Anda di halaman 1dari 8

PENA

“Dyraaaaaaaaaa. Ayo bangunn” teriakan mama mengawali pagiku. Aku pun


bangun sembari terlonjak kaget, teriak seperti ini sudah seperti makanan sehari
hariku namun tetap saja aku kaget dan sebal mendengarnya. Jam sudah
menunjukkan pukul setengah tujuh, dengan bermalas masalah aku menuju kamar
mandi untuk mandi lalu segera bersiap siap.
Karena sekolahku libur sekitar 2 minggu, mama memutuskan mengirimku
kerumah nenek, dari pada aku dirumah seperti kucing yang kerjanya hanya makan
dan tidur katanya. Terlihat Pak Thamrin, supir keluargaku sedang memasukkan
koper ke dalam bagasi. Setelah sarapan serta mengecek tak ada barang yang
ketinggalan aku bersiap pergi.
“Koper sudah kan? Ransel? Bekal dijalan? Uang saku?. Mau tambah bekal lagi
ga?” tanya mama dengan cerewet.
“udahhh udahhhhh, lagian aku disana juga Cuma 4 hari ga lama” kataku kesal.
Mama memang seperti itu cerewet dan sangat rempong dimataku.
“Yaudah, hati hati ya nak” sembari mengecup keningku.
Mobil avanza milik keluargaku pun mulai menyusuri jalanan menuju rumah
Nenek. Sedikit bercerita, Nenekku tinggal di sebuah pedesaan bersama kakek,
disana mereka menjalani masa tua sembari berjualan hasil kebun dan sawah,
untuk ukuran lansia mereka masih sehat dan produktif. Itulah alasan mengapa
mama memutuskan mengirimku kesana katanya biar aku bisa mendapat
semangat hidup dan inspirasi. Yah, seperti remaja lainnya aku sangat jenuh
dengan kehidupan SMA ku yang setiap hari hanya pergi sekolah, kerja tugas,
makan, tidur, dan mendengarkan omelan mama. Padahal dalam bayanganku SMA
seharusnya menyenangkan, tapi kenyataannya tak sesuai ekspektasi.
Karena perjalanannya cukup panjang, aku pun terlelap.
“Dek Dyra kita sudah sampai” suara Pak Thamrin membangunkanku.
Masih setengah sadar, aku melihat gapura bertuliskan
DESA KAMBOJA
Aku melihat sekeliling, banyak hamparan sawah dan udaranya pun masih segar.
Sedikit cerita lagi, terakhir aku mengunjungi rumah nenek sekitar 6 tahun lalu
biasanya nenek yang akan kerumahku dijemput Tante Kay, adik mama, sekalian
melihat kota agar tak ketinggalan jaman katanya.
Mobil berhenti didepan rumah berwarna hijau. Terlihat nenek menyambut
kedatanganku.
“Wah, Dyra kamu sudah besar ya. Kelas berapa kamu sekarang?” tanya Nenek
sembari memelukku.
“Kelas 2 SMA nek, hehe.” Aku tersenyum lalu mencium tangannya. Nenek pun
mengajakku masuk ke rumahnya disusul Pak Thamrin yang membawa komenku,
lalu ijin pulang karena ada urusan penting.
Setelah berganti baju dan merapikan barangku, aku keluar untuk makan siang.
Terlihat beberapa lauk seperti getuk dan tiwul, khas makanan desa.
“Bagaimana kabar mama dan papa,Dyr?” tanya kakek.
“Alhamdulillah baik, kek”
“oh iya, kan sebentar sore nenek mau mengecek sawah. Kamu mau ikut?”
Sejujurnya jawabanku tentu tidak, tapi mumpung disini ... “Iya nek, Dira ikut”.
Nenek pun mengangguk sembari menghabiskan bisulnya.

Sorenya.
Hamparan sawah, beserta beberapa buruh menjadi pemandangan pertamaku
saat sampai di sawah.
“Nah ini tempat nenek padi dihasilkan, dyr” kata nenek sembari memperkenalkan
beberapa buruh disitu.
“ini Pak Dariman, Bu Tika, Bu Eva, Pak Santo, dan ini Pena” kata nenek sembari
menunjuk seorang anak seumuranku, bernama Pena.
Aku tertegun, ia seorang anak perempuan berpakaian sederhana yang setengah
nya sudah kotor oleh lumpur sawah, serta memegang cangkul. Ia tersenyum
ramah kepadaku.
“Hah? Seumuranku menjadi buruh? Apa dia tidak sekolah? Tapi ia terlihat sangat
ramah dari cara senyumnya” batinku. Setelah perkenalan nenek mulai
mengajariku bagaimana cara menanam padi, teknik agar hasilnya bagus, serta
betapa baik dan pekerja kerasnya buruh disini terutama Pena.
“Dia masih muda, namun semangat dan tekadnya luar biasa.” Kata nenek. Aku
tertegun. Hingga tanpa kusadari aku kehilangan keseimbangan lalu jatuh.
“Aaaaaa” teriakku. Pena yang melihatnya segera membantu.
“Hati hati, disini memang lumpur nya membuat jatuh” katanya sambil tersenyum.
Aku mangut mangut.
“Nah, Dyr. Kamu lanjutkan menanam padinya sama Pena ya, nenek mau cek
sawah sebelah” Aku mengangguk.
“Kamu cucunya Nek Uma dari kota, ya?” tanyanya memulai percakapan.
“Hehe iya”
“Nek Uma itu sangat baik, ia yang memberiku pekerjaan untuk menjadi buruh
disini. Disaat semuanya meremehkanku hanya dia yang menganggap aku mampu”
cerita Pena.
“hah? Diremehkan kenapa bisa” tanyaku kaget.
“Tidak heran kok, hehe. Aku berasal dari keluarga yang tidak utuh. Aku tak pernah
bertemu kedua orang tuaku dan hanya tinggal dengan nenekku yang sakit
sakitan”
“Jadi sekarang kamu bekerja untuk memenuhi kebutuhan? Apa kamu tidak
sekolah?” tanyaku hati hati.
“Sekolah ya? Jujur aku sangat ingin, tapi keadaan tidak memungkinkanku untuk
bersekolah. Jika bukan aku yang menjadi tulang punggung siapa lagi. Apa di kota
kamu bersekolah?”
“Iya, disana kami bersekolah”
“Wah, pasti menyenangkan seadainya aku juga bisa melanjutkan sekolah pasti
sangat seru.” Matanya berbinar binar. Aku yang selama ini mengeluh ini berhenti
sekolah merasa tertohok.
“Eh, tapi kerja di sawah ini juga tidak kalah menyenangkan lho, disini kita bisa
belajar cara menghasilkan padi yang baik, serta cara mendistribusikannya. Sini
kita menanam padi bersama pasti kamu suka.” Ucapnya penuh semangat.
Aku yang melongo mendengar ucapannya segera mengangguk lalu belajar
menanam padi bersama Pena.
Nenek benar, dia masih seumuranku namun semangat dan tekadnya luar biasa,
walau ia tak bisa bersekolah tapi itu tidak menghentikan dirinya untuk tetap
bersyukur dan semangat bekerja sebagai buruh.
Aku jadi malu, selama ini aku hidup enak penuh fasilitas, tak perlu bekerja sisa
melakukan apa yang sudah mama suruh. Mencuci pun tak pernah, apalagi
bekerja. Terpikir pun tidak. Namun justru berbanding terbalik dengan Pena. Aku
malah selalu mengeluh, menyusahkan, menyalahkan orang lain, juga marah
marah sama mama. Padahal mama juga yang sudah memfasilitasi aku sehari hari,
sehingga aku tak perlu memikirkan besok makan apa, nanti pergi naik apa, atau
baju sekolah ku sudah dicuci atau belum.
Sedangkan Pena, ia harus memikirkan bagaimana ia harus hidup, neneknya yang
sakit, belum lagi cacian orang. Dunia seakan sangat kejam padanya. Namun ia tak
goyah tetap ceria dan penuh semangat. Ia seharusnya layak mendapatkan lebih
dari ini.
Seakan seperti bohlam menyala, aku mendapat suatu ide.
“hey kenapa melamun, ayo kita menanam” tegur Pena, sembari menyenggolku
pelan.
“eh iya, ayo ayo” kami pun melanjutkan menanam padi.
Seusai menanam padi, nenek membawakan kami beberpa snack dan makanan.
Sembari makan kami bercakap satu sama lain.
“Pena, kalau aku boleh tau. Apa cita citamu?” tanyaku hati hati.
“Aku ingin jadi pembisnis dan juga penulis buku. Kalau kamu?” jawabnya
“Wahh, penulis? Kenapa?. Hmm aku sendiri belum tau apa cita citaku rasanya
setiap hari membosankan aku menjadi tidak terinspirasi untuk menjadi sesuatu”
“Kata nenekku dahulu ayah ibu ku seorang penulis yang cukup terkenal. Oleh
karena itu aku diberi nama Pena, katanya agar aku bisa menuliskan kebahagiaan
pada dunia..” ia terdiam sejenak.
“..hey, Dyra. Kamu tau tidak, aku sangat iri dengan dirimu. Karena kamu memiliki
keluarga yang baik, bisa bersekolah, dan lagi kamu tidak perlu berusah payah
kerja sepertiku” matanya mulai berkaca kaca.
Aku yang mendengarnya merasa tertohok, padahal kenyataannya aku justru
menyia nyiakan hal yang justru sangat diinginkan oleh anak seperti Pena.
“Tapi walau begitu, aku yakin suatu saat pasti akan ada waktunya dimana aku
akan sukses dan membanggakan keluargaku, yang penting aku sudah bekerja
keras, paling tidak sudah bisa makan hari ini pun aku sudah bersyukur”
senyumnya mengembang sembari memakan roti abon yang dibawa nenek.

Hari telah menunjukkan jam 07.30. Setelah makan aku dan nenek memutuskan
untuk duduk diteras, sedangkan kakek memilih tidur lebih awal.
“Bagaimana tadi les menanam padi dadakan bersama Pena?” tanya nenekku
sedikit terkekeh.
“hehe, lancar nek. Pena itu baik sekali ya. Dia mengajariku dengan sabar dan
telaten”
“iya dia anak yang baik, sayang sekali keuangan keluarganya tidak
memungkinkan” ucap nenek sedih.
Aku termenung memikirkan hal apa yang bisa kuperbuat untuk Pena.
Hari hari berikutnya, ku habiskan dengan membajak sawah, berkebun, serta
berjalan jalan keliling desa, bersama Pena tentunya. Sekarang kami menjadi
teman yang dekat karena nenek terkadang harus mengurus sawah dan kebunnya,
ia mempercayakanku pada Pena.
Ia sangat seru, pengetahuannya tentang tiap inci dari Desa sangat lengkap. Aku
bahkan tak menyangkan bahwa ia tak pernah sekolah. Rasanya aku yang sudah
bersekolah selama 11 tahun tidak ada apa apanya dibanding dia. Disini pun aku
berkenalan dengan anak desa lainnya seperti Anya, Amy, Gina dan masih banyak
lainnya. Rasanya keputusan ke Desa ini sangat tepat. Desa ini mengajarkanku
serta menyadarkanku pula bahwa hidup yang aku jalani sangat jauh lebih
beruntung dibanding mereka disini, namun hal itu tidak membuat mereka
menyerah malah menambah semangat mereka untuk terus belajar, lagi lagi aku
merasa malu.
Diam diam aku ingin memberikan sesuatu pada Pena, ku ambil ponselku lalu
mengirim beberapa kepada Amel, teman dekatku. Yang langsung dibalas penuh
semangat olehnya.
Tak terasa, sudah 4 hari aku di Desa Kamboja. Hari ini Pak Thamrin sudah
menjemputku. Pena, nenek, dan kakek mengantarku hingga ke mobil.
“Jangan lupa balas suratku nanti ya” kataku pada Pena
“Oke siap, ku tunggu suratnya” jawabnya disertai ancungan jempol.
Aku pun berpamitan lalu menuju pulang.
Dimobil aku menyusun rencanaku bersama Amel
“nanti aku ajak yang lain juga deh, pasti mereka setuju” kata Amel diseberang
sana.
“iya, nanti kita bisa sekalian memberi mereka barang barang kita yang tak
terpakai namun masih bagus”
‘Wah iya, apa sekalian kita jualan aja ya?, aku punya banya buah buahan untuk
dijual nih dari kebun ayahku”
“Wah, bisa tuh. Besok kan kita udah masuk. Bicarain disekolah ya” kataku.
“okey. Sampai besok, dyr” kata Amel sembari menutup telfon.

Keesokan paginya,
“Tumben, kamu semangat sekolah. Biasanya jam segini masih harus diteriakkin
dulu baru bangun” kata mama heran sembari menyiapkan sarapanku.
“iya dong, ma. Banyak tau orang diluar sana yang pengen sekolah, tapi gak bisa.
Jadi aku bersyukur banget masih bisa sekolah.” Ucapku tersenyum. Sejenak aku
melihat mama yang setiap hari berusaha memberikanku yang terbaik, namun
justru aku menganggapnya terlalu cerewet.
Mama tersenyum bangga melihatku, “nah gitu dong, nih habisin sarapannya”
“makasih ya ma, udah selalu ada untuk dyra” kataku sembari memeluk mama
yang langsung dibalas lebih erat oleh mama.
“wah tumben nih, dyra udah semangat ke sekolah” ucap papa sembari memakan
sarapannya. Aku tersenyum.
Setelah menghabiskan sarapan aku memutuskan untuk segera pergi ke sekolah.
Disekolah Amel dan beberapa teman lainnya sudah menyambutku dengan kotak
untuk amal, serta beberapa dus berisi barang barang untuk anak desa kamboja,
dan mengadakan gerakan amal khusus untuk Pena. Kami memulai amal dari jam 7
pagi hingga sore dan terkumpul kurang lebih 5 juta rupiah.
Kami tersenyum senang, rencananya besok kami akan izin sekolah untuk pergi ke
DESA KAMBOJA untuk memberikan langsung sumbangan ini, serta kami ingin
membangun warung untuk nenek Pena.
Keesokan harinya rencana itu ter realisasikan, anak anak disana sangat senang
menerima semua barang barang itu begitu pun Pena. Ia tidak menyangka bahwa
semua ini untuknya.
“kalau begitu janji ya, kita akan bersama menjadi orang sukses” kataku sambil
mengancungkan jari kelingking.
“oke, JANJIII !!!!!” sembari membalas jari kelingkungnya.
10 TAHUN KEMUDIAN.
“Berita terbaru hari ini pembisnis sukses Pena, telah meluncurkan buku
perdananya hari ini peluncuran buku akan dihadiri oleh orang orang penting.
Salah satunya sahabat Pena, juga sekaligus pembisnis berpengaruh di dunia Dyra
Amerium.” Berita pagi ini membuatku tersenyum, sembari bersiap menuju
peluncuran buku Pena lalu terengar klakson dari mobil milik Pena diluar.
“Hei, dyr. Udah siap?” tanya pena sambil tersenyum. Walau sudah sukses ia masih
Pena yang sama, yang selalu menebar senyum dan bersemangat.
Sembari mengambil tas ku, aku mengangguk “Ayooo. Yey it’s a big dayyyy!!!!”
teriakku. Kami berdua tertawa riang.
Dan, begitulah akhir cerita dua sahabat yang kini telah sukses bersama, dimulai
dari mimpi kecil yang kini menjadi kenyataan.

PELAJARAN YANG BISA DIAMBIL DARI CERPEN TERSEBUT :


Senantiasa bersyukur dengan apa yang kita miliki karena kita tiak akan tau
seberapa berharga hal itu sampai ia hilang dari kita serta apapun kondisi kita
selalu bermimpi setinggi mungkin karena jikalau kita jatuh kita akan jatuh
diantara bintang bintang.

Anda mungkin juga menyukai