Anda di halaman 1dari 5

Ibu Sama Saja dengan Orang Desa

Karya : Silfi Atma Wijayanti

Sudah bertahun-tahun ibu membawa sebungkus nasi dan sebotol air putih
berukuran besar menuju hutan di belakang rumah kami. Tapi kebiasaannya itu
masih menjadi tanda tanya besar di kepalaku sebab sampai umurku yang ke-15
tahun ini, aku belum juga tahu untuk siapa makanan dan minuman itu. Ketika aku
bertanya pada ibu mengenai itu, ia akan selalu membentak dan jika aku masih
bersikukuh bertanya ia akan memukulku.

Usahaku tak sampai di situ. Pernah beberapa kali aku mencoba mengikuti ibu
menuju hutan itu. Tapi usahaku selalu gagal. Ibu seperti memiliki berpasang-
pasang mata yang terus berjaga di sekelilingnya sehingga ia tahu kalau aku
mengikutinya. Sebenarnya pernah satu kali aku lolos dari berpasang-pasang
matanya itu. Tapi keberanianku menciut ketika melihat pohon-pohon trembesi
yang bagaikan raksasa di hutan itu.

Kami tinggal di desa yang terletak di kaki gunung sehingga tak heran bila tepat
di belakang rumah-rumah masyarakat desa sini terdapat hutan. Tak terkecuali
rumahku. Rumah-rumah di desa kami berpola memusat. Jarak antara satu rumah
dengan rumah lainnya berdekatan. Maka tak bisa dipungkiri, kegotongroyongan
masyarakat di sini begitu kental. Jadi, kegiatan seperti kerja bakti membersihkan
desa sudah menjadi tradisi yang tak terlewatkan. Kegiatan-kegiatan seperti
memasak pun masih mengandalkan kayu bakar dari hutan. Desa kami sangat
bergantung pada hutan.

“Mbok Sum!” panggilku pada perempuan berumur sekitar 60 tahun yang


sedang menjemur kerupuk di pelataran rumahnya.

Mbok Sum segera menoleh ke arahku. Ia mengernyit tanda bertanya. Aku


mendekatinya. “Apa Mbok Sum tahu kenapa ibu selalu mengantar makanan dan
minuman di hutan sana?” tanyaku dengan menggebu-gebu. Berharap perempuan
paruh baya yang terkenal sebagai pemijat andal di desa kami itu menjawab segala
rasa penasaran yang menggumpal di pikiranku. Mbok Sum tersenyum tapi
wajahnya kemudian berubah masam.
“Kamu tidak tahu?” tanyanya yang langsung kujawab dengan gelengan kepala.
Ia menghela napas. “Kalau begitu cari tahu sendiri,” jawabnya lirih. Ia kemudian
masuk ke dalam rumahnya tanpa mengucapkan sepatah kata lagi. Meninggalkan
aku yang masih terpaku atas jawabannya.

Beberapa hari setelahnya, seperti biasa setiap pagi dan sore ibu selalu ke hutan.
Ibu diam saja ketika aku bertanya untuk siapa makanan dan minuman itu.
Sepertinya ibu sudah lelah menanggapi pertanyaan yang kulayangkan setiap hari
padanya. Dan kali ini aku mengumpulkan keberanian untuk mengikuti ibu ke
hutan lagi. Tak ada persiapan khusus yang aku siapkan. Hanya perlu keberanian
dan kelincahan sedikit agar ibu tak melihatku mengikutinya.

Dengan pelan, aku mencoba membuntuti ibu yang mulai masuk ke hutan. Ia
begitu lincah melewati pohon-pohon trembesi raksasa yang menandakan kalau ia
sudah benar-benar terbiasa melewati jalanan yang daun-daun keringnya sudah
tersingkap ke samping-samping sehingga seperti membentuk jalan setapak.
Banyak sekali pohon-pohon di kanan kiriku. Bulu kudukku merinding begitu
memandang ke atas. Aku tak bisa melihat langit dengan gamblang sebab daun-
daun dari pohon trembesi menutupinya. Hanya celah-celah kecil yang menjadi
jalan sinar matahari yang terlihat.

Aku kembali berjalan. Terus mengamati punggung ibu yang semakin lama
semakin menjauh. Buru-buru aku mengejarnya. Mengabaikan jalanan basah yang
berakibat tanggalnya lumpur-lumpur halus di bawah alas kaki. Sesekali aku
menyembunyikan diri di balik pohon ketika ibu menoleh ke belakang. Kali ini aku
pandai bersembunyi, pikirku. Biasanya ibu akan menemukanku ketika
bersembunyi tapi kali ini tidak.

Beberapa menit setelah berjalan, aku terhenti. Aku mendelik di sebuah pohon
jati yang lumayan besar. Terdiam kala kudapati ibu masuk ke dalam sebuah
pondok kecil. Pondok itu berdinding bambu dan beratap logam seng yang sudah
berkarat. Di sekelilingnya daun-daun kering dari pohon jati disingkirkan lalu
dibakar. Terlihat dari bekas bakaran yang berada tepat di depan pondok itu.
Apakah orang-orang desa tahu kalau di tengah hutan ini terdapat pondok?
Aku memberanikan diri untuk mendekat ke pondok itu. Mengintip melalui
celah kecil pada dinding bambunya. Berusaha melihat dengan jelas apa yang
sedang ibu lakukan di sana. Aku begitu terkejut ketika melihat seorang pria yang
tangannya dirantai. Lalu kedua kakinya diletakkan pada dua lubang kayu yang
kemudian di atasnya ditutupi kayu lagi. Pria itu berada di atas dipan bambu yang
dengan tatapan kosong, menerima suapan nasi dari ibu.

Aku kembali terkejut. Wajahnya familier. Kembali, aku melihat tubuh kurus
yang hanya berbalut kain lusuh tipis itu.

“Bapak!” Aku mengingat-ingat kembali tentangnya. Hanya kata bapak yang


mampu keluar dari mulutku. Kilasan memori tentangnya hanya berupa tampilan
buram tak jelas. “Bapak!” lalu sedikit demi sedikit peristiwa itu memutar di ruang
memoriku. “Bapak!”

“Dinda,” seru ibu yang entah sejak kapan sudah berada di depanku. Ia
Memelukku erat dengan tangisan yang tak tertahan. “Dinda.” Sudah begitu lama
ibu tidak terlihat lemah seperti ini. Sosoknya kini bukan seperti dirinya. Ibu yang
aku kenal, adalah ibu yang selalu marah-marah. Ibu yang pantang menangis di
hadapanku.

***

Orang berkelainan jiwa di desa dipandang sebagai orang yang berbahaya.


Terkadang mereka diperlakukan tidak seperti layaknya manusia. Kekerasan secara
fisik menjadi kebiasaan masyarakat desa kami terhadap orang berkelainan jiwa.
Alasannya secara umum karena masyarakat merasa terganggu.

Di desaku, pengetahuan mengenai orang berkelainan jiwa terbilang rendah.


Mereka menganggap mereka adalah “orang gila”. Salah satunya bapakku. 10
tahun yang lalu, bapak mengalami stres dan akhirnya gila karena ditipu orang.
Bapak menjual seluruh aset keluarga termasuk sawah untuk diinvestasikan ke
sebuah perusahaan. Mungkin karena minimnya pengetahuan bapak, jadi bapak
hanya mengiyakan saja tanpa ada rasa curiga. Tapi semua itu terlambat ternyata
bapak hanya ditipu.
Kami jatuh miskin. Sempat pula kami terlunta-lunta tak punya uang hingga
menginap di rumah tetangga. Untungnya ada orang yang berbaik hati
mengizinkan rumah anaknya yang telah kama kosong untuk kami tinggali. Ia
adalah Mbok Sum. Tetangga kami saat ini.

Dulunya kami memang orang yang lumayan terpandang di desa. Kami


memiliki berhektar-hektar sawah. Tak heran bila bapak sangat stres semenjak
ditipu. Masih kuingat kepingan memori bapak dulu. Di mana bapak keluar rumah
dan berteriak-teriak mengganggu tetangga. Aku tak kuasa menahan air mata
ketika salah satu warga memukul bapak menggunakan tongkat kayu saat bapak
mencoba masuk ke rumah mereka. Apa salah bapak? Pikirku di kala itu. Saat itu
umurku baru 5 tahun. Tak kuketahui apa yang terjadi pada bapak. Yang jelas aku
tidak boleh berbicara pada bapak lagi. Lama-kelamaan aku tidak mendapatinya di
rumah. Dan sosoknya perlahan pudar dari kehidupanku. Ia bagaikan hilang ditelan
bumi setelahnya.

“Bapak kenapa, Buk?” tanyaku pada ibu dengan suara serak. Kami berjalan
beriringan keluar dari hutan. Sekejap melupakan apa yang terjadi.

“Bapak tidak boleh berada di desa,” jawab ibu dengan tangis tertahan. Aku
bisa merasakannya.

“Kalau bapak sakit, kita bisa rawat di rumah saja.”

“Tidak bisa, Ndok. Bapak tidak diterima di masyarakat desa. Bapak


mengganggu ketenangan desa.” Aku hanya bisa diam tak menanggapi. Bapak
dipasung. Bukankah itu sama saja ibu tidak menerima bapak? Ia memperlakukan
bapak bukan selayaknya manusia. Ibu sama saja dengan orang desa.

Ponorogo, 28 Desember 2020

Anda mungkin juga menyukai