Anda di halaman 1dari 47

DAUN TEBU KEEMASAN

Cerpen Pemenang I - Lomba Cipta Cerpen Cinta Bumi – ICLaw Green Pen Award 2019

Redaksi

0 131 12 minutes read

Oleh Pipiek Isfianti

“Gus, tolong cari bapakmu. Sudah hampir adzan maghrib. Sejak tadi siang belum
makan,” kata ibu sendu. Matanya yang sudah menua itu tampak semakin lelah.
Aku yang saat itu sedang merevisi skripsiku seketika menghentikan tanganku yang sedang
menari di atas tuts laptop,
“Baik Bu,” jawabku singkat. Tanpa perlu bertanya harus mencari bapak kemana dan di
mana. Semua orang di rumah ini, ibu, aku, kedua adikku Mae dan Naja, tahu ke mana harus
mencari bapak.
Pelan kustater motor bututku. Selesai ke luar dari kampungku, aku harus memutari tembok
perumahan yang membatasi perumahan dan kampungku hingga bisa sampai di pintu
gerbang. Sesampai di pintu gerbang perumahan, seperti biasa dua satpam yang berjaga di
sana langsung mengangguk melihatku. Mereka tahu persis untuk apa aku hampir tiap hari
memasuki gerbang perumahan, padahal tak punya rumah atau pun kenalan di situ.
Setelah melintasi blok A, B, C dan D, akhirnya sampailah aku di blok E, yang
sebenarnya hanya berbatasan tembok dengan kampungku. Jadi kampungku dan
perumahan itu hanya dibatasi oleh sebuah tembok yang mengelilingi perumahan.
Sampai di Blok E yang paling ujung, aku lagi-lagi terpekur. Dadaku kembali terasa
sesak, padahal sudah berkali-kali bahkan puluhan atau bahkan ratusan kali aku melihat
pemandangan seperti itu. Melihat punggung bapak yang membelakangiku. Melihat
sepedanya yang bersandar di batang tebu dengan begitu saja, juga menyaksikan asap
rokok mengepul dari balik wajahnya. Tubuhku bergetar, melihat punggung tua itu semakin
kurus dan mengecil saja. Punggung yang sebelum ini selama puluhan tahun menjadi tulang
punggung keluarga kami. Punggung yang selama ini membungkuk untuk menanam tebu
atau mengangkut batang-batang tebu yang menjadi sumber kehidupan kami.
Aku mendekati lelaki lima puluh delapan tahun, pengukir jiwa ragaku itu. Angin sore
berdesir, langkahku terdengar bapak. Ia pun menatapku sekilas, tersenyum lamat, tapi
kembali berpaling, menatap kembali daun-daun tebu yang berwarna keemasan ditimpa
cahaya matahari yang mulai bergerak ke arah barat,
“Bapak, diminta ibu pulang, hampir maghrib. Bapak juga sedari siang belum makan kan
Pak?” kataku hati-hati.
Bapak mengangguk, kembali tersenyum lamat. Tapi ia kembali menyalakan rokoknya yang
tadi sepertinya sempat mati karena angin.
“Lihatlah Gus, batang-batang tebu ini sudah mulai membesar dan tinggi,” kata bapak
tiba-tiba, sembari mengelus sebuah batang tebu di depannya. Dengan begitu hati-hati,
bapak mengelus lapisan lilin di batang tebu yang berwarna putih keabu-abuan itu. Tangan
tua dan hitam bapak, agak berhenti saat jarinya menyentuh ruas-ruas batang yang dibatasi
oleh buku-buku yang merupakan tempat duduk daun. Lalu tangan bapak berhenti
mendadak saat tiba pada ketiak daun tempat terdapat sebuah kuncup. Tiba-tiba bapak
mencium kuncup itu lembut.
“Hem..baunya mulai mengharum. Biarkan aku sejenak di sini dulu ya.” kata bapak
tenang.
Tubuhku bergetar. Lalu kuhela napas panjang, mataku mulai memanas. Ya, sejak tiga tahun
lalu, aku harus rajin meminta bapak pulang dari kebnn tebu yang luasnya hanya tujuh kali
empat belas meter ini. Itu satu-satunya kebun tebu yang masih ada di kampungku, bahkan
mungkin di desaku. Kebun tebu itu bukan milik bapak, tapi milik bulik (ibu cilik alias bibi)
Ainun, adik bapak. Kebun itu pun sama sekali tak terurus, karena ditinggal bulik Ainun dan
keluarganya entah ke mana setelah peristiwa yang membuat luka hati bapak, hati kami
sekeluarga.
Sungguh, tiba-tiba peristiwa itu berkelebat di kepala, menorehkan rasa nyeri. Walaupun
mati-matian selama ini kami coba untuk menghapusnya, tapi nyatanya masih saja terasa.
Sore itu bulik Ainun datang ke rumah kami. Bapak disodorinya brosur-brosur tentang
umroh. Mata bapak seketika bersinar-sinar, apalagi bulik Ainun menceritakan bahwa biro
perjalanan milik suami barunya yang ia kenal saat menjadi TKW itu memberi diskon yang
besar jika berangkat umroh tahun saat brosur tersebut ditunjukkan pada bapak.
“Tapi aku uang darimana Nun, untuk bisa berangkat umroh?” tanya bapak. Ada rasa kecewa
di nada suara bapak.
Suami bulik Ainun yang baru menikahinya tiga bulan lalu itu, Om Hasim langsung
membujuk bapak agar menjual kebun tebunya. “Dijual saja kebun tebunya Kang,” kata Om
Hasim.
Mendengar jawaban adik iparnya itu, mata bapak langsung terbelalak, kepalanya
menggeleng kuat-kuat, “Tidak bisa, lalu aku kerja apa? Kebun tebu itu yang telah
menghidupi keluargaku selama puluhan tahun. Sejak sebelum aku menikah, sampai anak-
anakku lahir,” tegas bapak.
“Bagus kuliahnya kan dapat beasiswa.Gratis, Kang. Mae dan Naja juga habis lulus SMK
akan bekerja,” jawab bulik Ainun. “Ayolah Kang, ini kesempatan luar biasa. Kapan lagi Kang
Bahar mau berangkat umroh. Masak hidup sekali kita nggak bisa menginjakkan kaki ke
TanahSuci. Sia-sia sekali hidup kita Kang.”
Ibu yang tadi terdiam, ikut membujuk bapak. “Pak, kalau bapak ingin berangkat, jual
saja kebun tebu kita. Tak apa-apa Pak. Asal bapak bisa berangkat umroh. Ibu kan masih bisa
jualan sayuran di pasar.”
Bapak terdiam. Lalu menghela napas. Terasa begitu berat. Aku sebagai anak sulungnya,
anak lelaki satu-satunya, yang tahu persis bagaimana bapak begitu mencintai kebun
tebunya itu menjadi begitu paham apa yang dirasakan bapak. Aku bisa menangkap
keresahan bapak. Bayangkan aku yang sejak kecil selalu menemani bapak bekerja,
menghabiskan waktunya di kebun tebu kami. Dengan mata kecilku, aku melihat bagaimana
menyatunya bapak dengan kebun tebunya. Aku melihat bagaimana bapak sejak mulai
memilih bibit tebu sampai memanennya.

BACA : LANAI

“Gus, lihat kemari, bibit tebu itu ada empat macam. Bibit pucuk, batang muda,
rayungan dan siwilan,” kata bapak seperti dosenku jika sedang menerangkan mata kuliah. Ia
sangat paham akan pekerjaannya sebagai petani tebu yang dituruninya dari kakekku. Lalu
bapak menerangkan dengan penuh semangat, bahwa pada bibit pertama atau bibit pucuk,
kita dapat mengambilnya dari tanaman tebu yang telah memasuki umur satu tahun.
“Nah kita ambil sebanyak dua sampai tiga buah tunas muda yang panjangnya antara 20
centimeter,” lanjut bapak menggebu.
Aku manggut-manggut. Bapak memang sudah menyatu dengan tanaman bernama
tebu itu. Ia juga menyatu dengan tanah yang diolahnya, sepenuh jiwa. “Nenek moyangku
itu, ya kakek nenek buyutmu itu adalah petani, Gus. Mereka hidup dari tanah, air, dan udara
yang diciptakan Tuhan. Makanya kita harus menjaga bumi ini dengan sepenuh jiwa kita.
Jangan sampai kita melukai bumi, sesuatu yang telah menghidupi kita selama ini,” nasihat
bapak padaku dengan sungguh-sungguh.
Bapak adalah salah seorang yang aku tahu betul selalu menjaga bumi, yang kata
bapak jangan sampai terluka. Ia mengolah tanahnya dengan segenap jiwa raganya,
menanam tebu. Ia mempelakukan bumi ini dengan penuh cinta, karena sadar bahwa dari
bumilah kami sekeluarga hidup. Maka ia terus menikmati semua proses tanam tebu itu.
Selama itu segala harapan dan doa tercurah, agar panen tebu berhasil. Kala musim tanam
tebu, bapak menyambutnya dengan riang gembira. Karena di daerahku merupakan daerah
kering, maka musim tanam tiba pada bulan Oktober hingga Desember.
Bapak juga pernah bilang, jika menanam tebu harus dengan hati yang riang gembira. Tebu
juga harus ditanam saat cuaca dan langit cerah. “Karena tebu itu penghasil gula, bagaimana
mungkin tebunya akan manis, kalau kita menanamnya dengan marah? Nanti gulanya jadi
pahit!” kata bapak sembari terkekeh.
Mungkin bapak sedang bercanda dan menggodaku, karena aku yang saat itu harus
membantunya menanam tebu sedang dalam keadaan marah.
Aku juga ingat bagaimana bapak menyiapkan sendiri lahan yang hendak ditanami
tebu. Ia membajak lahan, agar menjadi gembur. Kemudian ia membuat alur-alur untuk
memulai menanam bibit tebunya.
Bapak dan tebu memang tak bisa dipisahkan. Aku sejak kecil, menikmati dan
menyaksikan hal itu. Apalagi jika musim panen tiba. Alangkah ramai dan riuhnya desa kami.
Truk-truk pengangkut tebu akan hilir mudik datang ke desaku. Mengangkut batang-batang
tebu yang akan disetor ke Pabrik Gula yang letaknya tak begitu jauh dari desaku, untuk
proses giling menjadi gula.
Aku ingat betul, jika truk-truk itu mulai lewat melintas, aku dan teman-temanku akan
berebut menarikki tebu yang menjuntai ke bawah. Kami akan bersorak girang, jika salah
satu di antara kami berhasil mendapatkan sebatang tebu.
Jika melihat hal itu, bapak pasti marah, “Jangan ikut-ikutan menariki tebu yang diangkut
truk yang sedang berjalan. Itu bahaya!” kata bapak keras. Aku mengiyakannya. Tapi bapak
tak tahu, setelah itu aku bersama teman-temanku bergantian menariki batang-batang tebu
yang diangkut oleh lori-lori kereta pengangkut tebu milik Pabrik Gula di kotaku. Karena
letak pabrik yang tidak seberapa jauh dari desaku, membuat aku dan teman-temanku akan
sering ke sana.
Kemudian kami berdiri di sepanjang rel, menunggu lori-lori yang mengangkuti tebu.
Sama seperti saat kami menariki batang-batang tebu dari truk yang melintas, menarik
batang tebu dari lori lori kereta pengangkut tebu justru lebih seru. Padahal, bisa saja kami
dengan mudah mengambil dari kebun, tapi entahlah ada perasaan yang meluap jika
berhasil menarik tebu dari truk ataupun dari lori kereta. Saat lori akan melintas, kami siap-
siap di pinggiran rel. Lalu begitu lori-lori itu berada tepat di depan kami, secepat kilat kami
berebutan menarik batang-batang tebu yang sudah disusun di lori- lori kereta. Kami pun
terbahak jika berhasil.
Aksi kami berhenti serta lari tunggang langgang, jika suara mandor pabrik gula sudah
meneriaki dan memarahi kami. Ia mengacung ngacungi kami dengan batang tebu yang
panjang. Sungguh, itulah masa-masa yang paling membahagiakan bagiku. Walaupun aku
baru tahu sekarang, bahwa musim panen sebenarnya juga belum musim yang sepenuhnya
menggembirakan bagi bapak dan petani tebu yang lain. Setiap tahun mereka akan selalu
was was dengan hasil panennya. Sering, angka rendemen atau kandungan gula dalam tebu
tidak menggembirakan. Hanya mencapai 6,5 persen yang artinya hasil yang diperoleh bapak
hanya menutup ongkos produksi. Tapi entahlah, bapak sepertinya menjalani semuanya
dengan lapang dada. Tak pernah ia memperlihatkan rasa kuatirnya kepada kami. Ia terus
menanam tebu, terus menanam dan menanam dengan sepenuh hati.
Datanglah musim giling tebu yang begitu kami tunggu-tunggu. Yakni mantenan tebu.
Menikahkan dua batang tebu sebelum masuk ke penggilingan. Tradisi yang digelar tiap
tahun ini persis pernikahan dua sejoli yang begitu meriah. Dua batang tebu yang telah
diberi nama pria dan wanita dinikahkan di masjid desa dengan proses ijab kabul.\

BACA : MERARIQ

“Supaya memberi keturunan tebu yang banyak dan bagus,” terang bapak.”Supaya
bumi menerima ikhtiar kita untuk melalui proses tanam selanjutnya. Karena bumi itu hidup,
Nang. Bumi punya perasaan, sehingga ia harus kita hormati dan kita jaga dengan segenap
jiwa,” sambung bapak begitu sungguh-sungguh. Aku sendiri hanya melongo mendengar
kalimat-kalimatnya yang ia ucapkan dengan suara bergetar itu. Aku tak paham maksud
bapak saat itu. Aku baru paham saat menjelang akil baligh.
Setelah proses ijab kabul, dengan dipimpin tokoh adat desa, manten tebu diarak
dengan membawa tandu oleh beberapa pengiring dengan pakaian Jawa lengkap. Kirab
berjalan menuju Pabrik Gula. Selanjutnya memasukkan pasangan penganten tebu itu ke
tempat penggilingan tebu. Pasangan penganten akan disambut meriah dengan gending-
gending Jawa dan sorak riuh penonton yang mengelu-elukannya. Aku selalu bergidik jika
sampai pada proses itu. Sebab pengantin tebu itu di mataku bagaikan dua orang yang
betul-betul hidup. Auranya memancar seperti manusia, padahal hanya dua batang tebu
yang didandani seperti pengantin manusia.
Sampai di mesin penggilingan, manten tebu akan diterima oleh Kepala Pabrik Gula. Ia
menerima seserahan yang dibawa oleh sesepuh desa kami. Selanjutnya, tibalah saat yang
membuat warga yang menyaksikan akan berdebar. Yaitu saat manten tebu dibawa beramai-
ramai menuju tempat penggilingan tebu. Di belakang tandu penganten, ada beberapa
batang tebu sebagai simbol rendemen kali ini. Ada juga kembang mayang dan janur kuning
yang menyertai seserahan pengantin itu.
Di dalam pabrik, ramai ratusan orang sudah menunggu untuk menyaksikan puncak
dari proses mantenan tebu. Suara sorak sorai manusia berbaur dengan riuhnya suara mesin
penggilingan yang telah menyala hidup dan memekakkan telinga.
Lalu, dimasukkanlah sepasang penganten tebu itu ke dalam mesin penggilingan. Kres kres
kres…suaranya terasa menggilas di hatiku. Selanjutnya, menyusul beberapa batang tebu
yang mengiringi kembang mayang dan janur kuning. Semua hancur lebur, digilas habis oleh
mesin penggilingan yang menderu.
Orang-orang akan saling berebut untuk mendapat sisa dari penggilingan sang
pengantin tebu. Begitu pula bapak. Kata bapak, sisa penggilingan pengantin tebu itu adalah
berkah supaya hasil panen ke depan bagus dan tidak mengecewakan.
“Ini juga bentuk rasa syukur bahwa Allah sudah memberikan bumi dan seluruh isinya
untuk kita ambil manfaatnya,” kata bapak sembari matanya berkaca-kaca tiap kali usai
menyaksikan acara manten tebu.
Malam harinya, akan diadakan pagelaran wayang kulit semalam suntuk di halaman
Pabrik Gula. Bersamaan dengan digelarnya pasar malam yang menjual berbagai jenis
makanan dan dolanan anak-anak. Bapak akan membebaskan kami membeli jajanan dan
dolanan yang hanya bisa kami beli jika ada pasar malam seusai panen. Ibu juga boleh
memilih baju dan kerudung baru, yang hanya bisa dia beli saat musim panen tiba. Seusai
berbelanja, bapak juga akan mengajak kami makan sate kerbau, makanan khas daerah kami.
Sate Kebo Kudus, memang lain rasanya dibandingkan dengan sate ayam maupun sate
kelinci.
Sate Kerbau Kudus dihidangkan dengan nasi dan sambal bumbu kacang. Ditambah
sambal dari cabai merah dan hijau yang digerus halus setelah direbus. Yang aku suka, aku
bisa mengambil bumbu kacang sepuasnya. Karena ditempatkan di piring yang berbeda.
Bumbunya hem… enak sekali. Perpaduan antara rasa manis dan sedikit pedas. Mungkin
terasa sangat manis bagi lidah orang di luar Kudus. Daging kerbaunya terasa sangat lunak.
Sebab memang direbus berjam-jam, kemudian ditumbuk sebelum dibumbui dengan
ketumbar dan rempah-rempah yang terasa meresap sampai ke dalam dagingnya.
Bapak sering bercerita, bahwa sate kerbau bukan sekadar makanan khas daerah kami.
Tapi ada sejarah yang luar biasa yang mengiringi keberadaan sate kerbau. Ia menjadi simbol
toleransi beragama antara umat Islam dan Hindu. “Karena sapi bagi masyarakat Hindu
merupakan hewan suci, maka untuk menghormati umat Hindu yang telah terlebih dahulu
ada di Kudus, Kanjeng Sunan Kudus melarang umat Islam di Kudus menyembelih sapi
ataupun mengkonsumsinya sebagai makanan. Itu memang bukan perintah agama, tapi
perintah leluhur, nenek moyang kita. Bagi bapak sendiri berpedoman, di mana bumi dipijak,
di situ langit dijunjung.
Kata-kata bapak itulah, yang akhirnya baru aku pahami saat aku mulai beranjak
remaja, membuatku tak pernah berani memakan daging sapi, walau aku ingin sekali. Bapak,
juga warga Kudus lain yang masih menjunjung tinggi pesan Kanjeng Sunan Kudus, setiap
hari raya kurban, tak ada yang menyembelih sapi. Yang mereka sembelih kerbau atau
kambing. Sayangnya, sekalipun sate kerbau adalah makanan khas daerahku, tapi kami
sangat jarang memakannya. Karena harganya yang mahal bagi ukuran kami. Maka, kami
hanya bisa makan sate tersebut di saat hari raya kurban dan di saat musim panen tebu.
Kenangan itu begitu melekat di batok kepalaku, membuat aku begitu merindukan masa-
masa itu.
Tapi itu dulu, sebelum semuanya berubah, menjadi hal yang menyakitkan bagi
keluarga kami. Terlebih buat bapak. Keinginan yang begitu besar dan kuat bapak untuk
menginjakkan kaki ke Tanah Suci, membuat bapak akhirnya menjual kebun tebu satu-
satunya, peninggalan orang tuanya kepada pihak perumahan untuk dijadikan rumah di blok
E ini. Aku memahami hal itu. Bapak ingin sekali berangkat umroh, sebuah keinginan yang
bertahun-tahun ia impikan. Bahkan sejak kecil. Sebab bapak berkeyakinan, bahwa belum
sempurna hidupnya jika belum menginjakkan kaki ke Tanah Suci.

BACA : JANIN

Impian-impian bapak melihat Nabawi dan Kabah, akhirnya hanya menjadi sebuah hal
yang paling memilukan, saat keberangkatan yang ditunggu tak kunjung tiba. Bolak balik
bapak mengurusnya di kantor biro yang katanya milik suami baru bulik Ainun itu. Pihak biro
selalu menyatakan, karena sesuatu hal keberangkatan umroh bapak diundur. Entah sampai
kapan.
Hingga pagi itu kulihat bapak duduk mematung di teras depan. Wajahnya mengeras,
tapi matanya kosong dan tubuhnya seperti lunglai tak berdaya. Ibu menangis tersedu di
ruang tamu. Baju-baju ihram dan koper yang sudah dipersiapkan, tergeletak begitu saja.
Menjadi saksi pilu, bahwa telah ada kepastian bahwa keberangkatan umroh bapak beserta
puluhan calon jamaah yang lain gagal. Biro haji dan umroh itu ternyata penipu. Bapak sudah
kehilangan segala-galanya: kebun tebunya, harga dirinya, impiannya untuk bisa melihat
Baitullah secara langsung, yang selama usia bapak hanya bisa dilihatnya di sajadah
lusuhnya.
Bulik Ainun dan keluarganya tiba-tiba raib entah kemana. Tapi bapak tak pernah
dendam pada adik satu-satunya itu, juga pada suaminya. Bapak menerima kekecewaannya
untuk dirinya sendiri. Tapi kami tahu, bahwa bapak begitu sakit dan terpuruk. Hingga
membuatnya menjadi berubah. Mata tuanya tak lagi menyala-nyala seperti dulu. Tubuhnya
yang sekalipun telah mulai menua tapi tetap tegap dan kekar dulu, tiba-tiba mulai
membungkuk dengan cepat. Bapak juga semakin menjadi kurus dan pucat.
Sejak peristiwa itu, bapak seperti kehilangan dirinya. Setiap sore menjelang senja, ia
pergi menuju perumahan yang telah membatasi dirinya dengan tembok tinggi. Bapak selalu
mengunjungi kebun tebu milik bulik Ainun yang juga entah keberadaan kebun itu menjadi
milik siapa. Tidak jelas, apakah masih menjadi milik bulik Ainun ataukan sudah berpindah
tangan? Yang jelas, hanya sepetak kebun itu saja yang masih tersisa, itu pun telah berada di
lingkungan perumahan. Tak terurus dan terbengkelai.
Bapaklah yang selama ini berusaha merawatnya dengan sekadarnya, Karena memang
sejak dulu bulik Ainun yang bertahun-tahun menjadi Tenaga Kerja Wanita di luar negeri
telah mempasrahkan perawatan kebun tebu bagian dari orang tuanya itu kepada bapak,
dengan sistem bagi hasil. Bedanya jika dulu bapak melakukannya dengan penuh semangat,
kini hanya sekadar untuk bisa menatapi daun-daun tebu keemasan kala senja menjelang
tiba. Menampung air dari hujan atau dengan sepedanya membawa jerigen untuk
menyiraminya. Tentu saja hanya ala kadarnya. Tapi bagi bapak bergulat kembali dengan
tanaman tebu, seperti hendak berusaha kembali mencoba membangkitkan semangatnya,
menghidupkan kembali jiwanya, meski itu terasa sangat sulit.
Bapak hanya bisa menatap daun-daun tebu yang keemasan ditimpa cahaya matahari
sore. Pucuk pucuk daun tebu yang melambai- lambai itu seperti merupakan hiburan yang
luar biasa bagi bapak. Untuk melupakan sakit hatinya. Untuk melupakan kebun tebu
miliknya yang tepat berada di sebelah kebun tebu bulik Ainun yang sekarang telah
menjelma menjadi rumah.
Suara adzan maghrib bergema teramat syahdu, aku tergeragap dari lamunanku.
Kuhapus mataku yang membasah. Kutatap tubuh bapak yang semakin mengecil tertimpa
bayang senja. Sementara daun-daun tebu keemasan seperti mengejek padaku, bahwa aku
belum bisa melakukan apa pun untuk bapakku.
Kutatap lekat-lekat daun tebu yang hanya terdiri dari pelepah dan helaian daun itu
dengan entah perasaan yang bercampur aduk. Daun yang tanpa tangkai, polanya berselang
seling begitu indah jika tertimpa sinar matahari sore. Pola daun-daun itu bagaikan buliran
emas jika berbaur dengan sinar mentari yang berarak ke barat. Aku sentuh pelepah daunnya
yang terdapat bulu-bulu halus. Dulu saat aku kecil, bulu-bulu daun itu sering membuat
tubuhku gatal-gatal. Sepulang sekolah hampir sepanjang hari aku menghabiskan waktu di
kebun tebu bersama bapak.
Daun-daun tebu keemasan itu tiba-tiba melecut semangatku untuk bisa
mempersembahkan lagi sebuah kebun tebu untuk bapak, entah bagimana caranya. Ya, aku
bertekad akan mengembalikan “hidup” bapakku. Aku berjanji akan kusatukan lagi bapak
dengan bumi, tanah, air, dan udara yang telah menjadi nyawa bagi bapak, yang sebenarnya
juga menjadi nyawa bagi seluruh isi bumi ini.
Kuhela napas panjang. Aku serasa mendapat kehidupan baru dari daun-daun tebu
keemasan yang melambai-lambai di hadapanku itu. Kudekati bapak, kupeluk dia dari
samping.
“Bapak, ayo pulang. Aku sedang menulis skripsi. Doakan sebentar lagi lulus. Supaya
cepat dapat pekerjaan yang bagus. Aku janji, akan membelikan bapak sepetak kebun tebu,
agar bapak tiap sore bisa memandang daun tebu keemasan ini di kebun milik kita sendiri,
seperti dulu Pak, iya seperti dulu!”
Tiba-tiba bapak memelukku lebih erat, sangat erat, seperti pelukannya saat aku masih kecil
dulu. ”Aamiin..aamiin Ya Allah…,” kata bapak lirih. Suara adzan maghrib semakin menggema,
dan daun-daun tebu keemasan seakan mengamini doa-doa kami.*
Kudus, saat musim ketigo.

BELAJAR MENCINTAI BUMI KEPADA NENEK


Cerpen Pemenang II - Lomba Cipta Cerpen Cinta Bumi – ICLaw
Green Pen Award 2019

Redaksi

0 114 13 minutes read

Oleh Abd. Warits

Saat itu umurku masih delapan tahun. Nenek mengajakku pergi ke kebun pada suatu
sore yang diparam kabut tipis. Nenek menyunggi palasa1 berisi nasi jagung berlauk
potongan leher ayam, aneka jajan kampung dan sebungkus kembang. Kami melewati jalan
setapak yang meliuk-liuk dan berkerikil, menanjak dan turun, yang di kanan-kirinya
ditumbuhi barisan ilalang dengan kembang putih halus menggesek-gesek betis. Kadang
aku memetik kembang itu lalu menggesekkannya ke wajah karena kelembutannya di betis
membuatku serasa ketagihan. Beberapa saat kemudian kucampakkan kembang itu. Tangan
kananku kembali meraih setangkai yang bersanggul putih lebat. Tapi nenek melarangku
memetik kembang itu lagi.
“Cukup dua tangkai saja. Jangan kaupetik lagi ya!. Ilalang itu juga punya rasa yang
sama dengan manusia. Jika kembangnya diambil secara berlebihan. Ia akan menangis,” ucap
nenek di belakangku, diiringi bunyi sandal jepitnya yang menggasak daun-daun kering. Aku
menoleh.
“Memangnya kenapa jika ilalang menangis, Nek?” tanyaku polos. Nenek menghentikan
langkah dan merajut senyum lembut di bibirnya.
“Jika ilalang menangis, ia akan mengadu kepada ibunya.”
“Siapa ibunya, Nek?”
“Ibunya adalah bumi ini. Jika bumi ini marah maka ia akan murka. Kita akan diserang banjir,
longsor, tsunami dan bencana lain. Apa kamu mau?”
Aku tak menjawab pertanyaan nenek. Membalikkan badan, dan melanjutkan perjalanan.
Kugenggam erat dua tangkai kembang ilalang yang ada di tanganku. Aku tak ingin memetik
kembang ilalang secara berlebihan, takut ia menangis lalu mengadu kepada ibunya, aku
takut jika ibunya, bumi ini murka, aku tak ingin diterjang banjir, longsor atau tsunami seperti
orang-orang yang disiarkan di layar televisi.
Kami berjalan menyusur lengang, hanya silir angin mengecup daun, juga gesek sandal pada
daun kering, kami larut dalam pikiran masing-masing, hingga tanpa terasa, kebun sudah
kami tapaki. Ada tanaman kacang tanah dan di sekelilingnya bediri pohon-pohon besar.
Nenek menurunkan palasa dari kepalanya ke datar rumput hijau yang bersih. Kemudian
mencabut sebatang dupa yang terselip pada ikat pingganggnya. Disulutlah batang dupa itu
dengan bantuan sepasang tangannya yang ditangkupkan agar tak dihalau angin. Lalu asap
mengepul, wangi menyelinap ke dalam cuping pembauan, bara merah di ujung batang
dupa tampak kian menyala ditiup angin. Nenek memintaku untuk membantunya membawa
barang bawaan ke pangkal pohon terbesar yang tumbuh di pojok tenggara.
Nenek menyuruhku bersila sebagaimana yang telah ia lakukan. Aneka jajan dan
kembang serta nasi jagung berlauk potongan leher ayam terhidang di depannya, di atas
selembar daun pisang yang nenek bawa dari rumah. Ia memejamkan mata, bibirnya
bergetar setelah tangannya menyatu di dadanya sambil memegang batang dupa yang
berasap. Entah apa yang nenek baca, ia begitu khusyuk, seperti sedang berjumpa dengan
seseorang dalam pejamnya itu.
Setelah membuka mata, nenek membagi nasi dan kembang itu menjadi beberapa
bagian yang ditakir dengan daun pisang. Lalu takir-takir itu ditaruh di pangkal masing-
masing pohon. Aku ikut membantu nenek menaruh takir-takir itu, beranjak dari satu pohon
ke pohon lain, melangkahi rintang ujung daun semak yang merimbun agak tinggi.
“Untuk apa nenek menaruh makanan itu di pangkal-pangkal pohon?” tanyaku iseng,
bersamaan ketika tangan keriput nenek menaruh takir terakhir di pangkal pohon kesambi.
“Setiap pohon ada penjaganya. Jika tidak diantar makanan, apalagi sampai pohonnya
ditebang, maka penjaganya akan marah, ia akan mengganggu manusia,” jelas nenek
lantang, wajahnya penuh tatap keseriusan. Aku mengangguk walau masih dengan mata tak
kedip, sebab ada banyak pertanyaan-pertanyaan dalam kepala.
“Dan pohon ini juga akan mengadu kepada ibunya jika disakiti atau ditebang,” sambung
nenek sedikit mendekatkan wajahnya ke wajahku, hingga terendus aroma kapur dan sirih
pada sadah yang membekas di bibirnya.
“Siapa ibu pohon ini, Nek?”
“Bumi,” jawab nenek singkat. Aku hanya tercenung, mengedar pandangan pada rerimbun
pohon, sambil berkesimpulan bahwa bumi adalah ibu dari segala ibu, tempat semua
makhluk menyusu.
*
Sungguh suatu kegemaran yang sangat menyenangkan bagi bocah sepertiku, memanjat
pohon-pohon rindang berkuntum buah, yang dahannya datar menghampar, yang daunnya
lebat merambat. Satu di antara pohon yang sangat kusukai adalah pohon rambutan yang
tumbuh di bagian timur halaman.
Dongkol rasanya bila pagi-pagi sekali, mataku melihat buah rambutan segar berserakan di
tanah, beberapa di antaranya kulitnya mengelupas oleh taring kelelawar atau taring tupai
atau taring binatang pengerat lain yang suka mencuri buah rambutan itu.
Seusai salat subuh,—terutama pada saat hari libur sekolah—aku akan memanjat
pohon itu. Pindah dari satu dahan ke dahan lain, sembari menikmati rambutan yang sudah
masak, mendahuli tupai-tupai, kadang kala kubiarkan tubuh terjepit pada dahan bercabang
rapat yang sedang diayun-ayun angin. Kubayangkan diri tengah berada di atas perahu,
diayun ombak ke pulau jauh.
Setelah buah rambutan tinggal sedikit, aku berambisi untuk memetik semua rambutan
itu mulai dari yang hampir matang sampai yang benar-benar matang. Tanganku lihai
menggamit ujung ranting yang terhubung ke buah, lalu memetik buah-buah itu hingga ak
tersisa. Buah-buah itu kukumpulkan dalam keranjang bambu yang kugantung di sebuah
dengkul dahan.
“Bisri!” nenek memanggilku tiba-tiba. Ia berdiri tepat di bawah pohon rambutan yang
kupanjat. Menatap ke atas—atau tepatnya menatap kepadaku yang sedang bergelantung di
salah satu dahan. Tatap mata nenek sedikit terbuka, menampakkan bola mata yang sedikit
kelabu. Ia tak bicara apa-apa lagi, tapi juga tak beranjak dari tempat semula, ekspresinya
menyiratkan sebuah ketidaksukaan kepadaku.
Aku turun perlahan melewati takik darurat berupa dengkulan kulit pohon rambutan,
tentu dengan perasaan yang sedikit malu karena harus membawa keranjang berisi
rambutan. Nenek tak bicara apa-apa, selain hanya melayarkan pandangannya pada setiap
gerak tubuhku, mulai dari atas rambutan hingga ke bawah.
“Apa kamu lapar?” tanya nenek datar tapi terasa melesak ke dalam kepalaku.
“Tidak, Nek. Saya kenyang,” jujur kujawab.
“Apak kamu tupai?” pertanyaan nenek membuatku terperanjat, sedikit mendongakkan
kepala, melihat ke wajah nenek.
“Bukan, Nek. Saya bukan tupai.”
“Tapi kamu lebih berbahaya dan lebih memalukan daripada tupai.”
Aku semakin terkejut, sekaligus bingung tentang pernyataan nenek.
“Maksud nenek bagaimana?”
“Kalau tupai hanya makan satu buah cukup, sedang kamu tidak,” ungkap nenek tegas. Aku
bagai disambar petir dan tak menjawab apa-apa, sebatas menunduk memandang kuku kaki
yang agak hitam dan berdaki. Sejenak tak ada cakap di antara kami, derit dahan terdengar
bagai jerit rintih seorang pengemis.
“Baiklah, tak apa kau makan semua buah itu. Tapi aku ingin kamu melakukan satu hal,” ucap
nenek sambil mengitariku.
“Apa itu, Nek?”
“Kamu harus menanam biji-biji rambutan yang kauhabiskan itu di ladang sebelah rumah.”
Aku mengangguk yakin, mataku masih menyisakan sorot tegang ke wajah nenek. Tapi
nenek mulai tersenyum dengan sepasang bibir basah sadah. Giginya yang tinggal satu
diliputi warna hitam bagai kayu hangus sehabis dilalap api.
BACA : MERARIQ

Saat itu juga tak buang waktu. Aku langsung menuju ladang nenek, menanam biji-biji
rambutan itu pada bidang tanah kosong yang telah dibajak. Aku meniru kebiasaan nenek,
yang senantiasa sigap, menyisakan beberapa buah atau biji dari keseluruhan yang sudah
dipetik untuk ditanam jadi bibit baru.
“Dengan membibit semacam itu, berarti kamu telah membuat hati ibu pohonan, yaitu
bumi tersenyum kepadamu,” tiba-tiba nenek berdiri di belakangku. Membawa ancak berisi
sesajen. Aku membalas senyum nenek seraya membantu menurunkan ancak itu ke alas
daun pisang. Seperti biasa ia akan mencabut sebatang dupa dari selip ikat pinggangnya.
Lalu membakarnya sambil melafalkan sesuatu. Kemudian nenek memintaku membawa
ancak berisi sesajen itu ke pangkal pohon yang tumbuh di pojok tenggara ladang. Di
sanalah nenek duduk bersila, matanya terpejam, ia membaca mantra sangat khusyuk sekali,
seakan nenek sedang bercakap dengan seseorang dalam kegaiban. Rimbun daun pohon-
pohon tiba-tiba bergerak pelan, seperti digesek angin, aku merasakan sesuau yang agak
mistis, seolah nenek dan bumi memang sedang berbincang serius.
Setelah matanya terbuka, saat purna gerak bibirnya henti, tentu dengan lafal penutup paling
akhir, nenek kemudian menjumput sesajen. Ia menaburkannya pada bagian-bagian ladang.
“Untuk apa itu, Nek?”
“Beginilah cara moyangmu menyatu dengan alam.”
Aku bergeming, menopang dagu dalam ketidakpahaman. Mengamati gerak langkah
nenek, tangannya yang lihai menabur sesajen sejumput demi sejumput. Nenek memang tak
bisa dipisahkan dengan bumi.
Selain nenek, para tetua desa memang sangat mencintai bumi, ia mengungkapkannya
dalam ritual-ritual kuno yang belum kumengerti secara utuh. Nenek memperkenalkanku
dengan ritual-ritual itu sejak aku masih kecil. Beberapa ritual yang kuingat antara lain
Pojiyan, Rokat Pakarangan dan Nabur Totobuwan, sedang ritual yang dilakukan untuk
menyatakan keintiman dengan laut tertuang dalam ritual Petik Laut.
Dulu, ketika kakek masih ada, ia selalu mengulang nasihatnya berkali-kali. Biasanya
kakek sampaikan sehabis makan malam, ketika aku, kakek dan nenek tengah menikmati
buah hasil panen di meja makan. Kakek selalu memulai nasihatnya dengan cerita-cerita
tentang pertanian dan hubungannya dengan pelestarian alam.cerita-cerita kakek bersumber
dari kejadian-kejadian nyata di masa lampau yang juga diceritakan oleh tetua. Setiap kali
bercerita, wajah kakek kadang meringis dan kadang semringah, sesuai isi cerita yang
berlangsung dalam alur. Matanya menatap tajam, seiring bibirnya yang bau klobot begerak-
gerak, mengimbangi giginya yang tinggal dua buah. Kakek sangat menghayati cerita-cerita
yang disampaikan, itu artinya, jiwa kakek benar-benar sangat dekat dengan apa yang ia
ceritakan, yaitu tentang bumi dan pertanian. Di penghujung ceritanya, kakek pasti memberi
kami nasihat.
“Manusia dicipta dari tanah. Maka tugas manusia adalah menjaga kelestarian tanah,
yaitu menjaga bumi ini. Menjaga bumi berarti menjaga tubuh kita sendiri. Sebaliknya,
merusak bumi berarti merusak tubuh kita sendiri. Bumi harus kita ajak berbicara melalui
ritual-ritual, seperti Pojiyan, Rokat Pakarangan dan Nabur Totobuwan. Ritual-ritual itu pada
hakikatnya adalah bahasa orang kuno untuk mengungkapkan rasa keakrabannya dengan
bumi dan alam raya. Aku ingin kalian selalu menjaga bumi,” nasihat kakek itu selalu ia
ulang-ulang, bahkan menjelang sekarat, di hari kematiannya, ia sempat membisikkan
nasihat itu kepadaku.
Sedangkan nasihat—atau lebih tepatnya wasiat—kakek kepada nenek, ia berharap
agar nenek selalu terlibat langsung dalam ritual-ritual itu. Nenek mengangguk, tersenyum
dan mengepal telapak tangan kakek sangat erat.
*
Kemarau panjang menjambak desa. Sesekali debu beterbangan membedaki rumah-rumah
penduduk. Pohon-pohon banyak yang layu dan sebagian sudah mengering ranggas
menyisakan daun kering yang berguguran ke datar tanah. Tanah berambut rumput kering,
sebagian dimukim hewan melata yang menjulur lidah kehausan. Hewan-hewan itu menatap
burung-burung yang enggan berkicau, selain hanya menyisir lemas bulu-bulunya di ranting
kering.
Beberapa hari terakhir, nenek dan para tetua desa bermusyawarah untuk mengadakan
ritual pojiyan2 secepatnya. Kabarnya, dalam pekan ini akan segera dilaksanakan di balai
desa—setelah beberapa latihan dilakukan. Sejak pohon-pohon banyak yang kering dan
mati, nenek sering duduk di dekat jendela, wajahnya tampak murung, matanya yang sudah
sedikit rabun, sering terlihat beku dan redup, selalu tertuju ke luar, pada barisan pohon-
pohon layu yang dijarum sinar matahari. Tak jarang, setiap kali daun-daun kering berjatuhan
dari ranting yang ranggas, butir-butir air mata juga bergulir dari sudut mata nenek. Nenek
menangis, seperti merasakan derita pohon-pohon yang ada di luar.
setelah tiba pelaksanaan ritual pojiyan, nenek datang pagi-pagi sekali, membawa sirih,
gambir dan pinang dalam kotak tembaga yang biasa ia pakai saat ada hajatan. Semua
pakaiannya hitam, bahkan hingga selendang yang ia pakai juga hitam. Kata nenek, itu
pertanda warna duka karena hujan tak kunjung turun. Di acara ritual itu, nenek ditunjuk
sebagai salah satu penari dengan pagu suara anak ayam. Sejak musyawarah itu digelar,
nenek latihan suara dengan berbunyi anak ayam yang mengeciap-ciap, selalu setiap hari
hingga kemarin.

BACA : LANAI

Semua penari sudah siap mebentuk lingkaran. Di tengah-tengah, bersusun sesajen


dalam ancak raksasa yang terbuat dari pelepah daun pisang, beralas daun dan berpucuk
kepala kambing. Dikelilingi aneka jajan dan untaian ragam kembang. Angin pedusunan
mendesir lirih, mengantar wangi lahang berseruak dari arah kebun siwalan. Warga
berdatangan satu per satu, membawa makanan dari hasil tani sendiri. Kepala desa dan
beberapa aparat sudah duduk di sebuah kursi yang berderet panjang. Empat buah
soundsystem menembangkan musik saronen dari empat penjuru pojok balai.
Nenek bersedah, sebelum mengulum kembali selembar sirih, gambir dan pinang.
Beberapa kali berdiri dan memandang langit seperti tengah bercakap rahasia dengan alam.
Beberapa saat setelah itu, pimpinan ritual pojiyan memberi aba-aba agar seluruh peserta
bersiap dengan duduk khusyuk sambil memejam mata.
Pimpinan yang duduk menghadap kiblat di tengah-tengah lingkaran mulai membaca
mantra, beberapa di antaranya berbahasa Madura. Sedangkan para peserta yang melingkar
masing-masing menyuarakan satu jenis bunyi. Ada yang meniru bunyi binatang, seperti
anak ayam yang sedang mengeciap, lenguh sapi, kambing dan suara lainnya. Ada yang
meniru bunyi desir angin, daun jatuh, kecius daun tersisir angin dan ranting patah. Ada yang
meniru bunyi gamelan, seruling dan alat lainnya. Ketika didengar dan dihayati dengan
seksama, tampaklah suara-suara itu seperti suara aktivitas alam, mulai dari binatang,
tumbuhan dan manusia.
Mulanya, suara-suara itu dimainkan dalam ritme yang lirih. Kemudian agak cepat
ketika para peserta mulai berdiri dan menggerak-gerakkan kaki dan tangannnya untuk
menari. Semakin lama, semakin cepat dan para peserta semakin khusyuk dalam tariannya
masing-masing, seraya terus berjalan pelan mengelilingi pimpinan yang duduk bersila
membaca mantra di tengah-tengah lingkaran para peserta itu.
Kata nenek, pojiayan itu lambang keseimbangan hubungan antara alam dan manusia dalam
bergerak memuji Sang Pencipta. Pimpinan pojiyan yang duduk bersila di tengah-tengah
adalah simbol Sang Pencipta, sedang para peserta yang menari-nari rapi sambil
menyuarakan ragam suara alam itu adalah simbol alam yang berotasi secara rapi.
“Tak jhammong gurjem! Tak jhammong gurjem! Tak jhammong gurjem! He’
pehe’..he’pehe’….he’ pehe’…peyek…..peyek…peyek….Nanno rinnang….Nanno rinnang..!!”
Suara itu melantun lembut dari mulut para penari. Sedangkan pimpinan tetap khusyuk
duduk bersila sambil terus membaca mantra, seakan membaca surat-surat cinta kepada
Tuhan agar segera diturunkan hujan.
Aku melihat nenek menari-nari total dan penuh penghayatan. Matanya pejam bagai
bulan terperam di antara keriput kulit yang diarsir garis-garis usia. Ia tak peduli tubuhnya
yang renta, liuk tari yang dimainkan tetap menunjukkan jiwa yang semangat. Gerakan kaki
yang beberapa kali dihentakkan ke tanah tampak sangat perkasa. Aku melihat nenek
semangat mendalami ritual itu, seolah menyatukan jiwanya dengan alam. Semua penari
dalam pejamnya, seperti sedang merangkul alam untuk berdoa dengan khusyuk agar hujan
segera turun.
Setelah ritual pojiyan itu selesai, warga makan sesajen bersama-sama, tentu setelah para
tetua menyisihkannya beberapa bungkus, untuk ditabur di tempat-tempat keramat. Tak
terkecuali nenek, sebungkus sesajen yang lengkap dengan taburan kembang ia selipkan
pada ikat pinggang kain yang ia kenakan. Wajah nenek lebih cerah dari sebelumnya. Aku
menduga, ada banyak harapan dan kepuasan yang tumbuh pada diri nenek, sehingga
wajahnya tampak berseri-seri.
“Bisri! Nanti sore kamu ikut aku ke ladang. Ada sesajen yang harus kita tabur ke
pangkal pohon-pohon, agar kebagian berkah dari ritual ini,” ucap nenek sambil menepuk
bahuku. Aku tersenyum seraya mengangguk. Angin bertiup lebih dingin, serupa jarum-
jarum menempel ke datar kulit. Di langit, segumpal mendung berarak, mirip batu-batu
raksasa mengelinding ke ufuk timur. Nenek dan beberapa tetua tersenyum puas.
Sore hari—sebagaimana rencana nenek saat di balai—kami pun pergi ke ladang. Nenek
membawa sebungkus makanan bertabur kembang yang ia peroleh dari sebagian sesajen
saat ritual pojiyan, masih bertakir daun pisang dengan kuar harum yang lumayan
menyengat hidung.
Cahaya matahari sore membias kekuningan di datar daun dan rumputan. Hati-hati
sekali nenek menapak ladang dengan kaki telanjangnya yang terlihat agak putih dan
keriput. Mulutnya tak usai menggetarkan mantra atau mungkin ayat suci, lalu jumputan-
jumputan kecil jemarinya menabur sesajen dan kembang itu ke pangkal pohon-pohon.
Wajahnya terlihat serius, menampakkan bola mata yang tulus memandang pohon-pohon
dengan tatap yang seolah mengalirkan sebuah kekuatan. Dari pohon yang satu ke pohon
yang lain, mata nenek terlihat demikian lembut memandang pohon-pohon, bagai seorang
ibu tengah memandangi wajah anaknya.
Setelah sesajen dalam bungkusan yang tergenggam di tangan kanannya tersisa sekitar
tiga jumput, ia memanggilku untuk segerak mendekat kepadanya yang sedang berdiri di
bawah pohon lengkeng yang rindang, sebagian sanggul bunga-bunga halus pohon itu
menyentuh rambut nenek. Aku pun mendekat. Udara sore semakin dingin, dan kesunyian
tampak dilukiskan bunyi kersik daun-daun kering yang berjatuhan.
“Silakan ambil sisa sesajen ini,” tangan nenek mengulurkannya tepat di depan dadaku.
Dengan tangan kanan yang agak gemetar, aku pun menjumputnya perlahan. Jantungku
bagai diguncanng-guncang gempa.
“bacalah basmalah!. Lalu bacalah mantra ini, ngetket ongket sadaja panyaket, lobar gubar
daddiya dadar3, ulang hingga tiga kali,” kata nenek sembari mengulang sendiri mantra itu
sebanyak tiga kali. Aku pun mengikutinya, belajar mengeja kalimat mantra itu dengan bibir
yang gemetar.
“Taburlah pada daun-daun pohon lengkeng ini!” perintah nenek sambil menunjuk
daun-daun lengkeng yang bolong-bolong, dimukim puluhan ulat berwarna kuning dan
hitam bergaris panjang dari kepala hingga ekor, meliuk-liuk memakan daun.
Segera kubaca mantra itu, sesajen dalam jumputan kutabur pada ulat-ulat itu. Aku
terkejut saat melihat ulat-ulat itu seketika berjatuhan ke tanah, bagai seorang pasukan
perang yang rubuh terkena peluru. Di tanah yang berambut rumput halus itu, ulat-ulat itu
meliuk bagai kepanasan, sebelum akhirnya tak bergerak dalam keadaan tubuh yang
gosong. Aku semakin terkejut saat mendongak ke arah daun-daun sisa makanan ulat-ulat
itu, tiba-tiba saja terlihat segar dan hijau, bolong sisa kunyahan mulut ulat terlihat agak
mengecil dari sebelumnya.
Aku menoleh kepada nenek. Ia tersenyum, menampakkan gigi depannya yang tinggal satu,
hitam berlumur sadah. Aku pun tersenyum, sambil mengacungkan jempol kepada nenek.
“Penyakit tanaman harus kita basmi, agar tanaman tumbuh segar, dan bumi kita kian hijau,
jika bumi hijau, ia akan melimpahkan keberkahan bagi kita,” suara nenek baur dengan
linting suara angin. Aku mengangguk paham.

BACA : Meleleh Bersama Brenda da Costa


Hari sudah senja, daunan bagai ditumpahi cahaya kuning keemasan. Silir angin yang
pelan, membumbui riak kesunyian, tiba-tiba saja sebuah motor berhenti di jalan yang
membentang di tepi ladang kami. Dua orang lelaki turun mendekati kami. Satu dari dua
lelaki itu sudah kukenal, dialah paman Sato, makelar tanah di desa kami yang terbiasa
menjadi perantara orang luar desa untuk membeli tanah warga. Sedang seorang lelaki yang
ada di samping paman Sato masih belum kukenal. Ia berkulit bersih. Rambut tersisir rapi,
mengkilap dan menguar wangi. Ia memanggul tas. Dua lelaki itu tersenyum kepada kami.
Setelah menyalami kami dan membuka percakapan dengan obrolan enteng seputar
ladang dengan selingan tawa-tawa kecil, akhirnya tibalah pada inti percakapan, perihal
maksud kedatangan dua lelaki itu ke ladang kami, masih tetap seperti yang paman Sato
ceritakan pada hari-hari sebelumnya, yaitu tentang keinginan orang asing untuk membeli
tanah kami.
Beberapa hari sebelum hari itu, paman Sato sudah beberapa kali mendatangi nenek, ia
pun berkali-kali memaksa nenek agar berkenan menjual sebagian tanahnya kepada juragan
paman Sato. Harga yang akan diberikan tiga kali lipat dari harga normal. Paman Sato terus
membujuk nenek agar mau melepas tanahnya kepada juragan tanah yang selama ini
menjadikan paman Sato sebagai makelar. Tapi nenek masih tetap pada pendiriannya, ia tak
mau menjual tanahnya sedikit pun meski ditawar dengan harga lima kali lipatnya. Mulanya
aku sangat menyayangkan nenek karena tidak mau menjual tanahnya dengan harga yang
mahal itu, kala itu aku diam-diam juga membujuk nenek agar mau menjual tanahnya karena
harganya sangat tinggi. Nenek hanya diam sambil memalingkan wajahnya, hingga suatu
malam nenek bercerita panjang lebar perihal alasan kenapa nenek tak mau menjual
tanahnya. Intinya, nenek tak ingin kedaulatannya terjajah. Tanah adalah simbol kedaulatan,
jika tanah lepas ke tangan orang asing, maka bisa dipastikan kelak anak-cucunya tak akan
punya tempat untuk hidup, begitu kata nenek.
“Dulu, sebelum meninggal, kakekmu berpesan, pesan itu diulang berkali-kali. Ia
melarangku menjual tanah sembarangan. Bahkan ia menyarankanku agar mempertahankan
tanah untuk tak terjual, sebab jika tanah terjual, bapakmu, kamu dan anak-cucumu tak akan
punya tempat untuk hidup, otomatis kamu akan terusir,” jelas nenek bersuara berat, sambil
menahan napas yang dalam. Wajahnya layu seperti kering nyaris gugur dari ranting. Aku
mengangguk paham.
“Jadi, bagaimana pun alasannya, kita harus mempertahankan tanah kita, agar kita
punya tempat hidup masa depan, agar tanah kita tidak dikeruk begitu saja, yang hanya
menyebabkan kerusakan lingkunngan,” tangan nenek menepuk bahuku.
“Betul, Nek!. Kita harus menjaga tanah kita dari segala ancaman,” tegas kujawab.
Tangan kukepal di depan nenek. Nenek tersenyum.
“Kau tahu? Para investor yang hanya mengeruk tanah kita itu juga termasuk hama yang
harus kita basmi,” bisik nenek ke telingaku.
“Siap!”
“Mati dalam upaya mempertahankan tanah demi kelestarian alam adalah mati yang
bermartabat,” imbuh nenek seraya tersenyum.
Paman Sato dan orang asing itu tidak hanya menemui nenek di ladang, mereka juga
datang ke rumah, masih tetap membujuk nenek agar mau menjual ladangnya. Tapi nenek
tetap bertahan, ia tidak mau menjual ladangnya meski sesendok pun, bahkan meski
harganya sepuluh kali lipat dari harga normal sekalipun.
Paman Sato dan orang asing itu terlihat kecewa, wajahnya memerah, dan tak menampakkan
senyum sedikit pun. Obrolan kami terlihat tegang dan tak tuntas sampai larut malam,
hingga paman Sato dan temannya itu pamit, seraya mengancam akan membunuh nenek
jika tetap tidak mau menjual tanahnya.
Nenek tak kalah garang, ia malah menantang dua lelaki itu sambil membelalakkan mata.
Nenek bilang, dia memang bercita-cita untuk mati di tanahnya sendiri.
*
Warga berkerumun memenuhi ladang nenek siang itu. Suara tangis pecah meneluh udara.
Matahari mematung di atas kepala. Aku yang dibonceng Sukab—tetangga sebelah—turun
dari motor dengan tubuh gemetar dan jantung berdetak kencang. Kaki yang tak sempat
memakai sandal, menapaki rumput seperti tanpa energi. Aku sangat terkejut ketika
mendengar kematian nenek beberapa saat yang lalu saat Sukab menjemputku di rumah.
Sukab mengapit tubuhku melintasi kerumunan warga. Air mataku tumpah, dadaku terasa
diiris berbilah-bilah pisau saat melihat nenek terbujur tak bernyawa di tengah-tengah
kerumunan itu. Ada banyak luka dan memar di bagian tubuhnya seperti bekas dianiaya. Tapi
wajah nenek tampak cerah dan bibirnya menampakkan senyum yang indah. Nenek seperti
sangat bahagia dalam matinya.
Aku mendekap tubuh nenek untuk yang terakhir kalinya. Saat telingaku menempel di
bagian perutnya, dari dalam perut itu, aku mendengar ada suara daun-daun didesau angin,
diiringi kalimat-kalimat zikir.
Rumah IbelFilza, 04.03.19

Wadah yang terbuat dari anyaman bambu.


Ritual memohon datangnya hujan, dengan cara menari-nari. Seorang pembaca mantra
berada di tengah-tengah penari yang membentuk lingkaran, sedang para penari meniru
suara binatang dan suara alam lainnya.
Sebuah mantra berbahasa Madura, artinya “sirna punahlah segala penyakit, lenyap
pulanglah jadi daun kering”.
Comments

LANAI
Cerpen Pemenang III : Lomba Cipta Cerpen Cinta Bumi – ICLaw
Green Pen Award 2019
Redaksi

0 28 12 minutes read

Oleh Nabila Shasha

Ketika hujan hanya mengambang di awan Bukit Tiga Puluh, di sanalah kehidupan orang-
orang Talang mulai terusik. Kebun-kebun menciptakan sunyi di sungai-sungai. Desau angin
seolah iba menyapa pohon-pohon medang yang menghitam. Orang-orang yang
mengkhianati tanahnya sendiri telah menciptakan kematian bagi Lanai.
Di sini aku bercerita tentang musim yang hijau. Di sebuah kampung tersuruk, Talang Perigi.
Tempat orang-orang Talang mengikuti mamak ratusan tahun lalu. Pohon-pohon begitu
indah, ada temali yang menjalin satu pohon dengan yang lain. Aroma gaharu tercium di
mana-mana. Cuaca hujan menciptakan basah yang selalu lekat dalam kenangan. Bukan
hanya karena genangan sungai-sungai kecil tercipta dalam hitungan jam, tetapi juga pada
musim yang banyak dinanti orang Talang itu, cendana-cendana bermekaran. Pertanda
rezeki pun datang di sungai-sungai.

Atas nama takdir aku mengabdi di sini. Di sebuah kampung (lebih tepatnya hutan) dengan
segenap perjuangan yang mesti dimampukan. Apabila pagi datang, aku berangkat, dengan
vespa yang selalu setia. Itu pun tak sampai ke lokasi. Jalanan sulit, sungai-sungai kecil di
sana-sana. Hampir satu jam aku harus berjalan kaki.

Tak mengapalah, bekerja sebagai guru memang tak sama dengan pekerjaan lain.
Semestinya aku pun telah menjadi guru untuk diriku sendiri. Itulah yang kurasakan, bersabar
dengan ucapan-ucapan istriku – Marwiyah, setiap waktu. Istriku, perempuan lulusan sarjana
ekonomi itu setiap malam berceramah di meja makan. Sembil menyeruput pindang baung
ia akan berkata, “Kapan kau berhenti dari pekerjaanmu itu? Bekerja di hutan bersama orang
Talang dengan gaji pas-pasan. Kadang logikamu tak masuk akal.”
Mungkin Marwiyah benar. Mengabdi di kampung itu apa gunanya? Sebab selalu saja nasib
hidup kami tak ada yang peduli. Tetapi, ada wajah Lanai yang selalu terkenang di pikiranku.
Seorang anak kampung Talang yang saban hari datang ke sekolah diantar ibunya. Lanai
anak Talang Langkah Lama. Kadang-kadang pun bila pulang sekolah ia kembali memakai
pakaian kulit kayu. Emaknya bilang, kayu adalah kehidupan, pohon adalah nafas orang
Talang. Sebab itulah, tak ada yang bisa memisahkan mereka dengan hutan. Biarlah Lanai
bersekolah, tetapi ke hutan juga kembali bersama orangtuanya.
Kadang-kadang bila siang telah membayang, Lanai minta pelajaran dihentikan. Ia mengajak
teman-temannya ke sungai. Di sana Lanai memulai cerita, tentang kehidupan orangtuanya
yang menjelajahi hutan. Lanai selalu ikut, dia tak takut ular atau macan dahan. Orangtuanya
selalu berjalan, dari satu tempat ke tempat lain di dalam hutan.
“Apa yang kalian kerjakan?” tanyaku penasaran.
“Ayahku mencari manau, ibuku mencari cabai tempala,” ujar Lanai sambil tertawa. Lanai
bercerita, ia senang makan ikan. Di hulu dan hilir sungai ia menemukan banyak ikan.
“Ya, di sungai-sungai masih banyak ikan. Aku bahkan tak tahu apa nama ikan itu. Ayahku
menjualnya di kota, sepuluh kilometer dari kampung ini.”
“Kenapa sekarang aku tak pernah melihat ayahmu berjualan ikan lagi? Memangnya ikannya
masih ada?”
“Ada. Itu hanya cukup untuk makan kami sekeluarga. Bangau-bangau pun masih kelaparan
di tepi sungai,” Lanai terdiam sesaat. Ia seperti mengingat sesuatu, ada gurat sedih di
matanya.
“Sebenarnya aku sedih, sekarang aku tak bisa lagi mencari ikan seperti dulu. Mungkin kalian
suka memakan ikan laut yang dijual orang di pasar, tapi tidak dengan aku dan keluargaku.
Bolehkah aku bertanya Pak, di manakah ikan-ikan itu sekarang?” Lanai menatapku tajam.
Entah apa yang ingin ia luahkan dalam tatapan tajam itu.
“Masih ada, kita bisa mencarinya, ya bukankah begitu anak-anak? Kita akan mencari ikan,
Lanai mengajari kita mencari ikan di sungai,” aku harus tetap menjawab pertanyaan Lanai,
meski ada jawaban pedih yang kusimpan dalam kata-kata itu.
Lanai diam. Kupikir anak itu lebih mengenal alamnya dibanding aku. Terlalu sulit bahasa
yang harus kujelaskan, tentang rimbunan pohon-pohon sawit yang terbentang di sebelah
utara kampung ini. Lanai mungkin tak tahu, tetapi mungkin juga ia mulai tahu.
Demikianlah hari-hari yang selalu terkenang bersama Lanai. Dulu, mula-mula sekali ia
datang ke sekolah ini tak ada sepatah kata pun yang ia ucapkan di dalam kelas. Anak itu
bahkan takut-takut.
“Kenapa kau takut?” tanyaku.
“Bukankah Bapak orang asing? Orang asing selalu jahat di sini.”
Inilah pekerjaanku yang sulit. Mengajari mereka menerima kami orang asing yang tak sama
maksudnya dengan orang-orang asing lain.
“Kenapa kau bilang orang asing jahat?”
“Mereka mengusir kami.”
Bila aura wajahnya mulai tak suka, aku tersenyum saja. Lalu kuhadiahi ia uang beberapa ribu
rupiah. Barulah ia menatapku lagi dengan ragu-ragu.
“Kenapa Bapak memberiku uang?”
“Sebenarnya kami sama saja dengan orang asing yang kalian minta uang di depan gerbang
Bukit Tiga Puluh itu, tetapi kami datang ke sini untuk mengajarimu pintar membaca.”
Mendengar itupun Lanai gembira. Lalu gadis kecil itu mulai tersenyum takut-takut.
Menyimpan uangnya dalam saku kecil baju merah putih yang nyaris coklat warnanya. Tak
usah ditanya apakah pakaian itu dicuci ibunya atau tidak, sebab selepas pulang sekolah pun
ia lebih suka memakai pakaian kayunya.
*
Kampung ini perlambang setia. Tentang orang-orang yang mau datang dan memberi di
sini. Tetapi tak demikian pada sebagian yang lain. Sebab di sini pula orang datang dan
mengambil semuanya. Aku tak hendak menjadi perambah-perambah nakal seperti mereka.
Yang aku tahu, di sinilah aku memberikan sesuatu untuk Lanai dan anak-anak lain. Hujan
memang masih membasahi kampung ini, tetapi tanahnya tak lagi menumbuh aneka warna
hijau seperti dulu. Menatap langit kini lebih kelam. Hujan seperti mengambang dalam awan,
tak hendak jatuh dan tak pula hilang mendatangkan birunya langit. Di situlah orang-orang
kampung merasa muram. Mereka tak tahu harus ke mana bila tak menelusur hutan. Hanya
berjalan melintas sungai, itu pun kadang tak menjumpai apa-apa. Tempiri-tempiri mereka
kosong, dan hanya daun-daun yang mereka masak dalam kuali.

BACA : CERITA DARI FILIPINA


Lanai pernah bilang, sepertinya pagi di hutan itu tak lagi bersahabat pada keluarganya.
Nyanyian burung pun semakin lama semakin sunyi. Lanai mencari-cari, kemana burung-
burung itu pergi. Seperti biasa ia akan bertanya lagi saat bertemu di sekolah.

“Pak Guru, ke manakah perginya burung-burung yang dulu hinggap di atap rumahku?”
“Masih ada, burung-burung itu masih ada.”
“Tapi suaranya tak ada lagi, apa ia pindah ke hutan lain? Di manakah hutan itu? Mungkinkah
ayah dan ibuku bisa datang ke sana?”
“Nanti kalau kau sudah besar dan bersekolah tinggi, kau akan tahu ke mana perginya
burung-burung itu.”
“Jangan-jangan orang asing itu membawa burung-burung kami?”
“Mana mungkin, burung-burung itu sulit ditangkap. Orang-orang itu hanya membawa
kamera untuk memotretnya.”
Lanai terus menyimpan rasa penasaran. Segala yang ada di kepalanya sebenarnya membuat
aku serba salah. Apa yang harus kukatakan tentang kampung yang mulai hilang hijaunya.
Anak-anak itu kelak akan tahu tentang apa yang terjadi di tanah kelahirannya.
*
Seperti hari-hari biasanya, aku datang ke sekolah begitu pagi. Menghirup udara segar di
kampung ini begitu istimewa. Tak ada berisik kendaraan, kesunyian pagi di Talang Pergi
begitu terasa. Hari ini Lanai berjanji akan bercerita asal nama ayah ibunya. Dia bilang, ayah
dan ibunya sudah lebih dari sepuluh kali berganti nama. Terakhir, ayahnya berencana
berganti nama menjadi Rustam. Ia juga bilang ayahnya sudah hampir memutuskan untuk
ikut Talang Langkah Baru. Ayahnya ingin jadi orang syarak, seperti teman-temannya yang
juga telah lebih dulu. Pagi ini aku menanti-nanti ceritanya, pun anak-anak yang lain. Kami
menanti Lanai di pagi yang terlihat mendung.
Pagi telah berlalu. Matahari yang kemuning pun mulai memutih. Lanai tak datang. Anak-
anak menanti dan bertanya-tanya. Apakah sepeda ibu Lanai telah terparkir di bawah batang
pohon halaman sekolah? Tak ada, anak-anak pun masih menunggu.
“Ada yang tahu rumah Lanai?”
“Sangat jauh Pak Guru, kami hanya tahu arahnya. Sungainya panjang dan besar.”
“Mungkin sungai di seberang banjir Pak Guru, Lanai tak akan bisa melintasinya. Hujan tadi
malam di sini sangat deras.”
“Oh begitu, mungkin juga.”
Kami memutuskan belajar tanpa Lanai. Tetapi sebenarnya aku tak yakin Lanai tak bisa
merenangi banjir yang datang. Sebab selama ini ia bahkan bercerita jika rumahnya sering
kebanjiran, tetapi ibunya bilang kau harus tetap sekolah. Maka tetaplah ibunya datang
dengan sepeda tua itu. Aku memutuskan untuk menunggu saja. Mungkin besok Lanai akan
datang.

Keesokan harinya Lanai pun masih tak datang. Kami kembali memperbincangkan anak itu.
“Apakah banjir masih ada?”
“Sebenarnya sudah agak surut Pak Guru, tapi mungkin saja sekarang berpindah ke tempat
tinggal Lanai. Mungkin sekarang rumahnya kebanjiran.”
“Bukankah Lanai bisa berenang?”
“Tapi dia malu ke sekolah jika memakai pakaian kayunya itu Pak Guru, jadi bisa jadi pakaian
merah putihnya basah.”
“Baiklah, besok kita tunggu Lanai datang. Semoga banjir telah surut dan Lanai bisa
menyebarang sungai.”
Pagi selanjutnya pohon di halaman sekolah tetap sunyi, tak ada sepeda ibu Lanai di sana.
Tak ada lagi yang bisa bicara, semua menerka-nerka tentang apa yang terjadi pada Lanai.
Apa mungkin ia pindah lagi memutuskan untuk berhenti sekolah.
“Mungkin saja begitu Pak Guru, bisa jadi orangtua Lanai pindah lagi ke kampung lain.”
“Tapi Lanai tak pernah bilang begitu, bahkan ibunya pernah berkata ia serius
menyekolahkan anaknya. Ia ingin Lanai seperti anak-anak lain yang bisa sekolah di
Pematang Reba.”
“Tetapi kita benar-benar tak tahu kabarnya.”
“Siapa yang tahu jalan ke rumah Lanai?”
Tak ada yang bersuara. Semua menggeleng kebingungan. Selama ini Lanai hanya sampai di
sungai saja mengajak kami.
“Pak Guru, di sebelah utara sungai seberang ada hutan, mungkin Lanai tinggal di sana.”
“Kau tahu arahnya?”
“Tak jauh dari sungai itu ada jalan menuju utara. Mungkin rumah Lanai di sana. Tetapi
jalannya sulit, hanya orang dewasa yang bisa ke sana.”
“Baiklah, terima kasih.”
Aku tak dapat menahan rasa. Rasa penasaranku memuncak. Ada apa dengan Lanai? Secepat
itukah orangtuanya berubah menghentikan anaknya sekolah dan membawanya ke hutan
lagi mencari ikan? Ataukah Lanai dan ayahnya menemukan sungai baru yang benar-benar
memiliki banyak ikan. Tetapi di mana? Kebun-kebun sawit itu telah tinggi menjulang. Saban
hari karyawan kebun membawa tumpukan urea dalam karung. Pupuk itu mereka tabur ke
tanah-tanah. Air membawa pupuk itu ke sungai. Mungkinkah ada sungai di kampung hutan
sana yang tak tersentuh cemaran urea itu? Aku membatin. Tetapi tetap harus kutanyakan
pada Marwiyah istriku lebih dulu.

Malam itu aku bicara serius pada Marwiyah, tentang keinginanku mencari rumah Lanai.
Marwiyah menatapku tajam, ia memastikan keinginanku itu tak salah.
“Kau yakin menelusuri hutan itu? Bagaimana jika ada ular piton? Bagaimana jika mereka
malah mengirimimu jampi-jampi?”
“Aku tahu Lanai dan ibunya tak begitu.”
“Tapi mereka Talang Langkah Lama, kau tahu itu kan?”
“Tapi aku gurunya.”
“Aku juga istrimu, bagaimana jika kau kenapa-kenapa?”
“Kalau begitu ikutlah denganku.”
“Aku?”
“Iya, bukankah kau ingin tahu tentang perilaku perusahaan yang menawarimu pekerjaan
itu? Kau bisa lihat sendiri di sana.”

BACA : MERARIQ

Marwiyah akhirnya setuju. Entah karena cintanya padaku atau memastikan tawaran
pekerjaannya untuknya itu memang salah. Beberapa waktu lalu seorang lelaki bermata sipit
datang ke rumah. Ia bilang sedang mencari orang tempatan untuk bekerja di perusahaan
kelapa sawit. Lokasinya di area Bukit Tiga Puluh. Sebuah perkebunan baru telah dicipta.
Marwiyah ditawari gaji yang mahal, tetapi ia buru-buru sampaikan itu padaku. Aku tak
mengiyakannya. Ia pun tahu, itu pertanda aku tak restu. Tetapi kadang-kadang ia
menyesalinya. Wajar saja, sebab aku yang hanya bergaji pas-pasan ini tak bisa memberinya
uang belanja lebih. Biarlah kita miskin asal tak mengkhianati tanah kita sendiri. Aku
mengatakan itu pada Marwiyah. Meskipun ia masih sering murung dengan keputusanku,
sesekali ia merasakan ucapanku benar. Inilah saatnya ia melihat sendiri kebenaran yang
kukatakan.

“Baiklah, aku ikut,” Marwiyah akhirnya bersuara. Aku pun bahagia. Tak ada ketakutan lagi di
hatiku. Bersama Marwiyah aku akan melihat Lanai, anak Talang yang membuat aku bertahan
di kampung itu.
*
Ini pagi paling mendebarkan. Berbekal petunjuk dari beberapa orang siswa di sekolah, aku
dan Marwiyah menyusuri sungai. Hanya ada rakit kecil yang selalu dipakai orang-orang
Talang berlalu lalang. Sebenarnya aku takut, sebab mata-mata mereka begitu asing
menatap kami.
Lanai, di manakah Lanai? Sebagian orang yang kutemui masih berbahasa Melayu tua, dan
aku sungguh tak mengerti. Hanya senyuman saja yang kami ukirkan.
“Lanai, Lanai…” aku hanya bisa menyebut nama itu pada setiap orang yang kutemui. Di
seberang sungai memang ada hutan, masih sangat liar. Bangunan rumah-rumah tinggi
bertonggak punak bisa berdiri di kanan kiri.
“Lanai..Lanai..” itu lagi yang kukatakan. Sebagian menggeleng. Marwiyah menutup wajahnya
sendiri. Ia tak biasa memandang orang-orang Talang dengan pakaian kayu yang melekat di
tubuhnya.
“Tetaplah tersenyum, jangan menunjukkan wajah tak suka,” pesanku pada Marwiyah. Ia pun
menurut.
Seseorang yang terlihat sudah tua usianya memandang kami di tepi jalan. Lagi-lagi aku
hanya bisa menyebut nama Lanai. Orang tua itu berkerut keningnya. Tangannya menunjuk
sebuah rumah panggung seukuran lima belas meter di ujung jalan. Wajahnya tampak ragu,
tapi ini sudah jadi penunjuk penting untukku.
Aku dan Marwiyah bergegas. Sebuah rumah yang hanya punya satu pintu, bertingkat tiga.
Suasana sunyi, tak ada suara apapun. Benarkah ini rumah Lanai? Aku dan Marwiyah saling
pandang.
“Lanai..Lanai, ini Pak Guru datang,” aku tak tahu harus mengucapkan apa. Mungkin ini tak
sopan dalam adab orang Melayu, tetapi entahlah pada keluarga Lanai. Aku hanya berharap
anak itu muncul dari dalam rumah dan menyambutku dengan senyuman.
“Lanai…permisi, apakah ini rumah Lanai?” Marwiyah ikut bersuara. Dari dalam rumah
terdengar suara gemerit papan yang diinjak. Sepertinya penghuninya sedang turun dari
lantai atas. Pintu terbuka, seorang perempuan yang setiap hari mengantar Lanai ke luar
rumah.
“Guru, jauh sampai kemari?”
Aku buru-buru hormat dan menunduk. Syukurlah ibu Lanai muncul, kini aku menunggu
Lanai yang keluar.
“Sudah beberapa hari Lanai tak datang Bu, orang bilang di sini banjir, maka saya dan istri
kemari.”
“Jauh-jauh kau datang kemari, maafkan Lanai tak bisa datang ke sekolah.”
“Di manakah Lanai, Bu?”
“Dia di dalam, masuklah!”
Aku dan Marwiyah mengikuti langkah perempuan itu. Sebuah rumah kayu beratap rumbia
dengan satu pintu saja di bagian depannya. Rumah ini berukuran kira-kira sepuluh kali lima
belas meter. Bertangga kayu dan di bagian dalam terlihat banyak sekali tadir, semacam
anyaman dari bambu. Di sebuah wadah kayu kecil, tampak potongan-potongan ubi kayu
yang masih mentah. Ibu Lanai membawanya ke belakang lalu mempersilakan kami duduk
sejenak.
“Di mana Lanai, Bu?”
“Ada, dia di lantai atas. Semestinya ia di bawah sini, tetapi penyakit itu membuat Lanai harus
istirahat di atas.”
“Sakit? Lanai sakit apa, Bu?”
“Saya tidak tahu. Sakitnya semakin parah.”
“Kalau begitu kita harus ke kota Bu, Lanai harus dibawa ke rumah sakit. Boleh saya
menjenguknya?”
“Tak perlu Pak Guru, setelah bekumantan, nanti pun Lanai akan sembuh.”
Aku terdiam. Bagaimana aku bisa menjelaskan tentang ini, Lanai semestinya dibawa ke
rumah sakit.
“Sebenarnya penyakit itu bisa disembuhkan, ayah Lanai bisa menyembuhkannya.”
“Lalu kenapa Lanai masih sakit?”
“Pasak bumi tak ada lagi di hutan sebelah. Semua sudah habis. Ayah Lanai pengumpul
pasak bumi di hutan sebelah, tetapi sudah beberapa bulan ini tanaman itu tak ada lagi.”
“Kalau begitu biarlah kami yang membawa Lanai ke kota, Bu. Lanai harus dibawa segera.”
“Sudah kukatakan, biarlah dia bekumantan saja. Kalian pulanglah, sampaikan apa yang kami
alami pada pemilik kebun itu.”
Tajam sekali ucapan Ibu Lanai. Seperti ada bola api menyala di matanya. Marwiyah
memegang tanganku. Ia memberi tanda harus segera pergi dari rumah itu.
“Baiklah Bu, kami akan pulang. Kami membawa pindang untuk Lanai. Tolong sampaikan.”
Marwiyah meletakkan bungkusan pindang baung di atas meja. Perempuan itu hanya
menatap saja. Matanya masih tajam menatap kami. Tanpa bicara lagi aku dan Marwiyah
buru-buru keluar. Berjalan dengan sangat cepat. Lanai, aku telah datang menjengukmu.
*
Semenjak itu aku merasa ada yang sunyi. Perjalanan menuju ke Talang Perigi semakin
berkabut. Marwiyah terus saja menggoda untuk meninggalkan kampung itu. Apa lagi yang
hendak diperjuangkan di sana, bahkan diam-diam kulihat ia pun mulai tertarik menerima
tawaran dari perusahaan itu.
“Bang, izinkan aku berkerja.”
“Kau berubah pikiran?”
“Apa kita mau begini terus?”
“Tapi bagaimana dengan anak itu?”
“Kenapa masih dipikirkan? Bukankah kita nyaris celaka?”
“Kita tidak celaka, mereka dan keluarganya yang celaka.”
“Toke itu bilang, aku bekerja di perusahaan sawit yang sudah ada, jadi apa salahnya?”
“Kau tak dengar kata-kata ibu Lanai? Tanaman obat di sana habis karena dibakar.”
“Tapi apa salahnya mereka ke puskesmas? Itukan tugas pemerintah mengingatkan mereka.”
Marwiyah perempuan, ya jiwa perempuannya muncul. Aku pun tak pantas menyalahkannya.
Hampir lima tahun kami menikah, tak pernah ia kuberi uang belanja yang layak. Demikian,
aku cukup bisa memakluminya. Tetapi bekerja di perusahaan itu? Mimpi terburuk dalam
hidupku. Siang malam, sepanjang jalan pulang dan pergi aku mengutuk jalanan. Perusahaan
itu bukan hanya menghancurkan pohon-pohon yang ditanam, kendaraannya pun
menghancurkan jalanan bertanah kuning dan berlubang. Permintaan Marwiyah kudiamkan,
aku ingin mencari jawabannya esok hari, lusa atau mungkin setahun lagi.
*
Pagi ini langit memutih, tak ada matahari. Awan-awan hanya mengambang. Perjalananku
menuju Talang Perigi tak ada yang istimewa, sama seperti hari-hari kemarin. Hari ini aku
berharap ada yang beda, mungkin anak-anak akan bercerita tentang sesuatu yang lain.
Biasanya seorang anak akan bercerita tentang asal-usul moyang mereka. Perjalanan dari
hutan ke hutan yang akhirnya menyinggahkan mereka di kampung itu. Tak ada yang
kusanggah, aku hanya diam dan mendengar. Sesekali mereka pun menceritakan keseruan
menangkap hewan-hewan di hutan. Berburu burung, rusa, ikan dan binatang apa saja yang
mereka temui di rimba.
“Kalian tidur di mana?” tanyaku
“Di pohon, orangtua kami membuat rumah di sana.”

BACA : JANIN

Pelajaran hari itu hanya akan bertahan satu jam di ruangan. Lalu aku pun akan
mengantarkan mereka ke tepi hutan. Ini sekolah alam yang disukai anak-anak. Kami melihat
apa saja yang bergelayut di pohon-pohon, apa saja yang berenang di perairan dan
binatang-binatang yang terbang seolah hindak singgah di langit.
“Pak Guru, sebaiknya kita jangan ke hutan,” seorang anak bersuara.
“Kenapa? Pelajaran kita hari ini di tepi hutan.”
“Tadi pagi aku melihat asap yang tebal di tepi hutan.”
“Asap? Mungkin awan, kau salah lihat.”
“Tidak Pak Guru, asap itu sangat banyak.”
“Benarkah?”
Aku menatap langit. Hanya putih yang ada. Tiba-tiba hidungku mencium bau sangit yang
kuat. Ada asap dalam udara yang berhembus.
“Pak Guru, apakah ini mendung?”
“Bukan, itu bukan mendung.”
“Tapi langit gelap dan tak ada matahari, tak seperti biasanya.”
“Ada yang terbakar.”
“Mungkin saja di hutan itu Pak Guru, apa kita ke sana?”
Aku tak bisa menahan rasa penasaran. Kuambil sepeda seorang siswa. Ia pun ikut duduk
membonceng di belakang. Aku mengayuh dengan terburu-buru, ada yang kuingat di sana,
di seberang hutan sana.
Tubuhku menggigil menyaksikan semuanya. Nyala kobaran api yang menjilat-jilat langit. Di
seberang sana sebuah hutan hujan berubah merah. Asap hitam membumbung ke udara,
menyisakan suasana gelap di sekitarnya. Bocah di belakangku memeluk pinggangku erat-
erat.
“Siapa yang membakar rumah kami?”
Aku tak mampu menjawab. Dadaku berdegup kencang saat sebuah suara memanggil-
manggil dari balik sisa-sisa hutan yang telah jadi arang.
“Pak Guru…Pak Guru…”
“Lanai….”
Aku berseru. Anak itu, dia yang kupikirkan selama ini tengah berlari-lari ketakutan menuju
kami yang hanya berdiri terpaku memandang api di kejauhan.
“Tolong Pak Guru, rumahku dibakar.” Lanai menangis. Tubuhnya kurus, pertanda baru
sembuh dari sakit. Tubuhnya semakin hitam terkena asap. Pakaiannya hanya celana pendek
dengan bahan kaos yang kumal dan sebuh singlet putih yang nyaris coklat. Aku memeluk
anak itu.
“Tidak apa Lanai, tinggallah di rumah Pak Guru. Pak Guru masih punya rumah untuk mu.”
Aku tak dapat menahan iba. Ada air mata yang tumpah dalam amarah.
“Di mana orangtuamu?”
“Mereka pergi lagi, aku tertinggal di dalam rumah sendiri. Mereka mungkin mengira aku
sudah mati.”
Cepat-cepat anak itu kunaikkan sepeda. Kami kembali ke sekolah. aku sudah mantap
membawa Lanai ke rumah. Lalu aku pulang segera, membawa berbagai kecamuk perasaan
di dalam hati. Andai Marwiyah tak setuju, biar saja. Lanai mungkin akan jadi anak pertama
kami, takdir Tuhan yang sungguh misteri. Aku pulang dengan bergegas. Kulihat wajah Lanai
yang ketakutan, ia merasa asing dengan pemandangan jalanan aspal di kecamatan. Tetapi,
tak ada pilihan baginya selain ikut bersamaku.
Sampai di rumah aku membuka pintu, tetapi terkunci. Tak biasanya Marwiyah mengunci
pintu. Kuketuk sekali lagi, memanggil-manggil Marwiyah untuk kesekian kali. Tetapi masih
sunyi. Sebuah kertas melayang jatuh dari atas dinding rumah, tepat di depan kakiku.
“Bang, kunci kubawa, hari ini aku mulai kerja. Katanya proyek perusahaan mulai jalan.”
Aku menelan ludah. Marwiyah tidak tahu, pekerjaannya itu membuat Lanai akhirnya datang
ke rumah ini.
*
Catatan:
Mamak: Sebutan orang Talang Mamak untuk pendahulu mereka yang datang ke daerah
Indragiri
Langkah Lama: Sebutan orang Talang yang masih beragama animisme
Langkah Baru: Sebutan orang Talang yang sudah menganut Islam
Orang Syarak: orang Islam
Bekumantan: Perobatan tradisional suku Talang Mamak menggunakan makhluk ghaib.

Cerpen Kita

JANIN

Redaksi

0 3,926 7 minutes read

Oleh Naning Pranoto

Sebuah gulita yang indah. Sebuah kehangatan tanpa cahaya. Bukan kamar memang, tapi
sebuah ruang yang nyaman, empuk sejuk. Bukan kedai atau restoran, tapi tersedia makanan
nikmat. Tidak ada bak mandi maupun kolam, tapi terdapat air suci pembersih diri. Ini
memang sebuah garba. Garba Bunda, persemaian bagi kami bertiga. Aku, Kakang Kawah
dan kedua adikku – Si Janin yang kupanggil Dik Janin , serta Adik Ari-Ari, yang kupanggil
Dik Ari-Ari. Kami bertiga menghuni Garba Bunda, yang kami anggap sebagai . rumah tersuci
dan terindah itu buat suatu kurun waktu yang telah ditetapkan hukum alam, hukum proses
penciptaan manusia.

Aku dipanggil Kakang Kawah, alias Kantung Air Ketuban, karena dianggap lebih tua dari Si
Janin dan Adik Ari-Ari yang juga digelari Si Plasenta. Aku sendiri mengira, kami adalah
tritunggal, tercipta dalam masa yang sama, juga berasal dari benih yang sama, sel sperma
yang muncul sebagai hasil persekutuan syahwat ayah dan bunda.
Tentu aku tak pernah tahu kapan persisnya pembuahan itu terjadi. Tahu-tahu, kami bertiga
sudah berada di dalam ruangan itu, ruang kenikmatan luar biasa, yang merupakan sebuah
dunia kehidupan tersendiri yang senantiasa berselubung sunyi. Bentuk ruangan itu mirip
bagian dalam buah alpokat yang kulitnya berlapis-lapis elatis, lembut, lebih halus dari sutera
Cina.

Sebenarnya aku hanyalah air penjaga kehidupan adikku si Janin agar ia tetap segar dan
tumbuh selamat menjadi seorang bayi. Sedangkan Dik Ari-Ari yang bentuknya seperti
bantal bertali, bertugas mengalirkan makanan untuk Dik Janin. Makanan itu adalah saripati
yang telah dicernakan dengan baik oleh Bunda kami.

Saripati makanan itu yang mengalir lestari itulah, yang telah mengubah Dik Janin yang
semula hanya mirip kecebong sepanjang 1.25 Cm kini telah menjadi calon bayi. Kuamati
terus pertumbuhannya. Mula-mula kepalanya mirip sejenis reptil, dengan benjolan kiri
kanan pada bagian kepalanya. Kemudian aku ketahui, kedua benjolan itu menjadi kedua
matanya. Tubuhnya yang semula hanya mirip ekor reptil, akhirnya tumbuh menjadi sosok
bertangan, berkaki. Alam memberinya kelamin laki-laki.

Di dalam tubuhnya berisi alur-alur nadi yang mengalirkan darah, juga berbagai organ yang
membuatnya bergerak, hidup. Pada usianya yang ke seratus dua puluh hari, kulihat ia
benar-benar hidup setelah ruh ditiupkan Sang Maha Pencipta ke dalam raganya. Lucu sekali
gerakannya, kedua kaki yang kecil menendang-nendang dinding ruangan di mana kami
berada. Sayang, tangan-tangannya yang mungil tapi kokoh gerakannya sangat terbatas,
karena sempitnya ruang di mana ia harus meringkuk. Meskipun demikian, kuharap kelak ia
menjadi sosok yang dinamis.

Hemmmm, adikku, Dik Janin makin tumbuh membesar. Kulihat makin jelas, di kepalanya
bagian muka luar tidak hanya ada sepasang mata, tapi ada hidung, bibir, sepasang telinga.
Lalu, ada segumpal benda putih, bercahaya, itu berada di dalam rongga kepalanya. Adikku
Dik Ari-Ari memberitahuku, segumpal benda putih bercahaya itu namanya otak. Gunanya
untuk berpikir, sehingga adikku Dik Janin tidak akan sebodoh binatang maupun tumbuhan.
Adikku, Dik Janin merupakan makluk ciptaanNya yang tersempurna. Aku dan Dik Ari-Ari
mendampinginya selama ia berada dalam ruang Garba Bunda kami sekitar sembilan bulan
lamanya.

BACA : CERITA DARI FILIPINA

Waktu terus berjalan. Mulut Dik Janin menebarkan bau harum, bagai aroma buah kurma
ranum. Gumpalan benda putih di dalam rongga kepalanya makin bercahaya. Sepasang
matanya yang semula lekat rapat, mulai menguak. Kulitnya yang semula kusut-keriput,
mulai kencang berisi, berkilauan cahayanya. Dik Ari-Ari berbisik, bahwa sudah waktunya Dik
Janin meninggalkan garba untuk berpindah tempat, hidup di tempat nyata yaitu bumi.
Alangkah indahnya, Dik Janin akan segera lahir ke dunia. Ia akan menjadi penghuni baru di
atas bumi.

Bumi adalah sebuah tempat maha luas, terpayungi hamparan langit biru bersulam mega-
mega putih sutera. Siang hari, bumi diterangi matahari dan dihangati rembulan pada malam
hari. Permukaan bumi berhiaskan gunung-gunung penyangga langit, yang mengandung
pupuk dan permata, hutan raya hijau zamrud, lembah-lembah berhiaskan panorama indah,
sungai-sungai bening pembawa kesuburan, hamparan laut biru kerajaan berbagai jenis
kehidupan air, pohon-pohon pelindung rimbun dan rindang, penghasil buah-buahan yang
ranum, tumbuhan pangan yang membuat alam gemah-ripah loh jinawi, aneka satwa yang
jadi tunggangan atau makanan bergizi bagi …
“Stop! Stop! Jangan kau teruskan.. Berisik, Kang” tiba-tiba adikku si Janin yang berdiam
hampir sembilan bulan mulai angkat bicara. Nadanya keras seperti berang, membuat aku
dan Ari-Ari terkejut.

“Lhooo…lhooo…kok marah-marah?” – kata Dik Ari-Ari pada Dik Janin. “Kakang Kawah bicara
baik-baik, menceritakan keindahan bumi yang sebentar lagi akan kau huni, Dik! Mengapa
kau katakan berisik?”

“Memang berisik!” Dik Janin sewot.


“Berisik? Mosok sih…Dik!” aku kecewa.
“Karena aku ndak suka itu. Aku benci bumi!” Dik Janin menjerit.
“Lho…Benci bumi bagaimana? Mungkin besok atau lusa kau akan jadi warga bumi.
Usiamu di dalam garba sudah lebih dari sembilan bulan,” Dik Ari-Ari memberi tahu.
“Ndak soal. Pokoknya, aku ndak mau jadi penghuni bumi,” Dik Janin menolak keras.
“Aku mau tetap tinggal di sini. Selamanya!” tambahnya ngotot.
“Wah, ya tidak mungkin toh Dik. Tubuhmu makin membesar dan Garba Bunda hanyalah
sebuah ruang terbatas, tak akan cukup lagi untuk menampung kau dan kami berdua.. Garba
Bunda bisa meletus doooorrrr …doooorrr…seperti balon yang kepenuhan udara.” Kataku.
“Bila kau dalam kandungan lebih dari sembilan bulan, kau akan seperti anak babi yang
disebut genjik, atau anak kerbau yang disebut gudel atau anak sapi yang disebut pedhet.
Kau mau disamakan dengan anak-anak binatang itu?”

“Biarin. Emang gue pikirin…E-Ge-Pe!” Dik Janin makin bersikeras.


“E, jangan E-Ge-Pe. Anak manusia jadi rendah martabatnya, jika disamakan dengan gudel,
pedhet atau genjik. Kenapa? Karena anak babi hanya bisa molor, ngompol dan bau pesing.
Anak kerbau, gudel itu, dimitoskan bodo – plonga-plongo. Anak sapi, pedhet, bisanya hanya
nyusu, menthil dan pemalas. Apa kau yang ganteng dan cerdas mau disebut begitu?”
tanyaku, untuk menyadarkannya.
“E-Ge-Pe..!” Dik Janin berang, “Lebih baik aku jadi pedhet daripada anak manusia!”
“Lhooo kok ngono to Dik Janin?” penggalku, terkejut.
“Lha iyalah,” seru Dik Janin, “Jadi anak sapi terjamin. Begitu lahir, dapat ASI dan akan terus
dapat ASI sampai kapan ia mau dan induknya mau menyusui anaknya.”
“Kau juga akan disusui Bunda kita,” sela Dik Ari-Ari.

BACA : Perempuan Di Luar Ruang

“Ndak. Berkali-kali aku dengar, Bunda hanya akan memberiku susu formula, karena ia takut
payudaranya yang semula keras montok berubah menjadi mlorot-kendor dan tubuhnya
gembrot. Ia takut tidak dicintai lagi oleh suaminya. Ia khawatir ndak laku main film lagi. Lagi
pula, payudara Bunda kan sudah disumpel silikon dan sekarang jadi ikon rumah kecantikan
yang mengontraknya sebagai bintang iklan yang menjual jasa ‘pencipta’ payudara indah..
Mana bisa payudara bersilikon menghasilkan ASI yang sehat?” Dik Janin gemas, “Padahal
sekarang ini, susu formula umumnya mengandung bakteri yang akan merusak otak bayi
atau membunuh bayi-bayi pelan-pelan, termasuk aku. Maka, lebih baik aku ndak usah lahir
saja!”

Rupanya, Dik Janin mendengar apa sering yang dikatakan Bunda pada ayah, juga pada
teman-temannya yang disebut sebagai selibriti.

“Sederet alasan lagi yang membuatku tidak mau lahir ke bumi,” Tambah Dik Janin.
Aku dan Ari-Ari membiarkan si Janin berbicara.
“Bumi yang ada sekarang ini tidak seindah dulu lagi. Bumi sekarang sudah mengerikan.
Gundul tanpa hutan raya hijau zamrud karena dibabat para pelaku illegal logging. Akibatnya
terjadilah banjir dan longsor di mana-mana, menyengsarakan umat manusia. Bumi telah
kelewat diperkosa, dicangkul, dibor, hingga membanjirkan lumpur panas. Bencana itu tidak
hanya menenggelamkan banyak rumah, banyak desa, juga menghancurkan masa depan
anak-anak. Aku ogah ditelan banjir, apalagi terkubur lumpur panas…hiiiiiiii. Ogaaah
aaahhh!”
“Dari mana kau tahu itu?” selaku dengan pedih. “Dari layar TV, kulihat lewat pori-pori perut
ibu yang terlapis kain tipis transparan,” sahut Dik Janin . “Lalu, apa lagi yang kau lihat dari
layar TV?” Dik Ari-Ari menjajagi. “Kalau kusebutkan satu persatu tidak selesai dalam
semalam. Aku ngeri!…,” suara Dik Janin terdengar serak menahan rasa ngeri. “Apa saja yang
membuatmu ngeri,Dik?” tanyaku dengan sabar.
“Jumlah koruptor terus meningkat, pengadilan yang tidak adil, harga sembako terus
membubung, langkanya minyak tanah dan minyak goreng, banyaknya kasus batita dan
balita yang dibunuh ibunya, bayi-bayi yang mati karena kurang gizi..,” sahut Dik Janin.
“Tapi, kau tidak akan kekurangan gizi, Dik. Bunda bintang film yang laris – uangnya
segunung. Ayah kita pengusaha sukses, dijuluki konglomerat muda. Hidupmu bakal
terjamin.…Dik,” aku membesarkan hatinya.

“Benar katamu, Kakang. Mungkin aku tidak kekurangan makanan. Tapi, di rumah Bunda
hanya ada jenis makanan frozen, penuh pengawet, zat kimia dan sejenisnya. Tak heranlah
kalau kakak kita – Mas Bimo menderita autis. Aku ndak mau jadi Mas Bimo yang kerjanya
setiap saat menjerit-jerit dan nggigit siapa saja.” Dik Janin menyebut kakak kami, Bimo –
yang lebih dulu berada di bumi. Dik Janin lahir, akan menjadi putra kedua Ayah-Bunda..
“Aku tak mau jadi anak Ayah dan Bunda. Aku malu!” protes Dik Janin, mengejutkanku dan
Dik Ari-Ari.
“Malu?” tanyaku serentak bersama Dik Ari-Ari.
“Ya jelas malu dong. Aku akan terkait dengan karir mereka .” ujar Dik Janin getas.
“Maksudmu?” tanya Dik Ari-Ari.
“Ah, jangan pura-pura tidak tahu.” Ujar Dik Janin sinis.
Aku dan Dik Ari-Ari membiarkan si Janin terus berbicara, agar ia merasa lega.

BACA : Creative Writing Workshop: SENI MENULIS FIKSI & KIAT MEMENANGKAN
LMCR-2011

“Ibu jadi pemain film laris bukan karena mutu aktingnya. Tapi karena keberaniannya untuk
buka-bukaan baju. Ia tidak malu memamerkan lekuk-lekuk tubuhnya. Ayah jadi pengusaha
sukses karena dimodali para pejabat hitam,. dapat proyek-proyek KKN…,”
“Husss…husss…jangan negatif begitu terhadap orangtua kita., Dik,” kataku lembut.
“Bagaimana aku harus memandang mereka Kakang Kawah?” Dik Janin melembut.
“Pandang segi positifnya. Sekarang, Bunda tidak mau main seronok di film. Ia mulai selektif
memilih peran. Ia juga serius belajar akting dari beberapa sutradara ternama. Tiga puluh
persen pendapatannya disumbangkan ke panti asuhan. Ayah juga beramal. Ia mendirikan
yayasan pendidikan, memberi beasiswa anak-anak berprestasi dari kalangan lemah,
memperbaiki sekolah-sekolah yang roboh dan mendirikan perpustakaan untuk sekolah-
sekolah miskin. Dana yang dikeluarkan ayah tidak sedikit, Dik!” kataku.

“Ayah juga banyak menyumbang korban bencana alam. Mana bisa ayah bermal kalau hanya
jadi pengusaha kelas ecek-ecek?”

“Untuk membantu orang lain, tidak harus kaya dulu. Berikan apa yang kita punya, seperti
yang dikatakan Bunda Teresa, Kalau kau tidak bisa memberi makan seratus orang, berilah
dulu makan untuk satu orang. Kita tidak perlu memaksakan diri, apalagi dana yang
diamalkan itu uang haram! Kasihan yang menerimanya. Aku tak mau makanan haram,” Dik
Janin protes keras, “Maka, biarkan tetap dalam Garba Bunda.!” sambungnya.
Protes keras Dik Janin sia-sia. Pisau operasi cesar telah membedah perut Bunda, untuk
mengeluarkan Dik Janin yang telah 10 bulan, dalam kandungan. Tubuh Dik janin mulai
mengeras. Jika Bunda tidak dioperasi cesar, ia akan meninggal bersama Dik Janin dan aku
Kakang Kawah serta Dik Ari-Ari akan mati layu membusuk.

Oek…oek…ooooooekkk…oooooekkk!
Aku lega dan bahagia, Dik Janin akhirnya lahir ke bumi, walau aku hancur karena menjadi
pelumasnya. Adikku, Dik Ari-Ari juga rela dipotong, untuk dipisahkan dari Dik Janin, karena
tugasnya mengalirkan makanan untuknya sudah selesai. Kemudian seorang bidan, menaruh
kami berdua dalam tempayan kecil bertutup, untuk dikuburkan.
Oek…oek…oooooekkk…ooooekkkk!
Tangis Dik Janin melengking berkepanjangan. Ketika berhenti sejenak, ia memanggil-
manggil kami berdua dengan bahasa yang hanya kami mengerti. Ia minta dicarikan
orangtua asuh, “Aku ingin jadi anak asuh mahasiswa yang kritis, para penggerak reformasi
negeri ini!” teriaknya.
“Dik, para mahasiswa kritis sudah tidak ada lagi. Mereka entah di mana sekarang. Tapi,
Tuhan akan terus menjagamu, karena Tuhan Maha Pengasih dan Penyayang, juga – Al
Muhaymin, Maha Memelihara. Percayalah Dik!” aku memberi nasihat, untuk membesarkan
hatinya. Agar adikku, Dik Janin berani menjalani hidup di atas bumi.
Oek…oek…ooooooekkkkk…oeeeeekkkkk…oookkkkkk kekkkkk!
Lengkingan tangis Dik Janin tiba-tiba terhenti oleh suara : kekkkk ngiiik!
Oh, rupanya, adikku mencekik lehernya sendiri dengan sepasang tangannya yang mungil
tapi ternyata sekuat catut. Nasihatku sia-sia. Semua orang yang menyaksikan tragedi itu,
terbelalak. Ayah dan Bunda meraung-raung, lalu tak sadarkan diri. Anehnya, Mas Bimo yang
autis malah menari-nari sambil tertawa-tawa dan bertepuk tangan.
Pagi harinya tragedi Dik Janin menjadi head-line berbagai surat kabar ibukota: BAYI LAKI-
LAKI TEWAS, MENCEKIK LEHERNYA SENDIRI. *
Comments
Cerpen Kita

MERARIQ
Redaksi

0 3,119 7 minutes read

Oleh Rilnia Metha Sofia

Gombel, 27 Syawal 1429 H Langit bersih memamerkan jutaan bintang yang mengelilingi
bulan. Sesekali, kelelawar tampak menari-nari memburu makan. Kodok-kodok bernyanyi
girang. Aku manarik napas begitu dalam. Kusambut angin malam segar yang membelai
jiwaku. Bau tanah khas sehabis hujan mengguyur otakku. ”Hmmmhhhhh….Hahhhh!!”
kulepaskan udara penat yang berkerumun di paru-paruku. ”Byarrr..Segarrr!!”
Kuangkat kepalaku, menatap bintang-bintang dan planet-planet cantik di langit petang tak
berawan. Di bintang-bintang terang itu terpampang pudar wajah-wajah hatiku. Entah mana
pampangan wajah hatiku yang asli.

Di bintang yang itu ada Yuga. Mata jeniusnya menatapku lugu. Senyumnya mengembang,
menghiasi wajah sawo matangnya. Di bintang yang di sana, Fauzan tersenyum jenaka
padaku. Mata nakalnya yang sipit menggodaku dengan kedipannya. Ia memanggilku
dengan suara beratnya yang lembut.

Di dekat bintang yang itu, ada bintang yang cantik. Warnanya biru. Sinarnya memancar
indah, menyorot mata cokelatku yang bening. Di bintang biru itu, seseorang tersenyum
simpul namun tak menatapku.
”Ohh…!”
Di dekat bintang cantik tampak cahaya lemah. Bintang itu, bintang itu redup, makin
meredup, makin meredup, hampir tak terlihat. Wajah Ompik terpampang pudar di sana. Ia
merunduk lemah. Sesekali, ia mengangkat pandangannya yang penuh asa.
”Hahh…!” Aku membuang muka, lalu melangkah kecut ke dalam rumah.
”Aku benci Ompik!”
* Namaku Zurriyatun Toyyibah. Orang-orang gubuk*1) biasa memanggilku Atun. Kulitku
sawo matang. Hidungku bulat, tak mancung. Rambutku ikal, hitam kemerahan. Aku
memang tak secantik Janah, sahabat karibku. Walau begitu, aku cukup menarik dan menjadi
perhatian banyak pemuda.. Tiap malam, paling sedikit tiga laki-laki midang*2) ke rumahku.
Awalnya, aku takut. Tapi, inaq*3) menyuruhku untuk menemui mereka karena ini adat Sasak.
Dulu, walau banyak laki-laki yang midang ke rumahku, hatiku hanya untuk seorang, Ompik.
Tapi, setelah kejadian itu, aku benci padanya, hati ini tak lagi untuknya. Iya, setelah kejadian
memilukan itu. Kejadian yang menimpa Janah, Karibku. Berikut ini kisahnya…

* Gombel, 22 Ramadhan, 1429 H


Kabut tipis menyelimuti pohon nangka yang memagari jalan kecil desa Gombel.
Memandang jauh ujung jalan di utara, puncak Rinjani biru disembur ujung lidah keemasan
mentari, nan mulai menjulur. Berbalik memandang ujung jalan di selatan, tampak sebuah
beringin lebat menjulang tepat di pojok tenggara persimpangan jalan. Puluhan langkah ke
selatan, beringin yang nyaris mencakar kabel listrik itu tampak begitu jelas. Tepat di
bawahnya, seorang gadis berwajah Arab berdiri tegak menggigit-gigit jemari langsingnya.

“Mbe ja dokar-dokar eno? Mana dokar-dokar itu?!” gumamnya, sambil melirik jam tangan
murahannya.

Sesekali, ia berjinjit-jinjit tengok kanan-kiri, menanti derapan langkah kuda yang belum juga
terdengar. “Adooo…h, mana ja’ – aduuuh, mana sih! Hari ini test midsemester, kalau telat
gimana?” ungkapnya semakin gusar.

Jarum pendek arlojinya tepat menunjuk angka tujuh. “Akh..kusir-kusir eno mana ja’ – akh,
kusir-kusir itu mana sih?!” gerutu Janah menghentakkan tapak kakinya yang beralas sepatu
hitam usang. “Tumben-tumbenan kayak gini! Aneh bener!” gerutunya dalam hati. Ia makin
gesit menghentakkan tapak kakinya. “Ee..! Tidak tahu ada apa hari ini?..,”

Titittt Tit…tit! pekikan soer sebuah sepeda motor butut memotong ocehan Janah. Lelaki
yang naik motor itu menawari tumpangan untuk Janah.
“Apa tidak ngerepotin, Om?” sambut Janah berseri-seri.
“Tidaklah. Sekalian, aku mau motokofi dekat sekolah kamu!” kata lelaki berkumis tipis itu
sambil membuka tutup helm kepalanya. “Ayolah!” desak l ramah, mengisyaratkan Janah
untuk segera duduk di sadel empuk motor barunya. Makdudnya, ’baru dicuci’.
Janah pun tersenyum lebar. Ia berlari kecil sedikit mengangkat rok abu-abunya menuju
motor tua. Setelah Janah duduk mantap, terlihat asap kumal menyempul dari bokong
motor, mengekor laju Janah dan lelaki berjaket jeans itu. Mereka kini mulai jauh, jauh, makin
jauh dari persimpangan Desa Gombel.
Sekadar basa basi, Janah berusaha memecah kesunyian di tengah motor yang melaju tak
lurus, memilah jalan yang tak berlubang. “Mau motokofi ape, Om?” tanyanya dengan suara
keras yang terseret angin dingin nan menusuk tulang.
“Emmh! Ni..Emm..Em buat lebaran minggu depan. Ya, buat lebaran minggu depan,” jawab
lelaki itu gugup.
Kesunyian menyergap lagi. Yang terdengar hanya desiran angin dan gemercik air yang agak
samar. Gemercik air yang terdengar sedikit lebih jelas menandakan motor tua mulai
mendekati perbatasan Desa Gombel. Ya, kini gemercik air yang jatuh dari tebing beton itu
sudah terdengar sangat jelas. Kini Janah melihat sendiri bagaaimana air berkejaran turun
menuju sungai berbatu besar legam.
Namun, Janah belum benar-benar lega. Jarak sekolahnya masih sepuluh kilometer.
Sementara, tinggal dua puluh menit lagi gerbang sekolahnya ditutup. Inikah yang membuat
hatinya gundah?
“Kenapa berhenti di sini, Om?” tanya Janah gugup terjun dari motor yang berhenti
mendadak.
“Eeeeh..kenapa sih ni motor?” ujar lelaki itu mengayunkan kaki, menurunkan standar motor,
lalu turun menengok mesin motornya sebagai jawaban pertanyaan Janah. Suara agak keras
lelaki itu bersaing dengan gemercik air yang terjun dari tebing beton sungai. Namun, tetap
saja, ekspresi kepura-puraannya tak bisa terkemas rapat.

BACA : Meleleh Bersama Brenda da Costa

Hawa panas terasa mengguyur otak Janah. Padahal, hawa dingin di sekelilingnya tak segan
mencakar-cakar sum-sum tulang. Hati dan otaknya bergulat. Ada apa? Apa mungkin Ompik
berani berbuat macam-macam padanya. Ya, lelaki yang memboncengkan Janah adalah
Ompik.
Tidak! Selama ini kan Ompik akrab dengan kamu Janah! Hati kecil Janah angkat bicara.

Mungkin saja – pikir Janah! Tiap malam dia antar kamu pulang tarawih! Apa itu tak ada
tujuannya?! Otak Janah pun tak mau kalah, berpikir logis.
Tapi, itu kan agar si Ompik disalamin sama Atun, sahabat karib kamu, Janah. Balas hati
Janah berusaha menenangkan gadis jelita itu.
“Nah! Janah! Janah…!” Ompik membuyarkan lamunan Janah. “Businya mati. Tunggu dulu
sebentar! Aku mau beli di dekat pengkolan sana.”
Janah mengangguk lesu disertai dengan sunggingan senyum pudar di pojok bibirnya. Kini
onggokan kecurigaan di dadanya mulai mencair. Namun, ada sesuatu yang membuat
otaknya panas lagi. Mentari tak henti merangkak walau perlahan. Jarum pendek arlojinya
mulai menjauhi angka tujuh.

Ia menghentakkan ujung tapak kakinya lagi walau sol sepatunya makin menganga seper
sekian mili. Digigitnya bibir lembutnya yang merah merekah. Ia tengok ke ujung jalan di
utara sambil bertolak pinggang, satu dokar pun tak muncul dari puncak tanjakan. Ia tengok
ke ujung jalan di selatan, Ompik yang menghilang lima menit lalu, dokar -gerobak yang
ditarik seekor kuda, motor, tak ada yang tampak menaiki tanjakan. Ia makin gusar. Ia mulai
bingung. Bingung, kenapa motor ini mesti berhenti di tengah tanjakan? Janah benar-benar
bingung.

BACA : JANIN

Sayup-sayup, desiran sesuatu terdengar melaju kencang dari arah utara. Desiran itu
terdengar makin jelas beriring bergulirnya waktu. Suara itu tak asing bagi seorang Janah
yang sekolah di kota. Desiran itu memang sama sekali bukan anggota orkestra alam.
Desiran itu…

“Alhamdulillah!” pekik Janah haru melihat sebuah kijang hijau menyalakan lampu rem
menghampirinya. Tapi, harunya dalam sekejap tergeser kegugupan saat menyaksikan hal di
depan matanya detik ini. Lima lelaki yang tak asing, turun sigap dari mobil dan langsung
mendekat ke arahnya. Janah melotot ketakutan. Bulu kuduknya berdiri spontan. Hanya
dalam hitungan detik, kelima lelaki itu sudah berada sangat dekat dengannya. Otot-otot
kaki Janah gemetar tak siap menerima instruksi otaknya untuk berlari kencang karena ia
telah h disergap kasar. Dua lelaki menggenggam lengannya. Janah meronta keras. Dua
lelaki lainnya mencengkeram betisnya. Seorang lagi, yang tak lain adalah anak kepala
adatnya sendiri, mengangkat kepalanya.

Janah memekik histeris menegangkan urat-urat lehernya. Tapi, semuanya sia-sia.


Teriakannya tak kan ditanggapi warga mengingat tak ada rumah yang berdiri di areal
perbatasan. Walau ada, penghuninya tak kan pernah sudi membantu gadis itu. Mereka
menganggap penculikan seperti ini budaya melamar bagi masyarakat kami, suku Sasak,
yaitu merariq. Jadi, bukan dianggap tindak kriminal.

Dada Janah sesak. Matanya mulai basah. Tenaganya telah terkuras. Dengan gerakan
lemahnya, dengan sisa tenaganya, ia terus meronta. Tapi, kelima lelaki itu sungguh kuat
untuk membopong seorang gadis belia ke dalam mobil, sampai-sampai jilbab putihnya pun
terlepas.

“Lepas! Lepaskan aku!” teriak Janah, sambil meronta-ronta. Lintasan sekolah di benaknya
membuat ia semakin meronta. Ia kini duduk tersiksa di deretan kedua kursi mobil. Dua lelaki
sangar tak henti menggenggam lengannya, walau Janah sedang berpuasa. Keringat dingin
bercampur darah merah segar mengalir di wajah putihnya. Sayatan merah terpampang
melintang di pipi dan dahinya. Jarum jilbabnya menyayat wajah ayunya ketika balutan jilbab
terlepas dari kepalanya. Air matanya makin meluap-luap. Lukanya sungguh perih ditimpa air
mata hangatnya. Kini, ia tak bisa lagi membendung isak tangis dan kepahitan di hari yang
disebut suci ini.

“Dasar binatang kalian! Lepaskan aku!” teriak Janah lagi, dengan mata indah yang menyala-
nyala pedih. Qamar, si Puteri Ketua Adat, tak menoleh sedikit pun ke belakang. Pemuda
kerempeng berambut kribo itu tersenyum begitu sinis tapi manis. Dirogohnya sebatang
rokok kurus serta korek api di saku depan jeansnya yang kebesaran.
“Jalan!” katanya santai menginstruksi supir di sampingnya. Si Qamar mulai menghisap
rokoknya dalam, lalu meniupnya angkuh ke atas. ”Tenang bae Janah yaqt merariq doang,
Ariq” ujarnya. Dalam bahasa Indonesia, Qamar itu mengatakan, ”Tenang saja Janah, kita
pasti meraiq, Dik!”

Tak segan-segan Janah meludahi lelaki yang duduk agak kiri di depannya tersebut.

”Sompret! Kau berani meludahiku, Janah?” teriak Qamar menghempaskan rokoknya yang
masih menyala membara. Dilemparnya sehelai handuk putih kumal cukup panjang ke arah
kedua sekutunya yang masih saja memborgol lengan Janah erat dengan tangan mereka
yang berurat kukuh. “Ayo, sumpal mulut Janah!” ujarnya mengerling Janah lalu tersenyum
begitu sinis disusul melajunya kijang itu.

BACA : KEPADA TATUI: SEBUAH ARCADIA

* Di jembatan besar jalan raya itu, tampak ratusan kendaraan berhenti. Ratusan orang
berkerumun dengan mimik ngeri di pagar besi jembatan. Orang-orang itu melihat ke
bawah, melihat ratusan orang lainnya yang berdiri di bebatuan pinggir sungai, juga melihat
puluhan orang lainnya berlalu-lalang mengangkut manusia-manusia yang telah gosong
serta berlumuran darah merah kelam. Satu per satu, mereka dengan kondisi yang amat
mengenaskan dikeluarkan dari kijang hangus yang terbalik di tengah air sungai yang
mengalir kecil. Para manusia berbaju putih-putih itu mengangkut korban ke mobil putih –
ambulans, yang parkir di pinggir jembatan, sepuluh meteran di atas sungai.

Sungguh dahsyat kecelakaan yang hanya disebabkan sepuntung rokok kurus itu! Sebuah
kijang hijau melaju begitu kencang tak lurus dan terhempas menumbangkan tiang listrik,
menyinggung pohon kelapa, lalu terjun bebas ke sungai. Batu-batu hitam kelam
menyambut jatuhnya kijang. Suara dahsyat serta semburan asap yang begitu pekat
menyusul secepat kilat. Cairan kental merah segar mulai menyusup melalui tiap-tiap celah
mobil. Cairan kental mewarnai serpihan-serpihan kecil kaca, membaur dengan air sungai
yang tak mengalir deras. Semua orang di dalamnya tak bergerak lagi kecuali seseorang.
Kemunculannya dari dalam mobil mengundang riuh rendah para insan yang berjejer di atas
jembatan. Dengan muka kotornya, ia keluar merayap dari mobil meninggalkan kelima lelaki
yang mengerang pilu di dalam sana. Janah disambut ledakan hebat kijang di belakngnya.
Allah Mahakuasa!

Janah, dalam kondisi setengah pingsan, kini menyadari arti dari sebuah bulan suci. Dalam
kondisi setengah pingsan, ia sadar bahwa bagaimana pun, ia tak pantas mengotori
Ramadhan ini dengan berjalan berduaan tiap malam dengan Ompik, lelaki yang bukan
mahrimnya. Dalam kondisi setengah pingsan, ia menyadari, Allahuakbar!

Dalam kondisi setengah sadar, Janah berbisik, “Aku benci budayaku – Merariq!”

Masih lekat di ingatannya walau ia belum bisa membuka mata, “Selamat senang-senang,
Janah!” teriakan kencang itu terdengar samar dari dalam mobil yang melaju pelan di
tikungan dekat perbatasan desanya. Itu suara Ompik! Bajingan tengik yang membuat
tingkat kebencian Janah akan budayanya makin menjadi-jadi. Sambil menautkan kedua alis
legamnya, ia pun tega berkata, “Aku benci jadi orang Sasak!”

Kutatap haru gadis yang terlentang tak berdaya di atas hamparan batu kali di bawah sana.
Wajah putihnya yang kotor bersimbah air mata dan darah kelam memantulkan sinar tajam
mentari sepenggalah. Kelelahan, ketakutan, kesedihan bercampur baur menggigit ulu
hatinya.

“Sudahlah! Yang menimpamu itu penculikan, Janah! Bukan budaya kita, bukan Merariq!”
tegasku, sambil kusorot Ompik yang terpekur lesu di hadapanku dengan mimik yang amat
layu.

Kuhempaskan napas panjang lalu kembali menatap Janah yang masih tergolek di atas batu
kali. “Mereka semua salah, sahabatku sayang. Jangan benci budaya kita! Merariq, budaya
kita melamar tanpa paksaan, tanpa kekerasan, dan selalu bermantel cahaya rembulan.
Bukan bermantel sinar mentari yang terik,” bisikku pada Janah, menyakikannya kembali agar
ia tetap menjunjung tinggi Adat Sasak.
Catatan:
*1) orang gubuk = orang kampung
*2) midang: kunjungan laki-laki Sasak pada malam hari ke rumah gadis yang disukainya
3*) inaq = ibu
Rilnia Metha Sofia, Siswi SMAN 1 Praya, Lombok Tengah, NTB
erpen Kita

NEGERI MALAM

Redaksi

178 6 minutes read

Naning Pranoto & LMCRAneh. Ini sungguh-sungguh keanehan yang


terjadi. Dalam waktu kurang dari 10 menit aku telah lima kali mondar-mandir di Loket 6
untuk menukarkan tiket yang kubeli seharga dua dolar lima puluh sen. Hari masih pagi
sekali, loket masih sepi. Sehingga aku tidak menganggu pembeli karcis lainnya. “What’s
wrong? Apa lagi?” tanya si Penjaga Loket, lelaki India berusia 40-an, memandangiku dengan
sengit.
“Ini, mengapa tiket saya jadi begini?” sahutku kesal. “Bukankah Anda mengenal saya hampir
sembilan bulan? Saya selalu ke Moonlight Station.” Tegasku, menyebut sebuah stasiun di
pinggiran Sydney, Australia. “Yeah…I know you – student studi di universitas tua samping
Moonlight Station itu kan?” ia menyebut tempatku studi Kebudayaan Australia. “Iya,” aku
sewot.”Tapi mengapa Anda memberi saya lagi tiket begini? Sudah 5 kali Anda lakukan.”
Rasa kesalku berujung protes. Kutahan ledakan marahku. “No…no…!” si Hitam menggeleng
keras. “Jangan bercanda — main sulap. Menukar tiket dariku dengan tiket mainan itu..!” ia
justru menyerangku.

“Sorry..saya tidak main sulap. Saya sedang buru-buru. Pagi ini saya ujian. Gara-gara tiket
bermasalah ini, saya terlambat, tak bisa ikut ujian.” Gerutuku. “Huhhhhh!” si Hitam
melengos, membanting tumpukan tiket yang dipegangnya. Kemudian ia merebut tiket yang
ada di tanganku. Kuserahkan tiket kereta api berwarna hitam bertuliskan Destination: Negeri
Malam. Peron 13. “Oh…God. Mengapa bisa begini?” tiba-tiba si Hitam memukul keningnya,
mengamati tiket hitam dariku.

Kemudian ia memandangiku dengan wajah jutek. “Padahal tiket yang kuberikan padamu
berkali-kali ini kan?” ia menunjuk tumpukan tiket biru bertuliskan Destination: Moonlight
Station. Platform 12. Ini peron lajur terakhir yang ada di stasiun tempatku beli karcis. “You
see..stasiun ini tidak punya Peron 13!” tegas si Hitam, seperti yang sedang kupikirkan. “Juga,
stasiun ini tidak punya rute ke Negeri Malam? Oooo..nama sebuah negeri yang belum
pernah kudengar. Sangat asing! Tak ada di peta. Bahasanya aneh lagi: Ne-ge-ri Ma-lam. Kau
tahu itu bahasa apa?” tanyanya mengagetkanku yang sedang bingung.

“Bahasa Zamrud Negeri Malam!” jawabku spontan. “See… itu berarti bahasa negerimu.
Negeri Zamrud,” mata cekung si Hitam membelalak. “Jadi, tiket itu dari Negeri Zamrud,
negerimu, kau bawa kemari, untuk mempermainkanku. Jangan begitulah…aku bisa kena
pecat gara-gara ulahmu. Anakku banyak, perlu biaya hidup dan sekolah. I must have a job..”
“Nope! Saya tidak mempermainkanmu!” bantahku. “Sure you do it to me!” tuduh si Hitam
berang.

Lalu, ia mengusir dan mengancamku melaporkanku ke polisi jika aku tetap berada di depan
loket. Tentu saja aku menolak keras perlakuan itu. Adu mulut pun terjadi. Puluhan calon
penumpang kereta api tujuan Moonlight Station yang akan membeli karcis jadi terganggu.
Di antara mereka tiba-tiba ada yang berseru, “Kemarin, waktu saya di Flinders Station
Melbourne juga ada kejadian begini.Ada karcis ke Negeri Malam. Pembelinya student dari
Negeri Zamrud.” Kata seorang pemuda kulit putih, wajahnya kemerah-merahan. “Di Gold
Coast juga begitu, kemarin!” teriak seorang gadis hitam, rambut kribo. “Bibiku yang tinggal
di Perth semalam menelponku dan cerita kejadian aneh seperti ini.”
Gadis berkulit kuning, bermata sipit, menambahi. Masih banyak lagi informasi serupa
kudengar dari puluhan mulut di sekitarku. Aku jadi panik, mataku berkunang-kunang, perut
mual. Aku pun ambruk! Entah, siapa yang menggotongku.
Tahu-tahu aku sudah berada di gerbong kereta api yang semua jendelanya tertutup. Aku
bersandar di kursi kayu. Kuperhatikan dalam keremangan, minyak lampu itu telah habis dan
tiba-tiba mati lampu: Pet! Gelap gulita! Nafasku menyesak. Dadaku nyeri. Kereta api berlari
kencang, hingga semua penumpang terpental-pental.

BACA : Kepada Lelaki-ku

Perutku mual. “No worries…aku mengawalmu!” tiba-tiba kudengar suara yang kukenal, si
Hitam Penjaga Loket 6. “O, Anda.” Responku cepat. “Mengapa kita di sini? Mengapa naik
kereta api gelap dan berlari kencang?” tanyaku, sambil berusaha mengenali wajahnya.
“Yeah…aku ditugaskan boss-ku mengawalmu bersama puluhan student Negeri Zamrud
yang studi di Sydney. Semua akan ke Negeri Malam.” “Negeri Malam?” mulutku ternganga.

“Yeah. Kita hampir sampai. Kereta ini diberangkatkan dari peron misterius Peron 13.
Keretanya dipasangi sayap roket, agar on time di tempat. Sebab, kata boss-ku, kalau tidak
on time dunia ini akan kehilangan satu negeri yang dihuni sekitar 250 juta jiwa.” “Itu
negeriku, tanah air kami!” teriakku, spontan. “Exactly your Mother Land!” seru si India, lalu
disambung dengan kalimatnya yang tidak bisa kusela, “Kata boss-ku, negerimu indah.
Hangat, bermakota hutan tropis, makanya dinamai Negeri Zamrud.

Perut bumi negerimu mengandung kekayaan alam melimpah ruah. Tapi, julukan itu kata
boss-ku, kini tinggal kenangan. Karena, hampir separuh hutan tropis negerimu digunduli
para pebinis yang berkoneksi dengan petinggi negeri. Banyak pula pembalak hutan.
Kayunya dijual ke luar negeri.” si India suaranya terkekik. Aku diam. Kubiarkan ia
melanjutkan rentetan kalimatnya, “Kekayaan alamnya dikeruk berbagai Negeri Asing yang
bersekongkol dengan petinggi negeri, para penadah suap tapi mengaku pejuang dan
mengabdi rakyat…” “Huss.. jangan berkata begitu. Anda orang asing, tidak tahu keadaan
negeri kami yang sesungguhnya.” Tukasku tegas.
Rasa kebangsaanku terusik. Si Hitam tiba-tiba tertawa sambil berkata, “Sorry, bukankah
nuranimu tidak berkata begitu? Kata boss-ku, dunia mencatat, angka korupsi di negerimu,
sangat subur. Juga, dalam kasus pelanggaran HAM, breaking the law…yang melahirkan
banyak Markus…!” “Markus? Apa itu?” tanyaku tak sabar. “Makelar-Kasus. Itu mafia
pengadilan. Akibatnya, korupsi di negerimu sulit diberantas. Malah merajalela, penyebab
Negeri Zamrud berubah menjadi Negeri Malam. Gelap, negeri yang selalu gelap.”

BACA : CERITA DARI FILIPINA

“Wuihh. Sok tahu.” Ujarku marah. Padahal aslinya perasaanku malu, mendengar kalimat si
India. “Sebentar lagi kita sampai.” Si Hitam memberitahu aku, tak mengindahkan sikapku.
“Silakan siap-siap.” Tiba-tiba kudengar lengkingan peluit dan terompet bersahut-sahutan
keras, memekakkan telingaku. Dalam hitungan detik, kereta api berhenti, ditandai hentakan
dahsyat.

Lengkingan peluit dan terompet tak terdengar lagi. Kepalaku terbentur-bentur dinding
gerbong. Ketika aku mengaduh, suaraku ditelan gemuruh aduhan penumpang yang
terjatuh, terbentur, terinjak dan menjerit. Aku mengenali beberapa suara yang terdengar itu.
Lalu, kupanggil nama-nama yang kukenali. Mereka membalas memanggilku. Aku senang.
Mereka juga senang. Kesenangan kami seolah jadi penerang gerbong yang gulita. “Anda
semua sudah sampai di Rajajati ibukota Negeri Zamrud. Silakan turun.” si India
memberitahu dengan menggunakan Bahasa Zamrud. Sementara kami gaduh dalam
kegelapan, membahas apa yang dikatakan si Hitam.

Si India kembali memandangi kami yang ada dalam kegelapan, “Please, dengar apa yang
kubaca!” serunya. “Matahari telah lama dibungkus agar negeri ini terus menerus dalam
kegelapan alias dalam balutan malam yang panjang sekali! Malam yang gelap dapat
menyembunyikan apa saja. Terutama menutupi hal-hal buruk yang dilakukan oleh mereka
yang bermental korup. Mereka itulah yang membungkus matahari dengan terpal dusta dan
puluhan juta kebohongan – unlimited, lapis berlapis.” Si India membaca dengan ritme aktor
monolog. “Lalu – bagaimana?” desak semua orang.
“Karena matahari dibungkus dengan terpal dusta dan kebohongan berlapis unlimited, maka
Negeri Zamrud berubah menjadi Negeri Malam. Kini, lapisan terpal itu disingkap oleh anak-
anak bangsa negeri ini dengan cercah-cercah sinar nuraninya. Anda semua yang di sini,
ditunggu perannya, membantu mereka itu!” “Kami siap!” terde ngar gema respon spontan.
“Okey. Bawalah senter ini untuk penerangan kalian bergabung dengan mereka. Aku harus
kembali ke kotaku. Good bye!” si India melambaikan tangannya, setelah menyerahkan
lampu senter kepadaku. “Take care!Good bye, mate” seruku. “Good bye, mate!” orang-orang
sekitarku ikut memberi salam perpisahan pada si India. Kami tak sabar lagi ingin segera
bergabung dengan mereka yang sedang menyingkap terpal laknat itu. Tapi, ketika kami
baru berjalan beberapa langkah, tiba-tiba semua jatuh terjerambab. Kami tersandung
benda-benda keras. Di sana-sini terdengar suara mengaduh kesakitan. Lampu senter
pemberian si India kunyalakan. Flash! Kami semua kaget. Ternyata, benda-benda keras itu
bongkahan-bongkahan batu yang memenuhi jalan. “Sialan! Ternyata mereka tidak hanya
membungkus matahari, tapi juga menutup jalan dengan bongkahan batu keras,” teriak
seorang tertubuh jangkung. Lampu senter kunyalakan lagi. Cahaya lampu senter kuarahkan
ke samping kiri jalan. “Lihat jembatan itu juga diputus!” orang di sampingku menunjuk
jembatan yang menghubungkan rumah penduduk dengan jalan raya.

BACA : MERARIQ

“Wah, berarti memutus perekonomian rakyat kecil!” komentar seseorang lainnya di


belakangku. “Rakyat mati, penguasa makan roti!” sambungnya geram. “Benar kata Anda.
Rakyat mati, penguasa makan roti!” terdengar respon serempak, termasuk responku.
Kemudian, kalimat itu menjadi mars, penyemangat kami menyingkirkan bongkahan-
bongkahan batu yang menutup jalan. Kami bekerja keras dalam kegelapan sambil
melagukan mars: Rakyat mati, penguasa makan roti!
Bersamaan dengan itu terdengar sorak-sorai, menyambut bias matahari yang menyingkap
kegelapan. Hanya dalam hitungan detik, ratusan juta mata putra-putri negeri membelalak.
Semua menyaksikan sosok-sosok manusia berkepala kosong tanpa otak, tanpa mata dan
telinga. Tidak ada hati, tidak ada jantung dalam rongga tubuh mereka. Tangan dan kaki
mereka penuh borok, menyangga jiwa penuh bisul bernanah. Mulut mereka menganga
singa. Tapi yang paling mencengangkan, mereka punya usus sangat istimewa. “Tutup
mulutmu pembohong!”
“Hai, berisik. Mulut kalian bau bangkai, setelah mengganyang uang rakyat.” “Tutup mulutmu
penipu! Jangan kobarkan lagi api kebencian. Kami murka.” Kami berteriak. Suara dari utara,
dari selatan, dari timur dan dari barat, semua mengumpat. Massa berkumpul, darah
mendidih. Teriakan massa makin keras, sahut menyahut dalam kegaduhan histeris. Massa
menuntut. Para pembungkus matahari kini berdiri berderet dikumpulkan di lapangan luas.
Beberapa jam yang lalu mereka dengan mobil mewah masing-masing meluncur menuju
Bandara Internasional. Tetapi semua jalan yang menuju ke Bandara Internasional diblokir
massa. Kemarin bahkan pendusta tertinggi di Negeri Malam, negeriku, memberi aba-aba
kepada para serdadunya: Tembak semua yang makar! Aneh, tidak satu pun peluru meletus
meski ratusan ribu moncong senapan ditembakkan. Senjata-senjata yang dibeli dengan
darah dan keringat rakyat itu jinak, kembali serta memihak rakyat. Sementara itu, Pendusta
tertinggi di negeri ini, tanpa ada yang menyuruh, tampak menelanjangi diri diikuti oleh
pendukungnya, para pembungkus matahari. Langkah itu diikuti pula oleh anak-istri mereka
yang rata-rata bertubuh gemuk, bermulut Anaconda dan perut mereka super buncit nyaris
meledak. Massa menggiring mereka dengan damai menuju ke LAPAS.***

Oleh Naning Pranoto

Sabtu, 25 Januari 2014


(Di Muat di Suara Karya Online)

Anda mungkin juga menyukai