Anda di halaman 1dari 14

Juru Cerita

Pidato Nobel Sastra Mo Yan

Para anggota Akademi Swedia dan Saudara-saudari yang terhormat:

Lewat medium televisi dan internet kubayangkan setiap orang di sini paling tidak mengenal
kota Gaomi kami dalam jarak sepelemparan batu walau sebenarnya ia sungguh jauh. Boleh jadi
kalian melihat ayahku yang renta di usia 90 tahun seperti halnya kalian melihat saudara laki-laki
dan perempuanku, istri dan anakku, atau bahkan cucuku yang baru berusia satu tahun empat
bulan. Namun yang paling sering hadir di benakku sekarang ini, ibuku, adalah orang yang tak
akan kalian lihat. Banyak orang telah ikut merasakan kebahagiaan atas pemberian penghargaan
terhormat ini, setiap orang, kecuali dirinya.

Ibuku lahir di tahun 1922 dan meninggal di tahun 1994. Kami menguburnya di kebun bunga
persik di sebelah timur desa. Tahun lalu kami dipaksa memindahkan makamnya ke luar desa
agar memberi tempat bagi rencana pembangunan jalur kereta api. Ketika menggali makam,
peti matinya telah bobrok, dan jasadnya telah bersatu dengan tanah lembab di sekitar sisa peti.
Sebagai sebuah tindakan simbolik, maka kami mengambil tanah di sekitar peti mati dan
membawanya ke tempat peristirahatan baru ibuku. Saat itulah aku paham ibuku telah menjadi
bagian dari bumi, dan bahwa ketika aku berbicara dengan ibu pertiwi sebenarnya aku tengah
berbicara dengan ibu.

Aku adalah anak bungsu ibuku.

Kenangan paling awal tentangnya adalah ketika aku membawa satu-satunya termos keluarga ke
kantin umum untuk mengambil air minum. Karena letih terhajar lapar termos itu jatuh dan
rusak. Akibat serangan rasa takut, sepanjang hari aku bersembunyi di tumpukan jerami.
Menjelang malam kudengar ibu memanggil nama kecilku, membuatku merangkak keluar dari
tempat persembunyian, bersiap menerima pukulan atau omelannya. Ibu tak memukulku, tak
pula ia mengomeliku. Ia hanya mengelus-elus kepalaku sembari mendesah.
Kenanganku yang paling menyakitkan adalah saat ikut serta dengannya di ladang kolektif untuk
meng-guris sisa gandum. Para pengguris berlarian ketika sang pengawas muncul. Namun
karena tak bisa berlari akibat kakinya yang sangat kecil, ia tertangkap dan ditampar
sekeras-kerasnya oleh sang pengawas bertubuh gempal tersebut sampai jatuh ke tanah. Sang
pengawas menyita gandum yang kami kumpulkan sedikit demi sedikit dan pergi sembari
bersiul. Saat duduk di tanah, bibirnya berdarah, dan wajah ibuku memancarkan keputusasaan
yang tak akan pernah kulupakan. Bertahun-tahun kemudian, saat aku berhadapan dengan
pengawas itu di sebuah pasar, sang pengawas yang kini telah menjadi lelaki tua berambut
kelabu, Ibu mencegah kemarahanku untuk membalaskan sakit hatinya.

“Nak,” katanya dengan datar, “lelaki yang memukulku dan lelaki ini bukanlah orang yang sama.”

Kenanganku yang paling terang berhubungan dengan Festival Rembulan, di siang hari, pada
salah satu peristiwa yang jarang terjadi ketika kami sedang menikmati jiaozi di rumah,
masing-masing orang satu mangkuk. Seorang pengemis tua menghampiri pintu ketika kami
masih mengelilingi meja, dan ketika aku berusaha membuatnya enyah dari pintu dengan
semangkuk penuh kentang kering manis, ia bereaksi dengan penuh kemarahan: “Aku orang
tua,” katanya. “Kalian melahap jiaozi, namun mau memberiku kentang manis. Betapa tak
berperasaannya kalian?” Dengan marah pula aku bereaksi: “Kami sudah beruntung kalau bisa
makan jiaozi dua kali dalam setahun, masing-masing dapat semangkuk kecil, agar cukup bagi
kami menikmati rasanya! Mestinya kau berterimakasih kami memberi kentang manis, dan kalau
tak mau menerimanya, kau bisa enyah dari sini!” Setelah menegurku, Ibu memberikan separuh
mangkuk jatah jiaozi-nya ke mangkuk lelaki tua itu.

Ingatanku tentang penyesalan paling dalam adalah saat ikut membantu ibu menjual kubis di
pasar, dan menaikkan harga sebesar satu jiao pada seorang penduduk desa yang sudah tua
–entah apakah saat itu kusengaja atau tidak sudah tak begitu kuingat—sebelum aku berangkat
ke sekolah. Ketika sampai di rumah di sore harinya kusaksikan ibu menangis, sebuah
pemandangan yang sangat jarang terjadi. Alih-alih mengomeliku, ia hanya berbicara dengan
suara lembutnya, “Nak, hari ini kau telah mempermalukan ibumu.”

Ibu mengidap sakit paru-paru parah sejak usiaku masih belasan tahun. Kelaparan, penyakit, dan
terlalu banyaknya beban kerja membuat berbagai hal di keluarga kami terasa sangat berat.
Jalan menghampar di depan kami tampak muram, dan aku memiliki firasat buruk perihal masa
depan, cemas kalau-kalau ibu meninggal. Setiap hari, hal pertama yang kulakukan ketika
melangkah masuk ke rumah setelah bekerja keras seharian adalah berseru memanggil ibu.
Mendengar suara ibu seperti memperoleh sebuah tambahan kontrak hidup baru baginya. Kalau
tak mendengarkan balasan suaranya aku diterjang kepanikan. Aku akan segera mencarinya ke
seluruh sisi bangunan atau di penyosohan gandum. Suatu hari, setelah letih mencari dan tak
menemukan dirinya, aku mendeprok di tanah dan menangis seperti bayi. Begitulah ia
menemukanku ketika masuk ke pekarangan dengan membawa seikat kayu bakar di
punggungnya. Ia tak senang melihatku, namun aku tak bisa memberitahu apa yang sedang
kukhawatirkan. “Anakku,” katanya, “jangan khawatir, barangkali tak ada yang menyenangkan
dalam hidupku, namun aku tak akan pergi sampai Tuhan dunia bawah memanggilku.”

Aku terlahir sebagai si buruk rupa. Penduduk desa kerapkali mentertawai wajahku, dan para
pengejek di sekolah kadang-kadang memukuliku karena keburukan wajahku. Aku akan balik
ke rumah, dimana ibu akan berkata, “Kau tak buruk rupa, Nak. Kau punya hidung dan sepasang
mata, dan tak ada yang salah dengan tangan dan kakimu, jadi bagaimana mungkin kau menjadi
orang yang buruk rupa? Jika kau memiliki kepribadian yang baik dan berbuat benar, apa yang
semula dianggap buruk akan menjadi indah.” Beberapa waktu kemudian, saat aku pindah ke
kota, ada orang-orang terdidik yang mentertawai keburukan rupaku di belakang; namun saat
ingat kata-kata ibu, dengan tenang aku justru memaafkan mereka.

Ibuku yang buta huruf sangat menghargai orang-orang yang bisa membaca. Begitu miskinnya
kami sampai tak tahu lagi dari mana kami mendapatkan makanan di hari esok. Namun tak
pernah sekali pun ia menolak permintaahku untuk membeli buku atau alat tulis. Dalam
lingkungan penuh kerja keras, tak ada gunanya memiliki seorang anak malas, namun aku bisa
melewatkan pekerjaanku sepanjang mukaku mengikuti huruf-huruf dalam halaman buku.

Suatu kali seorang juru cerita muncul di pasar, dan aku menyelinap di antara banyak orang
untuk menyimak ceritanya. Ibu tak senang dengan kelakuanku melupakan kewajiban
membantunya. Namun malamnya, ketika ia menambal baju-baju bolong kami di bawah
keredupan lampu minyak, aku tak bisa menahan diri untuk menceritakan kembali apa yang
kudengar hari itu. Awalnya ia mendengarkan ceritaku dengan tidak sabar karena dalam
pandanganya para juru cerita adalah orang-orang yang bertutur lembut dengan pekerjaan
meragukan. Tak ada hal baik yang keluar dari mulut mereka. Namun perlahan ia tertarik ke
dalam kisah-kisah yang kusadap dari sang juru cerita, dan sejak hari itu, ia tak memberiku
pekerjaan di hari pasaran, sebuah ijin diam-diam untuk pergi ke pasar dan menyimak
kisah-kisah baru. Sebagai imbalan atas kebaikan ibu dan caraku untuk memamerkan daya ingat,
akan kukisahkan ulang cerita-cerita yang kudengar secara terperinci.

Tak butuh waktu lama untuk menyadari betapa tak memuaskannya mengisahkan ulang cerita
orang lain, jadi mulailah aku membumbui sendiri cerita-cerita itu. Aku akan mengatakan hal-hal
yang disukai ibuku, bahkan kadang-kadang mengubah akhir cerita. Dan ibu bukanlah
satu-satunya pendengar, karena berikutnya kakak-kakak perempuanku, bibiku, bahkan nenek
dari garis ibuku menjadi pendengarnya. Kadang, setelah ibu menyimak salah satu kisah-kisahku,
ia akan bertanya dengan suata lembut, hampir seperti bertanya pada dirinya sendiri: “Mau jadi
apa setelah kau besar nanti, Nak? Mungkinkah suatu hari nanti kau menyusahkan dirimu sendiri
dengan hidup sebagai seorang juru cerita?”

Aku tahu kenapa ia cemas. Anak banyak mulut tak dianggap baik di desa kami karena mereka
bisa menyebabkan kesulitan bagi diri mereka sendiri dan keluarganya. Ada sedikit pengalaman
masa mudaku dalam diri anak banyak mulut yang terbelit masalah dengan orang-orang desa
dalam cerita karanganku yang berjudul “Banteng.” Biasanya ibu mengingatkanku untuk tak
banyak mulut, memintaku menjadi anak muda pendiam, lembut dan tegar. Alih-alih menjadi itu
semua aku justru tumbuh dari suatu kombinasi berbahaya —ketrampilan berbicara yang hebat
dan hasrat kuat yang berhubungan dengannya. Kemampuanku bercerita memberikan rasa
senang bagiku sendiri, namun menciptakan dilema baginya.

Ada ujaran terkenal yang bunyinya “Lebih mudah mengubah arah aliran sungai daripada
mengubah watak seseorang.” Berlawanan dengan nasehat tak kenal lelah orang tuaku, hasrat
alamiah dalam diriku untuk berbicara tak pernah berhenti, dan hal itulah yang melahirkan
namaku —Mo Yan, atau “Jangan bicara” — sebuah ungkapan mengejek diri sendiri yang ironis.

Setelah putus sekolah dasar, karena masih terlalu kecil untuk bekerja keras, maka aku menjadi
penggembala ternak dan domba di pinggir sungai penuh rumput di dekat desaku.
Pemandangan bekas teman-teman sekolahku yang bermain di halaman sekolah ketika aku
tengah menggiring binatang peliharaan melewati pintu gerbang sekolah membuatku sedih dan
menyadarkan betapa keras hidup keluar dari kelompoknya —bahkan untuk seorang anak kecil
sekali pun.

Aku mengarahkan binatang peliharaanku bebas berkeliaran di tepian sungai agar bisa
mengembara di bawah langit yang sebiru lautan dan tanah berlapis rerumputan sejauh mata
memandang —tak tampak seorang pun, tak ada pula suara manusia, tak ada apa pun kecuali
burung-burung yang berkeciap di atasku. Aku benar-benar sendiri dan begitu kesepian; hatiku
terasa kosong. Kadang-kadang aku rebahan di rerumputan dan menyaksikan awan berlalu
dengan malas, awan yang memicu lahirnya berbagai citraan di benakku. Wilayah
penggembalaanku dikenal dengan kisah-kisah serigala yang menyaru menjadi perempuan muda
cantik, dan aku akan berkhayal serigala yang menyaru sebagai perempuan cantik datang untuk
mencuri hewan gembalaanku. Ia tak pernah muncul. Suatu kali seekor rubah merah api
tiba-tiba nongol di depanku, membuat sepasang kakiku gemetaran. Masih saja tubuhku duduk
gemetaran beberapa lama setelah rubah itu lenyap dari pandanganku. Kadangkala aku ikut
merangkak di sisi kerbau dan mndongak ke dalam mata biru mereka, sepasang mata yang
menguasai renungan-renunganku. Di saat-saat seperti itu aku bercakap-cakap dengan burung di
angkasa, menirukan keciap mereka, dan di saat yang lain membisikkan harapan dan
hasrat-hasratku ke sebatang pohon. Bertahun-tahun kemudian, setelah menjadi seorang
novelis, kutulis beberapa fantasi masa itu ke dalam novel dan kisah-kisahku. Kerapkali aku
dibombardir dengan berbagai keluhan tentang imajinasiku yang begitu gamblang dan para
pecinta sastra seringkali bertanya dengan berbisik tentang rahasia-rahasiaku mengembangkan
imajinasi yang kaya. Satu-satunya tanggapanku hanya senyum kecil yang hambar.

Guru Tao kami, Lao Tze, berkata dengan sangat baik: “Keberuntungan bergantung pada
kesialan. Kesialan tersembunyi di dalam keberuntungan.” Aku putus sekolah saat masih
kanak-kanak, terus kesepian dan tak memiliki buku bacaan. Namun karena alasan itu, seperti
para penulis dari generasi terdahulu, Shen Congwen, telah sejak awal aku mulai membaca buku
akbar kehidupan. Pengalamanku pergi ke pasar untuk menyimak juru cerita tidak lain salah
satu halaman buku tersebut.

Setelah meninggalkan sekolah, tanpa ampun aku terlempar ke dunia orang dewasa, tempat aku
memulai sebuah perjalanan pembelajaran panjang lewat menyimak. Dua ratus tahun
sebelumnya, salah seorang juru cerita terbesar sepanjang sejarah kami,– Pu Songling – tinggal
di dekat desa dimana aku dibesarkan, di sebuah tempat dengan banyak orang termasuk aku
menjalankan tradisi yang ia sempurnakan. Di mana pun aku berada –bekerja di ladang kolektif,
dalam tim produksi di peternakan atau istal, di kang membara milik kakekku, bahkan di pedati
yang menggerunjal mengikuti jalanan, telingaku dipenuhi dengan kisah-kisah sejarah ajaib,
cerita-cerita ganjil dan menawan, semuanya terikat dengan lingkungan alam dan sejarah klan
kami, dan semua kisah itu menciptakan realitas tangguh dalam benakku.

Bahkan dalam mimpi-mimpi paling liar, tak kuasa aku mengimpikan sebuah hari ketika semua
ini akan menjadi bagian-bagian yang membentuk kisahku sendiri, hanya karena aku seorang
anak yang mencintai cerita, anak kecil yang diluberi dengan kisah-kisah yang diceritakan
orang-orang di sekitarku. Di masa kecil, tanpa diragukan lagi, aku orang yang mempercayai
Tuhan, meyakini bahwa semua ciptaan dikaruniai roh. Aku akan berhenti sejenak dan berdoa di
sebuah pohon besar menjulang; saat kusaksikan seekor burung, aku yakin bisa jadi burung itu
menjelma manusia kapan pun ia mau; dan aku curiga setiap orang asing yang kupapasi adalah
rubah yang menyaru manusia. Di malam hari, kekhawatiran mengerikan bisa tiba-tiba
menyertaiku saat pulang dari pekerjaanku sehingga aku akan bernyanyi keras-keras seiring
dengan gerakan kakiku yang berlari dan sedikitnya nyali dalam diriku. Suaraku yang berubah
seiring waktu menghasilkan nyanyian sember yang mengganggu telinga orang-orang desa di
sepanjang jalan yang kulalui.

Dua puluh satu tahun kuhabiskan hari-hariku di desa itu, tak pernah bepergian lebih jauh dari
rumah selain ke Qingdao dengan kereta. Di Qingdao hampir saja aku tersesat di tengah-tengah
tumpukan kayu di pabrik pemotongan kayu. Saat ibu bertanya apa yang kusaksikan di Qingdao,
kukatakan dengan sedih bahwa yang kusaksikan hanya tumpukan kayu. Namun perjalanan ke
Qingdao menyematkan hasrat di benakku untuk keluar dari desa dan menyaksikan dunia luas
ini.

Di bulan Februari 1976 aku masuk tentara dan keluar dari desa di kawasan Gaomi Timur laut
yang kubenci dan kucintai secara bersamaan, memasuki fase kritis dalam hidupku. Di tasku ada
empat jilid Sejarah singkat China yang dibelikan ibu dengan menjual cincin kawinnya. Jadilah
aku memulai periode paling penting dalam hidupku. Harus kuakui bahwa kalau bukan karena
30 tahun yang ganjil dalam perkembangan dan kemajuan masyarakat China, dan kemudian
diikuti reformasi nasional serta terbukanya China pada dunia luar, tak mungkin aku menjadi
penulis.

Di tengah-tengah kebasnya pikiran menjalani kehidupan militer, aku menyambut emansipasi


ideologis dan gairah sastra tahun 1980-an, dan berkembang dari seorang anak yang menyimak
kisah-kisah serta mengalirkan kisah itu dengan kata-kata dari mulut menjadi seseorang yang
bereksperimen dengan menuliskan kisah-kisah tersebut. Jalannya semula berbatu, suatu masa
ketika belum kutemukan betapa sungguh kayanya sumber daya literer dari masa dua puluh
tahun hidupku di Gaomi. Kupikir sastra adalah tentang orang-orang baik dengan hal-hal baik
yang mereka kerjakan, kisah tentang perbuatan heroik dan warga negara yang layak dijadikan
panutan, sehingga beberapa kisah ciptaanku yang diterbitkan sedikit memiliki nilai sastra.

Di musim gugur 1984 aku diterima di Departemen Sastra dari Akademi Seni PLA, dimana di
bawah bimbingan penasehatnya yang kuhormati, penulis tenar Xu Huaizhong, aku menulis
serangkaian cerita dan novelet, termasuk: “Banjir Musim Gugur,” “Sungai Kering,” “Wortel
tembus pandang,” dan “Gandum Merah.” Kota kelahiranku pertamakali muncul dalam kisah
berjudul “Banjir Musim Gugur,” dan sejak saat itu, seperti seorang petani yang berkelana
mencari sepetak tanahnya sendiri, pengembara literer ini menemukan sebuah tempat yang bisa
ia sebut miliknya sendiri. Harus kukatakan bahwa dalam perjalanan menciptakan wilayah
sastra, Kota Gaomi Timur Laut, aku terinspirasi oleh novelis Amerika William Faulkner dan
penulis Kolumbia Gabriel García Márquez. Aku tak membaca seluruhnya karya kedua penulis
itu, namun aku terdorong oleh jalan penuh keberanian dan tanpa batas dalam menciptakan
wilayah baru dalam penulisan, dan belajar dari mereka bahwa seorang penulis harus memiliki
sebuah tempat yang akan menjadi milik mereka sendiri. Kerendahan hati dan kompromi adalah
hal ideal dalam kehidupan sehari-hari, namun dalam penciptaan sastra, kepercayaan diri paling
tinggi dan kebutuhan untuk mengikuti instingnya sendiri adalah hal esensial. Selama dua tahun
aku mengikuti jejak langkah dua maestro ini sebelum menyadari bahwa aku mesti menghindari
pengaruh mereka; itulah sebabnya aku menggambarkan keputusan ini dalam sebuah esai:
Mereka sepasang tungku yang menyala, aku sebongkah es. Kalau terlalu dekat pada mereka,
aku akan mencair dan terurai menjadi uap air saja. Dalam pemahamanku, seorang penulis
memengaruhi penulis lain ketika mereka menikmati ikatan spiritual mendalam, sesuatu yang
sering dikatakan sebagai terjadinya “kesesuaian detak jantung.” Hal itu menjelaskan mengapa,
sekali pun hanya sedikit kubaca karya mereka, beberapa halaman sudah cukup untuk
memahami apa yang mereka lakukan dan mengarahkan pemahamanku pada apa dan
bagaimana aku harus melakukannya.

Apa yang harus kulakukan sebenarnya sederhana: menulis kisah-kisah dengan caraku sendiri.
Caraku adalah cara juru cerita yang mendongeng di pasar, sesuatu yang dekat dengan diriku,
cara kakek dan nenekku serta orang-orang desa di jaman dulu menuturkan ceritanya. Terus
terang saja tak pernah kuselipkan sebuah pemikiran saat tengah menuturkan kisah-kisahku;
mungkin penikmat ceritaku terdiri dari orang-orang seperti ibuku,dan mungkin saja hanya
diriku sendirilah penikmatnya. Kisah-kisah awalku adalah narasi dari pengalaman pribadiku:
Anak kecil yang menerima cambukan di “Sungai Kering,” misalnya, atau anak yang tak pernah
bicara dalam “Wortel tembus pandang,” dan aku benar-benar bekerja sebagai peniup api di
pandai besi dekat jembatan. Sebenarnya pengalaman pribadi tak pernah bisa dirubah menjadi
fiksi secara persis sama, tak peduli betapa khasnya pengalaman itu. Fiksi harus fiksional, mesti
imajinatif. Banyak temanku yang berkata “Wortel tembus pandang” sebagai cerita terbaikku;
aku tak punya pendapat apa-apa tentang itu. Yang bisa kukatakan adalah bahwa “Wortel
Tembus pandang” adalah kisahku yang lebih simbolik dan lebih bermakna dibandingkan
kisah-kisah lain yang pernah kutulis. Anak berkulit gelap dengan kemampuan ajaib untuk
menderita dan suatu tingkat sensitivitas adi-manusia mengejawantahkan jiwa seluruh karya
fiksionalku. Sejak saat itu tak satu pun dari semua karakter-karakter fiksional yang kuciptakan
sedekat dengan diriku yang sebenarnya. Atau dengan kata lain, di antara seluruh karakter yang
diciptakan seorang penulis, selalu ada satu karakter yang posisinya lebih tinggi dibandingkan
lainnya. Bagiku, anak itu adalah salah satunya. Walau ia tak mengatakan sesuatu, ia memimpin
jalan karakter-karakter lainnya, dalam seluruh keragamannya, bebas tampil di panggung kota
Gaomi Timur Laut.

Seseorang bisa punya banyak pengalaman, dan sekali habis dengan cerita kalian sendiri, maka
kalian harus bercerita tentang orang lain. Dan dengan demikian, keluar dari kedalaman
ingatanku, seperti para serdadu wajib militer, lahirlah kisah-kisah anggota keluarga, atau
sesama penduduk desa, dan nenek moyang yang telah lama mati yang kupelajari dari mulut
orang-orang jaman dulu. Dengan penuh harap mereka menantiku untuk menuturkan
kisah-kisah mereka. Kakek dan nenekku, ayah dan ibuku, saudara dan saudariku, paman dan
bibiku, istri dan anakku semuanya telah muncul dalam kisah-kisah yang kutulis. Bahkan para
penghuni kota Gaomi Timur Laut yang tak berhubungan denganku telah tampil sebagai cameo.
Tentu saja mereka telah menjalani modifikasi literer agar bertransformasi menjadi karakter
fiksional yang lebih besar dari hidup yang dijalaninya.

Seorang bibiku adalah karakter utama dari novel terakhirku, Katak. Pengumuman hadiah Nobel
telah membuat para jurnalis mengerumuni rumahnya untuk meminta wawancara. Awalnya ia
telaten menanggapi mereka, namun akhirnya harus menghindar dengan kabur ke rumah
anaknya di sebuah ibu kota provinsi.Tak kusangkal kalau ia adalah modelku dalam menulis
Katak, namun perbedaan antara dirinya dengan bibi fiksional dalam novel sungguh luas. Bibi
fiksional berwatak arogan dan suka menguasai, di tempat-tempat yang secara virtual kejam,
sementara bibiku yang nyata berpembawaan halus dan baik, istri penuh perhatian dalam
pengertian klasik dan seorang ibu penuh belas kasih. Tahun-tahun emas bibiku yang riil bahagia
dan penuh makna; imbangan fiksionalnya menderita insomnia di tahun-tahun akhir sebagai
akibat dari siksaan spiritual, dan bergentayangan di malam hari laksana hantu dengan
mengenakan pakaian gelap. Aku berterima kasih pada bibi nyataku karena tak marah padaku
atas sikapku mengubah dirinya di dalam novel. Aku juga menaruh hormat besar atas
kebijaksanaannya dalam memahami hubungan kompleks antara manusia nyata dan
karakter-karakter fiksional.

Setelah ibuku meninggal, di tengah-tengah kepedihan yang hampir lenyap, kuputuskan untuk
menulis noveln tentangya. Big Breasts and Wide Hips (Dada Besar dan Pinggang Lebar) adalah
novel itu. Sekali rencanaku berjalan, emosiku serasa terbakar sehingga draf sebesar setengah
juta kata bisa kuselesaikan hanya dalam delapan puluh tiga hari.

Dalam Big Breasts and Wide Hips tanpa malu-malu lagi kugunakan bahan-bahan yang
diasosiasikan dengan pengalaman nyata ibuku, namun keadaan emosional dari karakter ibu
fiksional itu adalah sebuah penciptaan total atau suatu endapan dari banyak ibu di kota Gaomi
Timur Laut. Walaupun aku menulis “Untuk Roh Ibuku” di halaman persembahan, novel itu
benar-benar ditulis untuk semua ibu di mana pun, sebagai bukti dari ambisiku yang sangat
besar, dalam suatu cara yang memiliki banyak kesamaan dengan harapanku untuk menjadikan
kota Gaomi Timur Laut sebagai mikrokosmos China, atau bahkan seluruh dunia.

Proses penciptaan selalu khas pada setiap penulis. Tiap-tiap novelku berbeda satu sama lain
dalam pengertian jalan cerita dan inspirasi yang mengarahkannya. Beberapa di antaranya,
seperti “Wortel tembus pandang” lahir dalam mimpi, sementara yang lainnya, seperti Balada
Bawang Putih berawal dari kejadian nyata. Tak peduli apakah sumber suatu karya berasal dari
mimpi atau kehidupan nyata, asalkan terintegrasi dengan pengalaman individual ia bisa
dikaruniai individualitas, bisa dikembangkan bersama karakter-karakter tipikal yang dibentuk
dari detil-detil yang hidup, menggunakan bahasa evokatif nan kaya, dan bangga dengan
strukturnya yang tertata rapi. Di sini aku menunjukkan bahwa dalam Balada Bawang Putih aku
memperkenalkan kehidupan nyata juru cerita dan penyanyi dalam salah satu peran paling
penting dalam novel ini. Aku berharap tak pernah menggunakan nama asli, walaupun kata-kata
dan tindakannya kupakai. Namun ini fenomena yang berulang-ulang menimpaku. Aku akan
mulai menggunakan nama-nama asli untuk karakter-karakterku guna mencapai kedekatan
emosional dengan karakter ciptaanku, dan setelah kisah selesai kutulis, sudah sangat terlambat
untuk mengganti nama tersebut. Ini membuat orang-orang yang menyaksikan nama mereka
ada dalam novelku menemui ayah untuk mengadukan ketidaknyamanan mereka. Ia selalu
meminta maaf atas nama anaknya, namun kemudian mendesak mereka untuk tak terlalu
menganggap serius hal-hal semacam itu. Ia akan berkata: “Kalimat pertamamu dalam Gandum
Merah, ‘Ayahku, keturunan seorang bandit,’ tak mengecewakanku, jadi mengapa aku mesti tak
bahagia?”

Tantangan terbesar yang kuhadapi saat menulis novel yang berhubungan dengan realita sosial,
seperti yang tertuang dalam Balada Bawang Putih, bukan karena aku takut menjadi tampak
kritis terhadap aspek-aspek yang lebih gelap dari masyarakat, namun karena emosi dan
kemarahan yang membara membuat politik menindas sastra dan mentransformasikan novel
sekedar sebagai laporan dari sebuah peristiwa sosial. Sebagai anggota masyarakat, seorang
novelis terpatok pada jarak dan sudut pandangnya sendiri, namun saat menulis ia harus
mengambil posisi humanisik, dan menulis secara humanistik pula. Hanya dengan cara itu sastra
tak sekedar lahir dari peristiwa-peristiwa nyata, namun mentransendensikannya, tak semata
menunjukkan perhatiannya pada politik namun harus lebih akbar dari politik.

Barangkali saja karena telah banyak menjalani kehidupan yang sulit membuat aku berpikir
diriku memiliki pemahaman hidup yang lebih mendalam. Aku tahu seperti apa keberanian
sejati, dan aku paham seperti apa gairah sejati. Aku tahu bahwa wilayah-wilayah gelap ada di
hati dan pikiran tiap orang, wilayah yang tak bisa digambarkan secara cukup dalam istilah-istilah
benar dan salah atau baik dan buruk yang sederhana, dan wilayah yang sangat luas ini menjadi
tempat dimana seorang penulis memberikan kekuasaan sebebasnya pada bakat yang
dimilikinya. Sejauh karyanya secara tepat dan gamblang menggambarkan wilayah yang gelap
dan secara masif bersifat kontradiktif, secara tak terelakkan ia akan mentransendensikan politik
dan memberkatinya dengan keutamaan literer.

Mengoceh terus menerus tentang karyaku sendiri tentu membosankan, namun hayat dan
karyaku terkait erat, jadi kalau tak kuceritakan karyaku, aku tak tahu apa lagi yang mesti
kukatakan. Kuharap hadirin sekalian sudi memaafkanku.

Aku seorang juru cerita era modern yang bersembunyi di latarbelakang karya-karya awalku;
namun dengan novel Sandalwood Death aku melompat keluar dari bayang-bayang itu. Karya
awalku bisa ditandai sebagai serangkaian nyanyi-bisu, dengan tak mengandaikan keberadaan
pembaca di benakku, namun kugambarkan diriku sendiri berdiri di suatu tempat lapang
sembari menuturkan kisahku di hadapan segerombolan pendengar.Tradisi ini adalah fenomena
yang mendunia di dunia fiksi, lebih khusus lagi di China. Di suatu masa aku adalah murid patuh
dari fiksi kaum modernis Barat, dan aku bereksperimen dengan semua bentuk gaya bercerita.
Pastinya, kepulangan ini bukannya tanpa modifikasi. Sandalwood Death dan novel-novel
berikutnya adalah keturunan dari tradisi novel klasik China namun diperkaya oleh teknik-teknik
Barat. Apa yang kini dikenal sebagai fiksi inovatif, sebagian besarnya, adalah hasil dari
percampuran ini, yang tak terbatasi oleh tradisi domestik dengan teknik dari luar, namun
termasuk pula mencampur-adukkan fiksi dengan bidang-bidang lainnya. Sandalwood Death,
misalnya, mencampurkan fiksi dengan opera lokal, sementara beberapa karya awalku sebagian
diperkaya oleh fine art, musik, bahkan akrobat.

Akhirnya, aku meminta keikutsertaan kalian untuk membicarakan novelku yang berjudul Life
and Death Are Wearing Me Out. Judul China-nya berasal dari ajaran Buddhis, dan aku telah
diberitahu bahwa penerjemahku telah berusaha sekeras mungkin untuk menyalinnya dengan
tepat ke dalam bahasa mereka. Secara khusus aku tak memiliki keahlian dalam menafsirkan
ajaran Buddhis dan hanya sedikit paham agama ini. Aku memilih judul ini karena yakin bahwa
prinsip-prinsip dasar keyakinan Buddhis mewakili kebenaran universal, dan bahwa banyak
persoalan kemanusiaan pada akhirnya tak lagi bermakna dalam agama Buddha. Dalam
pandangan alam semesta yang agung itu, dunia manusia begitu patut dikasihani. Novelku
bukanlah sebuah ajaran religius; di dalamnya aku menulis nasib dan manusia, tentang
keterbatasan dan kemurahan hati manusia, dan pencarian kebahagiaan manusia serta lamanya
perjalanan yang akan mereka tempuh, pengorbanan yang akan mereka buat, demi menjalani
keyakinan-keyakinan mereka. Lan Lian, sebuah karakter yang mengambil posisi berlawanan
dengan kecenderungan-kecenderungan kontemporer ini dalam pandanganku adalah seorang
pahlawan sejati. Seorang petani di desa sebelah tempat kelahiranku adalah model karakter ini.
Saat muda kerapkali kusaksikan ia melintas di depan pintu kami mendorong gerobak beroda
kayu yang berderit, dengan keledai berkaki kerempeng di depan. Pedatinya dikemudikan oleh
istrinya yang berkaki kecil. Kalau kembali pada watak kolektif masyarakat yang dihadirkan,
kelompok buruh ganjil ini menyajikan wawasan ganjil yang membuat mereka keluar dari jalur
sejarah seiring berlalunya waktu. Di mata anak-anak seperti kami, mereka adalah badut yang
bergerak melawan laju sejarah, menerbitkan kemarahan dalam diri kami dimana batu-batu
akan kami lemparkan saat berpapasan dengan mereka di jalanan. Bertahun-tahun kemudian,
setelah aku mulai menulis, petani itu dan tablo yang ia unjukkan mengambang di benakku, dan
aku tahu suatu hari nanti aku akan menulis sebuah novel tentangnya, bahwa cepat atau lambat
aku akan menuturkan kisahnya pada dunia. Sampai akhirnya di tahun 2005, ketika kusaksikan
mural Buddhis tentang “Enam Tahap Samsara” di sebuah tembok kuil, aku tahu pasti
bagaimana menggarap kisah itu.
Pengumuman Hadiah Nobelku mengarah pada kontroversi. Pertama kupikir aku adalah target
dari persoalan-persoalan tersebut, namun seiring waktu aku menyadari bahwa target riilnya
adalah orang yang tak memiliki hubungan apa pun denganku. Seperti seseorang yang
menyaksikan sebuah permainan di sebuah teater, aku mengamati penampilan-penampilan
yang ada di sekitarku. Kusaksikan pemenang hadiah dikalungi baik karangan bunga atau
dikepung para pelempar batu atau lumpur. Aku khawatir ia akan mengalah pada serangan
tersebut, namun ia muncul di saat pengalungan bunga dan batu, sebuah senyum terpancar di
wajahnya; ia menyeka lumpur dan debu, berdiri dengan tenang di tempatnya, dan berkata pada
para pelempar itu:

Bagi seorang penulis, cara terbaik untuk berbicara adalah dengan menulis. Kalian akan
menemukan segala hal yang perlu kukatakan di dalam karya-karyaku. Ucapan terbawa angin;
kata-kata tertulis tak pernah bisa dilenyapkan. Aku akan senang mendapati kalian sabar
membaca karya-karyaku. Aku tak bisa memaksa kalian untuk melakukannya, dan kalau pun
kalian melakukannya, aku tak berharap pendapatmu tentangku berubah. Tak seorang pun
penulis yang belum kelihatan, di bagian dunia mana pun, yang akan disukai oleh pembacanya;
itu sungguh benar di masa-masa sekarang ini.

Walaupun aku akan lebih memilih bungkam, karena ini sesuatu yang harus kulakukan dalam
acara ini, ijinkanlah aku berkata seperti ini:

Aku seorang juru cerita, maka akan kututurkan pada kalian beberapa cerita.

Ketika menginjak kelas tiga sekolah dasar di tahun 1960-an, sekolah mengadakan jelajah
lapangan untuk mengikuti ritual penderitaan, dimana di bawah arahan guru kami, setiap orang
harus mengeluarkan banyak airmata. Kubiarkan airmata leleh di pipiku demi menyenangkan
sang guru, dan menyaksikan beberapa teman sekelasku meludahi tangan mereka dan
menggosokkannya ke wajah agar tampak seperti airmata di pipi. Kulihat salah satu siswa di
antara mereka yang meratap –beberapa benar meratap, sementara beberapa yang lain
berpura-pura meratap—yang wajahnya kering dan tetap diam tanpa menutupi wajahnya
dengan tangan. Ia hanya menatap kami, matanya terbuka lebar dengan ekspresi terkejut atau
bingung. Setelah jelajah alam selesai kulaporkan keadaannya pada sang guru, dan ia diberi
peringatan. Bertahun-tahun kemudian, ketika kuungkapkan penyesalanku karena mengadukan
kelakuannya, guruku berkata bahwa paling tidak sepuluh siswa melakukan apa yang telah
kulakukan. Anak itu sendiri tewas sepuluh tahun lalu, dan kesadaranku sangat terganggu ketika
memikirkannya. Namun aku belajar hal penting dari kejadian ini, dan itu adalah: Ketika
seseorang di sekitarmu menangis, kau patut diijinkan untuk tidak menangis, dan ketika airmata
hanya jadi pameran, hakmu untuk tak tertawa masih tetap lebih besar.

Ada kisah yang lain: Lebih tiga puluh tahun lalu, sewaktu masih berdinas di ketentaraan, pada
suatu malam aku tengah membaca di kantor ketika seorang perwira tua membuka pintu dan
masuk. Ia melirik ke kursi di depanku dan berkomat-kamit, “Hm, dimana orang-orang?” Aku
berdiri dan berbicara keras, “Apakah kau berkata aku bukan orang?” Telinga kolegaku itu
memerah karena malu, dan ia keluar ruangan. Lama sesudah itu aku bangga atas apa yang
kuanggap sebagai tindakan gagah. Bertahun-tahun kemudian, kebanggaan itu menjelma
menjadi kekhawatiran mendalam atas kesadaranku menjadi seseorang.

Aku mohon tetaplah bersamaku untuk mengikuti kisah terakhir yang dikisahkan oleh kakekku
puluhan tahun lalu: Delapan orang tukang batu menghindari amukan badai dengan masuk dan
berlindung di sebuah kuil bobrok. Di luar halilintar menggelegar, mengirim bola-bola api lewat
lintasan kilatnya. Bahkan mereka mendengar suara seperti jeritan naga. Para lelaki ini merasa
ngeri, wajah mereka berubah kelabu. “Di antara kita berdelapan,” kata salah seorang dari
mereka,” pasti ada satu orang yang telah melawan perintah langit dengan berbuat tidak terpuji.
Pendosa itu harus rela keluar dari kuil untuk menerima ganjaran dan membebaskan pihak tak
bersalah dari penderitaan tak semestinya. Tapi wajar kalau tak ada pihak yang dengan sukarela
mengakui perbuatannya, dan kita akan mencari cara bagaimana ia bisa keluar dan memeroleh
ganjaran.” Lalu salah satu di antara mereka mengajukan usul: karena tak ada di antara kita yang
mau keluar, mari lemparkan caping kita ke pintu. Caping yang keluar lewat pintu kuil adalah
milik orang yang telah berbuat dosa, dan kita akan memintanya keluar untuk menerima
ganjaran. Mereka kemudian melemparkan capingnya ke arah pintu kuil. Tujuh di antaranya
berbalik masuk; sedang satu caping keluar dari pintu kuil. Mereka memaksa orang ke delapan
itu keluar untuk menerima ganjaran, dan saat lelaki itu menolak keras, ketujuh orang di dalam
kuil tersebut menyeret dan melemparkannya keluar kuil. Aku berani bertaruh kalian tahu akhir
dari cerita ini: Mereka tak sempat bergerak lebih cepat dari kuil yang runtuh menimpa mereka.

Aku seorang juru cerita.


Bercerita telah membuatku diganjar Penghargaan Nobel Sastra.

Banyak hal menarik telah terjadi padaku saat menerima berbagai penghargaan, dan hal-hal
tersebut meyakinkanku bahwa kebenaran dan keadilan terus hidup dan dalam keadaan baik.
Maka aku akan terus menuturkan kisah-kisahku di hari-hari esok.

Terima kasih.

Diterjemahkan dari Bahasa Mandarin oleh Howard Goldblatt. Penerjemahan dari Bahasa Inggris
ke Bahasa Indonesia dilakukan oleh Dwicipta.

Anda mungkin juga menyukai