itu.


Dan ia pun menambahkan beberapa kalimat; bahwa ia terpaksa
keluar sekolah.

Kini aku sendirian. Untung kerbau-kerbau itu jinak, tak mau masuk
kebun Pak dulah. Aku pun bernyanyilah. Nyanyian yang sumbang,
karena aku tak bisa menyanyi. Ketika mataku melihat saung di kebun
Pak Dulah, kupikir mungkin si Obod disana. Tapi sekeliling kebun itu
dipagar. Dan untuk masuk melalui pintu tak bisa, karena diikat oleh
Pak Dulah. Terung dan ketimun sedang berbuah. Cabe sudah merah-
merah kulihat. Tapi siapa bilang si Obod tak bisa melompati pagar itu
dan kini edang tidur di saung itu. Untuk membuktikan sendiri aku tak
berani, takut kepergok Pak Dulah.
Unsur Intrinsik
1.Tema

Kumpulan cerpen “Di Tengah Keluarga” menampilkan sekumpulan


cerita dari sosok Ajip yang sedari kecil sudah dihadapkan pada
masalah-masalah keluarga yang rumit akibat perceraian. Latar
belakang sosial, ekonomi dan tempat kejadian cerita, secara teratur
dan terangkum dalam cerpen ini.

2. Latar

Latar tempat yang terdapat dalam buku ini yaitu Rumah Nenek Ajip,
Kota Kewedanan, Mushola, Jati Wangi, Cangcalayang, Sekolah,
Rumah Pak Lurah, Ruamh Bu Rusih, Kebun Tebu, Sungai Cikeruh dan
Sawah, Rumah .

3. Penokohan dan Perwatakan

Ajip : pantang menyerah, gigih, sabar, rajin

Nenek Ajip : baik, bijaksana, penuh kasih sayang, sabar, pasrah

Ayah Ajip : terlalu tunduk pada ibu tiri ajib, lemah, tidak tegas,
keras kepala, egois, tidak adil

Ibu Ajip : baik, egois

Ibu Tiri Ajip : pemarah, cengeng, tidak adil, tidak mempunyai rasa
kasih sayang, pelit, sombong, angkuh

Kakek Ajip : selalu mengeluh, pekerja keras, baik


Mang Memet: baik, tegas, bersahabat, bijaksana

Bu Rusih : baik, perhatian

Mak Impen : baik, penuh kasih sayang, bijaksana

Mapi : jahat, sombong, selalu berkata bohong

4. Alur

Dalam buku ini menggunakan alur gabungan (alur maju dan mundur).
Alur maju ketika pengarang menceritakan dari mulai kecil sampai
dewasa dan alur mundur ketika menceritakan peristiwa waktu kecil
pada saat sekarang/dewasa.

5. Gaya Penulisan

Gaya penulisan buku ini menggunakan ejaan bahasa Indonesia lama.


Setiap kata memiliki arti yang sangat dalam sehingga pikiran pembaca
akan masuk kedalam cerita. Penulis juga menyelipkan beberapa
penjelasan kata didalam paragraf tersebut.

6. Amanat

Amanat yang disampaikan dalam buku Di Tengah Keluarga ini adalah


jangan berhenti berusaha keras demi menggapai cita-cita dan jangan
pernah merasa putus asa ketika cobaan terus menghampiri diri kita.
Pada prinsipnya manusia tidak akan pernah bisa untuk lepas dari
sebuah permasalahan dalam hidupnya, kita pun sebagai manusia
harus terus berusaha untuk tidak cepat putus asa dalam menghadapi
permasalahan hidup.

7. Sudut Pandang

Sudut pandang cerita ini adalah orang pertama (aku). Dimana penulis
memposisikan dirinya sebagai tokoh utama dalam cerita.

Unsur Ekstrinsik
1. Nilai Moral

Nilai moral pada novel ini sangat kental. Sifat-sifat yang tergambar
menunjukkan rasa semangat dan kegigihan seorang Ajip dalam
menyikapi kerasnya kehidupan. Tokoh utama digambarkan sebagai
sosok remaja yang mempunyai tekad dan semangat yang tinggi.

2. Nilai Sosial

Cerita ini memiliki nilai sosial yang kurang baik. Hal ini terlihat pada
Ibu Tiri Ajip yang berlaku tidak adil pada Ajip dan keluarga dari ayah
ajip terutama nenek dan kakek ajip.Terlihat pula pada prilaku teman
ajip yaitu Mapi yang berbohong kepada masyarakat tentang ajip, dan
ketika nenek ajip yang terpaksa mencuri tebu karena ajip yang
memaksa.

3. Nilai Adat istiadat


Adat kebiasaan pada keluarga ketika anak kecil tidak boleh
mencampuri urusan orang tua, kebiasaan menyewakan lahan
pertanian untuk beberapa tahun, dan peraturan yang sangat kental
ketika suku sunda dan suku jawa dilarang untuk hidup bersama-sama.

4. Nilai Agama

Nilai agama pada cerita ini juga terlihat ketika kekek ajip sering
menempati mushola yang berada di samping rumahnya.

Anda mungkin juga menyukai