Anda di halaman 1dari 7

Legenda Gunung Bugel

Zaman dahulu kala hiduplah seorang janda tua di tengah hutan belantara tidak jauh dari
pesisir utara, jaraknya kira-kira 7 km dari pantai utara. Nenek tua itu hidup seorang diri tanpa
sanak saudara yang menemani. Keadaannya juga serba kekurangan, dia harus membanting
tulang untuk  memenuhi kebutuhan hidupnya. Setiap hari mencari kayu bakar dan menanam
berbagai macam tumbuhan. Dalam kondisi seperti itu, nenek selalu optimis kalau Tuhan pasti
akan mengutus hambaNya untuk menemani sisa hidupnya yang tinggal beberapa saat lagi. 
Tak jauh dari tempat tinggal nenek tua itu, terdapat suatu desa. Karena di desa itu banyak
sekali mata air yang mencuat dari dalam tanah  maka desa  itu diberi nama oleh penduduk
setempat, desa Pancuran yang sekarang dikenal dengan desa Pancur.

Suatu hari yang cerah, Nenek sedang tertatih-tatih membawa beban yang sangat berat untuk
dibawa pulang. Seorang pemuda berwajah tampan dengan hidung mancung dan mata sipit
menghampirinya. Nampaknya pemuda itu bukan berasal dari desa sebelah. Dengan sikap
ramah dan santun serta senyuman yang menawan pemuda itu menyapa si nenek.

”Selamat siang, Nek. Bisakah saya bantu?,” sapanya ramah.

Dengan wajah keheranan dan setengah tidak percaya, nenek memandangi wajah pemuda itu.
Wajah orang di depannya ini benar-benar asing baginya. Belum pernah sekali pun dia
bertemu orang seperti ini.

“Selamat si…si…ang,” jawab nenek gugup.

Pemuda itu mengulurkan tangan, diambilnya beban yang ada di gendongan si Nenek lalu
dipanggulnya di atas pundak.

“Terima kasih Nak, apa tidak merepotkanmu ?”, tanya Nenek.

“Tentu saja tidak, senang sekali bila saya bias membantu Nenek”.

Keduanya berjalan beriringan. Dengan sopan pula pemuda itu mengikuti Nenek melanjutkan
perjalanan menuju rumahnya. Dalam hatinya, Nenek berucap,” Terima kasih Tuhan, Engkau
telah mengirim seorang pemuda yang baik untuk menolongku.”

Dalam perjalanan, keduanya tidak banyak bicara, mereka sibuk dengan pikiran masing-
masing. Apalagi badan Nenek sudah terasa sangat lelah, rasanya dia ingin sekali cepat-cepat
sampai di rumah dan istirahat. Tak berapa lama kemudian sampailah mereka di gubuk si
Nenek. Nenek  segera mempersilakan pemuda itu masuk. Dengan perasaan haru pemuda itu
masuk dan duduk sambil melepas rasa lelah, sedangkan Nenek langsung ke dapur. Tak begitu
lama datang Nenek dengan membawa sebuah kendi ( tempat air yang terbuat dari tanah) dan
beberapa potong ubi.

“Makanlah seadanya Nak, mungkin ini bisa membantu mengganjal perut “, ujar Nenek
sambil meletakkan bawaannya dan duduk di atas bale-bale tak jauh dari pemuda itu.
Dengan senang hati pemuda itu melahap 2 potong ubi dan secangkir air sebagai pengobat
rasa lapar. Nenek memperhatikan setiap gerak geriknya.

” Kalau boleh tahu, siapa namamu? Dan dari mana asalmu?,” tanya Nenek hati-hati.

Pemuda itu menjawab dengan tegas. “Namaku Tan Liong. Aku berasal dari negeri seberang
yaitu Cina. Tujuanku ke sini untuk mencari ilmu.“

Sambil memapakkan pantatnya, pemuda itu melanjutkan, “Kalau Nenek tidak keberatan, aku
mau numpang sementara waktu di rumah Nenek untuk menenangkan hati dan pikiranku,
nanti kalau sudah tenang aku akan melanjutkan perjalananku.”

Betapa senangnya hati Nenek mendengar permintaan pemuda itu, pucuk dicinta ulampun
tiba, apa yang diminta Nenek didengar dan dikabulkanNya.

Dengan wajah berseri Nenek menjawab,” Tentu Nenek tidak keberatan, Nenek senang sekali
dan berharap jangan hanya dua atau tiga hari saja, selamanya tinggal di sini juga boleh.”

Pemuda itu tersenyum, hatinya tenang dan bahagia, semakin besar perasaan haru dalam
hatinya.

”Terima kasih Nek, engkau akan kuanggap sebagai ibuku sendiri,”jawabnya.

Pagi harinya, Tan (begitu nama panggilannya ) memulai kehidupan barunya. Dia membantu
nenek membersihkan pekarangan dan memotong kayu bakar, hiduplah dia sebagai petani
menemani Nenek tua. Namun perasaan rindu pada orang tua serta kampung halaman kadang
kala menyiksa hatinya, untuk menghilangkan perasaan rindu itu, Tan selalu menghabiskan
waktunya dengan bekerja. Suatu siang selepas bekerja, Tan merasa lelah sekali sehingga
tertidur di bawah pohon. Dalam tidurnya itu dia bermimpi bertemu dengan kedua orang tua
dan seorang adik perempuannya. Wajah ibu tampak pucat pasi.

Ibu memanggil-manggil  namanya ,” Tan… , Tan…, pulanglah Nak, Ibu rindu, rindu sekali
padamu….”

Tanpa sadar Tan pun menyahut, “ I….buu.uuuuu.”

Tan mengigau memanggil-manggil ibunya. Suara igauan Tan didengar nenek. Dengan
langkah tertatih-tatih dia mendekati Tan dan berusaha membangunkannya.

“Tan, bangun Nak…! bangun!, rupanya kamu mimpi.” ujar Nenek setengah berteriak.

Tan terbangun, dadanya berdebar-debar, air matanya jatuh berderai membasahi mata. Tanpa
berucap sepatah katapun Tan berdiri membelakangi Nenek sambil mengusap air mata dengan
perasaan sedih.

“Tan, ceritalah padaku mungkin bisa meringankan beban yang kau sandang selama ini,
bagaimanapun juga Nenek merasa ada sesuatu yang kau sembunyikan.”

Tan  masih saja diam membisu, tiba-tiba dia menangis tersedu-sedu sambil membalikkan
badannya  dan merangkul nenek dengan kencang.
“Sudahlah Tan, tenangkan hati dan pikiranmu, ambil napas dalam-dalam, kemudian
hembuskan perlahan-lahan, mungkin ini bisa membantu meringankan perasaan yang
mendongkol dalam hatimu,” nasehat Nenek.

Setelah menuruti apa yang dinasehatkan Nenek, perasaan sedih, jengkel, dan dongkol dalam
hati Tan perlahan-lahan sirna. Dengan wajah yang masih merah menahan amarah dan
kesedihan serta menekan perasaan haru Tan berusaha tetap tersenyum di depan Nenek yang
sudah dianggap sebagai pengganti ibunya yang telah ditinggalkan beberapa tahun tanpa
restunya. Akhirnya Tan menceritakan kejadian yang sebenarnya.

“ Nek, mungkin akulah seorang anak yang durhaka, berani dengan orang tua serta selalu
pengin menang sendiri, merasa menjadi anak yang paling pintar, sombong yang selalu merasa
tidak ada yang menandinginya dalam segala hal, baik itu olah kanuragan atau ilmu sihir
bahkan berdagangpun aku selalu mendapat pujian dari semua orang. Hal inilah yang
menjadikan aku makin sesat, rasa hormat pada orang tua sudah tidak ada, rasa sayang pada
saudara juga luntur, padahal aku hanya mempunyai seorang adik perempuan. “

Dia teringat dengan jelas kejadian-kejadian yang telah dialami di negerinya di masa lalu.
Penyesalan yang tiada kunjung berhenti bila mengingat semua peristiwa itu. Kini hanya doa
yang bias selalu Tan panjatkan pada Dewa semoga ayah bundanya serta adiknya diberikan
kesejahteraan dan keselamatan. Tan menceritakan semuanya dengan hati pedih.

Dengan sabar Nenek  berkata, “ Sudahlah Tan, jangan bersedih, jangan menangis terus-
menerus, tiada gunanya, hanya akan menambah hidupmu menderita. Ada satu cara yang bias
kamu lakukan agar bisa melupakan kejadian-kejadian itu. Kamu harus  melakukan
perjalanan  lagi yang semata-mata untuk menebus dosa. Dalam perjalanan itu nanti kamu bisa
membantu orang yang membutuhkan pertolonganmu tanpa pamrih, niscaya kelak kamu akan
dipertemukan dengan saudaramu .”

Setelah Tan mendengar petuah Nenek timbullah perasaan sedih. Rasanya sangat berat bila
harus meninggalkan Nenek dan rumah yang sekarang ditinggalinya ini. Tapi dia harus
melakukan perjalanan itu dan meninggalkan desa Pancuran menuju  ke arah timur. Dengan
berat hati Tan minta izin kepada Nenek untuk melanjutkan perjalanannya.

“Nek, izinkanlah besok aku melanjutkan perjalanan kembali untuk menebus dosa-dosa yang
telah aku perbuat kepada orang tuaku serta adikku,” ucapnya lirih.

Dengan perasaan yang berat Nenek memberikan restu, “Baiklah Tan, besok kamu boleh
pergi. Tapi ada syarat yang harus kamu taati yaitu begitu kamu melangkahkan kaki dari
rumah jangan sekali- kali menengok ke belakang sebelum 7 langkah ke depan.”

“Baiklah Nek,akan aku penuhi sebagai bukti aku menyayangi Nenek seperti ibuku,” lanjut
Tan mantap.

Malam itu Tan tidak bisa tidur memikirkan bagaimana orang yang disayangi akan
ditinggalkan selama-lamanya. Sebenarnya perasaan itu sudah selalu terbersit dalam
benaknya, dan kini semua itu harus jadi kenyataan. Tanpa disadari  ternyata Nenek sudah
berada disampingnya.
“Tan, jangan bersedih, suatu waktu kita akan bertemu lagi nanti di lain waktu, yang
terpenting bagimu  berjalanlah kamu ke arah utara tepatnya di pesisir utara. nanti kamu akan
menemukan orang yang kamu cari selama ini.”

“ Baiklah Nek, aku akan selalu berdoa untukmu agar mendapatkan keselamatan.” Jawab Tan
dengan terharu.

Perasaan perpisahaan seakan-akan tidak akan bertemu lagi selalu menghantui setiap
hembusan napasnya, akan tetapi perasaan itu cepat dihalau agar tenang dalam mengadakan
perjalanannya. Akhirnya Tan pergi tidur. Tak terasa waktu pun telah tiba dengan ditandainya
suara jago dan burung berkicau. Tan mempersiapkan diri mengadakan perjalanan yang tidak
tahu arah yang ditujunya. Sementara sang Nenek dengan tangan tuanya yang penuh keriput
itu memberikan beberapa potong ubi dan air hangat untuk sarapan serta beberapa potong lagi
yang di bungkus daun pisang untuk bekal dalam perjalanan.

“ Makanlah ubi dan minumlah air ini serta bawalah ubi rebus yang ada di bungkusan itu.
Ingat, jangan lupa pesanku.” tutur Nenek.

“Baiklah Nek akan aku ingat.” Jawab Tan.

Setelah minum dan makan secukupnya Tan minta pamit, namun berat rasanya meninggalkan
nenek seorang diri, hidup di tengah hutan yang jauh dari keramaian. Dengan perasaan berat
Tan melangkahkan kaki ke luar rumah sambil mengingat-ingat pesan nenek. Setelah 10
langkah berjalan Tan menengok  ke belakang, betapa terkejutnya dia begitu melihat rumah
nenek sudah tidak ada lagi, yang ada hanya jajaran pohon-pohon yang rimbun. Dan Tan pun
melanjutkan perjalanan sambil sesekali menengok ke belakang seakan tidak percaya dengan
kejadian yang ada. Selama dalam perjalanan itu Tan selalu ingat pesan Nenek supaya
menolong orang dengan ikhlas. Dari desa satu ke desa yang lain  dilaluinya dengan senang
hati dengan selalu menolong orang-orang yang membutuhkan pertolongannya.

Hari demi hari telah dilalui Tan, kini sampailah dia di tepi laut. Untuk melepas kepenatan,
Tan duduk di atas batu sambil memandangi pemandangan yang indah di pinggir dermaga.
Tiba-tiba merapatlah sebuah kapal dari negeri seberang dengan beberapa pengawal. Betapa
terkejutnya Tan begitu melihat kekasihnya bersama lelaki lain turun dari kapal. Melihat hal
itu marahlah Tan. Dia berlari menghampiri dan menghadang kedua orang itu. Mereka berdiri
berhadap-hadapan. Orang-orang yang ada di sekelilingnya memandang mereka dengan cemas
dan takut.

“Siapa kau?!!” bentak Tan sambil menuding lelaki di depannya.

“Kalau berani, tunjukkan kesaktianmu!,” lanjutnya

Tan menantang lelaki itu untuk mengadu kesaktian. Dia berusaha memegang pundak lelaki
yang bernama Swie itu, sedangkan kekasih Tan yang bernama Lin menggigil ketakutan.
Mereka bingung dengan sikap Tan. Swie berusaha menahan diri. Dia mundur selangkah
sambil berusaha melepaskan tangan Tan.

“ Sabar dulu, biar aku jelaskan”, kata Swie pelan.

“Tak ada yang perlu dijelaskan!”.


Pandangan Tan kini beralih kepada Lin. Lin merasa malu dan sangat terkejut sampai tak bisa
berucap apa-apa, hanya linangan air mata yang membasahi pipi sebagai ungkapan bingung
dan sedih.

“ Oo…, begitu ya. Baru berapa bulan aku meninggalkan tanah airku, mencari  uang demi
orang yang kucintai, tapi ternyata orang yang kucintai malah menodai cinta suciku! Dasar
perempuan murahan!,” bentak Tan menuding Lin.

Lin hanya bias menundukkan kepala sambil terus menangis.

“Apa yang kau andalkan?!,” bentak Tan sambil menunjuk Swie dengan nada
marah.“Beraninya kau mengambil kesempatan dalam kesempitan, mencari lengahku. Aku
tidak takut walau engkau anak penguasa. Sekarang kalau berani, mari kita adu kesaktian
barang siapa yang menang berhak mendapatkan Lin!!.”

“Aku tidak bermaksud seperti itu. Aku….,” Swie masih berusaha sabar

“Diam kau!”, bentak Tan, kemudian dia beralih menatap Lin,” Kau, perempuan brengsek!
Tak punya malu!”

Begitu mendengar Lin dimarahi Tan, Swie pun membalasnya dengan nada yang tak kalah
tingginya sehingga menyebabkan adu mulut. “Jangan salahkan dia! Aku yang bertanggung
jawab! Kalau kau ingin adu kesaktian denganku,  oke.. aku layani! Ayo!!.”

“Ayo!!!!.”

Kedua pemuda itu sudah bersiap-siap akan mengadu kesaktian.Hal ini membuat Lin menjadi
bingung, siapa yang mesti dipilih karena kedua-duanya sama-sama dicintai.

“ Sabar…, sabar Tan aku tidak tahu kalau kepergianmu demi aku, yang aku tahu tiba-tiba
kamu pergi meninggalkan aku tanpa pesan. Apalagi kita dulu tidak mendapat restu dari orang
tuamu. 7 tahun waktu yang tidak pendek aku menanti kepastianmu  yang tiada kunjung
jawaban. Akhirnya aku menerima pinangan Swie. Dalam pernikahanku yang sudah
menginjak 3 tahun ini aku belum mendapatkan momongan.” Jelas Lin.

Lin berusaha menjelaskan dengan sejelas-jelasnya namun dengan alasan apapun Tan tetap
tidak mempercayainya.

“ Omong kosong, dasar gadis matre, mentang-mentang dia lebih kaya dari aku seenaknya
kamu lukai perasaanku.” Ujar Tan

Adu mulut antara Tan dan Swie tak terelakkan lagi, kedua pemuda itu hampir berkelahi demi
memperebutkan Lin. Melihat keadaan itu datanglah penasehat Swie untuk melerai supaya
tidak terjadi baku hantam .

“Sabarlah, sabar… kalian masing-masing mempunyai kelebihan dan kekurangan,” ujar 


penasihat itu dengan sabar sambil berusaha menghalau tangan kedua pemuda itu.

Penasihat berdiri di antara kedua pemuda yang sedang emosi itu.


“Seharusnya kalian harus bias mawas diri. Kalian tidak boleh menyalahkan satu sama lain,
karena semuanya memang salah.” Ujarnya melanjutkan. “Apa yang dikatakan Lin itu
memang benar…”

“Persetan dengan semua omong kosong ini! Kubunuh kalian semua!!!” teriak Tan sambil
tetap berusaha melayangkan pukulannya ke arah Swie.

Swie berusaha menghindari tapi justru pukulan itu hampir mengenai Lin. Lin menjerit
kemudian berlari meninggalkan perkelahian itu. Tan mengejar Lin, karena merasa dikhianati 
akhirnya dia mau membunuh Lin, dipegangnya pundak Lin untuk mengambil ancang-ancang
mau dihempaskan. Swie tidak tinggal diam, begitu dia tahu Lin mau dibunuh Swie  berusaha
melindunginya.

Lin merasa bersalah, dengan sekuat tenaga dia melepaskan pegangan Tan. Begitu lepas dia
terus berlari menuju dermaga, sedangkan Tan dan Swie melanjutkan perkelahiannya. Lin
yang sudah putus asa kini berada di pinggir dermaga, tanpa sepengetahuan Tan dan Swie, Lin
bunuh diri, menceburkan diri ke dalam laut bersama cintanya yang bercabang. Tan dan Swie
telah kehabisan tenaga, keduanya sama-sama lemas. Karena keduanya sama-sama sakti,
keduanya masih tetap bertahan. Dalam keadaan kepayahan, pandangan mereka kembali
mencari Lin, ternyata yang dicari sudah tidak ada di antara mereka. Segera keduanya bangkit
dan berlari mencari Lin.

“ Lin…. Lin….. di mana kau?” teriak keduanya hampir bersamaan, sambil berlarian ke sana
kemari

Sampailah Tan di bibir dermaga. Dilihatnya tubuh Lin mengapung tak bernyawa. Begitu tahu
Lin bunuh diri alangkah menyesal dan kecewanya dia. Secara reflek dia langsung mencebur
ke laut meraih tubuh Lin. Dipeluknya tubuh wanita yang sangat dicintainya itu dengan
penyesalan yang sangat dalam.

Dia berteriak histeris,” Maafkan aku Lin, aku bersalah, Aku ingin kau tetap hidup. Jangan
mati Lin…”

Swie yang mendengar teriakan Tan berlari menuju arah suara. Dia tertegun melihat istri yang
sangat dicintai itu sudah tak bernyawa di pelukan Tan. Tubuhnya lemas tak berdaya. Jiwa dan
pikirannya tiba-tiba melayang begitu saja seakan ikut melayang bersama jiwa Lin. Matanya
berkunang-kunang, dunia menjadi gelap gulita. Dengan sisa tenaga yang ada Swie
mengambil pedang dari sarungnya, kemudian ditusukkannya pedang itu ke tubuhnya. Swie
jatuh terkapar berlumuran darah. Jiwanya terbang bersama jiwa Lin. Pasangan pengantin itu
pergi meninggalkan luka yang dalam.

Begitu tahu keduanya meninggal dunia, Tan berlari dengan perasaan sangat kecewa. 
Kejadian ini sungguh di luar dugaannya. Untuk melampiaskan kemarahan dan
kekecewaannya Tan mengeluarkan kesaktiannya. Dia menendang kapal pesiar milik Swie
hingga terpental sampai kurang lebih 5 km dari laut utara dan tertelungkup  di  desa Pancuran
yang sekarang dikenal dengan desa Pancur. Konon perahu tersebut berubah menjadi sebuah
gunung yang tidak mempunyai puncak/ bujel/ bugel.  Sampai sekarang gunung tersebut 
diberi nama   “Gunung Bugel”   yang terletak di desa Pancur.
*** Sampai sekarang gunung itu digunakan sebagai Bong Cina yaitu tempat penguburan
orang-orang Tionghoa yang sudah meninggal.

Anda mungkin juga menyukai