Anda di halaman 1dari 6

Aku Dalam Sepi

Cerpen oleh : Abdul Wahab

Aku suka bermain di pasir-pasir. Aku bisa menghabiskan waktu berjam-jam lamanya jika ada
yang sedang membangun rumah. Biasanya ketika ada yang membangun rumah. Di depannya
ditumpuk pasir sungai, aku suka bermain disana walaupun sendirian.

Besok aku berencana selepas pulang dari SD aku akan bermain sampai sore datang. Aku suka
membuat istana-istana dari pasir atau terowongan. Lalu ketika sudah siap menjadi bangunan
yang aku buat, aku akan memeragakan diri sebagai monster layaknya di serial TV Ultraman.
Aku hancurkan apa yang sudah aku buat. Dan saat itu pula aku memeragakan juga sebagai
Ultraman. Keren batinku aku bisa memeragakan beberapa tokoh.

Aku kadang bermain layang layang bersama Toni. Tapi aku tak bisa menerbangkan layang-
layang. Aku hanya bisa berlari-lari disuruh memasang jarak layang layang yang disiapkan
untuk terbang tanpa merasakan bagaimana indahnya memainkan layang diangkasa. Tapi aku
merasa cukup senang dengan bermain bersama teman-teman. Kadang saat musim penghujan
tiba, di sawah yang menghampar luas di seberang rumah kami tergenang air dan tumbuh
subur kangkung-kangkung liar yang segar-segar dan mengundang selera untuk memetiknya.
Biasanya aku petik kangkung itu dengan berbekal hanya sekantong plastik hitam besar dari
rumah.

Setiba aku di rumah biasanya nenekku menyambutku dengan gembira karena aku membawa
kangkung sekantong plastik besar. Malamnya aku dimasakkan tumis kangkung oleh nenek.
Kami makan bersama. Aku, kakek, nenek. Hanya bertiga saja. Sebenarnya aku ingin
mengajak pula kakakku, tapi entah kemana dia tidak pernah tercium baunya. Dia jarang ada
di rumah. Seperti embun saja. Kadang di rumah kadang tak ada di rumah.

Pernah suatu ketika kakakku sepulang dari sekolah SMP-nya dengan sepeda onthelnya yang
rusak, bannya kempes dan jari-jari tangan kanannya mengucur darah dari garis goresan
seperti bekas pisau jecil atau silet, kata paman dia habis berkelahi sama teman di sekolah.
Biasa orang-orang menyebutnya tawuran atau apalah itu. Yang jelas mereka berkelahi. Setiba
di rumah kakakku dimarahi habis-habisan oleh paman serta kakekku. Aku kurang begitu
mendengar jelas apa isi pembicaraan itu. Hanya yang aku dengar suara paman seperti
membentak-bentak laksana petir yang menyala-nyala dengan sorot mata melotot.

Itu adalah kejadian yang aku ingat. Setelah kejadian itu kakak semakin jarang berada di
rumah. Jarang sekali kelihatan dia berbicara dengan orang rumah. Dia sering pergi tapi
kemana tak ada yang tahu. Kata pak Nur dia kerja serabutan di lain desa. Tapi ada yang
berkata bahwa dia mengasong di terminal.

Suatu malam ketika sehabis berjama’ah di masjid. Setelah sembayang isya tiba-tiba saja aku
diajak kakaku yang muncul dari belakangku, katanya ia mengajakku keluar untuk makan mie
pangsit. Aku pun mengiyakan saja. Diboncengnya aku dengan mengendarai sepeda onthel
yang biasa ia gunakan. Kami sampai di tempat penjual mie pangsit. Kakakku memesan juga
es setrup. Baru kali itu aku merasakan makan mie pangsit juga itu pertama kalinya kakak
mengajakku makan bersama.

“Kakak kemana aja? Jarang ada di rumah…” aku bertanya.

Dia hanya terdiam menyimpan muka masam di wajahnya. Dia menunduk saat itu.

Setelah kami pulang agak larut malam menurutku saat itu. Aku langsung dihadang oleh
pamanku, dan aku ditanya “Darimana aja? Udah larut malam!?” seperti petir menyambar
yang siap menerkam anak puyuh dalam sangkar. Aku setengah ketakutan, aku jawab kalau
aku diajak jalan kakakku beli makanan.

“Jangan mau diajak dia lagi, dia itu nakal, suka berkelahi, membantah orang tua !” tiba-tiba
kakekku menasehatiku. Seperti itukah sang kakek mengatakan bahwa kakakku begitu
jeleknya dihadapanku? Apa memang benar kakakku sejahat itu? Dalam hati aku merasa
kakakku tak seburuk itu. Buktinya aku diajak makan dan juga dibelikan es setrup padahal aku
tidak pernah meminta. Aku bahkan tak pernah dicubit atau disakiti olehnya, lantas bagaimana
kakakku nakal?

Sekarang aku tak pernah melihat kakakku masuk sekolah. Aku lihat sepeda onthelnya masih
tergeletak di belakang dapur berselimut debu. Kamarnya pun tertutup rapat selalu. Dari luar
dikunci gembok. Tapi lampu kamar masih menyala, nampak dari luar cahaya yang samar-
samar yang dihasilkandari bola lampu bernyala kuning.

Aku ingin bercerita tentang hal yang membuatku takut. Suatu ketika aku, kakek dan nenek
sedang keluar malam hari menaiki sepeda kumbang. Waktu itu malam hari yang pekat di
jalan yang sepi, samping jalan adalah hamparan sawah padi, seram sekali aku tak bisa
membayangkan kalau sendirian disitu terus tiba-tiba muncul mahluk halus. Aku dibonceng di
depan, kakek yang mengayuh dan nenek di belakang. “Tangannya Jangan menekan setir !”
tiba-tiba kakekku membentak. Aku tidak faham apa yang dimaksud kakekku. Padahal dari
tadi tanganku diam saja. Aku merasa takut kalau dibentak seperti itu. Itu adalah pengalaman
yang aku rasakan mengenai kakekku yang selalu aku ingat.

Suatu malam hari seperti dulu waktu kakakku datang, aku diajak lagi kakakku keluar. Aku
senang tanpa menunggu aku mengiyakan ajakannya aku langsung diboncengnya. Dalam hati
aku ingin bernyanyi saat itu tapi aku tak bisa bernyanyi aku hanya bahagia. Entah seperti apa
aku menjelaskn perasaan bahagiaku saat itu. Seperti saat aku menantikan siaran televisi
Doraemon setiap hari minggu.

“Ini buat jajanmu, Dik” kakak menyodorkan beberapa lembar seribuan setelah kami melahap
semangkok mie pangsit dan es setrup.

Aku masih teringat kata-kata dari mulut kakekku sendiri,bahwa kakakku nakal. Aku harus
menjauhinya.

“Maaf, Kak, aku tak bisa menerima, kakek kemaren bilang kalau kakak nakal. Aku disuruh
menjauhi kakak!” aku berkata lurus dan mengalir begitu saja.
Kakak terdiam dan tersimpan marah.

“Apa aku salah memberimu uang, Dik? Apa aku benar nakal setahumu? Apa aku
mengganggumu?” kulihat kakak nadanya tinggi dan matanya memerah. Ada perasaan
kecewa yang berat atas perlakuan kakek terhadapnya.

“Terima saja uang ini. Jangan takut. Ini dari uang kerjaku. Kamu nggak salah, nggak usah
takut”. Air mata kami berurai lalu pukul udara pukul 10 malam memaksa kami untuk pulang.

Kami pulang malam itu. Aku tak bisa merasakan apa yang dirasakan kakak saat itu, dalam
perjalanan kami hanya terdiam. Setelah kejadian itu kami tak pernah bertemu lagi. Aku tak
begitu risau, karena aku masih bisa bermain dengan teman-teman setiap hari.

Ayah dan ibu sudah lama berpisah, bahkan sebelum bisa bermain-main, ketika aku masih
digendong ibu. Aku tak pernah tahu dimana ayah berada? Apa dia berkumis seperti orang
India, atau orang desa yang sopan. Bahkan kata tetangga sebelah, sebenarnya nenek yang
setiap hari hidup bersamaku bukanlah nenek asli dari jalur darah ibu atau ayahku. Nenekku
adalah orang lain yang menjadi istri kakekku setelah bercerai dari nenek dari ibuku. Kalau
kakek adalah orang asli yang menjadi bapak dari ibuku. Kakek orangnya agak kasar, karena
telah aku katakan bahwa aku pernah dimarahi padahal aku tak tahu apa-apa. Nenek tak
pernah berkata apa-apa tentang semua yang terjadi, tak pernah berkata tentang kakak atau
ibuku.

Ibuku sekarang berada di Malaysia, bekerja disana, selalu mengirim uang setiap bulan untuk
aku dan kakak. Hingga aku bisa sekolah. Tapi sayang sekali kenapa kakak kok tidak sekolah
padahal ibu sudah pergi kesana untuk menyekolahkan aku dan kakakku.

Oh iya aku pernah dipukul oleh pamanku waktu sore-sore aku sedang bermain. Suatu sore
aku dipanggil pamanku tapi karena jaraknya jauh aku tak bisa mendengar suara
panggilannya. Lalu paman tiba dengan mengambil ranting pohon kemudian memukulkan ke
pahaku, aduh sakit sekali rasanya. Pasti memar dan membiru nanti, benarlah. Aku raba di
pahaku ada bengkak, nyeri sekali berhari-hari kurasakan, kalau aku tekan rasanya agak-agak
nikmat campur sakit.

Diantara keluarga yang dirumah, yang sering marah adalah paman dan kakekku. Terkadang
hal-hal yang remeh kerap menaikkan nada bicara dan tensi darah. Aku terkadang tak betah
jika terus-terusan dimarahi. Biarpun begitu kalau aku minggat mau kemana aku tinggal?
apalagi aku masih kecil, nanti kalo diculik dan dijual ke orang jahat bagaimana nanti?malah
menderita seumur hidup. Biarlah disini bersama keluarga yang aku kurang suka. Yang
penting aku bisa bermain dengan kawan-kawan aku dan mencari kangkung atau mencuri tebu
serta buah mangga Pak Slamet.

Suatu hari ada kejadian yang menghebohkan tetangga, ketika sore menjelang magrib,
kakakku main ke rumah tetangga sedang menonton acara televisi. Pas menjelang azan
magrib, pamanku datang memanggil kakakku dan menyuruhnya pulang untuk sembayang
magrib di masjid. Apa yang terjadi kemudian? Sungguh diluar dugaan. Kakakku membantah
dan sambil menantang mengatakan : “ Ini hidupku, jangan mengatur-ngatur hidupku, aku
punya hidup sendiri !” ini adalah kata-kata yang meluncur bagai papan selancar yang
menantang badai di laut seperti dalam film-film. Hampir saja tangan paman menampar pipi
kakakku, orang-orang melerai dan memisah pamanku. Sejak kejadian itu –cukup
menghebohkan teangga sebelah- kakak tak pernah nongol lagi di rumah. Aku bisa merasakan
bahwa kakakku hidupnya dibakar kebencian oleh pamanku. Nampaknya api dendam itu
abadi.

Aku ingin bertemu ibu, ingin merasakan pelukannya. Tapi ibu tak pernah bisa datang kesini.
Ibu sibuk bekerja, kata tetangga-tetangga-yang berusaha menenangkan hatiku-kan untuk
sekolahku juga, timpal tetangga yang lain. Aku mengiyakan saja karena aku yakin mereka
lebih tahu daripada aku, umur mereka lebih banyak dari aku yang masih dibawah 10 tahun
ini. Aku juga bisa merasakan kalau kakakku ingin mengadu atas apa yang ia alami. Ia ingin
mengadukannya kepada ibu, tapi ibu tak pernah ada wujudnya walau setiap bulan mengirim
surat. Seperti cerita dongeng, orang-orang berkata ada, tapi sosoknya tak pernah ada di
hadapanku.

“Kalau besar nanti mau jadi apa?” teman ku bertanya pada suatu kesempatan.

“Apa ya? Aku ingin jadi polisi “ aku menjawab dengan spontan saja.

“Jangan jadi polisi, musuhnya banyak. Nanti selalu dapat ancaman. Dibunuh, enak jadi
insinyur aja. Jadi orang pandai” temanku memberi saran.

“Begitukah?”

“Iya pak polisi sekarang banyak musuhnya loh, perampok semakin banyak, buktinya
keluargamu orangnya jahat-jahat. Kakakmu gak pernah sekolah, kakekmu suka marah-marah
pamanmu juga seperti preman pasar…”

Dalam hati aku membenarkan tapi bibirku tetap terkatup.

Hingga saat ini aku tak tahu kapan aku bisa mengerti apa yang sesungguhnya terjadi pada
keluarga ini,seperti ada kutukan yang menimpa, tak bisakah keluarga ini tak marah-marah
terus? Siapa yang tahan jika dalam rumah berisi kemarahan yang menyala-nyala. Hingga
penghuninya tidak kerasan.

Kadang terbesit dalam fikiranku ingin menyalahkan ayahku yang meninggalkan ibu sendirian
bekerja di luar negeri. Kenapa ayah meninggalkan ibu? Adakah cinta ayah kepada ibu?
Kenapa aku dilahirkan jika memang kemudian harus ditinggalkan?.

Terkadang aku mengiri jika melihat tetanggaku berkumpul bersama keluarganya masing-
masing, bertemu dengan ayah ibu setiap hari dan bercanda serta setiap liburan pergi ke
tempat liburan, kemaren keluarga Toni berangkat ke kebun binatang Surabaya pulangnya
membawa oleh-oleh boneka monyet, sedangkan aku kapan?

Sebenarnya sejak kecil aku pernah bermimpi yang aneh sekali, kejadian ini berulang
beberapa hari dengan mimpi yang sama. Aku dalam mimpi bertemu dengan sepasang
pengantin yang selalu mengejarku, ketika aku bersembunyi di dalam mobil mereka
mendekatiku, lalu aku berlari dan bersembungi dalam lemari mereka tetap tahu dan mendekat
ke aku. Aku takut, tapi cerita dalam mimpi itu tak kuceritakan pada siapapun termasuk
kakek-nenekku. Ketika sudah lama aku pernah diberitahu bahwa kata orang-orang pintar
yang mengerti tentang arti mimpi mereka bilang kalau mimpi seperti itu akan mendapatkan
musibah orang tua akan bercerai, aku tak tahu apapun tentang itu.

Yang tersisa tentang kenangan bersama ibuku adalah foto yang sudah buram yang tersimpan
di dalam buku catatan entah tentang apa, tulisan itu berisi kalimat-kalimat yang seperti
mengeluh, mengutuk atau kesal terhadap seseorang tapi ia ungkapkan dengan coretan pena.
Ayahku, tak ada kenangan tersisa dari dirinya, ataukah memang cintanya kepadaku-sebagai
anakanya-juga hilang seperti debu yang ditabur ke udara?apakah aku hanya semacam
sampah seperti yang menumpuk di rumah Pak Slamet-tukang pengepul barang bekas-dan
dibiarkan membusuk begitu saja? Jika aku tatap foto ibuku aku merasa sangat kesepian,
rasanya aku tak tahu, hidup ini sepi sunyi. aku ingin ada yang bisa memahami perasaanku
tapi siapa yang akan bisa? Aku ingin ditemani layaknya anak-anak yang selalu disamping
ibunya.

Sejak saat ini aku tak tahu harus bagaimana dan apa yang akan ku lakukan. Semua orang
pasti tak mau dan tak kan pernah mau –walaupun orang tuanya sangat kaya-ditinggal lama
bahkan sejak kecil, adakah yang mau? Silahkan jika ada dan rasakan seperti yang aku
rasakan. Untuk orang yang kaya jika sibuk dan meninggalkan anak-anaknya mereka akan
saling menyalahkan, anak menyalahkan orang tua yang tak open anak. Orang tua akan
melaknat anak karena membantah orang tua. Sedang aku? Aku dari orang yang tak punya
apa-apa terus ditinggal begitu saja.

Suatu saat aku ingin dendam, dendam kepada siapa yang membuatku menderita. Biar mereka
merasakan yang kurasakan, bagaimana rasanya terbuang, apakah mereka tidak merasa
berbuat dzalim kepadaku? Dengan membuangku dan membiarkan aku ditelan kegelapan sepi
tak berujung. Aku kesepian. Dan siapa yang tahu serta merasakan yang aku rasakan?
seseorang tolonglah jawab pertanyaanku!
Pekanbaru, Senin, 3 November 2014

Kepada
Yth. Redaktur Cerpen Riau Pos
di tempat.

Dengan hormat,
Bersama ini saya kirimkan sebuah cerpen saya berjudul “Aku Dalam Sepi” (dalam
Lampiran). Saya sangat berharap cerpen ini Anda baca dan kelayakan pemuatannya
sepenuhnya hak Anda. Atas pembacaan dan pertimbangan Anda, saya ucapkan terima kasih.

Hormat saya,

Abdul Wahab
Aw95622@gmail.com
Tlp. 082389364139
Rek BRI Simpang Baru Tuanku Tambusai 5412-01-016735-53-2 a.n. Abdul Wahab

.Nama : Abdul Wahab

Tempat tanggal lahir : Jombang 12 februari 1992

Alamat : Jln Suka Karya Perum BSD blok 8, Panam, Pekanbaru

Pekerjaan : Mahasiswa UIN Suska Pekanbaru Jurusan Pendidikan Bahasa Inggis

Anda mungkin juga menyukai